Anda di halaman 1dari 3

Teks Anekdot : Orang Hebat Datangnya dari Ayah Hebat

Assalamualaikum! Salam sejahtera bagi kita semua! Om swastyastu! Namo Buddhaya!


Salam kebajikan! Perkenalkan saya kayla najmina syamila. Kali ini, saya bakalan ngomongin
tentang ayah. Jujur saya nggak pernah absen dalam mengagumi dan mengelukan nama ayah saya
dalam doa ataupun keseharian saya sendiri, ayah yang selalu memiliki tempat khusus dalam diri
saya. Nggak jarang, ayah yang saya kagumi ini saya bikin kecewa loh, kayak waktu saya masih
di Sekolah Dasar.
“Ayah, rapotku banyak 9 nya.”
“Wah, pinter dong.”
“Woiya jelas!”
“Rangking berapa kamu?”
“Dua yah.”
“Keren keren, itu 9 apa aja?”
“Sakit, alpa, ijin, yah.”
“Lah itu bukan mapel…”
“Oh, beda ya?”
“Iya beda… terus kok bisa ranking dua?”
“Maksudnya 29 hehehe.”

Oh ada lagi satu, waktu saya masih lebih kecil, kalau nggak salah masih di taman bermain.
Waktu itu saya tanya “Ayah, Allah itu gimana bentuknya?”
“Nak, dengar ya. Kita sebagai manusia itu nggak boleh ngebayangin bentuk Allah itu gimana
karena-“
“Kalau malaikat yah?”
“Nggak boleh.”
“Nabi Muhammad?”
“Nggak boleh.”
“Jin?”
“Pocong?”
“Hmmm nggak boleh, nanti kamu takut”
“Oooooo gitu ya”
“Iya”
“Ayah, Allah itu yang kayak di belakang buku qiroah itu ya?”
Ayah saya langsung diam beberapa detik. Kalau dipikir memang agak bodoh eh bukan
agak bodoh lagi sih. Akhirnya ayah saya bilang “Ya pokoknya Allah itu nggak bisa dilihat dan
nggak boleh dibayangkan sama manusia karena dzat Allah itu sempurna.” “Oh berarti waktu itu
Alllah foto ke studio foto terus di taruh di buku qiroah ya?” Iya terus ayah saya cuma senyum
mungkin capek. Lambat laun, saya mulai mengerti kalau ayah saya itu suka keluar kota,
ngomong-ngomong ayah saya pegawai sipil. Suatu kali, ayah saya telfon dan bilang kalau lagi di
Lombok, selang 1 minggu atau beberapa hari ayah saya telfon dan bilang lagi di Malang selalu
begitu. Saya pikir ayah saya bisa ngilang dan berpindah tempat dan saya pengen bisa juga
berpindah tempat!
“Yah, boleh ikut pindah tempat nggak?”
“Pindah tempat?”
“Iya, kayak ayah. Bentar di Lombok, nanti Malang terus kemana lagi?”
“Itu bukan pindah tempat itu naik pesawat kaylaaa.”
“Oh gitu ya?”
“Iyaaa.”
“Boleh ikut nggak?”
“Nggak bisa,”
“Kenapa?”
“Itu pekerjaan ayah.”
“Terus Kayla kapan naik pesawatnya?”
“Nanti waktu kerja.”
Paginya saya ambil celana dan baju ayah saya, pamitan dan cium kening mama saya
sambil bilang “Sayang, aku berangkat kerja dulu.” mama saya heran banget diselingi tertawa
geli, saya cepet-cepet turun dan jalan ke arah sepeda lalu ditanya “Kamu mau kemana?” “Mau
kerja, soalnya mau pindah tempat.”
Ya intinya gitu, saya dulu bahkan ngira kalau agama di dunia itu cuma islam jadi teman
saya yang hindu saya ajak shalat waktu kecil di lingkungan saya. Lalu saya cerita kalau saya
marahin dia dan bilang dosa karena teman saya nggak shalat. Tetap sama, ayah saya bakalan
jelasin sampai saya ngerti bahkan sampai mulutnya berbusa sekalipun.
Selain pertanyaan nggak logis yang selalu terjawab, ayah saya selalu bikin tebakan receh
biar saya nggak bosan di meja makan
“Tau Bahasa Mandarinnya orang gila nggak?”
“Nggak, emang apa?”
“Wong sin ting”
Ya gitu deh. Ayah saya juga bisa jawab pertanyaan matematika sampai nahwu saraf
saya. Ayah saya bisa main badminton sama saya. Ayah saya bisa membuat saya tercukupi
dari afeksi maupun materi. Walau bukan orang sempurna, ayah saya bisa jadi sempurna
dalam definisi saya sendiri. Sebab itu, ayah selalu jadi orang pertama yang saya ingat ketika
berdoa. Ayah saya hebat kan? Saya juga hebat dongg masa nggak. Jadi saya mau bilang kalau
pepatah “Orang hebat datangnya dari orang hebat” itu benar tapi versi saya “Orang hebat datang
dari ayah yang hebat” sekian terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai