Anda di halaman 1dari 9

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2022/23.1 (2022.2)

Nama Mahasiswa : NURMIAH

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 045176392

Tanggal Lahir : 15 JUNI 2003

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4211 / HUKUM AGRARIA

Kode/Nama Program Studi : 311 / ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 50 / SAMARINDA

Hari/Tanggal UAS THE : SELASA, 20 DESEMBER 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : NURMIAH


NIM : 045176392
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4211 / HUKUM AGRARIA
Fakultas : FHISIP
Program Studi : ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : 50 / SAMARINDA

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Selasa, 20 Desember 2022

Yang Membuat Pernyataan

NURMIAH
1. A. Silakan Saudara analisis akibat hukumnya bila agraria dan hukum agraria tidak dikaitkan dengan
administrasi pertanahan.
Jawaban :
Pertanahan, menurut Rusmadi Murad, adalah suatu kebijaksanaan yang digariskan oleh
pemerintah dalam mengatur hubungan hukum antara tanah dan orang sebagaimana yang ditetapkan
oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang
dikenal dengan undang-undang pokok agraria (UUPA) (1997: 1). Dalam keseharian ataupun dalam dunia
akademis, sangat sering dipertukarkan dengan pengertian agraria. Selain ada kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN), juga dalam sejarah mengenal Menteri Agraria.
Agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang tanah. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian yang juga urusan
pemilikan tanah. Dengan demikian, istilah agraria selalu dihubungkan dengan usaha pertanian. Di
Indonesia, istilah agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah
pertanian maupun nonpertanian. Adapun administrasi pertanahan meliputi tanah-tanah di daratan
ataupun yang berada di bawah air, baik air daratan maupun air laut.
Administrasi pertanahan, menurut Rusmadi Murad, adalah suatu usaha dan manajemen yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan
mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Atau dapat disimpulkan bahwa administrasi pertanahan merupakan bagian dari administrasi
negara karena administrasi pertanahan merupakan upaya pemerintah dalam menyelenggarakan
kebijaksanaan di bidang pertanahan yang pelaksanaannya dilakukan BPN.
Pengertian agraria dalam artian sempit diartikan sebagai pertanahan yang mencakup
permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.
Dengan pemakaian sebutan agraria dalam arti luas, dalam pengertian UUPA, hukum agraria merupakan
suatu kelompok berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas
sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok tersebut menurut Budi
Harsono terdiri atas berikut ini.
a. Hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.
b. Hukum air yang mengatur hak-hak penguasaan atas air (UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan).
c. Hukum pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian (UU Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan).
d. Hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di
dalam air (UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan).
e. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksud dalam Pasal 48
UUPA.
Berdasarkan pendapat dari Budi Harsono di atas, terlihat jelas hubungan antara agraria, hukum
agraria, dan administrasi pertanahan. Dalam hal ini, agraria membahas arti agraria secara umum yang
mencakup bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bahkan hingga batas-batas
tertentu ruang angkasa. Sementara itu, hukum agraria yang merupakan aturan hukum tentang berbagai
objek agraria yang termasuk peraturan tentang tanah tentunya memiliki kaitan yang erat dengan
administrasi pertanahan karena membahas administrasi berarti membahas juga aturan hukum dari
tanah itu sendiri.
Administrasi pertanahan harus dilakukan, mengingat tujuannya dapat sangat menguntungkan
bagi kepentingan pemegang hak atas tanah. Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa kita perlu
melakukan administrasi pertanahan :
a) Memberikan kejelasan dan perlindungan hukum kepada pemilik bidang tanah, rumah susun, dan
hak terdaftar lainnya. Akibatnya, pemegang hak yang bersangkutan menerima sertifikat hak atas
tanah.
b) Memberikan segala informasi yang relevan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk
pemerintah, untuk dengan cepat mengakses data yang diperlukan untuk melakukan tindakan
hukum yang melibatkan bidang tanah terdaftar dan satuan rumah susun.
c) Pengelolaan lahan dapat dilakukan secara sistematis.
Kesimpulannya adalah apabila agraria dan hukum agraria tidak dikaitkan dengan administrasi
pertanahan, maka kita tidak dapat terhindar dari masalah pertanahan seperti konflik yang muncul ketika
tidak ada bukti kepemilikan yang jelas atas sebidang tanah atau agraria. Masalah sengketa tanah yang
sangat marak di Indonesia seiring berjalannya waktu juga tidak akan dapat diselesaikan. Berbagai faktor
berkontribusi terhadap masalah ini: kurangnya pengelolaan lahan yang terorganisir di masa lalu.
Masalah seperti ini bisa terjadi di mana saja. Perdebatan ini menjadi masalah yang kompleks,
menghabiskan waktu, tenaga, dan umg sekaligus merusak hubungan baik antara pihak-pihak yang
bersengketa, apalagi jika masalah tersebut berlangsung lama dapat berdampak negatif.

1. B. Menurut analisis Saudara, apakah tata ruang dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan
bagian dari hukum agraria.
Jawaban :
Iya, tata ruang dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan bagian dari hukum agraria.
Pengertian agraria secara luas dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (2) yang dinyatakan: "Seluruh
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, ke semuanya merupakan satu kesatuan. Dengan demikian, maka
ruang lingkup agraria menurut UUPA adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya".
Pengertian bumi (yang disebut tanah), menurut ketentuan Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah
permukaan bumi dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Pengertian tanah
meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air termasuk
air laut. Dan permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA adalah tanah.
Pengertian air mneurut Pasal 1 ayat (5) UUPA meliputi baik perairan pedalaman maupun air
yang berada di laut wilayah Indonesia. Yang dimaksud dengan air pedalaman adalah meliputi juga air
sungai, air danau, maupun air yang berada di bawah tanah. Akan tetapi dalam Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengairan air meliputi air yang
terkandung di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di
bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang ada di laut.
Pengertian ruang angkasa / tata ruang ialah ruang di atas bumi dan air di wilayah Indonesia
(Pasal 1 ayat (6)) UUPA. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA, adalah ruang di atas bumi
dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha
memelihara dan memperkembangkan keseluruhan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu. Ruang angkasa yang dimaksud adalah bukan
ruang yang berada di wilayah ruang udara, akan tetapi ruang yang ada dalam batas-batas tertentu, yakni
ruang yang terletak diantara dan/atau berhubungan langsung dengan tanaman dan bangunan yang
tertancap di atas tanah.
Sedangkan pengertian kekayaan alam yang terkandung di dalam- nya adalah kekayaan alam
yang terkandung di dalam bumi di sebut bahan galian, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-
bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam
menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, serta kekayaan alam yang terkandung di atas bumi seperti tumbuh-tumbuhan,
pohon-pohon (hutan) yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Kehutanan yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, lalu menjadi
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.

2. A. Silakan Saudara analisis akibat hukum apabila masyarakat yang memiliki tanah tetapi tidak
dapat membuktikan adanya sertipikat kepemilikan tanah sebelum berlakunya UUPA!
Jawaban :
Pada saat UUPA belum berlaku, kita kenal dua macam perangkat Hukum Tanah, yaitu Hukum
Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat. Oleh karenanya, hukum tanah yang berlaku pada waktu itu
dikatakan bersifat dualistis. Ketika itu, pengaturan mengenai tanah masih melanjutkan segala kaidah
peninggalan masa penjajahan. Oleh karena itu, status hukum tanah pada saat itu seolah-olah memiliki
"golongan rakyat" atau "sifat penduduk" (landaard) tersendiri. Artinya, di satu pihak dikenal ada "tanah
Eropa" atau “tanah-tanah barat” yaitu sejumlah bidang tanah yang terdaftar menurut
Overschrijvingsordonnantie atau Ordonansi Balik Nama S. 1834 Nomor 27.
Hak-hak Eropa atas tanah itu tercipta karena pihak penguasa memungkinkan untuk
memperolehnya. Hak-hak tersebut dapat diletakkan atas tanah-tanah di mana tidak ada hak-hak orang
lain, atau jika karena perubahan status tanah Indonesia menjadi tanah Eropa. Cara tersebut biasanya
dilakukan dengan mengadakan "afkoop van rechten" (pembelian untuk membebaskan hak-hak). Hal itu
dikenal pula dengan sebutan "pemasrahan hak" (afstand van rechten, prijsgeving). Biasanya tanah yang
dipasrahkan hak-haknya itu segera setelah pemasrahan dilakukan, diduduki oleh pihak dari golongan
rakyat yang bukan Indonesia.
Setelah terjadi perubahan struktur yang drastis paska diterbitkannya UUPA, hal ini menjadi titik
balik dari pengaturan hukum tanah dari regulasi yang hanya menguntungkan kolonial, menjadi fokus
pada pengaturan yang dipegang oleh pemerintah Indonesia. Melalui terbitnya UUPA, atura kolonial
diantaranya Agrarische Wet (Staatsblad 1870 No. 55), serta Domienverklaring tersebut dalam pasal 1
"Agrarisch Bestult” (Staatsblad 1870 No. 118) dicabut. Sehingga aturan yang menyatakan "bagi warga
pribumi yang tidak dapat menunjukkan bukti sah kepemilikan atas tanah, maka menjadi tanah negara"
atau tak lagi berlaku.
Dengan dicabutnya aturan kolonial Belanda atas tanah jajahannya, maka yang diberlakukan
terhadap tanah-tanah di Indonesia adalah Hukum Adat Dan pengelolaan kekayaan alam dipegang oleh
Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. B. Silahkan Saudara analisis, bagaimanakah klasifikasi hak atas tanah bekas hak barat setelah
dilakukan konversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria!
Jawaban :
Hak-hak atas tanah barat masih tetap berlaku setelah masa proklamasi kemerdekaan. Setelah
proklamasi kemerdekaan terdapat keinginan yang kuat untuk segera mengakhiri berlakunya hukum
pertanahan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini dilakukan antara lain dengan penghapusan
beberapa tanah hak Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan semangat
proklamasi, yaitu:
1. Penghapusan tanah-tanah partikelir;
2. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda;
3. Tanah-tanah milik badan hukum yang ditinggal direksi;
4. Penguasaan benda-benda tetap milik perorangan warga Negara Belanda.
Bahwa dalam pelaksanaan konversi tersebut ada beberapa prinsip yang mendasarinya yaitu:
1) Prinsip nasionalitas UUPA Pasal 9 secara jelas menyebutkan hanya warga Negara Indonesia saja
yang boleh mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.
2) Pengakuan hak-hak tanah terdahulu
3) Penyesuaian kepada ketentuan konversi bahwa sesuai Pasal 2 dari ketentuan konversi maupun
Surat Keputusan Menteri Agraria maupun dari edaran-edaran yang diterbitkan maka hak-hak tanah
yang pernah tunduk kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hak-hak yang
diatur oleh UUPA:
4) Status quo hak-hak tanah terdahulu bahwa dengan berlakunya UUPA dan PP 10 Tahun 1961 maka
tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru atas tanah tanah yang akan tunduk kepada Hukum
Barat.
Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau
dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Diktum Kedua Pasal I, III dan V hak-hak atas tanah
asal konversi Hak Barat akan berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980
dan setelah tenggang waktu tersebut berakhir menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
Untuk mengatur akibat-akibat hukum dari ketentuan tersebut dan menentukan hubungan
hukum serta penggunaan peruntukannya lebih lanjut dari tanah tersebut, telah dikeluarkan Keputusan
Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru
Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat, dan sebagai tindak lanjut atas Keputusan Presiden (Kepres) tersebut
telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan
Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.
Berdasarkan uraian di atas masyarakat harus melakukan pendaftaran ulang hak-hak barat yang
telah diterimanya itu selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980 agar segera diterbitkan hak baru
atas tanah tersebut. Setelah lewat masa waktu yang ditentukan maka hak-hak atas tanah tersebut akan
langsung dikuasai Negara.

3. A. Silakan saudara analisis apakah tanah yang sudah didaftarkan dan bersertipikat dapat dibatalkan
kepemilikannya!
Jawaban :
Mengacu kepada Penjelasan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah (PP Pendaftaran Tanah), sistem publikasi yang digunakan di Indonesia
adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Hal ini dapat dibuktikan dari hal-hal
berikut:
1) Pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat, bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak (sistem publikasi negatif).
2) Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak (registration of titles). bukan
sistem pendaftaran akta (registration of deed) (sistem publikasi positif).
3) Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat
(sistem publikasi negatif).
4) Petugas pendaftaran tanah bersifat aktif meneliti kebenaran data fisik dan yuridis (sistem publikasi
positif).
5) Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum (sistem publikasi
positif).
6) Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan keberatan kepada
penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat atau mengajukan gugatan ke
pengadilan agar sertifikat dinyatakan tidak sah (sistem publikasi negatif).
Sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut oleh UUPA, sebagaimana diatur dalam Pasal 19
ayat (2) huruf c adalah sistem negatif yang terlihat dari kata-kata, ”... berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat". Demikian pula dalam Penjelasan Umum PP Nomor 10 Tahun 1961 yang menyebutkan hal
berikut.
“Pembukuan sesuatu hak dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang
sebenarnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya, orang tersebut masih dapat menggugat hak dari orang yang
terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi, cara pendaftaran hak yang diatur dalam peraturan
pemerintah ini tidaklah positif, tetapi negatif.”
Demikian pula halnya dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 ataupun Peraturan Kepala BPN Nomor 2
Tahun 2013 secara prinsipiil tidak ada perubahan dalam hal sistem publikasi pendaftaran tanah dengan
tetap mempertahankan sistem negatif dengan penambahan unsur-unsur positif.
Atau dalam artian lain, tanah yang sudah terdaftar dan tersertifikat berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat dan mutlak (terdapat kepastian hukum di dalamnya), tapi data fisik dalam
sertifikat ini tidak dijamin kebenarannya oleh negara sehingga sertifikatnya dapat dibatalkan atau
dinyatakan tidak sah apabila ada pihak yang mengajukan gugatan dan memiliki bukti kuat untuk itu
sampai bisa memenangkan pengadilan.

3. B. Menurut analisis saudara, apakah tanah yang sudah memiliki sertipikat merupakan akta otentik
yang tidak dapat dicabut kepemilikannya!
Jawaban :
Seperti jawaban yang sudah saya tera pada pertanyaan sebelumnya, di Indonesia, sertifikat hak
atas tanah ditetapkan oleh peraturan perundangan sebagai alat bukti yang kuat, selama tidak ada alat
bukti lain yang membuktikan ketidakbenarannya, maka sertifikat tersebut harus dianggap benar. Jadi,
kepemilikan suatu tanah secara hukum dianggap tidak kuat atau sah apabila tidak memiliki surat tanda
bukti yang otentik berupa sertifikat hak atas tanah. Akan tetapi hal ini tidak berlaku di luar negeri seperti
Jerman dan Swiss, karena disana tanah yang sudah memiliki sertifikat dapat menjdai akta otentik yang
tidak dapat dicabut kepemilikannya.

4. A. Silakan Saudara analisis apakah tanah waqaf dapat diubah statusnya demi pengadaan tanah
untuk kepentingan umum.
Jawaban :
Dalam praktek yang ada di masyarakat, sebidang tanah yang telah diwakafkan akan mempunyai
kedudukan khusus, yakni terisolisasinya tanah wakaf tersebut dari kegiatan transaksi (jual beli, sewa
beli, hibah, waris, penjaminan dan bentuk pengalihan lain. Hal tersebut ditegaskan dalam UU No. 41
Tahun 2004, Pasal 40, yang menyatakan bahwa harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
a. dijadikan jaminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
e. diwariskan;
f. ditukar, atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya
Atas larangan tersebut terdapat pengecualian dalam hal harta benda wakaf digunakan untuk
kepentingan umum, dapat diubah statusnya dengan penukaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41
UU No 41 Tahun 2004:
1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf
yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata
ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan syariah.
2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia (BWI).
3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-
kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
PP No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 mengatur mengenai
penukaran harta benda wakaf harus dengan izin tertulis dari Menteri (dhi. Menteri Negara Urusan
Agama) berdasarkan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia (BWI) bahwa harta benda wakaf tersebut
digunakan untuk kepentingan umum. Pasal 49:
1) Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis
dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI
2) Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dengan
pertimbangan antara lain perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan
umum sesuai dengan rencana tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundangan
dan tidak bertentangan dengan prinsip Syariah.
Mengacu pada ketentuan yang diatur dalam UU tentang Wakaf dan peraturan pelaksanaanya,
harta benda wakaf dilarang diubah status dan dialihkan dalam bentuk apapun kecuali dengan bentuk
penukaran yang ditujukan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
syariah. Dengan demikian pada hakikatnya harta benda wakaf dapat dikenakan sebagai obyek
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yaitu dengan penukaran
harta benda pengganti.

4. B. Silakan Saudara analisis apakah pembangunan tempat ibadah bagian dari kepentingan umum
yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum!
Jawaban :
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Perpres Nomor 36 Tahun 2005, yang dimaksud dengan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah
meliputi hal berikut:
1. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah
tanah), saluran air minum air bersih, saluran pembuangan air, dan sanitasi;
2. Waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya;
3. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;
4. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
5. Peribadatan;
6. Pendidikan atau sekolah;
7. Pasar umum;
8. Fasilitas pemakaman umum;
9. Keselamatan umum;
10. Pos dan telekomunikasi;
a. Sarana olahraga;
b. Stasiun penyiaran radio, televisi, dan sarana pendukungnya;
c. Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa,
atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;
d. Fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya;
e. Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan;
f. Rumah susun sederhana;
g. Tempat pembuangan sampah;
h. Cagar alam dan cagar budaya;
i. Pertamanan;
j. Panti sosial;
k. Pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik.

Anda mungkin juga menyukai