Anda di halaman 1dari 19

Abstrack

Penelitian ini mengkaji peran Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam dan implikasinya
dalam konteks zaman modern. Ijma merupakan mekanisme untuk mencapai kesepakatan umat
Muslim dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi yang belum diatur secara tegas dalam
Al-Quran atau Sunnah. Studi ini menyoroti latar belakang, tujuan, dan klasifikasi Ijma sebagai
sumber hukum ekonomi Islam. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis kedudukan Ijma
dalam hierarki hukum ekonomi Islam, penggunaannya dalam mengambil keputusan ekonomi,
serta kelebihan dan kelemahan penggunaan Ijma.

Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa Ijma memiliki peran penting dalam Hukum
Ekonomi Islam, karena mencerminkan kesepakatan umat Muslim dalam konteks ekonomi.
Namun, penggunaan Ijma juga menghadapi tantangan dalam menghadapi perubahan dan
tantangan zaman yang semakin kompleks, seperti perubahan konteks ekonomi, kemajuan
teknologi, multikulturalisme, perubahan hukum dan regulasi, serta kesadaran sosial dan
lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini juga memberikan beberapa rekomendasi, antara
lain memperkuat proses musyawarah, meningkatkan kualitas pendidikan dan kajian hukum
ekonomi Islam, mengembangkan lembaga dan mekanisme yang memfasilitasi dialog,
penyesuaian dengan perubahan konteks, kolaborasi dan kerjasama, serta meningkatkan
pendidikan dan kesadaran masyarakat.

Dengan demikian, penelitian ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang


penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam dan implikasinya dalam konteks zaman
modern. Studi ini dapat menjadi landasan bagi para ulama, cendekiawan, pemimpin
masyarakat, dan pemangku kepentingan ekonomi dalam memahami, menerapkan, dan
mengembangkan Ijma sebagai sumber hukum yang relevan dan bermanfaat dalam memandu
aktivitas ekonomi umat Muslim.

Pendahuluan
a. Latar Belakang
Penggunaan Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam dapat dikaitkan dengan
kompleksitas tantangan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat Muslim pada masa
kini. Dalam menghadapi situasi ini, umat Muslim cenderung mencari pedoman dan
panduan dari sumber-sumber hukum Islam untuk mengatur kegiatan ekonomi mereka.

Dalam era globalisasi dan modernisasi, masyarakat Muslim menghadapi berbagai


aspek ekonomi yang kompleks, seperti perbankan, investasi, perdagangan, keuangan,
dan lain sebagainya. Masyarakat Muslim mencari pedoman dari sumber-sumber
hukum Islam untuk mengatasi tantangan dan menemukan solusi yang sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam.

Sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi, tidak secara langsung
memberikan panduan terperinci tentang setiap aspek ekonomi modern. Oleh karena
itu, umat Muslim mencari panduan tambahan dari sumber lain yang dapat memberikan
kesepakatan umat dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi yang kompleks.
Dalam Islam, terdapat keberagaman pendapat di antara para ulama dalam menafsirkan
teks-teks hukum. Hal ini menyebabkan adanya variasi dan perbedaan pendapat dalam
menghadapi masalah ekonomi tertentu. Ijma, sebagai mekanisme konsensus umat,
dianggap sebagai alat untuk mencapai kesepakatan dalam hal-hal yang belum secara
tegas diatur oleh Al-Quran dan Sunnah.

Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam menjadi penting karena mengutamakan
kemaslahatan umat. Dalam konteks ekonomi, Ijma memberikan landasan bagi
kegiatan ekonomi yang adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam,
sehingga dapat memberikan manfaat sosial dan ekonomi yang lebih luas bagi
masyarakat Muslim.

b. Tujuan Penulisan
Salah satu tujuan utama Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam adalah
memberikan pedoman hukum yang dapat mengatur berbagai aspek kegiatan ekonomi
umat Muslim. Dalam situasi yang kompleks dan terus berkembang, Ijma memberikan
kerangka kerja yang dapat digunakan untuk memandu umat Muslim dalam mengambil
keputusan ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Ijma menggambarkan konsensus umat dalam memutuskan suatu masalah hukum.


Melalui proses musyawarah dan diskusi antara para ulama dan cendekiawan Muslim,
Ijma mencerminkan kesepakatan umat dalam memahami dan mengaplikasikan
prinsip- prinsip Islam dalam konteks ekonomi. Dengan mencapai konsensus, Ijma
memberikan legitimasi hukum yang kuat dalam pengambilan keputusan ekonomi.

Terdapat banyak aspek ekonomi modern yang tidak secara spesifik diatur dalam Al-
Quran dan Sunnah Nabi. Ijma berperan dalam mengisi celah hukum ini dengan
merumuskan keputusan kolektif umat Muslim berdasarkan interpretasi dan
pemahaman mereka terhadap ajaran Islam. Tujuan ini penting untuk menjaga
kesinambungan dan relevansi hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman.

Dengan mengandalkan Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam, umat Muslim
dapat membangun kepercayaan dan stabilitas dalam berbagai transaksi ekonomi.
Dalam hukum Islam, kepastian hukum merupakan prinsip penting dalam menciptakan
lingkungan yang kondusif untuk kegiatan ekonomi. Ijma memberikan panduan yang
jelas dan diterima secara luas, sehingga membangun kepercayaan dalam hubungan
ekonomi antara individu dan masyarakat Muslim.

Tujuan akhir dari penggunaan Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam adalah
mencapai kemaslahatan umat. Hukum ekonomi Islam berfokus pada prinsip keadilan,
distribusi yang merata, dan keberlanjutan. Dengan merujuk pada Ijma, umat Muslim
diharapkan dapat mencapai manfaat ekonomi dan sosial yang lebih luas, serta
menghindari praktek ekonomi yang merugikan masyarakat.

c. Rumusan Masalah

Apa pengertian dan konsep Ijma sebagai sumber hukum dalam konteks ekonomi Islam?

Bagaimana Ijma diakui sebagai sumber hukum ekonomi Islam dan bagaimana
kedudukannya dalam hierarki hukum Islam?
Bagaimana proses terbentuknya Ijma dalam konteks pengambilan keputusan ekonomi
Islam?

Apa saja contoh konkret penggunaan Ijma dalam pengaturan ekonomi Islam, seperti
zakat, perdagangan, investasi, perbankan, dan keuangan?

Bagaimana kelebihan dan kelemahan penggunaan Ijma sebagai sumber hukum


ekonomi Islam dalam menghadapi tantangan ekonomi modern?

Bagaimana peran Ijma dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dalam


menginterpretasikan hukum ekonomi Islam?

Apa saja kritik yang sering diajukan terhadap penggunaan Ijma sebagai sumber hukum
ekonomi Islam?

Bagaimana tantangan dan kontroversi terkait penggunaan Ijma dalam konteks hukum
ekonomi Islam dalam era modern?

Apa implikasi penggunaan Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam dalam konteks
pembangunan ekonomi dan kesejahteraan umat Muslim?

Bagaimana rekomendasi dan arahan untuk pengembangan penggunaan Ijma sebagai


sumber hukum ekonomi Islam di masa depan?

d. Metodologi Penelitian
Dalam melakukan penelitian tentang Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam,
Anda dapat menggunakan beberapa metodologi penelitian berikut:

Studi Literatur: Melakukan studi literatur adalah langkah awal yang penting untuk
memahami konsep Ijma dan kerangka kerja hukum ekonomi Islam. Anda dapat
mengumpulkan buku-buku, artikel, jurnal, makalah konferensi, dan sumber-sumber
lain yang relevan tentang Ijma dalam konteks ekonomi Islam. Analisis literatur ini
akan memberikan landasan teoritis yang kuat untuk penelitian Anda.

Analisis Dokumen: Melakukan analisis dokumen berkaitan dengan sumber-sumber


hukum Islam, seperti Al-Quran, Hadis, dan karya-karya para ulama terkemuka. Anda
dapat menganalisis teks-teks ini untuk melihat bagaimana Ijma dibahas dan diakui
sebagai sumber hukum ekonomi Islam. Perhatikan bagaimana konsep Ijma
dikembangkan, klasifikasinya, dan bagaimana ditempatkan dalam hierarki hukum
Islam.

Pendekatan Sejarah: Pendekatan sejarah dapat digunakan untuk menyelidiki


perkembangan dan evolusi penggunaan Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam.
Anda dapat melacak sejarah penggunaan Ijma dalam pengaturan ekonomi Islam dari
masa awal hingga saat ini. Perhatikan perubahan dalam pemahaman dan penerapan
Ijma dalam konteks ekonomi Islam seiring waktu.
Analisis Perbandingan: Melakukan analisis perbandingan memungkinkan Anda
membandingkan penggunaan Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam dengan
sumber hukum lainnya, seperti Al-Quran, Sunnah, dan Qiyas (analogi). Anda dapat
melihat persamaan dan perbedaan antara sumber-sumber ini dalam konteks pengaturan
ekonomi Islam.

Studi Kasus: Melakukan studi kasus memungkinkan Anda menganalisis konkretnya


penggunaan Ijma dalam pengaturan ekonomi Islam. Anda dapat memilih beberapa
kasus yang relevan, seperti pengaturan zakat, investasi, perdagangan, perbankan, atau
keuangan Islam. Analisis kasus ini akan memberikan wawasan tentang bagaimana
Ijma diaplikasikan dalam kehidupan ekonomi sehari-hari umat Muslim.

Pendekatan Kualitatif: Pendekatan kualitatif dapat digunakan untuk mendapatkan


pemahaman mendalam tentang persepsi, interpretasi, dan pemahaman para
cendekiawan dan ulama mengenai Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam. Anda
dapat melakukan wawancara mendalam dengan para ahli dan ulama yang kompeten
dalam bidang ini. Pendekatan ini akan memberikan perspektif langsung dari para
pemangku kepentingan utama.

Pendekatan Analitis: Pendekatan analitis dapat digunakan untuk menganalisis data


yang diperoleh dari studi literatur, analisis dokumen, pendekatan sejarah, dan studi
kasus. Anda dapat mengidentifikasi pola, tren, dan kesimpulan dari data yang
dikumpulkan, serta melakukan interpretasi dan analisis terhadap penggunaan Ijma
sebagai sumber hukum ekonomi Islam.

Pastikan untuk menggabungkan beberapa metode penelitian ini sesuai dengan


kebutuhan dan tujuan penelitian Anda. Penting juga untuk mencatat sumber data yang
digunakan dan memastikan penelitian Anda didasarkan pada argumen yang akurat dan
valid.

Konsep Hukum Ekonomi Islam


a. Pengertian Hukum Ekonomi Islam
Hukum Ekonomi Islam adalah cabang ilmu hukum yang mengatur aspek-aspek
ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Hukum Ekonomi Islam didasarkan pada
ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis (tradisi atau perkataan
Nabi Muhammad).

b. Prinsip-prinsip Dasar Hukum Ekonomi Islam


Prinsip-prinsip dasar Hukum Ekonomi Islam mencakup serangkaian nilai dan aturan
yang menjadi pijakan dalam pengaturan ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Beberapa prinsip dasar yang menjadi inti dalam Hukum Ekonomi Islam meliputi:

Tauhid: Prinsip ini mengakui bahwa Allah adalah pemilik sejati semua sumber daya
dan kekayaan di dunia. Manusia sebagai khalifah atau pemegang amanah memiliki
tanggung jawab untuk mengelola sumber daya tersebut dengan adil dan berkeadilan.
Keadilan: Prinsip keadilan merupakan prinsip yang sangat penting dalam Hukum
Ekonomi Islam. Hal ini mencakup pembagian sumber daya yang adil, menghindari
eksploitasi, dan memastikan distribusi kekayaan yang merata dalam masyarakat.

Larangan Riba: Riba, atau bunga, dilarang dalam Islam. Prinsip ini melarang praktik
riba dalam transaksi keuangan yang dianggap tidak adil dan menciptakan
ketidakseimbangan ekonomi. Transaksi yang mengandung riba dianggap sebagai
eksploitasi dan dihindari dalam sistem ekonomi Islam.

Larangan Maisir dan Qimar: Maisir mengacu pada perjudian, sedangkan qimar
merujuk pada spekulasi atau transaksi yang tidak jelas atau tidak pasti. Prinsip ini
melarang praktik perjudian dan spekulasi yang dianggap merugikan individu dan
masyarakat. Transaksi ekonomi harus didasarkan pada kepastian dan kejelasan.

Larangan Gharar: Gharar mengacu pada ketidakpastian atau ketidakjelasan dalam


transaksi ekonomi. Prinsip ini menekankan pentingnya transaksi yang jelas,
transparan, dan berdasarkan informasi yang cukup. Transaksi yang mengandung
gharar dihindari untuk mencegah ketidakadilan dan ketidakpastian.

Zakat dan Infak: Zakat adalah kewajiban memberikan sebagian harta kepada orang
yang berhak, sedangkan infak adalah sumbangan sukarela untuk tujuan sosial dan
kemanusiaan. Prinsip ini mendorong redistribusi kekayaan dan pemberdayaan sosial
melalui zakat dan infak.

Selain prinsip-prinsip dasar di atas, Hukum Ekonomi Islam juga melibatkan nilai-nilai
moral dan etika, seperti keberlanjutan lingkungan, keadilan dalam perdagangan,
perlindungan hak konsumen, serta etika bisnis yang islami.

Prinsip-prinsip dasar Hukum Ekonomi Islam tersebut bertujuan untuk menciptakan


sistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai Islam, mengedepankan keadilan sosial,
menghindari eksploitasi, dan mempromosikan kesejahteraan umat manusia secara
menyeluruh.

Sumber-sumber Hukum Ekonomi Islam


a. Al-Quran sebagai Sumber Utama
Al-Quran adalah sumber utama dalam Islam dan menjadi pijakan yang paling penting
dalam pengaturan Hukum Ekonomi Islam. Al-Quran dianggap sebagai wahyu
langsung dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan dianggap sebagai
petunjuk yang sempurna dan abadi bagi umat Muslim.

Sebagai sumber utama, Al-Quran menyediakan prinsip-prinsip, pedoman, dan aturan


yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Terdapat beberapa ayat dalam Al-Quran yang
secara khusus membahas masalah-masalah ekonomi dan memberikan petunjuk bagi
umat Muslim. Beberapa tema ekonomi yang dijelaskan dalam Al-Quran meliputi:

Kepemilikan dan Pengelolaan Harta: Al-Quran memberikan pedoman tentang


kepemilikan dan pengelolaan harta secara adil dan bertanggung jawab. Misalnya, Al-
Quran mengajarkan pentingnya memberikan zakat, sedekah, dan menjaga harta
dengan baik.

Transaksi dan Perdagangan: Al-Quran memberikan pedoman mengenai etika dalam


transaksi dan perdagangan. Misalnya, ditegaskan larangan mengambil riba atau bunga,
dan pentingnya transaksi yang jujur, adil, dan saling menguntungkan.

Keadilan dan Pemberdayaan Sosial: Al-Quran menekankan pentingnya keadilan sosial


dalam distribusi kekayaan dan upaya untuk mengatasi ketimpangan ekonomi.
Misalnya, zakat disebutkan sebagai instrumen untuk redistribusi kekayaan dan
pemberdayaan masyarakat.

Kerja dan Penghidupan: Al-Quran juga memberikan panduan tentang pentingnya kerja
keras, keadilan dalam hubungan kerja, dan menjunjung tinggi hak-hak pekerja.

Selain tema-tema ini, Al-Quran juga menyediakan prinsip-prinsip yang lebih umum,
seperti tanggung jawab sosial, keadilan, integritas, kejujuran, kerja keras, dan
keberlanjutan lingkungan. Para cendekiawan Muslim mempelajari dan menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran dengan memperhatikan konteks historis, bahasa, dan prinsip-
prinsip hukum Islam untuk mengembangkan prinsip-prinsip Hukum Ekonomi Islam.

Dengan menggunakan Al-Quran sebagai sumber utama, Hukum Ekonomi Islam


berupaya untuk menciptakan sistem ekonomi yang sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai
Islam, mendorong kesejahteraan umat manusia, dan mempromosikan keadilan sosial
dalam konteks ekonomi.
b. Sunnah Nabi sebagai Sumber Utama
Sunnah Nabi Muhammad SAW merupakan sumber utama kedua setelah Al-Quran
dalam Hukum Ekonomi Islam. Sunnah merujuk pada tindakan, perkataan, persetujuan,
dan kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang dicatat dalam Hadis (tradisi Nabi).

Sebagai sumber utama, Sunnah Nabi memberikan penjelasan dan aplikasi praktis
terhadap ajaran Al-Quran dalam konteks kehidupan sehari-hari, termasuk dalam aspek
ekonomi. Berikut adalah beberapa cara di mana Sunnah Nabi menjadi sumber utama
dalam Hukum Ekonomi Islam:

Pengaturan Transaksi: Sunnah Nabi memberikan contoh dan pedoman mengenai etika
dan prinsip dalam transaksi ekonomi. Nabi Muhammad SAW menunjukkan praktik
yang adil, jujur, dan transparan dalam berbagai transaksi ekonomi, seperti jual beli,
sewa-menyewa, dan peminjaman.

Filantropi dan Kebaikan Sosial: Nabi Muhammad SAW mencontohkan perilaku


dermawan dan kebaikan sosial. Sunnah Nabi mendorong umat Muslim untuk berzakat,
memberikan sedekah, dan melakukan kebaikan sosial lainnya. Hal ini menginspirasi
umat Muslim untuk berpartisipasi dalam redistribusi kekayaan dan pemberdayaan
sosial.

Etika Bisnis: Sunnah Nabi menekankan pentingnya etika bisnis yang islami. Nabi
Muhammad SAW melarang praktek-praktek yang tidak etis seperti penipuan,
penyelewengan, manipulasi harga, dan praktik-praktik yang merugikan konsumen.
Sunnah Nabi menjadi pedoman dalam menjalankan bisnis dengan integritas dan
kejujuran.

Perlindungan Hak-hak: Sunnah Nabi memberikan perhatian pada perlindungan hak-


hak individu dalam konteks ekonomi. Nabi Muhammad SAW mendorong
penghormatan terhadap hak-hak pekerja, hak-hak konsumen, dan hak-hak kepemilikan
yang adil.

Para cendekiawan Muslim mempelajari Hadis dan menyusun ilmu hadis untuk
memahami dan menerapkan ajaran-ajaran Sunnah Nabi dalam konteks ekonomi.
Mereka menganalisis konteks hadis, kualitas sanad (rantai transmisi), dan matan (isi)
hadis untuk menentukan keabsahan dan aplikabilitasnya dalam Hukum Ekonomi
Islam.

Dengan mengacu pada Sunnah Nabi sebagai sumber utama, Hukum Ekonomi Islam
berupaya untuk memperkaya pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam
konteks ekonomi. Al-Quran dan Sunnah Nabi saling melengkapi sebagai sumber-
sumber hukum utama yang menjadi panduan bagi umat Muslim dalam mengatur
kehidupan ekonomi mereka.

c. Ijma sebagai Sumber Hukum Ekonomi Islam


i. Pengertian Ijma
Ijma dalam konteks Islam mengacu pada konsensus atau kesepakatan umat Muslim dalam
masalah-masalah hukum yang belum secara tegas diatur dalam Al-Quran atau Sunnah Nabi.
Secara harfiah, Ijma berarti "kesepakatan" atau "persetujuan."

Ijma dianggap sebagai sumber kedua dalam hierarki hukum Islam setelah Al-Quran dan
Sunnah. Ia memiliki kedudukan penting dalam menentukan hukum dan keputusan dalam
situasi di mana tidak ada ketentuan yang jelas dalam sumber-sumber utama. Ijma diperoleh
melalui musyawarah dan diskusi di antara para ulama, cendekiawan Muslim, dan pemimpin
masyarakat Muslim.

Ijma memiliki beberapa karakteristik penting:

Kesepakatan: Ijma melibatkan konsensus dan kesepakatan umat Muslim dalam hal-hal
tertentu. Ini mencerminkan persatuan dan kesatuan dalam memahami dan menerapkan
prinsip-prinsip Islam dalam konteks yang spesifik.

Kesepakatan para Ulama: Ijma adalah kesepakatan ulama yang terkemuka dan terpercaya.
Para ulama dianggap sebagai otoritas dalam menafsirkan ajaran Islam dan merumuskan
pandangan kolektif umat Muslim.
Keterbatasan Ruang Lingkup: Ijma hanya berlaku untuk masalah hukum yang belum diatur
secara tegas dalam Al-Quran dan Sunnah. Ijma tidak dapat mengubah atau melanggar
ketentuan yang sudah jelas dalam sumber-sumber utama.

Kesepakatan Masa Lalu dan Sekarang: Ijma tidak hanya mencakup kesepakatan masa kini,
tetapi juga mencakup kesepakatan para ulama dan umat Muslim dalam masa lalu. Ijma
bersifat konsisten dan berkesinambungan sepanjang sejarah Islam.

Penggunaan Ijma sebagai sumber hukum Islam memungkinkan umat Muslim untuk mencapai
kesepakatan dalam memutuskan masalah-masalah hukum yang belum secara tegas diatur
dalam Al-Quran atau Sunnah. Ijma memberikan landasan hukum yang kuat dan menjaga
kesinambungan pengembangan hukum Islam dalam menghadapi perubahan dan tantangan
zaman.
ii. Klasifikasi Ijma
Ijma dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan subjek atau obyek yang
menjadi fokus kesepakatan umat Muslim. Berikut adalah beberapa klasifikasi umum dari
Ijma:

Ijma al-Ummah: Ijma ini merujuk pada kesepakatan umat Muslim secara umum dalam suatu
masalah hukum. Ini mencakup konsensus dan persetujuan umum dari seluruh umat Muslim
dalam hal-hal tertentu. Ijma al-Ummah dilihat sebagai kesepakatan kolektif dari seluruh umat
Muslim di berbagai wilayah dan periode waktu.

