Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial Dan Ekonomi Haki
Narasi Filosofis Penemuan Teori Sosial Dan Ekonomi Haki
2022.3764 RAJ
Nurus Shalihin
Muhammad Sholihin
NARASI FILOSOFIS PENEMUAN TEORI SOSIAL DAN EKONOMI
Cetakan ke-1, November 2022
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Copy Editor : Rara Aisyah Rusdian
Setter : Jamaludin
Desain Cover : Tim Kreatif RGP
Dicetak di Rajawali Printing
PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16456
Telepon : (021) 84311162
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id
Perwakilan:
Jakarta-16456 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243,
Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan,
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819.
Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294,
Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka
Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin
Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-
3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Perum. Bilabong Jaya
Block B8 No. 3 Susunan Baru, Langkapura, Hp. 081299047094.
)
)
KATA PENGANTAR
v
membuat penulis harus mampu “hanyut” saat ini ke masa lalu, dengan
mengarungi berbagai signifiers dan berbagai makna yang berserak dalam
setiap teks.
Buku ini berusaha membaca secara hati-hati terhadap teks dan
magnum opus sarjana sosial dan ekonomi, agar kemudian mampu
menangkap pengalaman dan perasaan batin ketika para sarjana sosial
dan ekonomi ini menuliskan teori dan ide besar pemikirannya, yang
kemudian mampu merubah dan memengaruhi berbagai perekonomian
dan realitas sosial. Buku ini adalah narasi atas berbagai penemuan
teori sosial dan ekonomi. Dalam penyajiannya, buku ini menawarkan
beberapa topik dan beberapa tokoh dikelompokkan dalam topik
tersebut. Topik pertama adalah ekonometrika: topik ini adalah narasi
atas memoar metodologi Ragnard A.K. Frisch dan Jan Tibergen. Topik
kedua adalah kesejahteraan, yang menarasikan keberpihakan Amartya
Sen, hingga melahirkan konsep pembangunan yang humanis dan
demokratis. Topik ketiga adalah narasi atas teori individualisme, dan
mengungkapkan bagaimana ijtihad Gunnar Myrdal dan F.V. Hayek dalam
menghakimi neoliberalisme.
Topik keempat adalah narasi atas moneter, bagian ini mengelaborasi
bagaimana Milton Friedman meramukan obat resesi ekonomi. Topik
kelima adalah memoar atas dilema ekonomi negara-negara berkembang,
yang dialami oleh W. Arthur Lewis dan Theodore Schultz. Topik
keenam adalah narasi teori pilihan rasional dan perilaku manusia,
yang ditawarkan oleh Gary S. Becker. Topik terakhir adalah narasi atas
kebebasan individual, dan bagian ini adalah memoar atas kebebasan
manusia yang diimajinasikan oleh James Buchanan. Sebagai khatimah,
agaknya buku ini diharapkan mampu menawarkan wawasan baru
dalam membaca teori sosial dan ekonomi yang ditawarkan oleh para
sarjana sosial dan ekonomi, yang terpilih dan dimaktubkan dalam buku.
Semoga.[]
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI v
vii
BAB 4 MONETER: PERAMU OBAT RESESI EKONOMI
(MILTON FRIEDMAN) 71
)
MENGHIDUPKAN TOKOH
DALAM TEORI SOSIAL DAN
EKONOMI.
–Tulving: 1983.
ix
Mengkaji pemikiran sosial dan ekonomi memang ‘lumrah’
menggunakan pendekatan historis, atau sejarah pemikiran. Sangat tak
biasa jika mendekati hal itu dengan tradisi selain sejarah. Kendati hal
itu sangat mungkin. Lalu bagaimana tradisi lain pemikiran itu sendiri,
dan bagaimana mendekati pemikiran seorang ilmuwan sosial ataupun
ekonom? Murray N. Rothbard (1995) melalui bukunya Economic Thought
Before Adam Smith: An Austrian Perspective on the History of Economic
Thought, memperkenalkan perspektif Austria untuk mengkaji sejarah
pemikiran ekonomi.1 Rothbard mengkaji pemikiran ekonomi melalui
kajian yang intens terhadap ideologi dominan yang ada diseputar
pemikiran ekonomi. Ia menyakini bahwa paradigma adalah hal penting
dan esensial dari pemikiran ekonomi.2 Lain Pula Mark Skousen, sebagai
sejarawan yang concern mengkaji perkembangan pemikiran ekonomi,
Skousen telah meletakkan fondasi yang khas dalam mengkaji dan
memetakan pemikiran ekonomi. Ia memperkenal satu pendekatan yang
disebut dengan the pendulum and the totem pole.3 Ia memperkenalkan dua
pendekatan dalam menulis tentang kehidupan dan ide-ide ekonom,
dan menyebut metode itu sebagai pertentangan antara metode spectral
versus the hierarchical.4 Kemudian Mark Skousen lebih suka menyebut
metodenya itu dengan pendulum, di mana sejarahwan menempatkan
para sarjana sosial dan ekonom dalam satu spektrum politik—dari
sisi ekstrem kiri ke sisi ekstrem kanan. Secara sederhana hal itu dapat
diilustrasikan sebagai berikut:
Diagram 1.
Pendekatan Pendulum dalam Pemetaan terhadap Teori Ekonomi5
Prolog xi
lorong masa silam. Mampu menyelami kegetiran para ekonom persis
ketika mereka menghasilkan teori-teori penting dalam ilmu sosial dan
ekonomi. James Joyce pernah menulis: “Can’t bring back time. Like holding
water in your hand.”11 Di sana ada cara untuk menghidupkan kembali
‘subjek’ yang sesungguhnya telah ‘mati’. Narasi adalah metode terbaik
untuk menghidupkan subjek tersebut. Lalu apakah yang dimaksud
dengan narasi tersebut?
Narasi adalah varian yang dipopulerkan oleh postmodernisme.
Persis ketika Jean-François Lyotard mengalami ketakpercayaan pada
metanarasi, atau narasi besar yang telah menciptakan kemungkinan
perang, dan totalitarianisme. Lalu di mana posisi narasi pada era
postmodernisme? Narasi yang dimaksud disini bukanlah ideologi, tetapi
lebih tepat dihubungkan dengan sastra dan politik bahasa. Sehingga,
narasi disini adalah style penuturan yang mengedepankan narasi, dan
gaya-gaya fiksi yang lekat dalam tradisi modernisme. Tak berlebihan jika
narasi yang dimaksud di sini adalah seni pemaparan kembali penemuan,
dan akar-akar dari teori ekonomi yang dihasilkan oleh ekonom peraih
nobel ekonomi. Upaya ini sesungguhnya dilandaskan pada argumentasi
Hutcheon bahwa narasi sebagai bagian dari postmodernisme diartikan
secara historiografis.12 Dalam konteks ini ‘narasi’ dimaknai sebagai
alat saja, atau device yang membantu menghadirkan kembali subjek-
subjek yang seutuhnya telah wafat, atau yang tersisa hanyalah artefak
intelektual mereka—pemikiran dan teori ekonomi.
Hal lain menjadi argumentasi mengapa harus dengan narasi, karena
teori itu sendiri adalah sebuah narasi—ia adalah narasi dari pikiran
manusia. Lagipula teori lahir dan diproduksi bukan dalam ruang hampa,
atau bersifat spontan. Melainkan teori terikat dengan konteks akar dan
sejarah, khas penuh epik. Lewat narasi, konteks dan akar yang khas dari
setiap teori dapat diurai, dan dihidupkan kembali. Mengapa narasi begitu
kuat dan ia mempunyai energi menghidupkan tokoh yang mungkin
sudah terkubur. Narasi dalam keseharian manusia berkaitan secara erat
dengan segala mitos, legenda, sejarah, karya fiksi, biografi dan segala
sesuatu yang dikisahkan. Dengan demikian narasi adalah media refleksi
bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia, termasuk persoalan
rumit ketika para ekonom menghasilkan teori-teori ekonomi. Persoalan
Prolog xiii
tanda (signs) yang diproduksi dan kelak akan dibaca; dan ditafsirkan
kembali oleh generasi sesudah mereka. Dalam konteks ini kemudian
penulisan buku ini menggunakan narasi sebagai cara untuk bertutur
kembali terhadap mozaik pemikiran sosial dan ekonomi, sebagian
mereka justru peraih nobel ekonomi. Dengan demikian tak berlebihan
jika upaya ini disebut dengan “memoar teoretik”, atau dimaknai sebagai
narasi atas teori-teori sosial dan ekonomi.
Penulis
xv
Catatan Akhir (Endnotes)
1
Lihat Murray N. Rothbard. Economic Thought Before Adam Smith: An Austrian
Perspective on the History of Economic Thought. (Auburn: Ludwig von Mises)., hlm. 26.
2
Ibid., hlm. 8.
3
Mark Skousen. The Big Three in Economics: Adam Smith, Karl Marx and John
Maynard Keynes. (London: M.E. Sharpe)., hlm. ix.
4
Ibid.
5
Ibid., hlm. x.
6
Ibid., hlm. ix.
7
Ibid., hlm. x.
8
Lihat Warren J. Samuels & Jeff E. Biddle (ed.). A Companion to The History of
Economic Thought. (UK: Blackwell Publishing Ltd)., hlm. 1.
9
Ibid.
10
Ibid., hlm. 2.
11
Eric L. Berlatsky. The Real, The True, and The Told: Postmodern Historical Narrative
and the Ethics of Representation. (Ohio: The Ohio State University, 2011)., hlm. 1.
12
Ibid., hlm. 7.
13
Ibid., hlm. 10.
14
Ibid.
15
Ibid.
)
EKONOMETRIKA:
MEMOAR ATAS KEGILAAN
METODOLOGIS
1895-1931
Bagaikan seorang gadis yang memakai
gaun pengantin, dengan mahkota
berlian di kepalanya. Sementara di
lehernya melingkar seuntai berlian air
laut, berkilau, cantik, dan mempesona.
Begitulah masyarakat memahami
emas di tahun kelahiran Ragnar A.K.
Frisch. Tidak terkecuali di kota kecil,
Oslo–kota Ragnar Frisch dilahirkan. Di
sini, juga di tempat lain hampir semua
orang mengejar, berebut, dan bertarung
untuk mengumpulkan emas. Entah dari
bagaimana awalnya, emas telah menjadi
benda yang paling berharga dalam
ekonomi. Bahkan ilmu ekonomi menempatkan emas sebagai standar
ukur yang paling prestisius, tak lengkang oleh waktu. Berlebihan,
tetapi itulah faktanya hingga kini. Ironi atau sebuah takdir, Ragnar
1
A.K. Frisch lahir di zaman goldsmith. Pada 3 Maret 1895, lahir dari
pasangan perajin emas dan perak, Anton Frisch dan Ragna Fredrikke
Kittilsen. Zaman di mana menjadi “tukang emas” adalah pekerjaan yang
diminati. Barangkali hanya refleksi dari hukum ekonomi, “Banyaknya
permintaan, harus diimbangi dengan kemampuan pasar dan rumah
produksi melahirkan produk,” atau kenyataan ini adalah bagian dari
gerak perekonomian yang terkadang sulit ditebak ke mana arahnya. Jika
suatu waktu emas begitu berharga, maka di lain waktu—entah kapan,
bisa jadi sampah lebih berharga dari emas.
Ragnar Frisch adalah sosok lain di zamannya. Pribadi yang tidak
terlalu cenderung mengikuti gerak dan gaya yang tumbuh di kalangan
masyarakat. Bagi Frisch pengetahuan lebih berharga dari segengam
emas. Meskipun terkadang ia tak dapat mengelak. Itu mendorongnya
untuk menempa diri dan terus bergulat, mengembara mencari
pengetahuan penting. Itu pula yang mendorong dirinya belajar, dan
menuruti kehendak otaknya untuk menimba pengetahuan di Universitas
Oslo dan kemudian mendapatkan gelar pertamanya (B.A atau Bachelor)
di tahun 1919. Tetapi ia tak langsung mengikuti perkuliahan persis
ketika dirinya dinyatakan diterima pada Universitas Oslo. Pergulatan
batin tiba-tiba muncul ketika itu. Dirinya gusar, dan bimbang dalam
memutuskan sikap: antara meneruskan kuliah atau ikut membantu
kedua orang tuanya, memenuhi kebutuhan ekonomi. Ia terpaksa
membantu kedua orang tuanya, bekerja di industri tempat ayah dan
ibunya bekerja sebagai pandai emas, goldsmith. Ini tak membuatnya
tenang. Jauh di lubuk hatinya terpatri keinginan untuk memulai
studinya di Universitas Oslo.
“Ketika aku tengah merencanakan hal terbaik untuk masa depanku. Itu
harus buyar ketika begitu saja aku harus mengikuti tradisi para pandai emas
dan perak. David Andersen adalah industri kerajinan emas dan perak paling
terkenal di Oslo. Dari sanalah profesiku sebagai pandai emas bermula, dan
berakhir pada tahun 1920.” Ragnar Frisch menguraikan.
Itu tak berlangsung lama. Pilihan telah ia putuskan. Ragnar segera
memulai perkuliahan di Universitas Oslo walaupun disela waktu
sengangnya ia harus mencari tambahan pendapatan. Bahkan sebelum
masuk dan memulai perkuliahannnya di Universitas Oslo, Ragnar
Frisch mengajarkan matematika kepada kelompok pelajar yang hendak
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Semacam kelas
1930
KETIKA Aku bertandang ke perpustakaan ilmu ekonomi Universitas
Oslo, mujur aku menemukan satu folder yang berisi beberapa eksemplar
surat-surat klasik. Satu tahun menjelang diriku merencanakan pendirian
masyarakat ekonometrika.8 Surat-surat ini berisi ide-ide menarik dari
seantero dunia dari berbagai negara yang berbeda. Tentunya kebanyakan
penulis surat ini telah wafat. Namun ada satu surat yang membuat ‘ku
terkagum-kagum, hingga membuat hasratku memuncak untuk mengeja
satu-satu per satu filosofi yang terdedah dalam surat-surat itu.
Surat-surat itu adalah milik Professor François Divisia, tertanggal
1 September 1926; yang ditulis dari rumahnya di Issy les Maulineaux
(Seine). Surat itu ditulis tanggan oleh François Divisia,9 dan dimataku
tulisan-tulisan itu semakin membuatku bersemangat untuk memahami
tulisan-tulisannya yang sangat filosofis. Tulisan-tulisan itu sangat
penting, dan barangkali menjadi fondasi dari pertanyaan-pertanyaan
saintifik. Menariknya François Divisia memaparkan percakapannya
dengan Professor Irving Fisher dari Yale University. Tentunya percakapan
itu sangat menarik. Tetapi ada percakapan yang aku kira jauh lebih
)
KESEJAHTERAAN:
PERJALANAN MENUJU
KEBERPIHAKAN
1933
Melihat wajah laki-laki ini, mengguratkan
satu tanda dan gambaran hidup yang
penuh dengan pencarian akan kebenaran.
Bukan kebenaran dalam arti umum,
melainkan kebenaran teori yang ber
sumber dari kecintaan akan ilmu
pengetahuan. Lahir di Santiniketan,
Bengal Barat, laki-laki ini merasakan
dan mengalami, layaknya bocah lainnya,
keceriaan dan kebersahajaan. Waktu itu
tanggal 3 November, tahun 1933. Kota
kecil tersebut telah membentuk dan menghadirkan sesuatu dalam diri
Sen. Bukan karena kota itu memberikan banyak hal pada kehidupannya.
Tetapi kota itu adalah buah pemikiran dari seorang penyair hebat dan
penerima Nobel. Penyair yang mencerahkan dan menggugah banyak
orang. Rabindranath Tagore adalah penyair tersebut.
27
Amartya Sen sangat mengagumi laki-laki tersebut bukan karena
dirinya penerima nobel sastra. Karena R. Tagore mampu mengubah,
ataupun menciptakan syair-syair untuk manusia. Bukan untuk malaikat
apalagi Tuhan. Syair-syair semacam itulah yang hanya mampu mengubah
sebuah kota, yang harusnya menjadi kota penuh kemunafikan,
bergelimang rutinitas, kaku tak bernyawa, dan kota yang mampu
menyihir manusia menjadi makhluk yang tak punya hati, lalu hanya
menjadi mesin-mesin kehidupan. Amartya Sen mengendus aroma lain
di kota kecil—di mana ia dilahirkan—hingga ia pun mengerti akan arti
sebuah kota. Shantiniketan sebelumnya bernama Bhubandanga, kota
ini dimiliki oleh keluarga Tagore. Ayah Tagore, Debendranath Tagore
membangun sebuah ashram atau semacam sekolah yang dilengkapi
dengan asrama di kota ini. Pembangunan ini membuat wilayah menjadi
damai, hingga akhirnya nama kota ini diganti menjadi Shantiniketan
yang bermakna “tempat tinggal yang damai”.
Bagi seorang penyair seperti Tagore, kedamaian sangat diperlukan:
itu menjadi syarat untuk melakukan meditasi, hingga dari meditasi
itu kemudian syair-syair yang menghentakkan, akan berhamburan.
Kota yang dibangun oleh keluarga Tagore kemudian dikembangkannya
menjadi kota yang menghipnotis siapa saja yang menapakkan kaki di
sana. Akhirnya, kota ini menjadi tujuan para peziarah. Sekadar untuk
mencari kedamaian, atau barangkali mengeja makna-makna dari syair-
syair Tagore—ingin merasakan langsung dalam suasana seperti apa
syair-syair itu digubah oleh R. Tagore. Tentu tidak hanya syair-syair
itu yang membuat kota ini memercikkan kedamaiaan, tetapi kehadiran
universitas dan lembaga pendidikan lainnya juga mendorong suasana
yang khas pada kota ini. Tidak hanya menyihir pada ziarah untuk
mengunjunginya, tetapi juga mengundang para pengajar dari berbagai
penjuru dunia, datang dan menetap di kota ini. Kondisi, dan suasana
kota seperti ini menentukan pembentukan pribadi seorang Amartya Sen.
Kendati demikian, masa kecil Amartya Sen tidak sepenuhnya
ia habiskan di kota tersebut, melainkan dijalani di kota Dhaka—
sekarang terkenal dengan Bangladesh. Pada tahun 1947, Sen mengikuti
keluarganya pindah ke India dan kemudian belajar di sekolah yang
didirikan oleh peraih Nobel Sastra, Rabindranath Tagore. Belajar di
sekolah yang didirikan oleh Tagore ini, memiliki arti tersendiri bagi
Amartya Sen. Dari sekolah ini kemudian ia memilih jalan hidup—
AKU melihat abad ke-21 sebagai abad skeptis, hampir separuh populasi
dunia menaruh rasa pesimisme terhadap arah dan gerak perekonomian.
Mereka rata-rata melihat perekonomian abad ke-21 hanya memperkukuh
dan memperkuat perekonomian kelas kapitalis. Mereka yang terbuang,
akan tetap terpinggirkan. Ah, begitu paradoks. Perekonomian yang
kian jauh meninggalkan batas-batas moralitas, dan etik.[5] Menurut
pandanganku yang paling purba, sikap skeptik ini muncul dan menohok
para ekonom: karena ekonom, barangkali termasuk diriku, menyibukkan
diri pada penyusunan ilmu ekonomi atau berkutat pada usaha-usaha
penyelidikan ekonomi dengan terus-menerus mengimani bahwa ilmu
ekonomi mesti “value-free”. Tidak boleh ada intervensi etik dalam
usaha penyelidikan. Biarlah fakta berbicara sendiri. Akhirnya ekonom,
dan diriku terjebak pada sihir-sihir objektivisme. Kemudian lupa akan
KITA hidup pada era yang penuh dengan kejutan. Ironi, kedataran, dan
paradoks bergulat menjadi satu. Ketika pikiranku mengembara memasuki
lorong-lorong fenomena ekonomi, aku akhirnya menyimpulkan betapa
perubahan terjadi sangat paradoks dalam ekonomi. Betapa tidak, kini
baru aku mengerti ada banyak jejaring yang memengaruhi perubahan
ekonomi. Abad ke-21 adalah abad politik. Dulu Karl Marx mengajukan
satu tesis bahwa di dunia ini hanyalah ekonomi yang paling mampu
memengaruhi struktur sosial, budaya, dan politik: ia menyebutnya
dengan teori determinisme ekonomi. Kini setelah diriku menyaksikan
perubahan yang mengejutkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia,
terutama dalam wilayah ekonomi, ‘ku ingin mengajukan tesis bahwa
politiklah yang menentukan struktur ekonomi.
Bukan tanpa alasan, tetapi diriku menyaksikan secara langsung
bagaimana politik telah menjadi antesenden dari berbagai hal, terutama
ekonomi. Ini berimplikasi pada semakin kompleks dilema yang dihadapi
oleh ilmu ekonomi. Artinya, ilmu ekonomi mesti bekerja sama dengan
disiplin lain, agar solusi yang dirumuskan tak menerpa ruang kosong—
relevan dengan persoalan yang tumbuh dan berkembang. Menurut
pandanganku, disiplin utama yang mungkin dilirik dan digunakan
bersama-sama dengan ilmu ekonomi adalah filsafat. Dengannya
kemudian, akar-akar persoalan dapat ditafsirkan secara filosofis dan
radikal. Mengapa demikian? Karena ekonomi yang kian kompleks
disebabkan melubernya politik dalam ekonomi, membuat makna dasar
)
THE TRUE INDIVIDUALISM:
IJTIHAD MEMUTUSKAN RANTAI
NEO-LIBERALISME
1898-1987
LAHIR di daerah rural atau pedesaan
pada komunitas petani di Swedia Tengah,
tepatnya pada tahun 1898. Rasa ingin
tahunya sudah tumbuh sejak dini. Tetapi
yang lebih menarik, Myrdal kecil telah
memperlihatkan sikap empati yang luar
biasa besar terhadap nasib para petani di
komunitasnya. Empati yang mendalam itu
telah menghantarkan dirinya pada pilihan
yang tepat, tapi tak mudah—merubah
orientasi dari ahli hukum menjadi ekonom.
Ini dapat dilihat dari pilihan Myrdal, yang awalnya kuliah pada program
studi hukum di Universitas Stockholm dan memperoleh gelar sarjana
hukum pada tahun 1923. Tetapi hukum tidak mampu mengobati rasa
empatinya terhadap nasib para petani. Perasaan semacam itu kemudian
yang menghantarkan dirinya memilih untuk melanjutkan program
doktor ekonomi di Universitas Stockholm, dan tamat pada tahun 1927.
49
Merasa belum mumpuni dalam ilmu ekonomi, Myrdal berusaha
untuk meraihkan beasiswa prestisius Rockefeller Foundation Scholars.
Ia menghabiskan 1 (satu) tahun belajar di Amerika Serikat.[1] Jalan
takdir menghantarkan Myrdal dikenal sebagai politisi dan akademisi
sekaligus. Tak lama berselang, Myrdal menjadi advisor untuk the
New Social Democratic Government of Sweden pada tahun 1932, bahkan
berhasil menjadi anggota parlemen Swedia selama dua periode, dari
tahun 1934–1936 dan 1942 –946. Tak hanya itu, Myrdal juga tercatat
sebagai kepala Komisi Perancanaan Post-War dan Menteri Perdagangan
dari tahun 1945–1947. Sebagai seorang akademisi pada Universitas
Stockholm, Myrdal mendirikan Lars Hierta, Chair in Political Economy
dari tahun 1933–1939, dan kemudian menjadi profesor dalam disiplin
ekonomi internasional dari tahun 1961 hingga dirinya pensiun pada
tahun 1965.
Setelah ia pensiun, ia masih menyandang gelar profesor emeritus
hingga dirinya wafat pada tahun 1987. Myrdal adalah ekonom yang
aktif dan sangat sibuk: meskipun ia sibuk dengan karir politik dan
akademisi, ia menunjukkan dedikasinya pada ilmu ekonomi. Ia tercatat
sebagai pendiri The Institute of International Economic Research di
Stockholm—lembaga khusus yang melakukan riset pada perdagangan
dan pembangunan. Ia juga pernah menjabat sebagai sekretaris
eksekutif pada The United Nations Economic Commission for Europe
di Geneva antara tahun 1947 dan 1957.[2] Dedikasinya terhadap
ilmu pengetahuan, khususnya ekonomi, telah menjadikan Myrdal
sebagai seorang ilmuwan tersubur dalam peraih ±30 (tiga puluh)
penghargaan bergengsi dari berbagai universitas di dunia. Tetapi pada
tahun 1974, bersama dengan Friedrich von Hayek telah dianugerahi
satu penghargaan paling terhormat dan sangat prestisius dalam ilmu
pengetahuan, jika bukan penghargaan Nobel Ekonomi apalagi. Tentu
memahami pergulatan dua orang ini, Gunnar Myrdal dan Friedrich von
Hayek, sangatlah menantang dan menarik untuk diikuti. Hal itu hanya
bisa ditapaki, dengan membuat kedua tokoh ini hidup dan seolah-olah
bertutur sendiri akan pergulatan intelektual mereka.
)
MONETER: PERAMU OBAT
RESESI EKONOMI
1946-1976
Era 50-an menjadi hari-hari sulit bagiku.
Aku mesti menyibukkan diri pada penelitian
ekonomi yang terus mengintimi statistik dan
ekonometrika guna menemukan sesuatu yang
unik dan belum dicapai oleh ekonom lainnya.
Meskipun akhirnya aku harus menjatuhkan
diri pada tradisi Keynesian dalam melahirkan
teori yang kemudian ‘ku sebut dengan fungsi
konsumsi atau the theory of consumption theory—
sebuah teori yang mengambarkan bahwa rasio konsumsi terhadap
penurunan pendapatan.[1] Aku sering kali, dan bahkan sangat intens
mendalami teori fungsi konsumsi yang dirancang oleh John Maynard
Keynes: ia dengan tegas menyatakan ada hubungan antara konsumsi
dan pendapatan. Dalam berbagai referensi yang ‘ku dalami, bahkan
dari karya Keynes sendiri, ku dapatkan definisi Keynes tentang
kecenderungan mengonsumsi sebagai penyerahan atau membelanjakan
pendapat sebagai upaya mengonsumsi barang lain.[2]
71
Keynes menyakini, dan dari keyakinan semacam itu ia bangun
asumsi bahwa kecenderungan untuk mengonsumsi dapat menurunkan
karena kenaikan pendapatan.[3] Paradok memang: seharusnya
hubungan keduanya bersifat positif. Tapi aku tak terlalu hiraukan itu.
Dari proyek intelektual Keynes itu kemudian aku mencoba merancang
fungsi konsumsi yang lebih radikal, dan agak berbeda dengan teori
konsumsi Keynesian. Beruntung pada tahun 1957, artikelku diterbitkan
pada The National Bureau of Economics Research. Sebagian ekonom melihat
teori yang ‘ku ajukan adalah sebuah bantahan terhadap Keynes.
Hal itu ku maklumi karena dalam pandanganku—penurunan rerata
kecenderungan untuk mengonsumsi karena pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat semakin membaik.[4] Barangkali
pandangan ini belum tersentuh oleh Keynes ketika merumuskan teori
konsumsi yang kemudian menjadi klasik. Aku melakukan observasi
secara mendalam terhadap relasi antara jumlah konsumsi atau jumlah
tabungan dan jumlah pendapatan. Usaha atau proyek intelektualku
itu, sesungguhnya hanyalah estafet atau melanjutkan tradisi dan
proses yang telah dibangun oleh Keynes sebelum diriku kembali
mengkajinya. Kendati demikian, ada hal yang aku revisi dari teori yang
pernah dikembangkan oleh John Maynard Keynes, dan itu adalah bahwa
pengeluaran individu dihubungkan pada pendapatan permanen dan
tidak berhubungan dengan pendapatan yang tak tetap.[5] Dua istilah
ini sudah cukup bagi Milton L. Friedman untuk membedakan antara
teori yang dibangunnya, dengan teori yang diletakkan oleh Keynes.
Aku meyakini bahwa konsumsi selalu menyesuaikan pengeluaran
individu, dengan ekspektasi terhadap pendapatan pada periode yang
lebih lama. Pandanganku ini kemudian menjadi dasar dari teori-teori
konsumsi yang kelak ‘ku kembangkan lebih canggih lagi. Selain itu,
inginku paparkan aspek lain dari proyek intelektualku: dan itu adalah
hubungan antara inflasi dan pengangguran. Pemikiranku itu telah
disampaikan di hadapan ekonom di Universitas Chicago, Illinois pada
tahun 1976. Mengawali pidatoku dengan keraguan ilmiah—lebih
tepat disebut dengan menyebarnya skeptisisme di kalangan ilmuwan
bahkan masyarakat tentang relevansi ilmu ekonomi dengan fisika,
kimia dan ilmu medis.[6] Aku berusaha keluar dari keraguan itu, dan
percaya bahwa antara ilmu sosial dan ilmu alam sesungguhnya dapat
bekerjasama secara simultan.
1921-1946
DAPAT dimengerti jika Milton L. Friedman sangat antusias terhadap
pasar, dan akhirnya menemukan formula yang cukup hebat untuk resesi
ekonomi—pendekatan moneter. Kembali menyusuri masa lalunya: ia
lahir 31 Juli 1912 di Brooklyn, New York. Anak bungsu dari pasangan
Jeno Saul dan Sarah Ethel Landau Friedman. Jeno lahir pada tahun 1879,
sementara Sarah pada tahun 1881. Keduanya—Jeno dan Sarah—berasal
dari Beregszasz, Carpatho-Routhenis di Hungaria wilayah bagian dari
impierium Hungaria. Saat itu, Beregszasz baru berpenduduk sekitat
10.000,- jiwa. Separuh darinya beragama Yahudi. Maklum karena
Beregszasz hanyalah kota kecil yang bersahaja.
SANG PEMBONGKAR:
)
MEMOAR ATAS DILEMA
EKONOMI NEGARA-NEGARA
BERKEMBANG
91
of Economics. Di sana ia memperolah kebebasan untuk berpikir dan
berkarya dari 1938 hingga 1948. Di sana pula Lewis memfokuskan diri
dengan menjadi bagian dari Dewan Perdagangan dan Jabatan Kolonial
(The Board of Trade and The Colonial Office) selama perang perang dunia.
Pada tahun 1948 Arthur W. Lewis pindah ke Universitas Manchester,
dan berkarir pada The Jevons Chair of Political Economy hingga tahun
1958. Pada era inilah karyanya yang paling berpengaruh dipublikasikan.
Entah mengapa, pada tahun 1958 dirinya meninggalkan Manchester
dan kembali ke Hindia Barat. Lalu memutuskan untuk menggagas
University College, Hindia Barat hingga 1962. Tak lama berselang,
ketika University College kian membesar dan populer, Arthur W.
Lewis dinobatkan sebagai kepala konselor pada Universitas Hindia
Barat. Lelah berkarir di Universitas Hindia Barat, Arthur W. Lewis
memutuskan pindah ke Universitas Princenton pada 1963 sebagai
profesor ekonomi dan politik, dan kemudian berkantor di the James
Madison Chair of Political Economy. Pada 1970, Lewis kembali hijrah
meninggalkan Princeton dan memilih menjadi presiden pertama
Carribean Development Bank, dan baru kembali ke Princeton pada
1973 dan berkarir di Princeton hingga 1983.
Hal yang paling berkesan sepanjang karir Lewis adalah pilihannnya
untuk menjadi konsultan dan penasihat bagi sebagian negara-negara
Afrika—Pantai Gading, Nigeria Barat, dan Ghana. Pekerjaan itu
menghantarkan dirinya menjadi penerima penghargaan dari PBB pada
tahun 1963, dan tak kurang mendapatkan 20 penghargaan dari berbagai
universitas terkemuka di seantero dunia. Ia pun terpilih menjadi
presiden Asosiasi Ekonom Amerika pada tahun 1983. Puncak dari
karir akademiknya terjadi pada tahun 1979, persis ketika dirinya dan
bersama koleganya Theodore Schultz dianugerahi Nobel Ekonomi.[2]
Atas dasar apa kedua orang ini dianugerahi Nobel Ekonomi?
Arthur W. Lewis dan T. Schultz telah berusaha dan memperkenalkan
upaya menyelesaikan persoalan ekonomi yang dihadapi oleh negara-
negara berkembang melalui riset-riset ekonomi pembangunan.[3]
Pemikiran dan proyek akademik ini dapat dilacak ketika dirinya berkarir
di London School of Economics, setidaknya ada tiga buku yang sempat
ia tulis tentang sejarah ekonomi internasional, ekonomi industri dan
ekonomi pembangunan. Sementara itu, dalam economic survey 1919-
1939, kemudian dipublikasikan pada tahun 1949, Arthur W. Lewis telah
RATIONAL CHOICE:
)
MEMOAR ATAS PILIHAN
RASIONAL DAN PERILAKU
MANUSIA
Who, he is?
Lahir di Pottsville, Pennsylvania, Amerika
Serikat pada tahun 1930. Tak terlalu lama
menikmati masa kecil di daerah kelahiran,
ia mesti mengikuti keluarganya pindah
ke Brooklyn, New York. Di kota baru itu
ia memulai pendidikannnya. Ia dikenal
sebagai murid yang baik, dengan bakat
yang sangat baik di bidang matematika.
Meskipun ketika dirumahnya—di meja
makan, ia dan keluarganya lebih sering
membahas politik dan keadilan. Tanpa
disadari diskusi yang intens dan mendalam
tentang dua tema itu, menjadikan dirinya sebagai seorang intelektual
yang peduli pada kehidupan sosial dan masyarakat.[1] Ia mengaku
minatnya terhadap ilmu ekonomi merupakan kecelakaan dan sangat
kebetulan (accidentally).
111
Kisah itu bermula ketika dirinya masuk dan kuliah di Universitas
Princenton. Awalnya Becker mengambil banyak kursus matematika
di universitas itu. Tetapi perlahan ia sadar, pilihan dan minatnya itu
tak akan berkontribusi kepada kehidupan sosial. Matematika dalam
pandangannya adalah ilmu yang “buta sosial”—ilmu yang tidak concern,
dan tak terinspirasi dari masalah dan realitas sosial yang ada dan terus
bertumbuh di masyarakat. Kesadaran semacam ini mendorongnya
untuk mencari kanal lain, dan berkontemplasi lebih intens pada
sosiologi. Namun, ia merasa belajar sosiologi sangatlah berat. Akhirnya
memutuskan untuk mendalami ekonomi dan berusaha memahami
teori-teori sosial. Mendapatkan gelar sarjana pertamanya (B.A) dari
Universitas Princenton pada tahun 1951. Kemudian menamatkan studi
ilmu ekonomi di Universitas Chicago.
Gary S. Becker ketika belajar di Universitas Chicago bertemu
dengan Jacob Viner, Milton Friedman, dan George Stigler. Pada
tahun 1953 Becker mendapatkan gelar MA dari Universitas Chicago.
Selama studinya di Universitas Chicago, ia intens belajar dan berguru
pada Milton Friedman. Bahkan diakuinya Milton Friedmanlah yang
memengaruhi riset yang dilakukan oleh Becker. Kepakarannya dalam
bidang ekonomi, membawa Becker menjadi asisten profesor di Chicago.
Namun pada tahun 1957, ia pindah ke Universitas Columbia, New York.
Disamping sebagai asisten profesor, dirinya juga bekerja di The National
Bureau of Economic Research (NBER). Profesinya ia menyediakan banyak
dana bagi Becker untuk menghasilkan teori ekonomi dan penelitian
yang progresif.
Terkait hal itu, Becker pernah berseloroh:
“I felt I would become intellectually more independent if I left the nest and had
to make it on my own. I have always believed this was the correct decision,
for I developed greater independence and self-confidence than seems likely if
I remained at Chicago.” (Nobel Foundation: 2004).
Selama 12 tahun di New York, Becker merasa sudah mendapatkan
“feel” intelektualnya serta menemukan style-nya sendiri. Dengan
demikian, ia memutuskan untuk kembali ke Chicago, tempat dirinya
mendapat Ford Foundation Visiting Professor of Economics dari tahun
1969 hingga 1970. Kemudian menjadi profesor ekonomi dari tahun 1970
hingga 1983. Tahun 1983 adalah era yang penuh kejutan bagi Becker.
Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 113
atau perusahaan lain tentunya menentukan perbedaan harga satu
produk, dan perlakuan terhadap tenaga kerja, kapital, bahkan juga
mampu memengaruhi kehidupan politik yang seutuhnya dipermukaan
berbeda dengan ekonomi. Keyakinan asiomatik semacam itu, ‘ku
temukan begitu kuat dalam tradisi antropologi dan sosiologi. Mereka
yang mengajarkanku bahwa ekonom mesti memahami betapa posisi
budaya; norma dan struktur sosial penting dipertimbangkan.[4] Tak
sedikit ekonom membantah, dan engan menerima kenyataan tersebut.
Mereka percaya bahwa tiga hal tersebut (budaya, norma, dan struktur
sosial) bukanlah domain ilmu ekonomi, dan tidak terlalu membantu
menganalisis pengaruh sosial terhadap perilaku manusia.[5]
Ilustrasi sederhana:
“... betapa banyak restauran terkenal juga buku best seller,
mempertimbangkan selera yang tengah berkembang di dalam
masyarakat; begitu juga preferensi sesorang terhadap kandidat
politik dipengaruhi oleh polling yang menginformasikan tingkat
popularitas kandidat tersebut.”[6]
Lihatlah bagaimana perilaku dan pola tindakan manusia sangat
ditentukan oleh faktor eksternal—sesuatu yang seutuhnya berada di luar
dirinya. Pertanyaan yang sering hinggap di benakku: “... Apakah seorang
gadis perawan yang berusaha mendapatkan kebahagian dipengaruhi
oleh tetangganya yang juga berebut untuk menjadi bahagia melalui
pernikahan?”, “... apakah model pakaian, selera desaigner, pelukis,
dan produk yang dirancang oleh arsitektur sepenuhnya dipengaruhi
oleh selera pimpinan, pejabat, dan selebritis?” Pertanyaan semacam itu
justru membinggungkan para ekonom. Terlebih jika melepaskan diri dari
pertimbangan dan konteks budaya; norma dan struktur sosial. Aku tidak
mau terjatuh dan terperangkap pada kebinggungan yang sama. Maka
aku menerima tradisi sosiologi dan antropologi yang sangat membantu
diriku dalam menganalisis fenomena dan gejala ekonomi.
Aku percaya bahwa perilaku individu mendapatkan tekanan yang
kuat dari struktur sosial ataupun sebaliknya.[7] Di luar sana tak
jarang kita menemukan betapa perilaku dan pola konsumsi masyarakat
ditentukan oleh informasi yang mereka pelajari dan diterima,
khususnya dari media massa dan elektronik. Misalnya, iklan di televisi
memberikan sugesti bahwa Michael Jordan hanya mengonsumsi sereal
dalam jumlah yang sedikit. Iklan ini tentunya akan memengaruhi
Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 115
lainnya.[12] Meskipun Veblen, Coleman, dan Schelling telah
menegaskan bahwa faktor-faktor sosial tak dapat diabaikan, tetapi
mereka seolah-olah tidak begitu tertarik mempersoalkan harga. Padahal
menurut pandanganku, harga merupakan bagian fundamental dari
analisis multiplier sosial tentang perilaku dan pasar. Dalam konteks
itu sesungguhnya diperlukan analisis yang lebih luas terhadap faktor
sosial dan hubungannya dengan isu-isu ekonomi. Karena itu pula aku
tertarik untuk mengelaborasi hubungan-hubungan antara kekuatan
sosial, preferensi, dan komplementaritas.
Ekonom sering kali mengasumsikan bahwa fungsi utilitas sangat
tergantung pada konsumsi barang; jasa dan produksi komoditas.
Sementara itu kekuatan sosial cenderung diabaikan dan ditinggalkan
begitu saja. Tradisi semacam ini, bagiku kurang menguntungkan para
ekonom. Mengapa demikian? Dinamika fungsi utilitas determinan
dengan perubahan lingkungan; dan kekuatan sosial yang turut
menentukan fungsi utilitas.[13] Jika diformulakan secara matematis,
maka asumsi filosofis tersebut dapat dimodelkan sebagai berikut:
U=U (X,Y;S)
Di mana x dan y merupakan barang dan jasa. Sementara variabel S
merepresentasikan pengaruh sosial terhadap utilitas melalui stock modal
sosial, the stock of social capital.[14] Meskipun dalam tradisi ekonomi,
fungsi utilitas hanya tergantung secara utuh pada varibel x dan y, serta
mengabaikan dinamika S. Sepenuhnya diriku tak mengamini tradisi
itu. Aku memahami dinamika sosial—jika disederhanakan—disebutkan
dengan modal sosial, sesungguhnya mempunyai kekuatan yang cukup
dominan mendorong berubahnya fungsi utilitas. Asumsinya sangat
sederhana, tetapi cukup mendasar di mana perubahan exogenous pada
S akan berdampak pada perilaku individu. Ilustrasi sederhana: utilitas
drugs, kriminalitas, pemilihan umum sesungguhnya dipengaruhi oleh
sejauh mana sahabat dan tetangga juga mengonsumsi obat-obatan,
melakukan tindak kriminal atau ikut berpartisipasi dalam pemilihan
umum.[15] Dari hal itu, maka asumsi fundamental dalam menganalisis
pengaruh modal sosial di mana S berhubungan secara kuat dengan
perilaku, x. Sehingga tanpa disadar meningkatnya modal sosial secara
otomatis akan meningkatkan utilitas marginal x. Asumsi ini, nyatanya
terlalu sulit diterima oleh para ekonom, dan kolegaku. Namun, aku
Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 117
Pandangan semacam itu, tanpa disadari telah melengkapi ketajaman
ilmu ekonomi. Faktanya, ketika tirani tak hanya melekat pada struktur
sosial, tetapi juga secara kuat melekat pada budaya dan norma-norma
di mana keduanya memengaruhi perilaku, pada kondisi itu kemudian
“individual rational choice” dianggap sesuatu yang bersifat “oxymoron”[20]
atau kontradiktif. Aku katakan kontradiktif karena kekuatan sosial tak
hanya mengondisikan individu dapat memilih secara tepat pilihan, tetapi
lebih jauh lagi “tirani sosial” juga memengaruhi pilihan seseorang dalam
memilih tetangga, sahabat, sekolah, pasangan, pekerjaan, bahkan agama.
