Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KONDISI SEKTOR PETERNAKAN DI INDONESIA SAAT INI

DOSEN PENGAMPU:
Rifa Rafi’atu SW, M.Si

DISUSUN OLEH:
Muhamad Arif (02.03.22.301)
Muhammad Mulya Bagas (02.03.22.302)
Muhammad Rama Saputra (02.03.22.308)
Rafi Ernanda (02.03.22.315)
Safa Ayu Agisni (02.03.22.319)
Salsabila Abdi Hanipah (02.03.22.322)
Sultan Alim Mubarok (02.03.22.325)

JURUSAN PETERNAKAN
PROGRAM STUDI PENYULUHAN PETERNAKAN DAN
KESEJAHTERAAN HEWAN
POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN BOGOR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik meskipun masih banyak kekurangan didalamnya. Dan kami juga
ucapkan terima kasih banyak kepada ibu Rifa Rafi’atu SW, M.Si selaku dosen
pengampu Pengantar Peternakan dan Kesejahteraan Hewan yang telah
memberikan tugas ini kepada kami, sehingga kami bisa mengetahui lebih dalam
tentang kondisi sektor peternakan di Indonesia saat ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
karena terbatasnya pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik sekalipun dari
berbagai pihak. Kami harap makalah ini bisa bermanfaat bagi dunia pendidikan
khususnya di Perguruan Tinggi.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
A.LATAR BELAKANG ..................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................ 2
C.TUJUAN .......................................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 8
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 8
POPULASI SAPI ................................................................................................ 8
POPULASI KERBAU......................................................................................... 8
POPULASI KUDA ............................................................................................. 9
POPULASI KAMBING ...................................................................................... 9
POPULASI DOMBA ........................................................................................ 10
POPULASI BABI ............................................................................................. 10
POPULASI AYAM ........................................................................................... 11
POPULASI ITIK ............................................................................................... 12
POPULASI KELINCI ....................................................................................... 12
SITUASI MAKRO DAN PERMASALAHAN KINI ....................................... 12
Ancaman Dibalik Pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan ........................ 10
Subsektor Peternakan dan Kesempatan Kerja ............................................... 11
Investasi dan Mutu Pelayanan yang Rendah ................................................. 14
BAB III.................................................................................................................. 15
PENUTUP ............................................................................................................. 15
Kesimpulan ........................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

ii
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Subsektor peternakan merupakan salah satu subsektor yang memberikan
kontribusi pada perekonomian nasional serta mampu menyerap tenaga kerja
secara signifikan, sehingga dapat diandalkan dalam upaya perbaikan
perekonomian nasional. Hal tersebut tergambar dari hasil Sensus Pertanian 2013
(ST2013) bahwa jumlah rumah tangga peternakan di Indonesia mencapai 13,56
juta rumah tangga. Di samping itu ketersediaan produk peternakan secara
langsung akan meningkatkan status gizi masyarakat, khususnya untuk pemenuhan
kalori dan protein hewani. Pemenuhan konsumsi masyarakat atas kalori dan
protein hewani akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Salah satu permasalahan dalam peningkatan peran subsektor peternakan adalah
masih minimnya data dan informasi yang akurat. Oleh karena itu untuk
membangun subsektor peternakan diperlukan strategi yang baik sehingga bisa
menyajikan data dan informasi yang akurat dan up to date. Data peternakan yang
diterbitkan BPS selama ini masih terbatas pada data jumlah rumah tangga
peternakan, populasi ternak, struktur usaha peternakan baik rumah tangga maupun
perusahaan, serta data pemotongan ternak di Rumah Potong Hewan
(RPH)/Tempat Pemotongan Hewan (TPH). Data yang diterbitkan tersebut masih
dianggap kurang mampu untuk menjawab dinamika kebutuhan data yang semakin
meningkat dari waktu ke waktu.
Data peternakan tidak hanya terkait dengan data sektoral khususnya populasi
dan produksi peternakan, tetapi juga semakin dirasakan perlunya mengaitkan data
produksi dengan data pendukung lainnya seperti konsumsi, harga, termasuk data
ekspor dan impor. Hal tersebut diperlukan mengingat keterkaitan antar data
tersebut saling mempengaruhi sehingga dalam pengambilan kebijakan oleh
1

pemerintah dapat mempertimbangkan berbagai aspek yang saling berhubungan


satu dengan yang lain.
Untuk menjawab keperluan data peternakan tersebut maka dianggap perlu untuk
menyajikan data komprehensif subsektor peternakan yang dapat dijadikan sebagai
pedoman oleh berbagai pihak khususnya pemerintah dalam perencanaan dan
evaluasi pembangunan peternakan di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah makalah ini, yaitu untuk mengetahui bagaimana kondisi sektor
peternakan yang ada di Indonesia saat ini.

C. TUJUAN
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami
kondisi sektor peternakan yang ada di Indonesia saat ini.
3

BAB II. PEMBAHASAN

POPULASI SAPI
Pada tahun 2015 populasi sapi potong di Indonesia sebesar 15,42 juta ekor
dan terus bertumbuh secara positif hingga mencapai 17,44 juta ekor pada tahun
2020, dan pada tahun 2021 mencapai 18,05 juta ekor. Menurut pulau, populasi
sapi potong di pulau Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2021 mengalami
peningkatan persentase terbesar bila dibandingkan tahun sebelumnya yaitu
sebesar 5,55 persen, kemudian diikuti kenaikan di Pulau Sulawesi sebesar 4,70
persen, serta kenaikan di Pulau Sumatera sebesar3,94 persen. Pulaupulau yang
lain menunjukkan tren yang cenderung stagnan namun semakin meningkat. Jika
dikelompokkan berdasarkan provinsi , provinsi Jawa Timur merupakan provinsi
dengan populasi sapi potong tertinggi di Indonesia sebanyak 4,94 juta ekor pada
tahun 2021, diikuti oleh Jawa Tengah sebanyak 1,86 juta ekor dan Sulawesi
Selatan sebanyak 1,46 juta ekor. Sedangkan DKI Jakarta merupakan provinsi
dengan populasi sapi potong terendah yakni dari 1.805 ekor pada tahun 2021.
Populasi sapi perah di Indonesia juga masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Hal tersebut ditunjukkan dengan besarnya populasi sapi perah di Pulau Jawa yang
mencapai lebih dari 513 ribu ekor pada tahun 2015 kemudian terus meningkat
hingga mencapai lebih dari 569 ribu ekor pada tahun 2021.
Populasi sapi perah tertinggi terdapat di Jawa Timur sekitar 301,78 ribu ekor,
diikuti oleh Jawa Tengah sebanyak 142,12 ribu ekor, dan Jawa Barat sebanyak
119,92 ribu ekor pada tahun 2021. Sedangkan Bali, Kalimantan Tengah,
Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat adalah
provinsi-provinsi yang tidak ada populasi sapi perah pada tahun 2021.

POPULASI KERBAU
Secara umum populasi kerbau antara tahun 2015 sampai dengan tahun 2021
mengalami turun naik untuk jumlah populasinya yaitu 1,34 juta di tahun 2015
kemudian menurun tiap tahunnya sampai dengan tahun 2018 yaitu berjumlah 894
ribu ekor. Kemudian pada tahun 2019 mulai ada kenaikan hingga sekarang yaitu
1

menjadi sebanyak 1,19 juta ekor pada tahun 2021. Berbeda dengan populasi sapi
potong dan sapi perah yang dominan berada di Pulau Jawa, populasi kerbau
terbesar justru terdapat di Sumatera yaitu sebesar 37,96 persen, dan Pulau Bali
dan Nusa Tenggara sebesar 25,96 persen. Sedangkan populasi kerbau di Pulau
Jawa masih dibawah 20 persen. Untuk pertumbuhan populasi kerbau di pulau-
pulau lain menunjukkan grafik yang relatif stabil, namun ternyata tidak
berdampak signifikan bagi pertumbuhan populasi kerbau secara nasional oleh
karena ukuran populasi di pulau-pulau tersebut relatif rendah. Jadi untuk populasi
ternak besar yaitu populasi sapi potong, sapi perah, dan kerbau sebagian besar
terdapat di Pulau Jawa. Besar kemungkinan karena beberapa faktor diantaranya
adalah tingkat kebutuhan/konsumsi daging di Pulau Jawa relatif lebih besar jika
dibandingkan dengan kebutuhan daging di luar Pulau Jawa. Faktor lain adalah
infrastruktur, teknologi dan industri peternakan yang lebih maju di Pulau Jawa
dibanding dengan daerah-daerah lainnya, terutama industri penyediaan pakan
ternak sehingga subsektor peternakan dapat berkembang lebih baik.

POPULASI KUDA
Populasi kuda di Indonesia pada tahun 2015 tercatat 0,43 juta ekor dan terus
mengalami pertumbuhan negatif hingga mencapai hanya 0,37 juta ekor di tahun
2019 dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar minus 1,08 persen sampai
dengan tahun 2021. Untuk pertumbuhan populasi babi tahun 2021 sudah mulai
ada kenaikan pertumbuhannya yaitu sekitar 0,58 persen per tahunnya. Tren yang
cukup menggembirakan terjadi pada populasi domba yang setiap tahun
mengalami pertumbuhan yang positif dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0,97
persen per tahun. Sedangkan populasi kambing secara rata-rata juga mengalami
pertumbuhan positif sebesar 0,23 persen per tahun.

POPULASI KAMBING
Populasi kambing di indonesia pada tahun 2015 tercatat 19,01 juta ekor dan
bergerak perlahan hingga mencapai 19,23 juta ekor pada tahun 2021.secara
1

regional ,populasi kambing tertinggi berada di pulau jawa. Provinsi jawa tengah
merupakan provinsi dengan populasi kambing terbesar di indonesia sebanyak 3,79
juta ekor.populasi selanjutnya terdapat di jawa timur sebanyak 3,76 juta ekor, di
ikuti oleh lampung sebanyak 1,57 juta ekor . sedangkan kepulauan bangka
belitung dan DKI jakarta merupakan provinsi dengan populasi kambing terendah
pada tahun 2021 .

POPULASI DOMBA
Populasi domba di Indonesia pada tahun 2015 tercatat sebanyak 17,02 juta
ekor dan sering mengalami pertumbuhan naik turun setiap tahunnya hingga
mencapai 17,90 juta ekor di tahun 2021. Secara regional, populasi domba
mengelompok di Pulau Jawa . Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan
populasi domba terbesar di Indonesia sebanyak 12,25 juta ekor. Dengan kata lain,
provinsi Jawa Barat berperan dalam menyumbangkan hampir 68,41 persen dari
total populasi domba di Indonesia. Provinsi lain yang memiliki populasi cukup
besar juga masih berada di pulau jawa, yakni Jawa Tengah sebanyak 2,33 juta
ekor dan Jawa Timur sebanyak 1,46 juta ekor. Sedangkan Papua Barat, Maluku
Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Bali
merupakan provinsi dengan jumlah populasi domba terendah pada tahun 2021.

POPULASI BABI
Populasi babi di Indonesia pada tahun 2015 tercatat 7,81 juta ekor namun di
tahuntahun selanjutnya terus mengalami pertumbuhan walaupun pada tahun 2020
sempat mengalami penurunan. Kemudian pada tahun 2021 ada kenaikan populasi
babi menjadi 8,01 juta ekor. Jika dikelompokkan menurut provinsi, Nusa
Tenggara Timur merupakan provinsi dengan jumlah populasi babi tertinggi di
tahun 2021 yakni sebanyak 2,60 juta ekor . Secara proporsi, provinsi ini
menyumbangkan sekitar 32,43 persen terhadap total populasi babi di Indonesia.
Sedangkan provinsi dengan jumlah populasi babi terbesar berikutnya yakni Papua
dan Sulawesi Selatan menyumbangkan masing-masing sekitar 12,77 persen dan
12,07 persen terhadap total populasi babi di Indonesia. Hal ini cukup
menggambarkan banyaknya permintaan konsumen akan daging babi pada ketiga
1

provinsi ini. Sedangkan provinsi-provinsi lain hanya menyumbangkan sekitar 5


persen atau kurang terhadap total populasi babi di Indonesia.

POPULASI AYAM
Populasi ayam ras pedaging di Indonesia pada tahun 2015 tercatat 1,53 miliar
ekor dan terus mengalami pertumbuhan yang positif hingga mencapai hanya 3,01
miliar ekor di tahun 2021 dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 15,46
persen. Pertumbuhan populasi ayam ras petelur tahun 2018 sempat mengalami
penurunan tetapi mulai tahun 2019 sampai dengan sekarang terus mengalami
peningkatan dengan rata –rata pertumbuhan sebesar 4,35 per tahun .populasi ayam
kampung pada tahun 2015 sebesar 285,30 juta ekor dan pada tahun 2021
mencapai 317,05 juta ekor dengan rata –rata pertumbuhan per tahun sebesar 1,78
persen .
Provinsi yang memiliki populasi ayam ras pedaging terbesar pada tahun 2021
yaitu Jawa Barat dengan populasi sebesar 780 juta ekor, diikuti oleh Jawa Tengah
sebesar 580 juta ekor dan Jawa Timur sebesar 401 juta ekor. Sedangkan provinsi
terendah yaitu DKI Jakarta dan Maluku Utara. Populasi ayam ras petelur di
Indonesia pada tahun 2021 mencapai 368,19 juta ekor. Populasi terbesar berada di
Pulau Jawa sebesar 232,88 juta ekor. Provinsi dengan populasi ayam ras petelur
terbesar yaitu Jawa Timur sebesar 119,57 juta ekor. Populasi ayam kampung pada
tahun 2021 mencapai 317,05 juta ekor. Sebagian besar populasi ayam kampung
berada di Pulau Jawa dan Sumatera sebesar 37,73 persen dan 26,92 persen.
Provinsi dengan populasi ayam kampung terbesar yaitu Jawa Tengah dan Jawa
Timur masing-masing sebesar 40,02 juta ekor dan 38,14 juta ekor. Peningkatan
tertinggi populasi ayam kampung dalam enam tahun terakhir terjadi pada tahun
2021 yaitu sebesar 3,80 persen dibandingkan dengan tahun 2020. Untuk rata-rata
pertumbuhan selama periode waktu tersebut pertumbuhannya hanya mencapai
1,78 per tahunnya.
1

POPULASI ITIK
Populasi itik manila di Indonesia tahun 2021 tercatat 8,34 juta ekor. Secara
regional/ pulau, populasi itik manila terbesar pada Pulau Jawa kemudian untuk
tingkat provinsi, Provinsi Jawa Barat mbemiliki populasi teranyak yaitu sebesar
1,67 juta ekor, Jawa Timur sebanyak 1,55 juta ekor dan Jawa Tengah 1,43 juta
ekor. Populasi burung puyuh di Indonesia tahun 2021 tercatat 15,23 juta ekor.
Provinsi dengan populasi burung puyuh terbesar adalah Provinsi Jawa Tengah
sebanyak 4,59 juta ekor disusul oleh Jawa Timur sebanyak 4,29 juta ekor.

POPULASI KELINCI
Populasi kelinci di Indonesia tahun 2021 tercatat sekitar 1,20 juta ekor.
Secara regional/pulau, populasi kelinci terbesar berada di Pulau Jawa. Bila
dijabarkan menurut Provinsi populasi kelinci terbesar menurut provinsi yaitu Jawa
Timur sebanyak 353,50 ribu ekor disusul oleh Jawa Tengah sebanyak 320,62 ribu
ekor.

SITUASI MAKRO DAN PERMASALAHAN KINI

Ancaman Dibalik Pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan

Pertumbuhan PDB subsektor peternakan selama 15 tahun terakhir sangat


dipengaruhi oleh perekonomian dunia. Pada kondisi puncak sebelum tahun 1997,
pertumbuhan PDB subbsektor peternakan lebih tinggi dibandingkan sektor
pertanian. Namun ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997 hingga tahun 2000,
industri peternakan modern khususnya ayam ras dan penggemukan (feedlot) sapi
potong mengalami kolaps. Salah satu penyebab industri peternakan modern
kolaps adalah akibat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku dan
teknologi impor. Sampai saat ini, Indonesia secara rutin mengimpor bibit ayam
ras, sapi bakalan, bahan baku pakan, antibiotika dan suplemen pakan. Pengalaman
yang terjadi dalam krisis ekonomi di atas mengingatkan pada pemerintah pada
1

kenyataan bahwa pertumbuhan tinggi tidak menjamin stabilitas perekonomian.


Pertumbuhan ekonomi belum tentu menjawab semua permasalahan.
Setelah tahun 2000, industri ayam ras dan feedlot segera pulih kembali
dengan mencapai tingkat pertumbuhan melampaui pertumbuhan PDB Nasional.
Demikian juga dengan pangsa PDB Subsektor Peternakan terus meningkat
terhadap PDB nasional, walaupun hal sebaliknya terjadi pada PDB Pertanian.
Fenomena ini mengindikasikan PDB Subsektor Peternakan masih potensial untuk
ditingkatkan dan merupakan subsektor yang mampu memicu pertumbuhan PDB
Sektor Pertanian. Untuk tahun 2006-2009 pertumbuhan diramalkan akan
mengalami kenaikan yang berarti (Yusdja et al., 2006).
Namun demikian, karena informasi yang diperoleh sangat terbatas, tidak
dapat dijelaskan bagaimana rincian kontribusi jenis ternak dalam menyumbang
terhadap PDB subsektor peternakan. Bisa diduga bahwa sumbangan terbesar
berasal dari peningkatan nilai tambah usaha penggemukan sapi potong
domestik/impor dan ayam ras. Karena itu, pertumbuhan subsektor peternakan
yang diramalkan tinggi pada masa datang, kemungkinan berasal dari pengurasan
sapi potong. Artinya pertumbuhan PDB subsektor peternakan yang tinggi
tersebut, bukan berita menggembirakan, karena bisa jadi ancaman bagi kelestarian
sapi domestik dan dalam jangka panjang akan mendorong peningkatan impor
pangan asal ternak. Karena itu dari sisi konsumsi, subsektor peternakan perlu
melakukan evaluasi intensif terhadap pertumbuhan yang terjadi, apakah kondisi
saat ini mempunyai dampak buruk dalam waktu jangka panjang atau tidak.

Subsektor Peternakan dan Kesempatan Kerja


Peranan Subsektor Perternakan dalam penyerapan tenaga kerja dapat dilihat
dari jumlah rumah tangga peternak (RTP). Selama 10 tahun terakhir, terjadi
peningkatan RTP yang relatif kecil dari 5,62 juta pada tahun 1993 menjadi 5,63
juta pada tahun 2003. Peningkatan yang relatif kecil tersebut disebabkan banyak
usaha peternakan kolaps akibat merebaknya penyakit flu burung pada tahun 2002-
2003 di berbagai wilayah di Indonesia, terutama Jawa.
1

Sensus Pertanian 1983 dan 1993 menunjukkan bahwa usaha sapi potong
melibatkan paling banyak RTP yaitu 2,95 juta. Dibandingkan usaha ternak lain,
usaha ternak ayam ras melibatkan RTP yang relatif kecil. Hal ini disebabkan
penyebaran usaha ternak tersebut masih terkonsentrasi di Jawa dan hanya
beberapa daerah tertentu di luar Jawa (BPS, 2006).
Gambaran penyerapan tenaga kerja di atas bukanlah untuk memperlihatkan
keberhasilan pembangunan peternakan. Paradigma lama yang mengatakan bahwa
subsektor peternakan merupakan lapangan usaha masyarakat banyak perlu dikaji
kembali. Karena itu, subsektor peternakan khususnya usaha peternakan pengguna
teknologi tinggi harus difokuskan pada produksi pangan kendai harus padat
modal. Dalam hal ini, Indonesia telah memiliki pengalaman yang sangat mahal,
dalam kasus wabah AI (Avian Influenza). Dalam kasus wabah AI tahun 2003 dan
2005, Industri peternakan dalam negeri mengalami kemunduran produksi yang
sangat tajam. Pengusaha yang paling menderita adalah peternakan skala
menengah dan peternakan rakyat (Yusdja et al., 2005). Sampai saat ini, usaha
peternakan rakyat sulit melakukan recovery sehingga struktur produksi industri
perunggasan bergeser pada usaha padat modal berteknologi tinggi. Hal yang sama
juga terjadi di luar negeri pada kasus Sapi Gila (Delquigny et al., 2004).
Pengalaman yang mahal ini cukup mengingatkan pemerintah bahwa usaha
peternakan berperan menghasil pangan dan bahan baku industri berdaya saing
tinggi dengan memanfaatkan keunggulan komparatif secara ilmiah.
Gambar 1 memperlihatkan sketsa cara berpikir paradigma baru, dimana
subsektor peternakan mempunyai peran mendukung pertumbuhan dan
perkembangan industri yang terkait, dan karena itu industri terkait tersebut
berfungsi sebagai penyedia lapangan kerja dan lapangan usaha. Jenis industri
terkait cukup banyak, beberapa di antaranya adalah industri pangan dan industri
rumah potong. Industri pangan dapat digolongkan pada tiga kelompok industri
yakni kecil, menengah dan besar (BPS, 2006). Industri kecil dan menengah yang
menggunakan bahan baku hasil ternak berjumlah sangat besar, terutama industri
rumah tangga. Dapat dikatakan bahwa usaha peternakan mempunyai peran yang
1

besar untuk mendukung industri makanan ini. Atas dasar itulah, pemikiran bahwa
usaha peternakan merupakan usaha padat karya adalah keliru.

Investasi dan Mutu Pelayanan yang Rendah


Peran investasi sangat dibutuhkan dalam meningkatkan agribisnis peternakan
dan investasi publik. Investasi mendorong pertumbuhan usaha peternakan dan
menimbulkan efek multiplier yang luas. Sumber investasi bagi pembangunan
peternakan selama berasal dari dana pemerintah, PMDN dan PMA. Namun, sejak
masa reformasi dan kesulitan dana pembangunan, kegiatan pemerintah banyak
difokuskan pada usaha memberikan pelayanan. Gambar 2 memperlihatkan
perkembangan investasi dalam subsektor Peternakan (Anonym, 2006). Investasi
tertinggi dicapai tahun 2001 sebesar Rp. 200 milyar lebih, namun kemudian terus
menurn sampai tahun 2004, naik sedikit pada tahun 2005 dan turun kembali pada
tahun 2006. Berdaarkan jumlah investasi yang relatif kecil tersebut dibandingkan
kebutuhan dan juga berdasarkan bentuk fluktuasi kurva investasi yang cenderung
menurun, memperlihatkan tiada gejala investasi subsektor peternakan akan
berkelanjutan.
Jika dilihat lebih jauh ternyata investasi PMA yang terjadi dalam 5 tahun
terakhir hanya 10 persen dari total investasi peternakan. Jika investasi peternakan
dibandingkan dengan investasi pertanian, hanya sekitar 9 persen. Kesimpulan
yang dapat diambil dari perkembangan investasi tersebut adalah bahwa usaha
peternakan dalam negeri tidak mempunyai daya saing yang tinggi sehingga tidak
menarik para investor untuk menanamkan modalnya. Bahkan dalam sektor
pertanian sendiri usaha peternakan belum mempunyai posisi yang dapat
diandalkan.
Perkembangan kemajuan investasi yang tidak menggembirakan di atas dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan daya saing industri peternakan terutama ternak
domestik. Peningkatan daya saing antara lain melalui usaha-usaha peningkatan
kemampuan ternak induk melalui rekayasa genetika pada tingkat ternak
sumberdaya, penyediaan lahan dan air untuk penanaman hijauan dan butir-butiran
yang dibutuhkan ternak serta meningkatkan penggendalian penyakit yang banyak
menimbulkan angka kematian pada hewan, sehingga risiko ekonomi usaha ternak
1

dapat dikurangi (Wodzlcka, 1993). Saran-saran tersebut seharusnya sesuai dengan


rencana roadmap peternakan yang diinginkan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Wujud peternakan masa depan tidak perlu dipersoalakan seperti apa. Pemerintah
disarankan untuk memikirkan penyediaan input dan infrastruktur serta manajemen
budidaya ternak sehingga mekanisme pasar terangsang tergerak. Jika mekanisme
pasar sudah bergerak, maka pemerintah dapat meningkatkan pelayanan dalam bentuk
informasi harga, pasar, tenaga, hasil penelitian dan modal. Peran penelitian sangat
besar dalam mengarahkan seluruh program pembangunan supaya menunjang
penyediaan pasar sehingga mekanisme pasar dapat berlangsung berkelanjutan. Bidang
penelitian utama adalah penelitian ternak sumberdaya yang mempunyai kemampuan
melahirkan ternak komoditas dan ternak produk.
Penelitian utama berikutnya adalah pemanfaatan sumberdaya lahan dan air
untuk keperluan produksi HMT dan pemeliharaan ternak, dan terakhir adalah
penelitian tentang pengendalian penyakit ternak. Jika gagasan ini dapat diterima maka
harus dilakukan kaji ulang terhadap seluruh program pembangunan peternakan
termasuk program penelitian apakah berada dalam rel perjalanan mencapai
peternakan idaman masa depan tersebut. Ada baiknya pemerintah mempertimbangkan
pembentukan beberapa wilayah sentra produksi ternak untuk dijadikan pilot poyek
pembangunan peternakan dalam skala kecil, yang selanjutnya diperluas pada skala
nasional. Pemilihan wilayah haruslah mewakili permasalahan nasional sehingga jika
diimplementasikan dalam skala besar dapat bekerja dengan efektif.
17

DAFTAR PUSTAKA

Anonym, 1967. Undang-Undang Veteriner 1967.Direktorat Jenderal Produksi Peternakan.


Departemen Pertanian. Jakarta.

Anonym. 2001. A Science Roadmap for Agriculture. National Association of State


Universities and Land-Grant Colleges (www.nasulgc. org/comn_food.htm).

Anonym. 2005. Renstra Pembangunan Pertanian. Departemen Pertanian

Anonym. 2006. Laporan Perkembangan Investasi.BPMN. Jakarta BPS. 2006. Statistik


Terbitan 2004, 2005, dan 2006. Biro Pusat Statistik. Jakarta.

Delquigny. T., M. Edan., N. D. Hoan., P. T. Kien and P. Gauther. 2004. Evolution and
Impact of Avian Influenza Edpidemic and Description of the Avian Production in Vietnam.
Dept. Agriculte. Vietnam

Hirshleifer. J. 1984. Price Theory and Applications. 3th Edition. Terjemahan. Teori Harga
dan Penerapannya. Penerbit Erangga. Jakarta.

Randall. A. 1944. Resource Economics. AN Economic Aproach to Natural Resource and


Eviromental Policy. p 13-22. Grid Publishing, Inc. Columbus. Ohio.

Samuelson. P. A and W. D. Nordhaus. 1992. Economics. 14th Edition. McGraw Hill


International Editions. New York.

Singh H. and E.N. Moore. 1972. Livestock and Poultry Production. Prentice-Hall of India
Private Limited. New Delhi.
17

Stokey. E dan R. Zeckhauser. 1978. A Primer for Policy Analysis. W. W. Norton &
Company. New York.

Wodzlcka. T., A. Djajanegara., S. Gardiner, T. R. Wiradarya dan I. M. Mastika. 1993. Small


Ruminant Production in The Humid Trapics (With special reference to Indonesia). Sebelas
Maret University Press. Surakarta.

Yusdja. Y dan N. Ilham. 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan Rakyat. Jurnal
AKP (Analisis Kebijakan Pertanian).Volume 4 No. 1. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kabijakan Pertanian. Bogor

Yusdja. Y., E. Basuno dan I. W. Rusastra. 2005. Socio-Economic Impact Assessment of


Avian Influenza Crisis on Poultry Production, with Particular Focus onIndependent
Smallholders. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. Bogor.

Yusdja. Y., R. Sayuti, Wahyuning. K. S, S. Wahyuning, B. Winarso, I. Sodikin dan Yulia. S.


2006. Review dan Outlook Peternakan 2007. Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasioal
di Jakarta. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor Peternakan Dalam
Angka 2022

https://www.bps.go.id/publication/2022/06/30/4c014349ef2008bea02f4349/peternakan-
dalam-angka-2022.html

Anda mungkin juga menyukai