Ijma al-Sahabah: Ijma ini merujuk pada kesepakatan para sahabat Nabi Muhammad SAW,
yaitu orang-orang yang hidup dan berinteraksi langsung dengan Nabi. Ijma al-Sahabah
dianggap memiliki otoritas yang tinggi karena keclosan mereka dengan Rasulullah dan
pemahaman mereka yang mendalam tentang ajaran Islam.

Ijma al-A'immah: Ijma ini merujuk pada kesepakatan para imam atau pemimpin agama yang
terkemuka. Ini mencakup kesepakatan ulama-ulama terkemuka dalam masalah hukum. Ijma
al- A'immah sering dikaitkan dengan kesepakatan ulama dari berbagai madzhab (mazhab)
atau aliran pemikiran hukum Islam yang berbeda.

Ijma al-Mujtahidin: Ijma ini merujuk pada kesepakatan para mujtahid, yaitu cendekiawan
Muslim yang memiliki keahlian dalam ilmu hukum Islam dan mampu melakukan ijtihad
(penafsiran hukum). Ijma al-Mujtahidin mencakup kesepakatan para mujtahid dalam konteks
pemecahan masalah hukum yang kompleks dan kontemporer.

Ijma al-Qadha': Ijma ini merujuk pada kesepakatan para hakim atau ulama yang bertindak
sebagai otoritas hukum dalam memutuskan suatu kasus atau masalah hukum spesifik. Ijma al-
Qadha' mencakup kesepakatan yang diperoleh melalui proses pengadilan dan penyelesaian
sengketa.

Penting untuk dicatat bahwa klasifikasi Ijma ini bersifat konseptual dan tidak saling terpisah.
Beberapa jenis Ijma dapat saling tumpang tindih atau saling terkait dalam praktiknya. Namun,
pemahaman klasifikasi ini membantu dalam memahami bagaimana kesepakatan umat Muslim
dapat terbentuk dalam konteks hukum Islam.
iii. Kedudukan Ijma dalam Hierarki Hukum Ekonomi Islam
Dalam hierarki hukum Islam, Ijma menduduki posisi penting setelah Al-Quran dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW. Meskipun Ijma dianggap sebagai sumber hukum yang otoritatif,
kedudukannya tetap di bawah Al-Quran dan Sunnah, yang dianggap sebagai sumber utama
dan wahyu langsung dari Allah SWT.

Kedudukan Ijma sebagai sumber hukum ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:

Al-Quran: Al-Quran adalah sumber utama dalam Islam dan merupakan petunjuk langsung
dari Allah SWT. Ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran memiliki otoritas tertinggi dalam
menetapkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan ekonomi Islam. Al-Quran menyediakan
landasan dan prinsip dasar yang mengatur kehidupan ekonomi umat Muslim.

Sunnah Nabi: Sunnah Nabi Muhammad SAW merupakan sumber kedua dalam hukum Islam.
Sunnah memberikan penjelasan dan aplikasi praktis atas ajaran Al-Quran dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Sunnah Nabi memberikan contoh dan pedoman dalam pengaturan
ekonomi, termasuk dalam aspek transaksi, filantropi, etika bisnis, dan perlindungan hak-hak.

Ijma: Ijma berada di bawah Al-Quran dan Sunnah dalam hierarki hukum Islam. Ijma mengacu
pada kesepakatan umat Muslim dalam masalah-masalah hukum yang belum secara tegas
diatur dalam Al-Quran atau Sunnah. Ijma dianggap sebagai bentuk konsensus yang
mencerminkan pemahaman kolektif dan persetujuan umat Muslim yang diwakili oleh para
ulama dan cendekiawan.

Meskipun Ijma memiliki kedudukan yang penting, perlu dicatat bahwa Ijma tidak dapat
mengesampingkan atau mengubah ketentuan yang sudah jelas dalam Al-Quran atau Sunnah.
Ijma dapat memberikan penjelasan lebih lanjut, interpretasi, atau aplikasi dari prinsip-prinsip
Islam dalam konteks ekonomi yang spesifik, namun tetap harus sesuai dengan ajaran-ajaran
utama Islam.

Dalam praktiknya, para ulama dan cendekiawan Muslim memeriksa Al-Quran, Sunnah, dan
Ijma sebagai sumber-sumber hukum utama dalam mengembangkan hukum ekonomi Islam.
Mereka menggunakan metode interpretasi dan analisis yang diakui dalam ilmu hukum Islam
untuk mencapai kesimpulan yang sesuai dengan nash (teks hukum) yang ada.

Dengan demikian, Ijma memiliki peran yang penting dalam pengembangan hukum ekonomi
Islam sebagai mekanisme untuk mencapai kesepakatan umat Muslim dalam masalah-masalah
yang belum diatur secara tegas oleh sumber-sumber utama. Namun, posisinya tetap terkait
erat dengan Al-Quran dan Sunnah sebagai pijakan utama dalam menetapkan prinsip-prinsip
ekonomi Islam.

Peranan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam


a. Penggunaan Ijma dalam Mengambil Keputusan Ekonomi
Penggunaan Ijma dalam mengambil keputusan ekonomi mengacu pada proses
mencapai kesepakatan umat Muslim dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi
yang belum secara tegas diatur dalam Al-Quran atau Sunnah Nabi. Ijma digunakan
sebagai mekanisme untuk mencapai konsensus dan mengambil keputusan yang
berlandaskan prinsip-prinsip Islam dalam konteks ekonomi.

Berikut adalah langkah-langkah umum yang terlibat dalam penggunaan Ijma dalam
mengambil keputusan ekonomi:

Identifikasi Masalah: Langkah pertama adalah mengidentifikasi masalah ekonomi


yang perlu diambil keputusan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan aspek ekonomi
yang belum diatur secara jelas dalam sumber-sumber utama, seperti perdagangan,
investasi, perbankan, atau masalah-masalah kontemporer dalam ekonomi Islam.

Diskusi dan Musyawarah: Para ulama, cendekiawan, dan pemimpin masyarakat


Muslim terlibat dalam proses diskusi dan musyawarah untuk membahas masalah
ekonomi tersebut. Mereka akan merujuk kepada Al-Quran, Sunnah, dan pendekatan
ilmiah dalam mengkaji masalah tersebut. Diskusi ini mencakup analisis terhadap teks-
teks hukum, interpretasi, pemahaman kontekstual, dan pertimbangan praktis.

Penyusunan Pendapat: Berdasarkan diskusi dan musyawarah, para ulama dan


cendekiawan akan menyusun pendapat-pendapat mereka terkait masalah ekonomi
tersebut. Pendapat-pendapat ini dapat mencerminkan interpretasi yang berbeda atau
pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum Islam.

Evaluasi dan Perbandingan Pendapat: Pendapat-pendapat yang disusun kemudian


dievaluasi dan dibandingkan untuk mencari titik-titik kesamaan atau persamaan
pandangan. Tujuannya adalah mencapai kesepakatan dan konsensus sebanyak
mungkin dalam masalah ekonomi tersebut.

Pengambilan Keputusan: Setelah proses evaluasi dan perbandingan pendapat,


keputusan diambil berdasarkan Ijma, yaitu kesepakatan umat Muslim yang diwakili
oleh para ulama dan cendekiawan. Keputusan ini memiliki otoritas hukum yang kuat
dalam konteks ekonomi Islam dan diharapkan menjadi panduan bagi umat Muslim
dalam menghadapi masalah tersebut.

Penggunaan Ijma dalam mengambil keputusan ekonomi penting untuk mencapai


kesepakatan umat Muslim, menjaga kesinambungan hukum Islam, dan memastikan
kesesuaian dengan prinsip-prinsip Islam dalam konteks ekonomi. Proses penggunaan
Ijma ini melibatkan kerja sama, dialog, dan pemahaman kolektif dalam mencapai
konsensus yang dapat diterima oleh masyarakat Muslim.
b. Kelebihan dan Kelemahan Penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam
Penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam memiliki kelebihan dan kelemahan
yang perlu dipertimbangkan. Berikut adalah beberapa kelebihan dan kelemahan
tersebut:

Kelebihan Penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam:

Kesepakatan Kolektif: Penggunaan Ijma memungkinkan umat Muslim mencapai


kesepakatan kolektif dalam masalah-masalah ekonomi yang belum diatur secara tegas
dalam Al-Quran atau Sunnah. Ini mencerminkan persatuan dan solidaritas umat
Muslim dalam menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam konteks ekonomi.

Konteks dan Aplikasi yang Lebih Relevan: Ijma memungkinkan konteks dan aplikasi
hukum Islam dalam ekonomi menjadi lebih relevan dengan realitas kontemporer. Para
ulama dan cendekiawan dapat memperhatikan perkembangan ekonomi modern dan
mencari solusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang tetap relevan.

Fleksibilitas dan Penyesuaian: Ijma memungkinkan adanya fleksibilitas dalam


mengatasi masalah-masalah ekonomi yang kompleks dan kontemporer. Dalam hal-hal
yang tidak memiliki ketentuan yang tegas dalam sumber-sumber utama, Ijma
memberikan ruang untuk adaptasi dan penyesuaian dengan situasi yang berbeda.

Kelemahan Penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam:

Potensi Kesalahan: Penggunaan Ijma dapat memiliki potensi kesalahan dalam proses
mencapai kesepakatan. Tidak semua pendapat dan interpretasi yang muncul dalam
diskusi dan musyawarah dapat sepenuhnya akurat atau sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam. Kesalahan dalam penafsiran atau kesepakatan yang keliru dapat berdampak
negatif pada keputusan yang diambil.

Kecepatan dan Efisiensi: Proses mencapai kesepakatan melalui Ijma dapat memakan
waktu yang lama dan memperlambat pengambilan keputusan. Dalam konteks ekonomi
yang terus berkembang dan berubah, kecepatan dan efisiensi dalam pengambilan
keputusan menjadi penting. Proses musyawarah dan diskusi yang panjang dapat
menghambat respons cepat terhadap tantangan ekonomi.

Keragaman dan Perbedaan Pendapat: Penggunaan Ijma dapat menghadapi tantangan


dalam mengatasi perbedaan pendapat yang muncul dalam proses musyawarah.
Terdapat beragam pendapat dan sudut pandang di antara para ulama dan cendekiawan,
yang dapat menyulitkan mencapai konsensus yang luas. Perbedaan pendapat ini
dapat
memunculkan keragaman interpretasi dan pemahaman hukum Islam dalam konteks
ekonomi.

Penting untuk mempertimbangkan kelebihan dan kelemahan penggunaan Ijma dalam


Hukum Ekonomi Islam. Meskipun Ijma merupakan mekanisme penting dalam
mencapai kesepakatan umat Muslim, penggunaannya perlu dilakukan dengan hati-hati
dan dengan memperhatikan aspek keakuratan, efisiensi, dan pengelolaan perbedaan
pendapat yang sehat.
c. Studi Kasus yang Menunjukkan Peranan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam

Salah satu studi kasus yang menunjukkan peranan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam
adalah penerapan konsep hibah dalam sistem perbankan Islam.

Dalam perbankan Islam, konsep hibah atau "hiba" digunakan sebagai alternatif yang
sah untuk penggantian bunga (riba) yang dilarang dalam Islam. Konsep ini didasarkan
pada prinsip hukum Islam yang melarang riba dan menganjurkan berbagi keuntungan
serta berpikiran positif terhadap pemberian dalam konteks ekonomi.

Dalam konteks ini, Ijma memainkan peranan penting dalam membentuk pandangan
umat Muslim tentang penggunaan konsep hibah dalam perbankan Islam. Para ulama
dan cendekiawan Muslim berdiskusi dan mencapai kesepakatan melalui Ijma tentang
penggunaan hibah sebagai mekanisme penggantian bunga.

Studi kasus ini menunjukkan peranan Ijma dalam mengatasi masalah yang belum
diatur secara tegas dalam Al-Quran atau Sunnah, yaitu penggantian bunga dalam
sistem perbankan. Dalam proses musyawarah dan diskusi, para ulama dan
cendekiawan mengacu pada prinsip-prinsip Islam dan menyusun pandangan yang
konsisten dengan prinsip-prinsip tersebut.

Dengan penggunaan Ijma, kesepakatan dapat dicapai tentang pentingnya menerapkan


konsep hibah dalam perbankan Islam untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-
prinsip Islam dan menghindari praktek riba. Ini memungkinkan institusi perbankan
Islam untuk beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan memenuhi
kebutuhan finansial umat Muslim yang ingin menjalankan aktivitas perbankan yang
sesuai dengan keyakinan mereka.

Studi kasus ini menunjukkan bagaimana Ijma memainkan peranan penting dalam
mengembangkan solusi dan pendekatan praktis dalam Hukum Ekonomi Islam, serta
mencapai kesepakatan umat Muslim dalam konteks ekonomi yang kompleks.

Contoh-contoh Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam


a. Ijma dalam Pengaturan Zakat dan Infak
Studi kasus yang menunjukkan peran Ijma dalam pengaturan zakat dan infak adalah
penentuan nisab (ambang batas kekayaan) dan pengelolaan dana zakat dan infak
secara kolektif.
Dalam Islam, zakat dan infak adalah kewajiban untuk memberikan sebagian harta
kepada orang yang berhak dan untuk tujuan sosial dan kemanusiaan. Namun, dalam
praktiknya, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang ambang batas
kekayaan (nisab) yang harus tercapai sebelum seseorang wajib membayar zakat.

Dalam hal ini, Ijma berperan penting dalam pengaturan zakat dan infak. Para ulama
dan cendekiawan Muslim berdiskusi dan mencapai kesepakatan melalui Ijma tentang
nisab yang harus dipenuhi sebelum seseorang wajib membayar zakat. Dalam diskusi
ini, mereka mempertimbangkan prinsip-prinsip Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan
dengan zakat serta keadaan ekonomi dan sosial umat Muslim.

Melalui Ijma, para ulama dan cendekiawan dapat menetapkan ambang batas kekayaan
yang dianggap adil dan layak untuk membayar zakat. Kesepakatan ini memberikan
pedoman kepada umat Muslim dalam menghitung dan membayar zakat sesuai dengan
ketentuan yang telah disepakati bersama.

Selain itu, Ijma juga dapat berperan dalam pengelolaan dana zakat dan infak secara
kolektif. Para ulama dan cendekiawan dapat mencapai kesepakatan melalui Ijma
mengenai pengelolaan, distribusi, dan penggunaan dana zakat dan infak. Hal ini
mencakup pemilihan proyek-proyek sosial, pengelolaan dana secara efektif, serta
memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana tersebut.

Studi kasus ini menunjukkan peran Ijma dalam mengatasi perbedaan pendapat dan
mencapai kesepakatan umat Muslim dalam pengaturan zakat dan infak. Ijma
memainkan peranan penting dalam menetapkan ambang batas kekayaan yang wajib
membayar zakat serta dalam mengatur pengelolaan dan penggunaan dana zakat dan
infak. Dengan Ijma, prinsip-prinsip syariah dalam zakat dan infak dapat diterapkan
secara konsisten dan menyatukan umat Muslim dalam praktik amal dan kebaikan
sosial.
b. Ijma dalam Pengaturan Perdagangan dan Investasi
Studi kasus yang menunjukkan peran Ijma dalam pengaturan perdagangan dan
investasi adalah penetapan prinsip-prinsip etika dalam transaksi bisnis dan praktik
investasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dalam Islam, terdapat pedoman dan prinsip yang harus diikuti dalam perdagangan dan
investasi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Namun, dalam konteks yang terus
berkembang dan kompleks, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama
mengenai praktik bisnis dan investasi yang halal atau sesuai dengan hukum Islam.

Dalam hal ini, Ijma memainkan peran penting dalam pengaturan perdagangan dan
investasi. Para ulama dan cendekiawan Muslim berdiskusi dan mencapai kesepakatan
melalui Ijma tentang prinsip-prinsip etika yang harus diikuti dalam transaksi bisnis,
seperti larangan riba, gharar (ketidakpastian), dan perjudian. Mereka juga dapat
membahas praktik investasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, seperti larangan
investasi dalam sektor yang dianggap haram, seperti alkohol, perjudian, atau industri
pornografi.

Melalui Ijma, para ulama dan cendekiawan dapat menghasilkan panduan yang jelas
tentang praktik perdagangan dan investasi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Kesepakatan ini memberikan pedoman bagi umat Muslim dalam menjalankan bisnis
dan melakukan investasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip etika dan nilai-nilai
Islam.

Selain itu, Ijma juga dapat berperan dalam mengatasi isu-isu kontemporer dalam
perdagangan dan investasi, seperti praktik keuangan yang kompleks atau transaksi
yang melibatkan teknologi baru. Para ulama dan cendekiawan dapat menggunakan
Ijma untuk memperbarui panduan dan memberikan penjelasan tentang aplikasi
prinsip- prinsip Islam dalam konteks perdagangan dan investasi modern.

Studi kasus ini menunjukkan peran Ijma dalam memastikan bahwa praktik
perdagangan dan investasi umat Muslim sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Ijma
memainkan peran penting dalam menyusun panduan yang jelas dan terkini tentang
etika bisnis, praktik perdagangan yang halal, dan investasi yang sesuai dengan prinsip-
prinsip Islam. Dengan demikian, Ijma membantu memastikan umat Muslim dapat
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi dengan memperhatikan nilai-nilai Islam.
c. Ijma dalam Pengaturan Keuangan dan Perbankan Islam
Studi kasus yang menunjukkan peran Ijma dalam pengaturan keuangan dan perbankan
Islam adalah penentuan prinsip-prinsip operasional dan praktik yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah dalam sistem keuangan dan perbankan Islam.

Dalam keuangan dan perbankan Islam, terdapat prinsip-prinsip syariah yang harus
diikuti dalam operasional dan praktik perbankan. Prinsip-prinsip ini termasuk larangan
riba (bunga), gharar (ketidakpastian), maysir (perjudian), dan larangan investasi dalam
sektor-sektor yang dianggap haram dalam Islam.

Dalam hal ini, Ijma memainkan peran penting dalam mengatur keuangan dan
perbankan Islam. Para ulama dan cendekiawan Muslim berdiskusi dan mencapai
kesepakatan melalui Ijma tentang prinsip-prinsip operasional yang harus diikuti oleh
institusi keuangan dan perbankan Islam. Mereka membahas pedoman yang jelas dan
praktik yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, termasuk dalam hal pembiayaan,
pemilikan aset, pengelolaan risiko, dan tata kelola institusi.

Melalui Ijma, para ulama dan cendekiawan dapat menghasilkan panduan yang
konsisten dan otoritatif tentang praktik keuangan dan perbankan Islam. Kesepakatan
ini memberikan pedoman kepada institusi keuangan dan perbankan Islam dalam
menjalankan operasional mereka dengan memastikan kepatuhan terhadap prinsip-
prinsip syariah.

Selain itu, Ijma juga dapat berperan dalam mengatasi perkembangan baru dalam
industri keuangan dan perbankan yang memerlukan penyesuaian atau penafsiran ulang
dari sudut pandang syariah. Para ulama dan cendekiawan dapat menggunakan Ijma
untuk membahas dan memberikan panduan tentang aplikasi prinsip-prinsip syariah
dalam konteks keuangan dan perbankan yang terus berkembang.

Studi kasus ini menunjukkan peran Ijma dalam memastikan bahwa institusi keuangan
dan perbankan Islam dapat beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Ijma
memainkan peran penting dalam menghasilkan panduan yang jelas dan otoritatif
tentang praktik keuangan dan perbankan Islam. Dengan Ijma, keuangan dan
perbankan
Islam dapat berfungsi dengan memperhatikan prinsip-prinsip syariah, menjaga
integritas dan kepatuhan terhadap nilai-nilai Islam dalam kegiatan finansial.

Kritik dan Tantangan terhadap Penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam
a. Kontroversi dalam Menentukan Konsensus Umat
Dalam menentukan konsensus umat (Ijma), terdapat beberapa kontroversi yang
muncul. Beberapa kontroversi yang sering muncul dalam konteks Ijma antara lain:

Definisi dan Kriteria Kesepakatan: Salah satu kontroversi utama adalah tentang
definisi dan kriteria yang digunakan untuk menentukan adanya kesepakatan umat.
Beberapa perbedaan pendapat muncul terkait sejauh mana kesepakatan harus
mencakup seluruh umat Muslim secara global atau hanya sebagian umat Muslim
dalam suatu wilayah atau periode waktu tertentu. Hal ini dapat menyebabkan variasi
dalam pengakuan terhadap suatu Ijma dan bagaimana itu diterapkan dalam praktik.

Otoritas dan Representasi: Pertanyaan tentang otoritas dan representasi dalam


menentukan konsensus umat juga merupakan sumber kontroversi. Siapa yang
dianggap memiliki kewenangan dan keahlian untuk mencapai kesepakatan yang
mewakili umat Muslim secara keseluruhan? Apakah representasi umat Muslim harus
mencakup semua kelompok dan aliran pemikiran dalam Islam? Persoalan ini dapat
memunculkan perbedaan pandangan dan mempengaruhi pengakuan terhadap suatu
Ijma.

Metodologi dan Pendekatan: Pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam


proses mencapai kesepakatan umat juga dapat menimbulkan kontroversi. Terdapat
variasi pendekatan dalam menganalisis nash (teks hukum) dan menafsirkan
kesepakatan dalam konteks hukum Islam. Beberapa pendekatan lebih inklusif dan
berupaya mencapai kesepakatan yang luas, sementara yang lain mungkin lebih
eksklusif dan mementingkan pendapat mayoritas.

Perubahan dan Dinamika: Kontroversi juga dapat timbul terkait dengan perubahan dan
dinamika dalam menentukan konsensus umat. Pertanyaan muncul tentang sejauh mana
Ijma yang telah dicapai di masa lalu masih berlaku dan relevan dalam konteks zaman
yang terus berubah. Bagaimana menghadapi perkembangan baru dalam ekonomi,
teknologi, dan masyarakat yang tidak diatur secara tegas dalam sumber-sumber utama
menjadi masalah yang kontroversial.

Perbedaan pendapat dan kontroversi ini mencerminkan kompleksitas dan keragaman


pemikiran dalam umat Muslim. Hal ini menekankan perlunya diskusi terbuka, dialog,
dan kajian mendalam dalam mencapai pemahaman yang lebih baik tentang Ijma
sebagai sumber hukum ekonomi Islam. Perbedaan pendapat dapat menjadi sumber
kekayaan intelektual yang memperkaya pemahaman hukum Islam, namun juga
memerlukan upaya untuk mencapai konsensus yang memadai.
b. Perbedaan Pendapat dalam Menafsirkan Ijma

Perbedaan pendapat dalam menafsirkan Ijma adalah hal yang wajar dalam konteks
hukum Islam. Seperti halnya dalam interpretasi nash (teks hukum) lainnya, para ulama
dan cendekiawan Muslim dapat memiliki perbedaan pendapat dalam memahami dan
menerapkan Ijma dalam konteks yang spesifik. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan perbedaan pendapat antara ulama dalam menafsirkan Ijma antara lain:

Sumber Rujukan: Perbedaan pendapat dapat terjadi karena perbedaan dalam


pemahaman dan penekanan pada sumber-sumber rujukan yang digunakan dalam
menafsirkan Ijma. Meskipun Ijma dianggap sebagai sumber hukum, para ulama dapat
memiliki preferensi dan penekanan yang berbeda pada Al-Quran, Sunnah, dan tradisi
ulama sebelumnya dalam menentukan pandangan mereka terkait Ijma.

Metodologi Penafsiran: Perbedaan pendapat juga dapat disebabkan oleh perbedaan


dalam metode penafsiran yang digunakan oleh para ulama. Ada berbagai pendekatan
penafsiran yang digunakan dalam hukum Islam, seperti metode literal, kontekstual,
analitis, historis, dan sebagainya. Metode yang berbeda dapat menghasilkan
interpretasi yang berbeda pula terkait dengan Ijma.

Konteks dan Perubahan Zaman: Perubahan konteks sosial, ekonomi, dan politik dari
masa ke masa dapat menjadi faktor yang mempengaruhi perbedaan pendapat dalam
menafsirkan Ijma. Terkadang, interpretasi Ijma dapat berubah seiring perubahan
konteks zaman untuk memastikan relevansi dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip
Islam dalam situasi yang berbeda.

Interpretasi Individual: Setiap individu memiliki latar belakang, pengetahuan, dan


pengalaman yang berbeda yang dapat mempengaruhi cara mereka menafsirkan Ijma.
Keterbatasan pengetahuan atau pemahaman yang berbeda dapat menghasilkan
perbedaan dalam interpretasi dan pandangan terkait Ijma.

Penting untuk diingat bahwa perbedaan pendapat dalam menafsirkan Ijma adalah
bagian dari keanekaragaman dalam tradisi ilmiah Islam. Hal ini menunjukkan
fleksibilitas dan kemampuan hukum Islam untuk menghadapi perubahan dan
tantangan zaman. Perbedaan pendapat ini membutuhkan dialog, diskusi, dan
pemahaman yang mendalam untuk mencapai pemahaman yang lebih baik dan
mendekati konsensus dalam konteks hukum ekonomi Islam.
c. Tantangan Modern terhadap Penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam
Penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam menghadapi tantangan dalam
menghadapi perubahan dan tantangan zaman yang semakin kompleks. Beberapa
tantangan modern yang mempengaruhi penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi
Islam antara lain:

Perubahan Konteks Ekonomi: Kemajuan dalam teknologi, globalisasi, dan


kompleksitas sistem keuangan modern telah menghadirkan tantangan baru dalam
menafsirkan dan menerapkan Ijma dalam konteks ekonomi saat ini. Praktik bisnis,
investasi, dan keuangan yang baru dan kompleks mungkin tidak secara eksplisit diatur
dalam sumber-sumber utama, sehingga membutuhkan pemikiran kreatif dan
interpretasi yang tepat.

Kemajuan Teknologi dan Digitalisasi: Perkembangan teknologi dan digitalisasi telah


membawa perubahan dalam cara bisnis dilakukan, termasuk dalam ekonomi Islam.
Tantangan muncul dalam menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam
konteks teknologi baru seperti e-commerce, fintech, dan mata uang kripto.
Keberlanjutan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Islam dalam konteks digitalisasi
menjadi perhatian utama.

Multikulturalisme dan Diversitas: Masyarakat kontemporer semakin multikultural


dengan berbagai agama, keyakinan, dan nilai-nilai. Tantangan muncul dalam
mengembangkan kesepakatan umat yang mencerminkan keragaman ini dan
mempertimbangkan perspektif yang berbeda. Menerapkan Ijma dalam konteks
masyarakat yang beragam memerlukan upaya dialog dan inklusifitas yang lebih besar.

Perubahan Hukum dan Regulasi: Hukum dan regulasi yang berlaku dalam sistem
hukum nasional dan internasional terus berkembang. Tantangan muncul dalam
mengintegrasikan prinsip-prinsip syariah dalam kerangka hukum yang terus berubah.
Koordinasi antara hukum positif dan prinsip-prinsip Islam dalam pengaturan ekonomi
dapat menjadi kompleks dan memerlukan penyesuaian yang tepat.

Kesadaran Sosial dan Lingkungan: Tantangan modern juga termasuk kesadaran sosial
dan lingkungan yang semakin meningkat. Memperhatikan aspek keberlanjutan,
tanggung jawab sosial, dan perlindungan lingkungan dalam konteks ekonomi menjadi
penting. Menafsirkan dan menerapkan Ijma dalam konteks ini dapat melibatkan
pemikiran baru untuk menghadapi tantangan sosial dan lingkungan yang mendesak.

Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, penting untuk mengembangkan


pendekatan yang fleksibel dan kontekstual dalam menggunakan Ijma dalam Hukum
Ekonomi Islam. Keterbukaan terhadap diskusi dan dialog antarulama, pemimpin
masyarakat, dan pemangku kepentingan ekonomi dapat membantu mencapai
kesepakatan yang lebih baik dan relevan dalam menghadapi tantangan modern.

