Anda di halaman 1dari 184

RAJAWALI PERS

Divisi Buku Perguruan Tinggi


PT RajaGrafindo Persada
DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Nurus Shalihin, Muhammad Sholihin
Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi/
Nurus Shalihin, Muhammad Sholihin
—Ed. 1—Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2022.
xvi, 166 hlm. 23 cm
Bibliografi: ada di setiap bab
ISBN 978-623-372-730-3

Hak cipta 2022, pada Penulis


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit

2022.3764 RAJ
Nurus Shalihin
Muhammad Sholihin
NARASI FILOSOFIS PENEMUAN TEORI SOSIAL DAN EKONOMI
Cetakan ke-1, November 2022
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Copy Editor : Rara Aisyah Rusdian
Setter : Jamaludin
Desain Cover : Tim Kreatif RGP
Dicetak di Rajawali Printing

PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16456
Telepon : (021) 84311162
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id

Perwakilan:
Jakarta-16456 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243,
Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan,
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819.
Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294,
Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka
Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin
Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-
3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Perum. Bilabong Jaya
Block B8 No. 3 Susunan Baru, Langkapura, Hp. 081299047094.
)
)
KATA PENGANTAR

Narasi filosofis penemuan teori sosial dan ekonomi adalah produk


dari pembacaan hati-hati terhadap berbagai karya sarjana sosial
dan ekonomi, yang dimaktub dalam buku ini. Pembacaan tersebut
dilakukan untuk menemukan pengalaman, dan artefak kesadaran di
balik berbagai temuan teori sosial dan ekonomi. Pembacaan terhadap
magnum opus yang ditulis oleh sarjana sosial dan jajaran ekonom pada
buku ini, agaknya dapat juga diartikan sebagai fenomena bahasa, di
mana teks diposisikan sebagai spektrum yang memuat berbagai signifier
pengalaman penulis ketika memperkenalkan teori dan pemikiran
sosial. Sadullaev (2020) juga telah menegaskan hal tersebut di mana
memahami berbagai magnum opus, termasuk teks-teks filosofis adalah
fenomena-linguistik, yang membutuhkan beberapa usaha yang ajeg
dan konsisten: pertama, pembacaan tersebut membutuhkan analisis
hermeneutika atas struktur dan kultur filosofis dalam teks dan karya
tersebut, karena dipastikan setiap teks memuat kondisi yang dinamis
dan variasi arah filsafat dan mazhab; kedua, mengkaji persoalan filsafat
melalui teks, menuntut refleksi yang lebih mendalam, dan pemahaman
yang fundamental terhadap berbagai struktur pengalaman masa lalu,
yang barangkali tertimbun dalam rerentuhan teks pada setiap karya. Ini

v
membuat penulis harus mampu “hanyut” saat ini ke masa lalu, dengan
mengarungi berbagai signifiers dan berbagai makna yang berserak dalam
setiap teks.
Buku ini berusaha membaca secara hati-hati terhadap teks dan
magnum opus sarjana sosial dan ekonomi, agar kemudian mampu
menangkap pengalaman dan perasaan batin ketika para sarjana sosial
dan ekonomi ini menuliskan teori dan ide besar pemikirannya, yang
kemudian mampu merubah dan memengaruhi berbagai perekonomian
dan realitas sosial. Buku ini adalah narasi atas berbagai penemuan
teori sosial dan ekonomi. Dalam penyajiannya, buku ini menawarkan
beberapa topik dan beberapa tokoh dikelompokkan dalam topik
tersebut. Topik pertama adalah ekonometrika: topik ini adalah narasi
atas memoar metodologi Ragnard A.K. Frisch dan Jan Tibergen. Topik
kedua adalah kesejahteraan, yang menarasikan keberpihakan Amartya
Sen, hingga melahirkan konsep pembangunan yang humanis dan
demokratis. Topik ketiga adalah narasi atas teori individualisme, dan
mengungkapkan bagaimana ijtihad Gunnar Myrdal dan F.V. Hayek dalam
menghakimi neoliberalisme.
Topik keempat adalah narasi atas moneter, bagian ini mengelaborasi
bagaimana Milton Friedman meramukan obat resesi ekonomi. Topik
kelima adalah memoar atas dilema ekonomi negara-negara berkembang,
yang dialami oleh W. Arthur Lewis dan Theodore Schultz. Topik
keenam adalah narasi teori pilihan rasional dan perilaku manusia,
yang ditawarkan oleh Gary S. Becker. Topik terakhir adalah narasi atas
kebebasan individual, dan bagian ini adalah memoar atas kebebasan
manusia yang diimajinasikan oleh James Buchanan. Sebagai khatimah,
agaknya buku ini diharapkan mampu menawarkan wawasan baru
dalam membaca teori sosial dan ekonomi yang ditawarkan oleh para
sarjana sosial dan ekonomi, yang terpilih dan dimaktubkan dalam buku.
Semoga.[]

Padang, 10 November 2022


Penulis

vi Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


)
)
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI v

PROLOG TEORI SEBAGAI NARASI: MENGHIDUPKAN


TOKOH DALAM TEORI-TEORI EKONOMI ix

BAB1 EKONOMETRIKA: MEMOAR ATAS KEGILAAN


METODOLOGIS (RAGNAR A.K.
FRISCH & JAN TINBERGEN) 1

BAB 2 KESEJAHTERAAN: PERJALANAN MENUJU


KEBERPIHAKAN (AMARTYA SEN) 27

BAB 3 THE TRUE INDIVIDUALISM: IJTIHAD


MEMUTUSKAN RANTAI NEO-LIBERALISME
(GUNNAR MYRDAL & FRIEDRICH
VON HAYEK) 49

vii
BAB 4 MONETER: PERAMU OBAT RESESI EKONOMI
(MILTON FRIEDMAN) 71

BAB 5 SANG PEMBONGKAR: MEMOAR ATAS


DILEMA EKONOMI NEGARA-NEGARA
BERKEMBANG (W. ARTHUR LEWIS (1915–91)
& THEODORE SCHULTZ (1902–98)) 91

BAB 6 RATIONAL CHOICE: MEMOAR ATAS PILIHAN


RASIONAL DAN PERILAKU MANUSIA
(GARY S. BECKER (B. 1930)) 111

BAB 7 INDIVIDUAL FREEDOM: MEMOAR ATAS


KEBEBASAN MANUSIA (JAMES BUCHANAN
(B.1919)) 131

EPILOG EKONOMI DAN KETUHANAN DI ALTAR


KEINDONESIAN; MENAKAR
UNIFIKASI AGAMA DAN EKONOMI 151

BIOGRAFI PENULIS 165

viii Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


)
Prolog

TEORI SEBAGAI NARASI:

)
MENGHIDUPKAN TOKOH
DALAM TEORI SOSIAL DAN
EKONOMI.

“Remembering past events is a universally familiar experience. It is also a uniquely human


one. [...] Other members of the animal kingdom can learn, benefit from experience,
acquire the ability to adjust and adapt [...], but they cannot travel back into the past in
their own minds.”

–Tulving: 1983.

MENGAPA “aku” dijadikan sebagai subjek yang seolah-olah hidup


dalam buku ini? Apakah dengan menggunakan diksi “aku” lantas bagi
sarjana sosial terkait “masa lalu” dapat kembali dirasakan sebagai
sesuatu yang hidup, dan dapat bertutur begitu mengalir dan indah
kepada para penafsir? Itu adalah pilihan. Dapat juga dinilai sebagai
upaya untuk menghadirkan sebuah perasaan ‘tokoh’ masa lalu ke dalam
konteks kekinian. “Aku” dibiarkan bercerita tentang sebuah proses getir
dan manis ketika “aku-aku” masa lalu membangun fondasi-fondasi
ilmu sosial dan ekonomi, sehingga teori sosial dan ekonomi menjadi
sebuah bangunan arsitektur pengetahuan yang indah, dan terus hidup
sesuai dengan konteks zaman. Bahkan teori sosial dan ekonomi dapat
memberikan jawaban terhadap persoalan rumit yang dihadapi manusia.
Sayangnya, generasi sesudah mereka tak banyak yang tahu bahwa ada
pergulatan intelektual yang sangat luar biasa mengiringi setiap teori
yang lahir dari benak para sarjana sosial dan ekonom. Mengapa meski
mengunakan ‘aku’ hanya untuk memaparkan teori sosial dan ekonomi,
bukankah hal itu tak lumrah?

ix
Mengkaji pemikiran sosial dan ekonomi memang ‘lumrah’
menggunakan pendekatan historis, atau sejarah pemikiran. Sangat tak
biasa jika mendekati hal itu dengan tradisi selain sejarah. Kendati hal
itu sangat mungkin. Lalu bagaimana tradisi lain pemikiran itu sendiri,
dan bagaimana mendekati pemikiran seorang ilmuwan sosial ataupun
ekonom? Murray N. Rothbard (1995) melalui bukunya Economic Thought
Before Adam Smith: An Austrian Perspective on the History of Economic
Thought, memperkenalkan perspektif Austria untuk mengkaji sejarah
pemikiran ekonomi.1 Rothbard mengkaji pemikiran ekonomi melalui
kajian yang intens terhadap ideologi dominan yang ada diseputar
pemikiran ekonomi. Ia menyakini bahwa paradigma adalah hal penting
dan esensial dari pemikiran ekonomi.2 Lain Pula Mark Skousen, sebagai
sejarawan yang concern mengkaji perkembangan pemikiran ekonomi,
Skousen telah meletakkan fondasi yang khas dalam mengkaji dan
memetakan pemikiran ekonomi. Ia memperkenal satu pendekatan yang
disebut dengan the pendulum and the totem pole.3 Ia memperkenalkan dua
pendekatan dalam menulis tentang kehidupan dan ide-ide ekonom,
dan menyebut metode itu sebagai pertentangan antara metode spectral
versus the hierarchical.4 Kemudian Mark Skousen lebih suka menyebut
metodenya itu dengan pendulum, di mana sejarahwan menempatkan
para sarjana sosial dan ekonom dalam satu spektrum politik—dari
sisi ekstrem kiri ke sisi ekstrem kanan. Secara sederhana hal itu dapat
diilustrasikan sebagai berikut:
Diagram 1.
Pendekatan Pendulum dalam Pemetaan terhadap Teori Ekonomi5

Dalam konteks pemikiran sosial dan ekonomi modern, Mark


Skousen menyimpulkan beberapa terkait pendekatan spectral. Pertama,
adalah hal yang berbahaya jika menyetarakan antara Karl Marx dan
Adam Smith.6 Ia meletakkan dua orang tersebut—Karl Marx dan Adam
Smith, pada sisi sebelah kiri (Karl Marx) sebagai peletak fondasi ekstrem
kiri. Sementara itu, Adam Smith pada sisi sebelah kanan sebagai ekstrem
kanan. Tak hanya itu, Mark Skousen juga menggunakan pendekatan

x Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


hirarkis (hierarchical approach).7 Ia terinspirasi dari folklore masyarakat
Indian terkait tiang totem. Di puncak tertinggi tiang totem adalah
ekonom yang memiliki pengaruh besar. Hal itu diukur dari kontribusi
yang mereka hasilkan terhadap ilmu ekonomi.
Lain halnya yang dilakukan oleh Jeff E. Biddle (2003). Melalui
artikelnya yang bertajuk Research Styles in the History of Economic Thought,
mengetengahkan bahwa mengkaji pemikiran sosial dan ekonomi secara
otomatis akan menghantarkan seorang peneliti untuk mempersoalkan
“tubuh pengetahuan”atau “the body of knowledge”.8 Dalam metodenya, Jeff
E. Biddle melakoni proses yang khas. Pada mulanya, ia mengumpulkan
esai-esai individual yang ditulis oleh sarjana sosial dan ekonom,
dan kemudian dikelompokkan berdasarkan bangunan teoretik yang
sudah diakui secara konvensional. Tak hanya itu dalam melakukan
pengelompokan (partition), Jeff E. Biddle juga mempertimbangkan
aspek-aspek lain seperti periode, mazhab pemikiran, dan kebangsaan
para sarjana sosial dan ekonom tersebut.9 Fakta yang dipaparkan
oleh Jeff E. Biddle terkait secara langsung pada the body of knowledge,
atau struktur keilmuan. Kendati fakta-fakta itu sering kali didebat,
tetapi sesungguhnya hal tersebut tak mengurangi argumentasi untuk
memuatnya dalam kajian tentang pemikiran ekonomi. Perdebatan
seputar kajian terhadap pemikiran sosial dan ekonomi, menurut
pandangan Biddle adalah hal yang dapat dimaklumi. Ia berpandangan
demikian, karena memang dalam pengkajian pemikiran sosial dan
ekonomi terdapat berbagai metodologi yang terkadang terkesan tak
memiliki korelasi. Misalnya, pendekatan yang dilakukan oleh Samuels
(1983) dan Medema (2001). Keduanya menelusuri pemikiran ekonomi
melalui penyelidikan secara mendalam teori-teori ekonomi yang
diaplikasikan oleh praktisi.10 Berbagai pendekatan yang ditawarkan
oleh sejarahwan dan ekonom, tentu saja memiliki ‘keunggulan’ dan
juga ‘kelemahan’.
Merespons hal itu, maka pendekatan naratif dapat diajukan sebagai
metode pemaparan kembali pemikiran sosial dan ekonom. Mengapa
mesti dengan pendekatan naratif? Adalah Eric L. Berlatsky (2011)
melalui karyanya The Real, The True, and The Told: Postmodern Historical
Narrative and The Ethics of Representation, memperkenalkan ‘narasi’ sebagai
metode untuk memaparkan dan bercerita. Dengan ‘narasi’, seorang
pengkaji dan penulis akan mampu membawa pembaca ke lorong-

Prolog xi
lorong masa silam. Mampu menyelami kegetiran para ekonom persis
ketika mereka menghasilkan teori-teori penting dalam ilmu sosial dan
ekonomi. James Joyce pernah menulis: “Can’t bring back time. Like holding
water in your hand.”11 Di sana ada cara untuk menghidupkan kembali
‘subjek’ yang sesungguhnya telah ‘mati’. Narasi adalah metode terbaik
untuk menghidupkan subjek tersebut. Lalu apakah yang dimaksud
dengan narasi tersebut?
Narasi adalah varian yang dipopulerkan oleh postmodernisme.
Persis ketika Jean-François Lyotard mengalami ketakpercayaan pada
metanarasi, atau narasi besar yang telah menciptakan kemungkinan
perang, dan totalitarianisme. Lalu di mana posisi narasi pada era
postmodernisme? Narasi yang dimaksud disini bukanlah ideologi, tetapi
lebih tepat dihubungkan dengan sastra dan politik bahasa. Sehingga,
narasi disini adalah style penuturan yang mengedepankan narasi, dan
gaya-gaya fiksi yang lekat dalam tradisi modernisme. Tak berlebihan jika
narasi yang dimaksud di sini adalah seni pemaparan kembali penemuan,
dan akar-akar dari teori ekonomi yang dihasilkan oleh ekonom peraih
nobel ekonomi. Upaya ini sesungguhnya dilandaskan pada argumentasi
Hutcheon bahwa narasi sebagai bagian dari postmodernisme diartikan
secara historiografis.12 Dalam konteks ini ‘narasi’ dimaknai sebagai
alat saja, atau device yang membantu menghadirkan kembali subjek-
subjek yang seutuhnya telah wafat, atau yang tersisa hanyalah artefak
intelektual mereka—pemikiran dan teori ekonomi.
Hal lain menjadi argumentasi mengapa harus dengan narasi, karena
teori itu sendiri adalah sebuah narasi—ia adalah narasi dari pikiran
manusia. Lagipula teori lahir dan diproduksi bukan dalam ruang hampa,
atau bersifat spontan. Melainkan teori terikat dengan konteks akar dan
sejarah, khas penuh epik. Lewat narasi, konteks dan akar yang khas dari
setiap teori dapat diurai, dan dihidupkan kembali. Mengapa narasi begitu
kuat dan ia mempunyai energi menghidupkan tokoh yang mungkin
sudah terkubur. Narasi dalam keseharian manusia berkaitan secara erat
dengan segala mitos, legenda, sejarah, karya fiksi, biografi dan segala
sesuatu yang dikisahkan. Dengan demikian narasi adalah media refleksi
bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia, termasuk persoalan
rumit ketika para ekonom menghasilkan teori-teori ekonomi. Persoalan

xii Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


rumit itu terkadang ‘tak tergubris’ ketika memaparkan pemikiran
dan teori-teori sosial dan ekonomi yang dihasilkan oleh para sarjana
sosial dan ekonom secara konvensional. Padahal seutuhnya hal-hal tak
tergubris itulah yang paling menentukan dan mendorong lahirnya teori-
teori penting. Dalam konteks ini kemudian, narasi dipilih sebagai gaya
pemaparan dalam buku ini. Bukan tanpa alasan, justru narasi dipilih
karena diyakini bahwa narasi merupakan pertemuan (interaksi) antara
masa lalu dan masa kini. Sehingga pembaca dapat merasakan satu
‘perasaan’ masa lalu yang dihadapi oleh pemikir atau ekonom ketika
mereka menghasilkan satu teori yang penting. Bahkan menghantarkan
mereka meraih nobel ekonomi.
Narasi sesungguhnya adalah mekanisme terbaik untuk memproduksi
ulang signifier of history, atau tanda-tanda sejarah.13 Tanda-tanda itu
kemudian yang dibaca ulang oleh pembaca, serta dihayati kembali
sehingga perasaan masa lalu yang secara subjektif hanya dialami oleh
para ekonom, dapat diresapi kembali. Ini kemudian yang dimaksud
dengan diksi “menghidupkan” kembali. Hegel, Michel de Certeau, dan
Hayden White sudah memperkenalkan konsepi tersebut tentunya.14
Tak mengherankan jika kemudian sejarah, bahkan teori yang dilahirkan
pemikir sosial termasuk ekonom adalah produk dari bahasa. Meskipun
kemudian Roland Barthes memahami bahwa sejarah terkadang
berkorelasi dengan realitas. Melainkan ia hanyalah seperangkat tanda-
tanda yang diproduksi ulang melalui narasi.15 Sejarah adalah a textual
effect, semacam efek dari teks semata. Dalam konteks ini kemudian
narasi adalah model menarik yang dapat mengembalikan potret atau
artefak teoretik, menyelami ke bentuk masa lalunya dan didialogkan
kembali oleh “aku”.
Demikianlah buku ini adanya. Sebagai sebuah buku sejarah
pemikiran ekonomi, proses berpikir membutuhkan narasi, dan
kemudian hasilnya pun diproduksi dalam bentuk sejatinya, yakni
narasi. Tanpa narasi proses eksplanasi, dan interpretasi tak akan dapat
dilakukan. Tak terkecuali pemikiran sosial dan ekonomi. Tak satu pun
sesungguhnya pemikiran, ilmuwan dan seluruh manusia yang dapat
menanggalkan narasi dari kehidupan mereka. Narasi bagi sarjana sosial
dan ekonom tak sekadar media untuk berefleksi, tetapi narasi adalah

Prolog xiii
tanda (signs) yang diproduksi dan kelak akan dibaca; dan ditafsirkan
kembali oleh generasi sesudah mereka. Dalam konteks ini kemudian
penulisan buku ini menggunakan narasi sebagai cara untuk bertutur
kembali terhadap mozaik pemikiran sosial dan ekonomi, sebagian
mereka justru peraih nobel ekonomi. Dengan demikian tak berlebihan
jika upaya ini disebut dengan “memoar teoretik”, atau dimaknai sebagai
narasi atas teori-teori sosial dan ekonomi.

Penulis

xiv Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


“The ideas of economists and political philosophers, both when they are right
and when they are wrong, are more powerful than is commonly understood. Indeed the
world is ruled by little else. Practical men, who believe themselves to be quite exempt
from any intellectual influence, are usually the slaves of some defunct economist.”
–John Maynard Keynes.

xv
Catatan Akhir (Endnotes)
1
Lihat Murray N. Rothbard. Economic Thought Before Adam Smith: An Austrian
Perspective on the History of Economic Thought. (Auburn: Ludwig von Mises)., hlm. 26.
2
Ibid., hlm. 8.
3
Mark Skousen. The Big Three in Economics: Adam Smith, Karl Marx and John
Maynard Keynes. (London: M.E. Sharpe)., hlm. ix.
4
Ibid.
5
Ibid., hlm. x.
6
Ibid., hlm. ix.
7
Ibid., hlm. x.
8
Lihat Warren J. Samuels & Jeff E. Biddle (ed.). A Companion to The History of
Economic Thought. (UK: Blackwell Publishing Ltd)., hlm. 1.
9
Ibid.
10
Ibid., hlm. 2.
11
Eric L. Berlatsky. The Real, The True, and The Told: Postmodern Historical Narrative
and the Ethics of Representation. (Ohio: The Ohio State University, 2011)., hlm. 1.
12
Ibid., hlm. 7.
13
Ibid., hlm. 10.
14
Ibid.
15
Ibid.

xvi Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


)
1
Ragnar A.K. Frisch & Jan Tinbergen

)
EKONOMETRIKA:
MEMOAR ATAS KEGILAAN
METODOLOGIS

1895-1931
Bagaikan seorang gadis yang memakai
gaun pengantin, dengan mahkota
berlian di kepalanya. Sementara di
lehernya melingkar seuntai berlian air
laut, berkilau, cantik, dan mempesona.
Begitulah masyarakat memahami
emas di tahun kelahiran Ragnar A.K.
Frisch. Tidak terkecuali di kota kecil,
Oslo–kota Ragnar Frisch dilahirkan. Di
sini, juga di tempat lain hampir semua
orang mengejar, berebut, dan bertarung
untuk mengumpulkan emas. Entah dari
bagaimana awalnya, emas telah menjadi
benda yang paling berharga dalam
ekonomi. Bahkan ilmu ekonomi menempatkan emas sebagai standar
ukur yang paling prestisius, tak lengkang oleh waktu. Berlebihan,
tetapi itulah faktanya hingga kini. Ironi atau sebuah takdir, Ragnar

1
A.K. Frisch lahir di zaman goldsmith. Pada 3 Maret 1895, lahir dari
pasangan perajin emas dan perak, Anton Frisch dan Ragna Fredrikke
Kittilsen. Zaman di mana menjadi “tukang emas” adalah pekerjaan yang
diminati. Barangkali hanya refleksi dari hukum ekonomi, “Banyaknya
permintaan, harus diimbangi dengan kemampuan pasar dan rumah
produksi melahirkan produk,” atau kenyataan ini adalah bagian dari
gerak perekonomian yang terkadang sulit ditebak ke mana arahnya. Jika
suatu waktu emas begitu berharga, maka di lain waktu—entah kapan,
bisa jadi sampah lebih berharga dari emas.
Ragnar Frisch adalah sosok lain di zamannya. Pribadi yang tidak
terlalu cenderung mengikuti gerak dan gaya yang tumbuh di kalangan
masyarakat. Bagi Frisch pengetahuan lebih berharga dari segengam
emas. Meskipun terkadang ia tak dapat mengelak. Itu mendorongnya
untuk menempa diri dan terus bergulat, mengembara mencari
pengetahuan penting. Itu pula yang mendorong dirinya belajar, dan
menuruti kehendak otaknya untuk menimba pengetahuan di Universitas
Oslo dan kemudian mendapatkan gelar pertamanya (B.A atau Bachelor)
di tahun 1919. Tetapi ia tak langsung mengikuti perkuliahan persis
ketika dirinya dinyatakan diterima pada Universitas Oslo. Pergulatan
batin tiba-tiba muncul ketika itu. Dirinya gusar, dan bimbang dalam
memutuskan sikap: antara meneruskan kuliah atau ikut membantu
kedua orang tuanya, memenuhi kebutuhan ekonomi. Ia terpaksa
membantu kedua orang tuanya, bekerja di industri tempat ayah dan
ibunya bekerja sebagai pandai emas, goldsmith. Ini tak membuatnya
tenang. Jauh di lubuk hatinya terpatri keinginan untuk memulai
studinya di Universitas Oslo.
“Ketika aku tengah merencanakan hal terbaik untuk masa depanku. Itu
harus buyar ketika begitu saja aku harus mengikuti tradisi para pandai emas
dan perak. David Andersen adalah industri kerajinan emas dan perak paling
terkenal di Oslo. Dari sanalah profesiku sebagai pandai emas bermula, dan
berakhir pada tahun 1920.” Ragnar Frisch menguraikan.
Itu tak berlangsung lama. Pilihan telah ia putuskan. Ragnar segera
memulai perkuliahan di Universitas Oslo walaupun disela waktu
sengangnya ia harus mencari tambahan pendapatan. Bahkan sebelum
masuk dan memulai perkuliahannnya di Universitas Oslo, Ragnar
Frisch mengajarkan matematika kepada kelompok pelajar yang hendak
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Semacam kelas

2 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


persiapan atau bimbingan belajar. Tidak hanya itu, di kampus setelah
ia memutuskan untuk memulai perkuliahan, Ragnar Frisch aktif
dikegiatan mahasiswa dengan mengambil bagian di kantor informasi
kemahasiswaan Universita Oslo. Ia bertugas memberikan informasi bagi
mahasiswa atau masyarakat umum Norwegia yang ingin melanjutkan
studi di luar negeri. Aktivitas ini sulit, terlebih waktu itu Perang Dunia
I baru saja selesai. Tetapi itu harus ia lakoni, mengingat ada misi untuk
memperkuat jaringan intelektual ke luar negeri. Aktivitas ini sama sekali
tak menganggu konsentrasinya untuk belajar. Di musim gugur 1917,
Frisch sukses menyelesaikan dan dinyatakan lulus dalam mata kuliah
Bahasa Latin dan Filsafat, dengan predikat yang sangat memuaskan.
Kemudian pertengahan 1919, Frisch dinyatakan lulus pada ujian akhir
ilmu ekonomi.
Setelah Tamat dan mendapatkan gelar sarjananya, layaknya kaum
terpelajar lainnya, Frisch dihadapkan pada situasi yang sulit dan
melelahkan batinnya. Takdir mendorongnya harus memilih. Begitulah
takdir mengajarkan manusia ketika berpapasan dengan ketidakpastian.
Harus ada pilihan terhadap hidup. Tawaran yang sangat prestisius untuk
menjadi profesor penuh di sebuah universitas penting dan berskala
internasional seperti Universitas Yale, datang menghampirinya. Namun
ia gusar: tawaran yang sama juga datang Universitas Oslo: universitas
yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Kemana pilihan harus ia
jatuhkan?
Pada pertengahan tahun 1931, Ragnar Frisch menambatkan hatinya
di Universitas Oslo sebagai profesor penuh. Bukan tanpa alasan, Ragnar
Frisch menerima tawaran Universitas Oslo: baginya Universitas Oslo
adalah jiwanya. Tidak hanya karakter keilmuan Frisch yang dibentuk oleh
Universitas Oslo, tetapi juga paradigma ekonomi yang ia kembangkan
juga bermula dari Universitas Oslo. Kendati demikian dengan rendah
hati Frisch mengakui ada beberapa ekonom yang ia kagumi, dan itu
hanya dapat ia temui di Universitas Oslo.
“Duo Profesor, Wedervang dan Tang adalah pribadi yang tidak hanya
menjadi teman diskusi ketika melakukan penelitian ekonomi, tetapi lebih
dari itu keduanya telah memberikan kesan impresif dan sangat membekas
ketika berdiskusi tentang penelitian ekonomi.” Ujar Ragnar Frisch.

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 3


Sepuluh tahun sebelumnya, persis pada tahun 1920 Ragnar Frisch
memutuskan menjadi ilmuwan sebagai ekonom yang menyenangi
dunia penelitian. Ini babak baru bagi Ragnar Frisch, sekaligus
menegaskan dirinya sebagai seorang matematikawan Norwegia yang
disegani. Pertengahan tahun 1921 hingga pertengahan tahun 1923,
Ragnar Frisch memutuskan mengunjungi Paris. Kemudian menetap
di London selama musim gugur. Setelah itu, Frisch mengunjungi
Jerman dan Italia. Lawatannya ke beberapa negara ini dibiayai oleh
Manthey Scholarship: bukan tanpa pertanggungjawaban akademik,
Frisch secara periodik membuat laporan ke Universitas Oslo. Lawatan
Ragnar A.K. Frisch ke negara-negara Eropa ditujukan untuk mendalami
matematika dan statistika. Dalam waktu bersamaan, Ragnar A.K. Frisch
memulai dua proyek intelektual yang kemudian menjadi karya yang
menghantarkannya meraih penghargaan bergengsi, yakni Nobel dalam
ilmu ekonomi. Pengukuran marginal utilitas pendapatan dan analisis
time-series adalah dua proyek berat yang dikerjakannya dan akhirnya
menjadi pilar ilmu ekonomi modern.
Jaeger pernah berkomentar tentang Frisch:
“Semua karya dan artikel yang ditulis oleh Ragnar A.K. Frisch, menegaskan
dirinya sebagai master dan matematikawan yang sangat cerdas. Bagi Frisch
matematika menjadi instrumen memecahkan masalah teoretis yang paling
sulit dalam ilmu ekonomi. Matematika juga menyediakan pertanyaan
yang mendasar bagi ilmu ekonomi dan kemudian menjadi pusat perhatian
ekonom.”
Perhatiannya yang cukup besar terhadap matematika dan
mengaplikasikannya ke dalam ilmu ekonomi, menghantarkan Frisch
menjadi pembicara yang disegani sekaligus diminati oleh universitas
mana pun yang ia kunjungi. Di Universitas Oslo ia diberi amanah untuk
mengampu dasar-dasar teori ekonomi. Dalam kuliah yang ia berikan
pada mahasiswanya, Frisch telah memperlihatkan pemberontakkan
terhadap teori produksi. Ia engan mengajarkan teori produksi, dan
lalu mengantinya dengan materi dasar-dasar analisis stock-flow atau the
principles of stock-flow analysis. Untuk memperkuat inovasi teorinya, di
pertengahan tahun 1929, Ragnar Frisch berbagi dengan kolegannya,
Schonheyder untuk mengajarkan teori siklis-bisnis atau business-cyles
theory dan juga statistika. Selama tiga semester ia mengajarkan teori-
teori yang berat, protes terhadap Ragnar A.K. Frisch tak dapat dihindari.

4 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Ia telah menyeret ilmu ekonomi menjadi disiplin yang berat, sulit dan
sangat ketat.
Lompatan yang dilakukan oleh Ragnar A.K. Frisch dalam
mengembangkan ilmu ekonomi, telah menghantarkan disiplin ini
menjadi ilmu pengetahuan keras dan mirip dengan ilmu fisika yang
diajarkan oleh Sir Isaac Newton. Bagi Ragnar A.K. Frisch hanya dengan
cara itu kemudian ilmu ekonomi mampu menyingkap misteri perilaku
dan realitas ekonomi. Realitas ekonomi dan perilaku manusia adalah
hal yang kompleks. Melalui matematika realitas yang kompleks dan
rumit itu, dapat disederhanakan dalam bentuk pemodelan. Proses ini
memungkinkan matematika, bahkan dikemudian hari dinamai oleh
Ragnar A.K. Frisch dengan ekonometrika untuk menjadi instrumen
pemodelan. Realitas dan perilaku ekonomi pun dapat dipahami, dan
dapat dijelaskan. Tidak hampa dari filosofi: di balik pemodelan ekonomi
yang diperkenalkan oleh Ragnar A.K. Frisch terdapat filosofi yang tidak
hanya kuat tetapi juga menjadi dasar dari segala pandangannya terhadap
realitas dan perilaku ekonomi. Untuk itu agaknya perlu dilakukan
ziarah ke dalam kerja intelektual A.K. Frisch, dan membiarkannya
hadir dihadapan kita seolah-olah ia bertutur sendiri, dan menceritakan
dirinya kepada kita.

DEMIKIAN aku digambarkan oleh sejarahwan yang ingin mengerti


akan diriku. Tentu hal itu tidak akan pernah cukup untuk mengerti
siapa aku. Melainkan hanya melalui pikiranku tentang dunialah kalian
mengerti diri, nalar, dan apa tujuanku. Pun melalui hal itu kalian akan
mampu mengerti akan rahasia di balik teori-teori ekonomi yang hasilkan
dari meditasiku nan lama dan berliku.
Bagiku kehidupan itu terkadang muncul dalam bentuk yang
diilustrasikan Èvariste Galois: dua pelacur terlibat duel mengelikan.
Keduanya sama-sama memegang pistol. Mereka paham senjata itu
mematikan, tetapi mereka tidak paham bagaimana mengunakannya
dengan baik sehingga menjadi senjata yang berguna melindungi diri
mereka dari bahaya kejahatan. Keeseokan harinya dua perempuan
jalang itu mati bersimbah darah. Tak ada yang selamat. Ini kemudian

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 5


aku disebut sebagai kebijaksanaan yang terbatas. Manusia, termasuk
ekonom tak jarang terjebak dengan ilustrasi yang dibuat oleh Èvariste
Galois ini: memiliki pengetahuan tetapi tak mengerti bagaimana
pengetahuan itu digunakan dengan baik. Ia tak membuahkan apa pun.
Padahal ilmu pengetahuan adalah metode terbaik untuk menghasilkan
kebijaksanaan (virtue) untuk menempatkan diri dalam realitas atau
kehidupan yang kian kompleks. Kebijaksanaan adalah kata kunci bagi
manusia untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi.
Kendati demikian, ada hal lain yang tak kalah pentingnya, yakni interest
atau kepentingan. Idealnya kebijaksanaan maupun kepentingan secara
simultan membentuk kecerdasan paling autentik manusia dalam
menyelesaikan masalah. Kecerdasan yang tidak hanya menguntungkan
diri sendiri, tetapi juga mempertimbangkan kebaikan untuk orang lain.
Untuk itulah sesungguhnya ilmu ekonomi hadir dan layak dipelajari.
Namun tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengapai,
dan mengakumulasi keuntungan meskipun manusia memiliki 1001
kecerdasan. Tantangan selalu menjadi tembok tebal dan terkadang hadir
seperti labirin yang tak mudah dipecahkan ketika manusia hendak dan
berusaha dengan kuat mendapatkan keuntungan, atau dalam bahasa
yang paling populer dalam ekonomi disebut dengan maximization of
utility atau memaksimalkan utilitas.
Berulang kali aku ujarkan bahwa:
“Jauh di kedalaman diri manusia akan selalu ada tendensi yang sangat
menarik untuk mengerakkan fisik, energi, mental untuk menyelesaikan
tantangan ataupun masalah yang dipermukaan terlihat tak terselesaikan.”
Manusia, siapa pun itu, tentu merasakan gairah yang tak dapat
didefinisikan untuk menyelesaikan persoalan yang menantang, dan
dipermukaan seolah tak dapat diselasaikan. Gairah seperti itu dalam
ilmu ekonomi disebut dengan interest: semacam kepentingan yang lahir
dari hasrat yang sangat besar dan berbenturan dengan tantangan yang
dihadapi manusia. Dari tantangan-tantangan semacam itu kemudian
usaha, bahkan perilaku yang tak terduga tetapi penuh perhitungan lahir
dan muncul ke permukaan. Bahkan untuk semua itu, manusia tak ragu
bersikap irasional, melakukan hal-hal yang terkadang tak masuk akal jika
diukur dengan logika ekonomi. Menghabiskan waktu, energi, bahkan
uang hanya untuk menyelesaikan satu persoalan. Ini adalah misteri
karakter manusia. Karakter yang penuh dengan selubung dan tirai tebal

6 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


yang sulit disibak dengan satu ilmu saja. Ada banyak ilustrasi sederhana,
dan itu berasal dari perilaku manusia untuk menjelaskan ini semua.
Para pendaki tidak rela, bahkan petualangan yang mereka lakukan untuk
mencapai satu puncak gunung terasa hambar tak bermakna jika itu
mereka capai dengan rute yang tak menantang. Mereka lebih memilih
rute berbatu, terjal, dan lincin daripada jalan setapak yang landai dan
bersih dari semak belukar. Begitu juga alchemist, atau kimiawan akan
mempersibuk diri untuk terus mencampurkan benda kimiawi dengan
metode khusus, dan berharap dapat menghasilkan benda kimia lain.
Bahkan untuk menghasilkan emas, dengan hanya mencampurkan
bahan-bahan kimiawi khusus adalah tujuan mereka. Pada prinsipnya,
apa yang mereka lakukan telah benar tetapi terkadang teknologi yang
terbatas tak mendatangkan nasib baik, atau kesuksesan.
Jika Karl Marx menawarkan tesis dan antitesis untuk melahirkan
sintesis, maka bagiku untuk menyelesaikan satu persoalan atau dalam
rangka melahirkan hal baru diperlukan dua hal, yakni matter dan
antimatter: di mana satu di antaranya menjadi unsur pembentuk dari
bentuk “anti” seperti halnya dalam satu atom hidrogen yang normal.
Bentuk “anti” atau anti-form secara kimiawi memiliki inti yang terdiri
dari satu antiproton yang menyirkulasikan satu positron. Demikian juga
halnya dalam atom yang kompleks. Begitu rumitnya aku menjelaskan
usaha manusia dalam menyelesaikan persoalan atau unsolve problem,
bahkan sangat saintifik dan begitu ilmiah. Terkesan rumit. Demikian
caraku memperlakukan satu gejala psikologis manusia, sangat kompleks
tetapi pasti dapat dijelaskan.
Aku pernah mengemukakan argumentasi bahwa:
“Jika dihubungkan dengan tantangan, ataupun unsolve problem: matter dan
antimatter selalu dan niscaya hadir dalam satu hubungan atau kontak yang
kuat. Saat itulah keduanya mampu melahirkan satu hal yang baru, semacam
ledakan yang disebabkan oleh persentuhan dua hal yang bertentangan. Bom
atom dapat terjelaskan dengan ilustrasi sederhana ini.”
Tidak hanya itu, dalam pandanganku tentang dunia ini, ia di­­cipta­
kan dalam hubungan biner antara matter dan antimatter: persentuhan
dua unsur yang berlawanan—negatif dan positif—memicu ledakan
(the big bang theory), hingga melahirkan planet-planet kecil dan tertata
dalam satu galaksi yang memiliki hukum otonom. Begitulah metode
dan argumentasi yang aku kemukakan untuk memberikan catatan

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 7


atas perilaku dan watak manusia dalam mencari keseimbangan
ketika berbenturan dengan masalah yang kompleks. Aku sengaja
jauh mengembara memasuki jagad kimia dan fisika. Akhirnya aku
menemukan kebijaksanaan, dan penjelasan yang sangat filosofis
terhadap semua itu. Aku menyebut itu semua itu dengan “kata fisika
dan imajinasi kosmologi”: dua istilah yang bersumber dari pemahaman
radikalku terhadap fisika dan kosmologi. Bahkan dengan antusias aku
sering kali mengutip kalimat yang dilontarkan oleh William Anders,
salah seorang dari tiga Astronot yang berangkat dengan Apollo 8
pada taun 1969, bahwa: “Nothing is impossible.” Dahulu manusia bisa
dan berkeyakinan adalah mustahil untuk terbang 50.000 kaki, atau
terbang dengan kecepatan tiga kali dari kecepatan cahaya. Tetapi hari
ini teknologi, dan manusia melakukan itu. Ini adalah lompatan yang
dilakukan oleh manusia. Sebuah kemajuan atau satu hasil dari usaha
manusia yang terus-menerus mencari hal baru atas tantangan, dan
berhadapan secara langsung dengan masalah-masalah yang rumit.
Sesungguhnya manusia ada karena mereka berusaha untuk keluar dari
belitan masalah. Jika tidak, maka manusia tak akan pernah merasakan
atmosfer lain yang lebih menyegarkan dalam menjalani satu babak
kehidupan.

JIKA sebelumnya aku membicarakan ikhtiar manusia, maka setelah


itu akan ‘ku paparkan satu rahasia lain, yakti chaos dan hubungannya
dengan realitas.
Filsafat dalam arti paling sederhana, seperti yang pernah aku
ungkapkan dalam acara memorial lecture Alfred Nobel, 17 Juni 1970 di
Universitas Oslo, adalah cinta yang radikal terhadap kebijaksanaan
atau ilmu pengetahuan. Secara khusus, filsafat adalah puncak realitas
(ultimate reality), atau berhubungan secara kuat dengan penyebab dan
prinsip paling umum dari satu hal.1 Apa yang dimaksud dengan ultimate
reality ini? Dalam ilustrasiku yang paling sederhana, itu aku contohkan
sebagai pencarian atas realitas puncak dan itu dilakukan dengan cara
yang dilakukan oleh burung ketika melihat objek. Ketika hewan ini
menangkap satu objek, saat itulah citra objek itu merasuk ke dalam
benaknya dengan sangat natural. Naturalitas itulah yang disebut dengan

8 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


realitas puncak. Apa sesungguhnya yang aku tahu tentang the ultimate
realities sebagai sebuah konsepsi?
Kesederhanaan realitas. Inilah pusat dari teori the ultimate realities
yang sempat ‘ku maknai. Untuk memahami realitas dan loncatan yang
terjadi di dalamnya, cukup hanya dengan menangkap dan memotret
bagian-bagian dari realitas itu. Tidak perlu ada penyelaman radikal
ke dalam inti realitas itu sendiri. Karena sesungguhnya inti dari
satu realitas, dengan alamiah memunculkan diri di permukaan. Pada
permukaan itulah pancaindra manusia harus ditambatkan. Hal ini dapat
diterima dengan amat rasional, karena sesungguhnya realitas penuh
dengan konflik dan ketegangan atau chaos: sebuah benturan antara satu
fakta dengan fakta lainnya, atau bisa juga diartikan sebagai loncatan
zig-zag, gerak tak beraturan dari satu realitas ke realitas lain. Apa yang
‘ku utarakan agaknya dapat dipahami melalui penjelasan Wolfram
Schommers tentang realitas. Schommers menegaskan bahwa dalam
memori manusia semua hal esensial direpresentasikan dalam satu
frame foto yang muncul begitu saja di hadapan mereka.2 Realitas yang
hadir dan ditangkap secara spontan oleh pancaindra adalah fakta paling
dasar. Pada fakta semacam itulah kealamiahan muncul dan tentunya
sangat berarti, serta bermakna bagi ilmuwan untuk menjelaskan
realitas itu sendiri. Tentunya tidak cukup itu. Ada hal lain yang idealnya
dipertimbangkan oleh ilmuwan tatkala hendak menjelaskan realitas.
Aku sudah pernah mengutarakan hal itu ketika memberikan kuliah
pada Institute Henri Poincarĕ di Paris, tahun 1933. Bahkan pernah ‘ku
sampaikan dalam satu diskusi di hadapan sarjana Norwegia tentang
statistik: “ultimate reality” hanya bisa dicapai, dipahami, dan dijelaskan
melalui ilustrasi yang amat sederhana, dan itu dalam dua variabel.3
Kurang dari itu, realitas puncak atau dasar dari segala sesuatu itu tak
akan dapat dijelaskan. Dengan dua variabel itulah penyimpulan, atau apa
yang kelak diistilahkan peneliti dengan generalisasi, dapat dilakukan.
‘Ku menyadari teori itu akan menjadi dasar-dasar penyelidikan kelak
dalam bidang ekonomi. Bahkan ia akan memicu lahirnya kembali agama
ilmiah: satu keyakinan saintifik bahwa penelitian akan terasa baik
jika diselesaikan dengan pandangan saintifikasi, layaknya kerja yang
dilakukan oleh ilmuwan fisika. Meskipun dalam relung hatiku, tidak
menginginkan adanya ideologisasi metodologis. Karena sesungguhnya
ia hanyalah alat untuk memahami.

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 9


Aku, dan barangkali juga orang selainku harus menyadari bahwa
dalam riset, “kita” haruslah bersikap realistik. Riset bukanlah agama,
yang harus dibela secara fanatik. Sesungguhnya riset hanyalah jendela
bagi manusia untuk memahami dunia dan apa yang tumpah di
atasnya. Dengan memosisikan ekonomi dan ekonometrika—lengkap
dengan proses-proses metodologis di dalamnya—secara tepat. Itu
akan mengajarkan manusia untuk berpikir tidak konvensional atau
less conventional way. Sungguhnya semua itu akan membantu manusia
berpikir lebih radikal, realistik.4 Aku masih yakin dengan pandangan
itu dan kelak akan berguna untuk pengembangan ilmu ekonomi,
sehingga ia menjadi berguna menyelesaikan problema dan persoalan
membingungkan dalam wilayah ekonomi. Ya, sebuah keyakinan yang
lahir dari pertanyaan yang berseliweran dan kerapkali menganggu
tidurku: “Bagaimana dan apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan
ilmu ekonomi pada moment di mana semua manusia sudah menjadi
sangat modern?”.
Dalam kesunyian yang ‘ku selami, aku sering kali bertemu dengan
John Stuart Mill (1806-1873) melalui tulisan-tulisannya yang terus
membentak dan menyentakkanku. Betapa tidak, John Stuart Mill begitu
menghormati para leluhur ilmu ekonomi. Adam Smith (1723-1790),
David Ricardo (1772-1823), dan Thomas Robert Malthus (1766-1834)
adalah para leluhur yang menginspirasi John Stuart Mill dalam proyek-
proyek intelektualnya, juga bagi ‘ku. Aku dan Mill barangkali sepakat
bahwa awal dari ilmu ekonomi adalah teori nilai.5 Harusnya semua
ekonom berangkat dari pandangan ini. Bukan karena aku tergila-gila
atau terobsesi dengan teori kuno itu. Tetapi ada daya magis, membuatku
tersihir untuk mempersoalkannya. Daya magis yang barangkali juga
telah menyihir para leluhur sebelum ‘ku lahir dan mulai mempersoalkan
teori nilai.
Sungguh menurut pandanganku, teori nilailah yang pada
dasarnya menggerakkan aktivitas ekonomi seperti produksi. Nalar dan
imajinasiku sendiri yang memberitahuku akan hal itu. Sesekali entah
mengapa tiba-tiba melintas saja pikiran semacam ini: “Seandainya diriku
adalah penguasa, maka pemotongan harga adalah cara terbaik untuk
menarik atau merayu konsumen”.6 Naif pada saat bersamaan tak pernah
terbayang olehku, bahwa pesaingku juga memikirkan hal yang sama.
Aku dan pesaingku sama-sama menjadi pribadi yang naif. Harga adalah

10 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


satu yang independen dan sangat alamiah. Tidak semudah membalik
telapak tangan untuk menaikkan atau menurunkan harga. Baru
belakangan ini aku sadar, bahwa kekuatan seperti produksi jauh lebih
alamiah dan berkuasa terhadap harga pasar.7 Jika ingin menaikkan harga
di pasar, maka cukup menaikkan biaya produksi. Begitu juga sebaliknya
jika hendak menurunkan harga. Aku sangat sadar bahwa semua hal ini
berawal dari “keinginan”, “human wants”. Begitu dahsyatnya keinginan
manusia, hingga ia dapat memengaruhi banyak hal dalam perekonomian
termasuk ekonomi sekalipun. Terkadang untuk memahami sesuatu,
termasuk gejala ekonomi, manusia dituntut untuk berpikir sederhana
dan mampu menyederhanakan persoalan, serta gejala yang muncul
ke permukaan seperti sederhananya persoalan harga pada “keinginan
manusia”. Setiap kali terpikir hal ini, pertanyaan ini berkelabat di
benakku: “Apa yang dimaksud dengan menyederhanakan persoalan?
Produk seperti apa yang dapat dihasilkan dari kerja semacam ini?”

1930
KETIKA Aku bertandang ke perpustakaan ilmu ekonomi Universitas
Oslo, mujur aku menemukan satu folder yang berisi beberapa eksemplar
surat-surat klasik. Satu tahun menjelang diriku merencanakan pendirian
masyarakat ekonometrika.8 Surat-surat ini berisi ide-ide menarik dari
seantero dunia dari berbagai negara yang berbeda. Tentunya kebanyakan
penulis surat ini telah wafat. Namun ada satu surat yang membuat ‘ku
terkagum-kagum, hingga membuat hasratku memuncak untuk mengeja
satu-satu per satu filosofi yang terdedah dalam surat-surat itu.
Surat-surat itu adalah milik Professor François Divisia, tertanggal
1 September 1926; yang ditulis dari rumahnya di Issy les Maulineaux
(Seine). Surat itu ditulis tanggan oleh François Divisia,9 dan dimataku
tulisan-tulisan itu semakin membuatku bersemangat untuk memahami
tulisan-tulisannya yang sangat filosofis. Tulisan-tulisan itu sangat
penting, dan barangkali menjadi fondasi dari pertanyaan-pertanyaan
saintifik. Menariknya François Divisia memaparkan percakapannya
dengan Professor Irving Fisher dari Yale University. Tentunya percakapan
itu sangat menarik. Tetapi ada percakapan yang aku kira jauh lebih

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 11


menarik dari percakapan Professor François Divisia dengan Irving
Fisher, dan itu adalah percakapan lain antara Professor Bortkievics
dengan Professor Bowley.
Pada satu surat tanggal 8 November 1926,10 Professor Bowley
menulis kepada Bortkievics:
“Sungguh, diriku sangat tertarik dengan ide tuan; saya akan berharap dapat
menjadi bagian dari ide-ide yang tuan ajukan. Berapa lama kira-kira ide
tuan akan direalisasikan, dan kelompok akademik itu dideklarasikan.”11
Ide Bortkievics seperti yang diisyaratkan oleh Professor
Bowley dalam suratnya itu kian memperkuat keinginanku untuk
mendeklarasikan masyarakat ekonometrika. Namun sungguh aku
dihantui oleh pertanyaan yang terkadang menghantamku, hingga diriku
gelisah. “Adakah kelak ide-ideku untuk meneguhkan ekonometrika
disambut baik oleh ekonom lain?” Untunglah kegelisahanku terjawab
dengan perhatian yang sangat besar dari Professor Schumpeter dan
Haberler, ketika mereka berdialog satu hari di Colonial Club di Harvard
University pada tanggal 29 Februari 1928.12 Dialog itu sering kali
melintasi benakku, hingga aku percaya bahwa ekonometrika, kelak akan
menjadi alat yang ampuh dalam menemukan berbagai hukum-hukum
dalam ilmu ekonomi.
Aku menyimpulkan, dukungan mereka tersebut sebagai hal
yang sangat filosofis. Masih sangat segar diingatanku ketika mereka
menegaskan posisi ekonometrika sebagai:
“...ilmu ekonomi murni dan dapat juga diartikan sebagai verifikasi
statistikal terhadap hukum-hukum ekonomi murni. Secara esensial semua
itu dapat diartikan sebagai manipulasi empiris melalui data statistik pada
fenomena ekonomi.”13
Diluar dugaan, sambutan terhadap ekonometrika begitu masif.
Ketika diskusi pembuka menjelang deklarasi masyarakat ekonometrika,
berbagai ilmuwan dari banyak negara hadir. Ilmuwan dari Austria hingga
Amerika Serikat, datang dan berpartisipasi dalam diskusi yang diadakan
di Colonial Club. Ini membuatku semakin yakin terhadap ekonometrika,
dan sangat mencintai ekonometrika. Meski kegiatan dalam mengenalkan
dan mengembangkan ekonometrika sempat terhenti, karena ayahku
wafat pada tahun 1928. Namun, itu tidak berlangsung lama. Schumpeter

12 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


kembali menghentakku untuk bangkit melalui surat-suratnya pada 31
Desember 1928.
Schumpeter menulis satu pesan kepadaku:
“I have been without your news about our plan of econometrics for quite a
time. As I shall have to tell the publishers of the Archiv and others one way
or the other, I should be much obliged for a few lines from you about the state
of things. Of course, I should not think of going on without you.”14
Di luar sana, ada banyak hal yang bisa kukerjakan. Jika terlalu
larut dengan kesedihan ini, tiada manfaat tersebar. Akupun bangkit
setelah membaca surat Schumpeter. Kemudian aku mulai berpikir agar
gerakan untuk mengembangkan ekonometrika menjadi gerakan ilmiah
yang sistematis. Setidaknya, aku membagi pengembangan itu pada
dua periode. Periode pertama adalah awal pendeklarasian masyarakat
ekonometrika di Cleveland, Ohio pada 29 Desember 1930; dan Irving
Fisher terpilih sebagai presiden pertama. Sementara itu, 16 orang, tiga
di antaranya dari Austria membentangkan kerja intelektual mereka
pada pertemuaan organisasi. Hasilnya adalah jurnal volume pertama
ekomenterika yang terbit pada tahun 1933.
Tak terbayangkan sebelumnya olehku, ekonometrika diterima
dengan masif terutama oleh para ekonom di berbagai negara. Kini
ekonometrika telah melampaui pertumbuhannya sendiri. Berbagai
model ekonometrika telah berhasil ditemukan, tidak hanya oleh ‘ku,
pun oleh pembela ekonometrika itu sendiri. “Mengapa ekonometrika
begitu penting bagi ilmu ekonomi?” Pertanyaan sederhana, tetapi
sesungguhnya “tanya filosofis” seperti itu sering kali hinggap
ditelinggaku. Awalnya aku memahami ekonometrika sangat sederhana,
dan itu adalah “ukuran-ukuran ekonomi”. Tetapi kemudian banyak
ekonom mendalami ekonometrika, lalu mengartikan ekonometrika
sebagai suatu ilmu yang mempelajari analisis kuantitatif dari fenomena
ekonomi dalam artian secara umum.15 Ada satu hal yang tidak pernah
lepas dari ekonometrika, dan itu adalah pemodelan.
Biasanya aku memahami pemodelan tersebut sebagai
penyederhanaan realitas ekonomi ke dalam satu teori. Dengan model
itu pemahaman terhadap hukum-hukum yang menyertai realitas itu
dapat dipahami dan dijelaskan. Dengan penyederhaan, atau pemodelan

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 13


tersebut sesungguhnya ekonom sepertiku mampu memahami
dunia yang telalu kompleks untuk dimengerti. Dunia yang perlu
disederhanakan. Model juga membantu sarjana untuk mencapai apa
yang aku istilahkan dengan the ultimate reality atau hukum-hukum yang
ada dibalik fenomena dunia. Tentunya tidak hanya tujuan utama dari
pelembagaan ekonometrika yang aku cita-citakan, yakni menangkap
pola-pola hubungan antarvariabel.16 Itu tidak akan pernah terwujud
tanpa terbentuknya satu kelompok masyarakat yang ‘ku sebut dengan
masyarakat ekonometrika:17 satu kelompok ilmuwan yang mencoba
membangun hubungan yang kuat antara statistika dan matematika
untuk memahami ekonomi.
Usaha mencari relasi statistika dan matematika untuk memahami
fenomena ekonomi, ‘ku artikan sebagai unifikasi atau penyatuan antara
teori kuantitatif dan kuantitatif-empiris terhadap masalah ekonomi’.18
Usaha itu tentunya muncul setelah pertanyaan-pertanyaan aneh mampir
dibenakku. “Apakah dengan penyatuan itu, masalah ekonomi dapat
dijelaskan?” Lantas, “apakah penyatuan itu akan menjadi disiplin baru
atau sekadar menjadi alat yang membantu ekonom dalam memecahkan
persoalan ekonomi?” Terkait pertanyaan itu, suatu ketika aku pernah
merenung dengan sangat dalam bahkan aku larut didalamnya:
renungan terhadap kondisi ilmu sosial yang sekadar, bahkan terlalu
berlama-lama hingga mengalami stagnasi dalam proses penelitian
yang hanya memahami (understanding approach). Menurut perasaan
dan nalarku, itu tidak akan mampu menyelesaikan persoalan yang
dihadapi manusia. Akhirnya aku sangat yakin dengan kalimat yang
tiba-tiba melintasi begitu saja di benakku, “Understanding is not enough,
you must have compassion.”19 Betapa dalamnya makna kalimat ini. Kalimat
yang bertahun-tahun aku cari, tetapi muncul begitu saja tatkala aku
merenungkan kebiasaan ilmu sosial, bahkan manusia pada umumnya
yang terlalu bertumpu dan mengandalkan proses pemahaman. Bukan
aku hendak meniadakan proses itu. Tetapi hanya ingin memastikan
bahwa manusia tidak seharusnya berhenti pada proses memahami saja.
Begitupula dengan ilmuwan sosial, terutama sosiolog dan antropolog.
“Keseimbangan antara memahami dan membangkitkan empati
adalah hal penting.” Ini kemudian tawaranku terhadap kerja ilmu sosial
dewasa ini. Aku barangkali terlalu yakin, atau mungkin tergila-gila
dengan pandanganku sendiri bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan

14 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


tidak selayaknya berhenti pada tujuan melayani ilmu pengetahuan itu
sendiri, yakni memproduksi intelektualitas. Tetapi ia idealnya mampu
menjadi pelayan kehidupan. Tetapi jujur kalimat di atas, bukan muncul
begitu saja. Tetapi ada persentuhan yang tak terduga antara diriku
dengan Abba Pant, seorang Duta Besar India untuk Norwegia. Setelah
persentuhan ini kemudian aku menyadari, bahwa ilmu ekonomi
mestilah mampu memecahkan persoalan manusia. Bahkan persoalan
itu mendesak diselesaikan ketimbang pengembangan ilmu pengetahuan.
Kesadaran semacam itu menghantarkanku pada usaha untuk selalu
mencari hubungan antara berbagai variabel ekonomi dan kemiskinan.
Namun aku ingin menegaskan usaha itu adalah buah dari keadaan—
krisis ekonomi Norwegia tahun 1930, persis ketika aku kembali dari
Amerika Serikat. Diperkuat lagi oleh kenyataan, atau kecenderungan
bahwa teori ekonomi selama ini terlalu mengandalkan basis-basis
kualitatif tanpa berusaha mengukur nilai-nilai penting dari beberapa
faktor. Padahal dari usaha semacam itulah berbagai kesimpulan,
dan diagnosis terhadap gejala ekonomi seperti kemiskinan dapat
dihasilkan.20 Aku ilustrasikan: reduksi upah dibutuhkan karena itu akan
meningkatkan profit and tentunya akan mampu menstimulus aktivitas.
Sebaliknya, kenaikan upah juga dibutuhkan karena hal itu pada akhirnya
akan mendorong permintaan konsumen juga mampu mendorong
berbagai aktivitas ekonomi.21 Tentu saja teori semacam itu hanya akan
dapat dihasilkan jika ekonom mampu melakukan kuantifikasi terhadap
faktor-faktor yang secara kuat berhubungan dengan satu persoalan
ekonomi.
Jujur: aku hanya berusaha menghubungkan ekonomi dengan proses
kuantifikasi, agar berbagai konsep dalam ilmu ekonomi dapat diukur.22
Tentu keyakinanku ini tidak lantas meminta ataupun mendorong para
ekonom menghubung-hubungkan ekonomi dengan ilmu alam secara
“latah”.23 Sesungguhnya kuantifikasi adalah upaya mengenang kembali
akar historis ilmu ekonomi, yang sesungguhnya telah diperkenalkan
seperti oleh mendiang Jevons, dan ekonom lainnya. Usaha mereka itu
menjadi dasar dari teori-teori ekonomi yang ‘ku perkenalkan.
Semua proyek akademik yang ‘ku rancang, sesungguhnya
didasarkan pada keyakinanku bahwa semua realitas yang dapat diindrai
idealnya diungkapkan kembali dalam bentuk yang sederhana, atau
melalui formula matematika. Jujur ‘ku akui bahwa keyakinan ini tidak

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 15


muncul begitu saja, tetapi ada inspirasi dibalik itu semua; dan itu
adalah pandangan-pandangan ilmiah Edgeworth (1881), Fisher (1892),
dan Pareto (1906). Semua pandangan mereka terhadap realitas, dan
menyederhanakannya telah memicu munculnya ketertarikanku terhadap
pemodelan. Dari ketertarikan semacam itu aku merumuskan teori
marginal utility of money, atau teori marginal utilitas uang.
Dalam konteks teori di atas, pandangan paling purbaku adalah
bahwa nilai marginal uang akan mengalami perubahan jika harga pun
berubah. Karena nilai atau values adalah komponen penting dari uang.
Kendati saya sangat menyadari, pandanganku ini banyak mendapat
sanggahan dari berbagai pihak. Bahkan sesekali ada saja ekonom yang
‘nyeletuk’ menanyaiku: “Apakah utilitas marginal sebuah hal yang dapat
diukur atau tidak?”. Diskusi berbau metafisik dan membingungkan
bermunculan seputar ini. Diskusi semacam itu tidak akan pernah
mampu menjelaskan teoriku ini. Tetapi sedikit menggunakan sihir ilmu
alam, atau natural science, tentunya sangat membantu menjelaskan itu.
Tentu saja aku harus bersikap jujur dalam hal itu—penggunaan
pendekatan ilmu alam dalam merumuskan teori utilitas marginal—
mazhab Austria jauh sebelum diriku telah menggunakan gaya
kuantitatif. Menariknya mendiang Jevons adalah ekonom pertama
yang menggunakan pendekatan statistik dalam mengembangkan teori
utilitas. Tetapi sayang, dalam pengamatanku pembahasan tentang
teori utilitas marginal tidak terlalu tuntas, dan mendalam dilakukan.
Aku sendiri tak tahu sebabnya. Namun aku hanya ingin menuntaskan
kebuntuan atau ketidaktuntasan ini. Untuk menuntaskan teori ini, aku
melakukan meditasi di Paris pada tahun 1923.
Dari kota itu aku mengenalkan beberapa pandanganku tentang
teori utilitas, dan itu adalah:
Pertama,
“Untuk menemukan aksioma-tepat kita perlu memikirkan utilitas
sebagai sebuah kuantitas, dan juga penting mendefinisikan utilitas
dengan metode yang tepat pula melalui aksioma-aksioma tertentu.
Kedua,
“Untuk membangun sebuah metode pengukuran utilitas agaknya
perlu mempertimbangkan metode statistik.”

16 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Ketiga,
“Perlu menerapkan metode tersebut kepada data aktual.”
Tiga pandangan itu menjadi dasar ilmiah ketika diriku merumuskan
teori marginal utilitas dengan metode isoquants: sebuah metode
yang berusaha mengombinasikan dua faktor atau variabel di mana
data-data statistik digunakan secara intensif. Dengan data-data itu
kemudian upaya pengonstruksian teori utilitas dibangun—pemodelan
ekonometrika. Mengapa pemodelan atau metode seperti itu diperlukan?
Aku sendiri hanya berpijak pada satu keyakinan bahwa kuantifikasi
sangat membantu ekonom memahami dan menyerdehanakan realitas.
Dengan metode itu, realitas bisa dibentangkan dihadapan manusia
dengan detailnya.
Kelak, atau barangkali setelah aku tiada: pemodelan akan mencuat
sebagai bagian penting dari epistemologi. Namun, perdebatan akan
mengiringi proses itu. Pertarungan epistemologi diperlukan—seperti
pertengkaran antara formalisme dan empirisme yang terus-menerus
membenturkan observasi netral fakta dan produksi aktif sebuah model.24
Kelak akan ada satu era di mana sains diartikan sebagai konfrontasi
antara objek ril yang salah satu metodenya adalah etnografi, dan objek
artifisial yang bertujuan untuk memproduksi objek ril melalui etnologi.25
Objek artifisial tersebut kemudian yang disusun, seperti yang dilakukan
oleh Levi Strauss, dalam bentuk sebuah model. Kendati pemodelan yang
‘kubangun untuk ekonometrika diartikan sebuah kegilaan metodologis.
Tetapi kelak ilmuwan sosial akan mengerti sesungguhnya tradisi mereka
sangat dengan model-model yang ‘ku rumuskan.
‘Ku akui bahwa sebuah model bukanlah transformasi dari objek
yang ril secara keseluruhan. Ia hanya sebuah temuan, atau invention
yang dihasilkan dari irrelitas formal. Dari konteks ini kemudian model
dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk, yakni: model abstrak dan
model material (montages).26 Di mana bentuk pertama sering kali
disebut dengan objek skriptural, yang berupa model matematis yang
dibangun berdasarkan kerangka berpikir deduktif. Sedangkan bentuk
kedua, biasanya diperlihatkan dengan proses nonspasial dalam gaya
sintetik seperti grafik dan diagram.27 Tidak hanya itu, model material
juga ditujukan untuk mengimitasi atau meniru perilaku manusia:28
model serupa itu biasanya dibangun atas asumsi-asumsi logis terhadap

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 17


realitas, perilaku, dan fenomena. Demikian, sesungguhnya model
adalah merepresentasikan kebenaran kerja saintifik—sebuah kerja yang
menghubungkan antara model dan realitas-empiris. Pada pandangan-
pandangan semacam ini sesungguhnya proyek intelektualku, hingga
usaha mendirikan masyarakat ekonometrika, dibaringkan.
‘Ku akui dalam perkembangannya, model tidak digunakan secara
tunggal dan mandiri oleh diriku saja. Ada banyak ekonom yang
menggunakan pemodelan dalam memahami kompleksitas masalah
ekonomi, dan Antoine Augustin Cournot adalah salah satunya. Ia populer
setelah dirinya menggunakan model matematika ekonomi terhadap
monopoli dan duopoli dalam partial equilibrium.29 Ini kian menegaskan
pandanganku bahwa pemodelan yang sarat ditemukan pada ekonometrika
sesungguhnya hanyalah sebuah estafet: sebuah pewarisan dari upaya atau
proyek intelektual yang dibangun oleh ekonom terdahulu.
Sengaja ‘ku repetisi dan bangun ulang karena pemodelan
matematika abstrak, menurut pandanganku adalah metode yang paling
realistik dan gamblang untuk menerangkan realitas ekonomi yang
sangat kompleks. Matematika abstrak seperti yang sering kali ditemukan
pada ekonometrika membantu ekonom menemukan hukum-hukum
ekonomi. Adapun metode isoquants, seperti yang telah aku singgung
diatas adalah salah satu pemodelan matematika abstrak yang sangat
membantu menemukan hukum-hukum khas dalam ekonomi. Kendati
demikian, adalah hal yang naif jika aku tidak mengakui secara jujur
bahwa proyek intelektual hingga kelak dinamakan ekonometrika adalah
kerja dan jerih-payahku sendiri. Dalam proyek ini ada seorang sahabat,
dan ekonom terkemuka yang membantu penemuan-penemuanku, atau
lebih tepat disebut sebagai penemuan bersama: ia adalah Jan Tinbergen.

18 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Jan Tinbergen (1903)
Laki-laki yang lahir pada tahun 1903 di
Belanda, adalah seorang fisikawan dari
Universitas Leiden. Gelar doktor-nya
ia peroleh pada tahun 1929, dengan
disertasinya Minimum Problems in Physics
and Economics. Pengalaman dan karir laki-
laki ini membuat diriku takjub. Betapa
tidak, karir dan fase-fase kehidupannya itu
menentukan bentuk kontribusinya terhadap
ilmu ekonomi.
Dikenal sebagai seorang statistikawan pada the Dutch Central
Bureau of Statistics and the Leagua of Nations (1929–45), menentukan
usahanya dalam membangun dan menjadikan ekonometrika sebagai
sebuah sains. Pada tahun 1930, Tinbergen bergabung bersamaku dan
Irving Fisher dalam mendirikan masyarakat ekonometrika, atau the
Econometric Society, dan kemudian ia pun ditunjuk sebagai presidennya
pada tahun 1947. Dalam pandanganku, Tinbergen adalah pribadi yang
terobsesi untuk menyatukan kuantitatif–teoretik dan kuantitatif–
empiris dalam memecahkan masalah ekonomi. Itu meniscayakan
pengadopsian secara masif tradisi ilmu alam ke dalam ilmu ekonomi.30
Obsesi Jan Tinbergen ini menurutku juga sebuah kegilaan metodologis,
layaknya kelak yang ditudingkan oleh ilmuwan sosial terhadap kami
berdua. Coba renungkan, mana mungkin tradisi ilmu alam (natural
science) diseret ke dalam ilmu ekonomi. Padahal ilmu ekonomi adalah
pengetahuan yang menyelidiki ekonomi dan manusia. Sementara ilmu
alam menyelidiki alam dan hukum-hukumnya.
Sama dengan pandanganku, Jan Tinbergen barangkali sepakat
bahwa disitulah letak pentingnya mengapa perlu mengadopsi tradisi
ilmu alam ke dalam ilmu ekonomi. Meskipun keduanya secara
epistemologi berbeda, bahkan cenderung berseberangan. Tetapi metode
ilmu alam yang mampu menyederhanakan kompleksitas alam, patut
dipuji kemudian diikuti. Argumentasi kami sederhana, realitas, dan
perilaku ekonomi sesungguhnya jauh lebih kompleks ketimbang gejala

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 19


alam. Karena itu metode ilmu alam layak digunakan untuk memahami
realitas ekonomi. Akhirnya pemodelan dengan meminjam kuantifikasi
abstrak ala matematika adalah jalan paling tepat untuk menerima
kehadiran ilmu alam dalam ilmu ekonomi.
Tinbergen ataupun diriku, sengaja membawa dan memberi ruang
baik ilmu fisika untuk memengaruhi ilmu ekonomi. Bukan tanpa tujuan,
tetapi hal itu disebabkan oleh alasan atau hasrat untuk menjadikan
fisika sebagai pengontrol ilmu ekonomi.31 Tentu saja pandanganku ini
menuai kontroversi. Adam Smith bahkan jauh hari telah memperingati
ekonomi melalui karya-karyanya, bahwa nilai-nilai ekonomi baik
berupa interest dan karakteristik ilmunya mesti didahulukan ketimbang
cara berpikir ilmu lain terhadap ilmu ekonomi. Dalam hubungannya
dengan pandangan Adam Smith, baik aku maupun sahabatku—
Tinbergen—tentunya tak bermaksud mengabaikan karakteristik ilmu
ekonomi. Tetapi secara filosofis, unifikasi atau barangkali lebih tepat
disebut dengan pengadopsian model-model fisika untuk ilmu ekonomi,
sesungguhnya hanyalah didorong oleh kepentingan metodologis semata.
Kepentingan metodologi yang dimaksud di sini adalah Tuhan
menciptakan segala sesuatu lengkap dengan hukum-hukum yang
menyertainya. Untuk memahami pergerakannya maka manusia akan
paham dan mampu menjelaskannya, hanya dengan menangkap realitas
puncak atau ultimate realities yang ada pada setiap sesuatu termasuk pada
aktivitas ekonomi. Ini adalah alasan yang inginku ungkapkan, tentunya
juga tersimpan dalam misi sahabatku, Jan Tinbergen. Bukan hanya
mempertimbangkan trend, atau gerakan yang populer dalam sains—
unifikasi ilmu pengetahuan—tetapi sesungguhnya lebih didorong oleh
pertimbangan pragmatis untuk membuat ilmu ekonomi menjadi disiplin
yang kuat dalam aspek metode dan metodologis.
Bagi ekonom lain, barangkali alasan ‘bebas nilai’ atau objectivity
adalah alasan terbaik untuk membawa-bawa metode fisika, dan pola-
pola newtonian ke dalam ilmu ekonomi. Tetapi itu belum cukup sebagai
sebuah argumentasi. Kurang ilmiah untuk diterima. Sesungguhnya
ilmu ekonomi tidak sekadar mencari jawaban, hubungan, ataupun
penjelasan terhadap realitas ekonomi yang tampak. Ia harus mampu
menjadi sumber inspirasi untuk memecahkan persoalan ekonomi.
Memecahkan persoalan ekonomi, tentunya adalah hal yang kompleks
dan membutuhkan proses ilmiah yang tepat. Kendati demikian, proses

20 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


tersebut haruslah berupa metode sederhana yang dapat digunakan
oleh orang banyak, khususnya para ekonom dengan mudah. Nilai-nilai
semacam itu sesungguhnya yang menuntut perlunya pengadopsian
metode-metode fisika ke dalam ilmu ekonomi, untuk kemudian disebut
dengan ekonometrika.
Argumentasi yang ‘ku kemukakan adalah nalar filosofis, atau lebih
tepat dikatakan sebagai alasan epistemologi mengapa metode fisika
diseret ke dalam wilayah ekonomi. Usaha ini sesungguhnya linier
dengan tradisi ilmu ekonomi yang lebih cenderung menggunakan kata
“analisis” ketimbang “deskripsi” terhadap masalah ekonomi.32 Tradisi ini
memungkinkan para ekonom, termasuk diriku untuk mencari metode
yang mampu membangun model-model ekonomi. Dan itu hanya bisa
dibantu oleh tradisi fisika, yang menyederhanakan kompleksitas alam ke
dalam quantifikasi abstrak. Akhirnya upaya atau proyek intelektual yang
‘ku dan Tinbergen bangun menjadi satu disiplin yang digunakan secara
intensif dalam ilmu ekonomi, dan itu adalah ekonometrika. Akupun
mengakui bahwa ekonometrika, sesungguhnya terinspirasi dari ilmu
alam, khususnya fisika.33 Pernah ditanyakan kepadaku, barangkali juga
pada Jan Tinbergen, “mengapa penting memasukkan pola-pola fisika
dalam ilmu ekonomi?”
Secara sederhana, aku ingin menjelaskan bahwa bukan karena
penting atau tidak. Tetapi seutuhnya disebabkan oleh kepentingan
metodologis, yang mensyaratkan ekonom untuk memutuskan secara
tegas dari mana mereka harus memulai sebuah pencarian atas jawaban
ekonomi. Itu bisa dimulai dari pengunaan aksioma untuk menteorikan
ekonomi dan memodelkan perilaku individual.34 Aku sendiri baru
berani membuktikan keyakinan tersebut pada tahun 1926, yakni untuk
menghitung utilitas. Kemudian, keyakinanku tersebut semakin kuat
ketika aku bertemu dengan Jan Tinbergen, hingga kami berkolaborasi
untuk mengembangkannya hingga dikemudian hari terbentuklah
masyarakat ekonometrika. Dari moment itu kemudian berbagai teori
berhasil aku produksi, begitu juga dengan Jan Tinbergen.
Kendati aku dan Jan Tinbergen telah berhasil menyihir para ekonom
untuk menggunakan ekonometrika. Aku harus berlaku jujur terhadap
diriku sendiri, bahwa proyek intelektual yang kami disain hingga
melahirkan ekonometrika, sesungguhnya fondasinya telah ada dan dapat
ditemukan pada usaha-usaha ekonom terdahulu seperti Edgeworth,

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 21


Pareto dan teman sejawatku, Fisher.35 Dari proyek ataupun karya-karya
mereka kemudian, aku dan Tinbergen memahami bahwa aksioma
adalah hal penting, atau fondasi untuk membangun, dan merumuskan
definisi utilitas yang tepat. Dengannya kemudian kuantifikasi mungkin,
bahkan niscaya dilakukan. Bagi Jan Tinbergen, “aksioma berfungsi untuk
mendirikan definisi objektif terhadap utilitas dalam ekonomi”. Jujur
aku setuju dengan pandangan Jan Tinbergen tersebut.
Baik diriku maupun Jan Tinbergen, sama-sama percaya bahwa
ilmu ekonomi mesti diselamatkan agar tidak menjadi ilmu lunak
(soft science) yang hanya mengandalkan dimensi-dimensi normatif
semata. Ekonometrika adalah jalan terbaik untuk mengembalikan ilmu
ekonomi menjadi sebuah sains.36 Hal itu hanya dapat dilakukan dengan
menerima doktrin-doktrin fisika modern. Hal ini bukan begitu saja
muncul, lalu dirumuskan secara instan. Tetapi butuh beberapa tahun
untuk merumuskannya, kemudian memperkenalkannya sebagai sebuah
sains. Tujuan utama dari ekonometrika, seperti yang sering dibisikkan
oleh Tinbergen kepadaku adalah untuk membedakan ekonomi sebagai
sebuah sains dan ekonomi yang tidak sebagai sebuah ilmu.37 Tujuan
utama ekonometrika, layaknya fisika, menemukan hukum-hukum
abstrak (abstract laws) dalam ilmu ekonomi.38 Kesimpulan semacam itu
muncul ketika diriku menggunakan metode eksperimen dan verifikasi
numerik39 untuk menemukan hukum-hukum abstrak tersebut.
Demikian adalah alasan yang sering dibincangkan oleh Tinbergen
denganku. Sesekali aku menimpali, dan berpikir lebih liar serta sedikit
gila. Tak jarang aku meninggalkan Jan berkutat dengan teori-teorinya.
Sementara aku mencoba hal baru, yang barangkali belum terpikirkan
olehnya. Diriku tergoda untuk mencari jawaban atas pertanyaan,
bagaimana teori dapat diformulasi dalam ilmu ekonomi dengan
menggunakan alat-alat positivistik. Akhirnya diriku sampai pada satu
titik, hal itu hanya bisa dijawab dengan pemberian makna empiris
terhadap konsep-konsep melalui definisi operasional,40 dan pemodelan
hubungan ekonomi yang ditemukan secara empiris. Itu sepenuhnya ‘ku
praktikkan dalam pengukuran marginalitas utilitas, yang sesungguhnya
ditujukan untuk mewujudkan mimpi mendiang Jevons.
Aku menghindari pendekatan psikologis ketika mengukur
dan menciptakan pemodelan utilitas marginal. Sahdan, itu sesuai
dengan nasihat Irving Fisher kepadaku. Dimulai dari perumusan

22 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


aksioma, kemudian membangun model, lalu melakukan verifikasi
model itu berdasarkan fakta-fakta empiris berupa koefisiensi pilihan
individu terhadap barang konsumsi yang khas, dan spesifik.41 Jadi,
model sesungguhnya adalah representasi dari fenomena yang telah
diobservasi.42 Melalui model hubungan antara teori dan fakta empiris
dapat diungkapkan. Dan kebanyakan ekonom, termasuk diriku juga
Jan Tinbergen; biasanya mewakafkan diri, waktu, dan usia mereka
untuk memperhatikan dan menemukan hubungan antara variabel
dalam ekonomi,43 seperti hubungan antara performan satu perusahaan
dengan input tenaga kerja, serta bahan baku produksi; atau hubungan
inflasi dengan pengangguran, perubahan supplier uang, dan perubahan
tingkat upah. Demikian, terakhir aku ingin menuliskan atau barangkali
mengingatkan kembali bahwa integrasi fisika dengan ilmu ekonomi,
kemudian melahirkan ekonometrika berawal dari cita-cita luhur atau
harapan terbaik untuk menjadikan, bahkan mengembalikan ilmu
ekonomi menjadi sebuah sains. Dengan cara itu kemudian ilmu ekonomi
mampu menghadirkan kebenaran total, dan mampu menjadi alat untuk
memecahkan persoalan dan masalah ekonomi yang dihadapi umat
manusia. Itu saja.

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 23


Catatan Akhir (Endnotes)
1
Ragnar Frisch. From Utopian Theory to Practical Application: The Case of
Econometrics. Lecture to the Memory of Alfred Nobel, 17 Juni 1970: Universitas
Oslo., hlm. 15
2
Generalisasi melalui, atau terhadap banyak variabel adalah hal yang jelas
dan paling mungkin dilakukan. Tetapi percayalah, tulis R.A.K. Frisch, itu bukanlah
ukuran apakah kita mempertimbangkan hal itu sebagai hal yang determinan,
distribusi empiris.
3
Wolfram Schommers. 2012. Cosmic Secrets: Basic Features of Reality. (New
Jersey: World Scientific., hlm. 53.
4
Ragnar Frish. Op. Cit.
5
Ibid., hlm. 16.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ragnar Frisch. Economic Planning Studies: A Collection of Essays. (London: D.
Reidel Publishing Company, 1973)., hlm. 13.
9
Ibid.
10
Ibid., hlm. 16.
11
Ibid.
12
Ibid., hlm. 17.
13
Ibid., hlm. 18.
14
Ibid.
15
Nachrowi Djalal Nachrowi. Penggunanaan Teknik Ekonometrika: Pendekatan
Populer dan Praktis. (Jakarta: Rajawali Press, 2002)., hlm. 1.
16
Arthur S. Goldberger. 1991. A Course in Economics. (Cambridge:Harvard
University Press)., hlm. 1.
17
Bruce E. Hansen. 2013. Econometrics. (Wisconsin: The University of
Wisconsin Press)., hlm. 1.
18
Ibid.
19
Ragnar Frisch. Log. Cit., hlm. 10.
20
Ibid., hlm. 12.
21
Ibid.
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Zachary Luke Fraser & Tzuchien Tho (ed.). 2007. The Concept of Model:
An Introduction to the Materalist Epistemology of Mathematics. (Melbourne: re.press).,
hlm. 10.
25
Ibid.
26
Ibid., hlm. 10-11.
27
Ibid., hlm. 12.
28
Ibid.
29
Jean-Philippe Touffut (ed.). 2007. Ausgustin Cournot: Modelling Economics.
(Cheltenham:Edward Elgar)., hlm. 41.
30
Howard R. Vane & Chris Mulhearn. 2005. The Nobel Memorial Laureates in
Economics: An Introduction to Their Careers and Main Published Works. (Northampton:
Edward Elgar)., hlm. 30.

24 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


31
David Gordon. 1991. More Heat Than Light: Economics as Social Physics, Physics
as Nature’s Economics, by Philip Mirowski. The Review of Austrian Economics, Vol.
5,No.1., hlm. 123.
32
Warren J. Samuels (ed.). 1951. The Reconstruction of Economic Theory. (Boston:
Kluwer-Nijhoff Publishing),, hlm. 137.
33
Olav Bjerkholt. 2012. Ragnar Frisch’s Axiomatic: Approach to Econometrics.
Working Paper: Departement of Economics, University of Oslo., hlm. 1.
34
Ibid.
35
Ibid., hlm. 2.
36
Ibid.
37
Ibid.
38
Ibid.
39
Ibid.
40
Ibid.
41
Ibid., hlm. 3.
42
Aris Spanos. 1999. Probability Theory and Statistical Inference: Economec Modeling
with Observational Data. (New York: Cambridge University Press)., hlm. 31.
43
Arthur S. Goldberger. 1991. A Course in Econometrics. (London: Harvard
University Press)., hlm. 1.

Bab 1 | Ekonometrika: Memoar atas Kegilaan Metodologis 25


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
)
2
Amartya Sen

)
KESEJAHTERAAN:
PERJALANAN MENUJU
KEBERPIHAKAN

1933
Melihat wajah laki-laki ini, mengguratkan
satu tanda dan gambaran hidup yang
penuh dengan pencarian akan kebenaran.
Bukan kebenaran dalam arti umum,
melainkan kebenaran teori yang ber­
sumber dari kecintaan akan ilmu
pengetahuan. Lahir di Santiniketan,
Bengal Barat, laki-laki ini merasakan
dan mengalami, layaknya bocah lainnya,
keceriaan dan kebersahajaan. Waktu itu
tanggal 3 November, tahun 1933. Kota
kecil tersebut telah membentuk dan menghadirkan sesuatu dalam diri
Sen. Bukan karena kota itu memberikan banyak hal pada kehidupannya.
Tetapi kota itu adalah buah pemikiran dari seorang penyair hebat dan
penerima Nobel. Penyair yang mencerahkan dan menggugah banyak
orang. Rabindranath Tagore adalah penyair tersebut.

27
Amartya Sen sangat mengagumi laki-laki tersebut bukan karena
dirinya penerima nobel sastra. Karena R. Tagore mampu mengubah,
ataupun menciptakan syair-syair untuk manusia. Bukan untuk malaikat
apalagi Tuhan. Syair-syair semacam itulah yang hanya mampu mengubah
sebuah kota, yang harusnya menjadi kota penuh kemunafikan,
bergelimang rutinitas, kaku tak bernyawa, dan kota yang mampu
menyihir manusia menjadi makhluk yang tak punya hati, lalu hanya
menjadi mesin-mesin kehidupan. Amartya Sen mengendus aroma lain
di kota kecil—di mana ia dilahirkan—hingga ia pun mengerti akan arti
sebuah kota. Shantiniketan sebelumnya bernama Bhubandanga, kota
ini dimiliki oleh keluarga Tagore. Ayah Tagore, Debendranath Tagore
membangun sebuah ashram atau semacam sekolah yang dilengkapi
dengan asrama di kota ini. Pembangunan ini membuat wilayah menjadi
damai, hingga akhirnya nama kota ini diganti menjadi Shantiniketan
yang bermakna “tempat tinggal yang damai”.
Bagi seorang penyair seperti Tagore, kedamaian sangat diperlukan:
itu menjadi syarat untuk melakukan meditasi, hingga dari meditasi
itu kemudian syair-syair yang menghentakkan, akan berhamburan.
Kota yang dibangun oleh keluarga Tagore kemudian dikembangkannya
menjadi kota yang menghipnotis siapa saja yang menapakkan kaki di
sana. Akhirnya, kota ini menjadi tujuan para peziarah. Sekadar untuk
mencari kedamaian, atau barangkali mengeja makna-makna dari syair-
syair Tagore—ingin merasakan langsung dalam suasana seperti apa
syair-syair itu digubah oleh R. Tagore. Tentu tidak hanya syair-syair
itu yang membuat kota ini memercikkan kedamaiaan, tetapi kehadiran
universitas dan lembaga pendidikan lainnya juga mendorong suasana
yang khas pada kota ini. Tidak hanya menyihir pada ziarah untuk
mengunjunginya, tetapi juga mengundang para pengajar dari berbagai
penjuru dunia, datang dan menetap di kota ini. Kondisi, dan suasana
kota seperti ini menentukan pembentukan pribadi seorang Amartya Sen.
Kendati demikian, masa kecil Amartya Sen tidak sepenuhnya
ia habiskan di kota tersebut, melainkan dijalani di kota Dhaka—
sekarang terkenal dengan Bangladesh. Pada tahun 1947, Sen mengikuti
keluarganya pindah ke India dan kemudian belajar di sekolah yang
didirikan oleh peraih Nobel Sastra, Rabindranath Tagore. Belajar di
sekolah yang didirikan oleh Tagore ini, memiliki arti tersendiri bagi
Amartya Sen. Dari sekolah ini kemudian ia memilih jalan hidup—

28 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


sebagai pencari kebenaran, melalui ilmu pengetahuan. Layaknya apa
yang dilakoni Rabindranath Tagore. Bukan disihir oleh popularitas, tetapi
ada semangat yang menyala dan memercik ke dalam diri Amartya Sen
kecil. Jalan hidup akhirnya yang menjadi pemandu terbaik Sen, hingga
akhirnya jalan itu melahirkan harapan. Kelak itu mampu menjadikan
Amartya Sen sebagai ekonom paling berpengaruh di abadnya.
Tahun 1953, Amartya Sen memilih kuliah dan mendapatkan gelar
sarjana pertamanya atau B.A pada Presidency College, di Calcutta. Di
kampus ini ia menambatkan hati dan jatuh cinta pertama kalinya pada
ilmu ekonomi. Kendati demikian, Sen merasa jika kuliah ekonomi-
nya di Presidency College belumlah cukup. Usaha keras dan nasib
baik, membawa Amartya Sen hijrah ke Universitas Cambridge, dan di
universitas terkemuka itu kemudian Amartya Sen kembali mengulang
kuliah ekonomi, hingga akhirnya mendaparkan gelar kedua B.A
dan gelar Ph.D untuk pertama kalinya. Hijrah intelektual, ini yang
dilakukan oleh Amartya Sen. Ini adalah jalan terbaik untuk dirinya:
jalan yang akan menghantarkan dirinya menjadi ekonom yang disegani.
Penghargaan terhadap kemampuan akademik Amartya Sen, terbukti
dengan raihannya terhadap beasiswa fellowship pada Trinity College,
Cambridge. Beasiswa fellowship tersebut menjadi momen terbaik bagi
Amartya Sen untuk menempa dan memperdalam ilmu ekonomi. Bahkan
diluar dugaan, Sen memperlihatkan minatnya yang lain terhadap filsafat.
Itu karena Amartya Sen mendapatkan 4 (empat) tahun “kebebasan”
untuk melakukan apa pun yang ia suka selama mendapatkan beasiswa
fellowship.
Sen berkata:
“... selama 4 (empat) tahun aku mendapatkan kebebasan untuk
melakukan apa pun yang ‘ku suka. Tanpa ada sanggahan. Aku
membuat keputusan radikal untuk mempelajari filsafat selama
periode itu. Diriku sangat tertarik pada logika dan epistemologi,
terkadang aku menceburkan diri untuk mendalami filsafat politik
dan moral.”[1]
Amartya Sen menunjukkan ketertarikan yang sangat dalam pada
filsafat. Ini tentu bukan hal aneh apalagi untuk pertama kali terjadi dalam
ilmu ekonomi. Ekonom klasik dan heterodoks telah melakukan hal yang
sama, Adam Smith misalnya. Karya Adam Smith The Wealth of Nation,
sarat dengan anasir-anasir filsafat moral. Ini kemudian memengaruhi

Bab 2 | Kesejahteraan: Perjalanan Menuju Keberpihakan 29


perkembangan, bahkan teori-teori ilmu ekonomi. Pilihan Amartya Sen
untuk mendalami filsafat, bukan tanpa arti. Hal ini kemudian yang
menjadi warna khas dalam pemikiran ekonomi yang diintroduksi atau
ia kenalkan sebagai ilmu ekonomi modern, atau bahkan menjadi kritik
terhadap ilmu ekonomi tersebut. Kristalisasi atau kian menguatnya
karakter pemikiran ekonomi Amartya Sen, telah menghantarkan dirinya
menjadi ekonom yang disegani, dan ia pun mulai bahkan diterima di
berbagai kampus untuk mengampu ilmu ekonomi.
Adalah Jadavpur University; Trinity College (Cambridge);University
of Delhi; London School of Economics, Oxford University; dan Harvard
University yang menjadi lembaga pendidikan tempat Amartya Sen
menerapkan ilmu ekonomi, baik sebagai dosen ataupun sebagai
peneliti. Amartya Sen adalah sosok yang concern dan mewakafkan dirinya
hanya sebagai seorang akademisi, dan menghabiskan hari-harinya di
lingkungan kampus atau universitas.
Amartya Sen mengakui:
“... aku lahir di lingkungan kampus dan melakoni kehidupan dari
satu kampus ke kampus lain. Alhasil, aku tidak pernah tertarik dan
serius untuk pekerjaan yang tidak berbau akademis.”[2]
Menariknya, meskipun Amartya Sen berkutat dengan pekerjaan
akademiknya yang berbau matematika dan sangat abstrak. Namun
dirinya tidak pernah mengelak untuk mencurahkan pemikirannya pada
pertanyaan-pertanyaan praktis dan membutuhkan jawaban segera.
[3] Persentuhan Amartya Sen dengan hal-hal praktis atau lebih tepat
diistilahkan dengan masalah-masalah ekonomi membuat dirinya sangat
peka terhadap persoalan sosial-ekonomi. Tidak hanya berkutat pada hal
yang bersifat teoretis dan hanya dapat dimengerti oleh ekonom saja.
Amartya Sen langsung mengarahkan proyek-proyek intelektualnya
untuk memecahkan persoalan ekonomi, seperti isu-isu ketimpangan
dan kesejahteraan ekonomi.
Sen pernah menegaskan bahwa:
“... diluar sana ada pertanyaan yang dilihat sebagai isu-isu yang
memotivasi atau menginspirasi lahirnya teori pilihan sosial (social
choice theory): itu juga memungkinkan untuk memunculkan teori-
teori yang langsung berhubungan dan dapat difungsikan pada

30 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


masyarakat seperti kesejahteraan sosial; kepentingan publik; dan
kemiskinan aggregate.”[4]
Amartya Sen menyadari bahwa masalah terbesar, hampir menjadi
misteri yang tak terpecahkan oleh ilmu ekonomi sepanjang peradaban
manusia adalah masalah kesejahteraan. Amartya Sen barangkali teriris
ketika menyaksikan berbagai ketimpangan sosial, kemikisnan, dan
pengangguran. Sementara di universitas dan di ruang perpustakaan,
ekonom sibuk merumuskan teorema-teorema dan terkadang terlalu
melangit, tak bersentuhan secara langsung pada masalah yang dihadapi
oleh manusia itu sendiri. Terlalu menyederhanakan persoalan, ataupun
realitas ekonomi. Alhasil, model bukanlah realitas itu sendiri. Sadar
akan hal ini, Amartya Sen mencurahkan waktu dan umurnya untuk
menemukan resep kesejahteraan. Seolah-olah upayanya itu diartikan
sebagai perjalanan menemukan keberpihakan, dan itu mencari rumusan
ekonomi untuk membuat kesejahteraan real adanya. Memahami
kehidupan dan kerja keras Amartya Sen dalam melahirkan pemikiran
ekonomi yang berpihak, ekonomi kesejahteraan: seolah-olah membaca
narasi yang ditulis sendiri oleh Amartya Sen. Narasi yang bercerita
langsung kepada kita, hingga kita pun hanyut terbawa arus narasi itu.

AKU melihat abad ke-21 sebagai abad skeptis, hampir separuh populasi
dunia menaruh rasa pesimisme terhadap arah dan gerak perekonomian.
Mereka rata-rata melihat perekonomian abad ke-21 hanya memperkukuh
dan memperkuat perekonomian kelas kapitalis. Mereka yang terbuang,
akan tetap terpinggirkan. Ah, begitu paradoks. Perekonomian yang
kian jauh meninggalkan batas-batas moralitas, dan etik.[5] Menurut
pandanganku yang paling purba, sikap skeptik ini muncul dan menohok
para ekonom: karena ekonom, barangkali termasuk diriku, menyibukkan
diri pada penyusunan ilmu ekonomi atau berkutat pada usaha-usaha
penyelidikan ekonomi dengan terus-menerus mengimani bahwa ilmu
ekonomi mesti “value-free”. Tidak boleh ada intervensi etik dalam
usaha penyelidikan. Biarlah fakta berbicara sendiri. Akhirnya ekonom,
dan diriku terjebak pada sihir-sihir objektivisme. Kemudian lupa akan

Bab 2 | Kesejahteraan: Perjalanan Menuju Keberpihakan 31


hakikat ilmu ekonomi sebagai alat untuk memecahkan persoalan, dan
dilema ekonomi yang menggerogoti masyarakat.
Ah, ekonom terlalu sibuk memikirkan teorema ekonomi. Juga
aku. Sehingga dilema ekonomi terus tumbuh dan menjalar ke berbagai
sektor kehidupan. Puncaknya adalah langgengnya kemiskinan dan
pengangguran. Mata hatiku terbelalak ketika menyaksikan semua itu.
Terkadang ‘ku mengutuk diriku sendiri, mengapa terlalu lama ‘ku
terlelap pada hal-hal abstrak. Padahal di luar sana, masih terbentang
panjang dilema ekonomi. Harus diakui, diriku tersihir oleh pandangan-
pandangan ekonom senior dan telah berlumut menjadi doktrin yang
hampir tak terbantahkan. Salah satunya doktrin yang diulang-ulang
oleh Lionel Robbins bahwa antara ilmu ekonomi dan etika mestilah
dipisahkan: “... ilmu ekonomi berhubungan secara intens pada fakta-
fakta yang dapat diindra dan diketahui, sementara etik berhubungan
dengan penilaian dan kewajiban”.[6] Pemaknaan semacam ini diulang-
ulang ratusan, bahkan hampir ribuan kali oleh profesor kepada
mahasiswa mereka di berbagai kampus di penjuru dunia. Kini doktrin
semacam itu telah menjadi mantra pengunci, agar ekonom berhati-
hati dalam melakukan penyelidikan—membuat jauh-jauh pengaruh
etika dan moral. Semua itu dilakukan agar ilmu ekonomi mampu
mempertahankan titelnya sebagai disiplin objektif dan bebas nilai.
Semua itu didengung-dengungkan sebagai moral skepticism: sebuah
sikap untuk menghindari pengaruh moralitas dalam penyelidikan
ekonomi.[7] Pandangan atau lebih tepat disebut sikap seperti ini, telah
menjalar dan menjangkiti banyak ekonom di dunia. Aku menyaksikan
di berbagai kampus ataupun universitas mengajarkan kepada ekonom-
ekonom muda, bahkan mengingatkan agar selalu awas terhadap
justifikasi moral dalam penelitian-penelitian yang mereka gubah. “Ilmu
ekonomi harus bebas nilai”—ini yang terus diulang-ulang, hingga
mengisi relung hati para mahasiswa. Bermain-main dengan moral
judgements adalah hal tabu dan mesti dihindari.
Aku sering bermenung di pustaka pribadi, atau terkadang di
awal pagi: semua itu telah menghantarkan pada titik psikologis yang
menyedihkan—aku pilu terhadap kesesatan ilmu ekonomi yang terlalu
menahun mempertahankan skeptisisme semacam itu. Rasa itu kemudian
yang menuntunku untuk mengambil jalur lain. Lalu membawa ilmu
ekonomi menjadi solusi atas dilema yang dihadapi manusia. Kesadaran

32 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


semacam itu muncul melalui jalan berliku dan seribu pilu. Hal pertama
yang ‘kulakukan adalah kritik. Ini untuk kembali melihat ke dalam
ilmu ekonomi dan menemukan doktrin-doktrin yang semestinya sudah
dibuang ke tempat sampah atau dibakar agar menjadi abu-abu sejarah
perkembangan ilmu ekonomi.
Hal pertama yang ‘kutemui adalah doktrin tua dan sudah
menjadi hal yang teramat klasik dalam ilmu ekonomi. Doktrin yang
memengaruhi bahkan mengondisikan manusia agar selalu taat pada
hasrat untuk mengamulasi, serta berorientasi pada kepentingan
diri. Padahal pengejaran atau terlalu bersitumpu pada self-interest
menimbulkan konflik pada diri manusia. Entah mengapa, akupun
terkadang tidak mengerti teori kuno—teori yang diajarkan oleh Adam
Smith—itu bisa menang dan diamini sepanjang sejarah ilmu ekonomi,
hingga saat ini. Faktanya, hipotesis self-interest sesungguhnya telah gagal
untuk mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Barangkali, berdasarkan hasil perhitunganku: hipotesis itu berulang-
ulang diuji dan diverifikasi oleh para ekonom. Mereka melihat hipotesis
itu dalam perilaku orang dewasa, anak-anak, pembuat kriminal, orang
saleh, dan lain sebagainya. Mereka menyimpulkan, bahwa self-interest
benar adanya.[8] Maklum jika kami yang dilabeli ekonom, sangat
percaya bahwa manusia adalah utility-maximixing animal: makhluk yang
selalu berupaya memaksimalkan utilitas.
Dulu, aku sangat percaya hipotesis itu. Kepercayaan semacam itu
perlahan menghilang dari benakku, meskipun tak hilang seutuhnya.
Seiring waktu kepercayaan atas teori itu berganti dengan kepedulian,
bahwa bukan pencarian akan utilitas yang perlu dikukuhkan melainkan
keyakinan bahwa hakikat ilmu ekonomi mestilah ditujukan untuk
menciptakan kesejahteraan total bagi seluruh lapisan dan kelas sosial.
Bukankah Stigler pernah menegaskan:
“... self-interest dan moralitas terkadang, bahkan hampir selalu
mendorong konflik dalam diri manusia.”[9]
Aku mengendus perasaan yang tak terlalu optimis dalam diri
Stigler. Perasaan yang tumpah dari kontradiksi antara self-interest dan
ilmu ekonomi: alih-alih mendatangkan kesejahteraan, pengejaran
kepentingan diri sendiri hanya memperlebar ketimpangan ekonomi.
Aku tidak tahu persis, apakah itu pandangan subjektifku atau seutuhnya

Bab 2 | Kesejahteraan: Perjalanan Menuju Keberpihakan 33


demikian adanya. Ada hal yang tak terbantahkan: aku merasakan
betul hal itu, dan hal tersebut adalah hadirnya ketidaksempurnaan
ilmu ekonomi lengkap dengan ketidaksejahteraan yang terhampar
di dalamnya. Di mana-mana masih saja berhamburan berita tentang
kemiskinan, pengangguran, dan aksi bunuh diri karena frustasi betapa
nasib tak kunjung membaik.
Potret yang hadir, terpapar di ujung mata: tentunya telah
mencorengkan arang di kening para ekonom, termasuk keningku. Sering
kali ‘ku tercenung di serambi biara di kota Delhi. Pertanyaan-pertanyaan
yang menohok diriku, berpendar: “... apa yang telah diberikan ekonom
pada dunia? Toh, kemiskinan; pengangguran; dan berbagai dilema
ekonomi masih saja menghajar manusia di mana-mana.” Aku terkadang
merasa tak berarti ketika pertanyaan semacam itu datang dan mengusik
hatiku. Bagaikan debu, tak berarti. Teorema yang ‘kuciptakan terpental
ribuan mil ketika berbenturan dengan realitas. Entah mengapa, rasa
seperti hilang begitu saja tatkala aku kembali pada komunitas, dan
kembali larut dalam diskusi-diskusi abstrak teori ekonomi. Aku hanyut
terbawa arus. Terlelap dalam biduk yang disedikan oleh ekonom klasik,
neoklasik—mereka yang telah mapan sebagai pembela kuantifikasi
abstrak ekonomi.
Entahlah, rasa tenang dan kedamaian tak pernah bersemayam
ketika diriku sibuk mengutak-atik rumus-rumus matematik dan
melupakan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang bercerita bahwa
di luar sana ketimpangan serta berbagai dilema ekonomi masih, bahkan
semakin dalam dan lebar. Manusia membutuhkan agar ilmu ekonomi
benar-benar berpihak dan mampu melayani manusia. Jika tidak, maka
ilmu ekonomi hanya akan menjadi azimat, yang hanya mampu mengusir
rasa takut dan mendatangkan kewaspadaan akan krisis semata. Dari
hal itu aku menyimpulkan bahwa tugas mulia ilmu ekonomi setelah
mendatangkan dan merealisasikan kesejahteraan adalah menjembatani
antara pertumbuhan ekonomi dan etika.[10] Keduanya tidak boleh
saling menjauhi, melainkan harus saling menopang dan memandu.
Ketika pertumbuhan ekonomi kian menjauh dari etika, diriku
percaya itu akan membawa pada paradoks dan ironi dalam perekonomian.
Idealnya ekonom, juga termasuk diriku, mempunyai tugas agar
pertumbuhan ekonomi tak tercerabut. Tentu saja hal itu tak dapat
dilakukan, jika ilmu ekonomi mengabaikan pendekatan etika dalam

34 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


melahirkan kebenaran dalam ilmu ekonomi, itu tak akan pernah cukup
jika hanya mengandalkan pendekatan positivisme.[11] Aku menyakini
bahwa ilmu ekonomi dan metode yang digunakan dalamnya tak boleh
mengabaikan etika yang kompleks dan terkadang memengaruhi
perilaku manusia dan tindakan ekonomi yang dilakukan.[12] Hal itu
melesat dalam benakku begitu saja tatkala aku menyaksikan berbagai
dilema ekonomi: kemiskinan dan pengangguran. Ini tidak begitu saja
berlalu dibenakku, tetapi telah mengusik bahkan menghantui diriku.
Aku pun gelisah, bahkan dihantui oleh seribu satu ketakutan: “... jika
dalam karir intelektualku tak mampu merumuskan pemikiran yang
mampu mengubah persepsi manusia, khususnya para ekonom, bahwa
muara dari ilmu ekonomi mesti berujung pada realisasi kesejahteraan
manusia.”
Namun hal yang paling membuatku gusar adalah kenyataan
bahwa kesejahteraan merupakan sesuatu yang kompleks.[13] Tetapi
hati kecilku berkata lain, meskipun hal tersebut begitu kompleks,
ia pasti dapat diwujudkan. Hanya saja diriku membutuhkan sedikit
waktu untuk menemukan pendekatan, agar kesejahteraan itu dapat
diteropong, kemudian ditangkap untuk diwujudkan secara semesta.
[14] Dalam perenunganku yang dalam dan intens, aku menangkap
setitik cahaya, dan itu adalah satu pendekatan yang mampu melihat,
dan menyajikan informasi bahwa kehidupan manusia terdiri dari dua
kata “doings” dan “beings” atau berusaha lalu sukses.[15] Pendekatan
itu kemudian ‘kunamai dengan capability approach. Pendekatan yang
berhubungan secara langsung dengan evaluasi kualitas kehidupan
yang dialami dan tengah menyelubungi manusia. Jujur saja, ‘ku akui
dan menghindarkan diriku dari sifat jumawa-intelektual: pendekatan
tersebut aku pelajari dari apa yang pernah diujarkan oleh Adam Smith,
Karl Marx dan Aristoteles. Pengakuan ini perlu ‘ku sampaikan, dengan
tujuan menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dan pemikiran yang ada di
dalam tidak pernah terlepas dari pemikiran yang hadir dan telah dirintis
oleh sarjana terdahulu. Kejujuran semacam ini perlu dibangun, agar
ekonom terutama diriku tak terjebak pada narsisme–teoretik. Kebenaran
yang kuat dan saintifik tak akan didapatkan dengan sikap yang tergila-
gila dengan satu metodologi saja. Jika terjebak pada hal itu, maka ilmu
ekonomi tak akan mampu menyuarakan kesejahteraan semesta. Tetapi
hanya akan membela kesejahteraan parsial, dan sangat artifisial.

Bab 2 | Kesejahteraan: Perjalanan Menuju Keberpihakan 35


Aku sadar: ide baru mestilah segera dirumuskan. Tetapi sebelum
aku mencapai titik cahaya itu—penemuan ide baru—tentu hal paling
penting ‘kulakukan adalah memporak-perandakan fondasi teori
behavioral ekonomi, atau lebih tepat ‘ku sebut sebagai kritik paling
radikal dan fundamental. Edgeworth (1881) telah meninggalkan
fondasi untuk bangunan ilmu ekonomi yang kuat dan mapan. Kini
ekonom merasa nyaman dengan rumah yang dibangun oleh Edgeworth
itu. Rumah itu adalah prinsip klasik yang didengung-degungkan oleh
ekonom hingga kini. Aneh meski klasik dan sudah karatan, prinsip itu
masih teguh dipegang dan berkembang dengan sangat cepat dan luas.
Edgeworth menegaskan:
“... the first principle of economics is that every agent is actuated only by
self-interest, atau prinsip utama ilmu ekonomi adalah bahwa setiap
agen atau aktor ekonomi digerakkan hanya oleh self-interest.”[16]
Lihat dan coba endus bagaimana Edgeworth melakukan doktrinasi
bahwa manusia, apa pun rasa dan dari etnis mana pun, sudah barang
tentu akan bertindak dan berbuat berdasarkan bisikan s­ elf-interest yang
berhembus dari dalam diri mereka. Ini kemudian dianggap pandangan
paling alamiah oleh para ekonom dulu, termasuk aku. Saat ini aku
perlahan sadar, lalu melakukan kritik terhadap prinsip ini. Maafkan jika
diriku harus berseberangan dengan Edgeworth. Bagiku prinsip utama itu
sangat lemah dan prematur, bahkan kurang realistik.[17] Meskipun aku
juga harus mengakui, bahwa asal-usul prinsip ekonomi yang dibangun
oleh Edgeworth itu ada benarnya: itu dapat dimaklumi, barangkali
Edgeworth merasakan betul bahwa manusia abad ke-19 adalah pribadi
yang sangat egois dan telah menjadi manusia utilitarian yang kompleks.
[18] Tetapi bersembunyi dibalik kecenderungan, dan realitas semacam
itu juga tidak bijak. Ya, betapa tidak. Di balik sikap egois manusia abad
ke-19, ada semacam nalar mekanik yang mengondisikan manusia.
Semua itu harus dilawan. Jika mungkin harus dihancurkan, yakni
struktur ekonomi lengkap dengan ideologi kapitalisme yang bermain
di dalamnya.
Terkadang aku merasa aneh. Tiba-tiba pertanyaan menarik hinggap
di kepalaku: “... mengapa Edgeworth menghabiskan banyak waktu dan
energinya hanya untuk membangun kerangka penyelidikan atas prinsip
utama ekonomi tersebut, yang dirinya sendiri sudah menyadari bahwa

36 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


prinsip itu salah?” Isu utamanya bukan terletak pada abstraksi yang
dapat digunakan untuk menemukan pertanyaah ekonomi yang paling
umum—alasan penyelidikan yang tak dapat diabaikan—tetapi entah
mengapa dirinya memilih asumsi yang tidak terlalu akurat. Ia tahu
itu. Sebagai ekonom yang hadir dan menyaksikan abad ke-20, aku jelas
menyangsikan proyek Edgeworth itu. Bukan karena bersemayamnya
‘kebencian’ dalam kepalaku, tetapi karena perasaan ilmiahku mengendus
kekeliruan dalam mengasumsikan manusia. Jelas kekeliruan itu sangat
berbahaya—bibit ketamakan beranak dari rahim kekelirun semacam itu.
Dalam rangka membuktikan kekeliruan itu, ‘ku kemukakan asumsi
fundamental bahwa pada beberapa aktivitas individual terkadang
melibatkan apa yang ‘ku istilahkan dengan economical calculus, atau
kalkulus ekonomi: sebuah tindakan yang memuat dua hal, yakni:
“perang” dan “kontrak”. Dua hal itu adalah perasaan yang lahir pasca-
utilitarianisme.[19] Meski pandanganku ini dibenturkan dengan
pertanyaan-pertanyaan tendensius seperti: “Mampukah manusia secara
serius mempertimbangkan moralitas tatkala perang berkecamuk, atau
persaingan perdagangan pecah? Mampukah manusia menghilangkan
kontrol terhadap watak egois manusia atau human selfishness?” Dengan
mengutip komentar Sidgwick, argumentasiku itu barangkali disebut
atau digadang-gadang sebagai “ilusi”.[20] Dikatakan ilusi barangkali
argumentasi itu dinilai mengingkari karakter paling alamiah manusia.
Aku memaklumi penolakan itu. Tidak hanya Edgeworth yang
mengajarkan bahwa pengejaran kepentingan diri penting bagi kebahagian
manusia. Herbert Spencer, Henry Sidgwick: dua ilmuwan ini, dua tahun
sebelum Edgeworth mempublikasi karyanya Mathematical Psychics,
telah menganalisis hubungan antara egoisme dan altruisme. Hasilnya
dapat dilihat dalam Data of Ethics. Keduanya menyimpulkan bahwa
kebahagian dalam bentuknya yang paling umum dapat dicapai hanya
dengan pencarian kebahagian yang paling individual.[21] Tampaknya,
baik Spencer maupun Sidgwick sepakat bahwa hal utama yang perlu
dilakukan manusia adalah mengejar kebahagian secara individual. Itu
kemudian, dan pada akhirnya akan menciptakan kebahagian pada level
umum dan dinikmati secara kolektif oleh masyarakat.
Di benakku, hal demikian itu, sangat aneh dan tak masuk akal. Aku
melihat bahwa model yang diciptakan oleh Edgeworth didasarkan pada
asumsi-asumsi terhadap perilaku manusia yang egoistik.[22] Edgeworth

Bab 2 | Kesejahteraan: Perjalanan Menuju Keberpihakan 37


sepertinya tersihir oleh permukaan dari perilaku atau tindakan ekonomi
yang dipertontonkan oleh manusia. Lalu tergesa-gesa menjadikannya
ke dalam satu model abstrak. Sebagai ekonom, kerja, dan upaya seperti
itu bukanlah ‘tabu’ dan dapat dipersalahkan. Tetapi implikasi dari
kesalahan ini, jelas tidak kecil dan sederhana. Terlebih model Edgeworth
telah menjadi doktrin ekonomi. Ia diikuti dan dijadikan pedoman
oleh aktor ekonomi diberbagai penjuru dunia. Pernah aku ditanyai
dengan pertanyaan sederhana, tetapi untuk menjawabnya butuh satu
keberanian: “Apa sesungguhnya dampak terburuk dari model Edgeworth
ini terhadap perilaku manusia, kini ataupun kelak?”
Menurutku: “self-interest” kemudian melahirkan sikap pengejaran
kepuasaan maksimal dan terus-menerus tak kenal lelah mengakumulasi
keuntungan secara berlebihan. Itu telah mengoreskan potret ketamakan
global yang menyeramkan. ‘Ku katakan menyeramkan, karena dari
sanalah ketimpangan dan krisis ekonomi bermula. Harus ada model lain
yang lebih humanis, dan berpihak pada manusia itu sendiri: semacam
pemodelan ekonomi yang mampu mendorong manusia bertindak
secara manusiawi—tak hanya memikirkan bagaimana memaksimalkan
utilitas, tetapi mampu bertindak dan merumuskan pilihan ekonomi
yang berdampak positif pada kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Pada satu titik, aku sadar pendekatan alternatif untuk mereduksi, dan
memahami kemiskinan; ketimpangan; dan pembangunan manusia mesti
dirumuskan. Akhirnya, pendekatan kapabilitas atau capability approach
(CA) aku tawarkan sebagai pendekatan alternatif.[23] Tentu model,
atau pendekatan ini tak muncul secara tunggal, tetapi fondasinya dapat
ditemukan pada pemikiran Adam Smith dan Karl Marx tentang kondisi
kebutuhan dan kehidupan manusia; juga berhubungan dengan teori
Aristoteles tentang distribusi politis atau theory of ‘political distribution’
serta analisisnya tentang eudaimonia—perkembangan manusia.[24]
Tentu saja tak hanya itu, ‘kuakui ada banyak pengaruh dari pemikiran
ekonomi yang sempat bersentuhan denganku seperti teori keadilan
(theory of justice)John Rawls dan politik ekonomi klasik Karl Marx.
Dalam merumuskan pendekatan kapabilitas atau capability approach,
aku mempersoalkan terlebih dahulu atau mengkritik dengan niat
yang konstruktif terhadap konsep ekonomi kesejahteraan tradisional:
konsep yang terkadang terperangkap pada fetisisme komoditas. Aku
mencoba menentang hal itu bahwa untuk mereduksi kemiskinan

38 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


perlu, bahkan sangat penting mempertimbangkan bahkan menekankan
pada pendapatan, bukan komoditas semata. Bagiku sasaran utama
dan penting dalam ilmu ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi dan
ekspansi barang dan jasa sebagai pilar pembangunan manusia yang
seutuhnya.[25] Perlu digarisbawahi bahwa pertumbuhan ekonomi
tak akan dapat diwujudkan ketika manusia dalam satu negara, tidak
diberikan ruang yang sehat untuk berusaha atau untuk mendapatkan
pendapatan ekonomi.
Negara, dalam hal ini adalah pemerintah, idealnya harus mengerti
kapabilitas masyarakatnya dalam menghasilkan pendapatan ekonomi.
Dari observasi yang ‘kulakukan, ditemukan bahwa kapabilitas satu
masyarakat dalam menghasilkan pendapatan berbeda dengan kapabilitas
masyarakat lainnya.[26] Dapat diilustrasikan: kalangan disable atau
kelompok individu yang menderita cacat, tentunya membutuhkan
instrumen ekstra dalam menghasilkan pendapatan ekonomi. Mereka
membutuhkan kursi roda atau pemandu. Lain halnya kalangan non-
disable. Mereka tak membutuh instrumen lebih untuk menghasilkan
pendapatan ekonomi. Hal ini mengandaikan bahwa ada banyak faktor
yang perlu dipahami dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tidak
hanya memberikan ruang yang sama, tetapi negara mesti paham akan
kapabilitas kelompok masyarakat dalam menghasilkan pendapatan.
Hal itu tentu saja belum cukup. Masih diperlukan pendekatan lain,
agar kompleksitas kesejahteraan dapat dipahami dan stimulan untuk
mewujudkannya dapat dirumuskan secara tepat.
Demikian, aku pernah memperkenalkan pendekatan lain yang
sesungguhnya mendukung teori kapabilitas, dan itu adalah pendekatan
kesejahteraan atau utilitas: sebuah pendekatan yang fokus pada
pencarian kebahagian dan pemenuhuan hasrat.[27] Tetapi tentu saja
bukan dalam versi yang pernah dikemukan oleh Edgeworth. Bagiku
manusia itu makhluk yang sangat kompleks. Tak ayal jika dalam
menentukan pilihan, mereka tak hanya mempertimbangkan kepentingan
diri semata tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor diluar diri
mereka.[28] Pandanganku ini sesungguhnya dapat dilacak dari hal yang
pernah dikemukan oleh John Rawls: di mana ia tidak membedakan
antara sumber-sumber pencarian atas kepentingan dan jenis-jenis hasrat
manusia.[29] Dalam arti bahwa kepentingan dan hasrat manusia adalah
dua hal yang saling mengisi. Kendati demikian, seperti yang pernah ‘ku

Bab 2 | Kesejahteraan: Perjalanan Menuju Keberpihakan 39


utarakan bahwa hasrat dan kepentingan mestilah dibalut oleh etika.
Jika tidak, aku khawatir: apabila hasrat dan kepentingan tercerabut dari
etika, maka ekonomi dan perilaku yang muncul di dalamnya hanya akan
bermuara pada kenisbian-kenisbian semata, bahkan akan berujung pada
ironi dan dilema ekonomi. Ku akui berbagai pertanyaan berseliweran di
benakku, tetapi ada pertanyaan yang paling mengusikku, dan itu adalah:
“Apa kondisi, atau prasyarat agar kesejahteraan benar-benar mampu
diwujudkan melalui bantuan ilmu ekonomi?” Menjawab pertanyaan
itu, diriku terpaksa melirik kembali konsepsi tentang kualitas hidup
dan arti kebebasan dalam ilmu ekonomi.

KITA hidup pada era yang penuh dengan kejutan. Ironi, kedataran, dan
paradoks bergulat menjadi satu. Ketika pikiranku mengembara memasuki
lorong-lorong fenomena ekonomi, aku akhirnya menyimpulkan betapa
perubahan terjadi sangat paradoks dalam ekonomi. Betapa tidak, kini
baru aku mengerti ada banyak jejaring yang memengaruhi perubahan
ekonomi. Abad ke-21 adalah abad politik. Dulu Karl Marx mengajukan
satu tesis bahwa di dunia ini hanyalah ekonomi yang paling mampu
memengaruhi struktur sosial, budaya, dan politik: ia menyebutnya
dengan teori determinisme ekonomi. Kini setelah diriku menyaksikan
perubahan yang mengejutkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia,
terutama dalam wilayah ekonomi, ‘ku ingin mengajukan tesis bahwa
politiklah yang menentukan struktur ekonomi.
Bukan tanpa alasan, tetapi diriku menyaksikan secara langsung
bagaimana politik telah menjadi antesenden dari berbagai hal, terutama
ekonomi. Ini berimplikasi pada semakin kompleks dilema yang dihadapi
oleh ilmu ekonomi. Artinya, ilmu ekonomi mesti bekerja sama dengan
disiplin lain, agar solusi yang dirumuskan tak menerpa ruang kosong—
relevan dengan persoalan yang tumbuh dan berkembang. Menurut
pandanganku, disiplin utama yang mungkin dilirik dan digunakan
bersama-sama dengan ilmu ekonomi adalah filsafat. Dengannya
kemudian, akar-akar persoalan dapat ditafsirkan secara filosofis dan
radikal. Mengapa demikian? Karena ekonomi yang kian kompleks
disebabkan melubernya politik dalam ekonomi, membuat makna dasar

40 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


dan konsep-konsep filosofis tentang kebebasan manusia berubah dan
dikonstruksi berdasarkan kepentingan politik.
Aku pernah menulis bahwa:
“... kebebasan adalah konsep yang deterministik dengan banyak
hal, seperti struktur sosial dan ekonomi—kesempatan pendidikan
dan kesehatan”.[30]
Demikian, barangkali diluar dugaan ilmuwan sosial, aku menyakini
bahwa industrialisasi, perkembangan teknologi dan modernisasi sosial
secara substansial juga berkontribusi terhadap kemerdekaan manusia.
[31] Tetapi perkembangan semacam itu juga mesti diwaspadai.
Mesti dipastikan agar perkembangan tersebut mampu mendukung
pembebasan manusia dari berbagai ketidakmerdekaan dan dilema,
seperti tirani politik, kemalangan ekonomi, intoleransi sosial, dan negera
refresif.[32] Agaknya layak jika aku menyakini bahwa pembagunan
sebagai kemerdakaan, atau development as freedom.[33] Orang-orang
sering kali menisbahkan pemikiranku tentang freedom sebagai sebuah
semangat yang menyelimuti dan mewarnai setiap lekuk teori yang ‘ku
hasilkan.
Jelas aku tak dapat membantah pandangan itu. ‘Ku akui, freedom
memang menempati porsi yang cukup besar dalam proyek intelektualku.
Bukan tanpan alasan, tetapi hal itu didorong oleh filsafat moral yang ‘ku
pelajari dan berfungsi untuk mengukur freedom, equality, dan kemiskinan.
[34] Akar konsepsi ini dapat ditemukan dalam berbagai konsep
ekonomi, baik klasik maupun neoklasik. Freedom atau kemerdekaan
berbuat dan bertindak dalam tradisi ekonomi klasik diartikan sebagai
karakter atau prasyarat yang azali dalam diri manusia. Manusia mesti
mendapatkan kebebasan itu untuk mengejarkan kesejahteraan atau
memaksimalkan utilitas ekonomi. Dalam benakku, freedom yang sering
kali ‘kudengung-degungkan sesungguhnya berbeda dengan konsep
kebebasan yang ditemukan pada tradisi klasik, neoklasik ekonomi.
Berdasarkan perspektif instrumental, freedom dapat dikategorikan
dalam beberapa bentuk, seperti: political freedom; economic facilities; social
opportunities; transparency guarantees; protection security.[35] Semua tipe
kebebasan dalam versi instrumentalisme ini membantu dan berguna
untuk meningkatkan kapabilitas seorang individu. Jadi diriku agak lebih
sepakat dengan kategori yang diajukan oleh kalangan instrumentalis ini.

Bab 2 | Kesejahteraan: Perjalanan Menuju Keberpihakan 41


Bukan tanpa alasan: tipe freedom yang diajukan oleh instrumentalis itu
tidak hanya memungkinkan individu untuk mendapatkan kesejahteraan,
tetapi ia adalah prakondisi bagi individu untuk mengembangkan
kapabilitasnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka.
Aku sepakat dengan konsep freedom yang ditawarkan tersebut: dalam
pandangan konsep itu sangat empiris dan dapat diuji. Lebih pentingnya
lagi, konsep itu sangat berguna bagiku untuk mengembangkan teori
kapabilitas untuk meningkatkan kesejahteraan dan memutus dilema
ekonomi. Kendati demikian, bukan berarti aku mengamini dan menerima
secara utuh pandangan kalangan instrumentalisme tentang kebebasan.
Diriku menemukan konsep kebebasan dan mengadopsi inti-sarinya dari
teks Brihadaranyaka Upanishad, dalam teks ini diceritakan, bahwa:
“Seorang perempuan bernama Maitreyee dan suaminya, Yainavalka—
keduanya terlibat diskusi yang panas dan sangat filosofis—
bagaimana dan sejauh apa kesejahteraan mampu menolong dan
membantu mereka dalam mendapatkan segala sesuatu yang
mereka inginkan. Bahkan Maitreyee mengajukan pengandaian pada
suaminya—seaindai seluruh dunia telah sejahtera, akankah manusia
mendapatkan keadilannya. Yajnavalka dengan tegas dan penuh
keyakinan meresponsnya, “tidak.” Hal itu sama dengan kehidupan
orang kaya yang barangkali juga menjadi hidupmu. Percayalah disana
tak ada harapan keabadian yang mampu dijamin oleh kesejahteraan.
“Jika demikian, apa yang harus diperbuat ketika diriku tak bisa
mencapai keabadian tersebut?”[36]
Dialog tersebut dikutip berulang kali dalam filsafat agama-agama orang
India. Dimaklumi karena dialog tersebut mengandaikan dua hal, yakni
dilema yang dihadapi manusia dan keterbatasan dunia material. Dalam
pemahamanku, kata-kata yang keluar dari mulut Maitreyee penuh dengan
nada frustasi. Tetapi ada hal lain yang dapat dipahami dari dialog tersebut,
dan itu adalah sinyalemen atau menjadi stimulus untuk memahami karakter
ilmu ekonomi serta agar mengerti akan karakter pembangunan ekonomi.
[37] Artinya, dialog tersebut menandaskan adanya hubungan yang kuat
antara pendapatan dan usaha untuk mendapatkannya, antara komoditas
dan kapabilitas maupun antara kesejahteraan ekonomi dan kemampuan
untuk hidup sesuai dengan keinginan manusia. Mengandaikan adanya relasi
antara kekayaan dan pencapaiannya. Tetapi yang menarik dari semua itu
adalah isu yang terkadung dalam dialog tersebut, yakni ketidakmampuan

42 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Maitreyee untuk hidup sesuai dengan harapan dan keinginannya. Ya,
demikianlah kehidupan, terkadang kapabilitas manusia untuk hidup
sesuai dengan keinginan membutuhkan proses yang panjang dan butuh
kesabaran agar kapabilitas itu benar-benar mampu merealisasikan
keinginan, atau desire manusia yang terkadang sulit dipahami.[38] Senada
dengan itu, aku ingin mengulas kembali kegundahan Aristoteles terhadap
kesejahteraan: menurutnya, “... faktanya, kesejahteraan tidak seindah
yang kita kira.”[39] Kegundahan itu tentu saja dapat dimaklumi. Karena
kesejahteraan yang dipahami oleh Aristoteles adalah kesejahteraan yang
didasarkan pada utilitarianisme: sebuah pencarian akan kepuasaan diri,
tetapi mengabaikan filsafat moral yang mendasari mengapa manusia mesti
mengejar kesejahteraan.
Demikian, menurut pemikiran yang paling purba. Mempersoalkan
kesejahteraan sesungguhnya tidak memadai dengan memaknai
kesejahteraan sekadar hasil dari pencarian yang penuh hasrat akan
kepuasan atau utility, dan kepentingan diri. Lebih dari kesejahteraan
yang ‘ku tawarkan adalah sesuatu yang mendorong menguatnya
kebebasan atau freedom dalam diri manusia. Tentunya kebebasan yang
bertanggungjawab, tidak hanya meningkatkan kualitas hidup individual
tetapi lebih luas lagi mestilah berdampak pada kehidupan manusia
lain—kesejahteraan sosial. Selanjutnya, ‘ku merumuskan satu istilah
yang menjadi konsekuensi dari kesejahteraan semacam itu. Istilah
itu adalah pembangunan, atau development: sebuah akselerasi atau
membaiknya kualitas kehidupan manusia karena adanya kebebasan
yang mampu menstimulasi kebebasan yang mereka sukai.[40] Pada
kondisi itu kemudian manusia mampu meraih kembali makna dan
fungsi mereka sebagai seorang manusia—entitas organik yang tumbuh
dan berkembang sejajar dengan fungsi dan kontribusinya terhadap
manusia lainnya, atau terhadap dunia sosial.
Akhirnya aku harus melakukan kritik terhadap konsepsi kebebasan
dalam makna popular, bahkan harus ‘ku sanggah seperti arti kebebasan
yang dikemukan oleh kalangan liberalis seperti John Rawls. Kebebasan
yang dikemukan oleh Rawls, kemudian diterapkan pada sistem
demokrasi liberal adalah kebebasan yang semata didasarkan pada
rasionalitas instrumental: dalam arti kebebasan yang ditujukan untuk
menopang nalar publik, dan menjamin adanya ruang yang sehat bagi
setiap aktor untuk mengekspresikan diri dan muaranya memperkuat

Bab 2 | Kesejahteraan: Perjalanan Menuju Keberpihakan 43


institusi politik. Menurut pandanganku, teori-teori yang dikemukan
untuk menopang politik liberal telah memunculkan patriarki,
feudalisme, dan monarki jenis baru.[41] Ada yang lebih substansial dari
sekadar kebebasan semacam itu. Kebebasan yang ‘ku maksud adalah
semangat untuk menyejahterakan diri sekaligus entitas lain. Semangat
seperti ini akan mendorong lahirnya ‘gift-economy’, sebuah perekonomian
yang didirikan atas fondasi resiprokal ekonomi—perekonomian yang
memastikan bahwa setiap aktor di dalamnya menjalankan ritual-ritual
pertukaran yang tak bersyarat seperti pemberian orang tua pada anak-
anak mereka atau pemberian kelompok ekonomi kuat ke kelompok
ekonomi lemah. Kebebasan semacam ini adalah prakondisi atau syarat
dari kesejahteraan yang mampu mereduksi kemiskinan. Ini ditandai
oleh menguatnya praktik apa yang diistilahkan oleh Marcel Mauss
dengan ceremonial-gift. Bahkan tradisi ini ditemukan oleh antropolog
sekaliber Bronislav Malinowski pada masyarakat Malinesia di kepulauan
Trobriand, yang kemudian disebut dengan kula.[42] Tradisi atau siklus
semacam ini akan memperkuat kehidupan sosial. Hal yang tentunya
tidak akan pernah ditemukan pada masyarakat kapitalisme.
Keniscayaan terakhir yang berhubungan secara kuat dengan
pemikiranku sebelumnya adalah health equity: keadilan dalam aspek
kesehatan. Mengapa ini penting? Dalam pikiranku, kesejahteraan dalam
arti yang ‘ku pahami adalah kesejahteraan dalam bentuk universal,
tanpa batasan di mana semua orang dapat mengakses sumber-sumber
kebahagian seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan
negara dalam berbagai kondisi. Pemikiran itu kemudian yang
menghantarkan diriku pada meditasi intelektual untuk merumuskan
standar hidup bagi manusia. Hal yang tentunya tak lumrah dilakukan
oleh ekonom, tetapi justru ‘ku berpikir dan merenungkan ‘standar
hidup’ lalu merumuskannya dengan baik adalah hal penting dalam ilmu
ekonomi. Meskipun, harus ‘ku akui rumusan yang pernah ‘kutawarkan
dianggap penuh kontradiksi dan konflik.[43] Banyak yang mengkritik dan
menohokku dengan pernyataan artifisial, dan mereka berkata: “Bagaimana
mungkin ekonom dapat merumuskan standar hidup. Sebab jamak
diketahui standar kehidupan antara satu masyarakat cenderung berbeda.
Hal itu disebabkan oleh variasi dan dinamika ekonomi, demografi, dan
budaya.” Ada benarnya respons di atas, tetapi ‘ku menyakini standar
kehidupan manusia sama dalam hal nilai; dan kerangka merumuskannya

44 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


pada setiap lapisan masyarakat. Tak ayal aku harus mencari hubungan
yang kompleks antara “barang” dan “utilitas”.[44]
Semua komponen ini[45] (lihat footnote) sesungguhnya ditentukan
secara mendasar oleh kapabilitas agen, atau aktor ekonomi sendiri.
Terutama kemampuan mereka mengerakkan dan menggunakan
kebebasan, serta kemampuan yang mereka miliki untuk mendapatkan
kesejahteraan. Pada satu titik kesejahteraan itu sendiri menentukan
standar hidup apa yang terbaik bagi mereka dan tentunya berbedanya
kapabilitas tersebut berimplikasi pada standar hidup subjektif yang
terumuskan secara alamiah. Demikian secara sederhana: bagan di
atas dapat ‘ku jelaskan bahwa utilitas ditentukan dan menentukan
banyak hal. Tetapi hal yang paling fundamental menentukannya adalah
kapabilitas aktor ekonomi, di mana ia juga dipengaruhi oleh karakteristik
personal—pendidikan, kebebasan, dan ruang ekonomi. Dengan
kapabilitas semacam itu, aktor-aktor ekonomi dapat meraih “keinginan”,
dan jenis kesejahteraan yang deterministik dengan lingkungan, sosial,
dan politik. Semua proyek intelektualku ini sesungguhnya bermuara
pada upaya perumusan, dan mewujudkan welfare atau kesejahteraan
dalam versiku sendiri. Akhirnya, ‘ku menyimpulkan bahwa semua
teori dan proyek yang ‘ku cetuskan mestilah mampu meningkatkan
kondisi ekonomi masyarakat miskin, dan mendapatkan martabat mereka
sebagai manusia. Pemikiran atas ekonomi kesejahteraan itu kemudian,
yang menghantarkanku pada tahun 1998 menerima Nobel Ekonomi.
Meskipun ‘ku tidak pernah mengejar penghargaan prestisius itu, tetapi
biarlah orang lain yang menilai pemikiranku lengkap dengan pro dan
kontra di dalamnya. Terakhir semoga semua pemikiranku itu membuat
manusia lebih baik, terutama diriku sendiri.

Bab 2 | Kesejahteraan: Perjalanan Menuju Keberpihakan 45


Catatan Akhir (Endnotes)
1
Christopher Morris. 2010. Amartya Sen: Contemporary Philosophy in Focus. (New
York: Cambridge University Press)., hlm. 1.
2
Ibid., hlm. 2.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Ibid., hlm. 40.
6
Ibid., hlm. 41.
7
Ibid., hlm. 42.
8
Ibid., hlm. 43.
9
Ibid.
10
Amartya Sen. 1988. On Ethics and Economics. (UK: Blackwell Publishing).,
hlm. 7.
11
Ibid.
12
Ibid.
13
Amartya Sen. Development as Capability Expansion. Working Paper: tp., hlm. 43.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Amartya K. Sen. 2010. A Critique of the Behavioral Foundations of Economics
Theory. Philosophy and Public Affairs, Vol. 6, No. 4., hlm. 317.
17
Ibid.
18
Ibid.
19
Ibid., hlm. 318.
20
Ibid.
21
Ibid., hlm. 319.
22
Ibid.
23
David A. Clark. The Capability Approach: Its Developmen, Critiques and Recent
Advances. Working Paper: Economic & Social Research Council., hlm. 2.
24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 3.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Amartya Sen. 1999. Development as Freedom. (New York: Alfred A. Knopf,
INC.), hlm. 3.
31
Ibid.
32
Ibid., hlm. 3.
33
Ibid., hlm. 4.
34
Christopher W. Morris., log. cit., hlm. 138.
35
Amartya Sen. log. cit., hlm.10.
36
Ibid., hlm. 13.
37
Ibid.
38
Ibid., hlm. 14.
39
Ibid.
40
Ibid.
41
Reiko Gotoh, Paul Dumounchel (ed.). 2009. Against Injustice: The New
Economics of Amartya Sen. (New York: Cambridge University Press)., hlm. 101.

46 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


42
Ibid., hlm. 115.
Geoffrey Hawthorn (ed.). 1987. The Standard of Living. (New York: Cambridge
43

University Press)., hlm. 1.


44
Ibid., hlm. 40.
45
Coba perhatikan baganku berikut ini:

Bab 2 | Kesejahteraan: Perjalanan Menuju Keberpihakan 47


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
)
3
Gunnar Myrdal & Friedrich von Hayek

)
THE TRUE INDIVIDUALISM:
IJTIHAD MEMUTUSKAN RANTAI
NEO-LIBERALISME

1898-1987
LAHIR di daerah rural atau pedesaan
pada komunitas petani di Swedia Tengah,
tepatnya pada tahun 1898. Rasa ingin
tahunya sudah tumbuh sejak dini. Tetapi
yang lebih menarik, Myrdal kecil telah
memperlihatkan sikap empati yang luar
biasa besar terhadap nasib para petani di
komunitasnya. Empati yang mendalam itu
telah menghantarkan dirinya pada pilihan
yang tepat, tapi tak mudah—merubah
orientasi dari ahli hukum menjadi ekonom.
Ini dapat dilihat dari pilihan Myrdal, yang awalnya kuliah pada program
studi hukum di Universitas Stockholm dan memperoleh gelar sarjana
hukum pada tahun 1923. Tetapi hukum tidak mampu mengobati rasa
empatinya terhadap nasib para petani. Perasaan semacam itu kemudian
yang menghantarkan dirinya memilih untuk melanjutkan program
doktor ekonomi di Universitas Stockholm, dan tamat pada tahun 1927.

49
Merasa belum mumpuni dalam ilmu ekonomi, Myrdal berusaha
untuk meraihkan beasiswa prestisius Rockefeller Foundation Scholars.
Ia menghabiskan 1 (satu) tahun belajar di Amerika Serikat.[1] Jalan
takdir menghantarkan Myrdal dikenal sebagai politisi dan akademisi
sekaligus. Tak lama berselang, Myrdal menjadi advisor untuk the
New Social Democratic Government of Sweden pada tahun 1932, bahkan
berhasil menjadi anggota parlemen Swedia selama dua periode, dari
tahun 1934–1936 dan 1942 –946. Tak hanya itu, Myrdal juga tercatat
sebagai kepala Komisi Perancanaan Post-War dan Menteri Perdagangan
dari tahun 1945–1947. Sebagai seorang akademisi pada Universitas
Stockholm, Myrdal mendirikan Lars Hierta, Chair in Political Economy
dari tahun 1933–1939, dan kemudian menjadi profesor dalam disiplin
ekonomi internasional dari tahun 1961 hingga dirinya pensiun pada
tahun 1965.
Setelah ia pensiun, ia masih menyandang gelar profesor emeritus
hingga dirinya wafat pada tahun 1987. Myrdal adalah ekonom yang
aktif dan sangat sibuk: meskipun ia sibuk dengan karir politik dan
akademisi, ia menunjukkan dedikasinya pada ilmu ekonomi. Ia tercatat
sebagai pendiri The Institute of International Economic Research di
Stockholm—lembaga khusus yang melakukan riset pada perdagangan
dan pembangunan. Ia juga pernah menjabat sebagai sekretaris
eksekutif pada The United Nations Economic Commission for Europe
di Geneva antara tahun 1947 dan 1957.[2] Dedikasinya terhadap
ilmu pengetahuan, khususnya ekonomi, telah menjadikan Myrdal
sebagai seorang ilmuwan tersubur dalam peraih ±30 (tiga puluh)
penghargaan bergengsi dari berbagai universitas di dunia. Tetapi pada
tahun 1974, bersama dengan Friedrich von Hayek telah dianugerahi
satu penghargaan paling terhormat dan sangat prestisius dalam ilmu
pengetahuan, jika bukan penghargaan Nobel Ekonomi apalagi. Tentu
memahami pergulatan dua orang ini, Gunnar Myrdal dan Friedrich von
Hayek, sangatlah menantang dan menarik untuk diikuti. Hal itu hanya
bisa ditapaki, dengan membuat kedua tokoh ini hidup dan seolah-olah
bertutur sendiri akan pergulatan intelektual mereka.

50 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


AWAL dari persoalan internasional adalah uang. Pandangan itu aku
temukan dalam alasan-alasan paling dalam, dan muncul begitu saja dari
berbagai dilema seperti krisis ekonomi. Tahun 1947–1957, misalnya:
tahun-tahun itu adalah masa-masa dramatis dan tersulit bagi negara-
negara Eropa. Lebih dari 50 juta orang terbunuh pada masa-masa sulit
itu. Perekonomian Eropa terjun deras. Aku melihat bagaimana The
United Nations Relief and Rehabilitation Administration (UNRRA)
berusaha keras untuk menyediakan makanan, penampungan, dan
pakaian. Ah, betapa krisis dan perang telah menyebabkan manusia
terlihat kecil, rapuh, dan tak berdaya, serta selalu terpojok oleh ambisi
segelintir orang—mereka yang selalu berperang demi setumpuk uang.
Menjijikan.
Barangkali pertanyaan dasar dan sangat moralis yang diajukan
adalah: “Mengapa manusia begitu berhasrat terhadap uang?” Uang
adalah benda yang paling efektif menyihir atau memengaruhi pandangan
dan perilaku manusia. Ia memiliki efek teleologis dari perilaku manusia.
[3] Lebih dari itu, berdasarkan observasi yang ‘ku lakukan terhadap
intensi dari politik internasional, uang menjadi hal yang paling
determinan. Uang tidak saja memengaruhi kualitas hubungan antara
satu negara dengan negara lain, tetapi uang dalam hal ini sebagai sumber
pendapatan negara juga dapat memicu terjadinya konflik. Dari konteks
semacam itu kemudian ketertarikanku terhadap isu-isu hubungan antara
ekonomi, fenomena institusional dan sosial. Meskipun ekonom seperti
Lloyd Reynold memahami bahwa isu-isu tersebut adalah sesuatu yang
sulit dimengerti oleh ekonom dalam beberapa generasi.[4] Pernah
diriku diberedel pertanyaan: “Apa menariknya mempersoalkan isu-isu
semacam itu?”
Dalam benakku, persoalan ekonomi tidak hanya urusan bagaimana
memenuhi kebutuhan manusia dengan sumber daya yang sangat
terbatas. Tetapi lebih dari itu bagaimana locus atau lingkungan ekonomi
di mana manusia berusaha memengaruhi kualitas hidup dan kekuatan
perekonomian satu negara juga perlu diinvestigasi dan dipahami.
Sederhananya menangkap ideologi yang berada dibalik lingkungan
ekonomi, dan pembangunan ekonomi juga hal yang paling penting

Bab 3 | The True Individualism: Ijtihad Memutuskan Rantai Neo-Liberalisme 51


dieksplorasi. Hal ini maklum saja, karena diriku melihat secara dekat
bagaimana nilai-nilai borjuis memengaruhi struktur kehidupan di mana
aku mengenyam pendidikan tinggi di Stockholm. Tak ayal jika kemudian
diriku diseret untuk mempersoalkan nilai-nilai yang ada dibalik perilaku,
dan kebijakan ekonomi.
Adalah seorang guru historisku, John Lindqvist, yang telah
mengajarkan akan filsafat pencerahan atau the philosophy of the
enlightenment, juga melalui ilmuwan politik Rudolf Kjellén.[5]
Keduanya telah membuka mataku terhadap pentingnya gerakan anti-
neoliberal. Mereka pula yang telah sukses menginternalisasi nilai-nilai
nasional-konservatif dan intelektualisme-aristokratik dalam diriku.
Akhirnya kesadaran baru muncul dalam diriku untuk mempersoalkan
pembangunan ekonomi negara-negara di luar negara inti: di mana
pembangunan tersebut dipengaruhi secara kuat oleh ideologi ekonomi
dan politik negara-negara maju. Hal tersebut agaknya dapat dikatakan
sebagai kegelisahan pribadiku, dan solusinya mestilah bersifat
intelektual. Dari kegelisahan itu kemudian dua proyek intelektualku
dihasilkan, American Dilemma (1944) dan Asian Drama (1968).
Dua proyek itu adalah tonggak karir akademikku. Karena itu
penting agaknya ‘ku paparkan pemikiranku, sesuai yang telah ‘ku
bentangkan dalam Asian Drama (1968). Kegelisahan yang berawal dari
observasiku terhadap kondisi ekonomi secara regional, khususnya
di Asia Tenggara. Pengamatan yang hanya melahirkan rasa kasihan,
sekaligus pertanyaan: “Mengapa negara-negara berkembang seolah-
olah terpenjara dan tak pernah keluar dari kerangkeng sistem ekonomi
global, yang dirancang oleh negara-negara maju?” Pertanyaan semacam
ini menurutkan muncul dari basis-basis paradigma yang ‘ku anut dan
itu berasal dari kepentingan (interest) dan tatanan ideal, norma, serta
tujuan-tujuan yang relevan juga penting pada negara-negara di Asia
Tenggara.[6] Aku menemukan berbagai kepentingan bersileweran di
Asia Tenggara. Kepentingan asing tentunya. Itu menjadi basis premis
yang kemudian aku telusuri lebih dalam dan melibatkan logika serta
tradisi empirisme.
Demikian pertanyaan filosofis dan sangat mendasar yang ‘ku
ajukan, adalah: “Apa sesungguhnya alasan dibalik berbedanya pekerjaan;
sosial dan strata ekonomi?” Dalam pengetahuan ekonomi yang paling
klasik, hal itu disebabkan oleh diversitas atau perbedaan nilai dan

52 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


kepercayaan atas ekonomi yang berlaku pada satu negara.[7] Jika kita
berusaha sedikit membandingkan antara kualitas perekonomian di
Asia Tenggara dengan Eropa, maka tentunya alasan itu kian terang
dan jelas, alasan atau argumentasi yang dapat diajukan setelah upaya
membandingkan hal tersebut adalah adanya gap dalam aspek kuantitas
kelas terdidik, dan partisipasi masyarakat di Asia Tenggara dan negara-
negara Eropa.[8] Kendati demikian, ada sesuatu yang lebih penting dan
dahsyat membuat perbedaan tersebut muncul ke permukaan. Dalam
kajian yang ‘ku lakukan, ideologi yang “bermain” dibalik pembangunan
ekonomi menentukan kualitas ekonomi rakyat suatu negara. Mengapa
kesimpulanku seperti itu?
Ideologi merupakan a set of belief about society, atau suatu susunan
kepercayaan terhadap masyarakat. Kepercayaan semacam itu
menyediakan kerangka berpikir, dan mekanisme yang harus berjalan
dalam satu masyarakat.[9] Aku pun sering mengajukan pertanyaan
ketika memahami pemaknaan ideologi seperti itu, “Bagaimana
hubungan antara sistem ekonomi dan ideologi?” atau pertanyaan yang
lebih spesifik, “Apa hubungan ideologi dengan kapital, dan bagaimana
hubungan itu terbentuk?” Jawaban atas pertanyaan itu ‘ku temukan
melalui perenungan, dan kajian yang intens terhadap manusia itu
sendiri. Aku menyimpulkan bahwa manusia sesungguhnya terikat
dengan modal atau dapat dinilai sebagai hasil organisasi sosial. Ilustrasi
sederhana: munculnya gejala fetisisme komoditas. Mengaju pada
pandangan Karl Marx, komoditas produksi merupakan bentuk sosial
khusus dari organisasi produksi yang terbentuk, melalui pertukaran, dan
membentuk relasi yang sangat jelas antara buruh dan pemilik modal.
[10] Tentu untuk memahami kualitas perekonomian, bukan ideologi
semacam itu yang ingin ‘ku utarakan, melainkan ideologi ekonomi yang
memengaruhi kebijakan, bahkan menjadi ‘state mind’ atau nalar negara.
Tatkala ideologi menjadi nalar negara, maka pada kondisi itulah
sistem ekonomi hanyalah wadah atau instrumen untuk mewujudkan
tujuan satu ideologi. Pada titik itu pula, ideologi menjadi penentu
karakteristik ilmu ekonomi serta bentuk teori ekonomi yang dilahirkan.
Ilustrasi yang paling klasik: ketika satu sistem ekonomi didasarkan pada
anasir-anasir kapitalisme, maka negara akan senantiasa diwarnai atau
mungkin sangat ‘candu’ mengonsumsi teori-teori ekonomi kapitalistik—
di mana pemodal adalah basis ekonomi dan mesti diutamakan. Bahkan

Bab 3 | The True Individualism: Ijtihad Memutuskan Rantai Neo-Liberalisme 53


sering kali ditemukan para ekonom yang menghabiskan sisa umur
mereka hanya untuk memikirkan bagaimana menciptakan teori ekonomi
yang dapat melanggengkan cengkraman kapitalisme. Begitulah cara
ideologi ekonomi memengaruhi ‘tubuh-tubuh’ negara—penguasa,
ekonom dan bahkan masyarakat. Lalu apa hubungan narasi ini dengan
kondisi negara-negara di Asia Tenggara?
Merespons pertanyaan radikal seperti di atas, tentu saja aku
mesti menghindar dari perasaan arogan bahwa diriku qualified, atau
dalam kapasitas yang mengklaim bahwa dukungan finansial terhadap
negara-negara berkembang penting adanya.[11] Meskipun mayoritas
ekonom mendorong hal itu, tetapi aku tak mau gegabah mengamini
pandangan semacam itu. Pilihan terbaik adalah melakukan perjalanan
yang cukup lama untuk mengunjungi negara-negara di benua Asia,
khususnya di Asia Tenggara—negara-negara berkembang di luar Eropa.
Hatiku begitu gundah ketika berhadapan, bahwa kemiskinan di negara-
negara berkembang pada Asia Tenggara sungguh diluar dugaanku. Aku
melihat bahwa kemiskinan tersebut merupakan hal yang sepenuhnya
distribusional internasional: sebuah kenyataan bahwa kemiskinan di
negara-negara berkembang didorong oleh sistem ekonomi global.[12]
Ini aku lihat sangat dekat, ketika diriku berkeliling di negara-negara
Asia Tenggara. Bagaikan berhadapan dengan tembok yang begitu tinggi,
keinginanku dan para ekonom yang berlumut waktu mencita-citakan
dunia sejahtera, terbentur dan mental begitu jauh. Diriku limpung
dibuatnya.
Pada tahun 1955, ketika diriku diundang untuk memberikan
kuliah umuan di Kairo atas undangan Bank Central Mesir, kemudian
pidatoku itu dipublikasikan dalam satu buku yang bertajuk Economic
Theory and Underdeveloped Regions—dengan begitu gamblang ‘kupaparkan
bahwa masalah internasional adalah maldistribution atau kesalahan
fatal distribusi.[13] Meskipun United Nations memiliki program untuk
membuat negara-negara berkembang semakin maju. Tetapi alih-alih
mendorong kemajuan, yang terjadi adalah ironi: di mana negara-
negara berkembang hampir tak mampu keluar dari belitan ataupun
cengkeraman internasional. Aku melihat dan menyaksikan sendiri
bagaimana negara-negara maju telah menghasilkan kebijakan interventif
dan diberlakukan pada negara-negara berkembang—semacam resep
ekonomi yang menyebabkan ketergantungan yang tak terputuskan.

54 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Merespons kondisi itu, pada tahun 1957 aku memilih untuk
berhenti dan keluar dari PBB atau the United Nations. Ini kulakukan
didorong oleh panggilan intelektualitas, bahwa lebih baik memahami
dan melakukan kajian yang mendalam terhadap masalah pembangunan
yang dihadapi oleh negara-negara berkembang di Asia Tenggara,
China Barat, dan bahkan Rusia, terutama India.[14] Semua itu aku
artikan sebagai ijtihad atau perjuangan untuk memutuskan mata
rantai neoliberalisme yang mencengkram negara-negara berkembang.
Pada satu titik ‘ku menemukan, dan bahkan bisa memastikan bahwa
pemerataan pendapatan adalah kata kunci pembagunan ekonomi di
negara-negara berkembang. Ini berimplikasi pada kualitas asupan gizi,
dan kualitas hidup masyarakat di negara-negara berkembang.
Aku pernah menegaskan:
“The productivity of higher consumption levels stands for me as a major
motivation for the direction of development policy in underdeveloped
countries. Higher consumption levels are a condition for a more rapod and
stable growth.”[15]
Tingkat konsumsi merupakan ‘signifier’ atau penanda dari
perekonomian satu negara. Semakin tinggi tingkat konsumsi penduduk
satu negara, maka semakin baik dan stabil perekonomiannya.
Pandangan ini tanpa disadari telah menghipnotis banyak negara untuk
berusaha mendorong masyarakat agar giat bekerja, dan meningkatkan
konsumsi. Bahkan jamak ditemukan bahwa negara-negara berkembang
sengaja mendesain program jaminan sosial yang diasumsikan
mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan tingkat konsumsi
masyarakat. Itu tidak sepenuhnya tepat. Menurut pemahamanku untuk
mendorong pertumbuhan pendapatan dan pemerataannya tak hanya
cukup melalui penerapan pajak progresif bagi kelompok-kelompok
ekonomi menengah ke atas, ataupun melalui transfer uang dalam bentuk
jaminan sosial.[16] Lalu apa strategi untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat di negara-negara berkembang?
Demikian, barangkali akulah ekonom yang pertama kali
memperkenalkan istilah ‘soft state’ dalam hubungannya dengan bad
economy atau aktivitas ekonomi yang buruk seperti korupsi.[17] Aku
hendak mengetengahkan satu tesis bahwa ketimpangan pendapatan
pada negara-negara berkembang, tidak hanya disebabkan oleh sistem

Bab 3 | The True Individualism: Ijtihad Memutuskan Rantai Neo-Liberalisme 55


politik-ekonomi global. Tetapi juga didorong oleh perilaku elit seperti
korupsi yang secara langsung membahayakan pertumbuhan ekonomi.
Korupsi terjadi karena adanya kepentingan orang-orang kaya dan
berkuasa.[18] Ketamakan adalah kata kunci, mengapa elit cenderung
dan merasa tak bersalah untuk melakukan korupsi. Dampak perilaku
elit tersebut ‘merembes’ dan merusak berbagai sektor kehidupan.
Pendapatan negara harusnya disalurkan pada jaminan sosial, dan
ekonomi mengalami kebocoran hingga pada akhirnya kekayaan
‘mengendap’ hanya pada satu lapisan atau kelas sosial saja. Negara-
negara berkembang niscaya menghadapi situasi sulit tersebut. Lebih
parah lagi, negara-negara berkembang juga berhadapan dengan tekanan
internasional. Tentu saja negara berkembang harus melalui situasi yang
berat semacam ini. Hanya dengan cara itu, negara berkembang dapat
meraih kemerdekaannya dan melaju pada level yang lebih tinggi, yakni
negara maju.
Negara berkembang akan selalu menghadapi kondisi-kondisi
yang ‘ku istilahkan dengan ‘belenggu imperialisme–sistemik’: sebuah
tekanan yang bersumber dari imitasi dan pengadopsian sistem ekonomi
yang diterapkan oleh negara-negara maju. Pasar bebas, dan bebas
proteksionisme misalnya. Asumsi-asumsi serupa itu menjadi dasar
atau fondasi dari teori cumulative causation. Teori ini ‘ku kembangkan
dari beberapa teori yang dikembangkan oleh Young dan Kaldor. Dari
proyek mereka itu kemudian ‘ku ajukan setidaknya 4 (empat) tesis:
pertama, “backwash effect”—aku sering kali menekankan ekonomi perlu
perlakuan yang berbeda. Di mana perlakuan ekonomi terhadap negara
maju dan berkembang mestilah dibedakan; kedua, ‘spread effects’—
berbeda dengan tesis pertama, bentuk keduanya justru sebaliknya yakni
mengandalkan titik temu logis antara kebijakan ekonomi yang positif
dan dapat diterapkan secara simultan pada negara mana pun; ketiga,
tesis ketiga adalah hal yang berhubungan secara kuat dan utuh pada
scope of the analysis, tesis ini mengandalkan dan menilai pentingnya faktor
institusional; keempat, implikasi politik:[19] aku menyakini kebijakan
atau kekuatan politik yang dimiliki oleh negara dapat mempercepat
serta menentukan kualitas, maupun pertumbuhan ekonomi.
Akhirnya aku menyimpulkan tidak seutuhnya resep ekonomi
yang diterapkan oleh negara-negara maju, dapat diimplementasikan di
negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang idealnya harus

56 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


mampu meracik atau merumuskan resep ekonomi yang sesuai dengan
karakter negara mereka. Tidak hanya itu, negara-negara berkembang
juga mesti mempertimbangkan nilai historis dan ideologis yang ada
serta telah membentuk karakter sebagai sebuah bangsa. Idealnya hal-
hal itu yang dipertimbangkan oleh negara-negara berkembang dalam
memecahkan dilema ekonomi dan mendorong pemerataan ekonomi.
Dalam merumuskan serta memperkenalkan tesis tersebut, aku tidaklah
sendirian. Bersamaku ada Friedrich von Hayek, yang memiliki kedekatan
intelektual dengan diriku. Ini kemudian yang membuat kami mampu
saling membantu, serta saling melengkapi. Maka untuk mengenalku,
sudah semestinya juga mendalami sisi manusia dan akademik dari
Friedrich von Hayek.

Dalam percaturan ilmu-ilmu sosial, orang


mengenal laki-laki gaek ini sebagai
Friedrich A.von Hayek. Ia lahir di Vienna—
ibu kota dari kerajaan Austro-Hungarian,
pada 1899. Entah apa yang membuat
dirinya memilih kuliah di Universitas
Vienna dan mendapatkan gelar doktor
hukum pada tahun 1921. Dua tahun
kemudian mendapatkan gelar doktor
keduanya di bidang ilmu politik pada tahun
1923. Ia melengkapi studinya dengan hijrah
ke Amerika Serikat. Namun tak lama
kemudian ia kembali ke Vienna. Lalu mengalakkan kelompok diskusi
yang dipimpin oleh Ludwig von Mises. Tak merasa cukup, ia mengajak
Ludwig von Mises untuk mendirikan The Austrian Institute for Business
Cycle Research pada tahun 1927, dan ia sendiri yang menjabat sebagai
direkturnya hingga tahun 1931.
Ketenaran intelektualnya telah tersebar. Pada tahun 1931, ia
memilih untuk berimigrasi ke Inggris dan menjadi warga negara
United Kingdom. Hal ini disebabkan karena F.A. Hayek menerima
gelar profesor pada bidang ilmu ekonomi dan statistik di The London
School of Economics, hingga pada tahun 1950. Pada tahun 1950,

Bab 3 | The True Individualism: Ijtihad Memutuskan Rantai Neo-Liberalisme 57


dirinya kembali hijrah, yakni ke Amerika Serikat. Gelar profesor pada
ilmu sosial dan moral di Universitas Chicago, menjadi alasannya untuk
kembali meninggalkan Inggris. Dan 12 (dua belas) tahun kemudian,
pada tahun 1962, laki-laki gaek ini kembali meninggalkan Chicago
dan memilih kembali ke Eropa sebagai profesor ilmu ekonomi pada
universitas Freiburg di Jerman Barat. Tak juga bertahan lama, pada
tahun 1967, F.A. Hayek pindah ke Universitas Salzburg di Austria pada
tahun 1969 karena ia diterima sebagai honorary professor. Akhirnya, F.A.
Hayek mengakhiri petulangannya pada tahun 1977, dengan kembali ke
Freiburg dan menetap di sana hingga wafat pada tahun 1992.
Aku melihat F.A. Hayek adalah akademisi yang gelisah. Kegelisahan
yang sama dan pernah ‘ku alami. Pada satu titik, kami ditemukan oleh
teori. Kemudian teori itu kami namai dengan the theory of money and
economic fluctuation, atau teori uang dan fluktuasi ekonomi.[20] Hal
paling menarik pada fase-fase kehidupan F.A. Hayek justru tatkala
dirinya terlibat dalam perdebatan metodologi pada era 1930an,
ketika dirinya masih berada di Vienna. F.A. Hayek tak tertarik untuk
mengembangkan institusionalisme, atau behavioralisme. Tetapi “gaek”
ini berusaha mengembangkan criticism bersama dengan koleganya,
Rosenstein-Rodan, dan A. W. Stonier. Dalam perkembangannya,
meskipun F.A. Hayek tak terlalu antusias pada pendekatan lain. Ia
menyakini bahwa individu dapat menentukan preference secara mandiri.
Pada akhirnya sejarah mencatat bahwa Hayek menjadi salah seorang
peletak dasar-dasar metodologi positivisme. Persis pada periode
ketika ia berada di Vienna, yang menjadi penentu capaiannya terhadap
penghargaan prestisius, Nobel Ekonomi. Kendati demikian, menurutku
perjalanan dan karirnyalah yang sangat menentukan. Akhirnya, teori
yang digagas oleh Hayek mendapatkan pembenarannya melalui teori
yang juga ‘ku rancang, dan diperkenalkan pada dunia.
Titik temu teori yang kami rancang sesungguhnya dapat dilacak
dari landasan filosofi, hingga tesis yang ditawarkan. Baik diriku,
maupun F.A. Hayek sama-sama berpandangan bahwa pertumbuhan
ekonomi di negara-negara berkembang akan selalu mengalami gangguan
salama negara tersebut tak mampu mengembangkan sistem distribusi
pendapatan yang adil serta berani memutus mata rantai neoliberalisme.
Tetapi ada sedikit perbedaan antara diriku, dan F.A. Hayek. Laki-laki
gaek ini diawal-awal karirnya memperlihatkan bahwa dirinya tak terlalu

58 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


senang pada sosialisme. Bukan karena kebencian akan ideologi sosialisme,
tetapi didorong oleh kegagalan sosialisme dalam mengkalkulasi harga.
[21] Aku menduga kebenciannya terhadap sosialisme adalah efek
dari kesangsiannya terhadap kejatuhan komunisme pada era Perang
Dunia I. Kegagalan komunisme terendus dengan kuat, dan dikalahkan
oleh dominasi imperialisme neo-liberalisme. Ini tidak terlalu penting,
menurutku hal yang paling mendesak diketahui adalah “apakah teori
ekonomi yang paling orisinil yang pernah dirumuskan oleh F.A. Hayek?”.
F.A. Hayek agaknya sepakat denganku untuk mencarikan solusi
bagi kesulitan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang.
Kemiskinan, penganguran, jurang pendapatan yang menganga telah
menjadi potret suram perekonomian di negara-negara berkembang,
khususnya di Asia Tenggara. Aku bangkit dari kesuraman semacam itu.
Tetapi tidak F.A. Hayek yang bangkit dari ‘kemustahilan’ komunisme,
yang mencarikan solusi-solusi teknikal dari kemiskinan. Tetapi menurut
F.A. Hayek justru pada titik itulah kesalahan komunisme. Mereka ingin
menciptakan kemakmuran masyarakat, tetapi justru menciptakan
jerat besi dan memasung manusia agar senantiasa bergerak atas
dasar kemauan negara, bukan atas dasar kehendak diri. Menurut F.A.
Hayek itu asumsi yang menyesatkan. Manusia mesti dibebaskan dari
kehendak negara. Biarkan mereka bertindak dan memburu kebahagian
serta kesejahteraan atas dasar kemauan mereka sendiri. Aku melihat
F.A. Hayek, sangat meresapi apa yang diajarkan oleh mendiang Adam
Smith—tentang arti kebebasan manusia dalam bertindak.[22] Tak heran
jika kemudian F.A. Hayek menentang asumsi yang dikembangkan dalam
tradisi komunisme.
Aku melihat F.A. Hayek adalah pendayung dari perahu yang
dirancang dan dipahat oleh Adam Smith. Kelak dengan perahu itu, ia
sampai pada muara liberalisme yang radikal—dalam arti sebagai pejuang
kebebasan manusia untuk bertindak dan memperjuangkan nasibnya
sendiri. Negara harus enyah, dan idealnya menyerahkan mekanisme
perekonomian pada pasar, agar manusia benar-benar menjadi pribadi
yang autentik dan memiliki otoritas dalam mencari kebahagian
meraka. Akhirnya dalam rentang tahun 1945 hingga 1960, F.A. Hayek
mengerjakan dua mega proyek intelektual: Pertama, Hayek membangun
dengan sangat detail tentang saintisme dan kajian terhadap masyarakat
dengan pendekatan yang sangat psikologis. Ia mengkaji nalar manusia,

Bab 3 | The True Individualism: Ijtihad Memutuskan Rantai Neo-Liberalisme 59


klasifikasi, dan penafsiran. Kedua, ia berusaha memecahkan persoalan
rasionalitas liberalisme klasik.[23] F.A. Hayek melalui dua magnum
opus-nya itu seolah-oleh hendak mengilhami dan menyadarkanku pada
eksistensi tatanan psikis melalui pendekatan ilmu alam, fenomenal,
mental, atau indrawi.[24] Ia ilustrasikan dengan hubungan antara juice
dan peminumnya. Untuk merasakan apakah juice itu nikmat, melepaskan
dahaga, ia membutuhkan bantuan indrawi seperti lidah. Begitu juga
dengan individualisme. Aku melihat pendekatan F.A. Hayek ini menjadi
fondasi dari liberalisme versi F.A. Hayek.
Kendati demikian, aku melihat konsep liberalisme F.A. Hayek
bukanlah konsep fundamentalistik yang mendewakan individualisme
semata. Ia hanya menekankan penting bagi manusia untuk menyadari
‘kedirian’ mereka dalam mencapai, dan merealisasikan kesejahteraan.
Hanya dengan cara itu, usaha untuk mengumpulkan profit melalui
kegiatan produksi dapat dinilai absah meskipun dalam tradisi
komunisme itu adalah tabu. F.A. Hayek tak pernah atau berusaha
mengeliminir peran negara pada titik terendah, atau mereduksinya.
Bahkan ia barangkali juga diriku, memahami bahwa negara tetaplah
komponen yang tak dapat dinistakan. Negara memiliki tugas, dan
otoritas yang sesungguhnya tak sederhana. Individu, dan masyarakat
membutuhkan otoritas semacam itu. Dengan otoritas itu negara dapat
menjamin individu, dan dengannya pula masyarakat benar-benar
terlindungi dalam merealisasikan kesejahteraan mereka. Pandangan
ini dapat dilacak dari teori moneter yang ditawarkan secara berbeda
dan unik oleh F.A. Hayek. Tentu saja pemikirannya itu tidak tunggal,
dan terbebas dari konteks. F.A. Hayek seolah-olah menentang negara,
tetapi dalam hatinya menaruh harapan yang sangat besar kepada negara.
Bagaimana pandanganku ini dibuktikan?
Tidak hanya padaku barangkali di berbagai forum, F.A. Hayek
pernah mengungkapkan imajinasinya tentang masyarakat masa depan—
masyarakat yang tak hanya mengandalkan kedirian mereka semata, atau
selfish atau masyarakat yang terlalu mengandalkan negara. Di mata F.A.
Hayek, ke depan manusia idealnya bertumpu pada insting ekonomi
mereka tanpa harus lepas dari hubungan yang paling intim dengan
lingkungan, dan kondisi sosial di mana mereka tumbuh. Hal paling
penting dari konsepsi F.A. Hayek tentang masyarakat masa depan adalah
pandangannya terhadap profit yang selama ini didengung-degunkan oleh

60 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


banyak ekonom, baik klasik maupun ekonom neoklasik sebagai tujuan.
Tidak demikian dalam mindak F.A. Hayek. Ia memahami profit sebagai
sebuah simbol dari kualitas ekonomi. Manusia atau masyarakat yang
dapat mengumpulkan profit dalam proses produksi, berarti masyarakat
yang berjaya dalam merayakan kediriannya tanpa harus tercerabut dari
lingkungan dan kondisi sosial yang melingkupinya. Ia berdalih dengan
doktrin Adam Smith—ketika individu mengejar keuntungan, maka
secara otomatis lingkungan dan masyarakat lain akan mendapatkan
bagian dari keuntungan itu. Pandangan semacam ini diartikan sebagai
upaya menciptakan kanal dari keinginan manusia yang tak terbatas,
dan cenderung membahayakan.[25] Dengan meneguhkan konsepsi
kebebasan, artinya manusia secara ekonomis dibenarkan untuk
menyejahterakan dirinya. Itu akan mengakibatkan lingkungan di mana
mereka tumbuh dan hidup juga memperoleh manfaat yang besar dari
upaya itu.
F.A. Hayek sangat antusias dan menyakini hanya dengan cara itu
kemudian kesejahteraan dapat digapai oleh individu, hingga pada satu
titik akan menolong manusia lainnya. Kemudian bahwa sosialisme
di mata Hayek tak terlalu realistis ketika memaknai fakta sosial, dan
memahami manusia itu sendiri. Kendati demikian, aku mengendus ada
nada atau pesan yang barangkali belum sempat dilontarkan olehnya ke
publik—F.A. Hayek mewanti-wanti agar hati-hati dengan kebebasan.
Jangan sampai kebebasan itu melampaui moralitas—kebebasan yang
menjadi sumber dari becana ekonomi. Pada kondisi ini kemudian
F.A. Hayek membenarkan kehadiran negara. Dapat diartikan, betapa
sahabatku itu—F.A. Hayek—begitu simpatik dalam merumuskan
konsepsi tentang agensi atau aktor ekonomi.
F.A. Hayek memang mengajarkan pentingnya kebebasan dalam
ekonomi, tetapi dengan itu F.A. Hayek ingin mendorong manusia
dengan otoritas yang dimilikinya dapat berempati pada manusia
lainnya.[26] Di benakku tergambar begitu nyata betapa ada hubungan,
atau benang merah pemikiran F.A. Hayek dan Adam Smith. Begitu
mudah mencari benang merah tersebut, terutama dalam karakteristik
pemikiran mereka. Keduanya, baik Adam Smith maupun F.A. Hayek
adalah pribadi yang serius, bertanggung-jawab dan sangat cermat.[27]
Tentu saja keduanya terkemukan dalam aspek intelektualitas, meskipun
mereka terpisah berabad-abad. Ini kian memperkukuh pandanganku,

Bab 3 | The True Individualism: Ijtihad Memutuskan Rantai Neo-Liberalisme 61


bahwa pemikiran adalah “samsara”—semacam lingkaran yang satu
ujungnya pasti akan bertemu dengan ujung lainnya. Tidak berlebihan
jika aku ingin mengambarkan dua orang ini dengan: “Hayek merupakan
seorang ekonom yang hebat, ia mengenal Adam Smith sebagai bapak
dari ilmu ekonomi. F.A. Hayek adalah intelektual yang pandai, ia
mengenal Adam Smith sebagai peletak visi ekonomi yang kemudian
ia teruskan.” Akhirnya ‘ku menyimpulkan baik Adam Smith dan F.A.
Hayek adalah pendobrak kelaziman.
Ketika Adam Smith menghabiskan umurnya untuk memahami
masyarakat sebagai sesuatu yang kompleks, dan mesti dipahami sebagai
satu kesatuan. Maka F.A. Hayek juga mengamini itu, dan kemudian
menyakinkan para ekonom—betapa penting memahami hubungan
antara manusia dan masyarakat.28 Keduanya sama-sama berambisi
memahami “Apa itu masyarakat, bagaimana ia berjalan dan mengapa
dalam konteks sejarah yang berbeda, masyarakat terkadang tak bekerja
dengan baik?”. Tak mengherankan jika F.A. Hayek menjadi ekonom
yang sangat terkesan dengan fenomena sosial. Ia bersama Adam Smith
telah meletakkan dengan kuat fondasi pentingnya ilmu ekonomi untuk
membentuk masyarakat. Tak sekadar menjadi alat yang memenuhi
kebutuhan ‘buncit’ manusia.
Aku mengakui dengan jujur, dari sosok F.A. Hayek aku mengerti
dan menyadari betapa berbahaya mempelajari ilmu ekonomi tanpa ide.
Sama halnya mempelajari teori tanpa prinsip.29 Pandangan semacam
ini kemudian menghantarkan F.A. Hayek menjadi pribadi yang sangat
respek, dan mengutamakan realitas ketimbang konstruksi rasionalitas.
F.A. Hayek begitu perhatian dan sangat peduli pada the great body of
people atau konstruksi dari manusia itu sendiri. Kendati kelak, atau
saat ini F.A. Hayek sering kali dianggap melawan arus mainstream.
Itu sesungguhnya disebabkan kesalahpahaman saja terhadap kerangka
berpikira F.A. Hayek. Melampaui ini semua, aku mengenal F.A.
Hayek sebagai sosialisme-kontinental, meskipun ia begitu ‘garang’
terhadap sosialisme. Sengaja aku juluki seperti itu, karena F.A. Hayek
sangat peduli terhadap fenomena sosial, seperti kepedulian yang
dipertontonkan oleh Karl Marx dalam berbagai proyek intelektualnya.
F.A. Hayek pernah mengutarakan dengan sangat berapi-api, penuh
antusiasme tentang “perencanaan” dan “sosialisme”.

62 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


F.A. Hayek mengutarakan:
“Dari sejak era Hume dan Adam Smith, efek dari setiap usaha
memahami fenomena ekonomi—untuk dikatakan sebagai upaya
yang terlalu teoretik—telah memperlihat bahwa dalam waktu
yang lama, koordinasi tindakan manusia dalam berbagai kasus
telah membukakan mata dan pikiran kita akan satu mekanisme
yang dapat bekerja dan memecahkan persoalan manusia itu
sendiri. Meskipun analisis itu belum lah tuntas, dan final. Tetapi
saat ini kita (ekonom) harus berani memulai proyek intelektual
yang concern untuk memahami mengapa mekanisme semacam itu
berjalan. Hingga kelak kita akan dihadapkan pada fungsi-fungsi
yang mengerakkan itu semua, dan itu bersumber dari institusi
secara spontan.[30]
Ungkapan F.A. Hayek tersebut, menurutku, merupakan fondasi dari
proyek intelektual yang dikerjakan oleh F.A. Hayek sepanjang hidupnya.
Aku menaruh hormat yang sangat luar biasa pada sahabatku ini, betapa
ia mencari guru masa lalu dan itu adalah David Hume dan Adam Smith.
Itu ia lakukan hanya untuk mengembangkan idenya tentang “spontaneous
institutions.” Kelak ide ini akan menjadi teori yang paling banyak
dirujuk oleh ekonom. Aku masih ingat pada tahun 1945, Friedrich
A. Von Hayek memberikan kuliah umum di Dublin. Ia menerbitkan
artikelnya “Individualism: True and False”. Artikel yang menegaskan
posisi F.A. Hayek dalam memahami individualisme—ia dengan berani
membedakan mana liberalisme yang benar dan liberalisme yang salah.
Bagiku esai sederhana dan padat ini sangat penting, dan menjadi kunci
untuk memahami individualisme yang benar sesuai dengan konsepsi
liberalisme klasik.[31]
F.A. Hayek memulai tulisan dengan membaca dan memahami
konteks sejarah 30 (tiga puluh) tahun terakhir, kemudian yang ia
sebut dengan “prinsip umum” atau sebagai gradualitas yang tak dapat
dielakkan (the inevitability of gradualness). Usaha semacam itu, menurutku
adalah analisis cerdas yang pada akhirnya mampu membawa kita
pada semangat di balik sistem sosial.[32] Ini kemudian yang menurut
F.A. Hayek berbahaya. Karena sistem tak lagi orisinil dan genuine, dan
mampu menjadi jantung sosial. Sadar akan hal ini, F.A. Hayek berusaha
menemukan semangat ril, kendati tak selalu manifest. Akhirnya kondisi
semacam itu pula yang membuatnya menentang “karikatur” yang

Bab 3 | The True Individualism: Ijtihad Memutuskan Rantai Neo-Liberalisme 63


dihasilkan oleh konsepsi individualisme.[33] Konsepsi itu kemudian
yang ia istilahkan dengan Saint-Simonians masyarakat kompetitif, sebagai
upaya melawan sosialisme—sebagai sebuah masyarakat terencana dan
sentralistik.
F.A. Hayek tak seutuhnya membela individualisme semacam itu juga
tak sepenuhnya sepakat dengan sosialisme. Akhirnya ia mencari jalan
sendiri untuk membangun sosialisme-alternatif yang ruhnya berasal
dari perspektif masyarakat kompetitif. Dengan tegas, ia mengatakan
bahwa akar individualisme yang benar sesungguhnya dapat dilacak
dalam pemikiran John Locke, Bernard Mandeville dan David Hume.
Sementara individualisme yang salah dapat ditemukan dari pemikiran
asal Prancis dan tulisan-tulisan kontinental lainnya—sebuah konsepsi
yang terkontaminasi oleh ilusi rasionalisme cartesian. Ensiklopedis
seperti Rousseau dan kaum psiokrat lainnya adalah representasi dari
rasionalistik-individualisme, mereka yang selalu berusaha membangun
oposisi terhadap sosialisme atau kolektivisme.34 Betapa cerdasnya F.A.
Hayek. Ia mampu menangkap spirit yang ada dibalik gerakan intelektual
yang berusaha menjungkirkan sosialisme. Meskipun dirinya tidak pada
posisi pembela sosialisme. Tetapi sebaliknya, ia berusaha membangun
sosialisme-alternatif.
Aku melihat dan memahami bahwa definisi individualisme yang
benar versi Hayek sesungguhnya adalah sebuah proses kompetisi;
tidak didasarkan pada karakter individual. Tetapi, sering kali muncul
dibenakku pertanyaan apakah hubungan antara individualisme dan
self-interest dan perilaku mementingkan diri sendiri? Dalam konteks ini,
sangat kentara bahwa F.A. Hayek terlihat menghindari dari berbagai
dimensi moral self-interest dengan cara merujuk lebih intens pada
masyarakat.35 Hayek lebih tertarik untuk memahami kekuatan yang
“bermain” serta menentukan kehidupan sosial manusia. Bahkan F.A.
Hayek tampaknya mengabaikan bahwa individualisme dan kompetisi
pasar mendorong menguatnya self-interest, dan seolah-olah tak dapat
dielakkan. Menghindari pandangan semacam itu kemudian mendorong
F.A. Hayek memfokuskan diri pada teori masyarakat, dan masyarakat
sebagai sebuah proses.[36] Itu pula yang membedakan F.A. Hayek
dengan ide-ide Humean dan Smithian. Sebab, baik David Hume maupun
Adam Smith melihat bahwa eksistensi manusia sebagai eksistensi sosial.

64 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Meskipun secara filosofis, F.A. Hayek menunjukkan rasa hormat
dan simpati yang kuat terhadap Adam Smith dan David Hume. Tetapi
dengan tegas dan berkarakter F.A. Hayek menegaskan posisi serta
menyakini pandangannya bahwa eksistensi manusia tanpa masyarakat
itu bukanlah sebuah eksistensi, dan masyarakat tanpa simpati bukanlah
satu masyarakat.[37] Aku sering kali tersenyum dan mengangukkan
kepala betapa laki-laki gaek ini sangat cerdas dan begitu hati-hati. Ia tak
ingin konsepsinya tentang individualisme kebablasan, dan menciptakan
malapetaka. Karena itu ia rebahkan semangat individualisme pada altar
kolektivisme yang disediakan oleh masyarakat. Dapat dimaklumi, karena
baik bagi Adam Smith maupun F.A. Hayek, simpati merupakan perekat
masyarakat. Tentu saja tak hanya itu, bagi Hayek, simpati akhirnya
akan mendorong terjadinya interaksi antara kebebasan dan tangung
jawab individualisme dalam masyarakat kompetitif. Sepanjang karirnya,
F.A. Hayek tidak pernah memperlihatkan bahwa dirinya bermasalah
dengan Adam Smith. Bahkan terlihat secara terang bahwa F.A. Hayek
kembali mempropagandakan bahwa pemikiran mereka berdua tentang
masyarakat penting adanya dalam rangka meyakinkan manusia untuk
berkontribusi pada kehidupan sosial. Tesis mendasar yang ingin diajukan
oleh F.A. Hayek, mengikuti argumentasi yang dibangun oleh Adam
Smith dan David Hume adalah pentingya self-love.
F.A. Hayek pernah berkata:
“... diri bagi manusia ditujukan untuk saling asih dan asuh.”[38]
Kalimat yang begitu padat, tetapi menegaskan dengan lantang bahwa
self-interest sesungguhnya berlawanan dan memiliki kontradiksi dengan
diri manusia sendiri. Seolah-olah F.A. Hayek ingin mengatakan—terlalu
mementingkan diri sendiri adalah pengingkaran terhadap eksistensi
manusia dan eksistensi masyarakat. Hayek mendasarkan pandangannya
pada 2 (dua) topik yang penting. Pertama, Hayek mengakui bahwa
dirinya mempertimbangkan tradisi stoik klasik yakni oikeiosis, yang
diperkenalkan oleh Adam Smith. Kedua, keyakinan F.A. Hayek bahwa
preferensi adalah hal yang subjektif.39 Konsepsi oikeiosis adalah sebagai
sumber stoisme yang dapat digunakan untuk memahami sistem sosial
versi Adam Smith. Berkaitan dengan hal ini Hierocles, dengan mengaju
pada Stobaeus, di mana untuk menjelaskan sistem sosial Adam Smith,
ia mengemukan konsepsi lingkaran terkonsentrasi, atau the concentric
circles, yakni:

Bab 3 | The True Individualism: Ijtihad Memutuskan Rantai Neo-Liberalisme 65


Hierocles menuturkan:
“Setiap manusia sesungguhnya dipandu oleh berbagai lingkaran.
Lingkaran utama adalah kelompok yang berada di inti lingkaran
yang terdiri dari orang tua, istri, dan anak-anak. Sementara
lingkaran terluar adalah kelompok yang diposisikan sebagai
struktur atau orang-orang yang berada diluar lingkungan di mana
manusia itu hidup seperti tetangga hingga elit sosial–agama.”[40]
Makna yang ingin disampaikan oleh Hierocles, seperti yang
dipahami oleh F.A Hayek adalah pentingnya simpati dan perhatian
antarmanusia seperti yang sering kali ditemukan dalam lingkaran
keluarga. Dengan simpati itu kemudian keluarga dikuatkan, dan
hubungan emosional semangkin kukuh. Begitu juga halnya masyarakat.
Bahkan pernah satu kali Adam Smith mengungkapkan bahwa: “... setiap
manusia, seperti dalam pemaknaan stoik, dianjurkan mengutamakan
memupuk rasa kasihan dan simpati mereka. Karena sesungguhnya
secara primordial manusia memiliki genetika simpati yang paling
purba dalam diri mereka.”[41] Sadar akan primordialitas, seperti yang
diajarkan oleh stoik, dan diajarkan kembali oleh Adam Smith adalah
jalan terbaik bagi manusia untuk terhindar dari perilaku barbarian
dalam ekonomi.
Demikianlah, konsepsi individualisme yang benar dalam imajinasi
F.A. Hayek. Meskipun sesungguhnya F.A. Hayek hanya mengayuh
dan merebahkan diri pada tradisi liberal yang dibangun oleh Hume,
Ferguson, dan Adam Smith. Tetapi hal itu sudah lebih dari cukup bagi
F.A. Hayek untuk merumuskan teori ekonomi yang mampu melepaskan
manusia dari kerangkeng individuslisme yang salah kaprah. Pada satu
titik F.A. Hayek menyakini bahwa eksistensi manusia dipandu serta
dibentuk oleh alasan yang khas.[42] Nalar atau reason itu kemudian
yang pada akhirnya menentukan baik dan benar dalam sistem perilaku
dan sistem sosial. F.A. Hayek berulang kali menegaskan pandangannya
di berbagai kuliah umum yang disampaikannya bahwa individualisme
yang benar adalah virtue of humanity, kebajikan kemanusian. Sementara
individualisme yang salah adalah hal yang bersifat pedantisme: sebuah
individualisme yang egoistik, dan hanya mengandalkan pengejaran
kepentingan diri semata.[43] Aku sangat tersentuh dan merasa sangat
beruntung dapat disandingkan dengan F.A. Hayek konsepsinya tentang
individualisme telah menarik diriku memasuki dunia pikiran yang

66 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


ia bangun, sangat jauh. Aku terkesima dan merasakan sesuatu yang
paling menenangkan serta kepuasaan yang tak terhingga—itulah alam
pikiranku. Akhirnya aku dan F.A.Hayek menyerahkan pada dunia dan
zaman yang menjadi penentu nasib dari pikiran dan konsepsi yang kami
bangun bersama. Entahlah?

Bab 3 | The True Individualism: Ijtihad Memutuskan Rantai Neo-Liberalisme 67


Catatan Akhir (Endnotes)
1
Howard R. Vane & Chris Mulhearn. log. cit., hlm. 65.
2
Ibid.
3
Georg Simmel. 2004. The Philosophy of Money. (New York: Routledge)., hlm. 1.
4
Benny Carlson. 2013. Gunnar Myrdal. Journal of Economic Wacth, September
2013., hlm. 507.
5
Ibid., hlm. 508.
6
Gunnar Myrdal. 1971. Asian Drama. (New York: Penguin Book Ltd.).,hlm. 25.
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Ben Fine. 1980. Economic Theory and Ideology. (London: Edward Arnold Ltd.).,
hlm. 1.
10
Ibid., hlm. 3.
11
Gunnar Myrdal. International Inequality and Foreign Aid in Retrospect.
(unpublished article)., hlm. 151.
12
Ibid., hlm. 152.
13
Ibid.
14
Ibid., hlm. 153.
15
Ibid., hlm. 154.
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid.
19
Nanako Fujita. 2004. Gunnar Myrdal’s Theory of Cumulative Causation Revisited.
Economic Research Center Discussion Paper-No. 147: Graduate School of Economics,
Nagoya University., hlm. 8.
20
Howard R.Vane. log.cit., hlm. 69.
21
Edwin van der Haar. 2009. Classical Liberalism and International Relations Theory.
(New York: Palgrave McMillan).,hlm. 102.
22
Andrew Farrant. 2011. Hayek, Mill, and the Liberal Tradition. (London:
Routledge)., hlm. 7.
23
Bruce Caldwell. 2004. Hayek’s Challenge: An Intellectual Biography of F.A. Hayek.
(Chicago: The University of Chicago Press)., hlm. 261.
24
Ibid.
25
F.A. Hayek. 1948. Individualism and Economic Order. (Chicago: The Chicago
University Press)., hlm. 107.
26
Lihat dalam Andrew Farrant (ed.). 2011. Hayek, Mill, and the Liberal Tradition.
(New York: Routledge)., hlm. 39.
27
Ibid., hlm. 7.
28
Ibid., hlm. 9.
29
Ibid.
30
Ibid., hlm. 10.
31
Ibid.
32
Ibid.
33
Ibid.
34
Ibid., hlm. 11.
35
Ibid.
36
Ibid.
37
Ibid.

68 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


38
Ibid., hlm. 12.
39
Ibid.
40
Ibid.
41
Ibid., hlm. 13.
42
Ibid., hlm. 16.
43
Ibid.

Bab 3 | The True Individualism: Ijtihad Memutuskan Rantai Neo-Liberalisme 69


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
)
4
Milton Friedman

)
MONETER: PERAMU OBAT
RESESI EKONOMI

“We are as a people still free to choose which way we should


go—whether to continue along the road we have been following
to ever bigger government, or to call a halt and
change direction.”
—Free to Choose

1946-1976
Era 50-an menjadi hari-hari sulit bagiku.
Aku mesti menyibukkan diri pada penelitian
ekonomi yang terus mengintimi statistik dan
ekonometrika guna menemukan sesuatu yang
unik dan belum dicapai oleh ekonom lainnya.
Meskipun akhirnya aku harus menjatuhkan
diri pada tradisi Keynesian dalam melahirkan
teori yang kemudian ‘ku sebut dengan fungsi
konsumsi atau the theory of consumption theory—
sebuah teori yang mengambarkan bahwa rasio konsumsi terhadap
penurunan pendapatan.[1] Aku sering kali, dan bahkan sangat intens
mendalami teori fungsi konsumsi yang dirancang oleh John Maynard
Keynes: ia dengan tegas menyatakan ada hubungan antara konsumsi
dan pendapatan. Dalam berbagai referensi yang ‘ku dalami, bahkan
dari karya Keynes sendiri, ku dapatkan definisi Keynes tentang
kecenderungan mengonsumsi sebagai penyerahan atau membelanjakan
pendapat sebagai upaya mengonsumsi barang lain.[2]

71
Keynes menyakini, dan dari keyakinan semacam itu ia bangun
asumsi bahwa kecenderungan untuk mengonsumsi dapat menurunkan
karena kenaikan pendapatan.[3] Paradok memang: seharusnya
hubungan keduanya bersifat positif. Tapi aku tak terlalu hiraukan itu.
Dari proyek intelektual Keynes itu kemudian aku mencoba merancang
fungsi konsumsi yang lebih radikal, dan agak berbeda dengan teori
konsumsi Keynesian. Beruntung pada tahun 1957, artikelku diterbitkan
pada The National Bureau of Economics Research. Sebagian ekonom melihat
teori yang ‘ku ajukan adalah sebuah bantahan terhadap Keynes.
Hal itu ku maklumi karena dalam pandanganku—penurunan rerata
kecenderungan untuk mengonsumsi karena pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat semakin membaik.[4] Barangkali
pandangan ini belum tersentuh oleh Keynes ketika merumuskan teori
konsumsi yang kemudian menjadi klasik. Aku melakukan observasi
secara mendalam terhadap relasi antara jumlah konsumsi atau jumlah
tabungan dan jumlah pendapatan. Usaha atau proyek intelektualku
itu, sesungguhnya hanyalah estafet atau melanjutkan tradisi dan
proses yang telah dibangun oleh Keynes sebelum diriku kembali
mengkajinya. Kendati demikian, ada hal yang aku revisi dari teori yang
pernah dikembangkan oleh John Maynard Keynes, dan itu adalah bahwa
pengeluaran individu dihubungkan pada pendapatan permanen dan
tidak berhubungan dengan pendapatan yang tak tetap.[5] Dua istilah
ini sudah cukup bagi Milton L. Friedman untuk membedakan antara
teori yang dibangunnya, dengan teori yang diletakkan oleh Keynes.
Aku meyakini bahwa konsumsi selalu menyesuaikan pengeluaran
individu, dengan ekspektasi terhadap pendapatan pada periode yang
lebih lama. Pandanganku ini kemudian menjadi dasar dari teori-teori
konsumsi yang kelak ‘ku kembangkan lebih canggih lagi. Selain itu,
inginku paparkan aspek lain dari proyek intelektualku: dan itu adalah
hubungan antara inflasi dan pengangguran. Pemikiranku itu telah
disampaikan di hadapan ekonom di Universitas Chicago, Illinois pada
tahun 1976. Mengawali pidatoku dengan keraguan ilmiah—lebih
tepat disebut dengan menyebarnya skeptisisme di kalangan ilmuwan
bahkan masyarakat tentang relevansi ilmu ekonomi dengan fisika,
kimia dan ilmu medis.[6] Aku berusaha keluar dari keraguan itu, dan
percaya bahwa antara ilmu sosial dan ilmu alam sesungguhnya dapat
bekerjasama secara simultan.

72 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Dalam amatanku, baik ilmu sosial dan ilmu alam tengah mengalami
pertumbuhan tradisi positivisme yang sangat cepat dan masif. Itu sah
terjadi sebagai respons terhadap kegagalan tradisi tentatif-hipotesis
untuk memprediksi fenomena, dan menjelaskan fenomena itu sendiri.
[7] Kemudian menguatnya tradisi positivisme sebagai impuls dari
kegagalan semacam itu. Ilmu alam, juga ilmu sosial perlu alat yang lebih
ampuh untuk memprediksi dan menjelaskan fenomena yang terjadi.
Begitupun ilmu ekonomi. Suatu kala, aku diundang untuk gala dinner di
satu sudut Universitas Camdridge, dan aku memilih bergabung dimeja
seorang ekonom yang tengah mengikuti program fellowship dan ia R.A.
Fisher—seorang matematikawan dan ahli statistik yang mumpuni.
Ekonom yang duduk disebelahku bercerita tentang seorang mahasiswa
yang tengah ia bantu di labor ilmu ekonomi, mahasiswa itu tengah
melakukan riset tentang dampak perdagangan dunia.
Mahasiswa itu mengutarakan kegundahannya:
“Entahlah, Mr. X (ekonom lain yang tengah mengembangkan
pendekatan yang berbeda) tak terlalu setuju dengan pendekatan
yang ‘kugunakan.”[8]
Aku menangkap jika rekanku itu—fellowship economist­—tengah
mengalami kegundahan yang cukup berarti, dan sangat menganggu.
Bahkan dirinya menilai peristiwa ini merupakan sebagai sebuah
pengalaman ilmu ekonomi yang paling buruk. Hal itu menunjukkan
betapa mustahilnya ‘free-values’ dalam positivisme ekonomi. Kemudian
aku coba menyelidiki, dan bertanya pada Sir Roland: “Apakah hal
itu aneh dalam ilmu sosial?” Laki-laki itu menjawab dengan penuh
semangat, “tidak”. Akhirnya aku menyimpulkan betapa pandangan
skeptik terhadap ‘bebas nilai’ tak terlalu beralasan. Aku melihat, dan
berkeyakinan bahwa hanya dengan etika semacam itu—free values—
ilmu sosial, juga ilmu ekonomi dapat benar-benar memprediksi dan
menjelaskan fenomena yang akan terjadi atau yang tengah berlangsung.
Tak heran jika di luar sana ditemukan sarjana yang begitu getol dan
penuh semangat mempromosikan pentingnya bebas nilai dalam setiap
kegiatan ilmiah. Begitulah cara sarjana dan ilmuwan menjunjung tinggi
objektivitas. Seolah tanpanya, usaha menghasilkan ilmu pengetahuan
terasa tak bermakna dan berarti, bahkan dianggap gagal. Pentingnya apa?
Menurutku hanya dengan cara itu solusi yang diberikan ilmu ekonomi
terbebas dari kerangkeng ideologi dan kepentingan sesat lainnya.

Bab 4 | Moneter: Peramu Obat Resesi Ekonomi 73


Pandanganku itu tentu perlu pengujian. Lantas, aku memutuskan
untuk mengaplikasikan positivisme ekonomi untuk menyelesaikan
masalah khusus ekonomi, yakni hubungan antara inflasi dan
pengangguran. Persoalan itu berdasarkan pengamatanku merupakan
dampak atau efek dari perubahan pada total permintaan terhadap
tenaga kerja dan tingkat harga tentunya didorong oleh perubahan pada
sektor moneter, fiskal, dan kekuatan lainnya.[9] Diluar konteks itu,
setidaknya ada pendekatan yang dapat dikemukakan, salah satunya
adalah Kurva Philip ber-slope negatif: di mana A.W. Phillips hubungan
negatif antara tingkat pengangguran dan tingkat upah—tingginya
pengangguran dapat disiasati dengan menurunkan upah. Begitu pula
sebaliknya.[10] Teori semacam ini sering kali dipertanyakan kembali
kepadaku, baik oleh publik maupun mahasiswa yang tengah ‘kubimbing.
Mereka bertanya: “Jika demikian kasusnya, kebijakan semacam apa
yang perlu diambil—fiskal atau moneter?” Keduanya, moneter dan
fiskal, idealnya dapat digunakan secara simultan saling melengkapi
untuk menurunkan tingkat pengangguran ataupun meminimalisir
dampak inflasi. Kebijakan moneter tak akan berarti, tanpa upaya negara
mengendalikan pengeluaran ataupun memperhatikan cadangan devisa.
Di luar konteks ini ada isu yang menurutku lebih fundamental, dan itu
adalah hubungan antara kebebasan (freedom) dan ekonomi. Ini agaknya
perlu ‘ku paparkan.
Pada tahun 1979, proyek kolaboratifku dengan Rose Friedman
telah diterbitkan, dan diberi judul Free to Choose: A Personal Statement.
Aku mengawali karya itu dengan pembahasan tentang kekuasaan pasar,
atau the power of the market. Tak bisa ‘ku bayangkan jika satu hari saja
manusia berhenti menggunakan barang produksi ataupun jasa—entah
untuk sekadar makan, dipakai—bagaimana dunia dapat bergerak dan
kehidupan berlangsung. Manusia sangat tergantung dengan barang-
barang produksi dan jasa untuk bertahan hidup, atau melengkapi
kebahagian. Sadar akan kenyataan ini, maka negara bersama dengan
ekonom harus mampu memberikan garansi bahwa pasar setiap saat
harus mampu melayani manusia.[11] Tentu semua usaha negara dan
ekonom tersebut, mesti dibarengi oleh keinginan dan perilaku yang
tepat dari manusia untuk mengonsumsi dan memilih barang dan
kuantitas secara tepat. Aku mengibaratkan pandangan itu dengan
“the right products are produced in the right amount and available at the right

74 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


places.”[12] Begitu pula dalam konteks pekerjaan: kita memahami dan
sering kali menemukan, di luar sana betapa sedikitnya perusahaan
yang berusaha mencari sendiri para pekerjanya. Faktanya, pekerja dan
perusahaan dipertemukan dalam satu tempat, yang disebut dengan
pasar tenaga kerja.
Menariknya, hal yang paling sering ‘ku temukan adalah kemerdekaan
dan hasrat yang dimiliki individu jauh lebih besar dari hasrat yang
dimiliki oleh perusahaan untuk mencari pekerja. Individu terkadang
berusaha mencari pekerjaan, bagaikan melepas busur ke segala penjuru.
Berharap ada pekerjaan yang tepat. Menurutku itu tak terlalu efektif:
bukan karena salah, tetapi sesungguhnya ada mekanisme yang lebih
baik dan itu adalah pasar tenaga kerja—di mana pekerjaan ditawarkan
oleh pasar akan lebih spesifik dan tentunya sesuai dengan skill yang
dimiliki oleh pekerja.[13] Melalui pasar, hasrat individu atau job seekers
jauh lebih terpuaskan. Mereka dapat memilih pekerjaan berdasarkan
skill dan tingkat upah yang mereka inginkan. Ini jelas berbeda, dan
tak akan pernah didapatkan ketika mereka bergerak sendiri tanpa
bantuan pasar tenaga kerja. Narasi tersebut adalah penegasan bahwa
pasar memiliki kekuasaan dan otoritas yang efektif dalam mendorong
distribusi barang, bahkan pendapatan. Tak mengherankan jika pasar
menjadi isu sentral dalam ekonomi, dan menjadi topik yang akan terus
hangat diperbincangkan oleh ilmuwan, khususnya para ekonom.

1921-1946
DAPAT dimengerti jika Milton L. Friedman sangat antusias terhadap
pasar, dan akhirnya menemukan formula yang cukup hebat untuk resesi
ekonomi—pendekatan moneter. Kembali menyusuri masa lalunya: ia
lahir 31 Juli 1912 di Brooklyn, New York. Anak bungsu dari pasangan
Jeno Saul dan Sarah Ethel Landau Friedman. Jeno lahir pada tahun 1879,
sementara Sarah pada tahun 1881. Keduanya—Jeno dan Sarah—berasal
dari Beregszasz, Carpatho-Routhenis di Hungaria wilayah bagian dari
impierium Hungaria. Saat itu, Beregszasz baru berpenduduk sekitat
10.000,- jiwa. Separuh darinya beragama Yahudi. Maklum karena
Beregszasz hanyalah kota kecil yang bersahaja.

Bab 4 | Moneter: Peramu Obat Resesi Ekonomi 75


Kota di mana kedua orang tua Milton L. Friedman tinggal,
merupakan pusat dari komunitas Yahudi Hungaria sejak masa Romawi.
Mereka merupakan hasil dari gelombang besar eksodus atau imigrasi
pemeluk Yahudi sejak masa-masa kegelapan atau dark ages, sekitar 1000
(seribu) tahun silam. Kaum Yahudi berimigrasi dari Selatan ke Barat
Daya Eropa, tepatnya dari Spanyol ke Timur Laut. Hungaria merupakan
wilayah tujuan imigrasi kaum Yahudi dari berbagai penjuru. Perkawinan
antara penduduk lokal antara kaum Yahudi tak terelakkan. Namun tidak
sedikit pula yang masih murni sebagai keturunan Yahudi, dan satu di
antaranya adalah keluarga Friedman,yang terkenal sebagai keturunan
Askenazim.
Kedua orang tua Milton Friedman, Jeno dan Sarah lahir pada masa-
masa sulit. Berpindah dari satu sanak ke sanak lainnya, menumpang.
Pendidikan telah membuat hidup mereka meningkat dan membaik,
hingga keduanya dijodohkan oleh waktu. Jeno dan Sarah mengenyam
pendidikan di Hungaria. Keduanya fasih berbahasa Hungari dan Yiddish.
Bahasa Inggris mereka baru fasih ketika keduanya memutuskan untuk
hijrah ke Amerika Serikat. Mereka memutuskan untuk pindah ke
Amerika Serikat, karena yakin disanalah mereka bakal mendapatkan
kebebasan seperti yang dijanjikan oleh tanah Amerika Serikat.[14]
Mereka mengunjungi Amerika Serikat dalam usia yang begitu muda,
hendak mencari penghidupan yang layak.
Ternyata hidup tak selalu datar, terkadang ia menghampiri manusia
dengan liku dan ketidakdataran. Di awal-awal kedatangan mereka di
Amerika Serikat, Sarah hanya mampu dan diterima sebagai penjahit
di salah satu toko jahitan. Meskipun demikian Sarah, tak pernah
melontarkan keluhan negatif terhadap hidup dan pekerjaannya. Sarah
mengerti dan paham, nasib buruk tak hanya menimpa dirinya tetapi juga
imigran lain. Ia mesti bersyukur, sebab untuk mendapatkan pekerjaan
di Amerika Serikat ia mesti mempercayakannya pada agen, agar dirinya
dapat disalurkan. Untungnya mereka pemeluk Yahudi, sehingga mereka
dapat mencari persaudaraan pada komunitas Yahudi di New York
yang berhubungan secara kuat dengan komunitas Yahudi di Hungaria.
Dengan begitu, mereka merasa punya keluarga dan perlindungan dari
sesama komunitas Yahudi di New York.
Tahun 1990-an adalah fase-fase paling menyenangkan dalam
hidup kedua orang tua Milton L. Friedman. Tahun itu menjadi momen

76 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


pernikahan mereka. Ketika keduanya datang pertama kali di tanah
Paman Sam, Jeno berumur 34 (tiga puluh empat) tahun; sementara
Sarah berumur 31 (tiga puluh satu) tahun. Milton Friedman dan tiga
saudari tuanya—Tillie, Helen dan Ruth—lahir antara tahun1908 dan
1912. Milton Friedman digambarkan sebagai anak yang memiliki tubuh
yang tak begitu baik jika dibandingkan dengan saudara-saudaranya
yang lain. Di usia 5 (lima) tahun, Milton Friedman dilukiskan sebagai
bocah pendek yang mempunyai rambut sangat pirang. Sementara
ibu Milton Friedman adalah perempuan jangkung dan sedikit lebih
kurus jika dibandingkan Jeno, suaminya.[15] Dimasa-masa kecilnya,
meskipun kedua orang tua Milton Friedman adalah buruh, tetapi Milton
Friedman tak pernah mengalami kekurangan makanan—“selalu saja ada
makanan di meja makan.” Hal itu didorong oleh atmosfer keluarga yang
sangat akrab, hangat, dan saling mendukung. Padahal keluarga Milton
Friedman tergolong melarat jika diukur berdasarkan standard ekonomi
di Amerika Serikat.
Milton Friedman, meskipun kedua orang tuanya berasal dari
Hungaria, ia fasih berbahasa Inggris. Sesekali Milton Friedman
mengunjungi Sarah—bibi dari Milton Friedman di Brooklyn. Di sana
Milton Friedman menghabiskan waktunya di perusahaan, tempat
bibinya bekerja. Bermain dan belajar mengenal manusia. Chicago bagi
Milton Friedman adalah hal menyenangkan dan telah menularkan
semangat hidup bagi dirinya. Pada pertengahan tahun 1928, hidup
Milton Friedman mengalami titik balik. Persis ketika dirinya memasuki
Universitas Rutgers saat berumut 17 (tujuh belas) tahun. Banyak
perubahan yang dialaminya. Kegembiraan ditingkahi oleh kedukaan.
Ayahnya wafat pada tahun itu. Milton Friedman kecil merasakan
kesedihan yang paling dalam ketika Jone meninggalkannya. Meskipun
demikian, Milton Friedman sadar. Tahun penuh kedukaan ini tak harus
menumbangkan dirinya, ia harus bangkit. Meskipun terkadang Milton
Friedman mengenang tahun ini, dan melontarkan kalimat “... must have
affected the life of mine.” Milton mencari formula pelerai duka. Milton
Friedman memilih untuk menghabiskan waktu remajanya sebagai
mahasiswa. Dengan begitu, ia adalah satu-satunya anak dari Jone dan
Sarah yang belajar di perguruan tinggi, kuliah.
Meskipun ia satu-satunya yang kuliah, tak satu pun anggota
keluarganya yang meragukan kemampuan akademiknya. Terbukti Milton

Bab 4 | Moneter: Peramu Obat Resesi Ekonomi 77


Friedman mampu memenangkan beasiswa di Rutgers, sebuah beasiswa
yang sangat kompetitif. Di sanalah Milton Friedman mengembangkan
skill akademisnya. Didukung oleh lingkungan akademik dan kehidupan
intelektual yang kuat di Rutgers, Milton Friedman adalah pelajar yang
aktif. Ia terlibat dalam berbagai kegiatan ekstrakulikuler.[16] Milton
Friedman telah menunjukkan ketertarikannya terhadap ilmu ekonomi
sejak ia belajar di Rutgers—sebuah sekolah tingkat atas yang memiliki
2000 orang siswa. Milton Friedman ketika di Rutgers lebih memilih
untuk tinggal di asrama, ketimbang menyewa kontrakan. Dengan
demikian ia dapat menikmati suasana akademik yang ketat dan sangat
kondusif.
Milton Friedman memiliki bakat alamiah dalam ilmu matematika.
Tak berlebihan jika sejak muda, ia memproyeksikan kelak dirinya
akan menjadi ahli statistika. Namun, kerap kali manusia dihadapkan
pada ketegangan dalam hidup, apa yang diharapkan terkadang tak
seindah kenyataan. Ini juga dihadapi oleh Milton Friedman. Ia harus
menguburkan keinginannya menjadi ahli statistika, dan memilih untuk
menekuni ilmu ekonomi. Pilihan ini sesungguhnya adalah konsekuensi
dari kontemplasi Milton Friedman ketika berhadapan dan menyaksikan
langsung bagaimana “great depression” menyisakan kemalangan dan
nestapa yang dalam bagi manusia di Amerika Serikat. Milton Friedman
menjadi korban langsung bagaimana depresi ekonomi telah menjadikan
dirinya sebagai buruh yang mesti membiayai kuliah sendiri. Beasiswa
yang tadinya menopang hidupnya tak lagi didapatkan dan dihentikan.
Milton Friedman terpaksa melakoni profesi sebagai buruh. Semangat
Milton Friedman tak pernah luntur untuk terus belajar, dan memahami
kenyataan. Ia menilai masa-masa sulit itu sebagai periode terbaik dalam
hidupnya. Ia belajar dan menempa kemampuan entrepreneurship melalui
pekerjaan yang ia lakoni.[17] Sejak itu ia terbiasa untuk berwiraswasta
sejak di bangku kuliah, untuk menopang kehidupannya. Mulai dari
penjaga, kasir toko, hingga menjadi editor majalah kampus, telah
dilakoni oleh Milton Friedman.
Hari-hari sulit yang menimpa Milton Friedman telah membentuk
kepribadiaannya. Ia pun menjadi pemuda yang ulet dan pantang
menyerah. Milton Friedman punya cara sendiri untuk mengatasi
masalah keuangan dan terkadang membuatnya terlalu aktif, tetapi itu
bukan menjadi “dalih” untuk bermalas-malasan dalam mengembangkan

78 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


kapasitas intelektualnya. Milton Friedman mengambil 12 (dua belas)
kelas setiap tahunnya. Setiap tahunnya Milton Friedman mengambil
kursus Matematika, Bahasa Prancis, Jerman, Inggris, ilmu pemerintah
Amerika, public speaking, kimia, sejarah, dan kursus ilmu ekonomi.
[18] Tak terbayangkan bagaimana kapasitas otak yang dimiliki oleh
Milton Friedman: ia mampu mempelajari berbagai bidang ilmu dalam
satu tahun. Kendati demikian Milton Friedman sengaja mendalami
ilmu ekonomi dibawah mentor Homer Jones dan Arthur Burns. Dari
keduanya Milton Friedman berkenalan dengan pemikiran libertarian
seperti John Stuart Mill.
Proses telah membuat Milton Friedman menjadi ekonom yang
matang di usia muda. Ia mendalami ilmu ekonomi di Universitas
Chicago dari tahun 1932–1933. Setelah itu ia memutuskan menjadi
akademisi—ekonom yang ia cita-citakan.[19] Milton Friedman dengan
bangga mengakui bahwa masa-masanya di Universitas Chicago
merupakan “stimulating time of my life” atau masa yang menjadi fondasi
dan menjadi periode yang paling menentukan. Universitas Chicago
(para mentor) kemudian yang mampu melihat potensi akademik yang
terpendam dalam diri Milton Friedman. Akhirnya universitas tersebut
melalui John D. Rockefeller telah memberikan insentif pada Universitas
Chicago. Dengan itu kemudian Milton Friedman dapat melakukan
riset dalam bidang ekonomi, tanpa dihantui oleh defisit keuangan
atau kantong kosong. John D. Rockefeller berhasrat untuk menjadikan
Universitas Chicago menjadi universitas terkemuka dalam pengajaran
dan riset. Ia sukses mewujudkan hasratnya itu. Banyak peraih hadiah
Nobel memiliki hubungan yang khusus dengan Universitas Chicago,
sehingga sejak pertama berdiri pada1892, Universitas Chicago telah
mampu membuktikan diri sebagai universitas terkemuka di dunia.
Milton Friedman menggunakan kesempatan terbaik yang pernah
ia miliki, dan dengan sepenuh hati bahkan mengebu-gebu melakukan
riset ekonominya di Universitas Chicago. Usianya masih muda waktu
itu, baru 21 (dua puluh satu) tahun. Ia pernah mengikuti kursus
filsafat ekonomi yang diampu oleh Frank Knight: saat itu–1933, ketika
mengkaji sejarah pemikiran ekonomi, Milton Friedman menulis satu
paper yang berjudul Labor Theory of Value in the Classical School. Artikel
ini menyediakan perspektif dasar yang segar:

Bab 4 | Moneter: Peramu Obat Resesi Ekonomi 79


Milton Friedman menulis:
“Sebuah kajian sejarah terhadap doktrin teoretik bisa dihasilkan
dari dua sudut pandang secara fundamental. Pengkaji dapat
menganalisis doktrin itu dengan memperhatikan keabsahan dan
utilitasnya ketika diaplikasikan pada ruang ekonomi kontemporer,
atau pengkaji dapat mempertimbangkan konteks historis yang
dibangun di sekeliling teori tersebut.”[20]
Pandangan Milton Friedman ini cukup mengesankan Frank Knight.
Tak berlebihan jika Knight membubuhi kata “good” di artikel yang ditulis
oleh Milton Friedman tersebut. Tentu saja belajar secara langsung pada
profesor dan ekonom ternama, menjadikan Milton Friedman sangat
antusias dan memperlihatkan kesungguhannya. Otomatis usaha itu
memperlihatkan bahwa Milton Friedman adalah ekonom muda yang
sangat cerdas. Ekonomi dunia membutuhkan kontribusinya. Dengan
kesan yang sangat mendalam Milton Friedman pernah menuliskan
pandangannya:
“Fakultas ekonomi telah berhasil memikat Amerika, dan menjadi
satu dari fakultas ekonomi yang terbaik di negeri ini. Ada dua
bintang yang tengah bersinar di fakultas itu, yakni Jacob Viner dan
Frank Knight. Ditopang oleh keberadaan ekonom-ekonom terbaik
seperti Henry Schultz, Paul Douglas, Henry Simons, Lloyd Mints,
Harry A. Mills, dan John Nef. Masing-masingnya memiliki kekuatan
dan kemahiran yang khusus dan di mata mahasiswa mereka
memiliki keunikan masing-masing. Tak ayal jika sering kali terjadi
perdebatan kontroversial: tetapi sepenuhnya perdebatan hangat
itu didasarkan pada basis-basis intelektual yang kuat. Akhirnya
membuat fakultas ekonomi menjadi tempat yang paling menarik
untuk dijadikan tempat belajar..”[21]
Lingkungan universitas di mana Milton Friedman mendalami ilmu
ekonomi menjadi faktor penentu dari karir intelektualnya. Di sanalah
ia menjadi seorang pelajar yang gigih dan mencatat puluhan bahkan
ratusan lembar catatan di kelas yang dihasilkan dari mendengar dan
membaca. Sebagai contoh, Milton Friedman pernah membuat catatan
atas karya Keynes Treatise on Money. Ekonom di Fakultas Ekonomi
Chicago, seperti Henry Schultz sangat terkesan dengan kegigihan
Milton Friedman. Allen Wallis pernah mengingat apa yang dilekatkan
oleh Schultz kepada Milton Friedman. Schultz menyebut Milton

80 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Friedman sebagai “the god damnedest”—kutukan tuhan. Itu karena satu
kali Milton Friedman pernah memprotes Schultz, seorang yang ahli
dalam matematika ekonomi dan ekonometrika.
Milton Friedman bertutur:
“Saat ini, saya menemukan beberapa kekeliruan dalam argumentasi
yang dibangun oleh Schultz. Lebih tepat jika kekeliruan itu disebut
sebagai bukti terbatasnya kapasitas intelektual Schultz.”
Lihat betapa lancangnya Milton Friedman. Tetapi kelancangan
semacam itu tak pernah menimbulkan dendam. Melainkan melahirkan
sikap respek dan saling menghormati antara Schultz dan Milton
Friedman. Suasana seperti ini sesungguhnya sangat didambakan oleh
Milton Friedman. Dengan itu ia dapat membangun fondasi intelektual—
sikap kritis, ingin tahu dan kegelisahan akademik. Pada akhirnya nilai
dan karakter seperti itu yang menghantarkan dirinya menjadi penerima
nobel ekonomi pada 1976 sebagai penghargaan tertinggi dalam sains
atas penemuannya terhadap analisis konsumsi, sejarah dan teori
moneter serta kesuksesannya dalam mendemonstrasikan kompleksitas
kebijakan stabilisasi.[22] Memahami capaian Milton Friedman akan
lebih menarik menghidupkan kembali Milton Friedman sebagai
subjek: pensyarah atas teori-teori ekonominya yang monumental serta
menghadirkan konteks yang ada dibalik teori-teori tersebut.

Asal Mulanya adalah Kebebasan


Ini adalah tahun-tahun paling membahagiakan dalam hidupku.
Barangkali dilukiskan perasaanku dan ‘ku analogikan dengan perasaan
mahasiswa-mahasiswaku ketika libur musim semi, menjelang. Riuh
dan berkeriapan. Bukan saja karena karirku semakin menanjak. Tetapi
karena alasan yang paling alamiah dari seorang ayah: anak-anakku
dapat merasakan atmosfer intelektual yang kuat dan sehat di Chicago.
Selain itu, ada hal yang sangat impresif dan selalu membuatku
bahkan mungkin orang lain terkesan. Padahal aku sendiri merasakan
kegamangan, dan kebingungan yang luar biasa terhadapnya. Apalagi

Bab 4 | Moneter: Peramu Obat Resesi Ekonomi 81


jika bukan pandangan-pandangan Keynes terkait fungsi konsumsi yang
ia ajarkan dan diterima sejak tahun 1930-1960 sebagai temuan yang
mengesankan. Bagiku; itu tak sehabat yang dikira. Masih perlu, dan ada
bagian-bagiannya yang membutuhkan sentuhan baru, mungkin dariku.
John Maynard Keynes telah terlanjur menghubungkan konsumsi
dan pendapatan. Bagiku pandangan semacam itu hanyalah hal derivatif:
artinya hanya sesuatu yang dihasilkan dari tradisi teoretik dalam ilmu
ekonomi. Jika tidak berlebihan, Keynes hanyalah meneruskan tradisi
positivisme, tanpa sedikitpun ada keinginan untuk membelokkannya.
Merespons itu, tumbuh hasrat yang mengebu-gebu di dalam diriku
untuk mempersoalkan atau sekadar memberi catatan atas tradisi
positivisme ekonomi. Aku utarakan proyek John Naville Keynes yang
kemudian ia publikasi dengan judul The Scope and Method of Political
Economy. Ia membedakan dengan tegas antara ekonomi positif—satu
struktur (body) pengetahuan tersitematis yang concern pada “what is”;
dan normatif atau sains regulatif—ilmu pengetahuan yang mengkaji
kriteria “what ought to be”.23 Keduanya tampak berbeda, berseberangan
dan tak saling menoleh. Demikianlah adanya bertahun-tahun. Keduanya
dipisahkan oleh paradigma yang saling berseberangan. Bahkan tak
jarang berkonflik.
Aku tahu, dan telah ku pelajari dari berbagai ekonom beraliran
positivisme seperti Schultz; bahwa tujuan puncak dari sains positif
adalah perumusan teori atau hipotesis yang bersumber dari prediksi
yang valid dan bermakna terhadap fenomena yang belum diobservasi.24
Bahasa menjadi penting dalam tradisi semacam ini. Bukan saja berfungsi
sebagai sarana mempromosikan metode dan penalaran yang sistematik
serta teroganisir; tetapi juga menjadi jembatan untuk memahami
fenomena yang sangat kompleks. Jika demikian tradisinya, aku layak
mengajukan pertanyaan: “apakah proposisi, atau hipotesis tersebut
benar atau salah; konsisten dan lengkap serta sesuai dengan fakta?”25
Aku, sebagaimana juga kebanyakan ekonom, paham dan mengartikan
hipotesis sebagai pemodelan sederhana terhadap realitas. Sesuatu yang
kompleks disederhanakan ke dalam proposisi matematis, agar dapat
dengan mudah dimengerti dan dijelaskan. Aku menyebut hal dengan
satu susunan tautologis: tujuan untuk mengoranisir material empiris
dan membantu memahami material empiris tersebut. Sering kali ‘ku
ajukan pertanyaan terkait tradisi ini?

82 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Apakah model tersebut benar-benar menjadi potret utuh, paling
tidak mewakili realitas? Lama aku merenungkan, dan mencari jawaban
atas kegundahan semacam itu. Aku pun dihadapkan pada kenyataan
yang hampir tak terbantahkan bahwa hanya hukum dari logika formal
lah yang memperlihatkan betapa bahasa khusus (model) adalah hal yang
sudah selesai dan konsisten, hukum itu akan melahirkan status final
“benar” atau “salah”-nya proposisi.[26] Benar atau tidaknya proposisi
atau hipotesis tersebut tergantung pada fakta yang menjadi pemberi
makna atas hipotesis tersebut. Dibenakku hanyalah fakta yang mampu
menjadi dasar-dasar analisis yang dapat dipercaya. Tanpanya maka
analisis, bahkan teori ekonomi hanyalah bualan semata (gibberish).
Ilustrasi relevan, dan hingga kini bahkan mungkin ratusan tahun ke
depan adalah hubungan sistematis antara permintaan dan penawaran.
Hubungan ini telah menjadi hukum yang paling alamiah dan sulit
dibantah, karena fakta selalu mendukung hubungan tersebut serta tak
pernah berubah.
Ekonom, termasuk aku terobsesi untuk menemukan hubungan
atau hukum-hukum alamiah dalam ekonomi. Seperti halnya penemuan
Einstein terhadap E=mc2. Begitu juga hasrat ekonom. Hal itu hanya
akan menjadi realistis ketika ekonom mengadopsi paradigma ilmu
fisika, atau ilmu alam lainnya untuk memahami atau mengambil
saripati makna dari realitas. Bahasa akhirnya menjadi unsur yang
membentuk hipotesis. Aku tegaskan bahasa yang dimaksud ekonom,
atau mazhab positivisme ekonomi adalah proposisi yang biasanya
disampaikan melalui model-model ekonomi yang sangat matematis.
Kendati demikian, kerapkali ekonom dihadapkan kepada pertanyaan:
“Dari mana hipotesis atau proposisi itu dibentuk? Sementara ia adalah
hal yang belum sepenuhnya diobservasi? Lalu, pantaskah hipotesis itu
dianggap absah sementara dalam proses perumusannya tak pernah
berkaca pada realitas?”
Lama ‘ku mengkaji, akhirnya baru dapat ‘ku pahami bahwa fungsi
teori dalam tradisi positivisme adalah membantu perumusan hipotesis:
ia menjadi basis atau fondasi dari bahasa tautologi atau proposisi.
Muara dari teori dalam tradisi positivisme adalah perumusan hipotesis.
Proses ini sepenuhnya dilakoni oleh ekonom untuk menemukan pola-
pola ataupun hukum paling alamiah dari fenomena ekonomi. Tetapi
kadang kala ekonom seperti halnya diriku, merasa tak berguna ketika

Bab 4 | Moneter: Peramu Obat Resesi Ekonomi 83


dihadapkan pada hal-hal yang kompleks, dan pada realitas ekonomi
yang saling tumpang-tindih. Aku sepenuhnya sadar bahwa aktivitas
dan perilaku ekonomi terbentuk dari hal yang kompleks di dalam diri
manusia.
Entah berapa lama ‘ku habiskan waktu hanya untuk menyelidiki
hubungan antara kebebasan dan ilmu ekonomi: atau lebih khusus lagi
antara kapitalisme dan kebebasan. Meditasi telah menghantarkanku
pada satu keyakinan bahwa asal mula dari kesejahteraan adalah
kebebasan manusia itu sendiri. Sadar akan hal ini menghantarkan
manusia pada kompetisi yang sengit untuk mendapatkan keinginan:
semua itu membutuhkan kebebasan. Tetapi kebebasan tak akan
diberikan sepenuhnya oleh negara yang setengah hati mengadopsi
tradisi dan ajaran liberalisme ekonomi. Padahal, tanpa disadari oleh
negara, membatasi kebebasan pada akhirnya mendorong perekonomian
stagnan, bahkan terhambat. Pada titik itulah rakyat satu negara
bangkit dan mempertanyakan “apa yang telah diberikan negara pada
mereka.”[27] Kendati demikian, kebebasan yang tak terkontrol dengan
baik juga dapat memicu huru-hara, bahkan ‘gairah massa’ yang dapat
menumbangkan negara. Pasalnya akan kebebasan semacam itu akan
menyebabkan ‘gap-sosial’ yang sangat lebar. Akhirnya muncul kesadaran
di kalangan masyarakat, bahwa negara tengah berselingkuh dengan
kekuatan ekonomi dan mengabaikan proteksi terhadap rakyatnya.
Gelombang protes akan tumbuh dan pada akhirnya melabrak negara.
Merespons situasi itu, sering kali muncul pertanyaan di benakku—
kebebasan seperti apa yang baik bagi negara dan rakyat?
Disini aku hendak mengajukan preposisi bahwa kebebasan adalah
hal kompleks. Dalam memahami memahaminya tak jarang terjadi
konflik antara rakyat dan negara. Suatu ketika benakku dihajar oleh
pertanyaan yang sangat radikal dan filosofis, yakni: “... Bagaimana
manusia dapat menjaga agar negara tak berubah menjadi monster
Frankenstein yang dapat menghancurkan kebebasan yang telah dibangun
serta diperjuangkan oleh rakyat puluhan bahkan ratusan tahun?” Aku
hanya dapat mempersepsi bahwa kebebasan (freedom) adalah hal yang
sangat jarang dan langka.[28] Tak hanya diriku yang berpandangan
semacam itu: diluar sana ada banyak manusia menyadari bahwa sejarah
serta nalar yang paling purba mengajarkan bahwa musuh terbesar
kebebasan manusia adalah kekuasaan.[29] Kekuasaan itu hadir dalam

84 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


banyak bentuk—dari kekuasaan kapital, bandit, dan sebagainya. Pada
negaralah harapan digantungkan, agar ia dapat melindungi kebebasan
rakyatnya. Tetapi dalam beberapa kasus, negara justru menjadi ancaman
paling menakutkan bagi kebebasan rakyat.
Jika negara sudah menjadi ancaman, maka rakyat tak lagi dapat
berharap pada siapa pun (negara), melainkan hanya pada diri mereka
sendiri. Pada kondisi inilah gairah massa akan dan sangat mungkin
meruntuhkan negara, hingga mendorong terjadinya transisi kekuasaan
segera bahkan berdarah-darah. Agar tak dramatis, dan mengerikan
seperti itu maka aku menawarkan dua konsepsi, bahkan lebih tepat
dua cara untuk memasung negara. Pertama, kewenangan negara mesti
dibatasi.30 Itu berfungsi untuk melindungi kebebasan rakyat dari musuh
yang datang dari luar pintu negara, serta dari dalam negara itu sendiri.
[31] Melalui negara hukum dan aturan dapat menguatkan kontrak privat
serta menjamin berlangsungnya pasar yang kompetitif. Negara melalui
kekuasaannya dapat memperkuat sektor privat. Itu secara efektif dapat
mengontrol negara itu sendiri dan otomatis dapat melindungi kebebasan
dalam berbagai aspek kehidupan—agama, pemikiran dan berpendapat.
Kedua, kekuasaan negara yang berlebihan mestilah dipangkas. Hal
ini berlaku jika negara sudah salah kaprah dan memaksa melalui
kekuatannya untuk membatasi kebebasan rakyatnya—membatasi
kebebasan rakyat sama halnya melarang rakyat berekspresi dan tumbuh
bersama nilai-nilai serta idealisme sosial yang dianut oleh masyarakat.
Pada kondisi ini, negara menjadi demon: semacam monster yang dapat
mengancam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang melekat dalam
satu masyarakat. Padahal hakikat negara adalah apparatus yang hadir
berdasarkan kontrak politik antara elit, birokrat, bersama rakyatnya.
Negara adalah hadiah dari rakyat. Ia dibangun atas kontrak sosial. Bukan
karena paksaan, melainkan kontrak sosial yang dibuat berdasarkan hajat
dan cita-cita bersama agar rakyat dapat tumbuh dan bebas menjalani
hidup. Dengan begitu mereka aman dan terlindungi untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagian mereka. “Ke mana kebebasan semacam
itu bermuara? apakah akan mendorong lahirnya sistem yang benar-
benar dibangun di atas kebebasan-kebebasan manusia?” Persangsian
semacam itu terus mengusik benakku.
Aku sampai pada satu kesimpulan bahwa hanya kapitalisme
yang dapat memastikan berlangsungnya kebebasan ekonomi hingga

Bab 4 | Moneter: Peramu Obat Resesi Ekonomi 85


kebebasan politik.[32] Kendati demikian, selalu saja terjadi hubungan
yang tak harmonis antara kebebasan ekonomi dan politik. Tak berlebihan
jika aku berpendapat bahwa hubungan kebebasan politik dan ekonomi
adalah hal kompleks: disini ‘ku ingin kembali mengetengahkan bahwa
Jeremy Bentham dan aliran filsafat radikal lebih cenderung menyamakan
kebebasan politik dan ekonomi. Mereka menyakini bahwa perang dan
holocaust di berbagai belahan dunia adalah akibat dari mempertentangkan
dua hal tersebut.[33] Perlu ada upaya mempertemukan dua hal itu dan
tak mempertentangkannya. Akhirnya, mendorong rakyat menentukan
politik dan berpartisipasi dalam menentukan kekuasaan adalah solusi
terbaik. Demokrasi liberal adalah konkretnya. Dengan begitu, pemilihan
umum adalah cara terbaik untuk menentukan ‘hal yang positif’ bagi diri
mereka. Itu otomatis akan melanggengkan laissez faire—sebuah fondasi
dari kebebasan ekonomi. Semua ini, menurutku bermuara pada integrasi
antara kebebasan ekonomi dan kebebasan politik. Dalam kebebasan
politik ada kebebasan ekonomi. Usaha untuk memisahkannya hanya
akan terjebak pada kebuntuan, dan ketegangan yang mengakibatkan
berjatuhannya korban serta menghancurkan kemanusian.
Kebebasan ekonomi dan kebebasan politik bagaikan dua sisi
mata uang, yang tak dapat dipisahkan. Kendati demikian, sering kali
muncul pertanyaan yang terkesan awam tetapi sangat fundamental:
“manakah yang terlebih dahulu dan didahulukan oleh manusia dalam
melakoni kehidupan?” “Apakah kebebasan ekonomi atau kebebasan
politik?” Pertanyaan ini sulit, tetapi tentu saja perlu ketegasan ilmiah
dengan menjawabnya. Menurutku, kebebasan ekonomi pada akhirnya
bermuara pada kebebasan politik. Aku menilai, dan berkeyakinan
bahwa kebebasan ekonomi mestilah mendapat tempat yang utama.34
Dengan kebebasan semacam itulah manusia dapat mengekspresikan dan
memenuhi aspek-aspek material kehidupan. Itu kemudian akan menjadi
materi penyusun kebahagian manusia. Muaranya, tak berlebihan jika
dibanyak negara kebebasan ekonomi dijadikan tujuan utama dalam
mengembangkan manusia-manusia yang dalam satu negara.
Ketika kebebasan ekonomi sudah terwujud, maka pada tahap yang
lebih maju; kebebasan politik akan menjadi fakta yang tak terelakkan.
Puncak dari dua hal ini adalah terbangunnya sistem kapitalisme yang
kuat. Jika sudah demikian, “baikkah sistem kapitalisme itu bagi dunia?”
Kalangan Marxisme sangat menentang sistem kapitalisme, bukan

86 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


karena sistemnya tetapi lebih didasarkan pada eksternal negatif yang
ditimbulkan oleh sistem kapitalisme—eksploitasi dan kontradiksi
sosial. Ketakutan semacam itu, dalam pengamatanku, adalah hal yang
lumrah. Tanpa bermaksud menyembunyikan wajah buruk kapitalisme,
aku hendak menegaskan bahwa kapitalisme melalui aktivitas ekonomi
yang sangat dominan memungkinkan terjadinya reduksi agama dan
rasionalitas. Bukan tanpa alasan, aku menyakini bahwa kapitalisme
lengkap dengan doktrin kebebasannya hilangnya sekat seperti agama,
etnis dan suku bangsa: di mana setiap manusia memiliki kesempatan
dan peluang yang sama dalam mengejar keuntungan demi kebahagian.
Keyakinanku terhadap kapitalisme bukan tanpa resiko: selalu saja
ada resiko tak terduga yang hadir ketika kapitalisme telah menjadi
sistem yang begitu besar, dan diadopsi secara masif diberbagai belahan
dunia. Bahkan kelak, ketika diriku tiada lagi, aku akan disebut fasisme-
ekonomi. Meski diriku sesungguhnya berusaha sekuat tenaga melawan
fasisme ekonomi. Karena itu aku mesti memaparkan kemungkinan itu,
dan dengan jujur mengakui bahwa kelemahan dalam argumentasiku
selalu punya celah. Perlu ku tegaskan, aku sama sekali tak senang dengan
Hjalmar Schacht, menteri ekonomi Nazi: terutama terkait metode
ekonomi Hitler yang dipublikasi 25 (dua puluh lima) tahun lalu. Fasisme
ekonomi adalah respons terakhir atau solusi pamungkas terhadap
kesalahan menagemen ekonomi kaum monetaris, dan itu muncul
karena hilangnya harapan disebabkan krisis ekonomi.[35]Bagiku
untuk menjinakkan kapitalisme, perlu ada strategi hening. Strategi
yang ditujukan untuk memengaruhi banyak hal, dan aspek kehidupan
terutama opini publik. Hal ini tentu tak akan berlangsung, dan akan
efektif tanpa tumbuhnya budaya mawas diri dikalangan apparatus
negara[36] terhadap bahaya kapitalisme. Sikap dan pandanganku ini,
tentu saja tak melahirkan kesanksian: semacam keraguan, “Akankah
diriku berusaha mengeleminir kebebasan yang telah dijunjung dan
diyakini sebagai hal paling penting tradisi ekonomi kapitalisme?”
Demikian, aku bukan dalam posisi menentang kapitalisme. Lebih
tepatnya aku berusaha memosisikan kembali tradisi liberalisme dalam
garis, dan filosofinya secara tepat dan kontekstual. Sungguh ‘ku ingin
membangkitkan ruh liberalisme klasik, yang telah mulai terkubur.
Sungguh diriku terkagum-kagum terhadap F.A.Hayek dan John Stuart
Mill. Dari kedua orang itu aku belajar dan akhirnya menemukan

Bab 4 | Moneter: Peramu Obat Resesi Ekonomi 87


rumusan sofistik tentang kebebasan. Bagiku kebebasan itu adalah,
“free man, the country is the collection of the individuals who compose it, not
something over and above them,” atau kebebasan manusia dalam satu negara
merupakan kumpulan kebebasan individual tanpa tumpang-tindih.[37]
Rumusan ini mengandaikan satu makna, bahwa tidak ada kebebasan
mutlak dalam ekonomi: yang ada hanyalah kebebasan yang saling
berhubungan, dan tak terlepas dengan kebebasan orang lain—sebuah
kebebasan tumpang-tindih, yang tak boleh saling melampaui. Kebebasan
yang tetap lahir dari semangat kolektivisme, meskipun akhirnya akan
bermuara pada kebebasan yang menstimulus persaingan. Percayalah
bahwa kebebasan semacam itu tak akan membuahi masyarakat brutal,
dan liar. Melainkan akan meciptakan masyarakat yang berkesadaran
bahwa dalam aktivitas ekonomi tak hanya bermuara pada keuntungan
saja dan menjadikannya satu-satunya tujuan. Harus disadari bahwa
aktivitas ekonomi dan keuntungan yang dihasilkan hanyalah alat untuk
mendorong kebahagian bersama. Tak lebih.

88 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Catatan Akhir (Endnotes)
1
Lanny Ebenstein. 2007. A Biography Milton Friedman. (New York: Palgrave
MacMillan)., hlm. 97.
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Ibid., hlm. 100.
5
Ibid., hlm. 101.
6
Milton Friedman. 1976. Inflation and Unemployment. (Nobel Memorial Lecture,
December 13, 1976: The University of Chicago,Illinois, USA)., hlm. 267.
7
Ibid., hlm. 267.
8
Ibid., hlm. 268.
9
Ibid., hlm. 269.
10
Ibid., hlm. 270.
11
Milton Friedman & Rose D. Friedman. 1979. Free to Choose: A Personal Statement.
(New York: Harcourt Brace Jovanovich., Inc.)., hlm. 9.
12
Ibid.
13
Ibid., hlm. 10.
14
Lanny Ebenstein. log. cit., hlm. 6.
15
Ibid.
16
Ibid., hlm. 13.
17
Ibid., hlm. 14.
18
Ibid.
19
Ibid., hlm. 19.
20
Ibid., hlm. 22.
21
Ibid., hlm. 22-23.
22
Howard R.Vane. log.cit., hlm. 83.
23
Milton Friedman. 1984. Essay in Positive Economics. (Chicago: University of
Chicago Press)., hlm. 3.
24
Ibid., hlm. 7.
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Milton Friedman. 1982. Capitalism and Friedman: The Classic Statement of Milton
Friedman’s Economic Philosophy. (Chicago: The University of Chicago Press)., hlm. 2.
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Ibid., hlm. 10.
33
Ibid.
34
Ibid., hlm. 8.
35
Lyndon H. LaRounche, Jr. & David P. Goldman. 1980. The Ugly Truth About
Milton Friedman. (New York: The New Benjamin Fraklin House)., hlm. 19.
36
Lanny Ebenstein. 2007. Log. Cit., hlm. 135.
37
Ibid., hlm. 140.

Bab 4 | Moneter: Peramu Obat Resesi Ekonomi 89


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
)
5
W. Arthur Lewis (1915-91) & Theodore Schultz (1902-98)

SANG PEMBONGKAR:

)
MEMOAR ATAS DILEMA
EKONOMI NEGARA-NEGARA
BERKEMBANG

Pergulatan Mencari Pengetahuan


LAHIR di St Lucia, Hindia Barat pada tahun
1915. Laki-laki ini dilahirkan untuk bertarung
menghadapi hidup. Ia tak lahir dikalangan
keluarga kaya, atau bangsawan. Tak ayal saat
umurnya 14 (empat belas) tahun, W. Arthur
Lewis bekerja sebagai kasir di salah satu toko.
Ini ia lakoni untuk membiayai sekolahnya. Kerja
keras dan nasib membawanya mendapatkan beasiswa saat umurnya
17 (tujuh belas) tahun untuk kuliah di luar negeri. Tahun 1933,
dirinya mulai perkuliahan di London School of Economics (LSE), dan
mendapatkan gelar sarjana untuk pertama kalinya pada tahun 1937. Ia
hanya membutuhkan 4 (empat) tahun untuk meraih gelar sarjananya
itu.[1] Tak selesai disitu, Arthur W. Lewis melanjutkan pengembaraan
ilmunya hingga gelar doktoral, dan meraih Ph.D pada tahun 1940 dari
London School of Economics.
Kecemerlangan akademik telah menghantarkan Arthur W.
Lewis mendapatkan kepercayaan untuk berkarir di London School

91
of Economics. Di sana ia memperolah kebebasan untuk berpikir dan
berkarya dari 1938 hingga 1948. Di sana pula Lewis memfokuskan diri
dengan menjadi bagian dari Dewan Perdagangan dan Jabatan Kolonial
(The Board of Trade and The Colonial Office) selama perang perang dunia.
Pada tahun 1948 Arthur W. Lewis pindah ke Universitas Manchester,
dan berkarir pada The Jevons Chair of Political Economy hingga tahun
1958. Pada era inilah karyanya yang paling berpengaruh dipublikasikan.
Entah mengapa, pada tahun 1958 dirinya meninggalkan Manchester
dan kembali ke Hindia Barat. Lalu memutuskan untuk menggagas
University College, Hindia Barat hingga 1962. Tak lama berselang,
ketika University College kian membesar dan populer, Arthur W.
Lewis dinobatkan sebagai kepala konselor pada Universitas Hindia
Barat. Lelah berkarir di Universitas Hindia Barat, Arthur W. Lewis
memutuskan pindah ke Universitas Princenton pada 1963 sebagai
profesor ekonomi dan politik, dan kemudian berkantor di the James
Madison Chair of Political Economy. Pada 1970, Lewis kembali hijrah
meninggalkan Princeton dan memilih menjadi presiden pertama
Carribean Development Bank, dan baru kembali ke Princeton pada
1973 dan berkarir di Princeton hingga 1983.
Hal yang paling berkesan sepanjang karir Lewis adalah pilihannnya
untuk menjadi konsultan dan penasihat bagi sebagian negara-negara
Afrika—Pantai Gading, Nigeria Barat, dan Ghana. Pekerjaan itu
menghantarkan dirinya menjadi penerima penghargaan dari PBB pada
tahun 1963, dan tak kurang mendapatkan 20 penghargaan dari berbagai
universitas terkemuka di seantero dunia. Ia pun terpilih menjadi
presiden Asosiasi Ekonom Amerika pada tahun 1983. Puncak dari
karir akademiknya terjadi pada tahun 1979, persis ketika dirinya dan
bersama koleganya Theodore Schultz dianugerahi Nobel Ekonomi.[2]
Atas dasar apa kedua orang ini dianugerahi Nobel Ekonomi?
Arthur W. Lewis dan T. Schultz telah berusaha dan memperkenalkan
upaya menyelesaikan persoalan ekonomi yang dihadapi oleh negara-
negara berkembang melalui riset-riset ekonomi pembangunan.[3]
Pemikiran dan proyek akademik ini dapat dilacak ketika dirinya berkarir
di London School of Economics, setidaknya ada tiga buku yang sempat
ia tulis tentang sejarah ekonomi internasional, ekonomi industri dan
ekonomi pembangunan. Sementara itu, dalam economic survey 1919-
1939, kemudian dipublikasikan pada tahun 1949, Arthur W. Lewis telah

92 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


menganalisis peristiwa dan kebijakan ekonomi pada periode perang
melalui perspektif sejarah ekonomi dunia.[4] Arthur sangat tertarik
pada sejarah ekonomi. Tak heran jika kemudian disimpulkan bahwa
memahami Arhur W. Lewis artinya mencoba menemukan lempeng-
lempeng atau puzzle sejarah ekonomi begitu khasnya.
Melalui pendalaman terhadap sejarah ekonomi, Arthur W. Lewis
akhirnya mampu memahami secara cemerlang pertumbuhan ekonomi
dan fluktuasinya. Ini kemudian ia tuangkan dalam satu buku yang
diterbitkan pada tahun 1978, Growth and Fluctuations dan Overhead
Cost, yang diterbitkan pada tahun 1949. Buku keduanya itu membahas
secara mendalam radikal isu-isu ekonomi industri termasuk teori
fixed cost, ‘two-part tariff ’, yang ia hubungkan dengan harga elektronik
dan layanan telpon, tak hanya itu ia juga memaparkan kompetisi
pada perdangangan retail dan monopoli serta hukumnya.[5] Buku
ketiganya adalah The Principles of Economic Planning (1950). Buku ini
ia tulis ketika dirinya berkarir di LSE (London School of Economics)
dan terlibat secara aktif dalam membantu perencanaan pasar sebagai
upaya menentang perencanaan ekonomi yang diintervensi oleh negara.
[6] Minatnya terhadap isu-isu ekonomi berkembang persis ketika
Arthur W. Lewis pindah ke Universitas Manchester. Disini ia mulai
melakukan riset tentang ekonomi pembangunan. Selama periode ini
pula karirnya sebagai ekonom yang mumpuni dalam ilmu ekonomi
pembangunan diakui secara intenasional. Tak lain, hal ini disebabkan
oleh terbitnya dua buku tentang ekonomi pembangunan, yakni The
Theory of Economic Growth, yang terbit pada tahun 1955. Artikelnya yang
sangat monumental dalam ekonomi pembangunan, yakni “Economic
Development with Unlimited Supplies of Labour”. Artikel tersebut
terbit pada bulan Mei 1954, di Manchester School. Baik artikel maupun
buku tersebut, telah menawarkan satu tesis bahwa pengetahuan
negara tentang subjek serta mempertimbangkan persoalan masyarakat
miskin di negara berkembang adalah jalan terbaik untuk memperkuat
pertumbuhan ekonomi.[7] Proyek intelektual tersebut kemudian
menghantarkan Arthur W. Lewis memperoleh kejutan dan penghargaan
prestisius ilmu pengetahuan, yakni Nobel Ekonomi. Pertanyaannya
adalah bagaimana Arthur W. Lewis dapat dipahami sebagai subjek
ilmu ekonomi itu sendiri? Tentu menghadirkannya secara dialogis dan
membiarkan Arthur W. Lewis bertutur terhadap jihad akademiknya

Bab 5 | Sang Pembongkar: Memoar atas Dilema Ekonomi 93


adalah pilihan terbaik dalam rangka mengerti siapa itu Arthur W. Lewis
dan apa kontribusinya terhadap ilmu ekonomi.

Mata Rantai Stagnasi Ekonomi


JIKA tak berlebihan, bolehlah aku mengibaratkan hidupku sebagai
proses mencari jawaban atas kegelisahanku terhadap masalah-masalah
ekonomi. Aku begitu gelisah ketika melihat, dan memandang masalah
ekonomi di negara-negara berkembang; khususnya negara-negara
Afrika. Ini berangkali dipengaruhi oleh kedirianku sendiri—sebagai
orang kulit hitam yang dididik pada negara kulit putih, Inggris. Aku
melihat betapa gap ekonomi antara negara-negara Eropa, misal saja
Inggris dan Amerika Serikat dengan negara-negara pinggiran, khususnya
di benua Afrika, terpaut begitu jauh. Kenyataan ini kemudian yang
membuatku tertarik pada ilmu ekonomi setelah diriku terlempar begitu
saja mendalami ilmu ekonomi.
Aku menyadari profesi sebagai seorang ekonom adalah pilihan
yang tiba-tiba dan aksidental. ‘Ku akui bahwa menjadi seorang ekonom
persis ketika aku sangat tertarik menjadi seorang insinyur. Sungguh
menjadi seorang dosen disebabkan tak ada pilihan lain yang layak ‘ku
lakukan. Kemudian menjadi pembela mazhab applied-economics karena
memang mentorku yang menuntutku menjadi pembela.[8] Awalnya
tanpa makna, terjebak rutinitas, namun perlahan mata hatiku terbuka
dan terenyuh ketika berhadapan secara langsung dengan negara-negara
berkembang seperti di belahan Afrika yang tumbuh begitu sulit, terseok-
seok. Dibenakku tergurat pertanyaan, “Ada apa? Mengapa mereka
begitu sulit tumbuh? Sementara di Eropa, negara-negara seperti Inggris
terus saja leading, dan pertumbuhan ekonomi mereka menapak dengan
kokoh?”
Aku terkadang tercenung, dan mencari jawaban pada lingkungan
di mana aku tumbuh. Akhirnya aku sampai pada satu titik, pada
selarik pertanyaan: “Apakah semua itu ada hubungannya dengan
imperialisme?”[9] Barangkali pertanyaan semacam itu muncul begitu
saja dari mata air nasionalisme yang berpendar dalam diriku sebagai
seorang kulit hitam. Entahlah, yang aku tahu bahwa disana—di

94 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


negara-negara Afrika, pertumbuhan ekonomi nyaris stagnan bahkan
melorot. Maklum saja, pandangan itu spontan terbentuk karena
zamanku memang mengkehendakinya lahir dan bermunculan. Zaman
di mana kolonial mulai rapuh dan banyak bangsa tengah mengalami
trasisi dari kolonialisasi menuju era baru. Pergerakan memperoleh
kemerdekaan[10] merebak di banyak bangsa terjajah, tak terkecuali di
negara-negara Afrika. Sejak dini aku diperkenalkan oleh ayahku, betapa
rasisme-kolonial tak elok untuk dibiarkan tumbuh dan terus menggerus
negara-negara berkembang.
Meskipun demikian, aku tak hendak mendeklarasikan diri sebagai
ekonom yang antiimperialisme. Bukan tak tertarik, tetapi aku ingin
menghindar dari logika biner. Salah dan benar. Baik dan buruk. Aku lebih
tertarik menisbahkan proyek intelektualku sebagai self-confidence dan
self-responsibility, ketimbang sebagai gerakan anti-imperialisme ataupun
menentang kolonialisme.[11] Meskipun proyekku ini akan bermuara
pada pembebasan negara-negara Afrika dari stagnasi ekonomi, serta
membuka mata negara-negara Eropa bahwa pertumbuhan ekonomi
mereka sesungguhnya juga terkait erat dengan dinamika ekonomi di
negara-negara di luar komunitas mereka.
Demikian, aku rumuskan satu preposisi awal dalam rangka
mendorong terjadinya transformasi ekonomi di negara-negara
berkembang, dan itu adalah: “there are a limitation of free market and
of necessity for public intervention when the marked-failed,” atau ada
keterbatasan pasar bebas dan perlunya intervensi publik ketika pasar
telah mengalami kegagalan.[12] Negara-negara berkembang idealnya
memahami preposisi ini. Dengan begitu mereka akan terdorong untuk
membuat ‘rencana pembangunan’. Aku begitu senang persis ketika akhir
Perang Dunia II, banyak negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin merancang dan memaparkan ‘rencana pembangunan’ mereka.
[13] Aku mencoba memahami rencana pembangunan yang dirancang
oleh berbagai negara, hingga aku terpanggil untuk membuat teori,
paling tidak membantu banyak negara mendesain kerangka ‘rencana
pembangunan’.
Dalam pandanganku yang paling awal, sebuah ‘rencana
pembangunan’ mestilah terdiri dari: pertama, pemetaan komprehensif
terhadap kondisi ekonomi terkini; kedua, membuat daftar tujuan dari
ekspeditur publik; ketiga, mengkaji sasaran pembangunan sektor

Bab 5 | Sang Pembongkar: Memoar atas Dilema Ekonomi 95


swasta; keempat, proyeksi makroekonomi; kelima, kajian atas kebijakan
pemerintah.[14] Setelah 5 (lima) hal tersebut dilakukan, maka
rancang ‘rencana pembangunan’ baru dapat dirumuskan. Dengan lima
unsur atau komponen ini, maka arah pembangunan di negara-negara
berkembang dapat didorong menuju pembangunan yang manusiawi,
dan berkeadilan. Bukan pembangunan yang bercorak kapitalistik, dan
hanya memenangkan sekelompok dan segelintir orang saja.
Dalam benakku sudah terekam rupa kapitalisme. Ia hanya dapat
dibedakan dari kelas atau kelompok elit lainnya melalui hasrat menabung
dan investasi produktif. Kini kelompok itu melahirkan satu kelompok
baru dalam ekonomi—kelompok yang memperlihatkan ambisi yang
berlebihan untuk mengakumulasi kapital dan keuntungan.[15] Layaknya
para pendeta yang cenderung menyimpankan kekayaan mereka dengan
cara membangun gereja dan monumen-monumen kesalehan lainnya,
maka kapitalis lebih memilih menyimpan kekayaan mereka dengan
mendirikan perusahaan dan industri yang dapat menghasilkan serta
menggandakan kekayaan mereka. Aku menyimpulkan, kondisi seperti
ini tentunya sangat menguntungkan negara tetapi tak terlalu berguna
bagi kelas marginal di negara-negara berkembang.
Satu hal yang sangat penting dimengerti, bahwa kapitalisme
industri hanya mungkin membawa kebaikan jika didalamnya tidak ada
pembatasan tenaga kerja. Bagaimana ini dapat ‘ku jelaskan? Betapa
pun ketika nalar yang merasuk ke dalam benak kaum kapitalis; hanya
sekedar akumulasi keuntungan, maka saat itulah buruh diposisikan
tak lebih berharga daripada mesin. Kondisi ini pada akhirnya akan
mereduksi kebahagian buruh, dan puncaknya membuat produktivitas
mereka kian menurun sehingga dengan otomatis akan menggurangi
tingkat keuntungan dan tingkat upah. Inilah paradoksnya jika terlalu
terfokus dan mengutamakan akumulasi profit. Maka kehadiran negara
mestilah menjadi pelindung dan regulator yang dapat memastikan
bahwa semua warga dan rakyatnya dapat memperoleh kebahagian.
Demikian pertumbuhan ekonomi adalah prasyarat bagi kebahagian
rakyat dan warga negara secara adil dan merata.
Aku sering kali menarasikan perilaku para hedonis-kapitalisme
di banyak tempat tentunya: di mana mereka kerap kali menggunakan
tabungan mereka untuk membeli banyak tanah. Hanya membeli.
Sangat tipis kemauan mereka untuk berinvestasi meningkatkan

96 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


produktivitas lahan, sehingga keinginan yang minim itu tak banyak
membantu kelompok masyarakat lainnya. Bahkan tak jarang kelompok
kapitalis hanya membeli tanah kemudian kembali menjualnya untuk
mendapatkan uang, dan bertindak sebagai pribadi yang sangat konsumtif.
[16] Perilaku semacam itu dapat ditemukan di negara-negara yang
seutuhnya mendukung ide liberalisme–kapitalistik. Pada negara-negara
berkembang, hal yang membuatku sedih dan miris sebagai ekonom,
adalah ketika pemilik tanah meniru dengan sangat masif perilaku
kapitalistik tersebut. Pemilik lahan di negara-negara berkembang tidak
hanya menjual, atau membeli tanah untuk mendapatkan keuntungan
lebih. Menurutku, perilaku semacam itu terbilang tak biasa dan tak
akan mendatangkan kebaikan pada masyarakat secara kolektif. Jelaslah
perilaku itu hanya kian memperlebar gap sosial dan ekonomi.
Idealnya bukan meniru perilaku kapitalis dalam memperlakukan
tanah, atau lahan pertanian; melainkan akan lebih layak dan baik
untuk mendorong agar lahan pertanian diproduktifkan, bukan dijual
atau memperlakukannya sekadar kapital semata. Dengan begitu,
sektor-sektor pertanian mampu menjadi pilar bagi pertumbuhan
ekonomi. Dari hal itu kemudian, aku memahami bahwa antara sektor
swasta dan negara sesungguhnya memiliki fungsi yang sama dalam
memajukan perekonomian. Idealnya tak mesti ada sikap dikotomis
dalam mengartikan: hanya negara atau sektor swastalah yang mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi. Sesungguhnya, baik swasta maupun
negara, sama-sama memiliki kekuatan bahkan idealnya harus bersinergi
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan sinergitas itu, maka
pertumbuhan ekonomi mampu mendorong penyerapan tenaga kerja
yang maksimal atau full-employment. Senada dengan itu, sering berkelabat
dibenakku pertanyaan: “... pakah ada batasan untuk menumbuhkan
sektor manufaktur?” Aku menyakini bahwa industrialisasi atau kata lain
dari upaya memperluas atau melakukan ekspansi manufaktur, mestilah
dibatasi. Pikiran tradisional mestinya kembali dipertimbangkan bahwa
industrialisasi tak boleh digeneralisir dan diberlakukan untuk semua
lapisan sosial dan masyarakat.
Aku sepakat dengan apa yang pernah diwanti-wanti oleh Adam
Smith tentang the natural progress of opulence—sebuah pemikiran yang
menilai bahwa surplus yang diperoleh dari usaha pertanian memang
terbilang kecil. Maka petani mestilah mempertimbangkan usaha

Bab 5 | Sang Pembongkar: Memoar atas Dilema Ekonomi 97


manufaktur yang mampu menopang pedapatan mereka. Mengapa
demikian? Aku sering kali menemukan di negara-negara berkembang,
bahwa kebanyakan masyarakat miskin di India Barat, menghabiskan
pendapatan mereka pada proporsi yang sangat besar pada bahan
makanan dan perumahan. Hanya sedikit dari mereka yang berpikir
untuk meningkatkan pendapatan mereka melalui ekspansi manufaktur.
Padahal jika mereka membuka sedikit pikiran, dan kesadaran dengan
berinvestasi pada manufaktur, mereka membantu anggota masyarakat
lain untuk mendapatkan pendapatan karena bekerja di sektor industri.
Bagiku “ada hal” dan barangkali mestilah ditransformasikan kepada
petani. Tujuan dari pertanian dapat dikategorikan pada dua bentuk.
Untuk diekspor atau untuk konsumsi rumah tangga. Terkait dengan
itu, agar pertanian tak berhenti pada subsistensi saja (konsumsi),
maka setidaknya ada 3 (tiga) strategi industrialisasi pertanian: 1)
mengekspor hasil pertanian; 2) mengembangkan kemandirian ekonomi,
dan memperkuat home-industry; 3) mengekspor hasil-hasil industri.
Ketiga strategi tersebut, bukan untuk dijalankan secara terpisah. Agar
ia mampu menjadi solusi bagi negara berkembang, dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang; maka upaya
mendorong industrialisasi pertanian sangat strategis dilakukan. Aku
sadar dan akan terus menyakini antara ekonomi-tradisional dan ekonomi
industri, mestilah disenergikan agar ia mampu menjadi solusi dari
negara-negara berkembang.

Theodore Schultz (1902-98)


ADA ekonom lain selain Arthur W. Lewis yang
berupaya mengajarkan ekonomi pembangunan dan
menjadikannya sebagai metode untuk meningkatkan
perekonomian negara-negara berkembang. Ternyata
Arthur W. Lewis tak sendirian. Ekonom itu adalah
Theodore W. Schultz. Lahir di pemukiman petani,
tak begitu jauh dari Arlington, Dakota Selatan.
Persis pada 30 April 1902. Ia mangkat pada 29 Februari 1998. Schultz
merupakan anak ke delapan. Ia memiliki 4 (empat) saudara dan 3 (tiga)
saudari perempuan. Lahir dari keluarga petani, membuat Schultz sulit
98 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi
mengekspresikan diri dan terhambat untuk mendapatkan pendidikan.
Keinginan untuk sekolah pada kelas menengah harus ia urungkan, karena
keadaan menuntutnya terjun sebagai petani dan membantu keluarganya.
Tetapi nasib baik berpihak padanya. Tahun 1921, ia mendapatkan
kesempatan untuk berpartisipasi dalam short course di Perguruan Tinggi
Negeri, Dakota Selatan. Seseorang telah merekomendasikan dirinya.
Ada ketidakbiasaan dan keunikan di dalam diri Schultz kecil. Sepanjang
kursus singkat yang ikuti, Schultz mengesankan para guru-gurunya.
Tahun 1924, Schultz diterima sebagai murid reguler. Tiga tahun
kemudian berhasil menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh
gelar kesarjanaannya pada tahun 1927. Tak membuang-buang waktu,
ia melanjutkan pendidikan di program pascasarjana di Universitas
Wisconsin; dan kemudian pada tahun 1930 memperoleh gelar Ph.D.
Reputasi akademik telah menghantarkan dirinya dipercaya sebagai
asisten profesor di Iowa State College hingga tahun 1943. Tak lama
berselang ia pindah ke Universitas Chicago. Karakter Schultz yang
sangat menjunjung tinggi kebebasan akademik, telah menjadikan
dirinya sebagai pribadi yang merdeka dan bebas berekspresi dalam
mengembangkan karir akademiknya. Mary Jean Bowman (1980) dengan
sangat atraktif menjelaskan kesannya yang mendalam terhadap Schultz.
Begitu juga Marc Nerlove; terutama ketika Theodore Schultz meraih
penghargaan nobel ekonomi.
Kesan yang mendalam terhadap Theodore Schultz tak hanya
dirasakan oleh mahasiswa, kolega, dan kalangan lainnya terhadap diri
Schultz. Mereka mengambarkan Schultz sebagai pribadi yang terbuka,
dan sangat serius pada hal yang berbau intelektual. Tak mengherankan
jika ada banyak komentar positif yang dikirimkan oleh berbagai kalangan
kepada Schultz, baik secara langsung terutama melalui surat. Mahasiswa
yang dibimbing oleh Theodore Schultz sangat terkesan dengan
keluwesannya dalam bidang ekonomi. Tak hanya itu, Schultz adalah
profesor yang sangat terbuka dan begitu mudah diakses; ia tak hanya
menyediakan waktunya bagi mahasiswa saja tetapi juga bagi kalangan
nonakademik yang membutuhkan nasihatnya. Adalah Anne O. Krueger
yang menceritakan kesan positifnya terhadapTheodore Schultz. Suatu
hari Anne O. Krueger berkisah:
“... dulu aku pernah mengirimkan paper/makalahku kepada
Theodore Schultz tentang The Role of Human Capital Differentials in

Bab 5 | Sang Pembongkar: Memoar atas Dilema Ekonomi 99


Explaining Income Differences among Nations. Ia membaca paper-ku
dengan sangat hati-hati. Bahkan ditengah kesibukan dan jadwalnya
yang begitu padat, ia sempatkan mengirim komentarnya terhadap
makalahku itu. Aku terkesan, profesor sangat appresiatif. Ia
mengundangku untuk mempresentasikan paper di konferensi
yang diorganisir sendiri oleh Prof. Theodore Schultz. Jujur betapa
terkesannya aku dengan kebersahajaan Schultz. Aku lebih terkejut
ketika Schultz penuh harap, agar diriku menjadi asisten profesor
membantu dirinya. Bagiku ini satu kehormatan yang sangat besar
dan tak biasa.”
Kebersahajaan yang begitu kuat menghantarkan Schultz menjadi
ekonom yang diterima oleh berbagai kalangan. Pemikiran dan teorinya
banyak diserap, bahkan dijadikan dasar kebijakan ekonomi. Kendati
demikian, Theodore Schultz sepertinya sangat senang dengan ekonom
muda yang menunjukkan antusiasme terhadap teori dan pemikiran
yang dikembangkannya. Schultz membutuhkan beberapa tahun untuk
mengkader ekonom muda, agar mengerti dan menjadi “lidah”—ekonom
muda yang sukarela memperkenalkan penemuan teori ekonomi yang
dirumuskan oleh Theodore Schultz. Lalu apakah teori-teori unik Schultz
yang tidak hanya melejitkan namanya, tetapi juga berkontribusi terhadap
pengembangan ilmu ekonomi?

MENURUTKU, dasar filosofis dari teorema human capital adalah proses


pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan suatu bentuk
konsumsi semata-mata, akan tetapi merupakan suatu investasi. Karena
human capital, sesungguhnya, terdiri dari akumulasi investasi prioritas
berupa pendidikan; training; kesehatan; migrasi; dan faktor lainnya
yang dapat meningkatkan produktivitas. Tak heran jika aku meyakini
bahwa buruh dapat berubah menjadi kapitalis melalui peningkatan
ilmu dan skill yang memiliki nilai ekonomi. Atas dasar itu kemudian
aku memandang, dan menyakini bahwa investasi human capital adalah
cara terbaik untuk meningkatkan pendapatan, sekaligus menjamin
terjadinya perubahan status sosial seseorang.
Disamping teori investasi human capital, aku juga telah memperkenalkan
teori pertanian sebagai basis pertumbuhan ekonomi persis sama

100 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


dengan pandangan Arthur W. Lewis. Dalam pandanganku yang paling
sederhana, pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang dapat
diwujudkan melalui transformasi pertanian. Sepanjang tahun 1950-
an, negara-negara berkembang dan umumnya ekonom yang telah
memberi saran kepada negara tersebut untuk menerima pandangan
bahwa pertanian mampu memberikan kontribusi positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Dalam pengamatan yang ‘ku lakukan secara
intens, pembangunan ekonomi mestilah dipahami secara berbeda.
Ia merupakan pemecahan masalah yang tak dapat diterapkan dalam
perekonomian normal.
Ada berbagai hambatan dan halangan terhadap perekonomian.
Aku mengategorikan hambatan itu ke dalam cultural obstacles dan
structural rigidities, atau hambatan kultural dan kekakuan struktural.
Ketergantungan pada komoditas primer dan fenomena lain yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi berbeda antara satu negara
dengan negara lain. Dalam konteks ini, aku sering kali menemukan
bahwa masyarakat yang cenderung menggunakan metode tradisional
dalam pertanian, sangat sulit merubah pola dan metode pertanian.
Ini tak hanya persoalan kultural semata. Tetapi juga disebabkan oleh
ketiadaan insentif dari negara, atau barangkali kebijakan yang bersifat
struktural dan fundamental tak pernah dirumuskan oleh negara
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Mungkin negara-negara
berkembang sangat terobsesi pada industrialisasi, dan melupakan
keunikan atau differensiasi ekonomi yang mereka miliki. Hal ini, dalam
pandanganku, menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi
negara-negara berkembang.
Dalam pandangan ekonom pada umumnya, selalu ada makan
siang gratis—zero marginal product of labor: “Setiap orang yang berusaha
meningkatkan modal, akan mendapatkan tambahan tabungan dan
tenaga kerja karena adanya transformasi dari pertanian tradisional ke
industrialisasi.”[17] Sering kali nalarku bertanya, “benarkah demikian?”
Industrialisasi pertanian hanya dapat dilakukan melalui peningkatan skill
dan memodernkan teknologi pertanian. Hal tersebut tentunya harus
sejalan dengan peningkatan pengetahuan petani. Dengan demikian,
maka diduga bahkan dapat dipastikan akan terjadi peningkatan
pendapatan serta kemakmuran petani. Pemikiran semacam itu tiba-tiba
merasuki otak dan memengaruhi emosi intelektualku. Bukan tanpa

Bab 5 | Sang Pembongkar: Memoar atas Dilema Ekonomi 101


alasan dan dasar, tetapi didorong oleh kenyataan yang aku amati, bahwa
masih banyak masyarakat dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Sementara itu, mereka bergelut di sektor pertanian. Bagiku hal ini sangat
dilematis: artinya ada sesuatu yang salah dalam sektor pertanian. Ini
kemudian yang mendorongku untuk menyelidiki pola dan karakteristik
pertanian di negara-negara berkembang, dan mencari metode yang tepat
untuk mentransformasikannya menjadi sektor unggulan yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pertanian dan petani adalah pilar pembangunan ekonomi. Tidak
hanya sebagai warga, tetapi juga sebagai aktor ekonomi. Namun
hal itu menuai polemik dibenakku, “mengapa kebanyakan negara-
negara berkembang masih terjebak dengan persoalan kemiskinan.
Bukankah negara berkembang meletakkan pertanian sebagai fondasi
perekonomian.” Polemik ini menguras energiku; bertahun-tahun aku
curahkan tenaga dan pikiran untuk menjawab polemik ini. Satu ketika
aku bertemu akarnya, dan itu adalah perilaku masyarakat miskin di
negara-negara berkembang. Tak mudah memahami itu bagiku, begitu
juga oleh ekonom lainnya. Aku kesulitan menentukan preferensi dan
permasalahan kelangkaan, scarcity yang menentukan corak pilihan
masyarakat miskin. Jamak diketahui bahwa mereka bekerja dan
mendapatkan income lalu menghabiskannya hanya untuk membeli
makanan. Pun, mereka bekerja di sektor pertanian dan mayoritas
hidup di negara-negara miskin. Ekonom, termasuk diriku terkadang
gagal memahami perilaku orang-orang miskin yang lebih cenderung
meningkatkan jumlah keturunan atau anak-anak mereka ketimbang
orang-orang kelas atas. Tak heran jika kebanyakan orang-orang miskin di
negara-negara berkembang memiliki anak yang lebih banyak ketimbang
orang-orang kaya.
Aku juga menemukan paradoks lainnya di negara-negara
berkembang—negara-negara berkembang biasanya terjebak pada logika
‘intensifikasi pertanian’. Menariknya, pertanian justru bukan menjadi
fondasi ekonomi melainkan menjadi mekanisme untuk memproduksi
pangan bagi rakyatnya, dan itu menjadikan sektor pertanian menjadi
sektor yang baru sebatas konsumtif. Padahal pertanian secara esensial
dapat meningkatkan pendapatan kelompok miskin di negara-negara
berkembang. Tentu saja perlu reformasi paradigmatik yang kuat dan

102 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


mendasar agar sektor pertanian dapat menyelamatkan kelompok miskin.
Perlu ada transformasi pemahaman dari keyakinan konvensional di
mana faktor-faktor seperti ruang, energi, dan lahan bukanlah faktor
penentu dalam meningkatkan kesejahteraan petani miskin, melainkan
upaya meningkatkan kualitas populasi masyarakat miskin adalah faktor
paling menentukan dalam mendorong kesejahteraan.
Dalam konteks ini, izinkan aku untuk menyampaikan dua
kesalahan paling mendasar dari ekonom dalam membangun proposisi
tentang kemiskinan di negara-negara berkembang. Pertama, pre-
asumsi yang terlanjur dibangun bahwa standar teori ekonomi tidaklah
memadai untuk memahami negara-negara dengan pendapatan rendah.
Dibutuhkan pemisahan teori ekonomi agar struktur persoalan ekonomi
negara-negara berkembang dapat dipahami. Ekonom, termasuk diriku
sendiri, jika ingin memahami akar persoalan ekonomi yang dihadapi
oleh negara berkembang, perlu kembali pada penjelasan kultural dan
sosial. Namun disayangkan, tak sedikit ekonom yang menolak untuk
menggunakan penjelasan kultural dan sosial, atau meminta bantuan
pada metode sosiologis dan antropologis. Tak sedikit yang menilai,
usaha semacam itu adalah kemunduran paling telak dalam ilmu
ekonomi. Sedikitpun aku tak setuju dengan pandangan itu. Bagiku,
masalah kemiskinan bukan hanya persoalan kebijakan dan sistem
ekonomi an sich, tetapi ia berkaitan erat dengan aspek kultural dan sosial
yang melekat pada diri subjek atau aktor ekonomi.
Kedua, menolak sejarah ekonomi. Sejatinya, ekonomi klasik
dikembangkan ketika kebanyakan masyarakat Eropa masih terjebak pada
kemiskinan, dan masih berkutat dalam persoalan subsistansi. Dalam
memperingati ulang tahun David Ricardo, aku pernah mendapatkan
informasi betapa setengah dari keluarga buruh di Inggris tergolong
kelompok miskin. Marshal (1920) pernah bertutur padaku:
“... English labourers’ weekly wages were often less than the price of a half
bushel of good wheat.”
Marshal hendak menegaskan bahwa tingkat upah di Inggris
begitu rendah, sehingga untuk membeli makanan saja mereka nyaris
tak mampu. Begitu juga di India. Bahkan di India banyak masyarakat
yang hidup di bawah bayang-bayang Ricardian. Memahami persoalan
tersebut tentunya, membutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap

Bab 5 | Sang Pembongkar: Memoar atas Dilema Ekonomi 103


pengalaman dan perilaku kelompok miskin. Dengan cara itu kemudian
masalah dan faktor-faktor mengapa negara-negara berpenghasilan
rendah melahirkan banyak kantong-kantong kemiskinan. Ah, betapa
kemiskinan itu terlalu rumit. Entah diriku yang memperumitnya,
sehingga untuk memahaminya aku mesti terlibat perdebatan
metodologis dengan ekonom lainnya. Demikianlah faktanya. Tak banyak
yang dapat ‘ku perbuat melainkan dengan semangat dan energi yang
masih tersisa aku berusaha memahami dan membongkar hal-hal yang
luput atau diabaikan oleh para ekonom. Berusaha agar tak terjebak
dengan kesalahan yang sama—mengabaikan bahwa ekonomi adalah
sejarah yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Maka kemiskinan juga
demikian, ia adalah sejarah yang lahir dari rahim manusia dan interaksi
yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.
Memahami kemikisnan lebih dari sekadar pemaknaan atas struktur
ekonomi. Ia meliputi tafsir terhadap perilaku dan budaya subjek
kemiskinan. Jauh dalam benak, dan keyakinan ilmiah yang tumbuh
dalam diriku: tak ada salahnya, bahkan dapat dinilai sebagai keniscayaan
untuk memahami kemiskinan dengan memperhatikan aspek-aspek
sejarah, budaya, dan sisi sosial dari subjek kemiskinan tersebut. Betapa
pun, kemiskinan bukanlah pilihan. Tetapi ia adalah produk dari sistem
sosial, budaya, dan sistem ekonomi yang berkembang. Sebagai sebuah
produk, kemiskinan mesti dilihat sebagai sebuah hasil dari proses
yang terus-menerus berlangsung, bahkan mungkin dipelihara; entah
oleh elit, negara, dan pemodal yang berada di balik semua permukaan
yang tampak.

Aku masih memiliki optimisme, ketika ‘ku menyaksikan betapa


luasnya daratan yang dimiliki oleh negara-negera berkembang. Potensi
daratan itu, sungguh memadai untuk menyediakan makanan (food) bagi
penduduk. Kendati aku sering kali dihadapkan pada teori yang sangat
dilematis: “... pertumbuhan populasi mengikuti deret hitung, sementara
pertumbuhan lahan pertanian mengikuti deret angka.” Artinya lahan
pertanian sangat terbatas, sementara pertumbuhan penduduk terus
mengalami peningkatan. Secara simplisitas, memang dapat disimpulkan
peningkatan penduduk yang begitu cepat tak akan mampu diimbangi

104 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


oleh peningkatan lahan pertanian. Maka defisit pangan akan menjadi
ancaman bagi negara-negara berkembang. Namun ‘ku masih tetap
optimis. Kemajuan teknologi dan pengetahuan yang dimiliki manusia,
akan menjadi solusi terbaik dari dilema teoretis tersebut.
Aku harus meninggalkan pandangan the natural view—keterbatasan
lahan tak sebanding dengan pertumbuhan populasi, dan beralih ke
pandangan yang seutuhnya disebut the social-economic view, di mana
manusia sejatinya mampu dan sanggup mengoptimalkan lahan selama
cara pandang tradisional dalam mengelola sektor pertanian direduksi.
Argumentasi yang dapat ‘ku utarakan adalah bantuan riset, dan
diperkuat oleh penggunaan teknologi dapat meningkatkan produktivitas
petani. Dengan demikian, argumentasi David Ricardo dan kekhawatiran
Malthusian sudah dapat dievaluasi. Meski ironi, melabelkan ilmu
ekonomi sebagai dismal science, masih terus berlangsung.
Tidak sedikit ekonom yang mengamini doktrin dismal science, tetapi
tidak demikian dengan diriku. Meski mereka berpandangan bahwa
tak ada hubungan yang kuat antara the natural eart view dengan sejarah
ekonomi. Aku justru berpikir sebaliknya—ada hubungan yang sangat
jelas dan terang dihadapanku. Dalam benakku tergambar dengan sangat
jelas, betapa sejarah dapat menjelaskan bahwa sumber daya pertanian
dapat ditingkatkan melalui peningkatan ilmu pengetahuan. Setidaknya
aku sependapat dengan Margaret Mead: “The future of mankind is open
ended,” ujarnya. Masa depan manusia sesungguhnya tak tergantung pada
energi, ruang, dan lahan pertanian. Namun, sesungguhnya ditentukan
oleh teknologi dan pengetahuan manusia dan sangat tergantung pada
evolusi intelegensi manusia itu sendiri.
Menurutku perbedaan produktivitas tanah bukanlah variabel yang
dapat menjelaskan mengapa kemiskinan masih terjadi di seantero
dunia. Aku menemukan di India, pada beberapa dekade masyarakatnya
berada di bawah garis kemiskinan meskipun mereka menetap di
daerah resepan air tanah yang tinggi, atau pun rendah. Sementara itu
di Afrika kebanyakan masyarakatnya hidup di tanah yang tak dapat
diproduktifkan seperti di daerah gurun Sahara. Mereka pun terjebak
pada kemiskinan. Jadi, menurutku perlu pemahaman yang lebih radikal
terkait kemiskinan masyarakat petani ini. Bagiku persoalan yang rumit
itu dapat disederhanakan, ketika ekonom dapat berpikir di luar doktrin
dismal science yang kaku. Meskipun mereka hidup dan bekerja pada lahan-

Bab 5 | Sang Pembongkar: Memoar atas Dilema Ekonomi 105


lahan tak produktif tetapi dengan bantuan riset dan pengembangkan skill
petani, setidaknya sangat membantu mereka mempelajari spesialisasi
varietas yang dapat mereka tanam di lahan tak produktif, gersang dan
tak subur.
Satu kalimat yang dapat ‘ku utarakan terkait persoalan di atas,
yakni: “... modernisasi pertanian adalah solusinya: menurunnya nilai
ekonomis lahan pertanian mestinya diimbangi dengan peningkatan
human capital—skill dan pengetahuan.” Pandanganku ini sepertinya
berlawanan dengan konsep David Ricardo yang menitik-beratkan pada
kemampuan dan produktivitas tanah an sich. Maka untuk negara-negara
berkembang, hal itu jelas bukanlah solusi. Ekonom sepertiku, dituntut
dapat mencarikan jalan yang lebih radikal untuk menolong negara
berkembang, dan petani-petani yang menghabiskan umur serta usia
mereka dalam jeratan kemiskinan. Dorongan agar masyarakat petani
meningkatkan skill dan pengetahuan, diduga dapat membantu mereka.
Dengan kemiskinan yang membelit, mereka tak mungkin diharapkan
dapat membeli lahan pertanian. Dipastikan mustahil. Dalam keadaan
seperti itu, training dan program dari negara yang intensif meningkat
pengetahuan pertanian dan skill agaknya mampu membantu mereka
keluar dari jerat-jerat kemiskinan.
Hal lain, memang tak berhubungan ilmu ekonomi, tetapi dapat
dijadikan solusi bagi kemiskinan di negara-negara berkembang
adalah dorongan terjadinya mobilitas sosial vertikal. Mendorong
meningkatnya status sosial petani, dan anak-anak mereka. Negara
dapat meningkatkan investasi, atau program jaminan sosial yang
ditujukan untuk meningkatkan kualitas populasi; prospek ekonomi;
dan tingkat kesejahteraan petani, atau bahkan masyarakat miskin
lainnya. Dengan cara itu, mereka dapat meningkatkan perhatian pada
anak-anak mereka. Tersedianya rumah yang layak dan kesempatan
menempuh jenjang pendidikan adalah bentuk konkret dari iktikad
baik negara untuk meningkatkan kualitas penduduk—aspek sosial dan
perekonomian. Dengan meningkatkan investasi di kantong-kantong
kemiskinan pada negara-negara berkembang, akan membuat prospek
ekonomi dan tingkat kesejahteraan akan terus membaik. Dipikiran
saya, petani miskin di negara-negara berkembang dan berpendapatan
rendah bukanlah tawanan dari ketidakseimbangan ekonomi. Negara dan
agen ekonomi lainnya wajib menolong serta mengeluarkan mereka dari

106 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


jebakan kemiskinan. Meningkatkan investasi human capital, baik oleh
negara; pelaku ekonomi adalah cara terbaik untuk menolong mereka.
Bagi ekonom lain yang bertemu, dan bertukar pikiran denganku:
barangkali mereka melihat diriku sebagai seorang yang tergila-gila
dengan isu-isu human capital atau terlalu terobsesi meneliti sumber daya
manusia. Mereka ada benarnya. Sebab dipikiranku, human capital adalah
sumber-sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang sangat luar
biasa dan kokoh. Tak heran jika aku sangat tertarik melakukan studi
terhadap perubahan faktor-faktor produksi—tanah; tenaga kerja; dan
kapital. Itu aku lakukan setelah aku menemukan ketidakmampuan
ilmu statistik menjelaskan pertumbuhan ekonomi terutama yang
berhubungan dengan persoalan kultural dan institusional di balik
kemiskinan masyarakat petani di negara-negara berkembang.
Berangkat dari kenyataan tersebut, agak naif, aku melayangkan
kritik pedas terhadap pengambil kebijakan di negara-negara
berkembang—negara. Kritik paling mendasar yang ‘ku sampaikan
adalah “Mengapa petani di negara-negara berkembang masih saja
miskin, sementara negara dan kepala pemerintah di negara tersebut
mengembar-gemborkan surplus beras, gandum, dan jagung. Mengapa?”
Kritik ini kemudian aku tulis menjadi satu artikel yang berjudul The
Economic of Being Poor. Artikel ini kemudian aku paparkan ketika aku
dianugerahi Nobel Prize bersama kolegaku, Arthur W. Lewis. Artikel
pendek itu merupakan refleksi dari perjalananku mengunjungi daerah
rural di Amerika Latin dan Asia. Artikel yang sangat emosional, tentunya
sangat reflektif, atau di hadapan negara bisa terbilang serta terkesan
sebagai tulisan pedas, penuh ledekan, juga naif. Itulah sebuah fakta yang
‘ku lihat dengan mataku sendiri. Pikiranku bergerak mencari akarnya.
Pada satu titik, aku temukan jawabannya.
Izinkanku kembali mengulang refleksi tersebut:
“The mere thought of investment in human beings is offensive to some among
us. Our values and beliefs inhibit us from looking upon human beings as
capital goods, except in slavery, and this we abhor. To treat human beings
as wealth that can be augmented by investment runs counter to deeply held
values. It seems to reduce man once again to a mere material component,
something akin to property. And for man to look upon himself as a capital
good, even if it did not impair his freedom, may seem to debase him. . . (But)
by investing in themselves, people can enlarge the range of choice available

Bab 5 | Sang Pembongkar: Memoar atas Dilema Ekonomi 107


to them. It is one way free men can enhance their welfare” (Schultz, 1961,
p.2).
Dengan kebijakan investasi yang tepat, negara sesungguhnya
dapat menyelamatkan kelompok marginal seperti petani yang terjebak
dengan kemiskinan. Disini ‘ku ingin menegaskan, aku tak bermaksud
mengangkat petani semata, tetapi kemiskinan petani di negara-negara
berkembang hanyalah pintu masuk bagiku untuk menguak akar
persoalan—kemiskinan, di negara-negara berkembang yang memang
berpendapatan rendah. Saranku terhadap petani, sesungguhnya juga
menjadi nasihatku pada kelompok marginal lainnya—agar mereka
terus meningkatkan skill dan pengetahuan mereka. Itulah yang akan
menyelamatkan, dan mendorong terjadinya mobilitas sosial vertikal.
Status sosial mereka akan meningkat, dan membaik dengan skill dan
pengetahuan yang ditingkatkan terus-menerus, dan negara mestilah
mengusahakannya. Semoga usaha-usahaku menemukan jawaban atas
dilema kemiskinan di negara-negara berkembang tak selesai pada titik
ini saja—hanya menjadi artefak saja, tetapi aku punya harapan agar ia
menjadi doktrin yang diamalkan, dirumuskan ke dalam kebijakan oleh
negara-negara berkembang. Semoga.

108 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Catatan Akhir (Endnotes)
1
Ibid., hlm. 108.
2
Ibid., hlm. 109.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Norman Girvan. 2005. Lewis for the 21st Century. Journal of Social and
Economic Studies, 54: 3 (September 2005)., hlm. 2.
9
Ibid., hlm. 3.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Ibid.
13
W. Arthur Lewis. 2005. Development Planning: The Essentials of Economic
Policy. (New York: Routledge)., hlm. 1.
14
Ibid., hlm. 2.
15
Daniel B. Klein, Ryan Daza & Hannah Mead. 2013, Arthur Lewis:
Ideological Profiles of the Economics Laureates. Econ Journal Watch, Vol. 10.,
No. 3-September.., hlm. 430.
16
Ibid.
17
D. Gale Johnson. Theodore William Schultz: A Biographical Memoir.
(Washington, D.C: The National Academy Press)., hlm. 9.

Bab 5 | Sang Pembongkar: Memoar atas Dilema Ekonomi 109


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
)
6
Gary S. Becker (b. 1930)

RATIONAL CHOICE:

)
MEMOAR ATAS PILIHAN
RASIONAL DAN PERILAKU
MANUSIA

Who, he is?
Lahir di Pottsville, Pennsylvania, Amerika
Serikat pada tahun 1930. Tak terlalu lama
menikmati masa kecil di daerah kelahiran,
ia mesti mengikuti keluarganya pindah
ke Brooklyn, New York. Di kota baru itu
ia memulai pendidikannnya. Ia dikenal
sebagai murid yang baik, dengan bakat
yang sangat baik di bidang matematika.
Meskipun ketika dirumahnya—di meja
makan, ia dan keluarganya lebih sering
membahas politik dan keadilan. Tanpa
disadari diskusi yang intens dan mendalam
tentang dua tema itu, menjadikan dirinya sebagai seorang intelektual
yang peduli pada kehidupan sosial dan masyarakat.[1] Ia mengaku
minatnya terhadap ilmu ekonomi merupakan kecelakaan dan sangat
kebetulan (accidentally).

111
Kisah itu bermula ketika dirinya masuk dan kuliah di Universitas
Princenton. Awalnya Becker mengambil banyak kursus matematika
di universitas itu. Tetapi perlahan ia sadar, pilihan dan minatnya itu
tak akan berkontribusi kepada kehidupan sosial. Matematika dalam
pandangannya adalah ilmu yang “buta sosial”—ilmu yang tidak concern,
dan tak terinspirasi dari masalah dan realitas sosial yang ada dan terus
bertumbuh di masyarakat. Kesadaran semacam ini mendorongnya
untuk mencari kanal lain, dan berkontemplasi lebih intens pada
sosiologi. Namun, ia merasa belajar sosiologi sangatlah berat. Akhirnya
memutuskan untuk mendalami ekonomi dan berusaha memahami
teori-teori sosial. Mendapatkan gelar sarjana pertamanya (B.A) dari
Universitas Princenton pada tahun 1951. Kemudian menamatkan studi
ilmu ekonomi di Universitas Chicago.
Gary S. Becker ketika belajar di Universitas Chicago bertemu
dengan Jacob Viner, Milton Friedman, dan George Stigler. Pada
tahun 1953 Becker mendapatkan gelar MA dari Universitas Chicago.
Selama studinya di Universitas Chicago, ia intens belajar dan berguru
pada Milton Friedman. Bahkan diakuinya Milton Friedmanlah yang
memengaruhi riset yang dilakukan oleh Becker. Kepakarannya dalam
bidang ekonomi, membawa Becker menjadi asisten profesor di Chicago.
Namun pada tahun 1957, ia pindah ke Universitas Columbia, New York.
Disamping sebagai asisten profesor, dirinya juga bekerja di The National
Bureau of Economic Research (NBER). Profesinya ia menyediakan banyak
dana bagi Becker untuk menghasilkan teori ekonomi dan penelitian
yang progresif.
Terkait hal itu, Becker pernah berseloroh:
“I felt I would become intellectually more independent if I left the nest and had
to make it on my own. I have always believed this was the correct decision,
for I developed greater independence and self-confidence than seems likely if
I remained at Chicago.” (Nobel Foundation: 2004).
Selama 12 tahun di New York, Becker merasa sudah mendapatkan
“feel” intelektualnya serta menemukan style-nya sendiri. Dengan
demikian, ia memutuskan untuk kembali ke Chicago, tempat dirinya
mendapat Ford Foundation Visiting Professor of Economics dari tahun
1969 hingga 1970. Kemudian menjadi profesor ekonomi dari tahun 1970
hingga 1983. Tahun 1983 adalah era yang penuh kejutan bagi Becker.

112 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Ia diundang bergabung oleh Fakultas Sosiologi Universitas
Chicago, persis ketika dirinya tengah tekun dan intens mengeluti ilmu
ekonomi. Dedikasinya terhadap ilmu ekonomi, menghantarkan Gary
S. Becker menjadi ekonom prolific yang diakui oleh berbagai kalangan
dan komunitas akademis. Sepanjang karirnya sebagai ekonom ia telah
mendapatkan berbagai penghargaan seperti W.S. Woytingsky Award
dari Universitas Michigan (1964); pada tahun 1967 ia mendapatkan
the American Economic Association’s John Bates Clark Medal; pada
tahun 2000 Becker juga mendapatkan the National Medal of Science
Award. Puncak reputasinya adalah ketika dirinya mendapatkan the
Nobel Memorial Prize in Economics atas proyek intelektualnya
mengembangkan domain analisis mikroekonomi ke dalam kerangka
perilaku manusia (human behaviour) dan interaksi, termasuk juga perilaku
nonpasar (non-market behaviour).[2] Gary S. Becker kemudian populer
dengan pendekatan atau metodenya yang unik dalam menjelaskan
isu-isu ekonomi. Ada karakter yang kuat dalam setiap karya akademik
Becker, ia sering menggunakan pendekatan basic economics untuk
menganalisis masalah sosial, dan institusional seperti diskriminasi,
kriminalitas, dan hukuman. Becker menegaskan bahwa dirinya adalah
intelektual yang sering kali berpikir di luar tradisi ilmu ekonomi, tetapi
dengan cara itu ia menjadi autentik sebagai seorang ekonom. Memahami
seorang ekonom Gary S. Becker, tak cukup jika hanya membaca narasi
yang dilaporkan oleh orang lain, tetapi akan lebih terang jika narasi
itu memberikan ruang dialog yang di-setting demikian rupa sehingga
seolah-olah Becker tengah bercerita dan berdialog dengan kita sebagai
pembaca.

PERKENANKAN diriku memaparkan beberapa proyek intelektualku:


Sering kali aku dihadapkan pada satu asumsi yang repetitif—
diulang-ulang oleh banyak ekonom, bahwa perilaku individu tidak
secara langsung dipengaruhi oleh tindakan orang lain.[3] Aku mencoba
mengelaborasi pandangan itu lebih luas lagi—ke domain yang sepenuh
bersifat humanitas ke sesuatu yang seutuhnya ekonomis. Aku berusaha
menghubungkan asumsi tersebut dengan aktivitas; dan fenomena
ekonomi. Dengan cara itu, aku percaya bahwa perilaku orang lain

Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 113
atau perusahaan lain tentunya menentukan perbedaan harga satu
produk, dan perlakuan terhadap tenaga kerja, kapital, bahkan juga
mampu memengaruhi kehidupan politik yang seutuhnya dipermukaan
berbeda dengan ekonomi. Keyakinan asiomatik semacam itu, ‘ku
temukan begitu kuat dalam tradisi antropologi dan sosiologi. Mereka
yang mengajarkanku bahwa ekonom mesti memahami betapa posisi
budaya; norma dan struktur sosial penting dipertimbangkan.[4] Tak
sedikit ekonom membantah, dan engan menerima kenyataan tersebut.
Mereka percaya bahwa tiga hal tersebut (budaya, norma, dan struktur
sosial) bukanlah domain ilmu ekonomi, dan tidak terlalu membantu
menganalisis pengaruh sosial terhadap perilaku manusia.[5]
Ilustrasi sederhana:
“... betapa banyak restauran terkenal juga buku best seller,
mempertimbangkan selera yang tengah berkembang di dalam
masyarakat; begitu juga preferensi sesorang terhadap kandidat
politik dipengaruhi oleh polling yang menginformasikan tingkat
popularitas kandidat tersebut.”[6]
Lihatlah bagaimana perilaku dan pola tindakan manusia sangat
ditentukan oleh faktor eksternal—sesuatu yang seutuhnya berada di luar
dirinya. Pertanyaan yang sering hinggap di benakku: “... Apakah seorang
gadis perawan yang berusaha mendapatkan kebahagian dipengaruhi
oleh tetangganya yang juga berebut untuk menjadi bahagia melalui
pernikahan?”, “... apakah model pakaian, selera desaigner, pelukis,
dan produk yang dirancang oleh arsitektur sepenuhnya dipengaruhi
oleh selera pimpinan, pejabat, dan selebritis?” Pertanyaan semacam itu
justru membinggungkan para ekonom. Terlebih jika melepaskan diri dari
pertimbangan dan konteks budaya; norma dan struktur sosial. Aku tidak
mau terjatuh dan terperangkap pada kebinggungan yang sama. Maka
aku menerima tradisi sosiologi dan antropologi yang sangat membantu
diriku dalam menganalisis fenomena dan gejala ekonomi.
Aku percaya bahwa perilaku individu mendapatkan tekanan yang
kuat dari struktur sosial ataupun sebaliknya.[7] Di luar sana tak
jarang kita menemukan betapa perilaku dan pola konsumsi masyarakat
ditentukan oleh informasi yang mereka pelajari dan diterima,
khususnya dari media massa dan elektronik. Misalnya, iklan di televisi
memberikan sugesti bahwa Michael Jordan hanya mengonsumsi sereal
dalam jumlah yang sedikit. Iklan ini tentunya akan memengaruhi

114 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


tingkat konsumsi anak-anak dan orang dewasa untuk mengonsumsi
sereal. Dengan motivasi bahwa mereka ingin dan akan mengimitasi
diri dengan idola mereka, Michael Jordan. Fakta menarik yang tengah
berkembang di mana tidak hanya orang dewasa, tetapi saat ini anak-
anak remaja juga belajar dari gosip yang ditayangkan secara rutin di
televisi dan diberitakan oleh media massa.[8] Fakta-fakta tersebut kian
memperkukuh keyakinanku bahwa perilaku bukanlah sesuatu yang
tunggal dan bebas nilai. Ia tentunya dipengaruhi oleh hal yang berada
di luar diri manusia itu sendiri.
Pandangan lain yang ingin ‘ku tunjukkan adalah teori harga—
bagaimana faktor-faktor sosial turut memengaruhi harga. Mengelaborasi
dan mencari teori pendukung atas pandangan itu, aku dengan intens
mengkaji pandangan-pandangan James Coleman. Dari tokoh tersebut
‘ku mampu mengetahui bahwa antara kekuatan sosial dan perilaku pasar
memiliki hubungan yang kuat, serta saling memengaruhi.[9] Melalui
karyanya Foundation of Social Theory (1990), di mana ia menganalisis
pengaruh modal sosial dan bidang sosial lainnya terhadap perilaku.
[10] Sama dengan James Coleman, ketertarikanku untuk mendalami
hubungan antara faktor sosial dan perilaku pasar sesungguhnya semakin
bertambah kuat ketika aku dan James Coleman dipertemukan pada satu
forum ilmiah tentang Rational Choice in The Social Science. Kami berdua
terkejut ketika menemukan setelah membaca ulang karya Thorstein
Veblen, Theory of The Leisure Class (1934). Meski tidak terlalu sistematis,
tetapi Veblen telah memberikan secercah cahaya bahwa interaksi sosial
adalah hal penting dalam ilmu ekonomi modern—melalui interaksi
sosial sesungguhnya pola perilaku manusia menemukan bentuknya yang
paling autentik. Begitu juga dengan Thomas Schelling melalui karyanya
Micromotives and Macrobehavior (1978), telah menunjukkan fakta yang
tak kalah menariknya bahwa ada pengaruh kekuatan sosial terhadap
perilaku. Ia melahirkan satu asumsi filosofis bahwa preferensi individu
sesungguhnya amat ditentukan oleh variabel-variabel di luar dirinya,
seperti masyarakat dan lingkungan, ras, pendapatan, dan struktur
sosial. Dalam kondisi itu kemudian akan terjadi dinamika pilihan atau
the dynamics of choices.[11]
Dengan asumsi tersebut memungkinkan Thomas Schelling
menganalisis keseimbangan pasar dengan memperhatikan perubahan
radikal pada komposisi ras, agama, pendapatan, dan karakteristik

Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 115
lainnya.[12] Meskipun Veblen, Coleman, dan Schelling telah
menegaskan bahwa faktor-faktor sosial tak dapat diabaikan, tetapi
mereka seolah-olah tidak begitu tertarik mempersoalkan harga. Padahal
menurut pandanganku, harga merupakan bagian fundamental dari
analisis multiplier sosial tentang perilaku dan pasar. Dalam konteks
itu sesungguhnya diperlukan analisis yang lebih luas terhadap faktor
sosial dan hubungannya dengan isu-isu ekonomi. Karena itu pula aku
tertarik untuk mengelaborasi hubungan-hubungan antara kekuatan
sosial, preferensi, dan komplementaritas.
Ekonom sering kali mengasumsikan bahwa fungsi utilitas sangat
tergantung pada konsumsi barang; jasa dan produksi komoditas.
Sementara itu kekuatan sosial cenderung diabaikan dan ditinggalkan
begitu saja. Tradisi semacam ini, bagiku kurang menguntungkan para
ekonom. Mengapa demikian? Dinamika fungsi utilitas determinan
dengan perubahan lingkungan; dan kekuatan sosial yang turut
menentukan fungsi utilitas.[13] Jika diformulakan secara matematis,
maka asumsi filosofis tersebut dapat dimodelkan sebagai berikut:

U=U (X,Y;S)
Di mana x dan y merupakan barang dan jasa. Sementara variabel S
merepresentasikan pengaruh sosial terhadap utilitas melalui stock modal
sosial, the stock of social capital.[14] Meskipun dalam tradisi ekonomi,
fungsi utilitas hanya tergantung secara utuh pada varibel x dan y, serta
mengabaikan dinamika S. Sepenuhnya diriku tak mengamini tradisi
itu. Aku memahami dinamika sosial—jika disederhanakan—disebutkan
dengan modal sosial, sesungguhnya mempunyai kekuatan yang cukup
dominan mendorong berubahnya fungsi utilitas. Asumsinya sangat
sederhana, tetapi cukup mendasar di mana perubahan exogenous pada
S akan berdampak pada perilaku individu. Ilustrasi sederhana: utilitas
drugs, kriminalitas, pemilihan umum sesungguhnya dipengaruhi oleh
sejauh mana sahabat dan tetangga juga mengonsumsi obat-obatan,
melakukan tindak kriminal atau ikut berpartisipasi dalam pemilihan
umum.[15] Dari hal itu, maka asumsi fundamental dalam menganalisis
pengaruh modal sosial di mana S berhubungan secara kuat dengan
perilaku, x. Sehingga tanpa disadar meningkatnya modal sosial secara
otomatis akan meningkatkan utilitas marginal x. Asumsi ini, nyatanya
terlalu sulit diterima oleh para ekonom, dan kolegaku. Namun, aku

116 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


tetap percaya dan menaruh minat yang kuat untuk membuktikan asumsi
filosofis ini. Kelak aku percaya ada banyak ekonom yang menyadari
asumsi semacam ini. Bukan karena faktor “aku”, tetapi karena konteks
di mana faktor sosial dan ekonomi pada dasarnya mengkehendaki
ekonom agar keluar dari cangkang tradisi. Hanya dengan cara itu
mereka bakal mampu memahami persoalan ekonomi melalui tradisi
ilmu pengetahuan selain ilmu ekonomi—sosiologi dan antropologi.
Perjalanan dan pengamatan panjang telah menghadapkan satu
kenyataan di benakku bahwa kekuatan sosial merupakan kuatan tirani
terhadap perilaku individu di mana individu, entah siapa pun dirinya,
senantiasa dipaksa untuk mengonfirmasi perilaku mereka pada norma-
norma sosial dan kebudayaan.[16] Dapat dimengerti bahwa diluar sana
tak satu pun perilaku manusia bersifat objektif—tanpa dipengaruhi
struktur sosial. Tak terkecuali pada preferensi manusia. Aku tetap
memelihara keyakinan semacam itu, meski mayoritas ekonom tidak
pernah dan tak akan pernah percaya bahwa struktur sosial dan interaksi
sosial dapat memengaruhi preferensi manusia. Mereka lebih percaya
bahwa informasi dan teknologi memiliki hubungan yang kuat dengan
perilaku dan pilihan manusia. Merespons pandangan tersebut, ‘ku
merasa penting mengelaborasi atau mendalami teori pilihan rasional,
atau apa yang populer dengan the rational choice. Ada pertanyaan yang
begitu saja berkelabat di benakku: “are choice ‘rational’ when social capital
is important?” Asumsi yang ingin ‘ku utarakan terkait hal itu, bahwa
individu akan tetap memilih mengalokasikan sumber daya ekonomi
ketika modal sosial dianggap penting dan memengaruhi utilitas. Asumsi
ini tentu saja harus dibenturkan dengan kenyataan dan kecenderungan di
mana setiap individu hanya memiliki sedikit kebebasan untuk memilih
dan keluar dari apa yang dilakukan oleh anggota kelompok secara
konvensional—kebiasaan dan perilaku umum.[17] Lalu bagaimana
kenyataan itu harus ‘ku narasikan?
Aku ingin menegaskan sekali lagi, jauh sebelum para ekonom
menemukan betapa pentingnya interaksi sosial, para sosiologi dan
antropolog telah menekankan bahwa struktur sosial merupakan tirani
terhadap pelbagai perilaku.[18] Adalah James Duesenberry (1960) yang
telah menganalisis paper-ku, dan kemudian ia menyimpulkan bahwa
ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan pilihan, sementara
sosiologi mengkaji mengapa manusia tak memiliki pilihan.”[19]

Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 117
Pandangan semacam itu, tanpa disadari telah melengkapi ketajaman
ilmu ekonomi. Faktanya, ketika tirani tak hanya melekat pada struktur
sosial, tetapi juga secara kuat melekat pada budaya dan norma-norma
di mana keduanya memengaruhi perilaku, pada kondisi itu kemudian
“individual rational choice” dianggap sesuatu yang bersifat “oxymoron”[20]
atau kontradiktif. Aku katakan kontradiktif karena kekuatan sosial tak
hanya mengondisikan individu dapat memilih secara tepat pilihan, tetapi
lebih jauh lagi “tirani sosial” juga memengaruhi pilihan seseorang dalam
memilih tetangga, sahabat, sekolah, pasangan, pekerjaan, bahkan agama.
[21] Dalam keseharian, betapa sering kita menyaksikan jika orang kaya
akan memilih membangun relasi; berinteraksi dengan orang yang kaya
pula; kaum akademik juga akan berinteraksi dengan kaum intelektual;
pemeluk Islam cenderung menikahi perempuan Muslim. Ini artinya,
tirani sosial tak hanya berlaku pada perilaku, tetapi juga pilihan. Ilustrasi
sederhana: kekuatan kultural sama baiknya dalam mengontrol perilaku
pemimpin, begitu pula perilaku masyarakat umum.
Demikian, kekuatan kultural layaknya tirani sosial juga memengaruhi
perilaku individu, tanpa terkecuali. Pandanganku ini dapat dibuktikan
dari fakta keseharian di mana individu akan selalu bertindak dan
memutuskan pilihan setelah menimbang secara mendalam tatanan
kultural dan tradisis di mana dirinya hidup dan tumbuh sebagai seorang
manusia. Akhirnya, baik struktur sosial dan kultural, keduanya secara
simultan akan senantiasa memengaruhi perilaku serta pilihan ekonomi
seseorang. Untuk kemudian dua hal tersebut akan membentuk satu
modal yang sepenuhnya bersifat sosial, kemudian disebut dengan social
capital atau modal sosial. Dengan modal sosial itu kemudian kualitas
hidup dan kehidupan masyarakat ditentukan—semangkin baik modal
sosial dalam satu masyarakat; maka semakin kuat kohesi sosial. Dari
hal itu, aku berhasil mengambil satu tesis penting bahwa kehidupan,
fenomena sosial, bahkan perilaku manusia tak dapat dipahami dan
dijelaskan hanya dengan satu kacamata (baca: rationalisme-sensuous).
Tetapi lebih baik jika ia dilihat dengan alat yang tepat, meskipun itu
diluar tradisi ilmu ekonomi, misalnya sosiologi dan antropologi. Dengan
cara itu kemudian fenomena dan perilaku individu dapat dimengerti
lebih mendalam.
Pertanyaan lain yang sering menghantuiku adalah “apakah ada
hubungan antara human capital dengan pertumbuhan ekonomi? Jika

118 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


ada, bagaimana metode terbaik dalam menjadikan human capital
sebagai investasi yang dapat berdampak secara positif pada ekonomi?”
Pertanyaan semacam itu berkelabat dibenakku saat mendengar
pertanyaan menyentil persis ketika Ryerson memberikan satu kuliah.
Ia bertanya: “Apa yang harus mahasiswa/i lakukan agar memperoleh
hidup yang berkualitas setelah keluar dari universitas?”[22] Akhirnya
pertanyaan semacam itu mendorong diriku menyelidiki lebih dalam,
dan intens “apa itu human capital?” Sebenarnya revolusi wacana dan
penyelidikan terhadap human capital telah dimulai beberapa dekade
dulu oleh ilmuwan seperti Ted Schultz, Jacob Mincer, Milton Friedman,
Sherwin Rosen, dan beberapa ekonom yang berafiliasi dengan
Universitas Chicago.
Di benak mahasiswa pada umumnya, sama ketika aku hadapkan
pada diksi capital, pikiran mereka dan nalarku otomatis akan tertuju
pada rekening bank, tanah, uang, dan lain sebagainya. Tentu saja
imajinasi tersebut absah, karena kapital berkonotasi pada hal yang dapat
menghasilkan pendapatan.[23] Namun tentu saja aku tak berkeinginan
mengelaborasi kapital dalam bentuk konvensional semacam itu,
melainkan sejenak setelah ini aku akan mengkaji kapital dalam bentuk
lain. Pendidikan, pelatihan komputer, ekspeditur pada pelayanan medis,
perkuliahan tentang kejujuran dan kebijaksanaan: sesungguhnya juga
merupakan kapital. Mengapa demikian? Kapital seperti yang ‘ku uraikan
sebelumnya seutuhnya mampu meningkatkan kesehatan, menaikan
pendapatan, meningkatkan apresiasi seseorang terhadap literatur
yang kelak akan meningkatkan kualitas hidupnya.[24] Memang ada
saja sanggahan ketika aku mengkaji dan mempublikasikan pandangan
tersebut. Bahkan ada yang dengan keras mengatakan:
“Ah! Itu pemaknaanku saja dan merupakan konsep kapital kuno
dan sangat tradisional. Coba perhatikan lagi! Bukankah pengeluaran
pada sektor pendidikan, pelatihan, pelayanan kesehatan merupakan
investasi dalam bentuk kapital.”[25]
Lantas, aku berikan argumentasi:
“Tetapi ingat dan pikirkanlah secara teliti bahwa investasi
semacam itu tujuannya bukan untuk menghasilkan uang secara
instan dan langsung, melainkan tujuannya adalah membentuk
manusia. Ia tak dapat diukur secara fisik atau berdasarkan hitung-
hitungan keuangan. Bagaimanapun kapital: tak seorangpun dapat

Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 119
memisahkan individu dari pengetahuannya, skill, kesehatan, atau
nilai—yang merupakan komponen penting dalam menghasilkan
materi dalam skala yang lebih besar dan membuat kehidupan
seseorang jauh lebih berkualitas.[26]
Ilustrasi: betapa pentingnya human capital bagi manusia dapat
dilihat dari penaklukan Hong Kong pada tahun 1997 oleh China. Betapa
banyak penduduk pribumi disibukkan dengan usaha-usaha melawan
kebijakan pemerintahan China melalui menjual aset-aset penting seperti
bank dan bangunan untuk kemudian hasilnya ditabungkan pada bank
asing. Pada waktu bersamaan, betapa banyak ahli komputer, menager
handal, dan orang-orang yang memiliki skill meninggalkan Hong Kong.
Fenomena itu disebut dengan ‘eksodus intelektual’. Tujuannya adalah
agar China tak bisa mengeksploitasi kapital yang melekat pada diri
mereka. Sehingga dengan melakukan eksodus intelektual, maka China
tak mendapat apa pun dari mereka, sedikit pun—they must go where their
capital goes.[27]
Dari ilustrasi itu kemudian, aku mulai mendapatkan kekuatan
untuk terus menulis buku human capital. Tetapi keraguan mulai
menyergapku, ketika kritikan berhamburan. Mereka bahkan secara
vulgar menudingku, “proyek intelektualku membahayakan manusia.
Sebab itu hanya akan menjerumuskan manusia pada perbudakan dan
menjadikan mereka tak ubahnya seperti mesin. Istilahku itu mesti
dirubah.” Pinta mereka. Tetapi aku tetap bersikukuh. Karena jujur,
secara intelektual dan akademis tak sedikitpun termaktub di hatiku
untuk menjadikan manusia serendah itu. Meski membutuhkan waktu,
perlahan-lahan istilah dan teoriku—human capital—dapat diterima secara
luas, baik oleh kalangan ilmuwan sosial, bahkan media massa. Bahkan
dengan apresiasi yang tinggi sebuah majalah—Business Week, menulis
judul halaman muka majalah mereka dengan kalimat “Human Capital”.
Sejak itu kalimat itu sudah menjadi milik publik dan menjadi tema
diskusi yang hangat sepanjang tahun. Aku terkejut dan bergumam,
“menakjubkan dan sama sekali diluar dugaanku.”[28] Kendati demikian,
satu persoalan tetap saja mengusikku.
Apalagi jika bukan persoalan mendasar tentang resistensi sebagian
kelompok akademisi. Soalnya, mereka menuding teoriku menyisakan
satu persoalan mendasar yakni eksploitasi tenaga kerja oleh modal.
[29] Merespons hal itu tentu saja sangat mudah. Mereka perlu dan

120 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


cukup hanya dengan mengapresiasi konsepku tentang human capital.
[30] Satu kali aku pernah dipojokkan dengan pertanyaan semacama
ini—“jika kapital dapat mengeksploitasi tenaga kerja, apakah human
capital juga dapat mengeksploitasi? Apakah tenaga kerja yang memiliki
skill dan tak memiliki skill apa pun akan bertarung satu sama lain, saling
menghancurkan? Apakah negara akan memperlakukan human capital
sama dengan memperlakukan kapital?” ‘Ku aku pertanyaan-pertanyaan
ini membuatku kaget, tetapi itu tak membuat diriku kehilangan
kejernihan.
Dengan sederhana aku menjawab:
“Anda dapat melihat mengapa sebuah ide yang ‘ku kembangkan
dapat digunakan untuk memahami ekonomi dan dunia sosial. Ide
itu menjadi sebuah kebenaran di dalam diskusi ideologi. Bahkan
konsep human capital menjadi hal yang begitu populer di negara-
negara berhaluan komunis. Tak heran karyaku dan Schultz tentang
human capital digunakan secara intensif di Uni Soviet, Eropa Timur,
dan China.”[31]
Jawaban tersebut memang tak terlalu mengena. Tetapi tujuannya
sederhana, agar mereka sadar bahwa terlalu sering memperolok-olok
ideku akan menenggelamkan mereka pada ketertinggalan. Sementara
di Timur sana, konsep yang ‘ku kembangkan telah didiskusikan
secara intens dan dipergunakan dengan sangat hati-hati dan penuh
antusias. Melepaskan dari sentimen hal semacam itu, agaknya ada
baiknya ‘ku paparkan secara gamblang hubungan antara human capital
dan keluarga. Selama diriku mengembangkan konsep human capital,
tak pernah terdengar di telingga suara gaduh (baca: diskusi) yang
memperbincangkan hubungan antara human capital dan keluarga—
bagaimana human capital dapat memengaruhi keluarga terkait
pengetahuan, skills; nilai-nilai dan kebiasan anak-anak.[32] Pertanyaan
fundamental yang sering kali terdengar: “Mengapa pasar tenaga kerja
sangat mengapresiasi mahasiswa yang banyak membaca meskipun tak
memiliki pengalaman yang cukup untuk bekerja?” Penjelasannya sangat
sederhana bahwa kerja pada satu perusahaan membutuhkan kebiasaan
positif seperti kesungguh-sungguhan, keinginantahuan, dan mampu
bertindak secara inovatif. Karakter semacam itu pada umumnya didapat
dari mahasiswa yang memiliki kegemaran membaca.

Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 121
Dengan cara itu, kelak mereka dapat meningkatkan pendapatan tanpa
perlu mengerahkan dan menghabiskan tenaga mereka untuk mendapatkan
‘segopok’ uang. Mereka hanya perlu menggunakan skill dan sedikit
kecerdasan mereka untuk mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar.
Pendidikan di Amerika Serikat adalah fakta atas pandangan itu.[33] Satu
kali diriku pernah diminta oleh komisi departemen tenaga kerja Amerika
Serikat untuk memikirkan bagaimana caranya meningkatknya kualitas
tenaga kerja di negara tersebut. Apa yang dapat ‘ku dan komisi lakukan
untuk merealisasikan permintaan itu. Akhirnya, komisi ini bersepakat
untuk melakukan kajian mendalam tentang human capital dalam rangka
mewujudkan permintaan tersebut. Kajian tersebut menghasilkan peta
yang menarik: di mana investasi pada human capital di Amerika Serikat telah
mampu mentransformasi kaum perempuan pada era 1960an di Amerika
Serikat. Perempuan di negara tersebut lebih banyak menguasai matematika,
sains, ilmu ekonomi, dan hukum.[34] Dengan kepakaran seperti itu,
perempuan di Amerika Serikat lebih berpeluang untuk lebih makmur
ketimbang laki-laki. Pentingnya investasi human capital mendapatkan
argumentasi dan dukungan yang lebih empiris. Fakta yang dinarasikan
sebelumnya adalah dukungan yang paling kuat terhadap konsepsiku. Selain
konsepsi tentang human capital, belakangan ini ‘ku coba membentangkan
kertas kerja lainnya, dan itu adalah hubungan antara berbagai aspek
kehidupan dengan ekonomi. Bersama Posner Richard, kami berdua
akhirnya mempublikasi satu buku Uncommon Sense: Economic Insights, From
Marriage to Terrorism (2009). Lantas apa pemikiran yang kami tawarkan?

MENYADARI bahwa penghargaan Nobel Ekonomi yang ‘ku


terima, sesungguhnya tak terlepas dari upayaku dalam memperluas
daya jangkau ilmu ekonomi. Di mana secara intens ‘ku hubungkan
ekonomi dengan pendidikan, diskriminasi, tenaga kerja, keluarga,
kriminalitas, kecanduan, dan imigrasi.[35] Lalu apa pentingnya hal itu
‘ku lakukan? Aku mengasumsikan bahwa masyarakat modern adalah
jejaring kompleks. Begitu juga dengan aktivitas ekonomi yang mereka
perlihatkan. Ilmu ekonomi tak akan mampu menebak dan menjelaskan
semua kompleksitas ekonomi yang tumbuh dalam masyarakat modern.
Ilmu ekonomi mesti bekerja sama dengan disiplin lain agar dapat

122 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


menjelaskan secara mendalam realitas, perilaku, dan struktur ekonomi
pada masyarakat modern.
Demikian, aku mulai dengan paparan tentang the sexual revolution.
Wafatnya Pope John Paul II pada 2 April 2005, mengingatkan tentang
pioner perubahan dalam isu-isu seksualitas di Amerika Serikat bahkan
dibelahan benua lainnya.[36] Ia sangat kuat menentang moralitas
seksualitas yang didoktrin oleh Katolik Konvensional Roma. Ajaran
ortodok yang terkesan lack dan lamban dalam merespons modernitas.
Ajaran tersebut meliputi pelarangan aborsi, kontrasepsi, pernikahan
pendeta, homoseksual, bahkan maturbasi.[37] Tentu saja bagiku bukan
perjuangan John Pope yang menarik. Melainkan menghubungkan
perubahan seksualitas dengan ekonomi—apa sesungguhnya hubungan
perubahan perilaku seksual dengan ekonomi? Apakah hubungan itu
memang, atau mungkin ada? Perubahan itu mesti dilihat secara simultan
antara interaksi biologis dan interest ekonomi atau benefits. Perilaku
seksual yang berubah begitu cepat dan dramatis penuh kontradiktif
idealnya mesti dipahami secara utuh sebagai basis bagi pengembangan
teknologi dan industrialisasi medis.
Perilaku seksual menyebabkan satu epidemi yang memancing
bermunculannya inovasi medis. Jika bukan penyakit seperti HIV/AIDS,
apalagi. Bagiku yang menarik adalah betapa perubahan seksualitas
telah menghantarkan manusia pada satu peradaban. Progresif,
sekaligus memusingkan. Dikatakan demikian, karena perilaku itu
telah menimbulkan biaya ekonomi tinggi bagi negara. Pekerjaan rumah
negara dan pemerintah bertambah. Awalnya hanya memikirkan dilema
ekonomi—krisis, pengangguran, dan kemiskinan. Kini perubahan
seksualitas telah menjebak negara untuk memikirkan proteksi baru
dan canggih agar dapat menyelamatkan jiwa masyarakat dan rakyatnya.
Di lain sisi, perubahan seksualitas pada masyarakat modern
mendorong berubahnya peran perempuan dalam masyarakat.[38]
Meningkatnya aktivitas ekonomi mendorong terjadinya reduksi posisi
perempuan. Tadinya yang masih autentik kemudian tereduksi ke bentuk
yang setara dengan laki-lakinya sebagai pekerja industri. Pada kondisi
ini perempuan tidak lagi dilihat dalam bentuknya yang paling feminim,
tetapi sudah menjadi sosok yang maskulin. Bersama-sama dengan kaum
laki-laki, mereka berebut mendapatkan upah. Konsekuensinya adalah
kian tereduksinya tingkat pernikahan dan meningkatnya penundaan

Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 123
pernikahan. Menariknya bagi kaum laki-laki, dengan meningkatnya
jumlah menikah karir maka akan menurunkan biaya yang harus
mereka keluarkan untuk membiayai perempuan. Suami tak perlu lagi
“merogoh” uang saku untuk membuat rumah—cukup tinggal di rumah
istrinya. Tentu saja tak hanya itu, meningkatnya jumlah wanita karir
tanpa disadari telah menghantarkan kaum perempuan pada satu wajah
seksualitas yang dapat dinilai sebagai kontradiktif dan sama sekali lain.
Tidak semua, tetapi sebagian wanita karir terkadang terjebak dalam
seksualitas yang absurd dan kabur—merayakan erotisme dengan seks
nonmarital—seks dengan resiko hamil yang dapat direduksi melalui
kontrasepsi dan bahkan aborsi.[39]
Demikianlah konsekuensi dari perkembangan ekonomi. Terkadang
tak dapat diimbangi oleh nalar manusia. Peradaban pun mesti menjadi
korban. Manusia didorong turut merayakannya, jika tak ingin terlindas.
Katakanlah, menurunnya tingkat pernikahan dan meningkatnya
homoseksual.[40] Namun, hal itu tidak dapat diklaim sebagai produk
modernitas dan kian cangihnya ekonomi. Karena memang perilaku
seksualitas semacam itu pernah terjadi pada era Yunani kuno: di
mana laki-laki ingin melakukan hubungan seksual tetapi tak ingin
terjebak pada keintiman emosional yang dapat menguras energi dan
berbiaya tinggi.[41] Kini perilaku itu kembali tumbuh, tetapi dengan
kompleksitas yang berbeda. Homoseksual atau lesbian telah menjadi
isu-isu yang diperjuangkan secara masif. Bahkan dinilai sebagai bagian
dari hak asasi manusia. Perubahan seksualitas itu tidak sekadar
persoalan biologis, tetapi ‘ku asumsikan ada keterlibatan ekonomi dan
teknologi didalamnya.
Realitas pendukung lainnya adalah fenomena imigrasi yang dihadapi
oleh negara-negara maju. Entah mengapa masyarakat di negara-negara
berkembang terpesona, hingga sangat tertarik untuk pindah ke negara-
negara maju. Berharap mendapatkan kehidupan lebih baik. Tak ayal
jika negara-negara kaya berusaha keras menyusun program yang dapat
menekan laju imigrasi.[42] Membatasi imigrasi adalah langkah terbaik
yang dapat dilakukan oleh negara-negara maju. Trend menujukkan bahwa
Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak dituju oleh imigran.
Bukan hanya alasan psikologis dan ekonomi, tetapi alasan kultural juga
turut menjadi faktor mengapa imigran lebih memilih Amerika Serikat
sebagai tujuan. Menariknya, imigran yang datang ke Amerika Serikat

124 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


merupakan individu yang skillful. Ini bagi Amerika Serikat tentu saja
menguntungkan. Mereka mendapatkan tenaga kerja skillful mesti harus
mengeluarkan biaya tambahan untuk mencari, dan mengundang tenaga
kerja dari negara lain. Amerika Serikat hanya perlu menetapkan kontrak
bagi imigran sebesar $50.000,-. Kendati demikian, Amerika Serikat
semestinya sadar bahwa gelombang imigrasi sesungguhnya membawa
bahaya laten seperti virus, terorisme, dan tindak kriminal.[43] Bagiku,
fakta ini hanyalah sebuah akses dari dinamika ekonomi. Tentu saja hal
ini tak hanya menimpa Amerika Serikat, tetapi juga negara-negara maju
lainnya. Katakanlah Rusia. Hal yang menarik dari Rusia adalah rencana
revolusi populasi ala Putin. Dewasa ini Rusia sedang menghadapi tingkat
kematian yang tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
[44] Dalam kondisi ini, Putin berusaha merumuskan rencana strategis
terkait masalah ini. Dengan cara itu kemudian ia dapat mengendalikan
perekonomian sekaligus menstabilkan kekuasaan.
Demikian, aku hendak menegaskan bahwa saatnya ilmu ekonomi tak
bekerja sendiri dalam memecahkan persoalan ekonomi. Ia mesti bekerja
sama dengan disiplin lain. Nalar logis yang ada dibalik pandanganku
ini adalah bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu sosial. Ia sesungguhnya
membutuhkan perangkat yang lebih kuat untuk menjelaskan perilaku
ekonomi dan isu-isu yang timbul akibat interaksi antara ekonomi dan
struktur lain yang ada di dunia. Sudah saatnya ilmu ekonomi bekerja
dalam kerangka interdisipliner dan multidisipliner: sebuah upaya
untuk menghubungkan analisis behavorial dan institusional. Ilustrasi
sederhana: perilaku manusia selalu dipengaruhi dan ditentukan oleh
kebijaksanaan yang melekat pada diri mereka (preferences) dan juga
dipengaruhi oleh halangan yang mereka hadapi.[45] Sementara itu, ‘ku
berkeyakinan bahwa institusi dapat membentuk interaksi dan mewarnai
pilihan serta perilaku manusia. Dua pandanganku ini mesti direspons
dengan cara melakukan deteritorialisasi ilmu ekonomi itu sendiri.
Pada dasarnya institusi adalah wadah di mana aturan dan prosedur
diproduksi agar menjadi pedoman bagi individu dalam bertindak
dalam masyarakat.[46] Dalam hal itu, aku percaya ada sistem yang
sangat penting dan menantikan keputusan individu. Itu kemudian
‘ku kategorikan sebagai institusi seperti: sistem harga atau pasar;
demokrasi, hirarki atau prosedur otoritarian lainnya; dan bergaining.[47]
Perilaku manusia ditentukan secara multitude, yang kemudian disebut

Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 125
dengan institusi. Pemerintah dan organisasi lain seperti hukum dan
aturan adalah hal-hal yang kerap kali memengaruhi keputusan individu.
[48] Dengan demikian, biasanya aku menganalisis perilaku manusia
dengan beberapa aspek berikut:
Pertama, tindakan individual (individual act). Aku berkeyakinan
bahwa apa yang terjadi pada level sosial sesungguhnya dapat dijelaskan
melalui perilaku seorang individu. Ini disebut dengan methodological
individualism.[49] Kendati demikian, ini tak lantas bermakna bahwa
bahwa semua manusia diartikan secara terpisah (isolated). Tetapi
perilaku mereka dapat dimengerti sebagai hasil dari interaksi dengan
hal yang ada disekita mereka seperti orang lain dan institusi. Kedua,
insentif menentukan perilaku (incentives determine behaviour). Aku
percaya bahwa individu tidak bertindak secara acak dan spontan.
Tetapi, tindakan mereka merupakan reaksi sistematis dan prediktif.
Mereka bertindak berdasarkan perhitungan atas tantangan, dan
halangan yang membentang dihadapan mereka.[50] Manusia selalu
mencari solusi melalui tindakan mereka; mereka memiliki seperangkat
ekspektasi terhadap masa depan; belajar dan menemukan. Manusia
selalu membandingkan keuntungan dan kerugian dari tindakan yang
mereka lakukan.
Ketiga, insentif diproduksi melalui preferensi dan batasan-batasan
tertentu yang dapat membedakan tindakan manusia: perubahan pada
perilaku manusia senantiasa dapat diobservasi dan diukur. Selama
ia dapat diobservasi, maka dalam selama itu pula ia dapat diukur
dan dipahami.[51] Keempat, individu cenderung mempertimbangkan
dan mengedapankan self-interest. Asumsi ini kemudian mendapat
pembenaran dari upaya-upaya manusia untuk meraih kebahagian
melalui cara-cara yang sangat individual.[52] Apakah yang hendak aku
utarakan dengan menarasikan asumsi-asumsi yang biasa ‘ku gunakan
untuk memahami perilaku ekonomi dan manusia itu sendiri?
Aku sependapat dengan dengan Max Weber di mana dalam
memahami manusia sesungguhnya tak dapat dipisahkan dari kekuatan
dan struktur modernitas yang membentuknya.[53] Begitu juga dengan
Ludwig von Mises. Dalam konteks ini kemudian Max Weber memandang
ilmu sosial termasuk ilmu ekonomi sebagai wertfreinheit (bebas nilai,
netralitas etik atau value-neutrality). Pandangan Weber ini bukan berarti
menjadi jalan untuk mengatakan ilmu ekonomi mesti didekati dengan

126 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


paradigma positivisme. Weber sebenarnya hendak menegaskan bahwa
ilmu sosial, pun ilmu ekonomi harus mampu melahirkan solusi yang
genuine dan bersumber dari akar sebuah objek material. Pada kesempatan
lainnya Max Weber pernah mengatakan bahwa social science is vocation:
ini bermakna bahwa tidak semua hal yang dapat dijawab melalui
indrawi dan mengindrai nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sosial.
Pandangan Max Weber ini terkesan membingungkan. Tetapi dalam
pemaknaanku, ia sungguh jenius sebagai seorang sosiolog. Ia berusaha
memisahkan berbagai objek material dan membangun metodologi yang
khusus untuk memahami masing-masing objek yang berbeda tersebut.
Lain halnya dengan Von Mises. Ia berusaha membedakan dengan jelas
dua tipe pengetahuan, yakni ilmu alam dan ilmu perilaku manusia.
Kemudian tak lama kemudian, ia juga membedakan antara sosiologi
dan sejarah. Bentuk pertama ia sebut sebagai the hypothetical-deductivism.
Sementara yang kedua ia namai dengan sosiologi yang terkadang tak
terlalu tergantung pada data-data yang empirik.[54] Tentu saja aku
tak berminat untuk mengurai simpang siur metodologi kedua tokoh
tersebut. Tetapi aku hanya ingin kembali menegaskan bahwa ilmu
ekonomi mestilah diperluas, dan menanggalkan tradisi archaic atau
klasik yang hanya mengandalkan positivisme dan enggan menjadikan
budaya; institusi; norma dan moral sebagai variabel dalam mengkaji
dan mencari solusi dari persoalan ekonomi. Semoga.

Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 127
Catatan Akhir (Endnotes)
1
Howard R.Vane. Loc.Cit., hlm. 200.
2
Ibid., hlm. 202.
3
Gary S. Becker & Kevin M. Murphy. 2000. Social Economics: Market Behaviour
in a Social Environment. (London: The Belknap Press of Harvard University Press).,
hlm. 3.
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 4.
9
Ibid., hlm. 5.
10
Ibid.
11
Ibid., hlm. 6.
12
Ibid.
13
Ibid., hlm. 8.
14
Ibid., hlm.9.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid., hlm. 22.
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Ibid., hlm. 23.
22
Gary S. Becker. 1930. Human Capital: A Theoritical and Empirical Analysis with
Special Reference to Education. (Chicago: The University of Chicago Press)., hlm. 15.
23
Ibid.
24
Ibid., hlm. 16.
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Ibid.
33
Ibid., hlm. 17.
34
Ibid.
35
Gary Becker & Posner Richard. 2009. Uncommon Sense: Economic Insights, From
Marriage to Terrorism. (Chicago: The University of Chicago Press)., hlm. 2.
36
Ibid., hlm. 11.
37
Ibid.
38
Ibid., hlm. 12.
39
Ibid.
40
Ibid., hlm. 13.
41
Ibid.
42
Ibid., hlm. 37.
43
Ibid., hlm. 38.
44
Ibid., hlm. 43.
45
Bruno S. Frey. 1999. Economics as a Science of Human Behaviour: Towards a New
Social Paradigma. (Boston: Springer)., hlm. 3.
46
Ibid., hlm. 4.
47
Ibid.
48
Ibid.
49
Ibid., hlm. 5.
50
Ibid.
51
Ibid., hlm. 6.
52
Ibid., hlm. 7.
53
Peter Koslowski (ed.). 1993. Methodology of the Social Sciences, Ethics and
Economics in the Newer Historical School: From Max Weber and Rickert to Sombart and
Rothacker. (Hannover: Speringer)., hlm. 32.
54
Ibid., hlm. 39.

Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 129
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
)
7
James Buchanan (b.1919)

)
INDIVIDUAL FREEDOM:
MEMOAR ATAS KEBEBASAN
MANUSIA

1919
James Buchanan lahir di Murfreesboro,
Tennessee, Amerika Serikat pada tahun
1919. Ia belajar pada Middle Tennessee
State College. Pada tahun 1941 ia meraih
gelar BA, dan Ph.D Ilmu Ekonomi dari
Universitas Chicago di tahun 1948. Di
awal-awal karirnya, Buchanan mengajar
pada Universitas Tennesse (1948–51)
dan kemudian berpindah ke Florida
State University (1951–55). Pada tahun
1956, ia mengikuti penelitian selama 1
(satu) tahun di Italia sebagai fulbright scholars. Proses itu kemudian
yang menghantarkan Buchanan menjadi profesor ilmu ekonomi, dan
kemudian menghantarkannya menjabat sebagai direktur the Thomas
Jefferson Center for Political Economy and Social Philosophy, pada
University of Virginia.[1] Ketika dirinya berada di Virginia pada tahun
1960-an, bersama dengan koleganya Gordon Tullock, mereka berdua

131
mendirikan the Public Choice Society and the Academic Journal Public
Choice. Persis pada tahun 1968, Buchanan pindah dari University of
Virginia ke University of California, Los Angeles (UCLA). Setahun
di UCLA, Buchanan dinobatkan sebagai Profesor Ilmu Ekonomi pada
tahun 1969 dan menjadi direktur umum pada Center for Study of Public
Choice di Virginia Polytechnic Institute di Blacksburg.
Pada tahun 1983, dirinya pindah ke George Mason University,
Fairfax, Virginia: di mana dirinya kembali mendapatkan gelar
profesor, dan ia menetap di sana. Buchanan merupakan advisor
general director pada Center for Study of Public Choice dan kemudian
kembali dianugerahi sebagai emeritus profesor ilmu ekonomi pada
George Mason University, dan juga diberikan gelar profesor emeritus
pada Virginia Polytechnic and State University.[2] Pada tahun 1983,
Buchanan mendapatkan program fellowship pada American Economic
Association, dan kemudian menjabat sebagai presiden pada Mont
Pelerin Society dari tahun 1984 hingga 1986. Tak hanya itu, ia menerima
penghargaan Frank Seidman dalam ekonomi politik pada tahun 1984.
Puncak karirnya adalah ketika dirinya meraih Nobel Ekonomi pada
tahun 1986 atas proyek akademiknya terkait upayanya membangun
fondasi kontraktual dan konstitusional dalam menentukan keputusan
ekonomi dan politik.
Demikian tak ayal jika kontribusi Buchanan tersebut menjadikan
dirinya sebagai leading pioneers dan founders dari teori pilihan publik:
sebuah program penelitian yang concern dalam aplikasi ilmu ekonomi
untuk menganalisis ‘non-market decision-making’.[3] Tak jarang juga
ekonom menyebut proyek Buchanan tersebut sebagai ‘new political
economy’, program intelektual yang didasarkan integrasi antara
ilmu ekonomi dan ilmu politik. Integrasi semacam itu kemudian
memungkinan berbagai dinamika keputusan politik dapat dianalisis
dan dipahami bagaimana pengaruhnya terhadap pembangunan ekonomi
publik. Karir Buchanan sebagai seorang ekonom kian menanjak ketika
dirinya meraih Nobel Ekonomi. Dan itu diawali dari tiga fondasi penting
dari proyek teori pilihan publik modern (modern public choice theory),
dan itu adalah: methodological individualism; homo economicus; dan politics-
as-exchange.[4] Popularitas James Buchanan tentu bukan sesuatu yang
aksidental. Tetapi ada proses panjang yang mengiringi popularitasnya
tersebut. Ia populer diakar rumput karena buku-buku yang ditulisnya

132 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


sejak akhir tahun 1950an, bahkan sudah banyak diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa.
Buku-buku yang ditulisnya tersebut sesungguhnya adalah elaborasi
dari disertasinya yang berjudul A New Principle of Just Taxation, yang
kemudian ditulis ulang oleh Knut Wicksell (1851–1926) yang kemudian
diterjemahkan pada awal tahun 1950-an.[5] Dikemudian hari, James
Buchanan mengembangkan elemennya bersama dengan koleganya,
Gordon Tullock. Kemudian dipublikasikan pada The Calculus of Consent:
Logical Foundations of Constitutional Democracy. Tak berhenti pada titik
itu, Buchanan dan Tullock secara kolektif mengembangkan the model
of individual rational ‘utility-maximising bahaviour yang diasumsikan pada
sektor private market ke ruang publik.[6] Ia kemudian mengasumsikan
bahwa politisi, legislator, dan birokrat bertindak atas dasar kepentingan
publik yang diwujudkan melalui perilaku rasional self-interested.[7]
Tetapi ia sangat berhati-hati untuk mengeneralisis asumsi tersebut.
Dalam pidato pengukuhan pada penghargaan Nobel Memorial Lecture,
ia menegaskan bahwa “asumsi tersebut tidak lantas memosisikan
kepentingan ekonomi (economic interest) dalam posisi dominatif dan tidak
secara langsung menyiratkan niat jahat dan motif kesumat aktor politik.
[8] Sementara pendekatan itu tak lantas juga menghalangi masyarakat
untuk bertindak atas dasar merealisasikan kepentingan publik. Dalam
hal lain, Buchanan memahami bahwa politik adalah sebuah struktur
pertukaran yang kompleks antara berbagai individual, sebuah struktur
di mana seseorang cenderung menyembunyikan identitas sejati mereka
yang tak mungkin dapat disembunyikan melalui pertukaran pada pasar
sederhana.[9] Kontribusi utama melalui The Calculus of Consent adalah
identifikasi dan perbedaan antara dua bentuk pengambilan keputusan,
yakni: pada level prakonstitusional dan postkonstitusional. Kemudian
secara kolaboratif, Buchanan, dan Tullock berpendapat bahwa dalam
masyarakat demokratik, voting mayoritas dapat dilaksanakan oleh rakyat
sebagai media politik selama hal itu melindungi hak-hak minoritas. Itu
hanya sedikit pengalan pemikiran James Buchanan yang tidak hanya
menyentakkan komunitas akademik khususnya ekonom, tetapi juga
menyandarkan masyarakat global bahwa pilihan rasional mestilah
didasarkan pada sesuatu yang kokoh dan tak tergoyahkan. Untuk lebih
mengerti dalam kegelisahan seperti apa James Buchanan memproduksi
teori-teori yang kemudian menghantarkan dirinya meraih penghargaan

Bab 7 | Individual Freedom: Memoar atas Kebebasan Manusia 133


Nobel Ekonomi, yang prestisius dan didamba oleh para ekonomi
seantero dunia. Agaknya perlu menghadirkan James Buchanan sebagai
tokoh dalam memoar teoretik berikut.

AWAL kata aku hendak memaparkan dasar-dasar utama bagi kebebasan,


kemerdekaan atau freedom dalam masyarakat. Di benakku masih segar,
persis ketika musim panas, aku berdiri tak begitu jauh dari Blacksburg,
ada seorang laki-laki yang mengelar dagangan berupa buah-buahan
dan sayur-sayuran. Aku tentu saja senang, karena aku tengah mencari
juice melon. Dalam adatnya, aku harus membayar sesuai dengan harga
yang ditetapkan oleh pedagang tersebut.[10] Pertukaran ekonomi
semacam ini tentu saja, dan bahkan sangat familiar. Ia telah menjadi
rutinitas yang dijalani oleh kebanyakan individu, dan telah menjadi
sesuatu yang diterima secara sosial serta kolektif. Aku tak mengenal
secara personal penjual buah dan sayur-sayuran tersebut, dan tentu saja
aku tak menaruh minat untuk memikirkan kesejahteraan si pedagang
tersebut. Aku tak pernah tahu dan tak harus tahu apakah ia seorang
yang miskin, kaya, atau di antaranya. Begitu juga sebaliknya. Aku dan
dia hanya perlu sesegera mungkin menyelesaikan transaksi. Kunci dari
kasus ini ada pada kata “agree or disagree”, “setuju” atau “tidak setuju.”
Demikian, akan lain persoalannya jika seseorang mengambilkan
begitu saja buah atau sayur yang digelar oleh pedagang, tanpa
membayarnya. Konsekuensinya orang itu akan disebut sebagai pencuri,
tentu saja akan dihukum berdasarkan aturan yang berlaku oleh penegak
hukum—polisi. Dua kasus yang substansinya berbeda.[11] Dari
ilustrasi sederhana itu, aku mengajukan satu tesis bahwa pertukaran
ekonomi akan terjadi dan difasilitasi oleh persetujuan secara mutual
yang kemudian didefinisikan sebagai hak.[12] Sederhananya, individu
mana pun dapat saling bersetuju secara sukarela tanpa ada paksaan dan
ancaman. Mereka pada dasarnya dapat melakukan hubungan, saling
bekerja sama dan melakukan pertukaran tanpa perlu pertimbangan-
pertimbangan detail seperti pendekatan politik, ketertarikan seksualitas,
ataupun status ekonomi. Ketika pedagang merasa tak diuntungkan oleh
seseorang pembeli, ia dapat menolak untuk menjual dagangannya dan

134 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


mencari pembeli lainnya. Dalam pengalaman yang sepenuhnya klasik
ini, pertukaran ekonomi seutuhnya bersifat impersonal, dan berbentuk
ideal-type interaction.[13]
Di bawah satu rezim di mana hak-hak individu dapat terpenuhi dan
dijamin secara baik, pada saat itulah free market atau pasar bebas dapat
berjalan secara maksimal bagi sektor-sektor privat, meski terkadang itu
terlalu aneh dan ganjil karena kebebasan individual sering kali diartikan
dalam makna yang elementer.[14] Limbak dari pada itu, kegagalan
para penganjur aliran romatisme untuk mengakui keistimewaan
pasar bebas, bagiku, terbilang sukar dipahami. Bagiku hal itu menjadi
sumber-sumber paradoks yang dapat diobservasi pada dekade 1970-an.
Pengajur sosialisme telah melawan ide-ide keistimewaan pasar bebas.
Pertanyaan yang menyelinap dibenakku adalah: “Mengapa friksi tajam
antara penganjur pasar bebas dan penentangnya bisa terjadi?”
Tentu saja aku tak tertarik mempersoalkan hal itu secara ideologis.
Tersirat friksi tersebut terjadi karena ada “lintang” dan “demarkasi”
ideologis, sehingga dua kutub itu selalu bertarung dan bertentangan.
Aku memilih menjelaskannya secara teoretik, agar penjelasan tersebut
bersifat netral. Dalam benakku, teori ekonomi cukup kuat dan dapat
menjelaskan berbagai ragam hubungan pertukaran.[15] Tradisi utama
dari teori ekonomi dalam menganalisis pertukaran dapat diawali dari
hubungan potensial interrelasi dan perdagangan aktual.[16] Tentu saja
bukan hanya itu, terlebih dahulu mesti juga memaparkan hubungan
komunalitas dan interaksi nonekonomis. Konsep-konsep yang terbilang
sulit tersebut dapat ‘ku ilustrasikan bahwa pertukaran antara diriku
dan penjual buah, kemudian bersepakat untuk melakukan transaksi
secara sukarela. Sikap sukarela itu adalah hak yang melekat pada diriku,
dan tentu juga pada pedagang buah tersebut. Hal itu sama, dan meski
kasusnya yang berbeda tapi substansinya sama yakni hak antara aku
dan pedagang buah untuk menggunakan jalan kampung, dengan saling
menghargai tanpa harus ada sikap hendak mendominasi orang lain
selain diriku ataupun sebaliknya.[17]
Timbulnya sikap respek antara individu tak begitu saja muncul.
Ia diawali oleh satu prakondisi dan itu adalah mutual-agreement:
kesepakatan saling bersinggungan dan saling menguntungkan. Tanpa
itu sikap respek justru akan digantikan oleh konflik, dan ketakrelaan.
Dalam konteks ini kemudian equal-freedom, layak dimaknai.[18] Ia

Bab 7 | Individual Freedom: Memoar atas Kebebasan Manusia 135


menjadi prasyarat atau norma yang akan melahirkan dan mendorong
hubungan sosial atau social-intercourse. Hubungan semacam itu juga
mesti dipahami dalam kerangka, atau satu asumsi di mana individu
selalu mencari dan memahami orang lain sesuai dengan pengetahuan
yang tak begitu detail, tetapi pengetahuan itu sudah cukup kuat untuk
membuat keputusan apakah dirinya akan melakukan interaksi atau
dengan sukarela melakukan pertukaran ekonomi dengan orang lain,
yang sebelumnya telah ia indrai dan pahami secara equal atau setara.
Hubungan semacam dan berkualitas seperti ini tak akan dapat terwujud
jika satu dari aktor-aktor ekonomi yang terlibat pertukaran tak sejajar,
dan cenderung mendominasi bahkan merugikan aktor lainnya. Lantas,
terkait diskursus equal-freedom ini, apa tesis lain yang dapat ‘ku ajukan?
Hal penting yang menjadi dasar bagi kebebasan individual pada
satu masyarakat adalah agreement terhadap struktur hak-hak dasar
manusia yang dihasilkan dari negosiasi.[19] Adalah sulit untuk
mengimajinasikan satu relasi ketika mutual agreement tidak ada, atau
absen. Pertanyaannya bagaimana mungkin dua orang bertemu untuk
pertama kalinya dan langsung bersepakat melakukan pertukaran
ekonomi, sementara keduanya tak memperlihatkan kerelaan dan
kesataraan keinginan? Pertanyaan ini menghantarkanku pada satu
catatan bahwa basis bagi perilaku individu dalam masyarakat adalah
hal yang bersifat taken for granted. Seseorang sangat mungkin melakukan
pertukaran selama dirinya menemukan partner yang cocok dan equal atau
setara. Dalam kondisi seperti itulah negosiasi kontraktual mungkin
berlangsung. Ekonom, juga diriku sendiri, terkadang menganjurkan
atau tak jarang juga lupa bahwa kontrak institusi berdiri dan berpijak
pada mutual agreement seperti yang telah ‘ku urai sebelumnya.
Kontribusi modern terhadap ekonomi properti agaknya sudah dapat
diperkenalkan, didasarkan pada uraian sebelumnya—mutual agreement.
Mengacu pada kontribusi Alchian, Cheung, Demsetz, Furubotn, Kessel,
McKean, North, Pejovich, dan Thomas. Hal tersebut bagiku hanya
bertujuan menegaskan posisi mutual agreement, di mana pertukaran
ekonomi hanya mungkin terjadi jika ada kesepakatan equal, setara, dan
saling menguntungkan antara satu individu dengan individu lainnya.
Lalu bagaimana jika mutual agreement itu tak pernah, atau mungkin
dalam kondisi tertentu tak terwujud? Menurutku kondisi tersebut akan
bermuara pada apa yang diistilahkan oleh kebanyak ekonom dengan

136 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


scarcity. Tetapi jujur aku lebih suka menyebutnya dengan ‘conflict’.
Mengapa demikian? Jika satu pertukaran ekonomi tak terjadi, maka hal
itu layak diartikan sebagai tak tersedianya partner yang equal. Kondisi ini
tentu saja tak akan mendorong, bahkan dapat dinilai akan menghambat
terjadinya pertukaran ekonomi. Kondisi ini diartikan sebagai konflik
keinginan—mutual agreement tak akan lahir dalam situasi seperti ini.
Lalu apa rentetan dari mutual agreement ini?
Adanya mutual agreement, akan mendorong terjadinya pertukaran
ekonomi. Tentu saja dengan terjadinya pertukaran ekonomi tersebut,
dengan serta-merta mendorong terjadinya distribusi secara natural
atau alamiah. Untuk memastikan bahwa barang dan jasa terdistribusi
kepada seluruh lapisan masyarakat, maka adanya mutual-agreement
antara aktor ekonomi di pasar disepakati sebagai sesuatu yang mutlak
dan dibutuhkan. Tak berhenti pada titik itu saja, mutual-agreement juga
akan meningkatkan kesejahteraan atau menjadi prasyarat bagi individu
untuk meraih kualitas hidup yang lebih baik. Dengan itu pula individu
dapat meraih dan menentukan harga. Sungguh, mutual-agreement
menjadi basis yang genuine untuk memperoleh hak-hak atas harta.[20]
Rasionalisasinya, dengan adanya kesepakatan yang setara, equal antara
pembeli dan penjual, dipastikan pertukaran ekonomi akan berlangsung.
Alhasil, pertukaran tersebut akan melahirkan satu eksistensi yang diakui
secara umum sebagai hak milik, dan akan menjadi harta (property) bagi
pembeli ataupun penjual. Dalam konteks ini kemudian, aku berpendapat
bahwa mutual-agreement merupakan prakondisi bagi individu untuk
meraih harta atau hak milik. Ini juga menjadi argumentasi mengapa
kemudian kebebasan individu menjadi penting dalam perekonomian;
ia tidak saja menjadi basis bagi mutual-agreement, tetapi juga menjadi
syarat utama bagi manusia untuk melakukan aktualisasi ekonomi—
maksimalkan kebahagian, dan meminimalisir kepedihan hidup. Aku
berusaha mengkaji ‘individual freedom’ atau kebebasan individual dalam
konteks ini. Tentu saja ini menjadi basis dari berbagai proyek akademik,
yang kelak ‘ku kembangkan.
Ia—mutual agreement—sesungguhnya juga menjadi basis dari teori
barang publik atau the theory of public goods. Teori ini didasarkan pada
beberapa asumsi atau tesis, yakni: 1) hak individual diatur dalam
kontrak yang konstitusional; 2) semua keuntungan dari perdagangan
dalam sektor privat sesungguhnya diakui secara alamiah.[21] Bagaimana

Bab 7 | Individual Freedom: Memoar atas Kebebasan Manusia 137


asumsi ini dimaknai? Aku lebih cenderung memahami bahwa keinginan
untuk melakukan economic exchange, atau pertukaran ekonomi adalah
hak privat dan ia menjadi fondasi bagi kebebasan individu (individual
freedom). Dalam bentuk itu kemudian, dalam pandanganku, hak-hak
semacam itu mesti diatur dan diakui secara konstitusi. Karena ia menjadi
salah satu hak-hak dasar manusia yang mesti diakui. Pertanyaan yang
sering dialamatkan kepadaku: “mengapa perlu diakui secara konstitusi?
Nalar apa sesungguhnya yang ada di balik hukum, atau konstitusi
tersebut?”
Demikian, akan lebih menarik bagiku untuk memaparkan beberapa
nalar dibalik aturan-aturan yang ada dalam satu masyarakat. Karena aku
berkeyakinan tak satu pun aturan yang hampa dari nalar. Hal pertama
yang akan ‘ku paparkan adalah the reason of rules. Hal ini didasarkan
pada asumsi bahwa setiap masyarakat membutuhkan aturan.[22] Tanpa
aturan, masyarakat tak akan pernah kuat bahkan akan cenderung runtuh.
Betapa tidak, didalamnya akan hidup individu-individu yang berdiri
dan dengan egois bertindak atas nama kebebasan yang dimilikinya.
Turbulensi pun akan terjadi. Pada titik ini kemudian setiap masyarakat
mengkehendaki adanya aturan yang dapat mengontrol dan membatasi
kebebasan individu agar tak berkonflik, dan menghindarkan terjadinya
turbulensi sosial.
Thomas Hobbes berkata:
“We require rules in society because, without them, life would indeed be
solitary, poor, nasty, brutish, and short.’’[23]
Kalimat Thomas Hobbes tersebut menginspirasiku untuk
membangun satu asumsi dan keyakinan akademik bahwa dibalik aturan
tentu ada seikat nalar. Memang begitu, karena aturan-aturan yang
tumbuh dalam masyarakat didorong oleh kebutuhan dan kenyataan
alamiah bahwa masyarakat membutuhkan aturan untuk mengatur
dirinya. Tanpa aturan masyarakat akan rapuh. Hanya kelompok
romantic anarchist yang berpandangan bahwa tak perlu ada aturan
untuk masyarakat. Karena dalam masyarakat terdapat satu mekanisme
alamiah yang diistilahkan dengan natural harmony antara individu dan
itu dapat mengeleminir berbagai konflik, meskipun aturan tak pernah
tumbuh atau absen dalam satu masyarakat.[24] Aku tak terlalu percaya
pada argumentasi semacam itu. Karena itu aku lebih mengamini

138 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Thomas Hobbes, bahwa masyarakat membutuhkan aturan untuk
hidup bersama karena alasan yang sangat sederhana dan itu adalah
tanpa aturan antara satu individu akan saling bertarung dengan brutal.
Mereka akan cenderung bertarung karena konflik kepentingan—hak
milik seseorang dengan mudah akan dirampok oleh orang lain. Itulah
mengapa masyarakat membutuhkan aturan.
Jika demikian, aku berkesimpulan tak satu orang pun dalam
masyarakat dapat mengklaim bahwa hanya dirinya an sich yang
menentukan interaksi. Tentu tidak demikian. Interaksi sosial, dan
perilaku yang mengiringinya ditentukan secara mutual dan timbal-balik
antara berbagai individu yang ada dalam satu masyarakat. Hukum sebab-
akibat akan selalu ada dan menentukan pola, dan tata laku dalam satu
masyarakat. Dalam bentuk itu kemudian penting adanya satu aturan
dalam satu masyarakat mendapatkan argumentasinya. Argumentasi lain
yang dapat diajukan adalah bahwa tak satu individu yang melepaskan
dirinya dari hasrat dan keinginan untuk terus memaksimalkan ‘utilitas’.
[25] Tak terbayangkan jika semua orang mengejar keuntungan diri,
betapa sengitnya pertarungan yang bakal terjadi. Pandanganku ini agak
lebih sederhana dapat diilustrasikan dengan matrik, yang kemudian
‘ku namakan dengan the classic prisoners dilemma, dan matrik itu adalah:

Ilustrasi sederhana dari matrik di atas adalah: di mana angka pada


setiap kotak (cell) merepresentasikan nilai bagi dua orang individu (A
dan B), angka bagian kanan pada masing-masing kotak mengindikasikan
payoff bagi A dan angka sebelah kiri adalah payoff bagi B. Dapat dilihat
bahwa pada matrik tersebut terdapat kolom dan baris yang dominan.
Dapat diasumsikan: hanya ada satu bentuk permainan (game) pada

Bab 7 | Individual Freedom: Memoar atas Kebebasan Manusia 139


matrik tersebut. A yang berada antara dua baris, akan memilih barisan
2, ia tak peduli dengan keinginan B yang juga berada pada posisi yang
sama dan tentunya juga akan memilih barisan 2.[26] Konflik tak akan
dapat dihindarkan. Aturan perlu hadir dalam kondisi ini. Agar konflik
tak meruntuhkan masyarakat, dan interaksi sosial dapat terjalin.
Kondisi ini tentu saja berdampak positif bagi distribusi kekayaan,
dan pada akhirnya akan berdampak baik bahkan sangat bagus bagi
perekonomian masyarakat itu sendiri. Satu ketika tiba-tiba berkelabat
dibenakku, sebuah pertanyaan: “Apakah ada aturan atau tata dari sebuah
permainan?”
Kata ‘aturan’ segaja diassosiasikan dengan ‘games’, barangkali
akan berguna untuk mendiskusikan aturan-aturan dalam permainan
ordinary—seperti olahraga, tenis, dan basketball. Setiap permainan, dalam
keyakinanku memiliki aturan—sebuah parameter dalam permainan apa
pun seperti tindakan yang dibolehkan bagi pemain, perlengkapan yang
digunakan dan lain sebagainya. Dalam konteks sosio-politik, antara
aturan interaksi sosial dan tata laku manusia memiliki hubungan atau
relasi yang kuat. Relasi itu sama dan dapat dianalogikan dengan aturan
yang ada dalam ‘permainan’. Ilustrasi ini merupakan gambaran paling
sederhana bagaimana sesunggguhnya pilihan publik bekerja dalam
masyarakat, begitu juga dengan bekerjanya aturan. Tak berhenti pada
titik itu, tak jenuh aku terus mengembangkan berbagai kajian yang
berhubungan secara langsung dengan kebebasan individu ataupun tak
berhubungan sama sekali.
Hal yang menarik bagiku selain mempersoalkan kebebasan
individual adalah mempersoalkan eksistensi sosialisme. Bukan karena
sosialisme lebih efisien tetapi kekuatan kontrol yang ada pada rezim
sosialisme, memungkinkan manusia terperangkap dan terpenjara.
Kondisi itu membuat individu menjadi takut untuk bebas.[27]
Bagaimana aku bisa menyimpulkan seperti itu? Suatu ketika diriku
diminta oleh seorang editor untuk menulis satu esai yang berkenaan
dengan tema Capitalism, Socialism, and Democracy in the Twenty-First
Century. Akupun menulis tentang itu, tetapi dengan angle yang tak
seutuhnya didasarkan pada permintaan editor. Jujur saja aku lebih
tertarik untuk mempersoalkan mengapa orang lebih berminat menjadi
kapitalistik ketimbang menjadi sosialis? Schumpeter sesungguhnya
sudah membantuku untuk dapat menjelaskannya.

140 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Demikian, terlebih dahulu ada baiknya membicarakan sosialisme
dalam konteks kontrol kolektif terhadap kebebasan individual. Dalam
pandanganku karena hal itu kemudian sosialisme dapat bertahan.[28]
Pandangan ini muncul bukan karena kolektivitas dianggap lebih efisien—
dalam penafsiran ilmu ekonomi—tetapi karena kolektivitas lebih
memadai dan disetujui sebagai media terbaik untuk mendistribusikan
keadilan.[29] Hal lain yang menjadi alasan mengapa kolektivisme
hidup pada rezim sosialisme, sesungguhnya juga dipupuk oleh adanya
kontrol kolektif di bawah kendali negara. Itu memungkinkan individu
diperangkap dan dipenjara, serta dikontrol secara kuat oleh negara.
Muara dari situasi ini adalah individu akan menjadi seorang yang takut
untuk merdeka.
Demikian sosialisme dinilai sebagai ideologi koheren. Mengapa
dinilai demikian? Aku memahami bahwa sosialisme adalah satu-
satunya ideologi yang mendorong menjadikan ‘negara’ sebagai satu
yang sakral, bahkan diposisikan sebagai Tuhan.[30] Dibawah lindungi
negara, rakyat entah mengapa merasakan nyaman dan terlindungi
secara utuh. Berbeda dengan kapitalisme. Ia lebih cenderung dipahami
dalam konteks kebebasan individual dan berseberangan secara tajam
dengan kolektivisme yang tumbuh subur pada rezim sosialisme. Sistem
lainnya adalah demokrasi: sistem yang juga dinilai bertentangan dengan
sosialisme. Demokrasi didefinisikan sebagai satu-satunya sistem
yang mengapresiasi rakyat dan menjadikan mereka sebagai pusat dari
kekuasaan. Pertanyaan yang muncul dan berkelabat di benakku adalah:
“Apa sesungguhnya sumber dari sosialisme?”
Aku telah menelusuri dengan intensif terhadap asal-usul terjadinya
kontrol kolektif, dan asal-usul tersebut adalah: 1) menajerial; 2)
paternalistik; 3) distribusionisme; dan 4) parental.[31] Bagaimana
masing-masing asal-usul ini dipaparkan? Pertama, sosialisme-menajerial.
Bentuk ini memang sudah musnah, dan tenggelam tetapi ide dan
praktiknya masih saja dipraktikkan pada dekade terakhir di abad ke-20.
Sosialisme ini didefinisikan sebagai kepemilikan ownership (collective
ownership) dan kontrol atas produksi melalui usaha sentralisasi dan
kebijakan yang berpusat pada ekonomi nasional dengan perancanaan
sentralistik. Hayek bahkan pernah mengkritik bentuk ini secara tajam
dan menyebutnya sebagai fatal conceit­­[32]—kesalahan fatal dalam

Bab 7 | Individual Freedom: Memoar atas Kebebasan Manusia 141


menempatkan proporsi negara dan serba sentralistik. Model ini dalam
benakku memiliki konsekuensi yang tragis dan dilematis. Mengapa
demikian?
Aku menilai bahwa kontrol negara yang berlebihan, dan
membungkam kebebasan individual adalah akar dari krisis ekonomi, dan
moralitas. Faktanya korupsi akan tumbuh subur dalam kondisi seperti
itu, di mana negara menjadi pusat dan kebebasan individual tak pernah
hadir. Negara menjadi serigala, dan berupaya menjinakkan individu (
rakyat, masyarakat dengan ancaman). Tugas negara hanya satu yaitu
membangun proletariat-dictatorship atau kedikatoran ploretariat. Negara
tak akan pernah mencapai efisiensi di segala bidang. Mungkin politik
bisa saja stabil. Tetapi ia bagaikan api dalam sekam. Suatu ketika akan
mampu menjadi percik api, lantas akan membakar semua hal menjadi
abu. Pada titik ini kemudian negara akan lenyap dan digantikan oleh
politik gerombolan yang menjadikan kekerasan sebagai logika dasar.
Jika situasi sudah mengarah ke politik massa, maka negara akan rapuh
dan sistem ekonomi akan begitu mudah diseret ke bentuk demokrasi.
Alasan semacam ini kemudian yang membuat sosialisme-menajerial
hilang dan tenggelam.
Kedua, sosialisme-paternalistik (paternalistic-socialism): kematian,
atau bangkrutnya sosialisme-menajerial bukan disebabkan karena
kurangnya antusiasime terhadap kolektivisasi, tetapi juga didorong
oleh kooptasi elit yang berlebihan. Mereka cenderung mengarahkan
perilaku massa ke dalam bentuk, di mana pola tersebut akan dilakukan
bilamana ia segaris dengan kepentingan dan memberikan keuntungan.
Individu yang mengadopsi pandangan ini, tentu saja tak serta-merta
dapat menolak kapitalisme dan proses pasar.[33] Mengapa demikian?
Elit dalam bentuk ini, memiliki kekuasaan dan daya magis yang lebih
besar ketimbang kapitalisme dan kekuatan pasar itu sendiri. Tak
mengherankan jika kemudian elit lebih efektif melakukan kontrol
terhadap individu ketimbang pasar. Lain lagi dengan sosialisme-
distributif. Bagaimana bentuk ketiga ini dapat dijelaskan?
Ketiga, distributionist-socialism: seutuhnya sosialisme adalah tentang
kesetaraan atau equality—statemen pendek ini dengan begitu cepat
menjadi diskusi yang hangat setelah kematian “the central planning and
control”. Aku pun merasa heran. Mengapa bisa demikian? Keherananku
kian memuncak ketika sosialisme sebagai managed-economies didorong

142 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


menjadi bentuk baru, bahkan hampir tak dapat lagi dikenali berdasarkan
kriteria sosialisme-awal: bentuk itu adalah social democrats.[34] Kendati
demikian, ciri utama sosialisme masih melekat dengan kokoh pada
bentuk ini, dan itu adalah distributional-equality. Mengapa demikian?
Sosialisme, entah apa pun bentuknya, akan selalu dan akan dengan
bangga memilihara serta menyatakan kesetiaannya pada prinsip
kesetaraan. Hanya prinsip itu yang dapat menghantarkan negara tetap
punya kharisma dan daya sihir yang kuat. Prinsip itu pula yang menjadi
‘dalih’ bagi negara untuk terus-menerus dan intens melakukan kontrol
terhadap individu, juga tanpa merasa bersalah negara dengan ‘bangga’
dan percaya diri melakukan represi terhadap kebebasan individu. Kritik
hadir bertubi-tubi untuk menghantam hal ini. Kemudian muaranya
adalah terbentuknya apa yang sebut dengan distributionist-socialism.
Aku memaknai istilah tersebut sebagai unadulterated-form of socialism,
di mana kalangan distribusionis menyampaikan argumen yang berapi-
api tentang kesetaraan (equality). Tak hanya itu, bentuk ini juga
menegaskan satu bentuk perlawanan terhadap fungsi alokatif yang ada
pada kapitalisme-pasar.
Betapa tidak, kapitalisme yang mengandalkan pasar sebagai satu-
satunya mekanisme terbaik untuk melakukan distribusi, ternyata
dipersepsi oleh kalangan sosialisme sebagai pseudo-equality, bahkan
dinilai sebagai sekadar trik-sistemik dan halus untuk melanggengkan
kepentingan individu dan mempertahankan ‘ketimpangan sosial’(social
gap). Untuk mematahkan mitos seputar keadilan distributif dalam
mekanisme pasar, agaknya cukup mudah. Hanya dengan melihat
fakta; dan mencari akar-akar ketimpangan sosial, maka kelemahan dari
kapitalisme-pasar lengkap dengan keadilan yang didistribusikan melalui
mekanisme pasar, dapat ditunjukkan dengan jelas dan tak terbantahkan.
Sementara itu, jujur masih tersisa dibenakku satu ketertarikan
untuk mengkaji parental-socialism. Lalu apakah yang dimaksud dengan
‘parental socialism’ tersebut? Aku mengartikan istilah parental dengan
motivasi dibalik sosialisasi-kolektivitas pada tindakan manusia.[35]
Sengaja ‘ku perkenalkan istilah tersebut di sini, agar dapat dengan
‘gamblang’ mengambarkan bentuk sosialisme yang hadir dan muncul
belakangan. Dengan menyandingkan sosialisme dengan parental,
setidaknya dapat dimengerti bahwa sosialisme terkadang berubah
sekadar hasrat mencari nilai atau values yang ditentukan oleh orang

Bab 7 | Individual Freedom: Memoar atas Kebebasan Manusia 143


lain atas diri mereka. Pandangan ini kemudian yang men-support bagi
pengembangan kolektivisasi, kendati terkadang tak jarang juga ditolak
oleh kalangan sosialis dan filosof-liberal. Lebih dalam lagi, hal yang
ingin ‘ku sampaikan adalah bahwa tak seutuhnya sosialisme terhindar
dari perubahan konsep, sehingga terkadang jauh meninggalkan karakter
paling murni mereka.
Kendati demikian slogan “god is dead; long live the state... ” masih terus
dipercayai oleh kalangan sosialisme. Apa maksud dari slogan tersebut?
Aku berangkat dari kenyataan di abad 18, di mana ‘Tuhan’ sebagai
institusi hanya ditemukan di gereja. Tak hanya itu, tuhan terkadang
diasosiasikan sebagai hal-hal profan serta diidentikan dengan ‘kedua
orang tua’ atau parent. Tak mengherankan jika dalam sehari-hari sering
kali diperdengarkan kalimat “we are All God’s Children,” atau “God will take
care of you.” Ini adalah kalimat yang sangat familiar, tetapi lebih dari itu
kalimat ini menyiratkan sikap yang hampir universal. Secara psikologi,
entah siapa pun tentunya berhasrat untuk mendapatkan hidup yang
lebih bahagia, aman, dan nyaman. Mereka biasanya berharap ‘Tuhan’
dapat melindungi mereka layaknya perlindungan yang diberikan oleh
orang-tua kepada anak-anak mereka. Dalam kondisi ini kemudian Tuhan
diimajinasikan sesuai dengan hasrat-hasrat imajinatif manusia.
Pertanyaan yang muncul dan menganggu benakku adalah: “Apakah
konsepsi Nietzsche—bahwa Tuhan telah mati—benar adanya?” Tentu
saja yang dimaksud oleh Nietzsche adalah kematian Tuhan digantikan
oleh hal-hal profan yang dihasilkan dari hasrat imajinatif manusia.
Diluar konteks sosiologis itu, aku ingin tegaskan bahwa pada kondisi ini
kemudian hasrat-hasrat imajinatif yang tumbuh dikalangan masyarakat
sosialisme akan dengan sendirinya mengiring sosialisme runtuh serta
bertekuk lutut dibawah sistem kapitalisme. Sistem yang memberi ruang
bagi bertumbuhnya hasrat-hasrat imajinatif, hingga memperkukuh
kebebasan individual pada masyarakat modern. Akhirnya sosialisme,
entah apa pun bentuknya akan tergantikan dengan mudah tetapi
perlahan oleh liberalisme. Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud
dengan liberalisme itu sendiri? Aku terkesan terlalu bersemangat
mempersoalkan sistem itu setelah memaparkan dan mempersoalkan
sosialisme. Jujur aku memang sangat tertarik mempersoalkan
liberalisme. Ia begitu saja menghampiri benakku, sehingga akupun
tergoda untuk mengkajinya.

144 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Aku awali dengan pemaparan akan liberalisme–klasik. Ide
liberalisme–klasik muncul dari ilmuwan Scottish. Ide ini dinilai
dipaparkan pertama-kalinya oleh Adam Smith. Ia mengajarkan pada
kalangannya bahwa arahan kolektif dan kontrol terhadap aktivitas, apa
pun itu, tak dapat ditolerir. Negara dan institusi sejenisnya tak layak
melakukan intervensi. Negara hanya diizinkan sebagai pelindung bagi
individu; kekayaan dan kontrak-kontrak ekonomi yang muncul sebagai
produk dari interaksi manusia. Dengan perlindungan semacam itu,
individu dapat mengusahakan kebahagian mereka. Individu dapat
memaksimalkan pilihan dan usaha mereka dalam memaksimalkan
kepuasan atau utility-maximization. Bagi kalangan liberalisme, pengakuan
terhadap kebebasan individu merupakan sesuatu yang sangat alamiah.
Mereka menyebut hal itu dengan simple system of natural liberty.[36]
Sosialisme modern kembali bangkit dari kubur untuk melawan
pandangan dan doktrin liberalisme-klasik tersebut. Ironis, anasir-anasir
yang dibangun oleh sosialisme-modern ‘menerpa ruang kosong’—
kurang disambut baik. Mengapa demikian?
Marxisme-humanis bermunculan, dan bangkit melakukan
perlawanan terhadap liberalisme-klasik. Meskipun hanya mampu
menjadi kelompok akademisi-minoritas, tetapi kemunculan itu kian
membuat liberalisme-klasik kuat. Tentu saja ini membuat kalangan
sosialisme-tradisional; dan marxisme-humanis semakin frustasi. Rezim
sosialis di era modern segera bertumbuhan dan dipaksa melakukan
konsolidasi baru. Tak hanya itu, mereka dipaksa melakukan revolusi
paradigma—upaya membangun integrasi antara doktrin liberalisme dan
sosialisme. Limbak dari pada itu, lahirlah sosialisme baru. Argumentasi
pun dibangun diseputar transformasi tersebut. Sebagian mereka, dalam
amatanku, mengembar-gemborkan argumentasi bahwa liberalisme
adalah “bentuk lanjut” dari sistem terdahulu—sosialisme. Pandangan
ini, bagiku, sangat aneh. Tetapi itulah kenyataannya. Argumentasi
harus dirumuskan agar revolusi sistem sosialisme-baru tersebut dapat
diterima.
Aku menemukan ada perbedaan paling mendasar antara sosialisme
dan liberalisme. Keduanya sesungguhnya secara genetik sudah sangat
berbeda. Maka upaya mempersatukannya jelas terkesan ganjil, bahkan
dapat dinilai sebuah tindakan naif. Betapa tidak, secara genetik
liberalisme bermuara pada terbentuknya political entrepreneurs—orang-

Bab 7 | Individual Freedom: Memoar atas Kebebasan Manusia 145


orang memiliki keterampilan dalam mencari keuntungan melalui
konstitusi, bahkan mereka sangat piawai dalam memanfaatkan negara
mengapai tujuan dan kepentingan ekonomi.[37] Berbeda dengan
sosialisme. Sistem ini dibangun atas dasar ideologi bahwa setiap
individu tak boleh merayakan kebebasannya. Individu mesti rela
menceburkan diri pada kolektivisme dan bernaung di bawah kontrol
negara. Puncak dari sosialisme adalah terwujudnya kediktatoran-
proletariat. Dalam konteks ini kemudian aku mengangap ‘perkawinan’
sosialisme-liberalisme adalah sesuatu yang naif, dan tentu saja hanya
akan membuang-buang energi akademik.
Pandanganku itu mendorong lahirnya penilaian betapa subjektifnya
aku ketika menilai teori dan proyek akademik orang lain. Aku
akui bahwa penilaian itu ada benarnya. Namun aku ingin tegaskan
subjektivitas itu muncul bukan ada dasar ‘suka’ dan ‘tidak suka’.
Tetapi seutuhnya didorong oleh sabda intelektual dari pengembaraan
pengetahuan yang ‘ku lakoni. Lalu, di mana posisi subjektivitasku?
Barangkali pandangan itu muncul ketika mereka memahamiku
terlalu concern pada mazhab Austria. Sekilas, memang terkesan aku
membelas liberalisme-Austrian. Benarkah demikian, faktanya? Aku
memperkenalkan satu teori yang memang mengedepankan subjektivitas
sebagai fondasi metodologisnya—the subjective cost theory.[38] Aku
sengaja membedakan dalam aspek metodologis dari metodologi lainnya.
Kendati demikian, aku tak dapat mengelak dari pelabelan bahwa diri
dan karya-karyaku adalah bagian dari mazhab Austria—mazhab yang
konsisten memperjuangkan doktrin liberalisme. Lalu apa sesungguhnya,
mazhab Austria tersebut?
Dewasa ini, liberalisme sering dikategorikan sebagai liberalisme-
klasik. Setelah ‘ku pelajari liberalisme pada dasarnya meletakkan
asumsi tentang masyarakat sipil sebagai sebuah large self-regulating,
ketika masyarakat tersebut memperoleh kebebasan untuk bertindak
dan berbuat.[39] Satu masyarakat baru dapat dinilai sebagai masyarakat
sipil, ketika mereka memiliki dan diakui hak-hak privat terkait
kepemilikan; kebebasan dalam membuat kontrak dan pertukaran, serta
diberikan hak untuk mendisposisi tenaga kerja yang mereka miliki. Lalu
mengapa pula liberalisme dilabeli dengan mazhab, terutama mazhab
Austria? Kisah ini bermula ketika Carl Menger mempublikasikan satu
buku, Principles of Economics pada tahun 1871. Bagi banyak ekonom, buku

146 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Carl Menger tersebut sangat liberal karena banyak didalamnya memuat
anasir-anasir doktrin liberalisme. Dalam konteks ini kemudian, aku
tertarik mencari hubungan antara mazhab Austria dengan liberalisme.
Upaya ini ‘ku lakukan agar diriku tak merasa terhina jika kenyataannya
banyak ekonom menisbahkanku kepada mazhab Austria.
Mazhab Austria sangat mengebu-gebu memperkenalkan konsepsi
Wertfreiheit (value-freedom or value-neutrality). Konsepsi tersebut erat
kaitannya dengan Max Weber.[40] Dalam konteks ini, Ludwig von
Mises pernah berpendapat bahwa “economics is a political or nonpolitical....
it is perfectly neutral with regard to judgments of value, as it refers always to
means and never to the choice of ultimate ends.”[41] Secara tegas, von Mises
menegaskan bahwa ilmu ekonomi mestilah bebas nilai. Pandangan
tokoh ini diamini dikemudian hari oleh banyak kalangan, terutama
ekonom. Bahkan tak selesai pada titik itu, von Mises dalam satu
bukunya, Human Action, berusaha memaparkan hubungan antara value-
free ilmu ekonomi dengan ilmu politik liberal.
Ludwig von Mises menulis:
“While praxeology, and therefore economics too, uses the terms happiness
and removal of uneasiness in a purely formal sense, liberalism attaches to them a
concrete meaning. It presupposes that people prefer life to death, health to sickness,
nourishment to starvation, abundance to poverty. It teaches men how to act in
accordance with these valuations. . . . The liberals do not assert that men ought to
strive after the goals mentioned above. What they maintain is that the immense
majority prefer [them].”[42]
Ilmu ekonomi, seperti yang dipersepsi oleh Ludwig von Mises,
mengajarkan pentingnya mempromosikan free-values bagi seantero
manusia. Ini bermakna bahwa secara alamiah, pemeliharaan dan
pembelaan terhadap pasar bebas, dan kepemilikan pribadi adalah
doktrin paling alamiah dari ilmu ekonomi. Dikatakan alamiah, karena
sejak awal manusia mengenal lapar sesungguhnya manusia sudah
memiliki naluri untuk bertahan hidup dan hasrat untuk memperoleh
kebahagian. Hal lain yang paling menarik dari mazhab Austria di
benakku adalah “metodologi-individual” (methodological individualism).
Terkait hal ini,Carl Menger pernah menulis:
The nation as such is not a large subject that has needs, that works, practices
economy, and consumes. . . . Thus the phenomena of “national economy” . . . are,
rather, the results of all the innumerable individual economic efforts in the nation

Bab 7 | Individual Freedom: Memoar atas Kebebasan Manusia 147


and . . . must also be theoretically interpreted in this light….Whoever wants to
understand theoretically the phenomena of “national economy” . . . must for
this reason attempt to go back to their true elements, to the singular economies
in the nation, and to investigate the laws by which the former are built up from
the latter.”[43]
Fritz Machlup (1981) juga pernah membahas metodologi-
individualisme. Baginya fenomena ekonomi dapat dijelaskan melalui
perilaku individu.[44] Bahkan Jon Elster pernah membicarakan dan
mempromosikan bahwa metodologi-individualisme penting diterapkan
dalam ilmu-ilmu sosial, terutama ilmu ekonomi. Ia menolak klaim Karl
Marx tentang tidak kompatibelnya ilmu ekonomi dengan metodologi-
individualisme. Padahal mazhab Austria sudah berupaya membebaskan
anasir-anasir ideologis dalam metodologi, sehingga dengan demikian
objektivitas dalam dipelihara dan diselamatkan dalam metodologi ilmu
ekonomi. Ini merupakan tamparan paling keras yang diarahkan oleh
mazhab Austria terhadap kalangan marxisme-klasik—mazhab yang
terlalu banyak memuat anasir-anasir rasisme dan hyper-nationalism.
[45] Jujur aku menangkap satu kondisi dan tradisi di mana mazhab
Austria mempertimbangkan faktor politik dalam perdebatan yang
bergulir. Mengapa demikian? Pada umumnya mazhab Austria percaya
bahwa nation dan negara dipahami sebagai entitas holistik. Carl Menger
sering kali menegaskan hal itu diberbagai forum. Mafhum, karena
sesungguhnya basis metodologi Carl Menger adalah integrasi antara
ilmu politik dan ilmu ekonomi. Tak mengherankan jika kemudian dalam
karya-karya Carl Menger ditemukan asumsi-asumsi terhadap perilaku
individu yang didasarkan pada fondasi ilmu politik. Lalu, bagaimana
aku menempatkan atau memosisikan diriku dalam perdebatan yang
terjadi dikalangan mazhab Austria. Jawabanku adalah hanya dalam aspek
metodologis. Jujur aku memang tertarik pada metodologi-individualisme
seperti yang dikembangkan dalam mazhab Austria. Dan tak berlebihan
pula jika berbagai teori yang kuperkenalkan kepada dunia seperti teori
‘individual-freedom’ dan teori ‘pilihan publik’ sesungguhnya berdiri di
atas fondasi metodologi-individualisme. Dengan demikian, aku merasa
bahwa proyek intelektualku sampai pada satu titik, aku menyebutnya
dengan purna-karya: sebuah kondisi psikologis di mana diriku merasa
puas dengan pilihan metodologis, yang dikemudian hari menjadi tempat
diriku tegak berdiri begitu kuat dan kokoh. Demikianlah.

148 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Catatan Akhir (Endnotes)
1
Howard R.Vane. Loc.Cit., hlm. 153.
2
Ibid.
3
Ibid., hlm. 153.
4
Ibid.
5
Ibid., hlm. 153.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 154.
9
Ibid.
10
James Buchanan. 2000. The Limits of Liberty: Between Anarchy and Leviathan.
(Indianapolis: Liberty Fund,INC)., hlm. 22.
11
Ibid., hlm. 23.
12
Ibid.
13
Ibid., hlm. 24.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid., hlm. 25.
18
Ibid.
19
Ibid., hlm. 28.
20
Ibid., hlm. 33.
21
Ibid., hlm. 46.
22
James M. Buchanan. 2000. The Collected Works of James M. Buchanan: The Reason
of Rules. Vol. 10. (Indianapolis: Liberty Fund). Hlm. 5.
23
Ibid.
24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 6.
26
Ibid.
27
James M. Buchanan. 2005. Afraid to Free: Depedency as Desideratum. Public
Choice, Vol. 124., hlm. 19.
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Ibid., hlm. 20.
32
Ibid.
33
Ibid., hlm. 22.
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid.
37
Raplh Raico. 2012. Classical Liberalism and The Australian School. (Auburn:
Ludwig von Mises Institute)., hlm. 69.
38
Thomas J. DiLorenzo. The Subjectivist Roots of James Buchanan’s Economics. The
Review of Austrian Economics, Vol. 4, 1990., hlm. 180.
39
Raplh Raico. log. cit., hlm. 1.
40
Ibid., hlm. 2.
41
Ibid.
42
Ibid.

Bab 7 | Individual Freedom: Memoar atas Kebebasan Manusia 149


43
Ibid., hlm. 3.
44
Ibid., hlm. 4.
45
Ibid.

150 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


)
Epilog

EKONOMI DI ALTAR

)
KEINDONESIAN;
MENAKAR UNIFIKASI KULTUR,
AGAMA DAN EKONOMI
“Apa yang masih tersisa untuk kita banggakan sebagai sebuah bangsa? Hanya sebuah
mozaik budaya dan kearifan yang membentang dari Sabang hinga Merauke. Lantas apa
yang masih tersisa dalam benak kita sebagai seorang pribumi, melainkan orisinalitas nalar
dan pengetahuan yang bersumber dari keautentikan kita sebagai manusia Indonesia.”

–Muhammad Sholihin: 26/04/2013–

[De]kolonialisasi Metodologi:
Sebuah Pendahuluan
Bagi pemikir dan ilmuwan, ruang untuk melahirkan teori itu
begitu sempit dan sumpek. Tidak banyak teori yang dapat dihasilkan,
melainkan hanya repetisi, bahkan hanya menguatkan teori yang telah
ada, dan itu pun berasal dari tradisi asing—Barat dan Timur. Kedua
tradisi ini telah menciptakan batas-batas ilmu pengetahuan. Mekanisme
yang diterapkan dalam pembatasan itu dapat diilustrasikan dengan
sebuah lapangan bola lengkap dengan peraturannya, dan para ilmuwan
hanya bisa bermain di dalam lapangan itu saja dan harus patuh pada
aturan-aturan dirumuskannya. Keluar dari keduanya (lapangan dan
aturan) berarti gagal. Lantas masih mungkinkah ilmuwan, khususnya
ekonom Muslim di Indonesia melahirkan teori ilmu pengetahuan
yang autentik, dan orisinil berdasarkan semangat dan karakter mereka
sebagai sebuah bangsa? Ini adalah sebuah pertanyaan mendasar, atau
lebih persisnya sebagai kesangsian awam terhadap keautentikan ilmu
ekonomi Islam. Dalam pemaknaan lainnya, pertanyaan ini adalah hasil
dari gugatan terhadap krisis ilmu pengetahuan yang disebabkan oleh
kolonialisasi metodologi.

151
Kesangsian, atau senada dengan istilah Edward W. Said,
“kritisisme” merupakan senjata untuk melawan berbagai bentuk
tirani, dominasi, dan segala kekejaman metodologis. Tujuan sosialnya
adalah ilmu pengetahuan yang nonkoersif dalam ikatan kebebasan, dan
kemanusiaan.[1] Apa hubungan antara pandangan Edward W. Said ini
dengan gerak pengilmuan ekonomi Islam dewasa ini? Ada dominasi,
atau bahkan tirani metodologi dalam berbagai pertumbuhan ilmu
pengetahuan sosial, termasuk ilmu ekonomi. Unifikasi sains; semacam
peleburan berbagai ilmu pengetahuan ke dalam positivisme, adalah
bentuk dominasi klasik dalam ilmu pengetahuan. Tanpa disadari kondisi
ini mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan. Kuantitas ilmu
pengetahuan meningkat, tetapi ironis paradigma ilmu semakin sempit
bahkan hanya dibatasi pada positivisme. Krisis ilmu pengetahuan pun
pecah. Berbagai kebuntuan, dan ketidakmampuan ilmu pengetahuan
lahir seiring dominasi itu.
Frijof Capra mendeskripsikan dominasi itu dengan:
“Kemenangan mekanika ala Newton pada abad kedelapan belas
dan kesembilan belas menetapkan fisika sebagai prototipe ilmu
“keras” yang digunakan untuk mengukur ilmu-ilmu lain dengan
lawannya. Semakin dekat ilmuwan berhasil untuk menandingi
metode-metode fisika, dan semakin banyak konsep-konsep fisika
yang dapat mereka gunaka, semakin tinggi posisi disiplin mereka
di dalam komunitas ilmiah. Dalam abad kita, tendensi untuk
mencontoh konsep dan teori ilmiah menurut fisika ala Newton
semacam ini telah menjadi suatu rintangan berat dalam banyak
bidang, tetapi barangkali yang paling banyak adalah dalam ilmu-
ilmu sosial. Ilmu-ilmu sosial secara tradisional telah dianggap
sebagai yang “terlunak” di antara ilmu-ilmu yang lain, dan ilmuwan
sosial telah mencoba dengan sangat keras untuk memperoleh
kehormatan dengan cara mengadopsi paradigma ala Descartes dan
metode-metode fisika ala Newton. Namun demikian, kerangka ala
Descartes sering kali sangat tidak cocok untuk fenomena-fenomena
yang mereka gambarkan, dan akibatnya model-model mereka telah
menjadi semakin tidak realistik. Hal ini semakin nyata saat ini
dalam ilmu ekonomi.”[2]
Deskripsi Frijof Capra terhadap dominasi paradigma Newton,
dan digunakannya metode fisika dalam ilmu sosial, senada dengan
kesimpulan F. Budi Hardiman yang menyebut itu dengan krisis

152 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


epistemologi. Menurutnya, “... riset dalam ilmu-ilmu sosial dan
kemanusian dalam masyarakat Indonesia masih lazim menggunakan
pendekatan kuantitatif. Pendekatan yang mencari ‘objektivitas’ dan
‘kebebasan nilai’ ini banyak dipengaruhi oleh metode-metode ilmu
alam yang memang terbukti sukses diterapkan dalam bentuk teknologi
modern. Sementara itu di Barat, tempat asal perkembangan ilmu-ilmu
tersebut, sudah sejak abad ke-19 positivisme dalam ilmu-ilmu sosial itu
dianggap tidak memadai untuk memahami manusia dan masyarakat.[3]
Dominasi itu tidak berhenti hanya pada ilmu ekonomi; ketika ekonomi
Islam kembali dirumuskan, positivisme kembali merasuki disiplin ini.
Dalam konteks ini kemudian mazhab Mainstream berkembang, dan
berupaya melakukan saintifikasi ekonomi Islam. Bagaimana fenomena
ini dimaknai?
Dominasi paradigma positivisme atau mengguritanya pendekatan
Newtonian dalam ilmu-ilmu sosial adalah bagian dari kolonialisasi
metodologi, sebuah gerak sains dan penjajahan paradigma. Ini memicu
lahirnya berbagai hibriditas ilmu pengetahuan; pecangkokan paradigma
ilmu pengetahuan, sehingga menghilangkan karakter dan keautentikan
ilmu itu sendiri. Fenomena ini telah dilacak lebih awal oleh Amar
Acheraïou, dalam sejarah persilangan ilmu pengetahuan antara Yunan
dan Romawi. Ia menandaskan bahwa pengeksplorasian isu-isu hibriditas
kultural, teknologis, administratif, dan biologis dapat ditemukan
dalam beberapa imperium kuno, khususnya Yunani dan Romawi.[4]
Penelusuran dan kesimpulan Amar Acheraïou menegaskan bahwa
hibridasi ilmu pengetahuan sesungguhnya telah berlangsung lama.
Namun ia selalu berubah, dan pemenangnya pun akan selalu berganti.
Jika dulu, pada era imperium klasik, Yunani dan Romawi sebagai bumi
di mana filsafat sebagai disiplin Mainstream lahir dan memengaruhi
berbagai perkembangan ilmu pengetahuan di belahan bumi lainnya.
Pada abad modern, konstelasi itu telah berubah. Filsafat Aristoteles,
Plato dan tradisi helenisme lainnya digantikan oleh metodologi
Newtonian, dan akhirnya berpuncak pada dominasi positivisme dalam
ilmu-ilmu sosial–humaniora, bahkan dalam studi Islam sekalipun. Krisis
epistemologi bermula dari sini.
Piet Strydom telah mendiagnosa, pada zaman modern ada krisis
wacana, bahkan dalam ilmu sosiologi sekalipun juga terlihat adanya
gejala krisis tersebut. Masalah umum yang ditemukan pada periode

Epilog 153
tersebut adalah hilangnya fondasi umum—sebuah kebebasan untuk
menentukan paradigma ilmu pengetahuan, sesuai dengan keautentikan
disiplin yang akan dikembangkan.[5] Kecenderungannya, ilmu-ilmu
sosial bergerak meniru, memasukkan, bahkan mentradisikan paradigma
positivisme secara ekslusif. Bahkan kondisi ini juga dapat dirasakan
dalam ilmu ekonomi modern, di mana dominasi positivisme telah
melahirkan berbagai hibriditas teori ekonomi; teori-teori ekonomi
yang mencangkokkan diri pada hukum-hukum alam serupa teori-teori
fisika. Hal ini dapat dimaklumi, karena positivisme lebih cenderung
mengasumsikan manusia dan perilakunya sama dengan alam dan
fenomenanya. “Setiap perilaku manusia digerakkan oleh hukum-hukum
tertentu, yang bersifat kausalitas.” Demikian positivisme memaknai
manusia.
Dalam konteks di atas Aguste Comte memaparkan bahwa:
“... setiap kekuasaan spritual secara prinsipil harus dapat diuji,
dan ini kemudian yang akan menjadi model terbaik bagi proposal
positivisme dan katolikisme. Bagi kalangan positivisme, objek
moral ditujukan untuk membuat insting simpatis (sympathetic
instincts) mampu melampaui sejauh mungkin insting diri (selfish
instincts); social feeling melampaui personal feeling.[6]
Dari pandangan Aguste Comte itulah doktrin bahwa ilmu
pengetahuan harus dilahirkan secara bebas nilai (free values); objektif,
empirisme, dan mesti membuang jauh bias subjektivitas. Dalam
kata lainnya, mengacu pada penjelasan Harriet Martineau; menurut
pandangan positivistik, “mind” atau nalar telah menghasilkan pencarian
yang sia-sia setelah absolute notion, dan hukum alam benar-benar
mengilhami ilmuwan untuk mempelajari hukum-hukum alam. Pada
kondisi itulah mereka menemukan berbagai benang merah, yang
dapat dihubungkan.[7] Hal ini mengondisikan ilmuwan untuk terus
mengadopsi nalar, atau paradigma positivisme dalam menghasilkan
teori-teori ilmu pengetahuan, bahkan dalam ilmu sosial sekalipun.
Tanpa disadari kecenderungan seperti inilah sesungguhnya yang
memberi peluang bagi positivisme untuk terus menjadi ‘penjahat’
metodologi. Bagaimana jika kenyataan yang telah dipaparkan ini
dihubungkan dengan ekonomi Islam?
Untuk mengatakan bahwa kolonialisasi terhadap ekonomi Islam
telah berlangsung, meskipun tidak terlalu kuat seperti kolonialisasi

154 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


terhadap ekonomi konvensional. Namun kolonialisasi ini dapat dilacak
dari kemunculan mazhab Mainstream, lengkap dengan nilai-nilai
eksklusivisme metodologi yang dibawanya. Eksklusivisme metodologi
adalah penanda (signifier) berlangsungnya kolonialisasi metodologi
dalam ekonomi Islam. Ada sikap ideologis yang mulai tumbuh di
kalangan pengiat ekonomi Islam dalam memahami dan mengaplikasikan
metodologi dalam penelitian ekonomi Islam; sebuah sikap yang terlalu
mendewa-dewakan paradigma positivisme. Sayangnya, sikap itu juga
bergerak ke arah yang sama dengan sikap yang telah mapan pada
ekonomi positivisme. Dan itu adalah keyakinan paradigmatik, bahwa
yang ada hanyalah saintifikasi ekonomi islam, di luar proses ini maka tidak
dinilai dan diakui sebagai ekonomi Islam. Hal ini tidak saja berdampak
pada kebuntuan, tetapi lebih dari itu ketidakmampuan ekonomi Islam
memecahkan isu-isu ekonomi yang bersumber dari domain yang tidak
terjangkau oleh positivisme, seperti idealisme. Gaston Bachelard
menyebut hal ini dengan dilema geometri; dilema positivisme.[8]
Dinilai dilema karena tidak semua hal dan fenomena sosial yang dapat
dijelaskan dengan mengandalkan pendekatan kuantifikasi abstrak,
layaknya metode Newton dalam menemukan hukum-hukum alam.
Terlebih lagi jika dihubungkan dengan ekonomi Islam, yang memiliki
sumber-sumber pengilmuan yang lebih kompleks ketimbang ekonomi
konvensional lainnya.

Ekonomi+Islam, [Ilmu atau Doktrin]:


Mempertimbangkan Mazhab Ekonomi Islam
Perdebatan; apakah ekonomi Islam sebuah doktrin atau ilmu
pengetahuan telah berlangsung antara mazhab Baqir as Sadr dan mazhab
lainnya, khususnya mazhab Mainstream. Dari definisi, karakteristik
ekonomi Islam memang ada kesan bahwa ekonomi Islam adalah sebuah
doktrin yang dirumuskan untuk menjadi panduan perilaku ekonomi
berdasarkan nilai-nilai keislaman. Tetapi pandangan ini juga tidak
seutuhnya benar, karena ada mazhab lain yang percaya bahwa ekonomi
Islam adalah sebuah disiplin ilmu, persis ilmu ekonomi modern lainnya.
Ahmed A.F. El-Ashker dan Rodney Wilson telah menelusuri sejarah
pertumbuhan ekonomi Isam sebagai ilmu pengetahuan. Secara historis,
tulis Ashker dan Wilson, pada awal pemerintahan Islam memang tidak
secara tegas disebutkan istilah ekonomi Islam. Tetapi pemerintah

Epilog 155
Islam telah melaksanakan sistem ekonomi yang diinspirasi dari Islam
itu sendiri.[9] Hal ini menandaskan bahwa ekonomi Islam itu telah
lahir sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Ada banyak bukti tulisan,
untuk kemudian disebut dengan eksemplar ekonomi Islam yang ditulis
oleh fuqaha’ atau Muslim jurists.[10] Dan tulisan tersebut setidaknya
membuktikan pandangan bahwa ekonomi Islam adalah sains. Meskipun
mereka menulis isu-isu ekonomi tidak secara spesifik melainkan hanya
bersifat fragmented, terpisah-pisah di pelbagai karya mulai dari fiqh
hingga dapat ditemukan dalam kita-kita tasawuf seperti ihya’ ulumuddin
karangan Al-Ghazali. Pemikiran bahkan teori tentang ekonomi Islam
tersebut telah menjadi dasar kebijakan oleh pemerintahan, atau khilafah
Islam untuk melahirkan kebijakan ekonomi rabbani; sebuah sistem
perekonomian yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. Namun fakta
historis ini, tidak cukup kuat menyakinkan Muhammad Baqir as Sadr
untuk mengakui bahwa ekonomi Islam adalah sebagai sebuah ilmu
pengetahuan. Mengapa demikian?
Muhammad Baqir as Sadr1 adalah seorang ulama syiah kharismatik.
Melalui magnum opus-nya, “iqtishûda”; as Sadr menegaskan keyakinannya
bahwa ekonomi Islam bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan hanyalah
seperangkat doktrin ekonomi yang harus dijadikan acuan, dasar
pertimbangan bagi umat Islam dalam berperilaku ekonomi. Ini pula
yang mendorong as Sadr memperkenalkan aspek ‘subjektivitas’ ekonomi
Islam. Secara esensial, paradigm as Sadr ini telah mendorong dirinya
untuk memperkenal metode yang unik dalam menghasilkan doktrin
ekonomi Islam. Namun secara bersamaan hal tersebut memunculkan
‘inkonsistensi’ Baqir as Sadr. “Ketika as Sadr meyakini bahwa ekonomi
Islam bukan ilmu pengetahuan, tetapi mengapa kemudian dirinya
menggunakan metodologi khas, dan spesifik untuk menghasilkan
doktrin ekonomi Islam?”. Pada titik inilah “inkonsistensi” Baqir as
Sadr mencuat, muncul ke permukaan. Ketidakkonsistenan Baqir as
Sadr hanya terletak pada penggunaan metode al-istiqrā’ terhadap isu-
isu ekonomi Islam.

1
Kazimiya; sebuah kota di Baghdad-Irak, menjadi saksi atas lahirnya seorang
bayi laki-laki. Hari itu tanggal 25 Dzulqa’idah 1353 H, bertepatan dengan 01-03-
1935 M, Muhammad Baqir as-Sadr lahir. Hanya tiga tahun, Muhammad Baqir
as-Sadr tumbuh dalam dekapan kasih-sayang seorang ayah, pada 27 Jumadil Stani
1356, ayahnya Sayyed Haidr al-Sadr, wafat di kota Kazimiya.

156 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Dalam aspek lain, Muhammad Baqir as Sadr sangat mengutamakan
subjektivitas nash ketimbang objektivitas empiris ketika memahami, dan
melahirkan doktrin ekonomi Islam atau iqtishad. Dengan cara itu pula
Baqir as Sadr dapat mengisi ruang kosong dalam ekonomi Islam. Hal
itu merupakan pengembaraan Baqir as Sadr terhadap ekonomi Islam
dari ruang kosong hukum ekonomi Islam. Ia pernah menegaskan, “...
dalam usaha kita menemukan doktrin ekonomi [Islam], kita harus
benar-benar memperhatikan ruang kosong dalam hukum [Islam di
ranah] ekonomi karena kekosong itu mewakili satu sisi dari doktrin
ekonomi Islam.”[11] Apa yang diteorikan oleh Baqir as Sadr ini bergaris
lurus dengan pandangan Farhad Nomani dan Ali Rahnema di mana:
“... a firm grasp of the theoritical underpinnings and characteristics of the
Islamic economic system is impossible without a clear understanding of the legal
parameters that condition and shape it,”[12] atau usaha untuk memahami
fondasi dan karakter sistem ekonomi Islam adalah mustahil tanpa
pemahaman yang kuat terhadap parameter hukum yang mengkonstruksi
dan membentuknya. Baik Baqir as Sadr maupun Farhad Nomani dan
Ali Rahnema, mereka sangat menyadari pentingnya subjektivitas nash
untuk melahirkan berbagai teori ekonomi Islam. Bagaimana dengan
mazhab ekonomi Islam lainnya?
Ketika Baqir as Sadr memperkenalkan ‘pentingnya subjektivitas’
dalam melahirkan teori ekonomi Islam, maka lain halnya dengan
Mazhab Mainstream. Mereka masih terikat dengan doktrin positivisme,
bahwa rasionalisme dan empirisme adalah dua hal yang harus ada
dalam sebuah ilmu pengetahuan. Tanpa keduanya, maka kebenaran ilmu
pengetahuan tidak dapat diterima, bahkan ditolak sepenuhnya. Oswald
Hanfling lewat sebuah tulisannya, Logical Positivism, memaparkan bahwa
kritikan yang terus-menerus diarahkan kepada positivisme bukan
tanpa alasan. Ada arogansi, dan keagresifan positivisme sehingga
kubu ini layak menerima kritikan dari kelompok-kelompok lain yang
berseberangan.[13] Arongansi positivisme terletak pada penggunaan
hard science sebagai satu-satunya alat untuk mencari dan menetapkan
kebenaran ilmu pengetahuan. Ketika tidak menggunakan alat-alat yang
ditasbihkan sebagai metode milik positivisme, maka kebenarannya yang
dihasilkan tidak dapat dianggap sebuah teori. Sihir ini kemudian yang
memengaruhi Mazhab Mainstream.

Epilog 157
Tugas utama yang dinubuatkan kepada positivisme adalah
mengeliminir pengaruh, dan tendensi metafisika dalam proses
membangun sebuah disiplin ilmu, termasuk ilmu ekonomi. Robert
Carnap dalam rangka itu, sengaja mempublikasikan sebuah artikel
dengan judul “The Elimination of Metaphysics through the Logical
Analysis of Language”. Dalam artikel ini ia mengajukan pertanyaan:
“Can it be that so many men, of various times and nations, outstanding minds
among them, have devoted so much effort, and indeed fervour, to metaphysics,
when this consists of nothing more than words strung together without
sense?”[14], atau ... dapatkan setiap orang dalam lintas zaman dan
bangsa, menonjolkan nalar antarsesama mereka, mencurahkan banyak
usaha bahkan semangat, terhadap metafisika, sungguh ini tidak lebih
dari sekedar kata-kata tanpa indra? Carnap hanya ingin menyampaikan
bahwa ilmu, apa pun rumpunnya jika ia mengandalkan metafisika terlalu
tunduk pada aspek normatif, maka pada saat itu ia sesungguhnya telah
menjadikan diri pada tipu daya kata-kata. Lantas, dapatkah pandangan
klasik dan primitif Robert Carnap ini diaminkan?
Ekonomi Islam sebagai disiplin paradoks, karena kompleksitas
paradigma yang dimilikinya, adalah ilmu pengetahuan yang tidak
biasa. Ia berasal dari dua hal yang berbeda, bahkan dalam sejarahnya
terus-menerus berkonflik. Metafisika dan empirisme; dua hal ini adalah
fondasi ilmu ekonomi Islam. Metafisika di sini diartikan sumber-sumber
normatif ekonomi Islam seperti Al-Qur’an, hadis, dan qaul sahabat,
bahkan fatwa ulama dikelompokkan ke dalam bentuk ini. Sementara itu,
empirisme adalah ekonomi Islam sebagai realitas. Hal ini kemudian yang
mendorong ekonomi Islam dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan
berparadigma ganda[15]; ekonomi Islam memosisikan Islam lengkap
dengan landasan doktrinnya; budaya lengkap dengan nilai-nilai
idealisme; dan realitas lengkap dengan objektivitasnya secara sejajar
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Ini kemudian yang menyebabkan
ekonomi Islam layak disebut sebagai disiplin berparadigma ganda.
Kompleksitas paradigma ekonomi Islam ini memicu gerakan saintifikasi
ekonomi Islam di kalangan Mazhab Mainstream. Padahal hal ini tidak
diperlukan, mengingat bahwa ekonomi Islam haruslah dibiarkan
tumbuh dengan keautentikannya sebagai ekonomi normatif.

158 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


Ingin berbeda dengan dua mazhab terdahulu, Mazhab Baqir as
Sadr; Mazhab Mainstream, maka Mazhab Alternatif menawarkan
pengilmiahan ekonomi Islam dengan menekankan pentingnya
melibatkan metodologi klasik, yakni manhaj fiqhiah. Dalam bentuk ini
ushl fiqh dimodifikasi menjadi ushl iqtishadiah; sebuah manhaj untuk
melahirkan teori ekonomi Islam dari sumber-sumber asalnya, Al-
Qur’an; Hadis; dan qaul serta fatwa sahabat. Demikian, Al-Misri
(1999) menjelaskan lebih detail bahwa setidaknya ada beberapa fase
metodis dalam melahirkan teori ekonomi Islam. Pertama, ekonomi Islam
diproduksi dari wahyu (Qur’an dan Hadis) sehingga sumber-sumber
lain yang bertentangan dengan dua sumber ini diabaikan, bahkan tidak
diakui. Kedua, ekonomi Islam memiliki kohesi yang kuat dengan ilmu-
ilmu humaniora. Ketiga, metode lain yang mungkin diterapkan terhadap
ekonomi Islam adalah al-istiqra.[16] Metodologi yang dipaparkan oleh
Al-Misri tersebut, dapat dihubungkan dengan manhaj Mazhab Alternatif
yang mengedapankan pluralitas metodologi untuk melahirkan,
membangun teori-teori ekonomi Islam. Dan secara genealogis, Mazhab
Alternatif ini yang paling akomodatif terhadap tradisi ilmu-ilmu sosial
yang sama sekali tidak berasal dari positivisme, dari verstehend hingga
hermeneutika. Namun kemudian, pertanyaan yang paling mendasar
dan fundamental untuk dihadapkan pada ketiga mazhab ini adalah:
“Mampukah, dengan karakter metodologi masing-masing, ketiga
mazhab (Baqir as Sadr; Mainstream; dan Alternatif) memunculkan
dan menguatkan keautentikan ekonomi Islam?” dan “Bagaimana jika
ekonomi Islam tersebut tumbuh dalam ruang di mana budaya lengkap
dengan kearifan lokalnya telah berdiri dan menjadi karakter masyarakat
Muslim di sana, contohnya Indonesia?”. Dua pertanyaan ini mendorong
adanya usaha untuk berpikir secara epistemologis terhadap ekonomi
Islam Indonesia, sekaligus menegaskan perlunya usaha untuk memberi
ruang mengindonesiakan ekonomi Islam, bukan dalam arti teritorial
melainkan dalam makna epistemologis. Bagaimana kedua hal ini
dielaborasi lebih radikal lagi?

Ekonomi–Indonesia:
Unifikasi Kultur, Islam, dan Ekonomi
Ekonomi Islam di Indonesia tidak hadir di ruang hampa; ada
banyak nilai-nilai kultural yang telah memengaruhi perilaku ekonomi

Epilog 159
masyarakat Muslim di Indonesia. Dalam ruang seperti inilah ekonomi
Islam tumbuh, dan dikembangkan di Indonesia. Hal ini mendorong
agar ekonomi Islam mampu menjadi disiplin yang autentik; sebuah
ilmu pengetahuan yang mempertimbangkan karakter budaya dalam
merumuskan teori-teorinya. Pertanyaannya kemudian, “... bagaimana
konstruksi epistemologis dari diskursus ini?” Jika ekonomi Islam
bermula dari nalar fiqh, maka pada titik inilah budaya dan segala perilaku
ekonomi yang berasal darinya, mungkin untuk dijadikan sebagai
sumber ilmu ekonomi islam. Terlebih ketika ‘urf; sebagai adat/costum
terkadang menentukan struktur perilaku ekonomi. Tidak berlebihan
jika ‘urf diartikan sebagai kebiasaan yang bersifat intersocietal, dengan
melingkupi “kebiasaan” yang disepakati oleh masyarakat dalam satu
atau dua wilayah, bahkan melampaui satu generasi.[17] Melampaui
satu generasi bermakna, “al-‘Urf” sesungguhnya hidup dan terus
diekspresikan secara kontinu dan ajek dalam satu masyarakat, tidak
hanya satu masa tetapi diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Tidak berlebihan jika Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah al-Sa’di
memandang,[18] “Jika satu hukum tidak tertera dengan jelas dan
terang untuk tidak mengatakan tidak tersedia “hukum” qath’i dalam
Al-Qur’an dan hadis, maka pada saat itu “sah” dan dinilai baik untuk
melihat “al-‘Urf” yang berlaku dalam satu masyarakat.
Pandangan dan pemaknaan terhadap al-‘urf, jika dihubungkan
dengan konteks keindonesiaan, maka menghantarkan pada satu
penafsiran bahwa budaya yang ada, dan berkembang di Indonesia
merupakan sebuah mozaik, dan layak dijadikan sebagai pertimbangan
epistemologis. Dalam konteks ekonomi Islam, ini menandaskan
yang dibutuhkan di Indonesia bukan islamisasi ekonomi, melainkan
mengindonesiakan ekonomi islam. Opsi terakhir ini berkorelasi
dengan kenyataan empiris, bahwa di Indonesia ada banyak idealisme
kebudayaan2 yang tidak saja berasal, atau cocok dengan semangat
Islam tetapi juga terdapat kearifan yang diperlukan oleh sebuah sistem
perilaku ekonomi. Mengukuhkan hal tersebut, William A. Jakson (2009)
mengemukan pendapat bahwa, “Manusia telah mengelaborasi budaya

2
Budaya telah menjadi daftar kajian menarik bagi kebanyak akademik,
belakangan ini. Tidak hanya disiplin antropologi dan sosiologis, ekonomi bahkan
ilmu-ilmu alam pun mulai melirik budaya sebagai kajian dan memasukkannya
sebagai domain pemikiran.

160 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


mereka dengan lama. Kebudayaan yang mengajarkan secara arif tentang
mengolah pertanian; pasar; dan organisasi ekonomi lainnya.”[19]
Jika hal ini telah menjadi sebuah tesis, bahkan telah bertransformasi
menjadi ‘kebenaran umu’/general truth, yang tidak terbantahkan
maka sesungguhnya Indonesia lebih layak menjadi laboratorium
unifikasi kultur, Islam, dan ekonomi. Betapa tidak, ada banyak mozaik
kebudayaan yang tumbuh dan terus memengaruhi perilaku masyarakat,
termasuk dalam bidang ekonomi. Pertanyaannya, “Bagaimana kemudian
unifikasi tersebut ditakar berdasarkan epistemologi ilmu pengetahuan?”
Kultur sebagai konsep akademik, tulis William A. Jakson (2009),
telah dikaji jauh sebelumnya. Ide-ide yang berhubungan dengan kultur,
atau budaya telah ada dalam filsafat kuno dan abad pertengahan.
Sayangnya, hal itu tidak pernah didorong atau ditransformasi ke dalam
tradisi pemikiran kultural yang koheren (a coherent tradition of cultural
thought).[20] Meskipun demikian, ruang untuk memperdebatkan
hingga mempertimbangkan budaya sebagai fondasi ilmu pengetahuan,
sesungguhnya telah diperlihatkan oleh geraja Katolik-Roma yang
mendorong terjadinya harmonisasi antara ‘keimanan’ dan ‘nalar’.
Bahkan mereka meletakkan ‘keimanan’ di atas nalar.[21] Dihubungkan
dengan budaya, agaknya dapat dimengerti bahwa diasumsikan bahwa
budaya dan sistem perilaku ekonomi yang berasal darinya didorong
oleh seperangkat nilai-nilai transenden. Dan itu berasal dari berbagai
idealisme, baik agama maupun kearifan lokal. Kenyataan ini yang
diabaikan, khususnya oleh institusionalisme ekonomi; ekonom yang
terlalu fanatik, dan sangat mengandalkan model matematika abstrak
yang ditujukan untuk menjelaskan trend ekonomi yang terjadi dan
memprediksi masa depan ekonomi. Jerome Kagan (2009) dengan kritis
mengelompokan mereka sebagai orang-orang yang terlanjur membuat
asumsi yang tidak realistik. Bahkan hubungan antara model-model ini
dengan fakta ekonomi terlalu lemah.[22] Hal ini dapat saja dipahami
karena terlalu mengandalkan pemodelan matematika, dan menyakini
ceteris paribus sebagai bangunan asumsi penterioan ekonomi; budaya
dan idealisme lain yang sesungguhnya dominan memengaruhi perilaku
manusia terabaikan, dan sengaja untuk tidak dipertimbangkan.
Padahal jika saja sejenak menyediakan sedikit ruang kosong bagi
masuknya paradigma nonpositivisme seperti paradigma semiotika, maka
akan tampak bahwa sesungguhnya ekonomi dan segala perilaku yang

Epilog 161
muncul darinya selalu saja berbarengan dengan hadirnya berbagai tanda,
atau signs. Pada kondisi ini kemudian perilaku ekonomi dipengaruhi oleh
berbagai idealitas-idealitas di luar ekonomi itu sendiri. Scott Lash dan
John Urry, lewat bukunya “Economies of Signs and Space”, memperkenalkan
dua terma untuk memahami ekonomi di luar tradisi positivisme, yakni:
i) cognitive reflexivity, sebuah ukuran untuk memantau diri dan aturan
struktur sosial dan sumber-sumbernya; ii) aesthetic reflexivity, sebuah
proses interpretasi atau penafsiran terhadap latarbelakang praktik-
praktik sosial. Jika cognitive reflexivity mengisyaratkan adanya sebuah
pertimbangan (judgement); maka lain halnya dengan aesthetic reflexivity
yang bersifat hermeneutis, atau dalam pemaknaan Gadamer sebagai
hal yang diselami dalam pre-judgment (baca; idealitas nonekonomi).[23]
Diandaikan jika ekonomi dan realitas adalah hasil dari berbagai
interaksi, baik antara aktor dan kepentingan yang menyertainya,
maka ekonomi sesungguhnya dapat pula dimaknai sebagai hasil dari
konstruksi yang diupayakan oleh berbagai agen-agen ekonomi, termasuk
di dalamnya pengaruh budaya di mana agen itu tumbuh dan berperilaku.
Margarets S. Archer, melalui bukunya “Culture and Agency: The Place of
Culture in Social Theory” (1996) telah menawarkan satu teori yang agaknya
mampu menjelaskan di mana posisi budaya, atau kultur dalam teori
sosial. Ia menamai teori ini dengan “socio-cultural integration”; di mana
menurutnya faktor sosio-kultural menentukan: i) apa respons yang
dibangun ketika dibawah tekanan emanasi situasi yang logis dari sistem
kultural; ii) hal apa saja yang dapat melekatkan, atau mengintegrasikan
struktur sosio-kultur; iii) apakah hal itu berangkat dari socio-culture
(SC) ke culture-system dalam sebuah proses yang baru, atau hanya
sekadar repetisi.[24] Teori yang diperkenalkan oleh Archer ini memang
agak sulit dipahami, tetapi dari sini setidak dapat dimengerti bahwa
kultur memengaruhi aktor dan sistem sosial di mana aktor tersebut
mengekspresikan diri dan berperilaku, termasuk dalam ranah ekonomi.
Kendati demikian, aktor sebagai pembentuk dan pewarna bagi struktur
sosial tidak bertindak secara otomatis, dan otonomis melainkan ia juga
dikonstruksi oleh idealitas seperti nilai-nilai agama, budaya, bahkan
nilai-nilai material-ekonomis. Di sinilah budaya, dan Islam mendapatkan
tempat terbaik dalam realitas ekonomi.
Semakin kukuh kemudian, bahwa budaya, Islam sekaligus realitas
ekonomi dapat diposisikan secara sejajar dalam membangun berbagai

162 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


postulat ekonomi. Pandangan ini merupakan sebuah deklarasi ilmiah
bahwa ekonomi Islam sudah seharusnya memosisikan dirinya pada
altar keindonesiaan; sebuah tempat di mana disana telah hadir berbagai
narasi-narasi besar, lengkap dengan idealitas (baca; budaya, dan nilai-
nilai religiousitas) serta realitas ekonomi. Hal ini kembali menegaskan
apa yang pernah diisyaratkan oleh Jacques Derrida, “... for us the principle
of indeterminism is what makes the conscious freedom of man fathomable..”[25]
atau bagi manusia prinsip indeterminism adalah apa yang membuat
kesadaran bebas manusia dapat diukur. Ini menandaskan sesungguhnya
dalam bidang apa pun, termasuk ekonomi niscaya ada standar, dan ruang
di mana berbagai idealitas bisa dijadikan sebagai acuan umum, bahkan
doktrin. Sebelum menutup diskursus ini, agaknya menarik untuk sedikit
menenggok apa yang telah ditegaskan oleh Fritz Ringer dalam karyanya,
“Max Weber’s Methodolody: The Unification of the Cultural and Social Sciences”
(1997), bahwa: “agnotis awal neokantian ... memiliki hal yang bias
dalam positivisme ... epistemologi empiris yang dibaca dari Kant telah
membuat bingung kelompok kantian itu sendiri...” dan ia melanjutkan
argumentasi lain dalam rangka membangun kesatuan antara budaya dan
ilmu sosial; “Kondisi ini telah mengizinkan, mendorong transformasi
kepada pencarian “dominasi baru” untuk moralitas, dan semangat
religiousitas yang baru; dan akhirnya menggantikan artistic naturalism
dengan idealisme baru.”[26] Akhirnya dengan memberi ruang bagi
budaya, Islam dan juga realitas ekonomi sebagai fondasi teoretis
ekonomi islam, maka sesungguhnya ekonomi Islam akan mendapatkan
keautentikannya sebagai disiplin yang kompleks dan bakal mampu
mewakili Indonesia sebagai sebuah mozaik ekonomi, Islam, dan budaya.

Epilog 163
Catatan Akhir (Endnotes)
1
Lihat dalam Ferial J. Ghazoul. Edward Said and Critical Decolonization. (New
York: the American University in Cairo Press, 2007). Hlm. 6.
2
Frijof Capra. The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture. Terj. M.
Thoyibi. (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002). Hlm. 218-9.
3
F. Budi Hardiman. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis
tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernita. (Yogyakarta: Kanisius, 2008). Hlm. 5.
4
Amar Acheraїou. Questioning Hybridity, Postcolonialism and Globalization. (New
York: Palgrave MacMillan, 2011). Hlm. 13.
5
Piet Strydom. Discourse and Knowledge: The Making of Enlightement Sociology.
(Liverpool: Liverpool University Pres, 2000). Hlm. 93.
6
Auguste Comte. A General View of Positivisme. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009). Hlm. 98.
7
Harriet Martineau. The Positive Philosophy of Auguste Comte. (London: Batoche
Books, 2000). Hlm. 28.
8
Gaston Bachelard. New Scientific Spirit. (Boston: Beacon Press, 1934). Hlm. 19.
9
Ahmed El-Asker & Rodney Wilson. Islamic Economics: A Short History. (Leiden:
Brill, 2006). Hlm. xi.
10
Ibid.
11
Muhammad Baqir as Sadr, lihat dalam Muhammad Sholihin.
PengantarMetodologi Ekonomi Islam: Dari Mazhab Baqir as Sadr hingga Mazhab
Mainstream. (Yogyakarta: Ombak, 2013). Hlm. 80.
12
Farhad Nomani & Ali Rahnema. Islamic Economic Systems. (Kuala Lumpur:
Business Information Press, 1995). Hlm. 1.
13
Lihat dalam Stuart G. Shanker (ed.). Philosophy of Science, Logic and Mathematics
in the Twentieth. (New York: Routledge, 2004). Hlm. 193.
14
Ibid. Hlm. 194
15
Muhammad Sholihin. PengantarMetodologi Ekonomi Islam. Hlm. xii.
16
Ibid. Hlm. 311.
17
Umar Abdullah Kamali, al-Qawaid al-Fiqhiyah al-Kubra wa asharua fi al-
Muamalath al-Maliah, (Kairo: Disertasi Doktor di Fakultas Dirasath al-Arabiah wa
al-Islamiah, tt), hlm. 154.
18
Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah al-Sa’di. al-Qawaid al-Fiqhiah. (Riyad:
Dar ibn al-Jauzi, tt), hlm. 33.
19
Lihat William A. Jackson. Economics, Culture and Social Theory. (UK: Edwar
Elgar, 2009). Hlm. 3.
20
Ibid. Hlm. 3.
21
Lihat dalam Mark J. Cherry (ed.). The Death of Metaphysics, The Death of Culture:
Epistemology, Metaphysics and Morality. (Netherlands: Springer, 2006). Hlm. 3.
22
Jerome Kagan. The Three Cultures: Natural Sciences, Social Sciences, and the
Humanities in the 21st Century. (New York: Cambridge University Press, 2009).
Hlm. 174.
23
Scothh Lash & John Urry. Economies of Signs and Space. (London: SAGE
Publications, 1994). Hlm. 5.
24
Margaret S. Archer. Culture and Agency: The Place of Culture in Social Theory.
(New York: Cambridge University Press, 1996). Hlm. 187.
25
Homi K. Bhabha. The Location of Culture. (London: Routledge, 1994). Hlm. 171.
26
Fritz Ringer. Max Weber’s Methodology: The Unification of the Cultural and Social
Sciences. (London: Harvard University Press, 1997). Hlm. 23.

164 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi


)
)
BIODATA PENULIS

Nurus Shalihin lahir pada 19 November


1969 di sebuah perkampungan dekat lembah
gunung merapi; Lasi IV Angkek Candung,
Agam, Sumatera Barat. Anak ke-2 dari
pasangan Radias dan Djama’an Ahmad ini
dulu belajar mengaji di Madrasah Tarbiyah
Islamiyah Candung (1991); pernah
bersekolah di Fakultas Syari’ah IAIN Imam
Bonjol Padang (1998); berguru Ilmu
Sosiologi di Fakultas Fisipol Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (2003), dan bertualang dalam rimba-
raya Ilmu Sosial di Fakultas Sains Sosial & Kemanusiaan Universiti
Kebangsaan Malaysia (UKM) Malaysia (2012).

165
Muhammad Sholihin lahir di Koto Baru,
Dharmasraya pada tanggal 18 Februari
1984. Menceburkan diri (nyantri) di
pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Candung (MTI Candung, Agam) selama 7
(tujuh). Sebuah pesantren salafi yang
didirikan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasully.
Tahun 2008, memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi Islam dari Fakultas Syariah, IAIN
Imam Bonjol Padang. Tahun 2012 memperoleh gelar Magister Studi
Islam, dengan konsentrasi ekonomi Islam dari Program Pascasarjana
Magister Studi Islam-Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Saat ini
penulis tercatat sebagai mahasiswa doktoral pada Program Studi
Perekonomian Islam dan Industri Halal, Sekolah Pascasarjana-
Universitas Gadjah Mada.

166 Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial dan Ekonomi

Anda mungkin juga menyukai