Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi
akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Padang, 18 Juni 2022
HENDRA
tentunya memberikan harapan kepada Masyarakat hukum adat untuk mendapatkan pengakuan
dan perlindungan hak hak yang dimilikinya yaitu Wilayah Adat, Hukum Adat, Harta Kekayaan
dan/atau benda-benda Adat serta Kelembagaan/Sistem Pemerintahan. Kata kunci: masyarakat
hukum adat, hak, peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur
keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang berbeda dengan subyek hukum
lainnya. keberadaan hukum adat telah dicantumkan dalam rumusan Pasal 18B yang menyatakan,
<Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.= Pengakuan negara
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat itu sekaligus pengakuan terhadap hukum adatnya.
Dengan demikian berlakunya hukum adat bukanlah tergantung kepada penguasa negara atau
tergantung kepada kemauan politik penyelenggara negara, melainkan bagian dari kehendak
konstitusi.
Dalam konteks hukum agraria pengaturan mengenai masyarakat hukum adat terdapat di
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA). Dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA disebutkan bahwa,<pelaksanaan hak menguasai dari
negara dalam pelaksanaannya bisa dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan
masyarakatmasyarakat hukum adat.= Dalam hal ini masyarakat hukum adat bisa menerima
delegasi kewenangan penguasaan negara atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam. Jika
ada bidang tanah yang dikuasai langsung oleh negara (tanah negara), termasuk yang berasal dari
tanah bekas hak erfpacht bahkan bekas hak guna usaha (HGU), penguasaannya dapat
didelegasikan kepada masyarakat hukum adat, agar tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat bisa dicapai. Kemudian penyebutan masyarakat hukum adat terdapat dalam pengaturan
pengakuan keberadaan hak ulayat. Hal ini terdapat dalam Pasal 3 UUPA yang menyatakan
bahwa,<pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum
adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi
Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang seringkali disebut Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hak Milik adalah, “Hak turun-menurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam
pasal 6″.
Dikatakan sebagai hak terkuat dan terpenuh, karena hak milik merupakan satu-satunya
hak yang memiliki kekuatan mengikat paling kuat dan paling penuh, jika dibandingkan dengan
hak-hak kepemilikan atas tanah oleh orang dan hak-hak atas tanah lainnya, seperti Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dll.
Jadi apakah HMN bersifat kuat dan penuh, sama seperti halnya Hak Milik? Jawabannya
tidak! Karena apabila HMN bersifat kuat dan penuh, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara bebas untuk memberikan, merampas, dan/atau mengalihfungsikan
suatu lahan pertanahan dengan sesuka hatinya
kepastian hukum hak atas tanah. Tujuan tersebut kemudian mendapat dijelaskan lebih lanjut
dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 yaitu : untuk menjamin kepastian
hukum dari hak-hak atas tanah, Undang-Undang Pokok Agraria mengharuskan Pemerintah untuk
mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
berbagai proyek pembuatan dan pelebaran jalan, jalan tol serta pembangunan lainnya
memerlukan tanah sebagai sarana utamanya. Persoalan yang kemudian muncul adalah
bagaimana mengambil tanah kepunyaan masyarakat untuk keperluan proyek pembangunan. Hal
ini memang menyangkut persoalan yang paling kontroversial mengenai masalah pertanahan.
Pada satu pihak tuntutan pembangunan akan tanah sudah sedemikian mendesak sedangkan pada
lain pihak sebagian besar warga masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman
dan tempat mata pencahariannya. Peran pemerintah sangat menentukkan, kearah mana
penyelesaian masalah tanah akan diselesaikan. Tugas dan fungsi Pemerintahan terhadap rakyat
dalam kasus penyelesaian konflik pertanahan menjadi perhatian penting, karena sebagai penentu
kebijakan dari suatu penyelesaian konflik.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: <Bumi, air, serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan di pergunakan sebesar- besarnya untuk
kemakmuran rakyat=. Makna yang terkandung dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kedua,
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di pergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Ketiga, tanah memiliki arti yang strategis bagi kehidupan bangsa
karena tanah merupakan cabang produksi Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak
Sebagai wujud nyata dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, maka lahirlah
Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih
dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang pokok
Agararia ini disebutkan bahwa: <Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
didalamnya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai kekuasaan seluruh rakyat=.
Melalui hak menguasai dari Negara inilah maka Negara selaku badan penguasa akan dapat
senantiasa mengendalikan atau mengarahkan pengelolaan fungsi bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang
ada, yaitu dalam lingkup penguasaan secara yuridis yang beraspek publik. Kemudian dalam
pasal 6 UU No.5 tahun 1960 juga menegaskan bahwa: <semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial=.
Berdasarkan undang-undang tersebut diatas, maka jelas bahwa tanah milik siapapun
apabila dibenturkan dengan kepentingan sosial atau kepentingan umum maka tanah tersebut
harus dilepaskan atau dibebaskan. Bahkan tanah yang merupakan hak milik sekalipun yang
dimana hak milik dikatakan hak yang paling tinggi dari hak atas tanah lainnya karena sifatnya
terkuat, turun-temurun, maka itu pun harus dilepaskan jika kepentingan umum menghendakinya,
mengingat bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Dalam Undang-Undang Nomor. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum pasal 3 disebutkan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan
menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak
yang Berhak. Jadi dalam peraturan peraturan tersebut terlihat bahwa tanah juga mengandung
fungsi sosial untuk kepentingan banyak orang dan pasal 5 dalam undang-undang tersebut
disebutkan Pihak yang Berhak (pemilik tanah) wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, setelah masyarakat menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum
tersebut maka masyarakat memiliki hak untuk menerima ganti rugi dari Pemerintah. Hal tersebut
diatur dalam Undang-Undang No.2 tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum pasal 1 butir 2 yang berbunyi <pengadaan tanah adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang
berhak
yang kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sampai dengan saat
ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan
Tanah.
Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan tanah
yaitu : 1. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak
atas tanah) ; 2. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Perbedaan yang menonjol
antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah ialah, jika dalam pencabutan hak
atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan
berdasar pada asas musyawarah. Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara
tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan
dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun
2006, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak
dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006
bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkanuntuk
memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh
apabila jalur musyawarah gagal . Hal ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan
tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.
=======================================================