Skripsi Alfonsa Sermatan
Skripsi Alfonsa Sermatan
OLEH:
ALFONSA SERMATAN
14.19.816.270898
AMBON
JUNI 2023
ii
SKRIPSI
Diajukan kepada
Oleh:
ALFONSA SERMATAN
Nomor Induk Mahasiswa: 14.19.816.270898
AMBON
JUNI 2023
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Pembimbing 1 Pembimbing 2
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i
HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ v
MOTTO & PERSEMBAHAN .............................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI ..................................... 6
2.1. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 6
2.2. Kajian Teori ........................................................................................... 10
2.2.1. Pengertian Inkulturasi ..................................................................... 10
2.2.2. Proses Inkulturasi ........................................................................... 13
2.2.3. Kematian dalam Perspektif Gereja Katolik.................................... 14
BAB III METODOLOGI PENULISAN ............................................................. 18
3.1. Jenis Penelitian........................................................................................ 18
3.2. Sumber Data............................................................................................ 19
3.2.1. Sumber Data Primer ........................................................................ 19
3.2.2. Sumber Data Sekunder.................................................................... 20
3.3. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 21
3.4. Teknik Keabsahan ................................................................................... 23
3.5. Teknik Analisis Data ................................................................................. 24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 26
x
BAB I
PENDAHULUAN
Kepercayaan terhadap leluhur atau duad agung, yang dianggap sebagai “Bapa” atau
moyang besar yang dalam bahasa Fordata disebut Ubu-ila’a, dalam bahasa Seira
Dudila’a, dalam bahada Yamdena Ratu. Moyang besar itu melibatkan diri dan
menyertai orang dalam segala usaha, dengan menyerahkan kuasa untuk bertindak
dengan bebas dan menaklukan bumi. Yang jahat dihukumnya dan yang baik
diganjarinya.
Fenomena perjumpaan dan peleburan budaya, antara agama dan budaya lokal
Tanimbar menjadi salah satu fenomena menarik untuk dikaji. Fenomena peleburan
agama dan budaya lokal dalam beberapa studi dikenal dengan istilah inkulturasi,
kontekstualisasi dan evangelisasi. Meski ketiga istilah tersebut dipahami secara
sinonim, namun dalam tulisan ini akan dibatasi pada penggunaan istilah inkulturasi
1
Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Ambon. Traktat Sejarah Gereja Katolik di Maluku dan Maluku Utara
1522-2020, Hlm. 49
3
yang dalam khasana teologi merupakan salah satu konsep penting yang digunakan
dalam lingkup gereja katolik.2
Inkulturasi merupakan salah satu fenomena menarik yang sampai saat ini
masih terus menerus dibicarakan dan diprakkan, terutama dalam kaitannya dengan
praktek liturgi. Inkulturasi sebagai cara baru gereja menginkarnasikan Injil atau
membumikan iman dengan mempertimbangkan unsur budaya setempat. Paus
Yohanes Paulus II melalui Catechesi Tradendae pada tahun 1979 menempatkan
inkulturasi sebagai pintu masuk inkarnasi injil ke dalam budaya bangsa-bangsa.
Singkatnya, inkulturasi mengandung makna ganda yakni injil berakar dalam budaya
setempat dan transformasi budaya.
2
Vivencio Ballano, “Inculturation, Antropology, and the Empirical Dimensioan of
Evangelization”, dalam Religius (Manila;Vol. 11. No. 10). Hlm. 5
4
dari problem sentral tersebut, ada pun beberapa pertanyaan pendukung yang dijadikan
acuan dalam penelitia ini, yakni:
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yakni sebagai
berikut:
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini baik bagi kepentingan perkembangan
penelitian selanjutnya maupun kepentingan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
manfaat penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
5
4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan rujukan untuk
penelitian selanjutnya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI
dalam Jurnal Pendidikan Sejarah dan Humaniora (Vol. 3 No. 1, 2023). Hlm. 57-
62
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses dan dampak dari perkawinan
adat bagi seorang perempuan ketika suaminya meniggal dunia. Masyarakat Tanimbar
memiliki hukum adat yang namanya Duan Lolat, hukum adat ini tidak boleh
dilanggar, jika dilanggar maka pelaku mendapatkan sanksi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa adanya proses dan dampak dari adat Musamin Les Ber Bat Ine
Koli Sauny Anmatlo dalam sistem perkawinan masyarakat Desa Manglusi.
8. Hasanuddin Manurung, “Implementasi Budaya Duan Lolat Sebagai Civic Culture
dalam Perkawinan untuk Memperkokoh Hubungan Kekerabatan: Studi Kasus
Budaya Duan Lolat di Desa Waturu” dalam Jurnal Civics Education and Social
Journal (Vol. 4, No. 1, 2022). Hlm. 1-13
dan budaya lokal dalam tradisi kematian dapat membaur ataukah sebaliknya
mempengaruhi satu dengan yang lain terlebih khusus pada tradisi kematian di
Tanimbar, mengenai pemahaman dan praktek terhadap kematian.
3
F.x. Agis Ttriatmo O.Carm, “Memahami dan Menjalankan Inkulturasi secara Benar”.
http://www.imankatolik.or.id/ (akses 20 Maret 2023)
4
John Paul II, Catechesi Tredendae: on catechesis in our time, art 53 (Vatican. 1979). Hlm. 27
https://www.vatican.va/content/john-paul-ii/en/apost_exhortations/documents/hf_jp-
ii_exh_16101979_catechesi-tradendae.html
5
Ibid., 27
12
6
John Paul II, Redemptoris Missio art 52-54 (Vatican, 1990). Hlm. 36-37
https://www.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-
ii_enc_07121990_redemptoris-missio.html
7
John Paul II, Slavorum Apostoli art 21 (Vativan, 1985). Hlm. 14
https://www.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-
ii_enc_19850602_slavorum-apostoli.html
8
E.P.D. Martasujita, “Proses Inkulturasi Liturgi di Indonesia” dalam Jurnal Studia Philosophica et
Theologica, Vol.10, No.1, 2010, Hlm. 43
9
Ibid
13
10
Vivencio Ballano, “Inculturation, Antropology, and the Empirical Dimension of Evangelization”,
dalam Jurnal Religions (Vol. 11 No. 101, 2020) Hlm. 9
11
Bryan B Albia, “The Process of Inculturation” dalam
https://www.academia.edu/12467538/THE_PROCESS_OF_INCULTURATION
14
12
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. 2016. https://kbbi.kemdikbud.go.id/ di akses pada tanggal 26 April
2023
13
Viktorinus Raja Odja, “Keberadaan Jiwaa Manusia setelah Kematian” dalam Jurnal SEPAKAT, Vol.
3, No. 1, 2016, Hlm. 121
15
14
P. Herman Embuiru. Katekismus Gereja Katolik: Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara
(Flores: Nusa Indah, 1993), Hlm. 260
15
Ibid., 262
16
Ibid.,
17
Ibid., Hlm.264
16
18
Ibid., Hlm. 265
17
surga. 19 Selanjutnya dalam KGK 1032, ajaran ini juga berdasarkan praktik doa untuk
orang yang sudah meninggal. Kitab Suci sudah mengatakan: “Karena itu [Yudas
Makabe] mengadakan kurban penyilihan untuk orang-orang mati, supaya mereka
dibebaskan dari dosa-dosanya” (2Mak 12:45). Sudah sejak zaman dahulu Gereja
menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama
kurban Ekaristi untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah
dalam kebahagiaan. Gereja juga menganjurkan amal, indulgensi, dan karya penintensi
demi orang-orang mati.
Tempat yang tidak mempunyai jalan keluar lagi bagi mereka yang meninggal
akibat dari dosa dan perbuatan yang melanggar perintah Allah. Dosa atau perbuatan
yang sama sekali tidak dapat ditolong karena mempunyai hukuman yang sangat
besar. Dalam KGK 1035 ajaran Gereja mengatakan bahwa ada neraka, dan bahwa
neraka itu berlangsung sampai selama-lamanya. 20 Jiwa orang-orang yang mati dalam
keadaan dosa berat, masuk langsung sesudah kematian ke dunia orang mati, di mana
mereka mengalami siksa neraka, “api abadi”. Penderitaan nerakan yang paling buruk
adalah perpisahan abadi dengan Allah; hanya di dalam Dia manusia dapat
menemukan kehidupan dan kebahagiaan, karena untuk itulah ia diciptakan dan itulah
yang ia rindukan. Pernyataan-pernyataan Kitab Suci dan ajaran Gereja mengenai
neraka merupakan peringatan kepada manusia, supaya mempergunakan
kebebasannya secara bertanggung jawab dalam hubungannya dengan nasib abadinya.
19
Ibibd., Hlm. 266
20
Ibid., Hlm. 267
18
BAB III
METODOLOGI PENULISAN
1
Mestika Zes, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesi, Cet. 3,
2014). Hlm. 3
2
Milya Sari, “Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam Penelitian Pendidikan IPA” dalam
Jurnal Penelitian Bidang IPA. (Vol 6, No 1, 2020). Hlm. 44.
3
Nursapia Harapa, “Penelitian Kepustakaan” dalam Jurnal Iqra’ (Vol. 08, No. 01, 2014). Hlm. 68
19
Sumber data primer adalah data dasar atau data utama yang diperoleh dari
bahan-bahan kepustakaan yang berhubungan langsung dengan objek penelitian ini,
berupa buku, jurnal ilmial, dokumen gereja dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini
sumber data primer yang di pakai yakni 10 sumber yang membahas tentang paham
dan praktek kematian dalam tradisi kematian di Tanimbar. Sumber data tersebut
adalah sebagai berukut:
Data sekunder adalah data yang digunakan sebagai penunjang yang berkaitan
dengan pokok masalah. Sumber data sekunder dalam penelitian ini berjumlah 17
berubapa buku serta jurnal hasil penelitian terdahulu yang berperan sebagai
pendukung buku utama atau data pokok serta menjelaskan tentang paham dan proses
inkulturasi agama dan budaya lokal secara umum.
Teknik dokumentasi berarti cara mencari dan menuangkan pokok pikiran atau ide
seseorang kedalam bentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental. Penulis
menggunakan teknik pengambilan data dengan cara dokumentasi karena jenis
penelitian ini adala penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan yaitu penelitian
yang sumber data empirik yang primer maupun sekunder berasal dari buku-buku,
dokumen-dokumen, jurnal atau literatur-literatur lainnya
Teknik keabsahan data yang mana peneliti menggunakan teknik ini dengan
teknik triangulasi. Denzim membedakan teknik triangulasi menjadi empat macam,
yakni triangulasi sumber, triangulasi metode, triangulasi penyidik, dan triangulasi
teori.4
4. Triangulasi teori yang mana dalam teori berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak
dapat diperiksa tingkat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori atau dengan
4
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007). Hlm. 324
24
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik analisis data menurut Miles
dan Huberman, yang terdiri dari tiga alur kegiatan yakni reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan atau verivikasi.5
a. Reduksi Data
Ruduksi data merupakan bagian dari analisis. Reduksi data mengacu pada
proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan
transformasi data yang muncul dalam catatan lapangan tertulis atau
transkripsi.6 Reduksi data adalah kegiatan pemilihan dan pemilahan data
penting dan tidak penting dari data yang telah dikumpulkan7 atau roses
dimana seorang peneliti melakukan telaahan awal terhadap data-data yang
telah dihasilkan dengan cara melakukan pengujian data dalam kaitanya
dengan aspek atau fokus penelitian.
5
Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis: an expanded sourcebook
(Thousand Oaks-London-New Delhi: Sage, 1994). Hlm. 10
6
Ibid., Hlm. 11
7
Sapto Haryako, dkk, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Konsep, Teknik, & Prosedur Analisis
(Makasar: Badan Penerbit UNM, 2020). Hlm. 195
25
b. Penyajian Data
c. Penarikan Kesimpulan
8
Ibid.,
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1
Willem Batlayeri, “Memahami Ritual Kematian dalam Tradisi Masyarakat Tanimbar” dalam Jurnal Fides et
Ratio, Vol.03, No.01, 2018, Hlm. 5
27
berbentuk emas. Benda-benda adat ini merupakan tempat di mana jiwa orang
yang telah meninggal hadir kembali.
Dalam pandangan masyarakat Tanimbar orang percaya bahwa jiwa orang
mati akan hadir kembali dalam rupa benda-benda adat, yakni lele, lelbutir, dan
mase yang sangat di hormati oleh masyarakat Tanimbar. Konsep ini mirip dengan
konsep reinkarnasi sebagaimana yang dipahami masyarakat pada umumnya.
Namun konsep reinkarnasi tidak pesis sama dengan cara pandang masyarakat
Tanimbar terhadap orang yang mati. Kematian bagi masyarakat Tanimbar
dimaknai sebagai kelahiran kembali dalam bentuk dan wujud fisik barang-barang
adat seperti lele, lelbutir dan mase. Dengan kata lain, ada peristiwa kelahiran
kembali dalam rupa suatu objek, namun dalam pemahama masyarakat Tanimbar
kehadiran kembali dalam rupa benda adat tidak dihubungkan dengan tingkatan
perubatan atau moralitas seseorang yang telah mati.
Di sisi lain, dalam kepercayaan masyarakat Tanimbar ada kewajiban untuk
menghidupkan kembali orang yang telah mati, dan yang mempunyai kewajiban
untuk menghidupkan kembali orang mati itu ialah pihak Duan. Istilah Duan
berarti tuan atau pemilik suatu barang, dan tuan atau pemilik ini berfungsi sebagai
pelindung terhadap barang itu; sedangkan Lolat berarti penerima suatu barang.2
Kata Duan dalam bahasa Seira-Larat-Fordata disebut Dua, dalam bahasa
Yamdena disebut Ndruwe, Nduan, Nduin yang secara harafia berarti tuan, pemilik
dari suatu barang (rumah, kampung, lahan perkebunan, hutan dan pulau) yang
berfungsi untuk melindungi barang tersebut. Dalam arti lain Duan adalah tanah
dan Lolat adalah hujan.3
Dalam paham masyarakat Tanimbar Duan terbagi atas tiga yakni Duan
Ompak Ain, Duan Udan Ain, dan Duan Empu Ain.4 Penentuan Duan sendiri
dilihat dari garis keturunan. Dari garis keturunannya, maka ada dua macam Duan
yaitu Duan lir branal/merwane yang berasal dari pihak laki-laki atau berdasarkan
2
Amtai Alaslan, “Analisis Nilai-Nilai Budaya Duan Lolat Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat
Tanimbar Di Kabupaten Maluku Tenggara Barat”. dalam Jurnal Otonomi (Vol. 11, No. 22, 2018). Hlm. 4
3
Ibid., Hlm. 7
4
Duan Ompak Ain/Duan Pihak Mama diartikan sebagai tanah atau bumi, Duan Udan Ain/Duan
Pihak Bapa diartikan sebagai tempat pencurahan hujan, dan Duan Empu Ain/Duan Pihak Moyang
Laki-laki diartikan sebagai leluhur yang merupakan titik pusat atau awal keturunan.
28
pada garis keturunan Ayah, dan Duan lir vate/bate yang berasal dari pihak
perempuan berdasarkan garis pada keturunan Ibu. Sementara itu pengelompokan
Lolat dalam budaya Tanimbar biasanya tidak dibedakan secara tegas layaknya
kelompok Duan.5
Dalam benda-benda adat berupa lele, lelbutir, dan mase yang digunakan
untuk menghidupkan kembali orang yang telah mati yang dipercaya oleh
masyarakat Tanimbar bahwa mereka dapat hidup kembali yakni dengan bantuan
dari pihak duan. Namun yang paling menarik ialah bahwa benda-benda adat
tersebut sendiri berasal dari ketiga kelompok duan, yang mana benda adat lele
(harta muka) berasal dari pihak duan ompak ain, lelbutir (harta tengah) dari pihak
duan udan ain, dan mase (harta belakang) dari pihak duan empu ain. Dalam
menghadirkan kembali orang yang telah mati tersebut hanya dilakukan oleh pihak
duan. Pihak duan yang mempunyai kewajiban untuk menghadirkan orang yang
telah mati ialah duan udan ain.
Adapun cara yang harus ditempuh oleh pihak duan dalam menghidupkan
kembali orang mati ialah dengan cara lele, lelbutir, dan mase diletakan terlebih
dahulu dari ujung kepala sampai ujung kaki, kemudian bagian kulit digunakan
kain tenun dan sambil berkata dengan menggunakan bahasa daerah Yamdena:
Mifmorip i ma ber yak (kasih hidup Dia/orang yang mati ini untuk saya) ini
kalimat yang digunakan oleh pihak duan udan ain untuk pihak duan ompak ain.
Setelah itu benda-benda adat tersebut diberikan kepada duan ompak ain
untuk menyimpannya. Dan kelak ditanya oleh pihak duan udan ain maka ada
kalimat balasan dari pihak duan ompak ain yang menunjukkan bahwa benda-
benda adat tersebut disimpan dan masih ada, sambil berkat; Mpe mifmorip
tomwate ye mpe lolone yak nau ye (dia/orang yang mati yang dihidupkan ini dia
masih ada di saya ini/dia masih ada bersama-sama dengan saya ini).6 Benda-benda
adat yang berupa lele, lelbutir, dan mase menjadi benda pusaka yang dikenang
selalu.
5
Ibid., Hlm. 8
6
Agustinus Batlayeri, Wawancara, 5 April 2023, Desa Atubul Da, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten
Kepulauan Tanimbar.
29
7
Koentjaraningrat. Pengantar Antropolog: Pokok-pokok Etnografi II (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), Hlm. 208
30
orang mati yang disebut Selu8. Dalam kepercayaan masyaarakat Tanimbar masa
kini, tempat tinggal orang mati ini kemudain telah dikenal dengan istilah Selu
buryaru menunjuk pada sebuah sungai kecil di daerah sekitar pulau Sera. Menurut
kepercayaan masyarakat setempat apabila roh orang yang telah meninggal tidak
dapat menyeberangi atau melopat melewati sungai atau Putuk wamal tersebut
tubuh orang yang meniggal itu akan mengalami perubahan yakni menjadi ngengu
atau bia. Sebaliknya, orang yang meninggal itu dapat melompat keseberang maka
orang tersebut akan mengalami kehidupan yang bahagia layaknya orang yang
masih hidup.9
Istilah surga lambat laun mulai dipergunakan dalam kosa kata bahasa
Tanimbar. Namun pertayaannya, sejak kapan masyarakat Tanimbar mengadopsi
istilah surga dan apakah dalam arti yang sama setara dengan apa yang
dimaksudkan dalam teologi Kristen? Tentu tidak, sebab pandangan masyarakat
tentang surga dan neraka mulai mempengaruhi perbendaharaan kata bahasa
Tanimbar ketika sistem kepercayaan masyarakat dipengaruhi oleh masuknya
agama Kristen di kepulauan Tanimbar. Pada titik ini, sangat disadari bahwa terjadi
proses pembauran antara adat dan agama sejak abad ke-18. Melalui proses
evangelisasi dan zending misi, cara berpikir masyarakat tradisional Tanimbar
lambat laun mengalami perubahan, termasuk cara pandang masyarakat Tanimbar
mempersepsikan kematian. Kehadiran agama memberi makna teologis terhadap
Selu, bahwa orang yang telah mati menuju ke Surga.
10
Bdk., Willem Batlayeri, “Memahami Ritual Kematian dalam Tradisi Masyarakat Tanimbar” dalam Jurnal
Fides et Ratio (Vol.03, No.01, 2018). Hlm. 7; dan Agustinus Batlayeri dalam Wawancara, 5 April 2023,
Desa Atubul Da, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
32
11
Ibid.,
12
Ibid., 8
13
Agustinus Batlayeri, Wawancara, 5 April 2023, Desa Atubul Da, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten
Kepulauan Tanimbar.
14
Bdk., Willem Batlayeri, “Memahami Ritual Kematian dalam Tradisi Masyarakat Tanimbar” dalam Jurnal
Fides et Ratio (Vol.03, No.01, 2018). Hlm. 8; dan Agustinus Batlayeri dalam Wawancara, 5 April 2023,
Desa Atubul Da, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
33
15
Agustinus Batlayeri, Wawancara, 5 April 2023, Desa Atubul Da, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten
Kepulauan Tanimbar
34
terletak di atas tanah sehingga air jenasah yang menetes masuk ke dalam labu air
yang sesudah penguburan beseta isinya dibuang”.16
Teknik dan cara semacam ini, tentu tidak dapat dibandingkan dengan
praktek perawatan jenasah pada masa kini. Tentu ada begitu banyak cara yang
dapat dilakukan untuk mengawetkan cairan jenasah sebelum dimakamkan,
diantaranya dengan memasukan air formulin ke dalam tubuh orang yang
maninggal. Tujuannya tidak lain untuk mengawetkan jenasah sehingga tidak
mengeluarkan cairan atau pun bauh tidak sedap. Meski demikian, penting untuk
digaris bawahi adalah praktek pelurusan jenasah masih dipertahankan hingga saat
ini.
perempuan dari mama yang meninggal atau dari pihak anak-anak mantu.
Menariknya lewat kehadiran agama, mpiar yang pada zaman dulu disiapkan
sendiri oleh pihak-pihak yang mempunyai kewajiban dan dibuat berdasarkan adat
yang berlaku. Pada saat agama hadir mpiar tersebut disiapkan oleh pihak gereja,
maka pihak yang mempunyai kewajiban untuk membawa mpiar tersebut diambil
dari Gereja, dengan cara menebus menggunakan uang, uang yang dibawah
berjumlah Rp. 1000 atau 2000 untuk menebus mpiar dari gereja, kemudian
Dewan Gereja ambil dan memberikan kepada pihak yang datang untuk menebus,
lalu dibawah dan diletakkan dibagian mata dan hidung serta mulut pada orang
yang meninggal itu.18 Proses penerangan mata tersebut memiliki arti yakni supaya
orang yang meninggal itu tidak butah matanya, tidak berjalan dalam kegelapan,
melainkan dapat melihat terang dan berjalan lurus sampai pada tujuannya.
18
Bdk., Willem Batlayeri, “Memahami Ritual Kematian dalam Tradisi Masyarakat Tanimbar” dalam Jurnal
Fides et Ratio (Vol.03, No.01, 2018). Hlm. 10; dan Agustinus Batlayeri dalam Wawancara, 5 April 2023,
Desa Atubul Da, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
19
Ibid.,
36
20
Ibid., Hlm. 12
37
21
Agustinus Batlayeri, Wawancara, 5 April 2023, Desa Atubul Da, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten
Kepulauan Tanimbar.
38
makan dan makan bersama kaum keluarga dengan seluruh warga yang ikut dalam
upacara penguburan jenasah. Keluarga mempersiapkan makan berupa ketupat dan
danging babi yang sudah dimasak untuk dibagi-bagikan kepada seluruh warga
yang datang. Selain, dibagikan kepada warga yang ikut dalam upacara
pemakaman, daging bagi yang telah dimasak atau terkadang yang masih mentah
dibagikan pula kepada kaum keluarga dan pihak-pihak tertentu seperti duan lolat
dari yang meninggal.
Dalam rencana duduk adat setelah pemakaman dibicarakan rencana 3
malam, 7 malam, dan 40 malam itu nalu. Kalau dibagian Atubul, 3 malam
digunakan untuk memanggil keluarga, duan-lolat, uranak datang untuk
sembayang. Sedangkan kalau Nalu dimulai dengan pembagian untuk tanggungan,
duan-duan siap beras (100 kg/ sesuai dengan keputusan dari pihak yang
meninggal), lolat bawah sopi dan uang tetapi juga 1 lolat membawa 1 ekor babi.
Kemudian segala tanggungan yang dibawah oleh pihak duan dan lolat, di masak.
Setelah selesai doa adat barulah makanan itu dibagikan kepada semua orang yang
ada, kecil, besar, tua, muda yang hadir dalam peringatan 40 malam orang mati
tersebut.22
22
Agustinus Batlayeri, Wawancara, 5 April 2023, Desa Atubul Da, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten
Kepulauan Tanimbar.
23
Drabe, Etnografi Tanimba, hlm 392., Lih. Willem Batlayeri., Hlm. 13
39
Pada tahap ini, keluarga yang berduka tidak membuat apa-apa, hanya
berdiam diri di dalam rumah sampai 3 malam dan nalu selesai barulah keluarga
yang berduka itu beraktivitas. Pada masa ini pihak yang berduka hanya berdiam
diri dan merenungkan kepergian salah satu anggota keluarga yang telah
meninggal.
kehadiran kembali dalam rupa benda adat tidak dihubungkan dengan tingkatan
perbuatan atau moralitas seseorang yang telah mati.
Paham kematian menurut masyarakat Tanimbar ialah bahwa orang yang
mati hanya mati secara fisik, sebab mereka yang telah mati dapat dihadirkan
kembali dalam rupa benda-benda adat. Benda-benda adat tersebut ialah lele,
lelbutir, dan mase yang merupakan tempat dimana jiwa dari orang mati
dihadirkan. Jiwa orang mati yang dihadirkan dalam rupa benda adat yang secara
Kristiani menegaskan bahwa orang yang mati hanya beralih dari dunia yang fana
ini ke kehidupan yang abadi bersama Allah.
Masyarakat Tanimbar juga percaya bahwa sesudah kematian akan menuju
ke Selu. Selu merupakan sebuah sungai kecil tempat di mana masyarakat
Tanimbar percaya bahwa jiwa orang yang mati bila dapat melompat keseberang
maka akan mengalami kehidupan yang baru yang bahagia dan hidup layaknya
orang yang masih hidup, sebaliknya jika jiwa dari orang yang mati tidak dapat
melompat ke seberang maka akan berubah wujud menjadi ngengu/bia. Pandangan
mengenai selu mengalami perkembangan , tidak lagi dipahami sebatas selu dalam
perspektif orang Tanimbar, namun mendapatkan makna baru berdasarkan
pandangan teologi yakni surga. Cara pandang semacam ini menegaskan hasil
irisan antara pandangan agama dengan pandangan masyarakat Tanimbar. Hasil
irisan tersebut menghasilkan makna baru yang pada dasarnya tidak bertentangan
dengan pandangan masyarakat setempat.
Namun melalui paham masyarakat Tanimbar mengenai kematian dan jiwa
yang mati yang dihadirkan kembali dalam rupa benda-benda adat yang merupakan
tempat berdiamnya atau tempat bersemayamnya jiwa yang telah mati dan
dianggap sebagai benda-benda adat yang sakral. Dalam pengertian sakral secara
umum merupakan sesuatu yang dihormati, dimuliakan, dan yang tak dapat
dinodai. Sakral secara khusus adalah sesuatu yang dilindungi khususnya oleh
agama terhadap pencemaran, pelanggaran atau pelecehan.24 Yang kudus adalah
sesuatu yang suci, keramat. Kemudian Durkheim memisahkan “yang sakral” dan
24
Hubertus Muda. Modul Fenomenologi Historis Agama-Agama (Jakarta Pusat: Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kemntrian Agama, 2011). Hlm. 34
41
“yang profan” yang dikenal pula dengan “natural” dan “supranatural”. Sakral
diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal hal-
hal tersebut tidak tersentuh dan selalu dihormati, sedangkan profan merupakan
bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja.25
Yang sakral itu adalah istilah umum untuk menunjukkan obyek
pengalaman religius manusi. Secara konkrit yang kudus atau yang sakral itu
berarti banyak: satu Tuhan Yang Mahatinggi, dewa-dewi, hal-hal supranatural,
arwah-arwah, leluhur yang dituhankan, orang-orang atau obyek-obyek yang
disucikan, ritus-ritus dan mitos-mitos, tergantung dari iman masing-masing
manusia religius.26 Misalnya dalam Perayaan Ekaristi melalui Roti dan Anggur
dalam persembahan yang belum diberkati dan pada saat diserahkan kepada Imam
atau Imam menerima persembahan Roti dan Anggur tersebut masih dalam
keadaan profan atau biasa saja, tetapi pada saat Imam memberkatinya atau pada
saat dikonsekrasikan maka Roti dan Anggur itu berubah menjadi Tubuh dan
Darah yang dianggap sakral.
Demikian halnya pula benda-benda adat berupa lele, lelbutir, dan mase
dalam konteks kematian benda-benda adat itu tidak semata-mata dipandang
sebagai sesuatu yang suci karena menjadi media representasi dari mereka yang
telah meninggal tetapi benda-benda adat itu menjadi suci karena masyarakat
menganggap sebagai benda yang memiliki nilai sakralitas, pembobotan sakralitas
itu datang dari masyarakat. Misalnya lele, lelbutir, mase tidak sebatas nilai
ekonomis dari benda itu tetapi memiliki nilai magis dan nilai spiritual atau
sakralitas. Dengan kata lain benda sakral tersebut menjadi representasi keluhuran,
kesucian bagi jiwa-jiwa yang dihadirkan melalui benda-benda adat tersebut.
Benda-benda adat dalam perpektif masyarakat Tanimbar mempunyai
kedudukan yang sangat suci mempunyai aspek mistik tetapi juga menganut aspek
sakral yang dibedakan dengan yang profan. Jadi lele, lelbutir, dan mase tidak
sebatas gading Gajah, anting-anting, emas tetapi menjadi sesuatu yang luhur yang
25
Kamirudin. “Fungsi Sosiologis Agama: Studi Profan dan Sakaral menurut Emile Durkheim”
dalam Jurnal Toleransi (Vol. 3 No. 2, 2011). Hml. 164
26
Ibid., Hlm. 35
42
27
Ibid., Hlm. 107
45
agama. Doa dari sisi adat menggunakan bahasa daerah Tanah atau bahasa daerah
yang dianggap Tua dan doa tersebut dibawahkan oleh seorang tua adat tang telah
ditunjuk untuk membawakan doa tersebut. Demikian halnya doa-doa dari sisi
agama yang dibawahkan oleh seorang Imam melalui Misa untuk mengantarkan
jenasah orang yang mati tersebut ke tempat perisitrahatanya yang terakhir.
46
BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpilan
Kematian yang merupakan titik akhir kehidupan manusia di dunia atau batas
titik petualangan manusia. Melalui proses inkulturasi menurut Vivencio Ballano yang
menawarkan tiga proses inkulturasi yakni melihat, menilai, dan memutuskan. Dengan
demikian dalam pemahaman dan praktek kematian menurut masyarakat Tanimbar
dalam buku yang ditulis oleh P. Drabbe mengenai Etnografi Tanibmbar dan melalui
penelitian yang dilakukan ole Willem Batlayeri mengenai Memahami Ritual
Kematian dalam Tradisi Masyarakat Tanimbar dan melalui inkulturasi agama Kristen
yang memberi makna baru tehadap kematian melalui proses inkulturasi dan integrasi
antara agama Kristen dan budaya lokal. Hasil dari integrasi antara agama dan budaya
yakni menerima nilai-nilai baru dan mempertahankan identitas budayanya dalam
tradisi kematian di Tanimbar.
5.2. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
Alaslan, Amtai. “Analisis Nilai-Nilai Budaya Duan Lolat Berbasis Kearifan Lolal
Pada Masyarakat Tanimbar Di Kabupaten Maluku Tenggara Barat” dalam
Jurnal Otonomi (Vol. 11, No. 22, 2018). Hlm. 1-19
Laikyok, E. Hetharion, B. Ima, Wa. “Adat Musamin Les Ber Bat Ine Koli Sauny
Anmatlo Dalam Sistem Perkawinan Masyarakat Desa Manglusi Kabupaten
Kepulauan Tanimbar” dalam Jurnal Pendidikan Sejarah dan Humaniora
(Vol. 3, No. 1, 2023). Hlm. 57-62
Milles, Mattew. & Huberman, Michael. Qualitatif Data Analisis. Thousand Oaks-
London-New Delhi: Sage. 1994
Harapa, Nursapia. “Penelitian Kepustakaan” dalam Jurnal Iqra’. (Vol. 08, No. 01,
2014). Hlm. 68-73
Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Ambon. Traktat Sejarah Gereja Katolik
di Maluku dan Maluku Utara 1522-2020