Kesimpulan
a. Ringkasan Temuan
Dalam ringkasan temuan, dapat disimpulkan bahwa Ijma memiliki peran penting
dalam Hukum Ekonomi Islam. Ijma merupakan mekanisme untuk mencapai
kesepakatan umat Muslim dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi yang belum
diatur secara tegas dalam Al-Quran atau Sunnah. Penggunaan Ijma memiliki
kelebihan, seperti mencapai kesepakatan kolektif, relevansi dengan konteks modern,
dan fleksibilitas. Namun, terdapat pula kelemahan, seperti potensi kesalahan dan
perbedaan pendapat yang dapat mempengaruhi konsensus.

Dalam pengambilan keputusan ekonomi menggunakan Ijma, terdapat langkah-langkah


yang melibatkan identifikasi masalah, diskusi dan musyawarah, penyusunan pendapat,
evaluasi dan perbandingan pendapat, serta pengambilan keputusan berdasarkan
kesepakatan umat Muslim yang diwakili oleh para ulama dan cendekiawan.
Penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam memiliki tujuan untuk mencapai
kesepakatan umat Muslim, menjaga kesinambungan hukum Islam, dan memastikan
kesesuaian dengan prinsip-prinsip Islam dalam konteks ekonomi.

Namun, penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam juga menghadapi tantangan.
Tantangan modern, seperti perubahan konteks ekonomi, kemajuan teknologi,
multikulturalisme, perubahan hukum dan regulasi, serta kesadaran sosial dan
lingkungan, mempengaruhi penggunaan Ijma. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
yang fleksibel, dialog terbuka, dan inklusifitas dalam menghadapi tantangan ini.

Dalam menghadapi perbedaan pendapat dalam menafsirkan Ijma, penting untuk diakui
bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam tradisi ilmiah Islam.
Perbedaan pendapat ini mencerminkan keragaman pemikiran dalam umat Muslim dan
dapat diatasi melalui diskusi, dialog, dan pemahaman yang mendalam.

Secara keseluruhan, penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam memiliki nilai
penting untuk mencapai kesepakatan umat Muslim dalam konteks ekonomi, namun
juga memerlukan respons yang bijak terhadap tantangan zaman yang terus
berkembang.
b. Implikasi dan Rekomendasi
Implikasi dan rekomendasi terkait penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam
adalah sebagai berikut:

Penguatan Proses Musyawarah: Penting untuk memperkuat proses musyawarah dan


dialog antara para ulama, cendekiawan, dan pemangku kepentingan ekonomi dalam
mencapai kesepakatan umat Muslim. Proses ini harus melibatkan pemahaman yang
mendalam tentang prinsip-prinsip Islam dan pemikiran kontemporer dalam konteks
ekonomi.

Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Kajian Hukum Ekonomi Islam: Diperlukan


upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kajian hukum ekonomi Islam guna
memastikan para ulama dan cendekiawan memiliki pemahaman yang mendalam
tentang prinsip-prinsip Islam, konteks ekonomi modern, dan metode penafsiran yang
tepat.

Pengembangan Lembaga dan Mekanisme: Diperlukan pengembangan lembaga dan


mekanisme yang memfasilitasi diskusi, musyawarah, dan koordinasi antara para
ulama, cendekiawan, dan pemangku kepentingan ekonomi dalam mengambil
keputusan terkait hukum ekonomi Islam. Lembaga semacam itu dapat berfungsi
sebagai wadah untuk mendiskusikan isu-isu kontemporer, menafsirkan prinsip-prinsip
Islam, dan mencapai kesepakatan umat Muslim.

Penyesuaian dengan Perubahan Konteks: Dalam menghadapi perubahan konteks


ekonomi dan tantangan zaman, penting untuk melakukan penyesuaian dalam
penafsiran dan penerapan Ijma. Hal ini memerlukan pemikiran kreatif, pembaruan
pandangan, dan penelitian terus-menerus untuk menjaga kesesuaian prinsip-prinsip
Islam dengan perkembangan ekonomi yang terus berubah.

Kolaborasi dan Kerjasama: Dalam menghadapi tantangan modern, penting untuk


mendorong kolaborasi dan kerjasama antara institusi Islam, lembaga keuangan Islam,
pemerintah, dan organisasi internasional. Kolaborasi ini dapat memfasilitasi
pertukaran pemikiran, pengembangan pedoman bersama, dan harmonisasi regulasi
yang mendukung penerapan prinsip-prinsip ekonomi Islam.

Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat: Penting untuk meningkatkan pendidikan dan


kesadaran masyarakat tentang prinsip-prinsip ekonomi Islam, termasuk penggunaan
Ijma sebagai sumber hukum. Pendidikan yang baik dan kesadaran yang tinggi dapat
mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam menjalankan aktivitas ekonomi sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam.

Dalam kesimpulannya, implikasi dan rekomendasi terkait penggunaan Ijma dalam


Hukum Ekonomi Islam melibatkan penguatan proses musyawarah, peningkatan
pendidikan dan kajian, pengembangan lembaga dan mekanisme, penyesuaian dengan
perubahan konteks, kolaborasi dan kerjasama, serta pendidikan dan kesadaran
masyarakat. Dengan mengimplementasikan rekomendasi ini, diharapkan penggunaan
Ijma dapat memberikan panduan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, relevan
dengan konteks ekonomi modern, dan bermanfaat bagi umat Muslim dalam
menjalankan aktivitas ekonomi.

Dalam kesimpulan, Ijma merupakan sumber hukum ekonomi Islam yang penting. Ijma
mencerminkan kesepakatan umat Muslim dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi
yang belum diatur secara tegas dalam Al-Quran atau Sunnah Nabi. Ijma digunakan sebagai
mekanisme untuk mencapai konsensus dan mengambil keputusan yang berlandaskan prinsip-
prinsip Islam dalam konteks ekonomi.

Meskipun penggunaan Ijma memiliki kelebihan, seperti mencapai kesepakatan kolektif,


relevansi dengan konteks modern, dan fleksibilitas, tetapi juga memiliki kelemahan, seperti
potensi kesalahan, kecepatan dan efisiensi, serta perbedaan pendapat yang dapat
mempengaruhi konsensus.

Penggunaan Ijma dalam mengambil keputusan ekonomi memerlukan proses identifikasi


masalah, diskusi dan musyawarah, penyusunan pendapat, evaluasi dan perbandingan
pendapat, serta pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan umat Muslim yang diwakili
oleh para ulama dan cendekiawan. Hal ini penting untuk mencapai kesepakatan umat Muslim,
menjaga kesinambungan hukum Islam, dan memastikan kesesuaian dengan prinsip-prinsip
Islam dalam konteks ekonomi.

Namun, penggunaan Ijma juga menghadapi tantangan dalam menghadapi perubahan dan
tantangan zaman yang semakin kompleks. Tantangan modern, seperti perubahan konteks
ekonomi, kemajuan teknologi, multikulturalisme, perubahan hukum dan regulasi, serta
kesadaran sosial dan lingkungan, mempengaruhi penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi
Islam. Oleh karena itu, pendekatan yang fleksibel, dialog terbuka, dan inklusifitas diperlukan
untuk menghadapi tantangan ini.

Dengan memahami kelebihan, kelemahan, dan tantangan penggunaan Ijma, dapat diharapkan
penggunaan Ijma dalam Hukum Ekonomi Islam dapat memberikan panduan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam, menjawab tantangan zaman, dan mempromosikan keadilan
serta keberlanjutan dalam konteks ekonomi.
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai