Anda di halaman 1dari 89

ANALISIS KENYAMANAN VISUAL PADA GEDUNG FAKULTAS ILMU

KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI MALANG DENGAN


SOFTWARE DIALUX EVO

SKRIPSI
diajukan kepada
Universitas Negeri Malang
untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan program Sarjana
Teknik Sipil

OLEH
MIFTAKHUL AS’HRIYANTI EKA PRATIWI
NIM 160523610803

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL
NOVEMBER 2020

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam konteks bangunan, kenyamanan merupakan suatu kondisi pengguna
bangunan dapat merasakan sensasi menyenangkan di dalam bangunan tersebut
(Karyono, 2010). Kenyamanan yang dirasakan manusia dalam bangunan dapat
dirasakan melalui visual atau pengelihatan (Yudiansah, 2013). Agar pengguna ruang
dapat melihat dengan jelas maka harus dipikirkan level penerangan yang diperlukan
di dalam ruangan (Karyono, 2010).
Menurut Kepmenkes No. 1405/MENKES/SK/XI/2002, pencahayaan
merupakan banyaknya penyinaran yang diperlukan pada suatu tempat agar dapat
melaksanakan kegiatan secara efektif. Pencahayaan alami adalah cahaya yang murni
berasal dari penerang alam seperti cahaya matahari, bulan, bintang, api, dan mineral
berflourescent sebagai penerang (Dora & Nilasari. 2011). Observasi pencahayaan
alami dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah simulasi.
Pemodelan simulasi memiliki keuntungan dibandingkan dengan metode pengukuran
langsung yaitu, memudahkan pengukuran intensitas pencahayaan, dihasilkan analisa
dan hasil pemodelan bangunan yang lebih akurat, dan dapat mengoptimalkan waktu
pengukuran (Atthaillah, 2017).
Simulasi dengan bantuan perangkat lunak bertujuan untuk memvisualisasikan
model suatu bangunan berdasarkan dengan kondisi yang sebenarnya. Simulasi
pencahayaan alami dilakukan untuk mengetahui nilai kuat penerangan (lux) pada
ruangan yang ditinjau. Pendekatan simulasi diawali dengan pembuatan model
bangunan semirip mungkin dengan kondisi nyata. Dengan pembuatan model maka
diharapkan dapat lebih mudah untuk melakukan analisis (Veriawan, 2010).
DIALux evo 9.1 berfungsi untuk simulasi dan perencanaan pencahayaan yang
mendukung kalkulasi dan visualisasi dari pencahayaan alami. Proses simulasi ini
merupakan proses perencanan atau mendesain sesuatu yang sudah ada, kemudian
membuat kesimpulan dan membuat keputusan berdasarkan hasil dari simulasi (Putri,

1
2

2015). DIAL company yang merupakan perusahaan yang menyediakan software


DIALux evo yang memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat menghemat waktu dalam
pembuatan simulasi karena pembuatan dinding bangunan dapat dilakukan secara
otomatis, impor file gambar baik dalam format DWG, JPEG, PNG, atau tangkapan
layar dari google maps, merencanakan pencahayaan dalam ruang maupun
keseluruhan bangunan, dapat melakukan visualisasi pencahayaan siang hari
(pencahayaan alami).
Intensitas pencahayaan merupakan salah satu faktor penting dalam bangunan.
Agar dapat memenuhi fungsinya dengan baik maka harus disediakan akses
pencahayaan. Kenyamanan visual melalui pencahayaan pada ruang perkuliahan
memiliki fungsi yang penting dalam proses belajar sehingga aktivitas yang dilakukan
dapat berjalan dengan baik (Dhini, 2016).
Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang merupakan
bangunan tinggi yang terdiri dari 7 lantai dan 1 basement yang berbentuk persegi
panjang dengan orientasi bangunan memanjang ke arah barat dan timur. Pencapaian
kebutuhan visual pada gedung pendidikan melalui pencahayaan alami merupakan
faktor yang penting. Dengan pemanfaatan pencahayaan alami dapat meningkatkan
efisiensi energi sehingga penggunaan listrik bisa lebih hemat dan menguntungkan
bagi pengelola gedung dalam biaya operasional (Putri, 2015). Desain elemen
bangunan berupa dinding luar pada bangunan tersebut menggunakan material kaca
pada sisi barat, timur, utara, maupun selatan. Wika (2017) menyebutkan penggunaan
material kaca pada sisi barat dan timur bangunan merupakan arah datangnya cahaya
matahari dengan intensitas cahaya matahari yang tergolong cukup tinggi, seperti yang
diketahui sifat kaca pada umumnya yaitu transparan sehingga cahaya matahari dapat
langsung masuk kedalam bangunan dan dapat menyebabkan silau.
Alasan peneliti mengangkat judul ini karena kenyamanan visual merupakan
aspek yang penting untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar, penelitian ini
dilakukan pada gedung perkuliahan baru yaitu Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Malang yang mana belum diidentifikasi aspek kenyamanan
visualnya. Maka, penelitian ini dilakukan dengan simulasi untuk mengetahui
3

intensitas pencahayaan alami dengan menggunakan DIALux evo 9.1 pada Gedung
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana kenyamanan visual berdasarkan kondisi cuaca dan orientasi
bangunan pada ruang kelas di Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Malang?
2) Bagaimana kenyamanan visual dalam intensitas pencahayaan alami di
ruang kelas Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Malang berdasarkan standar?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Mengetahui kenyamanan visual berdasarkan kondisi cuaca dan orientasi
bangunan pada ruang kelas di Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Malang.
2) Mengetahui kenyamanan visual dalam intensitas pencahayaan alami
berdasarkan standar di ruang kelas Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Malang.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1) Menambah pengetahuan dan wawasan tentang software DIALux evo 9.1
dan kegunaannya.
2) Mengetahui penerapan dan cara kerja software DIALux evo 9.1 untuk
simulasi pencahayaan.
3) Memberi alternatif lain dalam menunjukkan keadaan pencahayaan
sebenarnya dalam ruang.
4

4) Memberi solusi kemudahan terhadap kekurangan dan kesulitan dalam


pengukuran langsung di lapangan.
5) Memberi alternatif kepada penyedia jasa konstruksi bidang arsitektural
dalam proses perencanaan pencahayaan.

1.5 Batasan Masalah


Adapun batasan-batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Penelitian ini menggunakan simulasi dengan bantuan Software DIALux evo
9.1 untuk mengetahui intensitas pencahayaan pada gedung
2) Objek penelitian merupakan ruang kelas pada Gedung Fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Malang
3) Data penelitian yang digunakan yaitu data sekunder berupa data DED dan
RKS Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang
4) Menggunakan pencahayaan alami untuk menentukan intensitas
pencahayaan pada gedung
5) Faktor yang diperhitungkan adalah elemen alamiah berupa jendela,
dinding, plafon, dan lantai. Tanpa pintu kaca dan partisi kaca dalam
ruangan.
6) Pengaturan lokasi simulasi pada DIALux evo berada di Jakarta yang
merupakan perwakilan wilayah Indonesia
7) Pemodelan simulasi dilakukan tanpa furniture dalam ruang kelas

1.6 Definisi Istilah


Definisi istilah yang digunakan dan sebagai istilah yang terdapat dalam
penelitian ini adalah:
1) Kenyamanan visual berkaitan dengan tingkat pencahayaan yang tepat
sesuai standar yang dapat mendukung aktivitas pengguna ruangan (Dhini,
2016).
2) Pencahayaan alami merupakan banyaknya penyinaran yang diperlukan
pada suatu tempat agar dapat melaksanakan kegiatan secara efektif
5

(Kepmenkes No. 1405/MENKES/SK/XI/2002). Pencahayaan alami berasal


dari penerang alam seperti cahaya matahari, bulan, bintang, api, dan
mineral berflourescent sebagai penerang (Dora & Nilasari, 2011).
3) DIALux evo adalah software untuk simulasi dan perencanaan pencahayaan
yang mendukung kalkulasi serta visualisasi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Topik Pembahasan


Pada bagian ini akan dijelaskan keterkaitan antar topik pembahasan pada
kajian pustaka yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Gambar 2.1 merupakan
diagram keterkaitan antar topik yang akan dibahas pada kajian pustaka.

Kenyamanan Pengertian
Visual Faktor-Faktor Kondisi Cuaca
Pencahayaan Alami Keuntungan
dan Kelemahan
Pengaruh
Pencahyaaan Buatan
Pencahayaan Keuntungan
Persyaratan dan Kelemahan
Pengaruh
Tujuan Apa bedanya?
dengan Software DIALux evo
Analisis Kenyamanan Visual

Standar
Orientasi Bangunan
Strategi
Selubung Bangunan
Bangunan
Efektif Material Kaca Kaca Stopsol
Peneduh
Letak Pengaruh Letak
Geografis dan Geografis dan
Astronomis Astronomis
Tujuan
Simulasi Parameter
Pencahayaan Input dan Output
Alami
Jenis-Jenis
Software Software Simulasi
DIALux evo Parameter Input
Penelitian
Terdahulu
Gambar 2.1 Kerangka Topik Pembahasan
Sumber: Dokumen Peneliti (2020)

6
7

2.2 Kenyamanan Visual


Pada bagian ini akan dijelaskan tentang pengertian kenyamanan visual dan
faktor- faktor kenyamanan visual.

2.2.1 Pengertian Kenyamanan Visual


Dalam konteks bangunan, Karyono (2010) menyebutkan kenyamanan
merupakan suatu kondisi pengguna bangunan dapat merasakan sensasi
menyenangkan di dalam bangunan tersebut. Kenyamanan fisik merupakan satu di
antara alasan mengapa manusia perlu membuat bangunan yang ditempatinya menjadi
nyaman. Dalam kaitannya kenyamanan manusia dalam bangunan dapat dirasakan
melalui visual atau pengelihatan (Yudiansah, 2013). Kenyamanan visual berkaitan
dengan tingkat pencahayaan yang tepat sesuai standar yang dapat mendukung
aktivitas pengguna ruangan (Dhini, 2016). Menurut Wika (2017) kenyamanan visual
dipengaruhi oleh peletakan sumber cahaya. Kenyamanan visual sangat berhubungan
dengan luminasi objek. Luminasi dapat dihubungkan dengan silau yang dapat
diklasifikasikan menjadi empat tingkat, yaitu:
1) Tidak dapat dipersepsikan
Mata tidak dapat melakukan tugas visualnya karena luminasi dari sekeliling
objek yang berlebihan.
2) Kenyamanan visual yang diterima
Mata dapat merasakan serta menerima karena kekontrasan sesuai dengan daya
akomodasi mata dan kondisi ini merupakan kondisi yang paling baik.
3) Kondisi visual yang tidak nyaman
Mata menerima cahaya dengan luminasi yang cukup tinggi sehingga
menimbulkan kekontrasan yang membuat mata lelah.
4) Gangguan visual yang tidak dapat ditolerir mata
Mata tidak dapat menerima cahaya karena luminasi di sekeliling objek terlalu
tinggi.
Agar pengguna ruang dapat melihat dengan jelas maka harus dipikirkan level
penerangan yang diperlukan di dalam ruangan. Untuk ruangan yang berkaitan dengan
8

aktivitas dengan ketelitian yang tingi seperti membaca atau melihat obyek kecil
(ruang kelas, laboratorium, perpustakaan) maka diperlukan level penerangan yang
lebih tinggi dibanding ruang lain yang digunakan untuk melihat obyek yang lebih
besar dengan tingkat ketelitian yang lebih rendah. Dalam kaitan ini, sebagai
perencana perlu melakukan tindakan guna mencapai kenyamanan visual (Karyono,
2010). Untuk mendapatkan kenyamanan visual pengguna bangunan khususnya dalam
ruangan, maka diperlukan perancangan pencahayaan yang optimal pada bangunan
dengan menghindari intensitas pencahayaan dan silau yang berlebih.

2.2.2 Faktor Kenyamanan Visual


Faktor dasar yang mempengaruhi kenyamanan visual dalam melakukan
aktivitas dapat dikategorikan menjadi tiga (Lechner, 2007), yaitu:
1. Kegiatan
a. Ukuran/jarak kedekatan
b. Keterbatasan waktu
c. Tingkat terang
d. Kontras
e. Keakraban
2. Kondisi pencahayaan
a. Tingkat iluminasi
b. Rasio tingkat terang
c. Silau
3. Pengamat
a. Kondisi mata
b. Adaptasi
c. Tingkat kesadaran
Pada penelitian ini kenyamanan visual yang diteliti yaitu berdasarkan kondisi
pencahayaan yang meliputi tingkat iluminasi, rasio tingkat terang, dan silau.
9

2.3 Pencahayaan
Pencahayaan memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Pada hakikatnya manusia membutuhkan cahaya untuk mendapatkan
informasi visual mengenai kondisi disekitarnya. Secara fungsional, cahaya
dibutuhkan agar manusia dapat melakukan berbagai aktivitas. Selain berperan dalam
tujuan fungsional, pencahayaan juga memiliki peran meningkatkan kualitas visual.
Pencahayaan sangat berperan dalam menciptakan suatu perasaan tertentu.
Pencahayaan yang mampu menciptakan suasana nyaman dan memuaskan perasaan
merupakan pencahayaan yang berkualitas baik (Manurung, 2009).
Menurut Kepmenkes No. 1405/MENKES/SK/XI/2002, pencahayaan
merupakan banyaknya penyinaran yang diperlukan pada suatu tempat agar dapat
melaksanakan kegiatan secara efektif. Faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas
dan efektivitas manusia untuk mendapatkan keadaan lingkungan yang aman dan
nyaman adalah pencahayaan.
Sinar adalah berkas cahaya yang mengarah ke suatu tujuan, sedangkan cahaya
adalah arus gelombang pendek sempit dari radiasi elektromagnetik. Cahaya semua
gelombang akan terlihat sebagai warna putih (Latifah, 2015). Sumber cahaya dapat
setelah ini masuk ke jenis - jenis pencahayaan
berasal dari matahari, bintang, lampu, api, dan lainnya. alami - buatan
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa cahaya mempunyai panjang antara 380
hingga 700 nm (nanometer, 1 nm = 10-9 m), dengan urutan warna: (ungu-ultra), ungu,
nila, biru, hijau, kuning, jingga, merah, (merah-infra). Ungu-infra dan merah-infa
hanya dapat dilihat dengan bantuan alat optik khusus. Kecepatan cahaya adalah 3x108
m/dtk. Panjang gelombang cahaya matahari (sunlight, daylight) antara 290 hingga
2300 dan mempunyai spektrum lengkap dari ungu-ultra hingga merah-infra (Satwiko,
2009). Mata manusia sangat responsif pada wilayah kuning-hijau (yellow-green
region) dengan panjang gelombang 550-560 nm (Putri, 2015). Meijs (1983)
menyebutkan terdapat 4 sifat-sifat yang dimiliki oleh cahaya, yaitu memantul
(refleksi), menembus (transmisi), membias, dan dapat menyerap.
10

Gambar 2.2 Spektrum Gelombang Elektromagnetik


Sumber: Latifah (2015)

Menurut Satwiko (2009), simbol dan satuan pengukuran cahaya ditunjukkan


dalam Tabel 2.1. Penjelasan istilah dalam pencahayaan beserta satuannya antara lain:
1. Arus cahaya (ɸ) (luminous flux) yang diukur dengan lumen adalah banyak cahaya
yang dipancarkan ke segala arah oleh sebuah sumber cahaya per satuan waktu.
2. Intensitas sumber cahaya (I) (light intensity; luminous untensity) yang diukur
dalam candela adalah kuat cahaya yang dikeluarkan oleh sebuah sumber cahaya
ke arah tertentu.
3. Iluminan (E) (Illuminance) yang diukur dengan lux (lumen/m2) adalah banyak arus
cahaya yang datang pada satu unit bidang.
4. Iluminasi (Illumination) adalah datangnya cahaya ke suatu objek.
5. Luminan (IL) (Luminance) yang diukur dengan candela/m2 adalah intensitas
cahaya yang dipancarkan, dipantulkan, atau diteruskan oleh satu unit bidang yang
diterangi.
6. Luminasi (Lumination) adalah perginya cahaya dari suatu objek.
11

Tabel 2.1 Simbol dan Satuan dalam Cahaya


Simbol
Kesatuan Rumus Satuan
satuan
Arus Cahaya (ɸ) ɸ = Q/t Lumen lm
Lilin (candela,
Intensitas Cahaya (I) I = ɸ/ ω cd
candelapower)

Illuminan (E) E = Q/A Lux lx

Luminan (IL) IL = I/A Cd/m2 Cd/m2

Sumber: Satwiko (2009)

Intensitas pencahayaan pada suatu bidang adalah tingkat pencahayaan yang


jatuh pada luasan 1 m2 dari bidang tersebut. Intensitas pencahayaan ditentukan di
tempat suatu kegiatan dilakukan. Menurut SNI-03-23-2001 tentang Konservasi
Energi pada sistem pencahayaan, titik ukur diambil pada suatu bidang datar atau biasa
disebut dengan bidang kerja yang letaknya berada pada ketinggian 0,75 meter dari
atas lantai.

