Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cahaya berperan penting dalam penyampaian informasi visual sehingga dapat diakses
oleh indera penglihatan dan kemudian disampaikan kepada otak untuk diolah menjadi sebuah
keputusan (Manurung, 2012). Menurut Kepmenkes No. 1405/MENKES/SK/XI/2002,
pencahayaan merupakan banyaknya penyinaran yang diperlukan pada suatu tempat agar dapat
melaksanakan kegiatan secara efektif. Pada waktu pagi hingga sore hari bangunan dapat
memanfaatkan pencahayaan alami serta sedikit pencahayaan buatan sebagai pelengkap untuk
memenuhi aspek estetika dan distribusi cahaya. Menurut SNI 03-2396-2001, pencahayaan
alami siang hari dapat dikatakan baik pada siang hari antara jam 08.00 – 16.00 waktu setempat.
Pada bukunya Latifah (2015) menjelaskan apabila pencahayaan alami belum memenuhi
standar maka dapat dibantu dengan pencahayaan buatan. Namun lebih baik jika dapat
memaksimalkan penggunaan pencahayaan alami pada bangunan karena manfaatnya bagi
pengguna dan bersifat ramah lingkungan.
Pencahayaan adalah aspek utama dari kenyamanan visual yang menjadi salah satu
faktor agar penghuni merasa aman, nyaman, dan sehat. Dengan tercapainya kenyamanan visual
diharapkan kemampuan untuk berkonsentrasi dan produktivitas dapat meningkat. Pada suatu
bangunan terdapat beberapa ruangan dengan fungsi berbeda yang membutuhkan intensitas
pencahayaan secara spesifik. Kecukupan pencahayaan alami dapat ditinjau dari intensitas
cahaya pada suatu ruangan. SNI 03-6197-2000 memberikan rekomendasi nilai minimal
intensitas pencahayaan alami untuk setiap jenis ruangan.
Salah satu cara untuk mencapai kenyamanan visual pada suatu ruang adalah dengan
menyediakan bukaan yang cukup. Namun intensitas cahaya yang dimasukan ke dalam suatu
ruang harus disesuaikan dengan jenis kegiatan penghuninya. Keberhasilan strategi
pencahayaan alami tidak hanya memaksimalkan intensitas cahaya di dalam ruang tetapi juga
mengoptimalkan kualitas distribusi pencahayaan alami bagi penghuni ruang (Boubekri, 2008).
Maka kenyamanan visual tercapai apabila intensitas cahaya minimal terpenuhi dan tersebar
secara merata dalam ruangan.
Gedung Fakultas Pascasarjana Universitas Negeri Malang adalah bangunan tinggi yang
memiliki 9 lantai berbentuk persegi panjang dengan orientasi memanjang ke arah timur laut
dan barat daya. Sebagian besar ruangan digunakan sebagai kelas untuk kegiatan perkuliahan
dari pagi hingga sore hari. Tercapainya kenyaman visual melalui pencahayaan alami bagi
pengguna ruang adalah faktor yang penting. Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh
dengan memanfaatkan pencahayaan alami dari segi produktifitas, kesehatan hingga
lingkungan. Sistem koridor bangunan berjenis double-loaded corridor, terdapat lorong panjang
di tengah yang menjadi pemisah antara ruang di kanan – kirinya. Tipe bukaan pada ruang kelas
adalah bilateral lighting, satu sisi menghadap luar dan sisi lainnya menghadap koridor. Jenis
bukaan atau jendela yang digunakan ada 3 jenis yaitu top hung window, vertical pivot window,
dan fixed window. Untuk mengurangi intensitas cahaya serta panas berlebih bukaan yang
menghadap sisi luar bangunan dilengkapi vertical blind. Dimensi dan interior ruang kelas
tipikal atau sama disetiap lantai, hanya beda secara layout ruangan dan letak posisi bukaan pada
dinding sisi luar bangunan. Rasio bukaan terhadap luas lantai atau window to floor ratio (WFR)
setiap ruangan telah memenuhi minimal nilai 10%, tetapi bukaan pada sisi yang menghadap
koridor tidak memberikan pencahayaan sebesar sisi yang menghadap luar bangunan. Akan ada
resiko pencahayaan alami tidak terdistribusi merata dan fluktuasi intensitas cahaya yang tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi pencahayaan alami pada ruang
kuliah, dan orientasi serta rasio luas bukaan terhadap kenyamanan visual yang menjadi aspek
penting saat kegiatan belajar – mengajar. Penelitian pada Gedung Fakultas Pascasarjana
Universitas Negeri Malang dikarenakan belum ada identifikasi sistem pencahayaan alami
terhadap kenyamanan visual untuk bangunan ini. Pengukuran langsung dan simulasi
menggunakan software adalah upaya untuk menilai intensitas pencahayaan alami pada ruang
kelas di Gedung Fakultas Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

1.2 Rumusan Masalah


Dari penjelasan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kenyamanan visual berdasarkan distribusi pencahayaan alami pada
ruang kuliah Gedung Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang?
2. Bagaimana kenyamanan visual berdasarkan orientasi dan rasio luas bukaan pada
ruang kuliah Gedung Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kenyamanan visual berdasarkan distribusi pencahayaan alami pada
ruang kuliah Gedung Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.
2. Mengetahui kenyamanan visual berdasarkan orientasi dan rasio luas bukaan pada
ruang kuliah Gedung Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Mempelajari dan mengetahui parameter – parameter fisika bangunan dalam bidang
teknik pencahayaan.
2. Mengetahui penerapan dan cara kerja software DIALux untuk simulasi
pencahayaan.
3. Mengetahui distribusi pencahayaan alami pada ruang kuliah Gedung Pasca Sarjana
Universitas Negeri Malang.
4. Mengetahui pengaruh orientasi dan luas bukaan terhadap distribusi pencahayaan
alami.
5. Menambah refrensi atau studi literatur dalam mencari tingkat kenyamanan visual
bagi penelitian sejenis.

1.5 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Objek penelitan merupakan ruang dengan fungsi kelas pada Gedung Pascasarjana
Universitas Negeri Malang.
2. Pengukuran pencahayaan alami pada pukul 09.00 WIB, 12.00 WIB dan 15.00 WIB
serta dilakukan ketika ruangan dalam keadaan kosong dan tidak ada penghalang
pada bukaan atau jendela.
3. Faktor yang diperhitungkan adalah jendela, dinding, plafon, dan lantai.
4. Software yang digunakan untuk simulasi adalah DIALux evo.
5. Standar dan peraturan yang digunakan sebagai refrensi adalah SNI 7062-2019
Pengukuran Intensitas Pencahayaan di Tempat Kerja, SNI 03-2396-2001 Tata Cara
Perancangan Sistem Pencahayaan Alami pada Bangunan Gedung, SNI 03-6197-
2000 Konservasi Energi Sistem Pencahayaan pada Bangunan Gedung, EN 12464-
1:2011 Light and lighting – Lighting of work places – Part 1: Indoor work places,
BSNP 2011 Rancangan Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Tinggi Program
Pascasarjana dan Profesi, PERMEN Pekerjaan Umum Nomor : 29/PRT/M/2006
tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, dan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.

1.6 .Definisi Operasional


Definisi operasional yang digunakan dan sebagai istilah yang terdapat dalam
penelitian ini adalah:
1. Pencahayaan alami adalah sistem pencahayaan yang memanfaatkan cahaya dari
sumber cahaya alami seperti cahaya bola langit yang terdiri dari cahaya difus dari
matahari.
2. Intensitas pencahayaan adalah kuantitas arus cahaya (ϕ) per satuan meter luas (𝑚 )
atau disebut iluminasi (E) dengan satuan ukur lux (lx). Alat ukur berupa lux meter
3. Distribusi pencahayaan adalah persebaran pencahayaan pada suatu area ukur,
4. Window to Floor Ratio adalah nilai perbandingan luasan bukaan dengan luasan
ruangan.
5. Kenyamanan visual adalah kombinasi paling baik dari beberapa faktor untuk
mengoptimalkan kesejahteraan dan perasaan nyaman terkait sistem pencahayaan
(Thuillier, Agustus 21, 2017).
6. Software DIALux evo adalah software dengan basis 3D CAD yang dapat digunakan
untuk menghitung dan memvisualisasikan pencahayaan, dapat digunakan untuk
mengevaluasi dan melakukan perencanaan pencahayaan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pencahayaan
Menurut Kepmenkes No. 1405 Tahun 2002, pencahayaan merupakan
banyaknya kebutuhan cahaya pada bidang kerja untuk melaksanakan kegiatan
secara efektif. Maka pencahayaan merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi produktivitas manusia dalam kegiatan sehari – hari. Secara
fungsional pencahayaan digunakan manusia untuk mendapatkan informasi visual
mengenai kondisi disekelilingnya. Pencahayaan yang mampu menciptakan suasana
nyaman dan memuaskan perasaan merupakan pencahayaan yang berkualitas baik
(Manurung, 2009)
Berdasarkan sumber energinya, pencahayaan dibagi menjadi dua, yaitu
pencahayaan alami dan pencahayaan buatan. Sebelum listrik dan bola lampu
terjangkau oleh masyarakat umum, untuk memenuhi kebutuhan akan penerangan
ruangan, pencahayaan alami merupakan pilihan utama (Lechner, 2015).
Pencahayaan alami akan dominan digunakan ketika pagi hingga sore hari ketika
cahaya dari matahari dalam kondisi optimal mengeluarkan cahaya, dan
pencahayaan buatan akan digunakan ketika memasuki waktu malam. Pencahayaan
buatan juga berfungsi sebagai suplemen di pagi hingga sore ketika kondisi cuaca
mendung yang mengakibatkan rendahnya intensitas pencahayaan alami.

2.1.1 Pencahayaan Alami


Pencahayaan alami adalah sinar matahari yang masuk ke dalam bangunan.
Menurut Dora & Nilasari (2011) istilah untuk sinar matahari yang berperan sebagai
penerangan interior disebut dengan daylight. Sumber pencahayaan alami pada
ruang dibedakan menjadi empat (Koenigsberger dkk, 2010), yaitu:
1. Cahaya difus dari terang langit
2. Cahaya difus dari pantulan luar (tanah atau bangunan lainnya)
3. Cahaya difus dari pantulan dalam (dinding, plafon atau permukaan
objek di dalam ruangan)
4. Cahaya matahari langsung
Dari beberapa sumber pencahayaan alami yang ada, matahari adalah sumber
cahaya utama yang dapat dimanfaatkan dan dikelola karena menghasilkan cahaya
yang melimpah. Terutama pada daerah beriklim tropis, yang mendapat sinar
matahari di sepanjang tahun. Namun sinar matahari langsung harus tetap dihindari
penggunaannya mengingat akan berpeluang menyebabkan silau (glare) dan
meningkatkan suhu ruang akibat radiasi.
Sumber pencahayaan alami yang baik digunakan yaitu cahaya difus dari
terang langit, cahaya difus dari pantulan luar, dan cahaya difus dari pantulan dalam.
Seperti menurut Satwiko (2009), bahwa meletakkan bangunan di tengah tapak
tanah atau dengan menciptakan halaman di tengah bangunan dapat membantu
masuknya cahaya ke dalam ruangan. Dengan begitu cahaya difus dari pantulan luar
dapat masuk ke dalam bangunan. Cara ini merupakan solusi yang baik untuk
kawasan beriklim tropis dan sub-tropis tetapi dapat menyebabkan masalah
kesilauan karena sudut datang cahayanya yang rendah.
Menurut Lechner (2015), pemanfaatan pencahayaan alami sedikit
menantang dibandingkan dengan sistem pencahayaan buatan yang lebih simpel dan
mudah diatur intensitasnya, namun dengan memanfaatkan pencahayaan alami dapat
menghemat konsumsi energi. Karena sumber pencahayaan alami tidak dapat
direkayasa maka, pemanfaatannya sebagai penerangan ruangan perlu
memperhatikan aspek kenyamanan penghuni ruang itu sendiri. Cahaya matahari
yang tersedia terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan, dapat berlebihan maupun
kurang (Panjaitan, 2018). Untuk itu diperlukan pemahaman tentang faktor yang
mempengaruhi pencahayaan alami.

2.1.2 Faktor Pencahayaan Alami


Menurut SNI 03-2396-2001, faktor pencahayaan alami atau Daylight
Factor adalah perbandingan persentase antara arus cahaya pada suatu titik bidang
kerja dalam ruangan dengan arus cahaya di luar ruang pada bidang datar. Ada tiga
komponen faktor pencahayaan alami (DF), yaitu:

1) Sky component (SC), yaitu komponen cahaya dari cahaya terang langit yang
terlihat dari titik ukur. Nilai SC dipengaruhi oleh dimensi dan letak bukaan
pada bidang dinding, serta penghalang di sekitar bangunan.
Gambar 2. 1 Visualisasi Komponen Cahaya
Sumber: SNI 03-2396-2001

2) Externally Reflected Component (ERC), yaitu komponen cahaya pantulan


permukaan penghalang di luar ruangan. Nilai ERC dipengaruhi oleh dimensi
penghalang di depan bukaan, serta nilai pantulan bidang penghalang.

Gambar 2. 2 Visualisasi Komponen Refleksi Luar


Sumber: SNI 03-2396-2001

3) Internally Reflected Component (IRC), yaitu komponen cahaya pantulan


permukaan dari refleksi permukaan benda dan dinding di dalam ruangan. Nilai
IRC dipengaruhi oleh nilai pantulan dinding, nilai perbandingan nilai luas
jendela dengan luas total permukaan ruangan ,perbandingan antara luas
dinding dengan luas total permukaan ruang, faktor perawatan (maintenance
factor), serta faktor konversi (CF) pantulan rata – rata.

Gambar 2. 3 Visualisasi Komponen Refleksi Dalam


Sumber: SNI 03-2396-2001
2.1.3 Pencahayaan Alami Siang Hari
Berdasarkan SNI 03-2396-2001 tentang Tata Cara Perancangan Sistem
Pencahayaan Alami, kondisi pencahayaan alami siang hari yang baik dikategorikan
sebagai berikut:
1) Pada siang hari antara jam 08.00 sampai dengan jam 16.00 waktu setempat,
terdapat cukup banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan.
2) Distribusi cahaya di dalam ruangan cukup merata dan atau tidak
menimbulkan kontras yang mengganggu.

2.2 Strategi Pencahayaan Alami


Secara konsep menurut Kroelinger (2005), pencahayaan alami dapat
didistribusikan ke dalam ruangan melalui bukaan samping (side lighting), bukaan
atas (top lighting) atau kombinasi keduanya. Tipe bangunan, ketinggian, aspek rasio
dan tata massa, kondisi iklim yang dominan, penghalang dan bangunan sekitar,
serta isu lainnya akan menjadi pertimbangan untuk menentukan strategi
pencahayaan alami.
Sistem pencahayaan samping (side lighting) merupakan sistem alami yang
paling banyak digunakan pada bangunan (Pratama, 2018). Namun, tidak menutup
kemungkinan tetap dibutuhkan sistem pencahayaan atas pada kondisi tertentu.
Berikut merupakan contoh strategi bukaan untuk pencahayaan alami menurut
Lechner (2015):
1) Unilateral lighting
Bukaan satu sisi pada dinding memungkinkan intensitas cahaya masuk yang
kuat hanya dari satu sisi.

Gambar 2. 4 Visualisasi Strategi Bukaan Unilateral


2) Bilateral lighting
Bukaan dua sisi dapat meningkatkan distribusi cahaya masuk dari pada bukaan
satu sisi dan juga dapat mengurangi efek silau.

Gambar 2. 5 Visualisasi Strategi Bukaan Bilateral

3) Clerestories
Merupakan bukaan pada sisi dinding bagian atas, karena letaknya lebih tinggi
dari jendela pada umumnya maka clerestories hanya dapat diterapkan pada
bangunan dengan batas plafond yang tinggi.

Gambar 2. 6 Visualisasi Strategi Bukaan Clerestories Miring dan Datar

4) Skylight
Merupakan bukaan pada atap bangunan, dibutuhkan perencanaan yang tepat
dalam penerapannya agar tidak menimbulkan efek silau dan juga masalah
kenyaman termal.

Gambar 2. 7 Visualisasi Strategi Bukaan Skylight Tanpa Bukaan Samping


Gambar 2. 8 Visualisasi Strategi Bukaan Skylight Bukaan Samping

5) Light shaft
Bukaan cahaya atau lubang yang sempit pada atap hingga lantai bawah. Cahaya
yang masuk dapat dipantulkan pada dinding lubang dan turun ke lantai dasar
yang membutuhkan pencahayaan alami.

Gambar 2. 9 Visualisasi Strategi Bukaan Light Shaft

6) Light shelf
Memanfaatkan bidang pemantul pada bukaan yang dapat diletakkan di dalam,
di luar atau kombinasi keduanya. Bidang pemantul dapat meningkatkan
kualitas dan menambah kedalaman zona pencahayaan alami.
Gambar 2. 10 Visualisasi Strategi Bukaan Light Shelf

2.2.1 Orientasi Bangunan


Menurut Pratiwi (2020) orientasi bangunan dengan arah bukaan tertentu
mempengaruhi perolehan intensitas pencahayaan alami dalam ruangan. Orientasi
bangunan akan mempengaruhi letak dan jenis bukaan pada suatu bangunan dan
menjadi salah satu aspek strategi pencahayaan alami. Setiap kawasan memiliki
intensitas matahari yang berbeda-beda. Mendesain fasad tanpa mempertimbangkan
orientasi matahari menimbulkan masalah pencahayaan alami yang buruk
(Atthaillah, 2018)
Orientasi bangunan paling baik untuk daerah tropis adalah orientasi
bangunan memanjang timur ke barat. Orientasi ini memungkinkan cahaya yang
masuk merupakan cahaya hasil dari pantulan bukan merupakan cahaya langsung
yang panas. Menurut Lechner (2015) orientasi selatan – utara merupakan yang
paling baik untuk pencahayaan alami, sedangkan orientasi timur – barat sebaiknya
dihindari karena intensitas cahaya matahari langsung yang tinggi sehingga
menghasilkan efek silau dan panas berlebih.

2.2.2 Jendela
Jendela merupakan jenis bukaan pada bangunan yang memiliki fungsi
sebagai sirkulasi cahaya dan udara. Jendela memiliki beberapa bentuk dan jenisnya
menyesuaikan kebutuhan dan kondisi bangunan. Pada umumnya jendela diletakkan
pada dinding suatu ruangan yang membutuhkan sirkulasi udara dan cahaya alami.
Selain itu, jendela juga berfungsi sebagai privasi (keamanan), pemisah antar
ruangan, serta menjadi akses untuk melihat luar bangunan tanpa perlu keluar
bangunan atau ruangan.
Menurut Lechner (2015), pertimbangan dalam mencapai keefektifan
jendela sebagai bukaan adalah sebagai berikut:
1) Meletakkan jendela di posisi yang tinggi pada dinding dan didistribusikan
secara merata. Penetrasi cahaya pada ruangan meningkat sebanding dengan
semakin tinggi posisi jendela.
2) Menggunakan jendela lebar dan tersebar secara horizontal akan meningkatkan
distribusi cahaya lebih merata.
3) Meletakkan jendela lebih dari satu bidang dinding. Bukaan dua sisi lebih baik
dari pada bukaan satu sisi karena meningkatkan distribusi cahaya dan
mengurangi potensi terjadinya silau.
4) Meletakkan jendela di dekat dinding samping.
5) Menambahkan pembayang dan penyaring pada jendela untuk mengurangi
intensitas cahaya berlebih.

2.2.3 Pembayang dan Penyaring


Pembayang adalah salah satu strategi keberlanjutan yang paling penting
karena hampir semua bangunan di dunia terlalu panas ketika musim panas dan
respon yang biasa dilakukan adalah dengan menggunakan air conditioners yang
boros energi (Lechner, 2015). Penerapan pembayang dan penyaring pada bangunan
merupakan upaya melindungi bangunan dari radiasi cahaya matahari. Selain itu
menurut Sabtalistia (2017) Shading device mengoptimalkan pencahayaan alami dan
mengurangi penggunaan lampu dari pagi sampai sore hari.
Penggunaan pembayang (shading device) baik bergerak maupun diam
(tetap) pada bangunan dapat mengurangi dan memfilter cahaya berlebih yang
masuk ke dalam ruangan. Elemen pembayang (peneduh) yang dapat digerakkan
antara lain jendela, tirai, dan lain sebagainya. Sedangkan elemen pembayang diam
atau tetap berupa vegetasi dan struktur tambahan yang menjadi satu dengan struktur
utama bangunan, dapat berupa overhang. Berikut tabel 2.1 merupakan contoh tipe
pembayang dan rekomendasi orientasinya :
Tabel 2. 1 Tipe Pembayang

Selatan, Untuk menghalau panas, dapat


Overhang horizontal
timur dan menahan beban salju dan angin,
panel atau awning
barat dapat dimiringkan

Overhang horizontal Selatan, Untuk mengatur pergerakan


louvers in horizontal timur dan udara, dapat menahan beban
plane barat kecil dari salju dan angin

Overhang horizontal Selatan, Mengurangi panjang overhang


louvers in vertical timur dan dengan menambah kisi – kisi,
plane barat membatasi pandangan ke luar

Selatan, Untuk membuat pergerakan


Overhang vertical
timur dan udara bebas, membatasi
panel
barat pandangan ke luar

Posisi bidang vertikal diposisikan


untuk menghalangi sinar
Vertical fin Utara
matahari langsung, membatasi
pandangan ke luar

Posisi bidang vertikal miring


Timur dan diposisikan untuk menghalangi
Vertical fin slanted
barat sinar matahari langsung, sangat
membatasi pandangan ke luar

Cocok untuk daerah beriklim


Timur dan
Eggcrate panas, sangat membatasi
barat
pandangan ke luar

Sumber: Lechner (2015)

2.2.4 Material Kaca


Spesifikasi material kaca mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk
dalam suatu ruang. Menurut Sulaksono (2013) masing-masing material kaca
memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut:
1) Kaca bening memaksimalkan masuknya cahaya dan pandangan yang lebih
luas. Namun, kaca ini mengakibatkan panas radiasi sinar matahari dapat masuk
sebagian ke dalam ruang
2) Kaca buram mengurangi panas radiasi matahari, tetapi tidak memaksimalkan
masuknya sinar ke dalam ruang serta tidak dapat memasukkan vies de dalam
rumah.
3) Kaca patri lebih berfungsi estetis karena mengaburkan warna cahaya yang
masuk.
Klasifikasi material kaca yang umum digunakan pada bangunan menurut
Garg (2007) antara lain:
1) Kaca Normal (Annealed glass)
Merupakan kaca datar dengan permukaan jernih dan tingkat distorsi yang
rendah. Penggunaannya untuk bagian bangunan seperti jendela, pintu, dinding
partisi, display, atrium, railing, green house dll. Berikut contoh dari tipe kaca
normal:
- Clear Glass, merupakan kaca yang jelas dan transparan yang memberikan
bayangan objek dibelakangnya dengan sangat jelas.
- Tinted Glass, merupakan kaca yang telah diberi tambahan oksidan dari
suatu jenis metal tertentu untuk mengurangi efek silau terhadap mata.
- Patterned, figured atau rolled glass, merupakan jenis kaca dekoratif yang
tembus pandang dengan pola tertentu di salahsatu permukaannya agar
terjadi penyebaran cahaya yang datang pada permukaan kaca. Banyak
digunakan pada interior bangunan.
- Wire glass, merupakan kaca yang diproduksi untuk perlindungan terhadap
kebakaran. Saat terbakar kaca akan retak tetapi pecahannya cenderung
tetap pada posisinya yang bertujuan untuk mencegah penyebaran api dan
asap.
- Extra clear glass, kaca bernilai tinggi karena bebas kotoran seperti besi.
Memiliki transmisi cahaya yang tinggi dan kemampuan representasi warna
asli yang tinggi serta kilau objek dibaliknya.
2) Kaca Laminasi (laminated glass)
Merupakan kaca yang terdiri dari 2 atau lebih lapisan dengan satu atau lebih
lapisan transparan dengan penambahan bahan plastik Polyvinyl Butyral [PVB]
diantara kedua lapisannya. Kelebihan dari kaca laminasi ini antara lain :
- Dapat mengurangi resiko retakan/pecah, bahkan dapat mengamankan
gedung dari peluru, benda berat atau ledakan kecil. Walaupun terjadi
kerusakan atau pecah, jenis kaca ini tetap memberi keamanan terhadap
penghuni karena tetap berada pada posisinya (tidak terpecah menjadi
puing-puing).
- Penghalang yang baik terhadap kebisingan.
- Dapat mengurangi masuknya sinar ultraviolet ke dalam bangunan.
Perlindungan terhadap sinar ultraviolet bahkan mencapai 99%.
- Mengurangi resiko pecahan puing akibat bencana seperti gempa, angin
kencang , atau badai - Dapat memepertahankan waran dan umur bangunan
- Mengurangi kerusakan akibat panas
3) Tempered atau Toughened Glass
Merupakan kaca yang sangat kuat yang diproduksi dengan perlakuan
pemanasan seragam pada suhu sekitar 6500 C yang kemudian didinginkan
dengan cepat. Pada umumnya digunakan untuk aplikasi pada bangunan-
bangunan dengan iklim yang keras misalnya dengan angin yang kencang atau
beban salju dan termal yang tinggi. Digunakan untuk tujuan keamanan dan
kekuatan, pada dinding bangunan-bangunan tinggi, airport atau untuk
penggunaan interior dan eksterior yang memerlukan kekuatan tinggi.
Kelebihan dari jenis kaca ini adalah :
- Sulit untuk pecah, walaupun pecah, akan menjadi bagian-bagian yang
sangat kecil sehingga tidak membahayakan penghuni.
- Lebih kuat 4-5 kali dari kaca normal dengan ketebalan yang sama
- Sangat kuat terhadap perubahan suhu mencapai 2500 C, dibandingkan
kaca normal yang hanya dapat bertahan pada perubahan suhu 400 C.
4) Heat strengthened glass
Merupakan jenis tempered glass yang diperkuat secara termal dengan
menginduksi tekanan permukaan. Jenis kaca ini banyak digunakan untuk
aplikasi pada dinding pemisah, lantai, atap dan kaca struktural.
5) Reflective glass
Merupakan kaca yang dilapisi logam pada salah satu sisinya untuk
meningkatkan refleksi panas dan cahaya. Jenis kaca ini memiliki kelebihan
pada estetikanya dan mengurangi panas dan silau pada eksterior bangunan.
Jenis kaca ini juga dapat mengurangi beban AC. Salah satu jenis reflective glass
adalah kaca reflektif surya yang dapat merefleksi cahaya tanpa mengurangi
sifat transparansi pada kaca tersebut.
6) Insulating Glass Unit (Double Glazing)
Merupakan jenis kaca pabrikasi yang terbuat dari 2 atau lebih kaca panel
dengan rongga udara diantara lapisan kacanya. Rongga ini bisa diisi dengan
udara kering atau gas agar memiliki kinerja termal lebih baik. Sistem seperti
ini memiliki kelebihan karena dapat mengurangi transmisi panas dibandingkan
kaca normal.

2.3 Standar Pencahayaan


Persyaratan pencahayaan pada bangunan gedung diatur dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan
Teknis Bangunan Gedung, yaitu:
1. Setiap bangunan gedung harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau
pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.
2. Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
bangunan pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.
3. Pencahayaan alami harus optimal, sesuai dengan fungsi bangunan gedung dan
fungsi masing-masing ruang dalam bangunan gedung.
4. Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang
syaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan gedung dengan
mempertimbangkan efisiensi, penghematan faktor, dan penempatan yang tidak
menimbulkan efek silau atau pantulan.
5. Pencahayaan buatan untuk pencahayaan darurat harus dipasang pada bangunan
gedung dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan
mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.
6. Semua faktor pencahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk pencahayaan
darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual, dan/atau otomatis, serta
ditempatkan pada tempat yang mudah dicapai/dibaca oleh pengguna ruang.
7. Pencahayaan alami dan buatan diterapkan pada ruangan baik di dalam bangunan
maupun di luar bangunan gedung.
Kenyamanan visual dan penerangan suatu ruangan pada bangunan salah
satunya diatur dalam SNI 03-6197-2000 tentang Konservasi Energi pada Sistem
Pencahayaan, guna mendukung fungsi ruang dan mengukur kecukupan dalam
ruang. Tabel 2.2 menjelaskan tentang standar intensitas pencahayaan untuk kategori
bangunan tertentu.
Tabel 2.2 Standar Intensitas Pencahayaan pada Bangunan
Tingkat Kelompok renderasi
No Fungsi Ruang
Penerangan (lux) warna
Bangunan Pendidikan
1 Ruang Kelas 250 1 atau 2
2 Perpustakaan 300 1 atau 2
3 Laboratorium 500 1
4 Ruang Gambar 750 1
5 Kantin 200 1
Sumber : SNI 03-6197-2000
Pada SNI 03-2396-2001 tentang Tata Cara Perancangan Sistem
Pencahayaan Alami Pada Bangunan Gedung diatur nilai indeks kesilauan seperti
pada tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Nilai Indeks Kesilauan Maksimum
Jenis Tugas Visual atau Indeks
Interior dan Pengendalian Kesilauan Contoh Tugas Visual dan Interior
Silau yang Dibutuhkan Maksimum
Ruang kelas, perpustakaan (umum),
ruang keberangkatan dan ruang tunggu
Pengendalian silau sangat
19 di bandara, pemeriksaan dan pengujian
penting
(pekerjaan sedang), lobby, ruangan
kantor
Sumber : SNI 03-2396-2001
Lebih spesifik pengaturan spesifikasi terkait pencahayaan diatur dalam
European Standard EN 12464-1:2011 yang akan disajikan pada tabel 2.4 di bawah.
Tabel 2.4 Persyaratan Pencahayaan untuk Area Interior, Pekerjaan dan Aktifitas
Educational premises – Educational buildings
Type of area, 𝐸 𝑈𝐺𝑅 𝑈 𝑅 Specific requirements
No
task or activity lx – – –
1 Classrooms, 300 19 0,60 80 Lighting should be
tutorial rooms controllable
2 Classroom for 500 19 0,60 80
evening classes Lighting should be
and adults controllable
educations
3 Auditorium, 500 19 0,60 80 Lighting should be
lecture halls controllable to
accommodate various
A/V needs
4 Black, green 500 19 0,70 80 Specular reflection
and white board shall be prevented.

Presenter/teacher shall
be illuminated with
suitable vertical
illuminance
Sumber : EN 12464-1:2011

2.4 Kenyamanan Visual


Kenyamanan visual adalah kombinasi paling baik dari faktor untuk
mengoptimalkan kesejahteraan dan perasaan nyaman (Thuillier, Agustus 21, 2017).
Saat ini tidak ada definisi pasti untuk mendeskripsikan kenyaman visual, karena
banyaknya faktor yang mempengaruhi dan juga bersifat subjektif. Beberapa faktor
yang dapat dijadikan acuan penentu kenyamanan visual seperti:
1. tingkat iluminasi
2. distribusi cahaya
3. warna
4. silau atau glare
5. kontras
Setiap pekerjaan tertentu membutuhkan tingkat pencahayaan atau iluminasi
secara spesifik agar tercapainya kenyamanan visual. Seperti telah dijelaskan pada
sub bab 2.3 tentang standar pencahayaan, SNI merekomendasikan tingkat
pencahayaan berdasarkan fungsi ruang. Suatu pekerjaan dengan tingkat ketelitian
yang tinggi sering menggunakan pencahayaan secara langsung (direct lighting).
Sebaliknya untuk kebutuhan distribusi pencahayaan secara merata serta
minghindari kemungkinan terjadinya silau lebih baik menggunakan pencahayaan
tidak langsung (indirect lighting) atau pencahayaan difus (diffused lighting) pada
sistem pencahayaan buatan. Sedangkan kenyamanan visual pada sistem
pencahayaan alami terdapat beberapa hal yang penerapannya perlu diperhatikan
seperti material kaca, penggunaan warna, jenis dan dimensi bukaan, dimensi ruang
serta orientasi ruang atau bangunan.

2.5 Pencahayaan Ruang Kuliah


Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2011) ruang kuliah adalah
ruang tempat berlangsungnya kegiatan pembelajaran secara tatap muka, dengan
kapasitas maksimum ruang kuliah adalah 25 orang dengan standar luas ruang 2
m2/mahasiswa, luas minimum 20 m2. Penting untuk mengkondisikan ruang kuliah
yang kondusif agar proses belajar mengajar dapat berlangsung secara optimal dan
mampu meningkatkan produktifitas baik untuk mahasiswa dan juga dosen pengajar.
Kegiatan perkuliahan berlangsung dari pagi hingga sore hari, di mana
ketersediaan sumber pencahayaan alami cukup optimal. Namun tidak menutup
kemungkinan untuk tetap menggunakan sumber pencahayaan buatan. Dalam
merencanakan sistem pencahayaan buatan untuk ruangan yang memanfaatkan
pencahayaan alami, perlu mempertimbangkan cara terbaik mengintegrasikan
keduanya (IES, 2011). Pencahayaan ruang kuliah dikatakan baik jika minimum
nilai iluminasi pada bidang kerja sebesar 250 lux, dan terdistribusi merata untuk
menghindari terjadinya kontras berlebih yang dapat mengganggu pendangan.
Dalam SNI 03-6197-2000 diberikan tingkat kuat penerangan (E) untuk
ruang kuliah sebesar 250 lux, dalam SNI 03-2396-2001 indeks kesilauan
maksimum (UGR) untuk ruang kuliah sebesar 19, sedangkan spesifikasi berupa
distribusi pencahayaan (Uo) untuk ruang kuliah diatur dalam EN 12464-1:2011
dengan tingkat minimum sebesar 0,6. Dengan dipenuhinya batas nilai seperti
tingkat kuat penerangan (E), indeks kesilauan (UGR), dan distribusi pencahayaan
(Uo) diharapkan kenyamanan visual pada ruang kuliah dapat tercapai.

2.6 Teknik Pengukuran Pencahayaan


Pengukuran pencahayaan dilakukan untuk mencari tingkat pencahayaan
(illuminance) pada suatu bidang kerja. Terdapat dua metode yang dapat digunakan,
pengukuruan langsung dengan alat ukur lux meter dan juga simulasi menggunakan
software. Hasil dari kedua metode dapat dikomparasikan untuk memvalidasi data
dengan menghitung tingkat error.

2.6.1 Pengukuran Langsung


Terdapat 2 jenis pengukuran langsung, yaitu pengukuran pencahayaan
umum dan pencahayaan setempat. Pengukuran pencahayaan umum dilakukan
untuk mencari intensitas cahaya pada suatu ruangan atau luasan area tertentu.
Sedangkan pencahayaan setempat dilakukan untuk mencari intensitas cahaya pada
titik tertentu, seperti meja kerja.
Prosedur pengukuran intensitas pencahayaan menggunakan SNI 7062:2019
sebagai acuan. Peralatan khusus yang digunakan untuk melakukan pengukuran
intensitas pencahayaan adalah Lux meter. Untuk pengukuran pencahayaan umum
penentuan titik pengukuran ditentukan mengikuti luasan area yang akan ditinjau.

Gambar 2.11 penentuan titik pengukuran pencahayaan umum


Menurut SNI 7062:2019 penentuan titik pengukuran adalah sebagai berikut:
1) Luasan kurang dari 50 m2
Area ruangan akan dibagi dengan luasan maksimal 3 m2, titik pengukuran
merukapakan titik temu antara dua garis diagonal seperti pada gambar 2.11 di
atas.
2) Luasan antara 50 m2 hingga 100 m2
Area ruangan akan dibagi dengan luasan tertentu hingga menghasilkan 25 titik
pengukuran.
3) Luasan lebih dari 100 m2
Area ruangan akan dibagi dengan luasan tertentu hingga menghasilkan 36 titik
pengukuran.
Setelah didapatkan titik pengukuran untuk suatu ruangan, langkah
selanjutnya adalah melakukan pengukuran menggunakan alat lux meter, sensor
diletakan setinggi 80 cm dari lantai. Sedangkan untuk pengukuran setempat, sensor
dapat diletakan sesuai titik yang akan diukur.

2.6.2 Simulasi Software


Penggunaan software dimaksudkan untuk membuat model dengan kondisi
seperti eksisting, kemudian dilakukan simulasi pencahayaan. Data hasil simulasi
berupa kontur intensitas pencahayaan kemudian akan dibandingkan dengan hasil
dari pengukuran langsung. Terdapat banyak software yang dapat digunakan untuk
melakukan simulasi pencahayaan, salah satunya adalah DIALux evo. DIALux evo
adalah software dengan basis 3D CAD yang dapat digunakan untuk menghitung
dan memvisualisasikan pencahayaan.

2.7 Penelitian Terdahulu


Analisis kenyamanan visual telah banyak diteliti sebelumnya karena
kenyamanan visual merupakan aspek penting yang dibutuhkan dalam melakukan
suatu kegiatan. Pratama (2018), dan Masruchin & Mufidah (2019) menyebutkan
bahwa dari banyaknya sistem yang ada untuk menunjang proses belajar dan
mengajar, salah satu yang cukup penting adalah sistem pencahayaan yang ada
dalam bangunan tersebut, terutama pada ruang-ruang perkuliahan karena sistem
pencahayaan sangat berpengaruh pada optimalnya proses belajar mengajar.
Dalam melakukan penelitian kenyamanan visual terdapat beberapa metode
yang dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil yang akan dicapai. Mumpuni, dkk.
(2017) menggunakan metode kuantitatif dengan melakukan studi literatur terkait
pencahayaan alami, melakukan observasi dan pengukuran langsung intensitas
cahaya pada objek penelitian. Ikhsan, dkk. (2019) menggunakan metode kuantitatif
dengan mengukur tingkat iluminasi pencahayaan alami dan dibandingkan dengan
rekomendasi SNI kemudian dianalisis lebih lanjut untuk menentukan rekomendasi
yang dapat meningkatkan kenyamanan visual. Selain metode deskriptif kuantitatif,
penelitian juga dapat dilakukan dengan metode simulasi menggunakan software.
Metode deskriptif kuantitatif dilaksanakan dengan menganalisa data yang diperoleh
dari pengukuran tingkat iluminasi pencahayaan di dalam ruangan. Sedangkan
metode simulasi dapat dilaksanakan dengan menciptakan pemodelan ruangan
dengan menggunakan software berdasarkan data kondisi eksisting. Kartika &
Elsiana (2021) menjelaskan bahwa teknik simulasi komputer digunakan untuk
mengimitasi kondisi nyata ke dalam bentuk digital.
Pratama (2018) menyebutkan bahwa pada umumnya penelitian yang
dilakukan bertujuan untuk pembuktian, dan pembenaran, demi mendapatkan
informasi tentang keragu-raguan peneliti terhadap salah satu teori dengan keadaan
sebenarnya. Alasan penggunaan software simulasi pencahayaan DIALux sebab
dapat mengidentifikasi kondisi sebenarnya dan telah digunakan pada banyak
penelitian terkait isu pencahayaan pada suatu bangunan, baik pencahayaan alami
ataupun pencahayaan buatan seperti penelitian yang dilakukan oleh Pratama
(2018), dan Putra (2018). Selain itu, Atthaillah (2017) menyebutkan simulasi dapat
mempermudah peneliti memberikan solusi desain untuk ruangan yang tidak
memenuhi standar agar bisa terpenuhi dengan memodifikasi ruangan atau bukaan
pada bangunan. Penelitian yang dilakukan oleh Putra (2018) hasil dari simulasi
software dikomparasikan dengan hasil pengukuran langsung, sehingga dapat
mengetahui tingkat keakuratan atau relative error distribusi cahaya eksisting dan
simulasi software.
Dalam bangunan dengan luasan yang besar tentunya terdapat kelebihan dan
kekurangan, untuk mengantisipasi kekurangan yang terjadi dalam bangunan dapat
dilakukan rekomendasi desain. Masruchin & Mufidah (2019) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa beberapa hal diantaranya yang dapat mengoptimalkan
pencahayaan alami sebagai berikut: penambahan persentase luas bukaan terhadap
luasan dinding, penurunan tinggi posisi jendela, pperubahan warna eksterior
dinding yang berhadapan dengan ruangan, penambahan ketinggian plafon, dan
perubahan desain tritisan.
Berikut merupakan rangkuman dari penelitian terdahulu dengan penelitian
sejenis:
Tabel 2. 5 Penelitian Terdahulu
Pengaruh Strategi
Simulasi Pencahayaan Evaluasi Tingkat Bukaan dan Rasio
Alami Pada Gedung Pencahayaan Alami Dimensi Ruang Kelas
Judul Program Studi Pada Ruang Kelas SMP-SMA Di
Arsitektur Universitas Lantai 3 Fakultas Surabaya terhadap
Malikussaleh Teknik Level dan Distribusi
Cahaya Alami
Atthaillah, Muhammad
Ikhsan, Abdul Munir, Cindy Elena Kartika dan
Nama Iqbal, Iman Saputra
Irzaidi Idris Feny Elsiana
Situmeang
Metode kuantitatif dan
Metode Metode simulasi komputer Metode kuantitatif
metode simulasi komputer
Sistem pencahayaan,
Rasio ruang kelas,
dimensi ruang, bukaan, Sistem pencahayaan,
Variabel Window-to-Wall Ratio
komponen refleksi luar orientasi bukaan
(WWR), dan bukaan
dan dalam
1. Dari hasil simulasi 1. Hasil pengukuran 1. Ruangan dengan
pencahayaan alami pada illuminasi dikedua bukaan 2 sisi
gedung lantai 3, hanya ruangan berada di berhadapan memiliki
sedikit zona yang bawah standar, hanya nilai illuminance rata-
mendekati dan satu titik di salah satu rata terbaik diikuti
memenuhi standar. ruangan yang dengan bukaan 2 sisi
Hasil Tingkat distribusi tidak memenuhi standar dari berdekatan, dan
merata di setiap zona 3 variasi waktu bukaan 1 sisi.
yang disimulasikan. pengukuran. 2. Jika ditinjau dari nilai
2. Faktor yang 2. Distribusi pencahayaan WWR (Window-to-
mempengaruhi adalah juga menunjukan Wall Ratio) persentase
dimensi ruangan, bahwa pencahayaan 40% lebih baik
dimensi bukaan, alami tidak mampu dibanding 30%.
penghalang di sekitar masuk hingga ke dalam 3. Nilau uniformity ratio
gedung, material kaca, ruang, terjadi kontras di semua model ruang
dan layout ruang. area sekitar bukaan. kelas berada dibawah
3. Rekomendasi untuk 3. Diperlukan bantuan standar. Menunjukan
pengoptimalan cahaya pencahayaan buatan bahwa sistem
matahari dapat untuk memenuhi pencahayaan alami
dilakukan dengan tingkat minimal sulit untuk
mengubah faktor berupa illuminasi sesuai menghasilkan
luas bukaan, transparasi standar dan juga distribusi cahaya yang
kaca dan warna interior. sebagai upaya untuk merata.
pendistribusian cahaya.

Lanjutan dari tabel 2.5


Optimalisasi Pencahayaan Alami
Pencahayaan Alami Pada Ruang
Pada Studio Arsitektur Di
Judul Baca Perpustakaan Umum Kota
Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya
Surabaya
Febby Rahmatullah Masruchin dan Primastiti Wening Mumpuni, Rahmanu
Nama
Mufidah Widayat, dan Silfia Mona Aryani
Metode Metode simulasi dan metode eksperimen Metode deskriptif kuantitatif
Dimensi dan letak bukaan, warna
Luas bukaan, layout ruangan, dan elemen
Variabel eksterior dan interior, ketinggian plafond,
pembentuk ruang
serta desain tritisan
1. Dari hasil pengukuran langsung 1. Dari kedua bukaan di utara dan selatan
intensitas pencahayaan alami pada tidak mampu memasukan cahaya
studio arsitektur masih di bawah secara optimal karena adanya
standar faktor utamanya adalah fasad halangan.
yang menghadap utara tidak terkena 2. Hasil pengukuran langsung hanya ada
sinar matahari langsung karena satu titik tinjau yang memenuhi
terhalang tritisan. standar. Intensitas cahaya akan
Hasil 2. Dilakukan beberapa simulasi semakin menurun seiring waktu dari
perubahan untuk memenuhi standar pagi hingga sore hari.
pencahayaan alami yaitu, perubahan 3. Luas minimum bukaan masih kurang
luas bukaan terhadap luas dinding dari dari standar, walaupun hanya selisih
30% menjadi 70%, menurunkan tinggi sedikit intensitas cahaya alami yang
posisi jendela dari 80cm menjadi masuk tidak akan jauh perbedaannya
60cm, mengubah warna eksterior karena adanya penghalang pada
dinding pembatas dari hitam menjadi bukaan.
putih, menambah ketinggian plafon 4. Penerapan elemen pembentuk ruang
dari 250cm menjadi 270cm, dan sudah bagus karena secara teori dapat
mengubah desain tritisan dengan mendistribusikan cahaya secara lebih
penambahan 4 void sebagai skylight merata.
dengan ukuran 150x75cm.

Lanjutan dari tabel 2.5


Pengaruh Pencahayaan Alami
Distribusi Pencahayaan Alami
Terhadap Kenyamanan Visual
Terhadap Kenyamanan Visual
Judul Pengguna Ruang Kuliah Gedung
Pada Ruang Kelas SMA Negeri 7
Baru Teknik Pengairan Universitas
Malang
Brawijaya
Nama Zakaria Priyono Putra Muhammad Fadhillah Pratama
Metode deskriptif kuantitatif, metode Metode deskriptif keantitatif, metode
Metode
eksperimental, dan metode kuesioner eksperimental, dan korelasional
Bukaan, pembayang & penyaring, serta
Variabel Bukaan, dan elemen material
meterial & warna.
1. Hasil pengukuran intensitas 1. Bangunan menggunakan bukaan 2 sisi
pencahayaan alami pada semua berhadapan, yang memungkinkan
sampel melebihi standar dikarenakan cahaya masuk secara optimal, namun
nilai WWF melebihi standar, kecuali terdapat penghalang yang mereduksi
2 ruangan yaitu Ruang Kuliah 2.5 cahaya masuk seperti pembayang dan
dan 4.5 yang intensitas vegetasi.
pencahayaannya dibawah standar 2. Elemen interior ruang kelas
dikarenakan nilai WWF kurang dari menggunakan material dengan warna
standar. gelap dan tingkat reflektansi rendah
2. Nilai relative error untuk semua sehingga mengurangi kemampuan
Hasil sampel ruangan dinyatakan valid cahaya untuk terpantulkan.
dengan nilai dibawah 20% 3. Beberapa titik ukur pada ruangan
3. Diperlukan rekomendasi desain untuk cenderung memiliki intensitas cahaya
menurunkan intensitas pencahayaan yang tinggi sedangkan titik lainnya
pada semua sampel ruang, kecuali tidak, terjadi kontras yang tinggi dan
Ruang Kuliah 2.5 dan 4.5 pendistribusian cahaya yang tidak
merata.
4. Dari hasil simulasi software Dialux
4.13 dibandingkan dengan hasil
pengukuran langsung menunjukan
nilai relative error dibawah 20% dan
dapat dinyatakan hasil simulasi valid
(akurat)
5. Diperlukan rekomendasi desain untuk
meningkatkan nilai kenyamanan
visual.
Kljfgk;ljfdlgkjdflgkj

Fkjds;fjdslfkjds;fkjl
DAFTAR PUSTAKA

Atthaillah, Iqbal, M., & Situmeang, I. S. (2017). Simulasi Pencahayaan Alami Pada
Gedung Program Studi Arsitektur Universitas Malikussaleh. NALARs Jurnal
Arsitektur, Vol. 16, No. 2, 113-124.

Atthaillah, Wijayanti, S., & Hassan, S. M. (2018). Simulasi Desain Fasad Optimal Terhadap
Pencahayaan Alami Pada Gedung Prodi Arsitektur Univesitas Malikussaleh.
EMARA: Indonesian Journal of Architecture, Vol. 4, No. 1, 21-29.

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2011). Rancangan Standar Sarana Dan Prasarana
Pendidikan Tinggi Program Pascasarjana Dan Profesi. Jakarta: Badan Standar
Nasional Pendidikan.

Badan Standarisasi Nasional. (2000). SNI 03-6197-2000. Konservasi Energi Sistem


Pencahayaan Pada Bangunan Gedung. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Badan Standarisasi Nasional. (2001). SNI 03-2396-2001 Tata cara perancangan sistem
pencahayaan alami pada bangunan gedung. Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional.

Boubekri, M. (2008). Daylighting, Architecture and Health Building Design Strategies.


Oxford: Elsevier.

Garg, D. N. (2007). Guidelines for Use of Glass in Building. New Delhi: New Age
International.

Ikhsan, Munir, A., & Idris, I. (2019). Evaluasi Tingkat Pencahayaan Alami Pada Ruang
Kelas Lantai 3 Fakultas Teknik. Jurnal Ilimiah Mahasiswa Arsitektur Dan
Perencanaan, Vol. 3, No. 3, 39-44.

Kartika, C. E., & Elsiana, F. (2021). Pengaruh Strategi Bukaan dan Rasio Dimensi Ruang
Kelas SMP-SMA Di Surabaya terhadap Level dan Distribusi Cahaya Alami. Jurnal
eDIMENSI ARSITEKTUR, Vol. IX, No. 1, 473-480.

Kementerian Kesehatan . (2002). KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 1405/MENKES/SK/XI/2002 TENTANG PERSYARATAN
KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA PERKANTORAN DAN INDUSTRI. JAKARTA:
Kementerian Kesehatan.

Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat. (2006). PERATURAN MENTERI


PEKERJAAN UMUM NOMOR : 29/PRT/M/2006 TENTANG PEDOMAN
PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG. Jakarta: Kementerian Pekerjaan
Umum Dan Perumahan Rakyat.

Latifah, N. L. (2015). Fisika Bangunan 1. Jakarta: GRIYA KREASI.

Lechner, N. (2015). Heating, cooling, lighting : sustainable design methods for architects
fourth edition. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Manurung, P. (2009). Desain Pencahayaan Arsitektural : Konsep Pencahayaan Artifisial
pada Ruang Eksterior. Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET.

Manurung, P. (2012). Pencahayaan Alami dalam Arsitektur. Yogyakarta: C.V ANDI


OFFSET.

Masruchin, F. R., & Mufidah. (2019). Optimalisasi Pencahayaan Alami Pada Studio
Arsitektur Di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Jurnal Hasil Penelitian
(JHP17), Vol. 04, No. 02, 159-165.

Mumpuni, P. W., Widayat, R., & Aryani, S. M. (2017). Pencahayaan Alami Pada Ruang
Baca Perpustakaan Umum Kota Surabaya. Vitruvian Jurnal Arsitektur, Bangunan,
& Lingkungan, Vol. 6, No. 2, 71-78.

Panjaitan, D. M., & Pangestu, M. D. (2018). Pengaruh Lubang Cahaya Dan Bidang
Refleksi Terhadap Efektivitas Pencahayaan Alami Di Rumah Kindah Office
Jakarta. Jurnal RISA, Vol. 2, 70-88.

Pratama, M. F. (2018). Distribusi Pencahayaan Alami Terhadap Kenyamanan Visual Pada


Ruang Kelas SMA Negeri 7 Malang. Skripsi, Universitas Brawijaya, Malang.

Pratiwi, M. A. (2020). Analisis Kenyaman Visual Pada Gedung Fakultas Ilmu


Keolahragaan Universitas Negeri Malang Dengan Software Dialux Evo. Skripsi,
Universitas Negeri Malang, Malang.

Sabtalistia, Y. A. (2017). "Optimalisasi Pencahayaan Alami Dengan Alat Pembayang


Matahari (Shading Device) Pada Jendela Ruangan Kelas". Jurnal Muara, Vol. 1,
No. 1, 196-203.

Steffy, G. R. (1990). Lighting, Architectural and decorative. New York: Van Nostrand
Reinhold.

Steffy, Gary R.; Mistrick, Richard G.; Houser, Kevin W.; DiLaura, David L. (2011). The
Lighting Handbook Tenth Edition. New York: Illuminating Engineering Society.

Sulaksono, A. D. (2013). Landasan Konseptual Perencanaan Dan Perancangan


Independent Car Showroom Di Yogyakarta. Skripsi, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta.

Thuillier, L. (2017, August 21). What is visual comfort and how do you achieve it?
Retrieved from multicomfort.saint-gobain.co.uk: https://multicomfort.saint-
gobain.co.uk/recommended-level-of-light-into-a-building

Anda mungkin juga menyukai