Anda di halaman 1dari 33

1

PEC digunakan untuk mengendalikan berbagai macam hama serangga


dengan berwujud pekatan berwarna kuning kecoklatan yang dapat
diemulsikan dalam air.
Kromatografi gas dipilih untuk metode analisis residu pestisida karena
kromatografi gas memiliki kelebihan diantaranya teknik analisis yang cepat,
dapat menghasilkan batas deteksi yang lebih rendah, akurat dengan resolusi
yang meningkat, serta dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif senyawa dalam suatu campuran (Nollet, 2004).

1.1 Tujuan penelitian


1. Mengenal lebih dalam tentang PT. SYNGENTA INDONESIA
2. Mengetahui konsentrasi residu difenoconazole dalam produk
CURACRON 500EC
3. Mengetahui nilai recovery penetapan residu difenoconazole dalam produk
CURACRON 500EC
2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida

2.1.1 Pengertian pestisida


Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida yang
berasal dari kata caedo  berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan
secara sederhana sebagai pembunuh hama. Secara umum pestisida
dapat didefenisikan sebagai bahan yang digunakan untuk
mengendalikan  populasi jasad yang dianggap sebagai pest (hama)
yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan
kepentingan manusia (Sartono, 2001). USEPA dalam Soemirat
(2005) menyatakan  pestisida sebagai zat atau campuran zat yang
digunakan untuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau
memusuhi hama dalam bentuk hewan, tanaman, dan mikroorganisme
penggangu. Pengertian pestisida menurut
jhkghjfgjdfgjfgjmenambahkan 50 mL larutan 1,2-diklorobenzena.
Selanjutnya larutan disonicate selama 10 menit hingga homogen.

3.3.6 Pembuatan larutan spike


Pembuatan larutan spike dibuat dengan menimbang 5 gram
sampel produk CURACRON 500EC yang dimasukkan kedalam 250
mL erlenmeyer dengan menambahkan 50 mL larutan 1,2-
diklorobenzena. Kemudian ditambahkan 10 mL larutan 1 dan 5 mL
SCORE 250EC. Selanjutnya larutan disonicate selama 10 menit
hingga homogen.

3.3.7 Penetapan residu difenoconazole dalam CURACRON 500EC


Penetapan difenoconazole dalam CURACRON 500EC
dilakukan dengan cara larutan standard 20 ppm, larutan test, dan
larutan spike dimasukkan kedalam masing-masing vial serta diberi
label. Kemudian masing-masing vial diletakkan di tempat sampel
3

pada GC. Lalu instrument GC diatur berdasarkan standar analisis


difenoconazole menggunakan GC dengan diinjek sebanyak 3 kali.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran umum perusahaan

4.1.1 Sejarah singkat perusahaan


Syngenta, nama ini muncul dari kombinasi istilah yang
berbeda. “Syn” dalam bahasa Yunani, yang berarti sinergi dan
kekuatan konsolidasi. “Genta” (gens) berasal dari bahasa latin, yang
berhubungan dengan orang atau masyarakat. Oleh karena itu,
Syngenta berarti membawa sinergi melalui orang. Syngenta
memiliki sejarah panjang dan mengesankan. Asal mula Syngenta
adalah pada tahun 1758 ketika Johann Rudolf Geigy-Gemuseus
memulai bisnis kimia di Bazel-Swiss, diikuti dengan didirikannya
dari Sandoz pada tahun 1876, Ciba pada tahun 1884 dan Imperial
Chemical Industries (ICI) pada tahun 1926. Pada periode berikutnya,
Ciba dan Geigy digabung membentuk Ciba-Geigy pada tahun 1970
dan perusahaan ini berganti nama Ciba pada tahun 1992. Kemudian
ICI melakukan reorganisasi, menjadi Zeneca di 1993. Pada tahun
1996, Ciba dan Sandoz bergabung untuk membentuk Novartis. Pada
tahun 2001, agribisnis dari Novartis dan Zeneca bergabung untuk
membentuk Syngenta.
Syngenta Indonesia adalah salah satu perusahaan agrikultur
terdepan dengan bisnis utama meyediakan solusi perlindungan
tanaman dan benih berkualitas tinggi. Syngenta Indonesia, melalui
badan hukumnya, PT. Syngenta Indonesia dan PT. Syngenta Seed
Indonesia, mempekerjakan sekitar 700 orang dan memiliki
manufaktur dan fasilitas Research and Development (R&D).
Syngenta Indonesia memiliki 3 kategori bisnis yaitu perlindungan
tanaman, benih tanaman serta padang rumput dan pertamanan.
Setiap kategori diawasi oleh tim khusus dan didukung oleh produk-

4
5

produk yang dipasarkan melalui jaringan pemasaran yang luas untuk


memenuhi kebutuhan petani.

Tabel 1. Kategori bisnis PT. Syngenta Indonesia


Perlindungan Tanaman Benih Padang Rumput dan Pertamanan
Herbisida Jagung Vector control
Fungisida Sayuran Lawn
Insektisida Ornamental

Dalam rangka untuk menyediakan cakupan pasar yang luas,


jangkauan petani dan untuk memastikan pengalihan teknologi yang
efektif untuk petani, usaha Syngenta adalah membagi menjadi 3
daerah pemasaran yang berbeda, yaitu Jawa, Sumatra dan Indonesia
bagian timur (Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara dan papua).
Masing-masing daerah pemasaran dikelola oleh kepala komersial.

Tabel 2. Daerah Pemasaran PT. Syngenta Indonesia


Jawa Sumatra Indonesia bagian timur
Padi Padi Padi
Jagung Jagung Jagung
Sayuran Sayuran Kelapa sawit
Kedelai Kelapa sawit Cokelat
Karet Sayuran
Kopi

Syngenta Indonesia memiliki 2 tempat produksi. Tempat


perlindungan tanaman terletak di Gunung Putri, Bogor dan tempat
produksi benih adalah di Pasuruan, Jawa Timur. Lokasi tempat
produksi Gunung Putri, pabrik perlindungan tanaman adalah 3.1ha,
dibangun di zona industri Gunung Putri pada tahun 1981. Lokasi
pabrik benih Pasuruan adalah investasi senilai 27 juta dollar AS yang
terletak di Zona Industri Pasuruan dengan luas lahan 10ha dan
6

memiliki kapasitas produksi benih 5000 metric ons per tahun. Pabrik
ini mulai beroperasi pada tahun 2011.

4.1.2 Logo perusahaan


Syngenta mempunyai logo yaitu daun berwarna hijau dan
tulisan kata Syngenta yang berwarna biru. Daun berhubungan
dengan pertanian, warna hijaunya melambangkan tanaman atau
kehidupan, dan warna biru bermakna air yang membawa kesegaran
pada tanaman dan membantu pertumbuhan tanaman sampai dipanen.

Gambar 2. Logo PT. Syngenta Indonesia.

4.1.3 Visi dan misi perusahaan


Visi dari PT. Syngenta adalah “Bringing Plant Potential To
Life”. Adapun Misi dari PT. Syngenta Indonesia adalah melalui ilmu
pengetahuan, jaringan perusahaan di seluruh dunia, dan komitmen
kami untuk selalu membantu para petani meningkatkan
produktivitasnya, sekaligus menjaga lingkungan, meningkatkan
kesehatan dan kualitas hidup bersama.

4.1.4 Lokasi perusahaan


Lokasi perusahaan adalah suatu tempat dimana perusahaan
itu melakukan kegiatan fisik. Kedudukan perusahaan dapat berbeda
dengan lokasi perusahaan, karena kedudukan perusahaan adalah
kantor pusat dari kegiatan fisik perusahaan. Lokasi PT. Syngenta
Indonesia Gunung Putri di Jl Raya Tlajung Udik Km 62, 8, Tlanjung
Udik, Gunung Putri, Cibinong 16962, Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Sedangkan lokasi PT. Syngenta Seed Indonesia terletak di Jln.
7

Kraton Industri Raya No.4 Desa Curah Dukuh Kec. Kraton, PIER
Pasuruan Jawa Timur.

4.1.5 Struktur organisasi perusahaan


Dalam perusahaan diperlukan struktur organisasi yang jelas,
yang dapat menunjukkan hubungan antar karyawan disuatu bagian
dengan bagian yang lain agar jelas kedudukan, wewenang, dan
tanggung jawab masing-masing. Struktur organisasi digunakan untuk
menggambarkan pembagian tugas setiap pejabat, serta hubungan
setiap bagian dalam organisasi tersebut. Dengan adanya
pengorganisasian yang menyangkut pembagian tugas dan tanggung
jawab masing-masing staff tersebut, maka diharapkan mampu
melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya masing- masing.
Struktur organisasi yang digunakan oleh PT. Syngenta
Indonesia Gunung Putri menunjukkan bahwa kekuasaan secara
langsung dari direktur utama yang dibantu oleh beberapa manajer
yang kemudian diteruskan kepada staff dan karyawan di bawahnya.
Hal ini berarti bahwa PT. Syngenta Indonesia Gunung Putri
menggunakan struktur garis dan staff. Setiap divisi mempunyai tugas
dan wewenang yang berbeda-beda.
8

4.2 Proses produksi produk PT. Syngenta Gunung Putri

Gambar 3. Proses produksi PT. Syngenta Gunung Putri

Produksi pada PT. Syngenta Gunung Putri dibagi menjadi 3


jenis pestisida yaitu insektisida, herbisida, dan fungisida. Produksi
pestisida dilakukan sesuai dengan recipe yang sudah ditetapkan oleh
laboratorium berupa worksheet. Bagian produksi akan menyiapkan
formulasi bahan baku sesuai dengan worksheet. Setelah bahan baku
tersebut dilakukan pengecekan, maka bahan baku tersebut siap
dipompa ke dalam tangki MPV untuk dilakukan pencampuran. Pada
setiap jenis pestisida memiliki tangki MPV masing-masing. Pada
herbisida, bahan baku selain dipompa ke dalam tangki MPV secara
manual dari drum dapat juga dilakukan transfer dari tangki
9

penyimpanan bahan baku ke dalam tangki MPV menggunakan


sistem komputer. Pencampuran pada tangki MPV membutuhkan
waktu ±30 menit untuk herbisida, ±1 jam untuk insektisida dan
±3jam untuk fungisida. Pelarut yang digunakan pada herbisida
adalah air, sedangkan pada insektisida dan fungisida adalah solvent.
Proses pencampuran dapat dihentikan jika telah disetujui oleh
laboratorium. Setelah pencampuran selesai, produk ditransfer ke
dalam tangki holding vessel (HV) yang digunakan untuk
menampung produk. Tangki HV ini harus memiliki volume yang
lebih besar dari tangki MPV karena proses pengemasan bersifat
kontinu dan untuk menghindari terjadinya tumpah. Produk jadi
dikemas dalam berbagai ukuran kemasan menggunkan botol, jeriken,
dan drum. Produk dimasukkan kedalam kemasan menggunakan
mesin. Kemasan jenis botol terbuat dari bahan HDPE, cOeX, atau
PET. Penggunaan jenis bahan botol tergantung pada jenis material
yang terkandung dalam pestisida. HDPE digunakan pada produk
AGRIMEC 18EC, cOeX digunakan pada produk ALIKA 247SC dan
lainnya menggunakan PET.

4.3 Proses pengolahan limbah PT. Syngenta

4.3.1 Proses pengolahan limbah cair herbisida


Limbah cair herbisida berasal dari 2 sumber yaitu,

a. Proses pencucian mesin


Limbah cair ini dapat langsung digunakan kembali dalam
produksi produk yang sama, syaratnya adalah tidak adanya
kontaminasi. Namun, apabila ada kontaminasi, limbah dapat
dikumpulkan dan diolah ditempat pengolahan limbah cair
herbisida.

b. Limbah cair pel lantai


10

Limbah ini akan dikumpulkan dalam drum dan diolah pada


tempat pengolahan limbah cair herbisida.

Teknik pengolahan limbah cair herbisida ini menggunakan


teknik koagulasi, kemudian teknik filtrasi. Teknik koagulasi
dilakukan dengan memasukkan limbah cair herbisida yang berasal
dari pencucian mesin, pel lantai, maupun air cucian baju karyawan
ke dalam bak penampungan. Limbah dalam bak akan dipompa ke
dalam tangki flokulator. Di dalam tangki flokulator ini akan
ditambahkan bahan koagulan dan terjadi proses koagulasi yang
ditandai dengan adanya pemisahan antara air dan lumpur. Bahan-
bahan koagulan ini diformulasikan oleh pihak laboratorium. Setelah
ditambahkan bahan koagulan, pihak laboratorium akan mengambil
sampel untuk dianalisis. Setelah dianalisis, campuran air dan lumpur
akan dipisahkan. Air akan dipompa menuju proses filtrasi yaitu
dilewatkan dalam tangki yang berisi sand filter kemudian karbon,
dan yang terakhir zeolit kemudian air akan ditampung dalam bak
kontrol. Di dalam bak kontrol biasanya air telah berwarna jernih,
namun harus dilakukan analisis oleh laboratorium untuk memastikan
bahwa air ini dapat dibuang ke lingkungan. Jika air sudah cukup
bersih, maka air dapat dibuang melalui saluran air. Lumpur yang
telah dipisahkan dengan air akan dimasukkan dalam filter press, air
yang terkandung dilumpur akan dikumpulkan dan diolah dengan
teknik koagulasi dan filtrasi. Lumpur yang telah dipress akan
dikumpulkan dan ditimbang yang selanjutnya akan dikirim ke pihak
ketiga. Dengan mekanismenya sebagai berikut :
11

Gambar 4. Proses pengolahan limbah cair herbisida

4.3.2 Proses pengolahan limbah cair fungisida dan insektisida


Limbah cair fungisida dan insektisida tidak dapat diolah
bersama dengan limbah cair herbisida karena material yang
12

digunakan fungisida dan insektisida lebih kompleks untuk diolah


limbahnya. Sehingga limbah cair fungisida dan insektisida yang
berasal dari pencucian mesin ataupun limbah pel lantai dapat
langsung dikumpulkan dalam drum dan dikirim ke pihak ketiga.
Dengan mekanimenya sebagai berikut :

Gambar 5. Proses pengolahan limbah cair fungisida dan insektisida

4.3.3 Proses pengolahan limbah padat


PT. Syngenta hanya dapat mengolah limbah cair herbisida,
sedangkan limbah lain dikumpulkan di waste house dan akan
dikirimkan ke pihak ketiga untuk diolah. Limbah padat ini terdiri
dari, limbah padat kontaminasi dan limbah padat non kontaminasi.
Limbah padat kontaminasi ini merupakan limbah padat yang
berhubungan langsung dengan bahan kimia, seperti bekas kemasan
produk yaitu botol, cup, drum, dan lain-lain. Pada saat dikumpulkan
di waste house, limbah padat akan dipisahkan berdasarkan
kategorinya. Limbah padat khusus drum metal akan dipress untuk
memaksimalkan muatan saat pengangkutan ke pihak ketiga. Khusus
drum herbisida dapat dipakai kembali sebagai kemasan. Pihak ketiga
13

yang bekerja sama dengan PT. Syngenta dalam pengolahan limbah


padat adalah Holcim.

Gambar 6. Proses pengolahan limbah padat

4.4 Analisis residu difenoconazole pada produk CURACRON 500EC


Pada analisis yang berjudul “Penetapan Residu Difenoconazole pada
Produk CURACRON 500EC dengan Menggunakan kromatografi gas”
dilakukan untuk mengetahui konsentrasi residu difenoconazole pada sampel
produk CURACRON 500EC. Difenoconazole adalah bahan aktif yang
terdapat dalam produk SCORE 250EC yang memiliki banyak atom klorida,
oksida, dan N dengan elektronegativitas yang tinggi yang dapat dideteksi
dengan GC, sehingga instrumen GC dapat digunakan untuk menentukan
konsentrasi residu pestisida difenokonazol dalam CURACRON 500EC.
CURACRON 500EC merupakan salah satu pestisida yang tergolong kedalam
insektisida yang diproduksi oleh PT. Syngenta Gunung Putri dengan
kandungan bahan aktif profenofos 500 g/L.
14

4.5 Preparasi sampel


Preparasi sampel merupakan tahapan penting dalam suatu analisis.
Optimasi pada tahapan preparasi sampel perlu dilakukan dengan tujuan
mendapatkan hasil optimal. Preparasi sampel dilakukan beberapa langkah
yaitu pembuatan larutan induk, pembuatan larutan 1 (100 ppm), pembuatan
larutan standard (20 ppm), pembuatan larutan pengotor, pembuatan larutan
test (produk dalam produk) serta pembuatan larutan spike. Pada pembuatan
larutan induk, larutan 1 serta larutan standar, pelarut yang digunakan yaitu
kloroform yang bersifat non polar karena standard difenoconazole dapat larut
dalam kloroform. Larutan standard adalah suatu larutan dengan konsentrasi
yang diketahui secara pasti yang dapat digunakan untuk mengindentifikasi
dari suatu senyawa serta untuk menetapkan konsentrasi lain yang belum
diketahui. Kemudian dilakukan sonikasi selama 10 menit dengan tujuan
menghomogenkan pelarut dan mempercepat waktu kontak antara sampel
dengan pelarut. Sonikasi dilakukan juga pada pembuatan larutan pengotor,
larutan test dan larutan spike. Pada pembuatan larutan pengotor, larutan test,
dan larutan spike pelarut yang digunakan yaitu 1,2-diklorobenzena. Larutan
test dibuat dengan tujuan untuk mengetahui konsentrasi residu difenoconazole
yang ada dalam produk CURACRON 500EC dalam ppm. Sedangkan larutan
spike digunakan untuk mengetahui adanya kesalahan sistematik dengan hasil
yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui nilai % recovery.
Diharapkan nilai recovery yang dihasilkan mendekati 100%. Selanjutnya
larutan standard, larutan test dan larutan spike dimasukkan kedalam masing-
masing vial yang siap untuk dianalisis dengan kromatografi gas yang
sebelumnya sudah dioptimasi.

4.6 Penetapan residu difenoconazole dalam produk CURACRON 500EC


Pada analisis residu difenoconazole dalam produk CURACRON
500EC menggunakan instrumen kromatografi gas. Kromatografi gas adalah
salah satu teknik spektroskopi yang menggunakan prinsip pemisahan
berdasarkan pada perbedaan kecepatan migrasi komponen-komponen suatu
cuplikan di dalam kolom. Perbedaan migrasi ini terjadi karena perbedaan
15

interaksi komponen-komponen tersebut dengan fasa diam dan fasa gerak.


Kromatografi gas dapat digunakan dalam mengidentifikasi suatu senyawa.
Analisis dalam kromatografi gas bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Analisis kualitatif berupa pengidentifikasian senyawa yang terkandung dalam
suatu campuran dengan menggunakan perbandingan waktu retensi antara
analit standar dengan sampel. Sedangkan analisis kuantitatif dapat
diaplikasikan untuk mengetahui nilai-nilai yang berhubungan dengan
kromatogram seperti penentuan kadar atau jumlah analit yang dilakukan
dengan membandingkan luas puncak analit dengan luas puncak standar.

Pada analisis kali ini kromatografi gas dioptimasi dengan mengatur


suhu injektor pada suhu 250°C, detektor pada suhu 300°C dan suhu kolom
mencapai 200°C. Hal ini bertujuan agar semua komponen berubah menjadi
gas dan keluar meninggalkan kolom. Adapun fase gerak atau gas pembawa
yang digunakan yaitu nitrogen dengan kecepatan alir 20 mL/min. Gas
pembawa yang digunakan harus bersifat inert, murni serta sesuai/cocok
dengan detektor yang digunakan. Gas pembawa ini berfungsi mengangkut
komponen-komponen sampel dalam kolom menuju detektor dan hasilnya
direkam oleh recorder. Penggunaan gas nitrogen karena detektor yang
digunakan pada analisis ini yaitu FID (Flame Ionization Detector). Kepekaan
detektor FID akan lebih meningkat jika gas nitrogen digunakan sebagai gas
pembawanya. FID bekerja berdasarkan pembakaran solute sehingga terjadi
ionisasi. Ion akan ditangkap oleh pengumpul ion dan meningkatkan daya
hantar serta akan meningkatkan arus listrik yang mengalir diantara dua
elektroda. Arus diperkuat oleh amplifier dan direkam oleh rekorder. FID
mengukur C+ sehingga hasil yang didapat cukup peka dan sensitif. Detektor
pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah
sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal
elektronik. Sinyal elektronik detektor akan berguna untuk analisis kualitatif
maupun kuantitatif terhadap komponen-komponen yang terpisah di antara fase
diam dan fase gerak. Sedangkan fase diam yang digunakan yaitu HP-5 (fenil
16

5%-metilpolisiloksan 95%). HP-5 termasuk dalam kolom kapiler yang bersifat


non polar.

Proses terjadinya pemisahan dengan kromatografi gas yaitu gas


nitrogen yang bertekanan tinggi dialirkan kedalam kolom HP-5, kemudian
masing-masing sampel yang berupa larutan standard, larutan test, dan larutan
spike diinjeksikan kedalam aliran gas dan ikut terbawa kedalam kolom.
Dimana setiap larutan diinjek sebanyak 3 kali dengan durasi 10 menit setiap
injekkan. Di dalam kolom akan terjadi proses pemisahan dari masing-masing
sampel menjadi komponen-komponen penyusunnya. Komponen-komponen
tersebut satu persatu akan keluar kolom dan mencapai detektor yang
diletakkan di ujung akhir kolom. Hasil pendeteksian direkam oleh rekorder
dan dikenal sebagai kromatogram. Jumlah peak pada kromatogram
menyatakan jumlah komponen yang terdapat dalam cuplikan dan kuantitas
suatu komponen ditentukan berdasarkan luas peaknya.

4.7 Hasil analisis dengan kromatografi gas


Pada analisis yang telah dilakukan, hasil kromatogram larutan
standard menunjukkan munculnya puncak difenoconazole pada waktu retensi
8,7 menit dengan area standarnya yaitu 0,543747; 0,34402; 0,452769. Waktu
retensi pada standard digunakan untuk mengidentifikasi senyawa
difenoconazole pada larutan test dan larutan spike. Sehingga dapat diketahui
area pada larutan test adalah 25,64296; 28,72238; 26,81854 sedangkan area
pada larutan spike yaitu 609,33258; 673,42096; 613,70227. Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa larutan spike memiliki area lebih besar dibandingkan
dengan larutan test. Hal ini terjadi karena pada pembuatan larutan spike
ditambahkan 10 mL larutan 1 dengan konsentrasi 100 ppm dan 5 mL produk
SCORE 250EC yang memiliki bahan aktif difenoconazole sehingga area yang
dihasilkan lebih besar. Setelah itu dapat ditentukan konsentrasi residu
difenoconazole dalam produk CURACRON 500EC yaitu sebesar 943,2 ppm
dengan nilai recovery 125,0631%. Nilai recovery tersebut sesuai dengan
17

range yang telah ditetapkan yaitu 70%-130% sehingga metode analisis ini
dapat diterapkan di PT. SYNGENTA INDONESIA Gunung Putri.
BAB V. PENUTUP

5.2 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis penetapan residu difenoconazole dalam
produk CURACRON 500EC yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1. PT. SYNGENTA INDONESIA adalah perusahaan agrikultur dengan 3


kategori bisnis yaitu perlindungan tanaman, benih tanaman serta
padang rumput dan pertamanan.
2. Produk CURACRON 500EC mengandung bahan aktif dari produk
SCORE 250EC dengan konsentrasi residu difenoconazole sebesar
943,2 ppm.
3. Nilai recovery penetapan residu difenoconazole dalam produk
CURACRON 500EC yang diperoleh sebesar 125,0631%. Nilai
recovery tersebut sesuai dengan range yang telah ditetapkan yaitu
70%-130% sehingga metode analisis ini dapat diterapkan di PT.
SYNGENTA INDONESIA Gunung Putri.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka melalui Laporan
Kerja Praktik ini dapat dikemukakan saran yaitu analisis ini dilakukan lebih
lanjut lagi supaya hasil yang diperoleh lebih maksimal.

18
DAFTAR PUSTAKA
Adamovics, J.A., 1997, Chromatographic Analysis of Pharmaceuticals, 2nd
Edition, Marcel Dekker, New York.
Anonim , 2010, Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Difenokonazol dan Ziram
a

Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah (Oryza sativa L).


dalam: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53981, Diakses
tanggal 13 Februari 2018
Djojosumarto, P., 2008, Pestisida dan Aplikasinya, Agromedia Pustaka, Jakarta
European Food Safety Authorithy (EFSA), 2011, Conclusion on the Peer Review
of the Pesticide Risk Assesment of the Active Substance
Difenoconazole, EFSA, 9 (1), 22-23.
Gritter, R. J., J. M. Bobbit, and A. E. Schwarting., 1991, Pengantar Kromatografi,
Edisi 2, terjemahan Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung
Khopkar, S.M., 2007, Konsep Dasar Kimia Analitik, Universitas Indonesia,
Jakarta
Nollet, Leo, M. L., 2004, Handbook of Food Analysis, Second Edition, Marcel
Dekker, New York
Sartono, 2001, Racun dan Keracunan, Cetakan I, Widya Medika, Jakarta.
Sartono, 2002, Racun dan Keracunan, Widya Medika, Jakarta
Sastroutomo dan Soetikno S., 1992, Pestisida: Dasar-dasar dan Dampak
Penggunaannya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Bandung
Soemirat, J., 2003, Toksikologi Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Soemirat, J., 2005, Taksikologi Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Wattimena, G.A., 1988, Zat Pengatur Tumbuh Tanaman, PAU IPB, Bogor

19
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kromatogram hasil analisis


1. Hasil kromatogram dari larutan standar difenoconazole injek pertama

20
21

2. Hasil kromatogram dari larutan standar difenoconazole injek kedua


22

3. Hasil kromatogram dari larutan standar difenoconazole injek ketiga


23

4. Hasil kromatogram dari larutan test difenoconazole injek pertama


24
25

5. Hasil kromatogram dari larutan test difenoconazole injek kedua


26
27

6. Hasil kromatogram dari larutan test difenoconazole injek ketiga


28
29

7. Hasil kromatogram dari larutan spike difenoconazole injek pertama


30

8. Hasil kromatogram dari larutan spike difenoconazole injek kedua


31

9. Hasil kromatogram dari larutan spike difenoconazole injek ketiga


32

Lampiran 2. Analisis data


1. Perhitungan respon factor (Rf)

Puncak arealarutan standard


Rf =
Konsentrasi larutan standard dalam mg/mL

0,543747
Rf =
0,02

Rf =27,18735

2. Perhitungan konsentrasi larutan test (Cs)


Puncak area baℎan aktif dalamlarutan test
Cs ( mg/mL ) =
Respon factor

25,64296
Cs=
27,18735

Cs=0,9432mg /mL

3. Perhitungan konsentasi (ppm) pada sampel

Cs × volume larutan test ×1000000


ppm=
Berat larutan test

0,9432×55,0093 ×1000000
ppm= =943,2 ppm
55009,3

4. Nilai recovery
Konsentrasi spike teoritis =
( ppm std x vol . std ( ml ) ) +( ppm spike x vol . spike)
Berat sampel(g)
( 100 ppm x 10 ) +(250.000 ppm x 5)
=
5,0180 gram
= 249302,511 ppm

area sampel spike x ppm std


Konsentrasi sampel spike =
area std
33

609,33258 x 20 ppm
=
0,543747

= 22412,3565 ppm

total berat larutan spike


Faktor konversi (b/b) =
berat sampel

70,018 gram
=
5,0180 gram

= 13,9534

Sampel spike percobaan = Konsentrasi sampel spike x faktor konversi

= 22412,3565 x 13,9534

= 312728,5752 ppm

Konsentrasi spike sebenarnya = konsentrasi spike – konsentrasi sampel

= 312728,5752 – 943,2

= 322785,3752 ppm

konsentrasi spike sebenarnya


Nilai recovery = x 100%
konsentrasi spike teoritis

322785,3752
= x 100%
249302,511

= 125,0631%

Anda mungkin juga menyukai