2.3.1 Pencahayaan Alami


Pencahayaan alami adalah cahaya yang murni berasal dari penerang alam
seperti cahaya matahari, bulan, bintang, api, dan mineral berflourescent sebagai
penerang. Karena berasal dari alam, cahaya alami bersifat tak tentu yang bergantung
pada iklim, musim, dan cuaca (cerah, mendung, berawan, dll). Diantara seluruh
sumber cahaya alami, matahari memiliki kuat sinar yang paling besar sehingga
keberadaannya sangat bermanfaat bagi penerang dalam ruangan. Cahaya matahari
yang digunakan untuk penerangan interior disebut dengan daylight (Dora & Nilasari,
2011).
Pencahayaan alami yang diterapkan pada bangunan memiliki banyak manfaat,
baik dari segi visual maupun penghematan pemakaian energi. Selain berdampak pada
performa bangunan, pencahayaan alami dapat mempengaruhi produktivitas dan
12

kesehatan manusia. Untuk menerapkan pencahayaan alami perlu diperhatikan dengan


baik agar menghasilkan performa pencahayaan alami yang baik pada bangunan
(Atthaillah, 2017). Cahaya matahari yang tersedia terkadang tidak sesuai dengan
kebutuhan, dapat berlebihan maupun kurang (Panjaitan, 2018)
Pencahayaan alami yang bersumber dari matahari dapat memancarkan
energinya dalam bentuk radiasi yang memiliki rentang panjang gelombang yang
sangat lebar (Hamdi, 2014). Faktor-faktor agar penggunaan sinar matahari dapat
memberikan keuntungan antara lain variasi intensitas cahaya matahari, distribusi dari
terangnya cahaya, efek dari lokasi, pemantulan cahaya dan jarak antar bangunan,
letak geografis dan kegunaan bangunan gedung (Sushanti, 2015).
Menurut SNI 03-2396-2001, pencahayaan alami siang hari dapat dikatakan
baik apabila pada siang hari antara jam 08.00 – 16.00 waktu seternpat terdapat cukup
banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Selain itu, distribusi cahaya dalam
ruangan cukup merata sehingga tidak menimbulkan kontras yang mengganggu.
Waktu yang paling efektif dalam melakukan pengamatan sinar matahari adalah 3
(tiga) jam sebelum pukul 12.00, pukul 12.00, dan 3 (tiga) jam setelah pukul 12.00
(Sushanti, 2015).

2.3.1.1. Kondisi Cuaca


Kualitas cahaya alami yang baik dari cahaya matahari yang selalu berubah
karena posisi bumi terhadap matahari akan selalu berubah dan mempengaruhi
kualitas pencahayaan yang dihasilkan. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas
cahaya matahari adalah kondisi cuaca yang tidak dapat diprediksi. Kondisi langit
yang berawan, mendung, maupun cerah pun akan memberikan kondisi visual yang
berbeda (Manurung, 2009).
Cuaca cerah adalah cuaca yang menunjukkan langit dalam kondisi terang,
sinar matahari memancar terang tetapi tidak begitu terasa panas. Pada saat cuaca
cerah jumlah awan yang menutupi langit kurang dari separuh hingga separuh bagian
langit dan tidak terjadi hujan. Cuaca berawan menunjukkan bahwa dilangit banyak
terdapat awan yang terlihat berjalan karena dorongan angin (Retnawati, dkk, 2013).
13

2.3.1.2. Keuntungan dan Kelemahan Pencahayaan Alami


Satwiko (2009) menyebutkan terdapat beberapa keuntungan dan kelemahan
pencahayaan alami yaitu sebagai berikut:
1. Keuntungan pencahayaan alami
a. Bersifat alami (natural). Cahaya alami matahari memiliki nilai-nilai
(baik fisik maupun spiritual) yang tak tergantikan oleh cahaya buatan.
b. Tersedia berlimpah.
c. Tersedia secara gratis.
d. Terbarukan (tidak dapat habis karena terjadi proses alam yang
berkelanjutan).
e. Memiliki spektrum cahaya yang lengkap.
f. Memiliki daya panas dan kimiawi yang diperlukan bagi mahluk hidup.
g. Dinamis. Arah sinar matahari selalu berubah oleh rotasi bumi dan
peredarannya saat mengelilingi matahari. Intensitas cahaya yang
berubah-ubah oleh adanya halangan awan yang melintas akan
memberikan efek gelap dan terang yang menambah kesan dinamis.
2. Kelemahan pencahayaan alami
a. Pada malam hari tidak tersedia.
b. Pada bangunan dengan lantai banyak dan gemuk (berdenah rumit) sulit
untuk memanfaatkan cahaya alami.
c. Intensitasnya tidak mudah diatur (dapat sangat menyilaukan atau sangat
redup).
d. Sering membawa serta panas masuk ke dalam ruangan.
e. Dapat memudarkan warna.

2.3.2 Pencahayaan Buatan


Pencahayaan buatan adalah cahaya yang dihasilkan dari benda buatan manusia
seperti lampu dan lilin (Dora & Nilasari, 2011). Pencahayaan buatan diperlukan
karena kita tidak dapat sepenuhnya tergantung dari ketersediaan pencahayaan alami,
14

misalnya pada malam hari atau di ruang yang tak terjangkau oleh cahaya alami.
Dengan demikian, sudah semestinya pencahayaan buatan bersifat saling mendukung
dengan pencahayaan alami (Satwiko, 2009).

2.3.2.1 Pengaruh Pencahayaan Buatan


Menurut Wicaksono & Tisnawati (2014) terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi pencahayaan buatan, yaitu :
1. Distribusi intensitas cahaya dari armatur
2. Perbandingan antara keluaran cahaya dari lampu di dalam armatur
3. Reflektansi cahaya dari langit-langit, dinding, dan lantai
4. Pemasangan armatur (menempel atau digantung pada langit-langit)
5. Dimensi atau ukuran luas ruangan.

2.3.2.2 Keuntungan dan Kelemahan Pencahayaan Buatan


Terdapat keuntungan dan kelemahan pencahayaan buatan, yaitu Satwiko
(2009):
1. Keuntungan pencahayaan buatan
a. Dapat dikendalikan (kekuatan pencahayaan yang dihasilkan dari lampu
dapat diatur sesuai dengan kebutuhan).
b. Tidak dipengaruhi oleh kondisi alam.
c. Tidak merusak koleksi baik buku maupun audiovisual.
d. Penataan lampu yang baik dapat menimbulkan kesan artistik.
e. Arah jatuhnya cahaya dapat diatur, sehingga tidak menimbulkan silau
bagi penggunanya.
2. Kelemahan pencahayaan buatan
a. Cahaya buatan memerlukan biaya yang relatif besar karena dipengaruhi
oleh sumber tenaga listrik.
b. Cahaya buatan kurang baik bagi kesehatan manusia jika digunakan terus
menerus di ruang tertutup tanpa dukungan cahaya alami.
15

c. Jika salah dalam pemilihan lampu dan kekuatannya, bisa merusak


koleksi (koleksi akan lapuk, tulisan dan warna memudar), untuk itu
diperlukan biaya tambahan lagi untuk penggunaan filter.

2.3.3 Persyaratan Pencahayaan


Dalam merancang suatu bangunan gedung untuk memenuhi kenyamanan pada
pengguna, salah satu yang harus dipikirkan yaitu kenyamanan visual terutama dalam
pencahayaan. Maka terdapat peraturan yang mengatur tentang persyaratan
pencahayaan pada bangunan gedung. Peraturan tersebut diatur dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan
Teknis Bangunan Gedung, yaitu:
1. Setiap bangunan gedung harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau
pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.
2. Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bangunan
pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.
3. Pencahayaan alami harus optimal, sesuai dengan fungsi bangunan gedung dan
fungsi masing-masing ruang dalam bangunan gedung.
4. Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang
syaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan gedung dengan mempertimbangkan
efisiensi, penghematan faktor, dan penempatan yang tidak menimbulkan efek silau
atau pantulan.
5. Pencahayaan buatan untuk pencahayaan darurat harus dipasang pada bangunan
gedung dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai
tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.
6. Semua faktor pencahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk pencahayaan
darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual, dan/atau otomatis, serta
ditempatkan pada tempat yang mudah dicapai/dibaca oleh pengguna ruang.
Pencahayaan alami dan buatan diterapkan pada ruangan baik di dalam bangunan
maupun di luar bangunan gedung.
16

2.3.4 Pengaruh Pencahayaan


Pencahayaan dapat memasuki bangunan khususnya ruangan dengan cara
menembus material bangunan. Cahaya yang masuk dapat mempengaruhi ruangan
yang ada di dalamnya. Berikut merupakan pengaruh cahaya dalam penataan ruang
Wicaksono & Tisnawati (2014):
1. Menentukan atmosfer ruang,
2. Mempengaruhi mood pengguna,
3. Mendukung fungsi ruangan.

2.3.5 Tujuan Pencahayaan


Matahari selain memberikan panas (radiasi) juga memberikan cahaya (sinar).
Cahaya matahari pada siang hari bermanfaat bagi kehidupan di darat dan air, maka
sangat diperlukan khususunya dalam pencahayaan bangunan (Tangoro, 2004). Tujuan
pencahayaan alami dalam bangunan, Latifah (2015) menyimpulkan sebagai berikut:
1. Kenyamanan visual (visual comfort)
Kenyamanan visual dapat diperoleh melalui optimasi pemanfaatan penerangan
alami dan desain bukaan cahaya yang tepat, agar cahaya alami yang diperoleh sesuai
dengan kebutuhan kerja visual.
2. Estetika dan suasana
Cahaya alami dimanfaatkan untuk keindahan dan pembangunan suasana
ruang. Pemanfaatan cahaya matahari ke dalam ruang dapat dilakukan dengan
berbagai cara, dilihat dari arah jatuhnya sinar matahari dan komponen/bidang-bidang
yang membantu memasukkan dan memantulkan cahaya matahari (Tangoro, 2004).

2.3.6 Standar Pencahayaan


Setiap bangunan dalam segala aspek terdapat peraturan yang menjadi patokan
standar untuk mendapatkan kenyamanan yang optimal. Pengaturan tentang intensitas
pencahayaan pada bangunan diatur dalam SNI 03-6197-2000 tentang Konservasi
Energi pada sistem pencahayaan guna mendukung fungsi ruang dan mengukur
17

kecukupan dalam ruang. Tabel 2.2 menjelaskan tentang standar intensitas


pencahayaan untuk bangunan pendidikan.

Tabel 2.2 Standar Intensitas Pencahayaan untuk Bangunan Pendidikan


Tingkat
Fungsi Kelompok
penerangan Keterangan
ruangan renderasi warna
(lux)
Ruang kelas 250 1 atau 2
Perpustakaan 300 1 atau 2
Laboratorium 500 1
Gunakan pencahayaan
Ruang gambar 750 1 setempat pada meja
gambar
Kantin 200 1
Sumber: SNI 03-6197-2000

Dalam standar intensitas pencahayaan tersebut hanya dipaparkan standar


untuk bangunan pendidikan mengingat keterkaitan dengan penelitian yang akan
dilakukan yaitu pada gedung bangunan pendidikan.

2.4 Letak Geografis dan Astronomis


Setiap wilayah dipermukaan bumi memiliki letak dan luas yang beragam yang
dapat dilihat melalui letak geografis dan astronomis. Letak geografis dan astronomis
adalah posisi suatu negara terhadap batasan-batasan yang mengelilinginya. Posisi
Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa menyebabkan Indonesia memiliki
iklim tropis.
Letak geografis merupakan posisi dan letak suatu wilayah berdasarkan kondisi
sebenernya di permukaan bumi. Jika dilihat dari letak geografisnya Indonesia berada
diantara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Indonesia juga diapit oleh
dua samudra, yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Hindia (Nurhadi, dkk, 2009).
18

Setiap wilayah di permukaan bumi memiliki letak astronomis yang berbeda-


beda. Letak astronomis merupakan letak dari suatu wilayah dipermukaan bumi
berdasarkan perbedaan letak garis lintang dan garis bujurnya. Berdasarkan letak
astronomisnya, wilayah Indonesia terletak antara 6°LU-11°LS dan 95°BT-141°BT
(Nurhadi, dkk, 2009).
Menurut Ilmu Geografi.com, garis lintang adalah garis khayal yang melingkari
bumi dari garis khatulistiwa hingga ke bagian kutub utara dan ke bagian kutub
selatan. Garis lintang membagi bumi menjadi 2 bagian yaitu antara utara dan selatan.
Garis khatulistiwa dipakai sebagai patokan, maka berada pada titik nol derajat. Garis
bujur merupakan garis khayal yang membelah bumi secara horizontal, dari barat ke
timur.

5.2.4 Pengaruh Letak Geografis dan Letak Astronomis


Letak geografis berpengaruh terhadap kondisi alam, Indonesia beriklim laut
yang mendatangkan banyak hujan karena termasuk negara kepulauan. Memiliki iklim
musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan yang dipengaruhi oleh angin muson
yang berhembus setiap 6 bulan sekali berganti arah.Berdasarkan letak astronomis
Indonesia memiliki curah hujan tinggi dan menerima penyinaran matahari sepanjang
tahun yang menyebabkan terjadinya penguapan sehingga kelembapan udara cukup
tinggi (Widarwati, 2016).
Menurut Ilmu Geografi.com , garis lintang digunakan sebagai klasifikasi iklim
matahari. Pembagian iklim matahari oleh banyak atau sedikitnya sinar matahari atau
letak dan kedudukan matahari terhadap permukaan bumi, dalam kurun waktu setahun
matahari mengalami 4 macam kedudukan. Gambar 2.6 merupakan posisi geografi
lintang dan azimuth dalam diagram matahari yang memberikan informasi mengenai
pergerakan matahari sepanjang tahun sehingga terjadi gerak semu tahunan matahari.
Wika (2017) menyebutkan pergerakan matahari pada bumi disebabkan oleh
perputaran bumi mengelilingi matahari pada bidang orbitnya selama satu tahun dan
perputaran bumi pada sumbu rotasinya selama satu hari, sehingga kedudukan
matahari yang berubah-ubah akan sangat berpengaruh pada hasil pengukuran cahaya
19

alami dalam suatu ruangan. Widarwati (2016), menyebutkan akibat dari perputaran
bumi mengelilingi matahari (revolusi), maka akan mengakibatkan terjadinya
pergeseran semu letak terbit dan tenggelamnya matahari.

Gambar 2.3 Gerak Semu Tahunan Matahari


Sumber: nidokna.com

Gerak semu tahunan matahari menunjukkan bahwa tanggal 21 maret matahari


tepat berada di khatulistiwa untuk waktu tiga bulan (21 Maret – 21 Juni). Matahari
bergeser dari khatulistiwa menuju ke Garis Balik Utara (GBU = garis 23,5°LU). Tiga
bulan berikutnya (21 Juni – 23 September) matahari kembali bergeser dari GBU
menuju khatulistiwa. 23 September – 22 Desember matahari bergeser dari
khatulistiwa menuju ke Garis Balik Selatan (garis 23,5°LS). Akhirnya, tiga bulan
berikutnya (22 Desember – 21 Maret) matahari bergeser lagi dari GBS kembali
menuju ke khatulistiwa (Pangga, 2018).

2.5 Strategi Bangunan Efektif


Sebelum merancang bangunan seorang perancang harus memperhatikan
rancangan dalam bangunan, kemudian mengarah ke elemen dari suatu bangunan.
Strategi dasar dalam upaya merancang pencahayaan yang efektif dalam bangunan
harus mempelajari keadaan alam di tapak tersebut, seperti sudut dan pergerakan
matahari, kondisi langit, arah angin, iklim, dan sifat-sifat lain. Jika bangunan sudah
dirancang dan dibentuk sejalan dengan alam, maka unsur pengudaraan dan
pencahayaan akan mengalir dan berjalan dengan baik (Wika, 2017). Orientasi
bangunan, selubung bangunan atau facade, material pendukung bangunan, dan
20

peneduh atau shading device merupakan strategi bangunan yang efektif dalam
masuknya pencahayaan alami.

2.5.1 Orientasi Bangunan


Orientasi bangunan merupakan salah satu strategi dalam mendapatkan
bangunan yang efektif. Orientasi bangunan ditujukan untuk menempatkan posisi
bangunan yang lebih diutamakan guna mengantisipasi pengaruh sinar matahari yang
berlebihan. Orientasi bangunan berpengaruh pada kemampuan untuk menahan panas,
silau, dan lain sebagainya (Yuuwono, 2007). (Gambar 2.7)

Gambar 2.4 Orientasi Bangunan Terhadap Matahari

Sumber: Rahmi (2015)

Wika (2017) menyebutkan orientasi bukaan yang terbaik dalam pencahayaan


alami adalah utara-selatan. Sisi selatan sebuah bangunan mendapatkan sinar matahari
yang paling konsisten sepanjang hari dan tahun. Hal ini dikarenakan arah bukaan
utara-selatan memiliki daerah yang terkena radiasi relatif kecil dan mendapatkan
cahaya alami secara tidak langsung. Arah orientasi yang salah dapat menyebabkan
ketidaknyamanan seperti silau dan panas serta memberikan pengaruh secara tidak
langsung pada kenyamanan visual. Orientasi bangunan dengan arah bukaan tertentu
mempengaruhi terhadap perolehan intensitas pencahayaan alami dalam ruangan.
Tabel 2.3 menunjukkan orintasi bangunan terhadap matahari dengan pengaruh yang
terjadi.
21

Tabel 2. 3 Orientasi Bangunan terhadap Matahari


Arah bukaan Barat-Timur Arah bukaan Utara-Selatan
 Daerah terkena radiasi relatif luas  Daerah terkena radiasi relatif kecil
 Cahaya alami langsung menimbulkan  Cahaya alami tidak langsung
panas dan silau
 Beban pendinginan ruangan besar  Beban pendinginan ruangan kecil
Sumber: Eddy, 2004

2.5.2 Selubung Bangunan (Fasade)


Menurut Peraturan Gubernur Tahun 2012 No. 38 Tentang Panduan Pengguna
Bangunan Gedung Hijau Jakarta Vol.1 Selubung Bangunan, selubung bangunan atau
fasade merupakan komponen tak tembus cahaya (dinding) atau komponen tembus
cahaya (jendela) yang memisahkan interior bangunan dari lingkungan luar. Selubung
bangunan memberikan perlindungan terhadap pengaruh luar seperi panas, radiasi,
angin, hujan, kebisingan, polusi, dll. Selubung bangunan memiliki peran penting
dalam mengurangi konsumsi energi untuk pendinginan dan pencahayaan. Agar
ruangan mendapatkan pencahayaan alami yang baik perlu diperhatikan dengan
mengatur posisi ketinggian jendela terhadap lantai untuk meminimalisasi masuknya
cahaya berlebih (Rahmi, 2015).
Semakin besar bukaan atau bidang transparan, akan semakin besar pula jumlah
cahaya yang akan masuk kedalam ruangan (Panjaitan, 2018). Luas bidang bukaan
(jendela yang besar atau jendela kaca) sekurang-kurangnya 1/6 dari luas lantai (Wika,
2017). Peraturan Gubernur Tahun 2012 No. 38 Tentang Panduan Pengguna
Bangunan Gedung Hijau Jakarta Vol. 3 Sistem Pencahayaan, standar global
menetapkan batas maksimum dari rasio bidang jendela ke dinding (Window to Wall
Ratio-WWR) yaitu antara 25% dan 50%.
Peraturan Gubernur Tahun 2012 No. 38 Tentang Panduan Pengguna
Bangunan Gedung Hijau Jakarta Vol. 3 Sistem Pencahayaan, ketika siang hari jendela
yang baik menghadap selatan dan utara akan memungkinkan penyebaran penetrasi
22

cahaya alami yang cukup tanpa adanya terlalu banyak radiasi matahari langsung dan
tidak memberikan panas berlebihan.

2.5.3 Material Kaca


Keberadaan kaca sebagai bahan transparan dalam bangunan yang mampu
menyatukan ruang luar dengan ruang dalam serta berfungsi untuk memasukkan
pencahayaan alami (Asahimas, 2008). Karena bersifat transparansi, kaca dapat
menembus cahaya dari luar bangunan. Kaca memiliki kelebihan yaitu memiliki
ketahanan yang tinggi terhadap bahan kimia dan dapat terhindar dari pengaruh korosi,
sehingga cocok digunakan sebagai elemen penutup bangunan. Pemilihan bentuk dan
penempatan material kaca dapat memberikan efek visual yang baik (Lestari, dkk,
2014).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perolehan cahaya matahari yaitu
material kaca yang berfungsi meneruskan cahaya kedalam ruangan. Sifat-sifat yang
dapat dibentuk dari material kaca yaitu refleksi (pemantulan) dan transmisi
(penerusan). Untuk mendapatkan kenyamanan dalam bangunan dilakukan dengan
memanfaatkan material kaca dengan memperhatikan kebutuhan dalam bangunan
(Panjaitan, 2018).
Jenis bahan yang dipergunakan tembus cahaya, misalnya kaca polos/tinted
glass (kaca transparan yang digunakan untuk melihat pemandangan arah keluar dan
memasukkan cahaya siang hari dengan baik), kaca berwarna/kaca stopsol, fiberglass
(Putri, 2015). Material kaca memiliki ketebalan dan warna yang beragam, dengan
warna yang sama makin tebal kaca, kemampuan serap (absorption) makin tinggi dan
sebaliknya kemampuan transmisi (transmittance) makin rendah. Begitupula dengan
ketebalan kaca yang sama, makin gelap warna daya serap makin tinggi dan
kemampuan transmisi makin rendah. Kemampuan serap rata-rata 55%, dan
kemampuan transmisi rata-rata 45% (Latifah, 2015). Jenis bahan yang digunakan
dalam gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang yaitu kaca
stopsol.
23

2.4.3.1. Kaca Stopsol


Menurut PT. Asahimas Flat Glass Tbk, kaca stopsol merupakan kaca yang
dilapisi dengan pelapis transparan tipis dari oksidasi logam (sebagai lapisan
pemantul). Kaca stopsol dapat memantulkan cahaya dan panas namun masih
memiliki transmisi cahaya yang baik. Lapisan kaca ini memiliki daya tahan terhadap
kondisi cuaca (perubahan temperatur udara, polusi, dan korosi) serta memiliki
kualitas penampilan yang tetap sepanjang waktu. Pelapisan (coating) kaca stopsol
dilakukan pada satu sisi bidang kaca yang dapat diletakkan didalam atau diluar
(dalam membaca tabel spesifikasi kondisi outside coating #1 dan inside coating #2).
Berdasarkan jenis pelapisan (coating), Tempered Glass Medan, menjelaskan bahwa
kaca stopsol tersedia dalam 2 jenis coating yaitu stopsol classic (refleksi keemasan)
dan stopsol supersilver (refleksi keperakan). Tabel 2.4 merupakan tabel spesifikasi
karakteristik cahaya pada kaca stopsol dengan ketebalan yang berbeda-beda tiap
jenisnya.

Tabel 2.4 Spesifikasi Karakteristik Cahaya Kaca Stopsol

Karakteristik Cahaya
Ketebalan Posisi
Tipe Kaca Nilai Transmisi Nilai Refleksi
(mm) Pelapisan
(%) (%)
(1) (2) (3) (4) (5)
#1 34
5 31
#2 20
Stopsol Classic #1 19
6 29
Green (CGN) #2 34
#1 34
8 27
#2 16
#1 16
Stopsol Classic 5 28
#2 32
Dark Blue (CDH)
6 #1 26 32
24

(1) (2) (3) (4) (5)


#2 26 14
Stopsol Classic
#1 32
Dark Blue (CDH) 8 22
#2 12
Stopsol Supersilver #1 30
5 16
Dark Grey (SSDG) #2 6
#1 35
New Stopsol 6 63
#2 33
Supersilver Clear
#1 35
(SSFLF) 8 62
#2 33
#1 34
New Stopsol 6 48
#2 22
Supersilver Green
#1 34
(SSGNF) 8 44
#2 19
#1 36
New Stopsol 6 40
#2 18
Supersilver Dark
#1 35
Blue (SSDHF) 8 34
#2 14
#1 34
5 35
#2 14
New Stopsol
#1 34
Supersilver Euro 6 31
#2 12
Grey (SSGEF)
#1 34
8 25
#2 9
#1 35
New Stopsol 6 43
#2 19
Supersilver Blue
#1 35
Green (SSGNF) 8 38
#2 16
Sumber: PT. Asahimas Flat Glass Tbk
25

2.5.4 Peneduh (Shading Device)


Shading device atau peneduh digunakan untuk mengurangi jumlah panas yang
diterima oleh bangunan dan dapat mengurangi kualitas pencahayaan alami lebih baik.
Shading device dapat dipilih untuk estetika bangunan, meningkatkan kenyamanan
visual pengguna dengan mengontrol silau (glare), dan mengurangi rasio kontras
cahaya. Penggunaan shading device merupakan aspek penting dari strategi bangunan
yang efektif dari segi energi (Kusuma, 2016). Desain shading device yang tepat
dapat mengoptimalkan pencahayaan alami dan mengurangi penggunaan lampu dari
pagi sampai sore hari. Fasad bangunan yang menghadap ke arah barat perlu perhatian
khusus karena sinar matahari sore yang rendah menyebabkan sinar matahari langsung
masuk ke dalam ruangan. Ruangan dengan jendela menghadap barat menjadi lebih
panas pada sore hari jika shading device tidak berfungsi secara optimal melindungi
jendela (Sabtalistia, 2017). Gambar 2.8 merupakan desain shading device atau
peneduh dalam bangunan.

Gambar 2.5 Desain Shading Device

Sumber: Putri (2015)

2.6 Simulasi Pencahayaan Alami


Simulasi dengan bantuan perangkat lunak bertujuan untuk memvisualisasikan
model suatu bangunan berdasarkan dengan kondisi yang sebenarnya. Simulasi
pencahayaan alami dilakukan untuk mengetahui nilai kuat penerangan (lux) pada
ruangan yang ditinjau. Pendekatan simulasi diawali dengan pembuatan model
26

bangunan semirip mungkin dengan kondisi nyata. Model tersebut harus dapat
menunjukkan interaksi dengan berbagai komponen sehingga dapat menggambarkan
perilaku dari suatu lingkungan yang terjadi. Dengan pembuatan model maka
diharapkan dapat lebih mudah untuk melakukan analisis. Hal ini merupakan prinsip
pemodelan, yaitu bahwa pemodelan bertujuan untuk mempermudah analisis dan
pengembangannya (Veriawan, 2010). Metode simulasi atau modelling dapat dipakai
untuk membuktikan kebenaran pengaruh aspek disain terhadap kinerja bangunan
(building performance) (Mahaputri, 2010).

2.6.1 Tujuan Simulasi Pencahayaan


Penelitian Sari (2017) pada apartemen mahasiswa di Surabaya menyebutkan
bahwa tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk mengetahui pengaruh rasio luasan
jendela terhadap tingkat kenyamanan visual penghuni bangunan. Dhini (2016)
bertujuan mengevaluasi desain bukaan pencahayaan alami serta memberikan
rekomendasi desain untuk meningkatkan kenyamanan visual. Mahaputri (2010)
melakukan simulasi dengan Superlite 2.0 bertujuan untuk melakukan analisa evaluasi
dan prediksi kondisi pada sistem penerangan alami, dan analisa kinerja bangunan
dalam penerangan alami. Wika (2017) melakukan analisis intensitas pencahayaan
alami bertujuan untuk mengetahui pengaruh pencahayaan alami yang masuk ke
dalam bangunan serta mengetahui intensitas cahaya yang masuk. Sushanti (2015)
bertujuan meningkatkan kebutuhan cahaya pada ruang melalui desain fasad. Dengan
berbagai tujuan penelitian yang telah dilakukan bahwa dengan melakukan simulasi
dapat memudahkan analisis data serta diperoleh hasil penelitian dengan tujuan yang
ingin dicapai.

2.6.2 Parameter Input dan Output


Penelitian dengan simulasi membutuhkan parameter input dan mendapatkan
parameter output yang dihasilkan. Parameter input dalam penelitian Putri (2015) yaitu
bentuk ruang, ukuran ruang, material ruang, kondisi langit, tanggal dan waktu, tata
letak lampu, dan jenis lampu. Parameter output yaitu, tingkat pencahayaan, jumlah
27

energi konsumsi, denah hasil renderasi pencahayaan dan denah hasil false colour.
Amin (2016) dalam penelitiannya parameter input yang dibutuhkan adalah denah
bangunan, tampak bangunan, dan data iklim. Parameter output yaitu, kuat terang
ruangan dan gambar 3D hasil simulasi. Parameter input yang umum dibutuhkan
dalam simulasi yaitu denah bangunan, orientasi bangunan, kondisi langit, tanggal dan
waktu. Parameter output yang umum dihasilkan dalam simulasi yaitu tingkat
pencahayaan dan denah hasil renderasi.

2.6.3 Jenis-Jenis Software Simulasi


Dalam pengoperasiannya untuk merancang, menghitung, atau
memvisualisasikan terdapat jenis-jenis software yang umum digunakan oleh peneliti
dalam proses simulasi pencahayaan yaitu, Ecotect radiance, Velux Daylight
Visualizer, IES-VE (Integrated Environment Solution – Virtual Environment).
1. Ecotect radiance
Ecotect radiance digunakan untuk membuktikan sistem pencahayaan alami
terhadap kenyamanan visual mata dan menghitung faktor cahaya siang hari (daylight
factor) dengan memperhatikan aspek iklim, letak bangunan, arah bangunan serta
bukaan jendela. Analisa yang dilakukan menggunakan ecotect radiance untuk
mengamati pencahayaan alami melalui contour line (Amin, 2016).
2. Velux Daylight Visualizer
Velux Daylight Visualizer adalah perangkat lunak simulasi untuk mendapatkan
imitasi keadaan nyata kedalam bentuk digital untuk mensimulasikan kondisi faktor
pencahayaan alami pada bangunan. Software Velux Daylight Visualizer sudah
mendapatkan persetujuan dari CIE (International Commission on Illumination).
Pengujian ini bertujuan untuk menguji keakuratan software dalam menghitung
pencahayaan alami dan kualitas rendering yang dinyatakan dapat memprediksi
tingkat akurat pencahayaan alami (Atthaillah,dkk, 2017).
3. IES-VE (Integrated Environment Solution – Virtual Environment)
IES-VE adalah alat pengembangan software analisis fisika bangunan yang
menitikberatkan pada analisa smart and green building. Kelebihan dari software ini
28

terletak pada kecepatan hasil rendering dan kemudahan dalam mengedit model 3D.
Selain itu analisa yang dapat dilakukan oleh software ini sangat beragam dan lebih
mendetail (Avesta 2017).

2.7 Software DIALux evo


DIALux evo merupakan software open source yang berasal dari German,
berfungsi untuk simulasi dan perencanaan pencahayaan yang mendukung kalkulasi
dan visualisasi dari pencahayaan alami maupun pencahayaan buatan. Proses simulasi
ini merupakan proses perencanan atau mendesain sesuatu yang sudah ada, kemudian
membuat kesimpulan dan membuat keputusan berdasarkan hasil dari simulasi (Putri,
2015). Pemilihan software ini dikarenakan dapat melakukan simulasi pencahayaan
alami dan pencahayaan buatan (Amalia, 2018). Dalam penelitian ini simulasi
pencahayaan yang digunakan menggunakan software DIALux evo 9.1.
Dalam kalkulasi pencahayaan standar yang digunakan yaitu EN-1264, yaitu
European Standards for Lighting of Works Places and Outdoor Work Places yang
mengatur tentang penggunaan sistem pencahyaan pada berbagai fungsi ruang, dan
termasuk modelling untuk simulasi pencahayaan (Putri, 2015). Kelebihan dari
software ini adalah tidak hanya mengandalkan dari sisi engineer nya saja, namun juga
dari sisi visualisasi (Wika, 2017).

2.7.1 Parameter Input DIALux evo


Hasil kalkulasi dan rendering akan menyerupai dengan keadaan yang
sebenarnya. Modelling pada ruangan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu
membuatnya langsung pada DIALux evo itu sendiri, atau dengan menggunakan
bantuan importing dari software AutoCAD atau Sketchup yang memiliki fungsi dasar
yang sama. Data yang dimasukkan untuk dapat melakukan simulasi meliputi model
tiga dimensi, kondisi langit, waktu pengukuran (bulan, tanggal, dan jam), data lokasi,
zona yang disimulasikan, orientasi, titik referensi atau grid referensi sebagai posisi
titik ukur dan kamera sebagai titik acuan dalam menampilkan hasil pencahayaan
secara meruang (Wika, 2017).
29

2.8 Penelitian Terdahulu


Analisis kenyamanan visual telah banyak diteliti sebelumnya karena
kenyamanan visual merupakan aspek penting yang dibutuhkan dalam melakukan
kegiatan. Susilawati (2017), Amalia (2018), dan Yuwono (2019) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa ruangan harus mampu memperhatikan aspek
kenyamanan visual khususnya pencahayaan karena aktivitas yang biasa dilakukan di
dalam ruangan tergolong tinggi yaitu membaca, menulis, bekerja dengan komputer,
dll.
Dalam melakukan penelitian kenyamanan visual terdapat metode yang
dilakukan untuk mendapatkan hasil yang akan dicapai dalam penelitian. Metode
pengukuran langsung dan metode kuesioner telah dilakukan oleh Azahra (2014).
Metode pengukuran langsung dengan bantuan luxmeter untuk mengetahui nilai
intensitas pencahayaan dalam ruangan. Sedangkan metode kuesioner dilakukan
dengan wawancara kepada responden dilakukan untuk mengetahui respon subyektif
pengunjung terkait kondisi pencahayaan. Namun, metode pengukuran langsung akan
sulit mendapatkan hasil yang lebih akurat dan waktu penelitiannya akan berlangsung
lama (Atthaillah, 2017).
Selain menggunakan metode pengukuran langsung, penelitian dengan metode
simulasi juga dapat dilakukan . Putri (2015) dan Rahmadiina (2017) dalam
penelitiannya dengan menggunakan metode simulasi menyebutkan bahwa dengan
bantuan software sebagai alat bantu pengukuran intensitas cahaya dalam ruang
maupun diluar ruang, selain sebagai alat bantu pengukuran, simulasi juga dapat
digunakan sebagai alat perencanaan pencahayaan. Mahaputri (2010) menyebutkan
bahwa penelitian dengan simulasi komputer dapat memberikan banyak keuntungan,
terutama dalam mengatasi kendala kebergantungan pada kondisi cuaca, waktu studi,
dan kondisi lingkungan yang ditemui pada model fisik bangunan. Dengan metode
simulasi dapat mempresentasikan material, tekstur bangunan, dan luas bidang
permukaan bangunan. Selain itu, Atthaillah (2017) menyebutkan simulasi dapat
mempermudah peneliti memberikan solusi desain untuk ruangan yang tidak
30

memenuhi standar agar bisa terpenuhi dengan memodifikasi ruangan atau bukaan
pada bangunan.
Dalam bangunan dengan luasan yang besar tentunya terdapat kelebihan dan
kekurangan, untuk mengantisipasi kekurangan yang terjadi dalam bangunan dapat
dilakukan rekomendasi desain. Rahmadiina (2017) dan Nuha (2018) dalam
penelitiannya melakukan alternatif desain pada beberapa bagian 1) Dimensi bukaan,
2) Jenis material pendukung ruangan, 3) Sun shadding atau peneduh bangunan, dan
4) Lightshelf atau reflektor cahaya. Dengan melakukan desain pada bagian tersebut
dapat mengurangi silau atau tingginya intensitas cahaya yang masuk dalam bangunan.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Data Penelitian


3.1.1 Deskripsi Objek Penelitian
Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang berlokasi di
Jl. Semarang No.5, Kelurahan Sumbersari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang,
Jawa Timur. Gedung ini memiliki 7 lantai dan 1 basement dengan fungsi ruang yaitu
sekertariat, kantor dosen, ruang kelas, laboratorium, dan aula serbaguna. Fungsi
bangunan pada gedung ini terbagi menjadi 6 yaitu pada lantai basement sebagai ruang
kesekertariatan mahasiswa dan pusat kebugaran (gymnasium), lantai 1 sebagai
administrasi (lobby), lantai 2 sebagai ruang kantor dosen, ruang rapat dan sebagian
ruang kelas, keseluruhan lantai 3 sampai lantai 4 sebagai ruang kelas, lantai 5 ruang
kelas dan ruang dosen, lantai 6 sebagai laboratorium, dan lantai 7 sebagai aula
serbaguna. Gambar 3.1 merupakan Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri Malang.

Gambar 3.1 Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang


Sumber: fik.um.ac.id

31
32

3.1.2 Teknik Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Proses
pengumpulan data digunakan untuk acuan dasar dalam melakukan penelitian yang
akan dilakukan. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai
berikut:
1. Studi Kepustakaan
Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan (library
research) yang bersumber dari studi pustaka yakni dengan melakukan studi
literatur atau referensi seperti jurnal ilmiah, prosiding, ensiklopedia, buku,
pedoman/peraturan dan karya lain yang tidak diterbitkan (Nuha, 2018).
2. Pengumpulan Data Sekunder
DED (Detail Engineering Desaign) gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Malang yaitu gambar detail bangunan layout, siteplan, denah
bangunan arsitektur dan struktur, tampak, potongan, detail pendukung elemen
bangunan dan RKS (Rencana Kerja dan Syarat) untuk material dan finishing
bangunan kepada pihak ULPBJ Universitas Negeri Malang (Unit Layanan
Pengadaan Barang dan Jasa).

3.1.3 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
simulasi, analisis data dengan menggunakan metode deskriptif pendekatan kuantitatif.
Rencana pembuatan simulasi pencahayaan alami dilakukan guna mendapatkan suatu
gambaran pencahayaan alami untuk mendapatkan pengaruhnya. Penelitian simulasi
menggambarkan suatu lingkungan dengan keadaan yang sebenarnya. Proses analisis
data dilakukan dengan metode deskriptif yang disajikan dalam suatu gambaran
mengenai pencahayaan alami dengan cara mendeskripsikan hasil simulasi dari objek
penelitian. Penelitian simulasi dilakukan untuk mengukur suatu intensitas
pencahayaan alami yang disajikan dalam bentuk angka.
33

3.1.4 Alat Penelitian


Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Laptop dengan processor AMD A12-9720P with Radeon R7, 12 Compute Cores
4C+8G (4 CPUs) Graphics 2.7 GHz
2. Sistem operasi Microsoft Office 2010 untuk penulisan laporan penelitian
3. Software DIALux evo tahun 2020 versi 9.1.51180 sebagai pemodelan simulasi
pencahayaan

3.1.5 Rancangan Penelitian


Pada penelitian ini, langkah pertama yang harus dilakukan yaitu
mengumpulkan data DED (Detail Engineering Design) yang didapatkan dari pihak
Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa (ULPBJ). Langkah kedua yaitu
memasukkan data input dalam software DIALux evo 9.1. Langkah ketiga yaitu
simulasi pencahayaan alami pada bangunan. Langkah keempat dihasilkan data output
intensitas pencahayaan pada bangunan. Langkah kelima yaitu analisis data penelitian.
Gambar 3.2 merupakan diagram alir penelitian.

Mulai

Studi Literatur

Pengumpulan Data DED


(Detail Engineering Design)

Memasukkan
Data Input

A
34

Simulasi

Hasil
(Output)

Analisis
Data

Selesai

Gambar 3.2 Diagram Alir Penelitian


Sumber: Dokumentasi Peneliti (2020)

Pengumpulan data DED (Detail Engineering Design) berupa gambar detail


bangunan yang terdiri dari gambar rencana teknis. Gambar rencana teknis yang di
input dalam software DIALux evo 9.1 merupakan gambar denah bangunan. Material
bangunan dan finishing didapatkan dari data DED (Detail Engineering Design) dalam
RKS (Rencana Kerja dan Syarat).

3.2. Analisis Data Penelitian


3.2.1 Variabel Input dan Output Simulasi DIALux evo
Setelah peneliti melakukan teknik pengumpulan data yaitu data DED (Detail
Engineering Desaign), maka data yang diperoleh masih berbentuk data mentah.
Teknik analisis data yang dilakukan untuk menganalisis penelitian ini secara
deskriptif dengan menguraikan hasil dari simulasi software. Teknik mengolah data
dengan melakukan input kemudian dilakukan simulasi yang akan dihasilkan output.
35

Gambar 3.3 merupakan diagram alir variabel input dan variabel output software
DIALux evo 9.1.

Mulai

Memasukkan
Data Input

Denah Longitude, Zona


Lokasi
Bangunan Latitude (°) waktu

Pemodelan
Bangunan

Simulasi
Pencahayaan Alami

Kondisi Waktu dan


Langit Tanggal

Hasil
(Output)

A
36

False Colors
(lx)

Analisis
Data

Selesai

Gambar 3.3 Diagram Alir Software DIALux evo 9.1


Sumber: Dokumentasi Peneliti (2020)

Simulasi dengan software DIALux evo 9.1 membutuhkan data input berupa
denah bangunan dalam format DWG atau dari hasil Autocad, lokasi bangunan,
longitude (garis bujur) dan latitude (garis lintang) yang merupakan koordinat
geografis suatu lokasi, dan zona waktu. Untuk melakukan simulasi pencahayaan
alami data input yang dibutuhkan yaitu kondisi langit (langit cerah, berawan, dan
mendung), serta tanggal dan waktu.
Simulasi pencahayaan alami dilakukan di semua jenis kondisi langit. Tanggal
simulasi dimasukkan saat posisi matahari berada tepat digaris gerak semu tahunan
matahari. Waktu simulasi dilakukan pada waktu yang paling efektif yaitu di 3 (tiga)
waktu. Tabel 3.1 penentuan variabel input simulasi pencahayaan alami.
37

Tabel 3.1 Variabel Input Pencahayaan Alami


No Kondisi Langit (Cuaca) Tanggal Waktu
(1) (2) (3) (4)
9.00 AM
21 Maret 12.00 PM
3.00 PM
9.00 AM
21 Juni 12.00 PM
3.00 PM
1 Cerah
9.00 AM
23 September 12.00 PM
3.00 PM
9.00 AM
22 Desember 12.00 PM
3.00 PM
9.00 AM
21 Maret 12.00 PM
3.00 PM
9.00 AM
21 Juni 12.00 PM
3.00 PM
2 Berawan
9.00 AM
23 September 12.00 PM
3.00 PM
9.00 AM
22 Desember 12.00 PM
3.00 PM
38

(1) (2) (3) (4)


9.00 AM
21 Maret 12.00 PM
3.00 PM
9.00 AM
21 Juni 12.00 PM
3.00 PM
3 Mendung
9.00 AM
23 September 12.00 PM
3.00 PM
9.00 AM
22 Desember 12.00 PM
3.00 PM

Input data simulasi pencahayaan alami menggunakan DIALux evo 9.1 adalah
sebagai berikut:
1. Proses memasukkan data denah bangunan dari DED (Detail Engineering Design)
yang terdapat di AutoCAD dalam format DWG. Dilakukan dengan cara membuka
software DIALux evo 9.1 kemudian pilih import plan or IFC >> pilih format files
(DWG files) yang akan di import

Gambar 3.4 Tampilan Awal DIALux evo 9.1


39

2. Setelah file diimport, menentukan koordinat lokasi penelitian. Pada bagian toolbar
pilih Construction >> pilih Plans >> pilih Positioning dan menentukan posisi
serta ketinggian elevasi bangunan.

1
2

Gambar 3.5 Input Posisi dan Elevasi Lokasi

3. Input data lokasi, longitude, latitude, dan zona waktu pada bagian toolbar pilih
Construction >> pilih Site >> pilih Site Alignment

1
2

Gambar 3.6 Input Data Site Alignment


40

4. Pemodelan bangunan yaitu merancang konstruksi bangunan (lantai, dinding, dan


atap), elemen bangunan (jendela), dan pemilihan material bangunan. Pilih
Construction >>
a. Merancang lantai bangunan pilih Site >> Draw Floor Element

2 1
3

Gambar 3.7 Input Konstruksi Lantai

b. Merancang dinding ruangan pilih Storey and Building Construction >> Draw
New Room serta input ketinggian ruangan dan ketebalan lantai

1
3
2

Gambar 3.8 Input Konstruksi Dinding


c. Merancang atap pilih Roofs >> pilih jenis atap Select >> Draw Roof
41

3
2

Gambar 3.9 Input Konstruksi Atap

d. Merancang plafon pilih Ceilings >> Draw New Ceiling serta input ketinggian
dan ketebalan plafon

Gambar 3.10 Input Plafon

e. Merancang elemen bangunan berupa pintu dan jendela pilih Apertures >> pilih
jenis pintu dan jendela Select >> Draw New Building Opening
42

3
2

Gambar 3.11 Input Pintu dan Jendela

f. Material pilih Materials >> pilih jenis material Select >> Apply material pilih
material yang sesuai untuk lantai, dinding, plafon, pintu, dan jendela.

2 3

Gambar 3. 12 Input Material Bangunan

g. Untuk membuat peneduh (shadding device) pilih Furniture and Object >>
pilih jenis material Select >> Draw Arrangement membuat peneduh sesuai
ukuran dan posisi
43

2
3

Gambar 3.13 Input Furniture

5. Input data kondisi langit, tanggal dan waktu simulasi pencahayaan alami pilih
toolbar Light >> pilih Light Scenes >> Luminaire Groups of the Light Scene >>
pilih jenis kondisi langit pada Reference Sky Type >> input tanggal dan waktu
pilih Date and Time

3
4
5

Gambar 3.14 Input Kondisi Langit, Tanggal dan Waktu


Hasil (output) dari simulasi pencahayaan didapatkan model bangunan sesuai
dengan data sehingga dapat menunjukkan pola pencahayaan yang terjadi. Hasil dari
simulasi akan ditampilkan dalam false colors yaitu kontur yang menunjukkan garis-
44

garis berwarna dengan bentuk pola persebaran rasio gelap terang dengan
pengelompokan warna yang menyatakan nilai tingkat pencahayaan sehingga dapat
menunjukkan tingkat pencahayaan pada suatu area. False colors akan memberikan
gradasi warna dengan penjelasan nilai tingkat pencahayaan yang disajikan dalam
skala warna. Skala warna yang ditampilkan dimulai dari warna hitam (tingkat
pencahayaan sangat rendah) sampai dengan warna merah (tingkat pencahayaan
tinggi) dengan penjelasan nilai tingkat pencahayaan dalam satuan lux.
Hasil simulasi berupa false colors yang dapat menunjukkan tinggi rendahnya
intensitas pencahayaan yang terjadi. Dengan adanya data output tersebut dapat
diketahui lokasi-lokasi pada ruangan yang kurang nyaman. Ketika diketahui lokasi
yang kurang nyaman secara visual, maka dapat dilakukan analisis dan pengendalian
visual sehingga lokasi yang kurang nyaman dapat dilakukan alternatif lain.
Mengingat pernyataan Karyono (2010), agar pengguna ruang dapat melihat dengan
jelas maka harus dipikirkan level penerangan yang diperlukan di dalam ruangan.
Sehingga dengan adanya data output tersebut dapat menjadi acuan dasar penilaian
tingkat kenyamanan visual pada ruangan.

3.2.2 Pengolahan Data Penelitian


Setelah data terkumpul dari hasil simulasi, maka langkah selanjutnya adalah
mengolahan data untuk mendapatkan kesimpulan yang benar. Teknik pengolahan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif pendekatan
kuanitatif. Pengolahan data penelitian dengan teknik analisis deskriptif dilakukan
dengan mengolah dan menganalisis data-data yang telah terkumpul menjadi data
yang sistematik, teratur, terstruktur, dan mempunyai makna.
Hasil dari simulasi adalah gambar hasil tools dalam software DIALux evo dan
besaran intensitas pencahayaan pada setiap titik pengukuran berupa angka. Data yang
telah diperoleh dari hasil simulasi akan dikelompokkan dalam setiap tipe ruang kelas
dengan 4 jenis kondisi langit serta 3 waktu simulasi. Setelah dilakukan
pengelompokan, dilakukan penentuan saat intensitas pencahayaan alami maksimum
dan minimum pada kondisi langit yang terjadi. Analisis dengan membuat
45

perbandingan menurut tanggal dan waktu simulasi untuk melihat kesamaan dan
perbedaannya serta hasil intensitas pencahayaan alami rata-rata akan dilakukan
perbandingan dengan standar yang terkait. Kesamaan dan perbedaan yang didapatkan
pola-pola tersebut yang akan menjadi landasan dalam membuat kesimpulan.
Selanjutnya, hasil simulasi yang telah dilakukan pengelompokan akan
disajikan dengan mendeskripsikan untuk memberi gambaran intensitas pencahayaan
alami yang terjadi serta menunjukkan kuat terang paling rendah sampai kuat terang
paling tinggi pada gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang.
Untuk mendapatkan kenyamanan visual dalam pencahayaan, data hasil simulasi titik
kuat terang dapat menunjukkan lokasi pencahayaan yang baik untuk memberikan
kenyamanan dan lokasi ekstrim yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam
bangunan dapat diketahui.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Data


Pada bagian ini akan dijelaskan tentang letak geografis objek penelitian dan
denah ruang kelas yang digunakan sebagai data input kenyamanan visual dalam
software DIALux evo.

4.4.1 Letak Geografis


Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang berlokasi di
Jl. Semarang No.5, Kelurahan Sumbersari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang,
Jawa Timur. Gambar 4.1 merupakan letak geografis titik koordinat gedung Fakultas
Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang dengan Google Maps yang terletak
pada garis lintang (latitude) 7°57'38.7"S yaitu 7 derajat 57 menit 38.7 detik atau -
7.961 dan garis bujur (longitude) 112°37'02.5"E yaitu 112 derajat 37 menit 2.5 detik
atau 112.617. Input garis lintang dan garis bujur berfungsi untuk menentukan lokasi
suatu tempat secara tepat.

Gambar 4.1 Letak Geografis Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan dengan


Google Maps
Sumber: Google Maps

46
47

4.4.2 Denah Ruang Kelas


Gedung perkuliahan tersebut memiliki 7 lantai dengan luas bangunan 70 x 34
2
m dengan ketinggian tiap lantai bervariasi yaitu lantai basement 1,3 m, lantai 1 5,5
m, masing-masing dari lantai 2 hingga lantai 6 4 m, dan lantai 7 5 m. Penelitian ini
dilakukan pada fungsi ruang kelas yang terdapat pada pada lantai 2, 3, 4, dan 5.
Pemodelan dilakukan pada tiap lantai yang berfungsi sebagai ruang kelas. Gambar
4.2 merupakan denah ruang kelas lantai 2 yang menjadi objek penelitian.

13
1

2
1
4 5

Gambar 4.2 Denah Ruang Kelas Lantai 2

Sumber: Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Universitas Negeri Malang
48

Gambar 4.3 merupakan denah ruang kelas lantai 3 yang menjadi objek penelitian.

61 61
8 8

1 1 1 1
7 7 9 10 9 7 7

Gambar 4.3 Denah Ruang Kelas Lantai 3

Sumber: Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Universitas Negeri Malang

Gambar 4.4 merupakan denah ruang kelas lantai 4 yang menjadi objek penelitian.

11
1 1
11
13 13

1 1 1 1
12 12 14 15 14 12 12

Gambar 4.4 Denah Ruang Kelas Lantai 4

Sumber: Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Universitas Negeri Malang
49

Gambar 4.5 merupakan denah ruang kelas lantai yang menjadi objek penelitian.

1 1
16 17 18 19 18 17

Gambar 4.5 Denah Ruang Kelas Lantai 5


Sumber: Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Universitas Negeri Malang

Pemodelan ruang kelas dilakukan dengan pengelompokan tiap tipe ruang kelas
berdasarkan posisi lantai yang memiliki elevasi tiap lantai berbeda, ukuran ruang
kelas (panjang dan lebar), tipe jendela, dan orientasi bangunan yaitu arah hadap
jendela yang memperoleh pencahayaan alami. Pengelompokan tiap tipe ruang kelas
ditunjukkan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Tipe Ruang Kelas


Ukuran
Tipe Elevasi
Ketinggian Ruangan Tipe Orientasi
Ruang Lantai Lantai
Lantai (m) Panjang Lebar Jendela Bangunan
Kelas (m)
(m) (m)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Utara
10,5 8 J4
2 Selatan
2 5,5 4
3 Utara
8 8 J4
4 Selatan
50

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

5 2 5,5 4 12 8 J4 Selatan

6 Utara
8 8 J4A
7 Selatan

8 3 9,5 4 10,5 8 J4A Utara

9 10,5 8 J5 Selatan

10 10,5 8 CW1 Selatan

11 Utara
8 8 J4B
12 Selatan

13 4 13,5 4 10,5 8 J4B Utara

14 10,5 8 J5A Selatan

15 10,5 8 CW1 Selatan

CW4A Barat
16 12 8 CW3,
Selatan
J4B
5 17,5 4
17 8 8 J4B Selatan

18 10,5 8 J5A Selatan

19 10,5 8 CW1 Selatan

Pemilihan tipe ruang kelas dengan berdasarkan tipe jendela yang terdapat
pada tiap ruang kelas. Tipe jendela yang digunakan sesuai ukuran yaitu dengan lebar
dan tinggi masing-masing jendela. Tabel 4.2 merupakan klasifikasi tipe jendela
dengan penjelasan gambar dan ukuran jendela dalam lebar dan tinggi.
51

Tabel 4.2 Klasifikasi Tipe Jendela


Ukuran Jendela
Tipe
Gambar Lebar Tinggi
Jendela
(m) (m)
(1) (2) (3) (4)

J4 2 2,95

J4A 4,6 2,95

J4B 4,6 3,85


52

(1) (2) (3) (4)

J5 6 2,95

J5A 6 3,85

2,075
Lt.3
1,075

0,875

Lt.4 2,05
CW1 7,1
1,075

0,875

Lt.5 2,05

1,075
53

(1) (2) (3) (4)

0,875

CW3 4,175 2,050

1,075

0,875

CW4A 8,38 2,05

1,075

4.2 Input Simulasi DIALux Evo


Sebelum melakukan proses simulasi, terlebih dahulu harus membuat
pemodelan ruangan dalam DIALux evo sesuai dengan data yang diperoleh dari DED
(Detailed Engineering Desain) dan RKS (Rencana Kerja dan Syarat). Pemodelan
ruang pada tiap lantai yang berfungsi sebagai ruang kelas di gedung Fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Malang sesuai dengan elemen bangunan dan
material yang digunakan untuk pemodelan ruang kedalam Software DIALux evo 9.1.
Tahapan yang dilakukan dalam simulasi adalah sebagai berikut:
54

a) Pembuatan model ruang yaitu dengan membuat dimensi dan bentuk tiap ruang,
penempatan elemen bangunan (jendela, peneduh/shading device) yang sesuai
dengan data beserta material dinding, lantai, dan plafon.
b) Pemilihan lokasi objek penelitian, koordinat objek yaitu garis lintang (latitude) dan
garis bujur (longitude), serta zona waktu dalam Software DIALux evo 9.1.
Pemilihan lokasi dalam Software DIALux evo 9.1 dapat dilakukan dengan memilih
lokasi langsung dari daftar. Setting lokasi yang tersedia dari daftar, pada negara
Indonesia hanya terdapat kota Jakarta. Jika dalam daftar pemilihan lokasi tidak
terdapat kota yang di simulasikan, untuk mendapatkan hasil yang akurat
dimasukkan data koordinat lokasi yaitu garis lintang dan garis bujur.
c) Perhitungan tingkat pencahayaan dihitung pada bidang kerja dengan ketinggian
0,75 m dari atas lantai.
d) Simulasi pencahayaan alami dari bukaan dengan kondisi langit yang sudah
terdapat dalam Software DIALux evo 9.1 yaitu, clear sky (langit cerah), average
sky (langit berawan), dan overcast sky (langit mendung).
e) Parameter lain yang dibutuhkan dalam simulasi pencahayaan alami adalah tanggal
simulasi. Tanggal simulasi dilakukan pada 21 Maret, 21 Juni, 23 September, dan
22 Desember. Pemilihan tanggal simulasi tersebut karena tepat berada di garis
gerak semu tahunan matahari. Pada tanggal 21 Maret dan 23 September matahari
tepat berada di garis khatulistiwa yang berarti posisi matahari tepat berada di atas
kepala. Tanggal 21 Juni matahari berada di titik balik utara, yang berarti posisi
matahari berada di sebelah utara dan menyebabkan bagian utara mengalami panas
dan bagian selatan dingin. Begitu sebaliknya dengan tanggal 22 Desember
matahari berada di titik balik selatan, yang berarti posisi matahari berada di
sebelah selatan dan menyebabkan bagian selatan mengalami panas dan bagian
utara dingin.
f) Pemilihan waktu simulasi dilakukan pada 09.00 AM, 12.00 PM, dan 3.00 PM.
Pemilihan waktu tersebut karena merupakan waktu yang paling efektif dalam
melakukan pengamatan sinar matahari.
55

Data yang diperoleh dari Rencana Kerja dan Syarat (RKS) digunakan sebagai acuan
pemilihan material dalam pemodelan bangunan. Material yang digunakan dalam
elemen interior dapat mempengaruhi perolehan intensitas pencahayaan dalam ruang
kelas. Elemen interior berupa dinding, lantai, plafon, dan jendela yang dibutuhkan
dalam pemodelan DIALux evo. Nilai faktor refleksi untuk elemen interior berupa
dinding, lantai, dan plafon telah terdapat dalam software DIALux evo. Nilai faktor
refleksi dan transmisi cahaya pada kaca didapatkan dari PT. Asahimas Flat Glass
Tbk. Tabel 4.3 merupakan material yang digunakan dalam pemodelan ruangan.

Tabel 4.3 Material yang Digunakan dalam Pemodelan Ruang


Elemen Interior Data RKS DIALux evo
Cat dinding warna Cat dinding grey white
Dinding
putih  Nilai faktor refleksi 68%
Tiles white 600mm x 600mm
Homogenius tile
Lantai  Nilai faktor refleksi 76%
600mm x 600mm
 Nilai pelapis refleksi 11%
Papan gypsum Cat grey white
Plafon
standar board 9mm  Nilai faktor refleksi 68%
Single glazing transparent
New Stopsol Supersilver Dark Blue
Jendela Kaca stopsol 8 mm
 Nilai faktor refleksi 35%
 Nilai transmisi cahaya 34%

4.3 Hasil Simulasi DIALux Evo


Simulasi dilakukan dengan pemodelan ruang kelas sesuai dengan tipe yang
terdapat dalam tabel 4.1 dan ukuran jendela yang terdapat dalam tabel 4.2. Pemodelan
ruang kelas juga dilakukan dengan memasukkan data material yang digunakan
sebagai elemen interior bangunan berupa dinding, lantai, plafon, dan jendela yang
terdapat pada tabel 4.3. Tabel 4.4 merupakan hasil simulasi berupa false color di tipe
56

ruang kelas 1 dan 3 ditunjukkan pada kondisi cuaca clear sky, average sky, dan
overcast sky.

Tabel 4.4 Hasil Simulasi False Color

Tipe Tanggal Waktu Clear Sky Average Sky Overcast Sky


(1) (2) (3) (4) (5) (6)

09.00

1 21 Maret
12.00
2020

15.00
57

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

09.00

21 Maret
3 12.00
2020

15.00

09.00

21 Juni
1
2020

12.00
58

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 15.00

09.00

21 Juni
2020

3 12.00

15.00

23
1 September 09.00
2020
59

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

12.00

15.00

23
September
2020 09.00

3 12.00

15.00
60

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

09.00

1 12.00

22
Desember
2020

15.00

3 09.00
61

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

12.00

22
3 Desember
2020

15.00

Skala warna hasil simulasi false color untuk menunjukkan nilai intensitas
pencahayaan alami dalam satuan lux ditunjukkan pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Skala Warna False Color

Untuk selengkapnya, hasil simulasi berupa false color di tipe ruang kelas
lainnya pada kondisi cuaca clear sky, average sky, dan overcast sky dapat dilihat pada
lampiran 8. Rekapitulasi hasil simulasi intensitas pencahayaan minimum, rata-rata,
dan maksimum dengan satuan (lux) pada seluruh tipe ruang kelas dengan orientasi
bangunan, kondisi cuaca, tanggal, bulan, tahun, dan waktu ditampilkan pada tabel
4.5.
Tabel 4.5 Rekapitulasi Hasil Simulasi Kenyamanan Visual dengan DIALux evo

Tipe Intensitas
Orientasi Kondisi SNI
Ruang Ket. Tanggal Waktu Cahaya Ket.
Bangunan Cuaca (lux)
Kelas (lux)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 66,7
1 Utara Rata-rata 177,94 250 Dibawah Standar
max Clear Sky 21 Juni 12.00 832
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 82,7
2 Selatan Rata-rata 166,94 250 Dibawah Standar
max Clear Sky 22 Desember 12.00 466
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 98,8
3 Utara Rata-rata 282,36 250 Diatas Standar
max Clear Sky 21 Juni 12.00 1440
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 83,2
4 Selatan Rata-rata 152,70 250 Dibawah Standar
max Average Sky 22 Desember 09.00 326

62
63

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)


min Overcast Sky 21 Juni 15.00 84,9
5 Selatan Rata-rata 155,57 250 Dibawah Standar
max Average Sky 22 Desember 09.00 331
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 134
6 Utara Rata-rata 389,69 250 Diatas Standar
max Clear Sky 21 Juni 12.00 1940
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 168
7 Selatan Rata-rata 330,22 250 Diatas Standar
max Clear Sky 22 Desember 15.00 832
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 104
8 Utara Rata-rata 302,81 250 Diatas Standar
max Clear Sky 21 Juni 12.00 1493
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 188
9 Selatan Rata-rata 392,86 250 Diatas Standar
max Clear Sky 22 Desember 09.00 1122
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 231
10 Selatan Rata-rata 524,86 250 Diatas Standar
max Clear Sky 22 Desember 12.00 1787
64

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)


min Overcast Sky 21 Juni 15.00 169
11 Utara Rata-rata 483,28 250 Diatas Standar
max Clear Sky 21 Juni 12.00 2259
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 170
12 Selatan Rata-rata 326,92 250 Diatas Standar
max Clear Sky 22 Desember 15.00 802
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 133
13 Utara Rata-rata 377,97 250 Diatas Standar
max Clear Sky 21 Juni 12.00 1750
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 193
14 Selatan Rata-rata 394 250 Diatas Standar
max Clear Sky 22 Desember 09.00 1109
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 251
15 Selatan Rata-rata 571,03 250 Diatas Standar
max Clear Sky 22 Desember 12.00 1927
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 415
16 Selatan Rata-rata 1322,64 250 Diatas Standar
max Clear Sky 22 Desember 15.00 4742
65

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)


min Overcast Sky 21 Juni 15.00 173
17 Selatan Rata-rata 334,22 250 Diatas Standar
max Clear Sky 22 Desember 15.00 820
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 188
18 Selatan Rata-rata 369,33 250 Diatas Standar
max Clear Sky 22 Desember 15.00 910
min Overcast Sky 21 Juni 15.00 255
19 Selatan Rata-rata 579,75 250 Diatas Standar
max Clear Sky 22 Desember 12.00 1961

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat disimpulkan bahwa ruang kelas di Gedung Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Malang, tidak memenuhi standar SNI 03-6197-2000 tentang Konservasi Energi pada sistem pencahayaan, karena hasil intensitas
pencahayaan berbeda-beda yaitu dibawah standar dan diatas standar. Menurut SNI 03-6197-2000 tentang Konservasi Energi
pada sistem pencahayaan, bahwa standar intensitas pencahayaan adalah 250 lux. Ruang kelas tipe 1, 2, 4, dan 5 memiliki
intensitas pencahayaan rata-rata dibawah standar. Tipe ruang kelas lainnya mempunyai nilai intensitas pencahayaan yang tinggi.
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Variabel Penelitian


Pengukuran intensitas pencahayaan alami dilakukan dengan simulasi yang
dibantu dengan software DIALux evo 9.1. Objek penelitian yang dipilih yaitu gedung
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang pada bagian ruang kelas
lantai 2-5. Ruang kelas memiliki beragam ukuran yang berbeda dengan orientasi
bangunan yaitu utara dan selatan serta memiliki berbagai tipe jendela untuk menerima
cahaya langsung dari matahari. Material kaca yang digunakan yaitu single glazing
transparent stopsol supersilver dark blue. Ruang kelas dengan tinggi 4 m, tinggi
plafon 2,9 m dengan material papan gypsum standar board 9 mm, cat dinding warna
putih, material lantai homogenius tile 600 mm x 600 mm. Perhitungan tingkat
pencahayaan dihitung pada bidang kerja dengan ketinggian 0,8 m dari atas lantai.
Variabel input yang dilakukan pada penelitian ini adalah kondisi langit cerah,
berawan, dan mendung serta pemilihan waktu yaitu pukul 09.00, 12.00, dan 15.00.
Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dituliskan oleh Manurung (2009) bahwa
kondisi langit yang berawan, mendung, maupun cerah akan memberikan kondisi
visual yang berbeda serta pernyataan Sushanti (2015) bahwa 3 (tiga) jam sebelum
pukul 12.00, tepat pukul 12.00, dan 3 (tiga) jam setelah pukul 12.00 merupakan
waktu yang paling efektif dalam melakukan pengamatan sinar matahari.
Variabel output berupa false colors untuk memberikan informasi berupa nilai
intensitas pencahayaan alami pada ruang kelas. Dilakukan analisis pada hasil simulasi
untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi dan dilakukan perbandingan nilai
intensitas pencahayaan alami dengan standar SNI 03-6197-2000 tentang konservasi
energi pada sistem pencahayaan untuk menentukan kenyamanan visual pada ruang
kelas.

66
67

5.2 Kondisi Cuaca dan Orientasi Bangunan


Hasil simulasi berupa false colors dengan nilai yang berbeda-beda pada tiap
jenis kondisi cuaca dan tipe ruang kelas, akan didapatkan nilai intensitas pencahayaan
alami yang berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh kondisi cuaca, waktu dan
tanggal. Selain itu juga tergantung pada ukuran ruang kelas, orientasi bangunan, serta
material yang digunakan oleh ruangan. Nilai intensitas pencahayaan alami maksimum
terjadi pada area dekat dengan jendela. Sedangkan nilai intensitas pencahayaan alami
minimum terjadi pada area yang jauh dari jendela dan cenderung lebih gelap karena
cahaya matahari yang diterima lebih sedikit.
Pada bab ini akan dijelaskan hasil simulasi intensitas pencahayaan rata-rata,
maksimum, dan minimum pada tiap kondisi cuaca yaitu dilakukan pada ketiga jenis
kondisi cuaca yaitu cuaca cerah (clear sky), cuaca berawan (average sky), dan cuaca
mendung (overcast sky) serta dikelompokkan menurut orientasi bangunan pada tiap
ruang kelas yaitu utara dan selatan untuk mengetahui perbedaan yang terjadi. Selain
itu pengelompokan dilakukan pada tiap tipe ruang kelas berdasarkan tanggal dan
waktu simulasi yaitu pada tanggal 21 Maret, 21 Juni, 23 September, dan 22 Desember
serta pada pukul 09.00, 12.00, dan 15.00.

5.2.1 Cuaca Cerah (Clear Sky)


Berdasarkan data false colors, maka dapat diketahui nilai intensitas
pencahayaan alami. Pengelompokan berdasarkan kondisi cuaca cerah (clear sky)
dengan orientasi bangunan utara dan selatan yang ditunjukkan dalam grafik. Sumbu
horizontal pada grafik menunjukkan waktu dan tanggal simulasi, sumbu vertikal
merupakan nilai intensitas pencahayaan alami dalam satuan lux. Didalam grafik
ditunjukkan dalam 2 garis, garis biru menunjukkan nilai intensitas pencahayaan alami
sedangkan garis merah merupakan nilai standar SNI 03-6197-2000. Intensitas
pencahayaan saat kondisi cuaca cerah (clear sky) dengan orientasi utara ditunjukkan
dalam gambar 5.1, orientasi selatan ditunjukkan dalam gambar 5.2.
68

Intensitas Pencahayaan Rata-Rata Cuaca Clear Sky Orientasi Utara

Intensitas Pencahayaan Standar SNI

Intensitas Pencahayaan (lux) 1800


1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0

09.00 12.00 15.00 09.00 12.00 15.00 09.00 12.00 15.00 09.00 12.00 15.00
21 Maret 21 Juni 23 September 22 Desember

Waktu dan Tanggal Simulasi

Gambar 5.1 Grafik Intensitas Pencahayaan Rata-Rata Cuaca Cerah (Clear Sky)
Orientasi Bangunan Utara

Gambar 5.1 menunjukkan grafik intensitas pencahayaan rata-rata pada kondisi


cuaca cerah (clear sky) dengan orientasi bangunan utara. Orientasi bangunan utara
berada pada tipe ruang kelas 1, 3, 6, 8, 11, dan 13. Intensitas pencahayaan rata-rata
tergolong dalam kategori memenuhi standar SNI 03-6197-2000 pada tanggal 21
Maret, 23 September, dan 22 Desember yaitu mendekati nilai 250 lux.
Intensitas pencahayaan maksimum tergolong dalam kategori diatas standar
SNI 03-6197-2000 terjadi pada tanggal 21 Juni pukul 12.00 yaitu sebesar 1600 lux.
Hal tersebut terjadi karena pada tanggal 21 Juni matahari berada di titik balik utara,
yang berarti posisi matahari berada di sebelah utara dan menyebabkan bagian utara
mendapatkan intensitas pencahayaan alami yang tinggi sehingga mengalami panas.
Intensitas pencahayaan maksimum terjadi pada tipe ruang kelas 11 sebesar 2300 lux.
Tipe ruang kelas 11 dengan luas lantai 8m x 8m dengan tipe jendela J4B memiliki
luas jendela yang besar.
69

Intensitas pencahayaan minimum tergolong dalam kategori dibawah standar


SNI 03-6197-2000 terjadi pada tanggal 22 Desember pukul 12.00 yaitu sebesar 200
lux. Tipe ruang kelas 1 dengan luas lantai 10,5m x 8m dengan tipe jendela J4
memiliki luas jendela yang kecil. Intensitas pencahayaan alami minimum terjadi pada
tipe ruang kelas 1 sebesar 100 lux.
Pada tanggal dan waktu tertentu intensitas pencahayaan menghasilkan nilai
yang baik untuk digunakan dalam melakukan aktivitas. Saat kondisi cuaca cerah
(clear sky) dengan orientasi bangunan utara, intensitas pencahayaan alami yang baik
terjadi pada bulan selain 21 Juni. Intensitas pencahayaan alami yang bisa efektif
memberikan kenyamanan visual terjadi pada 21 Maret dan 23 September, karena
pada tanggal tersebut intensitas pencahayaan yang terjadi mendekati dengan standar
SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 250 lux.

Intensitas Pencahayaan Rata-Rata Cuaca Clear Sky Orientasi Selatan

Intensitas Pencahayaan Standar SNI

1500
Intensitas Pencahayaan (lux)

1250

1000

750

500

250

09.00 12.00 15.00 09.00 12.00 15.00 09.00 12.00 15.00 09.00 12.00 15.00
21 Maret 21 Juni 23 September 22 Desember

Waktu dan Tanggal Simulasi

Gambar 5.2 Grafik Intensitas Pencahayaan Rata-Rata Cuaca Cerah (Clear Sky)
Orientasi Bangunan Selatan
70

Gambar 5.2 menunjukkan grafik intensitas pencahayaan rata-rata pada kondisi


cuaca cerah (clear sky) dengan orientasi bangunan selatan. Orientasi bangunan
selatan berada pada tipe ruang kelas 2, 4, 5, 7, 9, 10, 12, 14, 15, 16, 17, 18, dan 19.
Intensitas pencahayaan rata-rata tergolong dalam kategori memenuhi standar SNI 03-
6197-2000 pada tanggal 21 Maret, 23 September, dan 22 Desember yaitu mendekati
nilai sebesar 250 lux.
Intensitas pencahayaan maksimum terjadi pada tanggal 22 Desember pukul
15.00 tergolong dalam kategori diatas standar SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 1250
lux. Hal tersebut terjadi karena pada tanggal Pada tanggal 22 Desember matahari
berada di titik balik selatan sehingga menyebabkan bagian selatan mendapatkan
intensitas pencahayaan alami yang tinggi sehingga mengalami panas. Intensitas
pencahayaan maksimum terjadi pada tipe ruang kelas 16 sebesar 4300 lux. Tipe ruang
kelas 16 dengan luas lantai 12m x 8m terdapat tipe jendela CW4A dengan orientasi
barat. Tingginya intensitas pencahayaan alami yang terjapada pukul 15.00 karena
pada tipe ruang kelas 16 terdapat jendela dengan orientasi barat. Pada saat sore hari
matahari tenggelam dan bergerak menuju ke arah barat sehingga tipe ruang kelas 16
memperoleh intensitas pencahayaan yang tinggi pada pukul 15.00.
Intensitas pencahayaan minimum terjadi pada tanggal 21 Juni pukul 09.00.
Tipe ruang kelas 2 dengan luas lantai 10,5m x 8m dengan tipe jendela J4 memiliki
luas jendela yang kecil. Intensitas pencahayaan alami minimum terjadi pada tipe
ruang kelas 2 sebesar 100 lux.
Pada tanggal dan waktu tertentu intensitas pencahayaan menghasilkan nilai
yang baik untuk digunakan dalam melakukan aktivitas. Saat kondisi cuaca cerah
(clear sky) dengan orientasi bangunan selatan, intensitas pencahayaan alami yang
efektif dapat memberikan kenyamanan visual terjadi pada 21 Maret pukul 09.00 dan
12.00, 21 Juni pukul 09.00 dan 12.00, dan 23 September pukul 09.00. Pada tanggal
tersebut intensitas pencahayaan yang terjadi mendekati dengan standar SNI 03-6197-
2000 yaitu sebesar 250 lux.
71

5.2.2 Cuaca Berawan (Average Sky)


Berdasarkan data false colors, maka dapat diketahui nilai intensitas
pencahayaan alami. Pengelompokan berdasarkan kondisi cuaca berawan (average
sky) dengan orientasi bangunan utara dan selatan yang ditunjukkan dalam grafik.
Sumbu horizontal pada grafik menunjukkan waktu dan tanggal simulasi, sumbu
vertikal merupakan nilai intensitas pencahayaan alami dalam satuan lux. Didalam
grafik ditunjukkan dalam 2 garis, garis biru menunjukkan nilai intensitas
pencahayaan alami sedangkan garis merah merupakan nilai standar SNI 03-6197-
2000. Intensitas pencahayaan saat kondisi cuaca berawan (average sky) dengan
orientasi utara ditunjukkan dalam gambar 5.3, orientasi selatan ditunjukkan dalam
gambar 5.4.

Grafik Hasil Simulasi Rata-Rata Cuaca Average Sky Orientasi Utara

Intensitas Pencahayaan Standar SNI

1000
Intensitas Pencahayaan (lux)

900
800
700
600
500
400
300
200
100
0

09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00
21 Maret 21 Juni 23 September 22 Desember

Waktu dan Tanggal Simulasi

Gambar 5.3 Grafik Intensitas Pencahayaan Rata-Rata Cuaca Berawan (Average


Sky) Orientasi Bangunan Utara

Gambar 5.3 menunjukkan grafik intensitas pencahayaan rata-rata pada kondisi


cuaca berawan (average sky) dengan orientasi bangunan utara. Orientasi bangunan
72

utara berada pada tipe ruang kelas 1, 3, 6, 8, 11, dan 13. Intensitas pencahayaan rata-
rata tergolong dalam kategori memenuhi standar SNI 03-6197-2000 pada tanggal 21
Maret pukul 12.00, 23 September pukul 12.00 dan 15.00, dan 22 Desember pukul
09.00 dan 15.00 yaitu mendekati nilai sebesar 250 lux.
Intensitas pencahayaan maksimum terjadi pada tanggal 21 Juni pukul 12.00
tergolong dalam kategori diatas standar SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 900 lux. Hal
tersebut terjadi karena pada tanggal 21 Juni matahari berada di titik balik utara, yang
berarti posisi matahari berada di sebelah utara dan menyebabkan bagian utara
mendapatkan intensitas pencahayaan alami yang tinggi sehingga mengalami panas.
Intensitas pencahayaan maksimum terjadi pada tipe ruang kelas 11 sebesar 1200 lux.
Tipe ruang kelas 11 dengan luas lantai 8m x 8m dengan tipe jendela J4B memiliki
luas jendela yang besar.
Intensitas pencahayaan minimum terjadi pada tanggal 22 Desember pukul
12.00 tergolong dalam kategori dibawah standar SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 150
lux. Tipe ruang kelas 1 dengan luas lantai 10,5m x 8m dengan tipe jendela J4
memiliki luas jendela yang kecil. Intensitas pencahayaan alami minimum terjadi pada
tipe ruang kelas 1 sebesar 100 lux.
Pada tanggal dan waktu tertentu intensitas pencahayaan menghasilkan nilai
yang baik untuk digunakan dalam melakukan aktivitas. Saat kondisi cuaca berawan
(average sky) dengan orientasi bangunan utara, intensitas pencahayaan alami yang
baik terjadi pada bulan selain 21 Juni. Intensitas pencahayaan alami yang bisa efektif
memberikan kenyamanan visual terjadi pada 21 Maret pukul 12.00, 23 September
pukul 12.00, dan 22 Desember pukul 09.00, karena pada tanggal tersebut intensitas
pencahayaan yang terjadi mendekati dengan standar SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar
250 lux.
73

Grafik Hasil Simulasi Rata-Rata Cuaca Average Sky Orientasi


Selatan

Intensitas Pencahayaan Standar SNI


Intensitas Pencahayaan (lux) 900
800
700
600
500
400
300
200
100
0

09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00
21 Maret 21 Juni 23 September 22 Desember
Waktu dan Tanggal Simulasi

Gambar 5. 4 Grafik Intensitas Pencahayaan Rata-Rata Cuaca Berawan (Average


Sky) Orientasi Bangunan Selatan

Gambar 5.4 menunjukkan grafik intensitas pencahayaan rata-rata pada kondisi


cuaca berawan (average sky) dengan orientasi bangunan selatan. Orientasi bangunan
selatan berada pada tipe ruang kelas 2, 4, 5, 7, 9, 10, 12, 14, 15, 16, 17, 18, dan 19.
Intensitas pencahayaan rata-rata tergolong dalam kategori memenuhi standar SNI 03-
6197-2000 pada tanggal 21 Maret pukul 12.00 dan 23 September pukul 12.00 yaitu
mendekati nilai sebesar 250 lux.
Intensitas pencahayaan maksimum terjadi pada tanggal 22 Desember pukul
15.00 tergolong dalam kategori diatas standar SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 850
lux. Hal tersebut terjadi karena pada tanggal Pada tanggal 22 Desember matahari
berada di titik balik selatan sehingga menyebabkan bagian selatan mendapatkan
intensitas pencahayaan alami yang tinggi sehingga mengalami panas. Intensitas
pencahayaan maksimum terjadi pada tipe ruang kelas 16 sebesar 2500 lux. Tipe ruang
kelas 16 dengan luas lantai 12m x 8m terdapat tipe jendela CW4A dengan orientasi
barat. Tingginya intensitas pencahayaan alami yang terjapada pukul 15.00 karena
74

pada tipe ruang kelas 16 terdapat jendela dengan orientasi barat. Pada saat sore hari
matahari tenggelam dan bergerak menuju ke arah barat sehingga tipe ruang kelas 16
memperoleh intensitas pencahayaan yang tinggi pada pukul 15.00.
Intensitas pencahayaan minimum terjadi pada tanggal 21 Maret pukul 12.00
dan 23 September pukul 12.00 namun tergolong dalam kategori memenuhi standar
SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 250 lux. Tipe ruang kelas 2 dengan luas lantai 10,5m
x 8m dengan tipe jendela J4 memiliki luas jendela yang kecil. Intensitas pencahayaan
alami minimum terjadi pada tipe ruang kelas 2 sebesar 100 lux.
Pada tanggal dan waktu tertentu intensitas pencahayaan menghasilkan nilai
yang baik untuk digunakan dalam melakukan aktivitas. Saat kondisi cuaca berawan
(average sky) dengan orientasi bangunan selatan, intensitas pencahayaan alami yang
efektif dapat memberikan kenyamanan visual terjadi pada 21 Maret pukul 12.00 dan
23 September pukul 12.00. Pada tanggal tersebut intensitas pencahayaan yang terjadi
mendekati dengan standar SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 250 lux.

5.2.3 Cuaca Mendung (Overcast Sky)


Berdasarkan data false colors, maka dapat diketahui nilai intensitas
pencahayaan alami. Pengelompokan berdasarkan kondisi cuaca mendung (overcast
sky) dengan orientasi bangunan utara dan selatan yang ditunjukkan dalam grafik.
Sumbu horizontal pada grafik menunjukkan waktu dan tanggal simulasi, sumbu
vertikal merupakan nilai intensitas pencahayaan alami dalam satuan lux. Didalam
grafik ditunjukkan dalam 2 garis, garis biru menunjukkan nilai intensitas
pencahayaan alami sedangkan garis merah merupakan nilai standar SNI 03-6197-
2000. Intensitas pencahayaan saat kondisi cuaca mendung (overcast sky) dengan
orientasi utara ditunjukkan dalam gambar 5.5, orientasi selatan ditunjukkan dalam
gambar 5.6.
75

Grafik Hasil Simulasi Rata-Rata Cuaca Overcast Sky


Orientasi Utara
Intensitas Pencahayaan Standar SNI
300
Intensitas Pencahayaan (lux)

250
200
150
100
50
0

09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00
21 Maret 21 Juni 23 September 22 Desember
Waktu dan Tanggal Simulasi

Gambar 5.5 Grafik Intensitas Pencahayaan Rata-Rata Cuaca Mendung (Overcast


Sky) Orientasi Bangunan Utara

Gambar 5.5 menunjukkan grafik intensitas pencahayaan rata-rata pada kondisi


cuaca mendung (overcast sky) dengan orientasi bangunan utara. Orientasi bangunan
utara berada pada tipe ruang kelas 1, 3, 6, 8, 11, dan 13. Intensitas pencahayaan rata-
rata tergolong dalam kategori dibawah standar SNI 03-6197-2000 yaitu dibawah nilai
250 lux.
Intensitas pencahayaan maksimum terjadi pada tanggal 21 Maret pukul 12.00,
23 September pukul 12.00, dan 22 Desember pukul 12.00 tergolong dalam kategori
dibawah standar SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 220 lux. Pada saat cuaca mendung
(overcast sky) intensitas pencahayaan alami yang terjadi sedikit sehingga ruang kelas
cenderung lebih gelap. Intensitas pencahayaan maksimum terjadi pada tipe ruang
kelas 11 dengan luas lantai 8m x 8m dengan tipe jendela J4B sebesar 330 lux
Intensitas pencahayaan minimum terjadi pada tanggal 21 Juni pukul 15.00
tergolong dalam kategori dibawah standar SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 125 lux.
Tipe ruang kelas 1 dengan luas lantai 10,5m x 8m dengan tipe jendela J4 memiliki
76

luas jendela yang kecil. Intensitas pencahayaan alami minimum terjadi pada tipe
ruang kelas 1 sebesar 100 lux.
Pada tanggal dan waktu tertentu intensitas pencahayaan menghasilkan nilai
yang baik untuk digunakan dalam melakukan aktivitas. Saat kondisi cuaca mendung
(overcast sky) dengan orientasi bangunan utara intensitas pencahayaan alami yang
bisa efektif memberikan kenyamanan visual terjadi pada 21 Maret pukul 12.00, 23
September pukul 12.00, dan 22 Desember pukul 12.00, karena pada tanggal tersebut
intensitas pencahayaan yang terjadi mendekati dengan standar SNI 03-6197-2000
yaitu sebesar 250 lux.

Grafik Hasil Simulasi Rata-Rata Cuaca Overcast Sky Orientasi


Selatan

Intensitas Pencahayaan Standar SNI


400
Intensitas Pencahayaan (lux)

350
300
250
200
150
100
50
0

09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00 09,00 12,00 15,00
21 Maret 21 Juni 23 September 22 Desember
Waktu dan Tanggal Simulasi

Gambar 5.6 Grafik Intensitas Pencahayaan Rata-Rata Cuaca Mendung (Overcast


Sky) Orientasi Bangunan Selatan

Gambar 5.4 menunjukkan grafik intensitas pencahayaan rata-rata pada kondisi


cuaca mendung (overcast sky) dengan orientasi bangunan selatan. Orientasi bangunan
selatan berada pada tipe ruang kelas 2, 4, 5, 7, 9, 10, 12, 14, 15, 16, 17, 18, dan 19.
77

Intensitas pencahayaan rata-rata tergolong dalam kategori diatas standar SNI 03-
6197-2000 yaitu diatas nilai 250 lux.
Intensitas pencahayaan maksimum terjadi pada tanggal 21 Maret pukul 12.00
tergolong dalam kategori diatas standar SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 375 lux.
Pada saat cuaca mendung (overcast sky) intensitas pencahayaan alami yang terjadi
sedikit sehingga ruang kelas cenderung lebih gelap. Intensitas pencahayaan
maksimum terjadi pada tipe ruang kelas 16 sebesar 800 lux. Tipe ruang kelas 16
dengan luas lantai 12m x 8m terdapat tipe jendela CW4A dengan orientasi barat.
Tingginya intensitas pencahayaan alami yang terjapada pukul 15.00 karena pada tipe
ruang kelas 16 terdapat jendela dengan orientasi barat. Pada saat sore hari matahari
tenggelam dan bergerak menuju ke arah barat sehingga tipe ruang kelas 16
memperoleh intensitas pencahayaan yang tinggi pada pukul 15.00.
Intensitas pencahayaan minimum terjadi pada tanggal 21 Juni pukul 15.00
tergolong dalam kategori dibawah standar SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 200 lux.
Tipe ruang kelas 2 dengan luas lantai 10,5m x 8m dengan tipe jendela J4 memiliki
luas jendela yang kecil. Intensitas pencahayaan alami minimum terjadi pada tipe
ruang kelas 2 sebesar 100 lux.
Pada tanggal dan waktu tertentu intensitas pencahayaan menghasilkan nilai
yang baik untuk digunakan dalam melakukan aktivitas. Saat kondisi cuaca mendung
(overcast sky) dengan orientasi bangunan selatan, intensitas pencahayaan alami yang
efektif dapat memberikan kenyamanan visual terjadi pada 21 Maret pukul 15.00 dan
21 Juni pukul 09.00. Pada tanggal tersebut intensitas pencahayaan yang terjadi
mendekati dengan standar SNI 03-6197-2000 yaitu sebesar 250 lux.
Hasil simulasi yang telah dikelompokkan dalam grafik menurut kondisi cuaca
dan orientasi bangunan jendela. Semakin cerah kondisi cuaca yang terjadi maka
intensitas pencahayaan yang diterima oleh bangunan semakin tinggi, namun jika
semakin gelap kondisi cuaca maka intensitas pencahayaan yang diterima bangunan
semakin rendah. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wika (2017), bahwa kondisi langit cerah (clear sky) memiliki intensitas pencahayaan
alami lebih tinggi dari kondisi langit berawan (average sky). Tetapi kondisi langit
78

berawan (average sky) memiliki intensitas pencahayaan alami lebih tinggi dari
kondisi langit mendung (overcast sky).
Intensitas pencahayaan maksimum terjadi pada tipe ruang kelas 16 berada di
lantai 5 yang memiliki luas lantai 12m x 8m dengan orientasi jendela menghadap
barat yaitu sebesar 4300 lux. Intensitas pencahayaan alami tersebut tergolong tinggi
jika dibandingkan dengan tipe ruang kelas lainnya dengan orientasi utara dan selatan.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Eddy (2004), arah bukaan barat-timur
akan memperoleh radiasi yang luas dan cahaya alami langsung menimbulkan panas
dan silau. Peraturan Gubernur Tahun 2012 No. 38 Tentang Panduan Pengguna
Bangunan Gedung Hijau Jakarta Vol. 3 Sistem Pencahayaan, bahwa jendela yang
baik menghadap selatan dan utara untuk memberikan penyebaran cahaya alami yang
cukup tanpa adanya terlalu banyak radiasi matahari langsung dan tidak memberikan
panas berlebihan.
Ruang kelas dengan orientasi bangunan utara dan selatan yang menerima
cahaya langsung dari matahari akan memberikan hasil simulasi yang berbeda.
Intensitas pencahayaan maksimum pada semua kondisi cuaca dengan orientasi
bangunan utara terjadi pada tanggal 21 Juni pukul 12.00. Milaningrum (2015), bahwa
diagram matahari memberikan informasi mengenai azimuth dan tinggi matahari pada
segala waktu di sepanjang tahun, karena pada tanggal 21 Juni kutub bagian utara
bumi berada paling dekat dengan matahari. Hal tersebut sesuai dengan hasil simulasi
bahwa jendela pada bagian utara mendapatkan sinar matahari yang tinggi sehingga
panas yang diterima oleh ruangan lebih banyak. Orientasi bangunan selatan terjadi
pada 22 Desember pukul 12.00. Milaningrum (2015), pada tanggal 22 Desember
kutub bagian selatan bumi berada paling dekat dengan matahari. Hal tersebut sesuai
dengan hasil simulasi bahwa jendela pada bagian selatan mendapatkan sinar matahari
yang tinggi sehingga panas yang diterima oleh ruangan lebih banyak.
Intensitas pencahayaan alami yang bisa efektif memberikan kenyamanan
visual dengan orientasi bangunan utara dan selatan pada kondisi cuaca cerah (clear
sky) terjadi pada 21 Maret , kondisi cuaca berawan (average sky) terjadi pada 21
Maret pukul 12.00 dan 23 September pukul 12.00, kondisi cuaca mendung (overcast
79

sky) terjadi pada 21 Maret. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Noorhayati (2015)
bahwa pada tanggal 21 Maret adalah tanggal yang paling optimal dalam pembentukan
berkas cahaya, karena berkas cahaya yang masuk kedalam ruang paling sedikit
dibandingkan dengan tanggal 21 Juni dan 22 Desember.

5.3 Kenyamanan Visual dengan Standar


Berdasarkan penjelasan diatas hasil simulasi dikelompokkan tiap tipe ruang
kelas berdasakan kondisi cuaca dan orientasi bangunan. Nilai rata-rata yang diperoleh
dibandingkan dengan SNI 03-6197-2000 tentang konservasi energi pada sistem
pencahayaan. Kenyamanan visual berkaitan dengan tingkat pencahayaan yang tepat
sesuai dengan fungsi ruangan yang digunakan. Intensitas pencahayaan alami menurut
SNI 03-6197-2000 dalam fungsi ruang kelas tergolong dalam kategori nyaman yaitu
sebesar 250 lux. Tabel 5.1 menunjukkan nilai intensitas pencahayaan untuk
menentukan kondisi kenyamanan visual pada tiap ruang kelas yang dilakukan
perbandingan dengan SNI 03-6197-2000.

Tabel 5.1 Kondisi Kenyamanan Visual pada Tiap Tipe Ruang Kelas
Kondisi Cuaca
Tipe
Cerah Berawan Mendung Kesimpulan
Ruang Kelas
(Clear Sky) (Average Sky) (Overcast Sky)
(1) (2) (3) (4) (5)
1 213,61 202,86 99,63 172,03
2 173,31 189,65 123,58 162,18
3 360,15 309,5 147,65 272,43
4 141,92 180,39 124,28 148,87
5 144,69 183,57 126,82 151,69
6 501,15 427,08 199,58 375,94
7 332,08 380 251,5 321,19
8 388,85 332 155,83 292,23
9 422,77 441,08 280,25 381,37
80

(1) (2) (3) (4) (5)


10 611,38 568,67 344,42 508,16
11 612,15 534,5 253,08 466,58
12 347,25 379,67 253,83 326,92
13 517,17 418,33 198,42 377,97
14 446,08 447,25 288,67 394,00
15 717,08 620,33 375,67 571,03
16 2037 1310,33 620,58 1322,64
17 355,5 388 259,17 334,22
18 402 425,75 280,25 369,33
19 727,17 631,17 380,92 579,75
Keterangan : 00 = Diatas Standar 00 = Mendekati Standar 00 = Dibawah Standar

Agar dapat melakukan aktivitas dalam ruang kelas dengan baik maka
dibutuhkan kenyamanan visual yang dapat mendukung proses belajar mengajar.
Perbandingan nilai intensitas pencahayaan alami dengan SNI 03-6197-2000 yang
terjadi pada tipe ruang kelas 1, 2, 4, dan 5 dibawah standar yang berlaku, nilai yang
didapatkan dibawah 250 lux. Tipe ruang kelas 3, 6 hingga 19, intensitas pencahayaan
alami yang terjadi diatas standar, nilai yang didapatkan diatas 250 lux.
Perbedaan hasil simulasi pada tiap ruang kelas dipengaruhi oleh perbedaan
ukuran ruangan, elevasi lantai tiap ruangan, orientasi bangunan, dan tipe jendela.
Ukuran ruang kelas yang semakin besar akan memperoleh pencahayaan alami
semakin sedikit, pada lokasi yang jauh dari jendela akan semakin gelap. Ukuran
jendela yang besar akan memberikan perolehan intensitas pencahayaan alami
semakin banyak. Tipe jendela dengan ukuran yang beragam serta jenis kaca dengan
berbagai nilai reflektifitas dan transmisi, berpengaruh terhadap perolehan
pencahayaan pada tiap ruangan. Semakin besar nilai reflektifitas dan semakin kecil
nilai trasmisi, pencahayaan yang diperoleh ruangan akan semakin kecil, begitupula
sebaliknya.
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil dan pembahasan sebelumnya akan
disajikan sebagai berikut:
1) Simulasi dilakukan dengan 19 tipe ruang kelas dengan masing-masing posisi
lantai yang memiliki elevasi tiap lantai berbeda, ukuran ruang kelas (panjang
dan lebar), tipe jendela, orientasi bangunan yaitu arah hadap jendela yang
memperoleh pencahayaan alami.
2) Kondisi langit dalam simulasi dilakukan pada kondisi cuaca cerah (clear sky),
cuaca berawan (average sky), dan cuaca mendung (overcast sky). Tanggal 21
Maret, 21 Juni, 23 September, dan 22 Desember. Waktu pukul 09.00, 12.00,
dan 15.00.
3) Hasil simulasi yang telah dikelompokkan dalam grafik menurut kondisi cuaca
dan orientasi bangunan jendela. Semakin cerah kondisi cuaca yang terjadi maka
intensitas pencahayaan yang diterima oleh bangunan semakin tinggi, namun
jika semakin gelap kondisi cuaca maka intensitas pencahayaan yang diterima
bangunan semakin rendah. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Wika (2017), bahwa kondisi langit cerah (clear sky) memiliki
intensitas pencahayaan alami lebih tinggi dari kondisi langit berawan (average
sky). Tetapi kondisi langit berawan (average sky) memiliki intensitas
pencahayaan alami lebih tinggi dari kondisi langit mendung (overcast sky).
4) Intensitas pencahayaan maksimum terjadi pada tipe ruang kelas 16 berada di
lantai 5 yang memiliki luas lantai 12m x 8m dengan orientasi jendela
menghadap barat yaitu sebesar 4300 lux. Intensitas pencahayaan alami tersebut
tergolong tinggi jika dibandingkan dengan tipe ruang kelas lainnya dengan
orientasi utara dan selatan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Eddy
(2004), arah bukaan barat-timur akan memperoleh radiasi yang luas dan cahaya
alami langsung menimbulkan panas dan silau. Peraturan Gubernur Tahun 2012

81
82

No. 38 Tentang Panduan Pengguna Bangunan Gedung Hijau Jakarta Vol. 3


Sistem Pencahayaan, bahwa jendela yang baik menghadap selatan dan utara
untuk memberikan penyebaran cahaya alami yang cukup tanpa adanya terlalu
banyak radiasi matahari langsung dan tidak memberikan panas berlebihan.
5) Intensitas pencahayaan maksimum pada semua kondisi cuaca dengan orientasi
bangunan utara terjadi pada tanggal 21 Juni pukul 12.00. Milaningrum (2015),
bahwa diagram matahari memberikan informasi mengenai azimuth dan tinggi
matahari pada segala waktu di sepanjang tahun, karena pada tanggal 21 Juni
kutub bagian utara bumi berada paling dekat dengan matahari. Hal tersebut
sesuai dengan hasil simulasi bahwa jendela pada bagian utara mendapatkan
sinar matahari yang tinggi sehingga panas yang diterima oleh ruangan lebih
banyak. Orientasi bangunan selatan terjadi pada 22 Desember pukul 12.00.
Milaningrum (2015), pada tanggal 22 Desember kutub bagian selatan bumi
berada paling dekat dengan matahari. Hal tersebut sesuai dengan hasil simulasi
bahwa jendela pada bagian selatan mendapatkan sinar matahari yang tinggi
sehingga panas yang diterima oleh ruangan lebih banyak.
6) Intensitas pencahayaan alami yang bisa efektif memberikan kenyamanan visual
dengan orientasi bangunan utara dan selatan pada kondisi cuaca cerah (clear
sky) terjadi pada 21 Maret , kondisi cuaca berawan (average sky) terjadi pada
21 Maret pukul 12.00 dan 23 September pukul 12.00, kondisi cuaca mendung
(overcast sky) terjadi pada 21 Maret. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
Noorhayati (2015) bahwa pada tanggal 21 Maret adalah tanggal yang paling
optimal dalam pembentukan berkas cahaya, karena berkas cahaya yang masuk
kedalam ruang paling sedikit dibandingkan dengan tanggal 21 Juni dan 22
Desember.
7) Nilai rata-rata yang diperoleh dibandingkan dengan SNI 03-6197-2000 dalam
fungsi ruang kelas, tergolong dalam kategori nyaman yaitu sebesar 250 lux.
Pada tipe ruang kelas 1, 2, 4, dan 5 intensitas pencahayaan alami dibawah
standar yang berlaku yaitu dibawah 250 lux. Tipe ruang kelas 3, 6 hingga 19,
83

intensitas pencahayaan alami yang terjadi diatas standar, nilai yang dihasilkan
diatas 250 lux.

6.2 Saran
Berikut beberapa saran yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya,
yaitu sebagai berikut:
1) Sebaiknya mencoba menambahkan pemodelan simulasi dengan pencahayaan
buatan (lampu) untuk digunakan penambahan pada kondisi cuaca yang tidak
memenuhi standar.
2) Sebaiknya menambah variabel input furniture dalam ruang kelas serta
menambah faktor lain non-alamiah untuk mengetahui pengaruh penambahan
variabel tersebut.
3) Sebaiknya menambah jenis objek penelitian yaitu fungsi ruangan lain untuk
mendapatkan hasil intensitas pencahayaan alami yang lebih beragam.
4) Sebaiknya melakukan pemodelan bangunan dengan software 3D (sketchup)
agar mendapatkan pemodelan yang baik.
5) Sebaiknya mencoba melakukan rekomendasi desain dengan bantuan software
DIALux evo untuk menunjukkan hasil desain yang sesuai dengan standar.
REFERENCES

Amin, A.R.Z., dkk. 2016. Studi Pencahayaan Alami pada Rumah Limas Panggung
Palembang (Simulasi dengan Program Ecotect 5.0). Skripsi. Palembang:
Universitas Katholik Musi Charitas.
Atthaillah, dkk. 2017. Simulasi Pencahayaan Alami pada Gedung Program Studi
Arsitektur Universitas Malikussaleh. Jurnal Arsitektur, 16(2), 113-124. Dari
https://doi.org/10 .24853/nalars.16.2.113-124.
Avesta, R., dkk. 2017. Strategi Desain Bukaan Terhadap Pencahayaan Alami untuk
Menunjang Konsep Bangunan Hemat Energi pada Rusunawa Jatinegara Barat.
Jurnal Rekayasa Hijau, 1(2), 124-135. Dari https://ejurnal.itenas.ac.id/index.
php/rekayasahijau/article/ view/1633.
Azahra. 2014. Gambaran Pemenuhan Standar Pencahayaan Perpustakaan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2014. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Baroudi, E. 2012. The Difference Between DIALux evo and DIALux 4.12, (Online),
(https://ezzatbaroudi.wordpress.com/2012/04/26/the-difference-between
dialux-evo-and-dialux-4-10/), diakses tanggal 8 Maret 2020.
Dhini, D.R.F. 2016. Evaluasi Bukaan Pencahayaan Alami untuk Mendapatkan
Kenyamanan Visual pada Ruang Perkuliahan. Skripsi. Malang: Universitas
Brawijaya.
DIAL company. 2020. DIALux, Lighting, Smart Building. (Online), (https://www.
dial.de/en/company/), diakses: 3 Maret 2020.
Dora, P.E., Nilasari, P.F. 2011. Pemanfaatan Pencahayaan Alami pada Rumah
Tinggal Tipe Townhouse di Surabaya. Makalah disajikan dalam Seminar
Nasional Living Green: Mensinergikan Kehidupan, Mewujudkan
Keberlanjutan, Jurusan Desain Interior, Surabaya, 26 Mei.

84
85

Eddy, F. 2004. Pengaruh Pengkondisian Udara, Pencahayaan, dan Pengendalian


Kebisingan Pada Perancangan Ruang dan Bangunan. Skripsi. Sumatera :
Universitas Sumatera Utara.
Hamdi, S. 2014. Mengenal Lama Penyinaran Matahari Sebagai Salah Satu Parameter
Klimatologi. Jurnal Berita Dirgantara, 15(1), 7-16. Dari http://jurnal.lapan.
go.id/index.php/berita_dirgantara/article/viewFile/2068/1878.
Ilmugeografi.com. 2020. Ilmu Bum:Garis Bujur dan Garis Lintang. (Online), (https://
ilmugeografi.com/ilmu-bumi), diakses 29 September 2020.
Karyono, T.H. 2010. Kenyamanan Termal dan Penghematan Energi: Teori dan
Realisasi dalam Desain Arsitektu. Makalah disajikan dalam Seminar dan
Pelatihan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Jurusan Arsitektur, Jakarta, 20
Maret.
Keputusan menteri kesehatan Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 Tahun 2002 tentang
Persyaratan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran Dan
Industri. (Online), (https://indok3ll.com/keputusan-menteri-kesehatan
republik-indonesia-nomor-1405-menkes-sk-xi-2002/), diakses 9 Februari 2020.
Kusuma, K. 2016. Desain Shading Device pada Bangunan Kantor Surabaya. Skripsi.
Malang: Universitas Brawijaya.
Latifah, N.L. 2015. Fisika Bangunan 1. Jakarta Timur: Griya Kreasi.
Lechner, N. 2007. Heating, Cooling, Lighting: Metode Desain untuk Arsitektur, Edisi
2. Terjemahan Sandrina Siti. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Lestari, dkk. 2014. Penerapan Material Kaca dalam Arsitektur. Jurnal Langkau
Betang, 1(2), 30-42. http://jurnal.untan.ac.id/index.php/lb/article/view/18798.
Noorhayati, H. 2015. Peran Sun Shading Terhadap Tingkat Pencahayaan Alami dan
Pembentukan Berkas Cahaya pada Ruang Kelas dan Laboratorium Komputer
Studi Kasus Gedung Laboratorium FEB Undip. Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Mahaputri, H.E. 2010. Studi Simulasi Model Penerangan Alami (Daylighting) Ruang
pada Bangunan Fasilitas Pendidikan Tinggi dengan Superlite 2.0. Jurnal
86

Teknologi dan Kejuruan, 33(2), 201-210. Dari http://journal.um.ac.id/index.


php/teknologi-kejuruan/article/view/3056/428.
Manurung, P. 2009. Desain Pencahayaan Arsitektural. Yogyakarta: Andi Offset.
Meijs, P.J.M. 1983. Membangun Fisika Bangunan. Terjemahan E. Diraatmadja.
Jakarta: Erlangga. 1982.
Milaningrum, T.H. 2015. Optimalisasi Pencahayaan Alami dalam Efisiensi Energi di
Perpustakanaan UGM. Makalah disajikan dalam Prosiding Seminar Topik
Khusus, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Yogyakarta, Juli 2015.
Nuha, M.U. 2018. Pencahayaan Alami pada Ruang Kelas (Studi Kasus Gedung
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. Skripsi. Malang: Universitas
Brawijaya.
Nurhadi, dkk. 2009. Jelajah Cakrawala Sosial. Bandung: CV. Citra Praya.
Panjaitan, D.M. 2018. Pengaruh Lubang Cahaya dan Bidang Refleksi Terhadap
Efektivitas Pencahayaan Alami di Rumah Kindah Office Jakarta. Jurnal RISA
(Riset Arsitektur), 02(01), 70-88. Dari http://journal.unpar.ac.id/index.php/risa
/article/download/2932/2500.
Pangga, D.R. 2018. Performasi Kontroler Linier Quadratic Regulator (LQR) pada
Tracking Sinar Matahari. Skripsi. Padang: Universitas Andalas.
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Panduan
Pengguna Bangunan Gedung Hijau Jakarta Vol.1 Selubung Bangunan.
(Online), (https://greenbuilding.jakarta.go.id/files/userguides/IFCGuideVol1-
IND-edit.pdf), diakses 16 April 2020.
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Panduan
Pengguna Bangunan Gedung Hijau Jakarta Vol.3 Sistem Pencahayaan.
(Online), (https://docplayer.info/51545512-Vol-3-sistem-pencahayaan.html),
diakses 16 April 2020.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 Tahun 2006 tentang
Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung. (Online), (http://birohukum.
pu.go.id/uploads/DPU/2006/PerMenPU29-2006.pdf), diakses 4 Februari 2020.
87

PT. Asahimas Flat Glass, Tbk. 2015. Architectural Glass. (Online), (http://www.
amfg.co.id/en/product/flat-glass/our-exterior/stopsol.html), diakses: 20 Agustus
2020.
Putri, C.R. 2015. Efisiensi Pencahayaan pada Bangunan Gedung dengan Bantuan
Perangkat Lunak (Studi Analisa Pada Gedung Sarana Jaya 3 Pramuka–
Jakarta Timur). Skripsi. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Rahmi, D.H. 2015. Pengaturan Penghawaan dan Pencahayaan pada Bangunan.
(Online), (https://arsitekturdanlingkungan.wg.ugm.ac.id/2015/11/20/
pengaturan-penghawaan-dan-pencahayaan-pada-bangunan/), diakses 16 April
2020.
Retnawati, dkk. 2013. Estimasi Keadaan Cuaca di Kota Pontianak Menggunakan
Aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan (JST) Algoritma Hopfied. Jurnal POSITRON,
3(2), 43-46. Dari http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpositron/article/view/
5136/5262.
Sabtalistia, Y.A. 2017. Optimalisasi Pencahayaan Alami dengan Alat Pembayang
Matahari (Shading Device) pada Jendela Ruang Kelas. Jurnal Muara Sains,
Teknologi, Kedokteran, dan Ilmu Kesehatan, 1(1), 196-203. Dari https://
journal.untar.ac.id/index.php/jmistki/article/view/430/375.
Sari, D.L. 2017. Pengaruh Window-To-Wall Ratio Terhadap Kenyamanan Visual
pada Apartemen Mahasiswa di Surabaya. Skripsi. Malang: Universitas
Brawijaya.
Satwiko, P. 2009. Fisika Bangunan. Yogyakarta: Andi Offset.
SNI-03-2396-2001 Tahun 2001 tentang Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan
Alami pada Bangunan Gedung, (Online), (https://mmbeling.
files.wordpress.com/2008/09/sni-03-2396-2001.pdf), diakses 4 Februari 2020.
Sushanti, A.B. 2015. Pengaruh Fasade Bangunan Terhadap Pencahayaan Alami
pada Laboratorium Politeknik Negeri Malang. Skripsi. Malang: Universitas
Brawijaya.
Tangoro, D. 2004. Utilitas Bangunan, Edisi II. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
88

Tempered Glass Medan. 2020. Jenis Kaca. (Online), (https://temperedglassmedan.


web.id/jenis-kaca/), diakses: 16 Oktober 2020.
Veriawan, H. 2010. Dasar Teori Sistem, Model, dan Simulasi, (Online), (https://
indraaawan.blog.uns.ac.id/files/2010/04/dasar-teori.pdf), diakses 8 Maret 2020.
Wicaksono, A.A., Tisnawati, E. 2014. Teori Interior. Jakarta: Griya Kreasi.
Widarwati. 2016. Modul Pelatihan Guru. Batu: Pusat Pengembangan Dan
Pemberdayaan Pendidik DanTenaga Kependidikan Pendidikan
Kewarganegaraan Dan Ilmu Pengetahuan Sosial (PPPPTK PKn Dan IPS).
Wika, A.N. 2017. Analisis Intensitas Pencahayaan Alami pada Ruang Pertemuan di
Gedut COT Fakultas Teknik Gowa Universitas Hasanuddin. Skripsi. Gowa:
Universitas Hasanuddin.
Yudiansah, C. 2013. Analisis Kenyamanan Ruang Perpustakaan Universitas Negeri
Semarang Berdasarkan Persepsi Mahasiswa (Studi Kasus: Ruang Baca
Koleksi Skripsi Perpustakaan Universitas Negeri Semarang). Skripsi.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Yuuwono, A.B. 2007. Pengaruh Orientasi Bangunan Terhadap Kemampuan
Menahan Panas pada Rumah Tinggal di Perumahan Wonorejo Surakarta.
Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai