Anda di halaman 1dari 4

PEMBAHASAN

Pendidikan di Indonesia, khususnya di tingkat Sekolah Dasar (SD), biasanya dilakukan secara
konvensional. Yaitu, siswa dan guru berkumpul di sebuah ruangan untuk melakukan kegiatan belajar-
mengajar. Namun, sejak adanya pandemi Covid-19, sekolah sempat diliburkan selama kurang lebih
setengah tahun. Selanjutnya, Kementerian Pendidikan saat itu membuat kebijakan belajar-mengajar
secara daring. Hal ini, tentu menimbulkan dampak yang serius.

Mari kita analisis, apa saja dampak dari perubahan dari belajar-mengajar secara konvensional menjadi
daring. Berikut kami jabarkan cara analisis dengan teknik 6 M Fishbone yang kami sesuaikan.

1. Faktor siswa (Man)

Siswa SD masih belum bisa belajar secara mandiri, sehingga perlu dampingan dari orang tua. Di
sisi lain, orang tua siswa memiliki latar belakang yang beragam seperti pendidikan, perkerjaan, dan
kesibukan sehingga kewahalahan dalam mendampingi anaknya belajar. Terkadang ketika diberikan
pelajaran, orang tua tidak bisa memahami materi bahan ajar, apalagi siswanya. Jadi, lebih sering
terjadi miskomunikasi. Kemudian, semangat belajar siswa SD juga menurun. Mereka lebih suka
bermain, dibandingkan duduk sambil membaca dan menulis. Akhirnya setiap ada tugas, orang
tuanya lah yang mengerjakannya. Akibatnya, anak menjadi tidak belajar dan tidak memahami
pelajarannya.

2. Faktor bahan ajar (Material)

Kegiatan belajar-mengajar secara daring, menuntut para guru untuk menyampaikan ilmunya
melalui media daring. Bahan ajar yang disampaikan kepada siswa pun biasanya lebih padat dan
ringkas. Selain itu, karena tidak bertatap muka secara langsung, maka guru terkendala untuk
menjelaskan mengenai bahan ajar tersebut kepada siswanya. Akibatnya, terjadi miskomunikasi
antara guru dengan siswa dan orang tuanya.

3. Faktor metode pengajaran (Method)

Metode yang biasa dilakukan oleh para guru adalah memberikan tugas secara daring, baik teori
maupun praktek, yang disampaikan lewat media daring. Contohnya seperti aplikasi Whatsapp,
Google Drive, atau bahkan berbentuk video dengan Youtube. Selanjutnya siswa dituntut untuk
mengerjakan tugas tersebut, seperti mengerjakan soal, atau melakukan gerakan senam dan menari
yang direkam. Lalu hasil pengerjaan tugas tersebut, dikirimkan ke guru masing-masing. Hasilnya
adalah banyak siswa yang salah mengerjakan soal atau melakukan gerakan-gerakan. Namun karena
keterbatasan, guru tersebut tidak dapat mengkoreksi dan menjelaskan sampai paham ke siswa
tersebut. Dikhawatirkan, siswa tersebut mendapatkan pemahaman yang keliru.

4. Faktor pengujian pemahaman siswa (Measurement)

Ada beberapa cara pengujian pemahaman materi belajar oleh siswa SD, seperti pengerjaan
tugas, perekaman kegiatan praktek, dan juga dalam bentuk ujian. Ujian bisa dilakukan secara daring,
tapi juga pernah dilakukan di sekolah dengan protokol kesehatan. Ketika diberikan ujian secara
daring, nilainya berbeda dengan ketika diberikan ujian secara langsung di sekolah. Sehingga,
penilaiannya bisa menjadi bias karena banyak faktor yang mempengaruhi siswa ketika belajar di
rumah maupun di sekolah.

5. Faktor fasilitas (Machine)

Modal utama siswa dan guru dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar adalah alat elektronik
berupa handphone (HP), tablet, komputer, atau laptop. Namun, tidak semua siswa maupun guru
memiliki fasilitas tersebut. Belum lagi, tidak semua siswa, orang tua, dan guru yang memahami cara
penggunaan alat elektronik tersebut.

6. Faktor lingkungan (Mother-Nature)

Setiap siswa dan guru memiliki situasi tempat tinggal yang berbeda-beda. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kegiatan belajar-mengajar. Ada faktor cuaca seperti udara yang panas dan
dingin. Karena daring, maka faktor keberadaan sinyal menjadi hal yang penting. Tidak semua tempat
tinggal siswa dan guru memiliki sinyal yang bagus, sehingga proses pembelajaran daring kurang
efektif. Selain itu, juga ada faktor lingkungan yang kurang mendukung di tempat tinggal siswa.
Contohnya, ketika saatnya belajar, ada salah satu keluarga yang menonton TV, mendengarkan
musik, main HP atau permainan lain, sehingga membuat siswa tidak fokus belajar.

Christoper dan Thor (2001), menjelaskan pengertian dari input, output, dan outcome. Dalam lingkup
dunia pendidikan, input bisa diartikan sebagai siswa, bahan ajar, fasilitas pendidikan, metode
pengajaran, dan lingkungan. Output merupakan hasil yang diterima oleh siswa, seperti pemahaman
terhadap materi akademis maupun non akademis. Outcome merupakan dampak dari output tersebut,
yaitu apakah siswa sudah yang dihasilkan sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia.

Pembelajaran secara daring dinilai kurang efektif dan belum sesuai dengan tujuan pendidikan di
Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan mutu agar kegiatan belajar-mengajar sesuai dengan
tujuan pendidikan di Indonesia.

Salah satu solusi yang akan diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah dengan
menerapkan kegiatan pembelajaran secara tatap muka. Ada beberapa persiapan yang dilakukan oleh
manajemen di SD untuk menghadapi kegiatan pembelajaran tatap muka tersebut.

1. Faktor guru, siswa dan orang tua siswa (Man)


Sebelumnya, sudah dilakukan jajak pendapat kepada orang tua siswa apakah bersedia apabila
putra-putrinya (siswa) diperbolehkan mengikuti pembelajaran secara tatap muka. Hasilnya
disambut positif dengan 100% setuju. Para siswa diperbolehkan mengikuti pembelajaran tatap
muka sesuai dengan protokol kesehatan. Para guru pun, sudah menyiapkan diri untuk mengajar.
2. Faktor bahan ajar (Material)
Bahan ajar yang diberikan disesuaikan dengan kondisi pandemi Covid-19. Untuk pembelajaran
akademis bisa dilakukan seperti biasa. Untuk pembelajaran nonakademis seperti olah raga,
dipilihkan materi olah raga yang menghindari kerumunan. Contoh, olah raga tim seperti sepak
bola atau basket tidak akan dilakukan.
3. Faktor kegiatan pembelajaran (Method)
Kegiatan pembelajaran saat pandemi akan berbeda dengan saat sebelum pandemi. Semuanya
disesuaikan dengan protokol kesehatan. Di gerbang sekolah, ada guru piket yang mengecek
suhu siswa. Apabila suhu di atas 37oCelcius, maka diminta untuk pulang. Alur masuk dan keluar
sekolah pun diatur. Jalur yang dilewati siswa masuk ke kelasnya, dibedakan tiap kelasnya. Dalam
waktu satu jam kegiatan pembelajaran, satu kelas hanya berisikan 5 siswa. Semisal ada 30 siswa,
maka guru melakukan kegiatan pembelajaran selama 6 jam pembelajaran dengan siswa yang
berbeda-beda. Di dalam ruang kelas, setiap siswa wajib menjaga jarak minimal 1 meter.
4. Faktor pemahaman siswa (Measurement)
Pembelajaran, latihan soal, dan ujian akan dilakukan di sekolah. Dengan begini, maka guru dapat
menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah dipahami siswa SD. Selain itu, guru bisa
mengamati langsung apakah siswa dapat memahami materi pembelajaran atau tidak. Bila dalam
pengerjaan ujian terdapat kesalahan, guru dapat mengkoreksi dan menjelaskan secara langsung
agar tidak salah dalam pemahaman siswa.
5. Faktor fasilitas (Machine)
Sarana dan prasarana di SD banyak yang terbengkalai karena tidak digunakan selama lebih dari 1
tahun. Menjelang adanya kegiatan tatap muka, maka gedung, ruang kelas, dan bagian-bagian
sekolah lainnya mulai dibersihkan dan diperbaiki. Fasilitas mengajar seperti proyektor atau
peralatan praktikum juga dipersiapkan. Selain itu, berdasarkan protokol kesehatan,
dipersiapkanlah tempat cuci tangan, kursi-kursi diberi tanda silang agar tidak duduk saling
berdekatan, dan juga dipasang poster edukatif yang mudah dipahami siswa SD.
6. Faktor lingkungan (Mother-Nature)
Lingkungan merupakan faktor yang penting agar siswa mudah memahami materi pembelajaran
dengan baik. Di sekolah, guru akan lebih mudah menciptakan suasana yang positif dalam
pembelajaran. Contohnya, kondisi yang tenang, siswa-siwa semua fokus belajar, tidak ada
gangguan seperti TV, HP, atau teman yang mengajak main.

Perubahan pembelajaran secara daring menjadi tatap muka diharapkan adanya perbaikan mutu dalam
dunia pendidikan, terutama bagi siswa SD. Beberapa faktor di atas direncanakan akan dilakukan pada
hari Senin mendatang yaitu tanggal 26 April 2021. Harapannya, siswa lebih dapat menangkap dan
memahami materi pembelajaran sehingga menjadi manusia yang berpendidikan dan berbudi luhur.

Namun, di dalam nilai dasar komitmen mutu tidak cukup dengan mengadakan perubahan saja dalam
satu waktu saja. Kita sebagai ASN, terutama bagi yang bekerja di bidang pendidikan, harus selalu
berpegang teguh dalam komitmen mutu. Intinya adalah harus dapat beradaptasi dengan pola pikir yang
dinamis. Edward Deming (1982), pada tahun 1950 telah mengemukakan metode untuk selalu berbenah
diri dalam nilai dasar komitmen mutu, yaitu Plan Do Study Act atau disingkat PDSA.

1. Plan atau perencanaan dalam memperbaiki mutu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sudah membuat kebijakan agar dilakukan pembelajaran tatap muka. Manajemen di SD sudah
melakukan beberapa persiapan terkait dengan kebijakan itu. Ditambah lagi, kegiatan
pembelajaran harus sesuai dengan protokol kesehatan. Kegiatan pembelajaran ini pun diawasi
oleh Dinas Pendidikan setempat dan Satgas Covid-19.
2. Do atau melakukan yang sudah direncakan. Kegiatan ini rencananya akan dilakukan besok Senin,
26 April 2021.
3. Study atau mempelajari apakah yang sudah dilakukan sesuai dengan rencana. Setiap kegiatan
memerlukan evaluasi. Karena dengan evaluasi, kita bisa tahu apakah kegiatan yang dilakukan
sudah dilakukan efektif atau tidak.
4. Act atau bertindak dari hasil study apakah yang sudah dilakukan akan dilanjutkan atau tidak. Ada
3 tindakan yang bisa dilakukan setelah evaluasi.
a. Adopt (Adopsi), yaitu apabila kegiatan pembelajaran terbukti mampu mencapai hasil
yang direncanakan, maka perlu kemudian diadopsi atau dilanjutkan.
b. Adapt (Adaptasi), yaitu apabila kegiatan pembelajaran masih ada kekurangan dan perlu
perbaikan, maka perlu kemudian dilakukan penyesuaian agar mencapai hasil yang
direncanakan.
c. Abandon (Pembatalan), yaitu apabila kegiatan pembelajaran tidak menghasilkan
perbaikan yang diharapkan dari pembelajaran daring, maka kegiatan pembelajaran
tatap muka perlu diubah menjadi kegiatan pembelajaran metode lain.

Sumber dari MOOC:

Christopher, William F. and Carl G. Thor. (2001). World-Class Quality & Productivity. Fifteen Strategies
for Improving Performance. Management Library. United Kingdom: Financial World Publishing.

Deming, W. Edwards. 1982. Guide to Quality Control. Cambirdge: Massachussetts Institute Of


Technology

Mungkin perlu ditambahkan di TP

Menurut Pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Indonesia adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut UU nomor 20 tahun 2003, tujuan pendidikan nasional di
Indonesia yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.

Anda mungkin juga menyukai