I. Pendahuluan
Krisan atau dikenal juga dengan sebutan bunga seruni, merupakan tanaman
hias yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan potensial untuk
dikembangkan secara komersial. Di Indonesia, krisan biasa dibudidayakan di
dataran medium dan dataran tinggi. Tanaman ini diperkirakan berasal dari Asia
Timur tepatnya daratan Cina. Belum ditemukan data atau informasi yang pasti
tentang kapan tanaman krisan masuk ke wilayah Indonesia. Namun, beberapa
literatur menunjukkan sekitar tahun 1800 krisan mulai ditanam di Indonesia dan
sejak tahun 1940, krisan mulai dibudidayakan secara komersial sebagai tanaman
hias. Beberapa daerah sentra produksi tanaman hias krisan di antaranya adalah
Cipanas (Cianjur), Sukabumi, Lembang (Bandung), Bandungan (Jawa Tengah),
Malang (Jawa Timur), dan Berastagi (Sumatera Utara). Pada saat ini krisan telah
dibudidayakan di daerah-daerah lain, seperti NTB, Bali Sulawesi Utara dan Sumatera
Selatan.
Pada perdagangan internasional tanaman hias, krisan merupakan komoditas
bunga potong andalan yang penting. Pada tahun 2003, perdagangan komoditas ini
di Indonesia mengalami surplus sekitar US $ satu juta. Ekspor komoditas non
anggrek ini ke negara-negera tujuan seperti Hongkong, Jepang, Singapura dan
Malaysia pun mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, dan
proyeksi ekspor pada tahun 2007 diperkirakan mencapai sekitar US $ 15 juta (BPS,
2005). Sekalipun demikian, hingga saat ini pasokan krisan belum mencukupi
kebutuhan permintaan dunia. Negara-negara penghasil utama krisan seperti
Jepang dan Belanda hanya mensuplai kurang dari 60% dan kontribusi negara-
negara penghasil krisan di Asia Tenggara seperti Indonesia hanya sekitar 10 % dari
total permintaan dunia. Dengan demikian, peluang bisnis bunga krisan masih
sangat menjanjikan. Peningkatan ekspor bunga krisan dengan mutu yang
memadai ke pasaran internasional masih sangat terbuka lebar.
Kualitas dan mutu bunga adalah faktor yang sangat mempengaruhi harga
jual bunga potong krisan. Banyak kasus menunjukkan bahwa bunga potong krisan
yang dihasilkan oleh petani tradisional di Indonesia bermutu rendah. Hal ini
berdampak terhadap harga jual bunga yang rendah dan tidak dapat menutup biaya
produksi yang telah dikeluarkan. Akibatnya, usahatani krisan menjadi tidak
ekonomis dan kurang menguntungkan, sehingga banyak petani krisan mengalihkan
usahanya pada bidang lain. Oleh karena itu, peningkatan produksi harus disertai
dengan perbaikan teknologi budidaya untuk meningkatkan kualitas produksi hingga
akhirnya diharapkan terjadi peningkatan harga jual produk. Perbaikan teknik
budidaya ini dilakukan dengan menerapkan teknologi budidaya anjuran spesifik
lokasi dan komponen-komponen lain dalam budidaya secara terpadu. Beberapa
aspek budidaya tanaman krisan bunga potong akan dijelaskan pada bab-bab
berikutnya beserta hal-hal yang melatar belakanginya.
mengemukakan bahwa media tumbuh berupa campuran tanah, humus bambu dan
pupuk kandang (1:1:1) memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan tanaman
dan diameter bunga yang maksimal dan seragam.
Krisan berasal dari daerah subtropis, sehingga suhu yang terlalu tinggi
merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Krisan dapat tumbuh
pada kisaran suhu harian antara 17 sampai 30 oC. Pada fase vegetatif, kisaran suhu
harian 22 sampai 28 oC pada siang hari dan tidak melebihi 26 oC pada malam hari
dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal krisan (Khattak dan Pearson, 1997). Suhu
harian ideal pada fase generatif adalah 16 sampai 18 oC (Wilkins et. al., 1990).
Menurut Maaswinkel dan Sulyo (2004) pada suhu di atas 25 oC, proses inisiasi
bunga akan terhambat dan menyebabkan pembentukan bakal bunga juga
terlambat. Suhu yang terlalu tinggi juga mengakibatkan bunga yang dihasilkan
cenderung berwarna kusam, pucat dan memudar.
Berdasarkan tanggap tanaman terhadap panjang hari, krisan tergolong
tanaman berhari pendek fakultatif. Batas kritis panjang hari (Critical Daylenght-
CDL) krisan sekitar 13,5 – 16 jam tergantung genotipe (Langton, 1987). Krisan akan
tetap tumbuh vegetatif bila panjang hari yang diterimanya lebih dari batas kritisnya
dan akan terinduksi untuk masuk ke fase generatif (inisiasi bunga) bilamana
panjang hari yang diterimanya kurang dari batas kritisnya. Mendasarkan pada sifat
sensitif krisan terhadap panjang hari, modifikasi lingkungan berupa penambahan
cahaya dengan menggunakan lampu pada malam hari perlu dilakukan pada
budidaya krisan potong, untuk memperoleh tinggi tanaman yang diharapkan (fase
vegetatif) sebelum berbunga. Hubungan antara lama periode hari panjang terhadap
tinggi tanaman dan jumlah daun pada krisan disajikan pada gambar 1.
Langton (1987) mengemukakan lebih lanjut bahwa kepekaan krisan terhadap
panjang hari tidak tetap. Pengaruh panjang hari terhadap fisiologi pembungaan
krisan sering kali berinteraksi dengan suhu harian. Pada kondisi hari panjang
o o
dengan suhu siang hari sekitar 22 C dan 16 C pada malam hari, penambahan
tinggi tanaman dan pembentukan daun berjalan optimal. Induksi ke fase generatif
akan terjadi bila suhu pada siang hari turun kurang dari 18 oC (Lint dan Heij, 1987)
dan suhu malam naik hingga lebih dari 25 oC (Wilkins et. al, 1990). Namun
keadaan ini sangat jarang diketemukan pada dataran medium hingga tinggi di
Indonesia.
40 120
35
100
30
25
20 60
15
40
10
20
5
jumlah daun
leaves tinggi
planttanaman
length
0 0
0 1 2 3 4
Periode
Periode Hari Hari Panjang
Panjang (minggu)
terkonversi menjadi Pfr dan menyebabkan jumlah Pfr bertambah, begitu pula
sebaliknya. Konversi Pr menjadi Pfr pun dapat terjadi bila tanaman berada pada
fase gelap (De Jong, 1980). Dan bila jumlah Pfr lebih banyak dari Pr pada selang
waktu tertentu, maka pertumbuhan apikal (apical dominace) akan terhenti dan
tanaman terinduksi (evocation) ke fase generatif (Decoteau et. al., 1997).
Kelembaban udara juga berpengaruh terhadap pertumbuhan bunga krisan.
Tanaman krisan membutuhkan kelembaban 90 – 95% pada awal pertumbuhan
untuk pembentukan akar. Sedangkan pada tanaman dewasa, pertumbuhan optimal
dicapai pada kelembaban udara sekitar 70 – 85% (Mortensen, 2000). Menurut
Maaswinkel dan Sulyo (2004), evapotranspirasi pada pertanaman krisan pada saat
matahari penuh (musim kemarau) dapat mencapai 5 - 7 liter/m2/hari.
Evapotranspirasi maksimum ini tercatat pada saat tanaman mencapai tinggi sekitar
25 cm pada bedengan.
a
b
Gambar 2. (a) Konstruksi rumah lindung krisan dari bahan kayu dan besi
dengan screen penutup samping berwarna putih dan, (b)
konstruksi rumah lindung dengan bahan bambu dengan screen
penutup samping berwarna hijau (foto: Maaswinkel dan Sulyo).
pertumbuhan tanaman. Berbagai bentuk dan tipe rumah lindung krisan dapat dilihat
pada gambar 3. Pertimbangan pemilihan bentuk dan tipe serta ventilasi rumah
lindung disesuaikan dengan kondisi lahan, elevasi, topograpi dan faktor-faktor iklim
makro lain pada lahan pertanaman, hingga bentuk dan tipe rumah lindung yang
dibangun dapat memodifikasi iklim mikro di dalamnya hingga kondusif untuk
pertumbuhan optimal bagi tanaman krisan (Walz dan Horn, 1997).
Gambar 3. Beberapa tipe atau bentuk rumah lindung yang dapat digunakan
dalam budidaya krisan (foto: Sulyo).
Proses produksi yang akan dibahas dalam uraian berikut ini meliputi
penyiapan media tanam, penyiapan bahan tanam, penanaman, dan pemeliharaan
tanaman (pemberian air, pemupukan, penyiangan, perlindungan tanaman terhadap
hama dan penyakit penting serta pemeliharaan khusus lainnya).
Tanah yang memiliki tingkat kemasaman tinggi hingga pH < 5,5 perlu
ditambahkan kapur pertanian untuk memperbaiki pH tanah. Sumber kapur dapat
berupa dolomit, kalsit atau zeagro. Dosis pemberian kapur disesuaikan dengan
kemasaman tanah, sebagai contoh untuk dolomit pada tanah dengan pH sekitar 5,
dapat diberikan kapur sebanyak 5,02 ton/ha, pH = 5,2 diberikan 4.08 ton/ha, pH =
5,3 sebanyak 3,6 ton/ha dan pH = 5,4 sebanyak 3,12 ton/ha (Marwoto, et. al.,
2000). Pemberian kapur dilakukan dengan menamburkan kapur pada permukaan
media bedengan dan diaduk dengan merata. Selanjutnya, 1 hingga 2 hari sebelum
tanam, bedengan diberi air hingga kapasitas lapang dan dipasang jaring penegak
tanaman yang sesuai serta dibuat lobang tanam sesuai jarak tanam.
(i) (ii)
Gambar 6.
(i) Ketidakseragaman pertumbuhan tanaman
krisan akibat benih yang tidak seragam,
(ii) ketidakseragaman berlanjut hingga tanaman
tumbuh dewasa (Foto: Maaswinkel dan Sulyo).
