Anda di halaman 1dari 11

TUGAS FINAL SEMESTER

TEKNOLOGI INFORMATIKA

“MENGANALISIS ISU MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF


FENOMENOLOGI”

DOSEN PENGAMPU : Dr. SUMIMAN UDU, S.Pd, M.Hum.

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK 10

1) MUHAMMAD FIRMANSAH (A1M122016)


2) SANMERYA MANGIWA (A1M122024)
3) MILAWATI (A1M122054)
4) NUR JANNAH SYAM (A1M122061)
5) RASNI (A1M122097)
6) SAFFANAH NUR QANITAH (A1M122104)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2023
A. Menganalisis Isu Media Sosial dalam Prespektif Fenomenologi

1. Pengertian Pendekatan Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata


phainomenon (gejala atau fenomena). Fenomenologi juga berarti ilmu
pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi
itu mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri. Dalam KBBI
fenomenologi adalah ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri
manusia sebagai ilmu yang mendahului filsafat. Seorang Fenomenolog suka
melihat gejala Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Fenomenologi adalah
suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”. Pendekatan fenomenologi
sangat dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi. Pendekatan fenomenologis
memusatkan perhatian pada pengalaman subyektif. Pendekatan ini berhubungan
dengan pandangan pribadi mengenai dunia dan penafsiran mengenai berbagai
kejadian yang dihadapi. Pendekatan tersebut mencoba memahami kejadian
fenomenal yang dialami individu tanpa adanya beban prakonsepsi.

a) Isu Media Sosial

Media sosial merupakan suatu sarana media yang bersifat online yang
dapat di akses melalui platform seperti blog, web, wiki, forum, dan jejaring sosial
lainnya, media sosial memegang peranan penting dalam perkembangan dunia saat
ini terutama dalam ruang lingkup masyarakat. Adapun beberapa isu media sosial
diantaranya, yaitu:

1) Penyebaran Berita Hoax

Media sosial yang semakin berkembang justru menimbulkan prespektif


positif dan juga prespektif negatif karena arus informasi yang sangat banyak dan
berlimpah ruah dimana-mana, namun saat ini banyaknya isu yang tidak benar di
media sosial membuat suatu wilayah menjadi abu-abu atau informasi tersebut bisa
di percaya dan tidak dapat di percaya, semua informasi tercampur di antara
kebenaran dan kebohongan atau seperti yang kita kenal saat ini yaitu hoax.
Informasi dapat dikatakan benar apabila informasi tersebut tersampaikan
dengan fakta yang ada dan dapat dipercaya kebenarannya dalam suatu bentuk
yang nyata dan memiliki makna di dalamnya bagi pembaca, sehingga dapat di
pakai sebagai dasar membuat keputusan.

2) Isu Keamanan
Isu keamanan yang paling disorot adalah keamanan pengguna media sosial
itu sendiri, utamanya anak-anak dan remaja. Kasus pemerkosaan, penipuan,
pembajakan banyak sekali dialami pengguna media sosial. Isu keamanan lainnya
adalah minimnya pengetahuan pengguna media sosial tentang apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan di media sosial. Hanya butuh 30 menit membuat akun
medsos, tetapi dibutuhkan tahapan yang tidak sebentar, untuk mendidik
penggunanya dapat menggunakannya dengan benar dan bijaksana serta
bermanfaat.

3) Isu Kreativitas
Isu kreativitas cukup beragam, yang paling dominan adalah penggunaan
media sosial selain sekedar mencari teman, seperti untuk tujuan ekonomi, politik,
pendidikan, diplomasi, dll. Semakin banyak konten yang diupload di internet
menunjukkan semakin kreatif suatu bangsa.

4) Isu Kolaborasi
Isu kolaborasi adalah bagaimana pengguna media sosial berkolaborasi
dalam hal positif seperti, mempromosikan pariwisata Indonesia, produk lokal
yang produsennya hanya mampu produksi, tapi tidak punya biaya promosi,
kolaborasi dalam anti korupsi, isu lingkungan, serta kolaborasi dalam membela
kepentingan nasional NKRI. Disini perlu disadari bahwa bela negara tidak hanya
di darat dan udara, tapi juga di dunia maya. Itu sebab beberapa negara punya
pasukan cyber. Namun pasukan cyber tanpa dukungan masyarakat negara tersebut
juga tidak akan kuat. Kolaborasi ini yang harus ditingkatkan.
b) Isu Media Sosial dalam Perspektif Fenomenologi

Dalam konteks fenomenologi, media sosial dapat dianalisis melalui


pengalaman subjektif individu yang terlibat dalam interaksi online. Pendekatan ini
menekankan pentingnya memahami bagaimana pengguna media sosial
mengalami, memaknai, dan merespons dunia digital.

Dalam fenomenologi, pengguna media sosial dapat mengalami perasaan


keterhubungan dengan orang lain, kehilangan privasi, dan juga adanya penekanan
pada diri sendiri untuk memperlihatkan kehidupan yang sempurna. Pengguna
media sosial dapat merasakan kebahagiaan, kecemasan, atau bahkan kesepian
akibat interaksi mereka di dunia maya.

Selain itu, fenomenologi juga memerhatikan bagaimana media sosial


memengaruhi konstruksi identitas individu. Interaksi online dapat mempengaruhi
cara seseorang memahami diri mereka sendiri dan bagaimana orang lain
memandang mereka. Pengguna media sosial sering kali menggambarkan
kehidupan mereka dengan cara yang diatur dan dipilih, menciptakan narasi yang
terkadang tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan.

Dalam perspektif fenomenologi, isu-isu seperti kesenjangan digital, privasi,


dan dampak emosional dari penggunaan media sosial juga perlu diperhatikan.
Fenomenologi membantu kita memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
tentang pengalaman individu dalam penggunaan media sosial.

B. Framing dan Buzzer

1. Framing

Framing adalah cara untuk memilih aspek tertentu dari realitas untuk
disajikan kepada khalayak. Teori framing dapat diterapkan pada berbagai situasi,
termasuk media massa, kampanye politik, dan pemilihan produk. Framing media
adalah pembingkaian media dalam memberitakan sebuah isu atau topik yang
beredar di masyarakat luas. Media dalam hal ini yaitu media berita lokal, nasional,
maupun internasional.

a) Penyebab Framing

Framing di jalankan oleh suatu media dengan menyeleksi isu-isu tertentu


dan mengabaikan isu yang lainnya dan menonjolkan aspek dari isu tersebut
dengan menggunakan berbagai macam strategi wacana penempatan yang yang
mencolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat
penonjolan suatu isu, pemakaian kabel tertentu ketika menggambarkan orang atau
peristiwa yang diberitakan. Semua aspek itu di pakai untuk membuat dimensi
tertentu dari konstruksi berita menjadi suatu yang bermakna dan mudah di ingat
oleh khayalak agar mengetahui bagaimana prespektif atau cara pandang yang di
gunakan untuk menyeleksi isu yang akhirnya menentukan fakta apa yang di
ambil, bagian mana yang harus di tonjolkan dan harus dihilangkan dan hendak di
bawa kemana berita tersebut.

b) Solusi Framing

Analisis framing digunakan untuk melihat konteks sosial- budaya suatu


wacana, khususnya hubungan antar berita dan ideologi, yakni proses atau
mekanisme mengenai bagaimana berita membangun, mempertahankan,
mereproduksi, mengubah, dan meruntuhkan ideologi. Analisis framing dapat
digunakan untuk melihat siapa mengendalikan siapa dalam suatu struktur
kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan, siapa si pendindas dan si
tertindas, tindakan politik mana yang konstitusional dan yang inkonstitusional,
kebijakan publik mana yang harus didukung dan tidak boleh didukung, dsb.

Maka, perlu untuk memahami pendekatan konstruktivis mengenai proses


pembuatan berita, sebagaimana dinyatakan Gamson dan Modigliani, “Wacana
media dapat dikonsepsikan sebagai seperangkat kemasan interpretif yang
memberi makna pada suatu isu. Suatu kemasan memiliki struktur internal. Intinya
adalah suatu gagasan yang mengorganisasikan, atau suatu kerangka (frame), untuk
memahami peristiwa- peristiwa yang relevan, menyarankan apakah isu tersebut”.
c) Dampak Positif Framing

Dampak positif framing dalam media sosial dapat terjadi ketika framing
digunakan secara konstruktif untuk menghasilkan efek yang menguntungkan.
Beberapa dampak positif framing dalam media sosial antara lain:

i. Kesadaran dan pemahaman yang meningkat: Melalui framing yang tepat,


media sosial dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman
terhadap isu-isu penting dalam masyarakat. Framing yang efektif dapat
membantu menjelaskan informasi yang kompleks atau nuansa suatu topik
dengan cara yang mudah dipahami oleh khalayak yang lebih luas.
ii. Mobilisasi dan aktivisme: Framing yang kuat dan memotivasi dapat
menggerakkan pengguna media sosial untuk berpartisipasi dalam aksi
kolektif atau aktivisme terkait suatu isu. Dengan menggunakan framing
yang memicu emosi positif, media sosial dapat memotivasi individu untuk
berbagi informasi, memobilisasi dukungan, atau terlibat dalam tindakan
yang bertujuan untuk mencapai perubahan sosial.
iii. Pendidikan dan kesadaran: Media sosial dapat digunakan untuk
menyebarkan pesan-pesan pendidikan dan kesadaran tentang berbagai
masalah sosial, lingkungan, atau kesehatan. Framing yang tepat dapat
membantu menyampaikan pesan-pesan ini dengan cara yang menarik dan
relevan bagi audiens, sehingga meningkatkan pemahaman dan memicu
tindakan yang positif.
iv. Pengaruh positif dan dukungan sosial: Dengan menggunakan framing
yang positif dan inspiratif, media sosial dapat mempengaruhi pikiran dan
emosi pengguna secara positif. Pesan-pesan yang mempromosikan
kebaikan, solidaritas, atau motivasi dapat menciptakan iklim dukungan
sosial yang kuat di antara pengguna media sosial.
v. Promosi solusi dan perubahan: Framing yang baik dapat fokus pada solusi
dan perubahan positif daripada hanya memperlihatkan masalah. Media
sosial dapat digunakan untuk mempromosikan ide-ide, inisiatif, atau
tindakan yang bertujuan untuk mencapai perubahan yang positif dalam
masyarakat. Dengan menggunakan framing yang menginspirasi, media
sosial dapat menjadi sarana untuk mendorong perubahan sosial yang lebih
baik.
d) Dampak Negatif Framing.

Contoh framing negatif dari pemberitaan media seputar penangkapan


terduga teroris di wilayah DIY. (a) Densus 88 Tangkap Polwan Terduga Jaringan
ISIS di Yogyakarta, inews.id, Kamis (3/10/2019), (b) Densus 88 Tangkap Suami
Istri di DIY, Buku Agama Diamankan, vivanews.com, Kamis (19/12/2019), (c)
Kelola PAUD, Terduga Teroris Sleman Simpan Zat Kimia hingga Buku Khilafah,
SuaraJogja.id, Jumat (20/12/2019), (d) Terduga Teroris di Sleman Dikenal
Eksklusif dalam Beragama, vivanews.com, Sabtu (21/12/2019.).

Benda-benda yang mengarah simbol keagamaan seperti buku tentang


jihad, tauhid, khilafah dan sejenisnya “mungkin” memang ditemukan di lokasi
penangkapan terduga teroris. Tapi, apakah serta-merta keberadaannya menjadi
indikasi bahwa Muslim adalah seorang teroris? Jelas framing seperti ini telah
mencitraburukkan Muslim sebagai sosok jahat. Memberikan kesan bahwa teroris
dan radikal “pasti” Muslim, bahkan yang faham dan taat beragama. Penggiringan
opini ini tentu berbahaya bagi kehidupan beragama umat Islam.

e) Kebenaran Berbasis Framen

Melihat kebenaran berbasis framen berarti memahami bahwa cara


informasi disajikan atau diungkapkan dapat mempengaruhi persepsi dan
interpretasi orang terhadap suatu peristiwa atau isu. Framing adalah teknik yang
digunakan oleh media atau pihak-pihak tertentu untuk mempengaruhi cara orang
memahami dan merespons suatu topik atau kejadian. Dalam hal ini, kebenaran
dapat “dibingkai” secara berbeda oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuan atau
agenda tertentu.

2. Buzzer

Buzzer adalah orang yang memanfaatkan akun sosial media miliknya guna
menyebarluaskan informasi atau melakukan suatu promosi maupun iklan dari
suatu produk atau jasa pada perusahaan atau instansi. Mereka bisa mendapatkan
penghasilan dengan mempromosikan, mengkampanyekan, atau mendengungkan
suatu topik.kalau menurut pandangan ku tentang buzzer itu seperti misalkan kita
promosi kan buku tulis karya ilmiah kepada siswa bagaimana cara agar kita
menulis karya tulis ilmiah yang baik dan benar itu harus menggunakan kata yang
baku, berdasarkan fakta, bersifat objektif dan format penulisan harus sesuai
dengan kaidah pedoman yang berlaku.

a) Penyebab Buzzer

Ada beberapa penyebab yang dapat mendorong munculnya praktik buzzer


dalam media sosial. Berikut adalah beberapa faktor yang berkontribusi terhadap
fenomena buzzer:

i. Komersialisasi dan influencer marketing: Buzzer seringkali menjadi


bagian dari industri influencer marketing di mana mereka dibayar oleh
perusahaan atau organisasi untuk mempromosikan produk, layanan, atau
agenda tertentu di media sosial. Dorongan finansial ini mendorong
individu untuk menjadi buzzer dengan harapan mendapatkan penghasilan
atau manfaat lainnya.
ii. Keuntungan ekonomi: Praktik buzzer bisa menghasilkan pendapatan yang
cukup tinggi bagi individu yang memiliki jumlah pengikut yang besar atau
memiliki pengaruh yang signifikan di media sosial. Dalam beberapa kasus,
buzzer dapat memanfaatkan popularitas mereka untuk mendapatkan
perjanjian endorse atau sponsor, yang kemudian memberi mereka
keuntungan finansial.
iii. Meningkatnya popularitas media sosial: Media sosial telah menjadi
platform yang kuat dan berpengaruh dalam memengaruhi opini dan
perilaku pengguna. Ketika media sosial menjadi semakin populer, muncul
kebutuhan bagi perusahaan dan organisasi untuk menggunakan media ini
sebagai alat pemasaran. Buzzer adalah salah satu cara bagi mereka untuk
menyebarkan pesan mereka kepada audiens yang lebih luas.
iv. Meningkatnya permintaan konten viral: Di media sosial, konten yang viral
atau sangat populer bisa menjadi tujuan banyak pengguna. Buzzer yang
cerdas dan terampil dapat menciptakan atau mempercepat penyebaran
konten tersebut dengan tujuan mendapatkan perhatian dan popularitas
yang lebih besar.
v. Tantangan algoritma media sosial: Algoritma yang digunakan oleh
platform media sosial untuk menyaring dan menampilkan konten dapat
membuat sulit bagi pengguna atau perusahaan untuk mencapai jangkauan
yang lebih luas secara organik. Dalam upaya untuk mengatasi tantangan
ini, buzzer dapat digunakan sebagai alat untuk menghasilkan interaksi dan
perhatian yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan kemungkinan konten
mereka tampil di feed pengguna lain.
vi. Persaingan dan peningkatan eksposur: Dalam lingkungan media sosial
yang penuh dengan informasi dan konten yang bersaing, buzzer mungkin
merasa perlu untuk menonjol dan mendapatkan eksposur yang lebih besar.
Dengan menggunakan strategi buzzer, mereka dapat mencoba untuk
memperoleh popularitas, pengikut, atau pengakuan yang lebih tinggi.
vii. Tantangan regulasi dan penegakan hukum: Regulasi dan penegakan
hukum terkait praktik buzzer masih dalam tahap perkembangan di banyak
negara. Kekurangan regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang efektif
dapat menciptakan lingkungan di mana praktik buzzer dapat berkembang
tanpa banyak kendala.

b) Solusi Buzzer
Ismail mengatakan bahwa buzzer pada dasarnya netral, bisa digunakan
berbagai keperluan dari promosi produk hingga politik. Bagaimanapun,
menurutnya warganet harus selalu kritis pada narasi yang dibangun oleh buzzer.
“Kadang-kadang buzzer itu menyampaikan pandangan politik tertentu yang kira-
kira tidak berbahaya, ya sudah biarkan saja. Ada juga yang membangun satu
opini, pendapat yang mungkin merugikan publik secara umum... [Saat itu] saya
kira publik harus bersuara,” ujarnya.

Ia mencontohkan kasus Bintang Emon, yang memicu gerakan solidaritas


dari warganet secara umum – bukan kelompok yang pro atau kontra terhadap
rezim –, dipimpin oleh para komika dan pengikutnya. Emon menjadi sosok yang
mewakili mereka untuk menyampaikan pendapat dengan cara yang kreatif.

c) Dampak Positif Buzzer

Jika digunakan untuk strategi bisnis dalam proses komunikasi dan


pemasaran, buzzer bisa menjadi alternatif yang cukup bagus, terutama jika ingin
mengambil pasar atau menggaet konsumen melalui media sosial. Dengan jasa
buzzer, suatu produk atau brand bisa menjadi viral dan banyak dikenal masyarakat
sehingga akan berpengaruh terhadap proses penjualan dan permintaan.

d) Dampak Negatif Buzzer

Jika buzzer digunakan untuk tujuan yang negatif, bisa berdampak buruk.
Misalkan saja buzzer digunakan sebagai serangan untuk menjatuhkan citra lawan
politik di sosial media, entah dalam urusan politik atau urusan lainnya, hal ini
tentu sangat berbahaya dan merugikan orang lain.

e) Pandangan Buzzer Menurut Kelompok 10

Menurut kelompok kami, buzzer dan kebenaran di era media sosial adalah
sebagai berikut. (1) buzzer merujuk pada individu atau kelompok yang secara
aktif menyebarkan pesan atau opini tertentu melalui media sosial dengan tujuan
mempengaruhi pandangan publik atau menciptakan opini yang mendukung
agenda mereka. (2) buzzer dapat menjadi kendala dalam mencari kebenaran di era
media sosial karena mereka cenderung memperkuat atau memperkuat framing
tertentu yang sesuai dengan tujuan mereka, terlepas dari fakta atau kebenaran
objektif. (3) buzzer dan kelompok tertentu dapat dengan mudah mengeksploitasi
dinamika media sosial untuk menyebarkan narasi yang menguntungkan mereka,
bahkan jika narasi tersebut tidak sepenuhnya didasarkan pada fakta yang
diverifikasi.

Anda mungkin juga menyukai