(i) (ii)
(iii) (iv)
Gambar 7. (i) Proses penanaman stek pada bak-bak pengakaran, (ii) stek
dalam proses pengakaran, (iii) setelah ditanam pada pengakaran,
stek ditutup dengan menggunakan plastik (Maaswinkel dan
Sulyo.doc), atau (iv) bahan lain seperti kertas hingga terjadi inisiasi
akar ± 10 hari (Foto: sie.informasi/AIBN inzet).
(i) (ii)
Gambar 8. (i) Stek belum berakar dalam bungkus plastik pada proses
penyimpanan dan (ii) stek yang telah melalui proses pengakaran
dan siap untuk ditanam di lahan pertanaman (Foto: Maaswinkel
dan Sulyo).
4.4. Penanaman
Untuk tanaman produksi bunga, bahan tanam berupa stek berakar dapat
ditanam pada lahan bedengan dengan jarak tanam 12,5 x 12,5 cm (kerapatan
tanam 64 tanaman/m2), setelah sebelumnya dibuat lobang tanam dengan
menggunakan bambu atau kayu penugal. Untuk kebun tanaman induk produksi
stek, stek berakar ditanam dengan kerapatan 25 hingga 40 tanaman/m2.
Faktor kelembaban media tanam perlu mendapat perhatian dalam
pertanaman krisan, karena tanaman ini tidak toleran terhadap kekeringan,
kelembaban yang rendah dan suhu yang tinggi terutama pada fase awal
penanaman. Oleh karena itu, sehari sebelum penanaman, media tanam dalam
bedengan sebaiknya diberi air yang cukup sampai lapisan olah (daerah perakaran).
Penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari dimana suhu udara tidak
terlalu panas dan sinar matahari belum/tidak lagi terik. Pemberian air juga dilakukan
setelah proses penanaman selesai dan pemberian air irigasi selanjutnya dilakukan 2
- 3 hari sekali atau melihat kondisi lingkungan pertanaman.
(i) (ii)
Gambar 9. (a) Tanaman krisan dengan pertumbuhan normal dan (b) tanaman
krisan yang terhambat pertumbuhannya akibat kekurangan air
(batang lebih kecil); (ii) Distribusi air yang tidak merata
(ditunjukkan oleh dua tanda panah warna yang berbeda) di
bedengan pada pertanaman krisan (Foto: Maaswinkel dan Sulyo).
Pemberian hari panjang dimulai pada hari penanaman dan selanjutnya setiap
hari hingga tanaman induk tidak produktif menghasilkan stek atau bila mutu stek
yang dihasilkan menurun dan keragaan tanaman induk yang bersangkutan tidak
dapat diperbaiki lagi. Untuk pertanaman bunga potong, kondisi hari panjang
diberikan selama 30 – 40 hari tergantung jenis dan varietas atau hingga tanaman
telah mencapai tinggi 50 - 55 cm.
Pemberian cahaya tambahan selama fase vegetatif dapat dilakukan dengan
metode nite-break (siklik). Metode siklik ini menurut Maaswinkel dan Sulyo (2004),
dianjurkan menggunakan pola 10-20x6 (10 menit lampu menyala diikuti 20 menit
lampu dimatikan dalam satu siklus). Metode siklik dapat juga diterapkan dengan
pola 5-1x5, 15-15x6, 6-24x8 atau penyinaran terus menerus selama 3 - 5 jam
tergantung varietas yang ditanam (Langton, 1987; Horridge dan Cockshull, 1989).
Sehubungan dengan sensitifitas tanaman krisan terhadap cahaya,
keberadaan cahaya di antara fase gelap ini
pun perlu mendapat perhatian. Hicklenton
(1984) mengemukakan bahwa keberadaan
terang (cahaya) di antara fase gelap selama
induksi pembungaan (hari pendek) akan
mempengaruhi pertumbuhan bunga. Cabang
baru bunga akan tumbuh dengan waktu yang
tidak bersamaan dan muncul dari segmen
tanaman bagian tengah atau bawah tanaman
(over branching) seperti disajikan pada
gambar 10. Selain akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan bunga yang Gambar 10. Tanaman krisan
muncul dari perubahan pertumbuhan apikal, dengan pertumbuhan bunga
yang tidak seragam akibat
kemunculan bakal bunga ini dapat interupsi cahaya di antara fase
mengurangi bentuk dan mutu fisik bunga gelap pada periode hari pendek
(Foto: Maaswinkel dan Sulyo).
potong (Maaswinkel dan Sulyo, 2004).
4.5.3 Pemupukan
Selain pupuk dasar, pemupukan lanjutan dilakukan setelah tanaman berumur
sekitar 2 minggu. Pupuk pelengkap cair juga diperlukan untuk menunjang
pertumbuhan tanaman secara optimal. Aplikasi pupuk cair dilakukan dengan cara
disemprotkan pada tanaman atau bersamaan dengan pemberian air irigasi
(fertigasi) sesuai dosis anjuran dengan frekuensi 2 kali seminggu mulai awal tanam
hingga menjelang panen. Pemberian pupuk pelengkap cair juga dapat dilakukan
bersamaan dengan aplikasi pestisida sepanjang jenis pestisida yang digunakan
kompatibel (tidak terjadi kontra-indikasi) dengan jenis pupuk daun yang digunakan.
Sangat dianjurkan apabila dapat melakukan analisis jaringan tanaman
sebelum melakukan pemupukan. Hal ini berguna sebagai acuan dan dapat
memberikan gambaran tentang jenis unsur hara yang menjadi faktor pembatas dan
jenis yang akan ditambahkan serta dosis pemupukannya. Dosis dan waktu yang
tepat mengacu pada kondisi nutrisi pada jaringan tanaman yang dianalisis. Pada
lahan pertanaman krisan, unsur esensial harus tersedia dalam jumlah yang
memadai dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan optimal tanaman. Kondisi
nutrisi yang ideal pada media tumbuh pertanaman krisan disajikan pada tabel 1
berikut ini.
Contoh jumlah unsur – unsur didalam tanah dan yang diserap tanaman krisan
Tabel 2. Standar larutan pupuk per liter air untuk pertanaman krisan
(Maaswinkel dan Sulyo, 2004).
Konsentrasi
Jenis Unsur
(mmol/l)
N 8,5
P 0,0
K 4,0
Mg 1,0
Ca 2,25
S 1,0
EC 1,2 mS/cm
Pertumbuhan dan mutu tanaman krisan sangat dipengaruhi oleh kadar nutrisi
yang tersedia dalam media tanam dan dapat diserap oleh tanaman. Beraneka ragam
unsur dapat ditemukan di dalam tubuh tumbuhan, tetapi tidak berarti bahwa
• Fosfor (P), kekurangan unsur hara ini agak jarang terjadi. Tetapi bila terjadi
terdapat gejala-gejala dengan perakaran dan batang yang lemah, kecil dan
tidak berkembang sempurna dan tanaman tidak vigor.
• Kalium (K), nampak nekrosis pada daun-daun tua dan sudut duduk daun yang
meregang lebih dari 50o.
• Magnesium (Mg), gejala ditandai dengan daun menguning pada tulang daun
tua. Gejala akan lebih jelas pada jenis atau varietas yang mempunyai daun
hijau gelap dengan kandungan klorofil lebih banyak. Gejala kekurangan unsur
ini hampir mirip dengan gejala kekurangan nitrogen dan besi, karena ketiganya
merupakan unsur pembentuk utama klorofil.
• Kalsium (Ca), gejala yang jelas terlihat pada daun muda lebih tipis, halus dan
lemas.
• Besi (Fe), nampak nekrosis tulang daun yang khas pada daun-daun muda.
• Tembaga (Cu), gejala kekurangan unsur ini agak jarang karena disamping
evolusi tanaman, pestisida yang beredar sekarang sudah banyak yang
mengandung Cu. Bilamana defisiensi unsur ini terjadi, akan nampak gejala
penurunan kualitas corak warna hijau pada daun-daun muda dan ukuran daun
muda yang lebih kecil.
Gambar 11. Gejala kekurangan unsur hara pada tanaman krisan (a) unsur
N, (b) unsur B, (c) unsur Mg, (d) unsur P, (e) unsur Zn, (f)
unsur Cu, (g) unsur Mo, (h) unsur Fe dan (i) unsur K
(Foto: Maaswinkel dan Sulyo).
4.5.4 Penyiangan
Penyiangan dilakukan dengan frekuensi setiap 2 minggu dan frekuensi dapat
lebih sering bilamana pertumbuhan gulma cepat dan tajuk tanaman masih muda,
belum menutup areal tanam secara sempurna. Penyiangan dilakukan hingga
menjelang panen dan frekuensi penyiangan akan berkurang/menurun bilamana
tajuk tanaman telah menutup areal tanam secara sempurna. Gulma dapat
dibersihkan secara manual dan mekanis dengan cara mencabut gulma sampai akar-
akarnya atau dengan menggunakan alat penyiangan lainnya dan membuang gulma
pada tempat yang aman dari pertanaman. Selain tujuan eradikasi gulma,
penyiangan juga dapat ditujukan sebagai pengolahan tanah ringan yang dapat
meningkatkan sifat fisik tanah. Penyiangan juga dilakukan pada areal sekitar rumah
lindung untuk menghindari berkembangbiaknya gulma secara cepat.
(a) (b)
Gambar 12. (a) Jaring penegak tanaman dipasang pada saat tanaman
masih muda/sebelum tanam dan, (b) secara bertahap
dinaikkan untuk menjaga tegaknya tanaman (Foto: kbudiarto).
(i) (ii)
(iii)
Gambar 14. (i) Gejala serangan pada daun, (ii) bunga, dan (iii) larva
serangga hama Thrips (Foto: Maaswinkel dan Sulyo).
Gambar 15.
Larva Agrotis dapat dilihat secara kasat
mata dan dapat menyebabkan
gangguan pada pertanaman krisan.
(Foto: tatarastaomoy).
Warna larva bervariasi dan mempunyai kalung seperti bulan sabit berwarna
hitam pada segmen abdomen yang ke-empat dan ke-sepuluh. Pada sisi lateral dan
dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda dengan
bagian samping berwarna coklat tua atau hitam kecoklat-coklatan dan hidup
berkelompok. Larva menyebar dan tidak aktif pada siang hari, bersembunyi dalam
tanah (tempat yang lembab) dan menyerang tanaman pada malam hari. Biasanya
ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar.
Warna dan perilaku larva instar terakhir mirip ulat tanah, perbedaan hanya
pada tanda bulan sabit, berwarna hijau gelap dengan garis punggung warna gelap
memanjang. Pada umur 2 minggu panjang ulat dapat mencapai sekitar 5 cm.
Larva berubah menjadi pupa tanpa kokon dalam tanah berwarna coklat kemerahan
dengan panjang sekitar 1,6 cm. Siklus hidup berkisar antara 30 - 60 hari.
Pengendalian dengan sanitasi lingkungan pertanaman terutama gulma yang juga
merupakan inang hama ini dan dengan penggunaan insektisida berbahan aktif
deltametrin, fipronil atau tiodikarb.
4.7.2.1. Bakteri
penyakit ini belum diketahui sampai saat ini. Pencegahan penyakit dapat dilakukan
dengan menanam bahan tanaman bebas penyakit, penyiraman dengan air yang
tidak mengandung bakteri ini dan tidak membasahi daun terlalu lama, serta sanitasi
lingkungan. Bilamana memungkinkan juga menghindari/meminimalkan aktifitas
yang beresiko melukai tanaman. Fungisida/bakterisida yang mengandung tembaga
seperti yang berbahan aktif Cu-hidroksida juga dapat digunakan untuk pencegahan
terutama pada saat musim serangan hebat.
(i) (ii)
Gambar 20. Gejala serangan cendawan Botrytis pada (i) pertanaman dan (ii)
bunga (Foto: Maaswinkel dan Sulyo).
Gejala serangan penyakit ini yaitu terdapatnya lapisan putih bertepung pada
permukaan daun. Tepung putih ini sebenarnya merupakan masa dari konidia
cendawan. Pada serangan berat menyebabkan daun pucat dan mengering. Penyakit
biasa menyerang tanaman pada dataran tinggi maupun dataran rendah. Suhu
optimum untuk perkecambahan konidiumnya adalah 25 °C. Cendawan berkembang
pada cuaca kering, dan konidiumnya dapat berkecambah dalam udara dengan
kelembaban nisbi rendah (50 - 75%).
Jamur penyebab penyakit layu Fusarium mempunyai inang yang sangat luas
seperti anggrek, kubis, caisin, petsai, cabai, pepaya, kelapa sawit, lada, kentang,
pisang dan jahe. Gejala serangan Fusarium sp. adalah tanaman layu, daun
menguning dan mengering mulai dari daun bagian bawah merambat ke daun bagian
atas, dan akhirnya mengakibatkan kematian tanaman. Potongan batang melintang
pada tanaman yang sakit menunjukkan warna coklat melingkar di sekeliling
pembuluhnya. Sedangkan cendawan Verticillium sp. menyebabkan daun-daun
menguning, kemudian layu permanen, mirip dengan gejala serangan Fusarium,
tetapi daun-daun yang terserang berguguran.
Fusarium sp. merupakan penyakit tular tanah (soilborne disease) yang dapat
bertahan secara alami di dalam media tumbuh dan pada akar-akar tanaman sakit
dalam jangka waktu yang relatif lama. Infeksi dapat melalui jaringan tanaman yang
terluka pada tanaman rentan. Penyakit ini mudah menular melalui benih dan alat
pertanian yang digunakan. Penanganan kuratif penyakit ini belum banyak diketahui.
Pencegahan penyakit dapat melalui sterilisasi lahan pra tanam, penggunaan bibit
yang sehat dan sanitasi lingkungan.
Penyakit ini disebabkan oleh fungi Pythium spp. Penyakit ini sering dijumpai
pada proses pengakaran stek hingga pada tanaman muda pada awal pertumbuhan.
Gejala serangan yaitu kelayuan tanaman dan daun menguning terutama daun
bagian bawah. Pangkal batang yang berbatasan dengan akar busuk berwarna
kehitaman. Bila tanaman dicabut, akar berwarna coklat sampai hitam dan
mengkerut seperti yang terlihat pada gambar 21. Bila bagian yang akarnya busuk
dipegang, bagian luar akan mudah terlepas dari bagian dalamnya. Pencegahan
dengan menggunakan bahan dan media tanam yang bebas penyakit serta
penempatan bak-bak pengakaran lebih tinggi dari permukaan tanah untuk
mengurangi kemungkinan penularan penyakit. Saat ini sudah banyak juga fungisida
yang dapat mengendalikan penyakit ini.
(i) (ii)
Gambar 21. (i) Busuk pangkal batang Pythium sering menyerang stek pada
saat proses pengakaran (kbudiarto.doc) dan (ii) perbandingan
kondisi stek tanaman sehat (kiri) dan tanaman yang terserang
cendawan (Foto: Maaswinkel dan Sulyo).
4.7.2.3 Nematoda
(ii)
(iii)
(i) (ii)
Gambar 23. (i) Malformasi bentuk bunga dan (ii) warna hijau daun yang
tidak merata serta penghambatan pertumbuhan tanaman
akibat serangan virus (Foto: Sulyo).
(i) (ii)
Gambar 24. (i) Gejala serangan TSWV pada tanaman dan (ii)
penghambatan pertumbuhan tanaman disebabkan oleh infeksi
CSVd (Foto: Maaswinkel dan Sulyo).
Bila serangan sudah terjadi dapat berakibat fatal, karena usaha kuratif bisa
dikatakan relatif sulit. Bagi tanaman rentan yang sudah terserang, dianjurkan untuk
membuang seluruh tanaman terinfeksi dan mengganti dengan tanaman baru yang
berasal dari tanaman sumber bebas virus. Pencegahan dapat dilakukan dengan
menamam bibit yang bebas virus, menjaga kebersihan alat-alat pertanian, sanitasi
lingkungan dan pencegahan terhadap intrusi serangga vektor.
4.8 Panen
Panen merupakan titik kritis dalam bisnis bunga potong, termasuk bunga
krisan. Panen harus dilakukan pada indeks ketuaan panen yang tepat, karena
kualitas bunga seusai panen tidak dapat diperbaiki kecuali maksimum hanya
dipertahankan. Dalam kaitan teknologi panen ini, mencakup indeks ketuaan panen,
waktu panen, alat panen, dan cara panen.
Secara umum indeks panen bunga dapat ditentukan dengan umur (bunga
atau tanaman) dan keadaan fisik bunga. Informasi menunjukkan bahwa indeks
panen bunga krisan bervariasi menurut varietasnya. Beberapa informasi indeks
panen bunga krisan potong dicantumkan pada Tabel 3. Ternyata diameter bunga
dipakai sebagai indikator untuk menetapkan waktu panen bunga krisan potong.
Keefektifan indeks ini sangat bergantung pada varietas dan pasar. Bila indeks ini
efektif maka produsen bunga harus mencetak indeks ini dalam bentuk cetakan yang
jelas, menarik dan mudah dipahami untuk pedoman panen bagi pekerja. Bila
digunakan indeks panen pada penampilan visual, maka perlu dibuat fotonya pada
setiap tingkat perkembangan influoresens dan dicetak yang baik untuk pedoman
bagi pemanen.
menunjukkan bahwa ember plastik digunakan untuk wadah bunga krisan potong
dan diangkut dengan tenaga manusia bila bangsal pengemasan berada di lokasi
kebun. Setelah dikemas, bunga potong siap untuk dikirim/dipasarkan.
Tanaman induk adalah tanaman yang dipelihara khusus untuk produksi stek.
Bahan tanam untuk tanaman induk dapat berupa stek berakar hasil perbanyakan
konvensional atau tanaman yang sudah diaklimatisasi hasil perbanyakan kultur
jaringan. Berdasarkan fungsinya sebagai penghasil stek, maka tanaman induk
dipelihara selalu dalam keadaan vegetatif aktif dengan penyinaran tambahan hingga
tanaman tidak produktif.
Stek yang dihasilkan harus berasal dari tunas samping (tunas aksiler) yang
tumbuh dari ketiak daun. Tunas aksiler yang tumbuh dari ketiak daun terstimulasi
setelah pertumbuhan apikal pada cabang yang sama terhenti (dipanen atau di-
pinching). Maaswinkel dan Sulyo (2004) mengemukakan bahwa pemeliharaan
tanaman induk perlu mendapat perhatian yang serius, sehubungan dengan kualitas
stek yang akan dihasilkan. Keragaan tanaman induk akan mempengaruhi mutu stek
yang dihasilkan dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tanaman yang
hendak ditanam. Tata cara budidaya tanaman induk adalah sebagai berikut.
• Minggu 0 - 2 = stek dalam proses pengakaran
• Minggu 3 = penanaman stek dalam bedengan.
• Minggu 4 = pinching
• Minggu 7 - 23 = panen/produksi stek
• Minggu 23 = tanaman induk dibongkar/diganti dengan tanaman
baru.
Dengan demikian, usia produktif tanaman dalam menghasilkan stek yaitu pada
minggu ke 7 – 23 (16 minggu).
Sehubungan dengan tata cara pemotongan tunas aksiler sebagai stek,
Maaswinkel dan Sulyo (2004) lebih lanjut mengemukakan bahwa tunas apikal
dipotong dengan menggunakan pemotong steril dengan menyisakan 2 – 3 daun
pada batang/cabang yang dipotong, sekalipun jumlah tunas aksiler yang tumbuh
dari ketiak daun berbanding lurus dengan sisa daun yang ditinggalkan hingga 7 – 8
daun (De Ruiter, 1997). Hal ini berhubungan dengan pemeliharaan bentuk tajuk
dan kanopi tanaman induk agar tidak cepat rimbun sehingga stek yang dihasilkan
memiliki kualitas yang memadai.
Tunas aksiler yang tumbuh pada ketiak daun setelah apikal dipotong,
dimungkinkan berjumlah lebih dari satu dengan waktu yang tidak bersamaan
(Ahmad dan Marshall, 1997) dan tidak seragam (Chockshull, 1982), sehingga tunas
aksiler yang akan dipanen sebagai bahan stek selanjutnya kemungkinan tidak
seragam. Menurut Maaswinkel dan Sulyo (2004), tunas aksiler yang dipanen untuk
bahan stek hendaknya tunas yang telah memiliki kriteria 5 - 7 daun sempurna. Bila
pada saat panen, dijumpai tunas aksiler muda atau yang belum memiliki kriteria
tersebut diatas, maka tunas aksiler ini dibiarkan hingga pada saatnya dapat dipanen
(panen stek berikutnya).
Davies dan Potter (1981) mengemukakan bahwa kualitas pertumbuhan
tanaman krisan sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan tanamnya (kualitas stek).
Selanjutnya kualitas stek sangat dipengaruhi oleh performa dan sejarah
pertumbuhan tanaman induk dimana stek tersebut berasal. Stek berkualitas rendah
dapat disebabkan oleh kesalahan penanganan stek setelah panen, proses
pengakaran stek atau bahkan kualitas tanaman induk tanaman sumber stek tersebut
sudah tidak memadai (Klapwijk, 1987).
Banyak kasus menunjukkan bahwa kualitas tanaman induk yang buruk
berkaitan dengan rendahnya kualitas stek yang dihasilkan. Moe (1988)
mengemukakan bahwa tanaman induk yang telah terinduksi ke fase generatif akan
menghasilkan tunas aksiler dengan pertumbuhan lebih lambat dan sedikit. Dalam
proses pengakaran, pertumbuhan akar lebih lambat sehingga periode pengakaran
lebih lama dengan jumlah lebih sedikit dan pendek (De Vier dan Geneve, 1997).
Gejala yang sama pun sering terlihat bila stek diambil dari tanaman induk yang
sudah tua dan tidak produktif lagi dalam menghasilkan stek. Davies dan Potter
(i) (ii)
Gambar 25. (i) Pertanaman tanaman induk dalam rumah kaca dengan
menggunakan mulsa dan (ii) tanaman induk tanpa mulsa
dalam rumah plastik (Foto: Maaswinkel dan Sulyo).
daun dengan frekuensi dan dosis yang sama seperti tanaman produksi bunga
hingga tanaman induk tidak produktif menghasilkan stek. Setelah tanaman induk
berumur lebih dari 23 minggu atau bila produktifitas tanaman induk dan kualitas
stek yang dihasilkan menurun, tanaman induk dapat dibongkar dan diganti dengan
tanaman baru.
DAFTAR PUSTAKA
BOROWSKI, E., P. HAGEN dan R. MOE. 1981. Stock plant irradiation and rooting of
chrysanthemum cuttings in light and dark. Scientiae Hortic. 15: 245 - 253.
KHATTAK, A. M. dan S. PEARSON. 1997. The effect of light quality and temperature
on the growth and development of chrysanthemum cvs. Bright Golden
Anne and Snowdon. Acta Hort. 435: 113 – 131.
LINT, P. J. A. L. dan G. HEIJ. 1987. Effect of day and night temperature on growth
and flowering of chrysanthemum. Acta Hort. 197: 53 - 61.
MOE, R. 1988. Effect of stock plant environment on lateral branching and rooting.
Acta Hort. 226: 431 - 440.
WALZ, F. and W. HORN. 1997. The influence of light quality on gas exchange of
Dendranthema. Acta Hort. 418: 53 - 57.
INDEKS
A Diptera 30
Acarina 35 Dolomit 14
Acrylic 7 Dosis 13, 14, 22, 25, 33, 53
Agromyzidae 30 dpl, di atas permukaan laut 3
Agrotis ipsilon 33 Drip 10, 11
Alar 64 SP 29 Durasi 7, 8, 11, 29,
Amplitudo 3
Analisis jaringan 22
Aphids 45 E
Apikal 50, 51 EC, electrical conductivity 12, 23
Arang sekam, carbonized rice husk 12 Ekspor 1
Elevasi 9
Epidermis 36, 44
B Esensial 22, 24
Bakterisida 39 Etiolasi 52
Balai Penelitian Tanaman Hias 8 Evapotranspirasi 6, 17
Blower 11
Botrytis cinerea 40
Bunga potong 1, 2, 18, 19, 20, 21, 46, F
49 Fakultatif 4, 20
Fertigasi 22
Fiberglass 7
C Fipronil 37
Cahaya 3, 4, 5, 7, 11, 12, 17, 21, 29, 34, Fisiologi, fisiologis 4, 15, 16, 19, 29
41 Flooding system 10
CDL, Critical Day-Lenght 4 Fumigasi 13
Cendawan 31, 39, 40, 41, 42, 43 Fungisida 39, 42
Circadian rhytme 5 Fusarium, Fusarium oxysporum 41, 42
CMV, Cucumber Mosaic Virus 45 GA3 52
Compositae 30 Gall 43, 44
Cocopeat 12 Garam, garam terlarut 3, 25
Crotalaria 31 Genetik 3, 15
Crusiferae 31 Generatif 4, 5, 6, 51
Cucurbitaceae 30 Genotipe 4
Cu-hidroksida 39 Gulma 13, 27, 30, 35, 36, 37, 40, 52
CSVd, Chrysanthemum stunt viroid 46
CVB, Chrysanthemum virus-B 45
H
D Hardy annual 3
Dazide 85 29 Hardy perrenial 3
Deltametrin 37 Harga jual 29
Dicotiledónea 35 Heterogen 3
Dikofol 35 Hibridisasi 3
Discolored 45 Humus, humus bambu 4, 13
I N
IBA 16 Nematoda 38, 43, 44, 45
Iklim mikro 3, 8, 9 Nimfa 33
Imago 31, 32, 33, 34, 35, 36 Nite-break 21
Indeks 46, 47 Noctuidae 33, 36
Inisiasi 4, 16, 17, 20 Nutrisi 22, 23
Intensitas 3, 7, 11, 30, 32, 36, 38, 40, 41
O
J Oidium chrysanthemi 41
Jaring penegak 11, 14, 18, 19, 27, 28, Optimal 3, 4, 5, 6, 7, 9, 12, 15, 16, 22,
31 29
Over-branching 21
K Ovipositor 30, 31
Kalsit 14
Kanker 43
Kapang kelabu 40 P
Karakter 3, 15, 20 Packing-house 48
KCl 13, 23 Panen 16, 22, 27, 46, 47, 48, 49, 50, 51,
Klorotik 45 52
Komersial 1, 15 Parmarion pupillaris 37
Kondusif 3, 7, 9, 13 Partenogenesis 33
Konidium 40, 41 Pasteurisasi 13
Konidiofor 40 Patogen 3, 15, 29, 46
Kontra-indikasi 22 Pemboyoran 10
Kualitas 2, 3, 5, 7, 15, 16, 20, 25, 29, Pengakaran 12, 15, 16, 17, 18, 42, 43,
46, 50, 51, 52, 53 50, 51, 52
Penghasil 1, 50
L Penyakit sistemik 15
Lanas 38 Perdagangan 1
Larva 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 44 Periode 4, 5, 20, 21
Leguminosae 30 Perlite 12
Lepidoptera 30 Petal 40, 45, 47, 48
Liliaceae 30 Pewaktu 11
Liat, liat berpasir 3 pH 3, 12, 14, 23, 25
Photoreseptor 5
Phytochrome 5
M Phytophthora infestans 31
Malformasi 45 Piknidium 41
Media 3, 4, 7, 10, 11,12, 13, 14, 15, 16, Pinching 28, 50
17, 19, 22, 23, 25, 42, 42 Piridaben 35
Meloidogyne 43, 44, 45 Polifag 30, 31, 35, 36, 37
Merkaptodimetur 33 Poliploid 3
Metabolisme 10 Polycarbonate 7
Mollusca 37 Porus 12
Modifikasi 3, 4, 9 Porositas 3
Mosspeat 12 Produksi, produktifitas 1, 2, 7, 11, 12,
Mutu 1, 2, 15, 21, 23, 24, 29, 50 13, 15, 16, 19, 28, 50, 52, 53
Proyeksi 1 Telium 39
Pseudomonas, Pseudomonas chicorii 38 Teliospora 39
Puccinia chrysanthemi 39 Tetranychidae 35
Puccinia horiana 10, 39, Tetranychus 35
Pustul 39 Thysanoptera 31
PVC 7 Thrips parvispinus 31, 32, 33
Pythium 42, 43 Thripidae 31
Timer 11
R Tiodikarb 37
Ritme circadian, circadian rhytme 5 TL 11
Rekayasa, rekayasa genetik 3 Toleransi 15
Repellent 33 Topograpi 9
Reseptor cahaya, photoreseptor 5 Tradisional 2, 8
Root knot 43 TSWV, Tomato spotted wilt virus 32, 46
Rumah lindung 3, 7, 8, 9, 12, 13, 14, 27, Tunas, tunas samping, aksiler 16, 28,
52 32, 33, 36, 37, 50, 51, 52
Rumah kaca 3, 52 Tungau 35
Rumah plastik 3, 52
U
S Ulat 33, 35, 36, 37
Saprofit 40 Umbelliferrae 30
SDL, short day plant 20 Urea 13
Segmen 11, 21, 37 Urediospora 39
Seleksi 3, 16 UV, Ultraviolet 7
Semusim 3
Sentra produksi 1 V
Septoria chrysanthemi 41 Varietas 15, 21, 25, 39, 47
Siklik 11, 21 Vektor 29, 32, 45, 46
Sirkulasi 8, 29, 38 Ventilasi 8, 9
Single stem 28 Vegetatif 4, 11, 20, 21, 50,
Solanaceae 30 Verticillium, Verticillium albo-atrum 41, 42
Soil borne disease 42 Virus 29, 32, 38, 45, 46
Solarisasi 13 Viroid 45, 46
SP 36 13
Spektrum 7 W
Srlingkler 10 Watt 11
Spodophtera litura 36
Sterilisasi 12, 13, 14, 42, 45 X
Stilet 44 -
Stress 3, 38
Suhu 3, 4, 5, 10, 11, 12, 18, 19, 29, 31, Y
33, 41 -
Surplus 1
Z
T Zeagro 14
Teknologi 2, 47, 48 ZPT 29
CATATAN :