[21] Dalam keseharian, betapa sering kita menyaksikan jika orang kaya
akan memilih membangun relasi; berinteraksi dengan orang yang kaya
pula; kaum akademik juga akan berinteraksi dengan kaum intelektual;
pemeluk Islam cenderung menikahi perempuan Muslim. Ini artinya,
tirani sosial tak hanya berlaku pada perilaku, tetapi juga pilihan. Ilustrasi
sederhana: kekuatan kultural sama baiknya dalam mengontrol perilaku
pemimpin, begitu pula perilaku masyarakat umum.
Demikian, kekuatan kultural layaknya tirani sosial juga memengaruhi
perilaku individu, tanpa terkecuali. Pandanganku ini dapat dibuktikan
dari fakta keseharian di mana individu akan selalu bertindak dan
memutuskan pilihan setelah menimbang secara mendalam tatanan
kultural dan tradisis di mana dirinya hidup dan tumbuh sebagai seorang
manusia. Akhirnya, baik struktur sosial dan kultural, keduanya secara
simultan akan senantiasa memengaruhi perilaku serta pilihan ekonomi
seseorang. Untuk kemudian dua hal tersebut akan membentuk satu
modal yang sepenuhnya bersifat sosial, kemudian disebut dengan social
capital atau modal sosial. Dengan modal sosial itu kemudian kualitas
hidup dan kehidupan masyarakat ditentukan—semangkin baik modal
sosial dalam satu masyarakat; maka semakin kuat kohesi sosial. Dari
hal itu, aku berhasil mengambil satu tesis penting bahwa kehidupan,
fenomena sosial, bahkan perilaku manusia tak dapat dipahami dan
dijelaskan hanya dengan satu kacamata (baca: rationalisme-sensuous).
Tetapi lebih baik jika ia dilihat dengan alat yang tepat, meskipun itu
diluar tradisi ilmu ekonomi, misalnya sosiologi dan antropologi. Dengan
cara itu kemudian fenomena dan perilaku individu dapat dimengerti
lebih mendalam.
Pertanyaan lain yang sering menghantuiku adalah “apakah ada
hubungan antara human capital dengan pertumbuhan ekonomi? Jika
Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 119
memisahkan individu dari pengetahuannya, skill, kesehatan, atau
nilai—yang merupakan komponen penting dalam menghasilkan
materi dalam skala yang lebih besar dan membuat kehidupan
seseorang jauh lebih berkualitas.[26]
Ilustrasi: betapa pentingnya human capital bagi manusia dapat
dilihat dari penaklukan Hong Kong pada tahun 1997 oleh China. Betapa
banyak penduduk pribumi disibukkan dengan usaha-usaha melawan
kebijakan pemerintahan China melalui menjual aset-aset penting seperti
bank dan bangunan untuk kemudian hasilnya ditabungkan pada bank
asing. Pada waktu bersamaan, betapa banyak ahli komputer, menager
handal, dan orang-orang yang memiliki skill meninggalkan Hong Kong.
Fenomena itu disebut dengan ‘eksodus intelektual’. Tujuannya adalah
agar China tak bisa mengeksploitasi kapital yang melekat pada diri
mereka. Sehingga dengan melakukan eksodus intelektual, maka China
tak mendapat apa pun dari mereka, sedikit pun—they must go where their
capital goes.[27]
Dari ilustrasi itu kemudian, aku mulai mendapatkan kekuatan
untuk terus menulis buku human capital. Tetapi keraguan mulai
menyergapku, ketika kritikan berhamburan. Mereka bahkan secara
vulgar menudingku, “proyek intelektualku membahayakan manusia.
Sebab itu hanya akan menjerumuskan manusia pada perbudakan dan
menjadikan mereka tak ubahnya seperti mesin. Istilahku itu mesti
dirubah.” Pinta mereka. Tetapi aku tetap bersikukuh. Karena jujur,
secara intelektual dan akademis tak sedikitpun termaktub di hatiku
untuk menjadikan manusia serendah itu. Meski membutuhkan waktu,
perlahan-lahan istilah dan teoriku—human capital—dapat diterima secara
luas, baik oleh kalangan ilmuwan sosial, bahkan media massa. Bahkan
dengan apresiasi yang tinggi sebuah majalah—Business Week, menulis
judul halaman muka majalah mereka dengan kalimat “Human Capital”.
Sejak itu kalimat itu sudah menjadi milik publik dan menjadi tema
diskusi yang hangat sepanjang tahun. Aku terkejut dan bergumam,
“menakjubkan dan sama sekali diluar dugaanku.”[28] Kendati demikian,
satu persoalan tetap saja mengusikku.
Apalagi jika bukan persoalan mendasar tentang resistensi sebagian
kelompok akademisi. Soalnya, mereka menuding teoriku menyisakan
satu persoalan mendasar yakni eksploitasi tenaga kerja oleh modal.
[29] Merespons hal itu tentu saja sangat mudah. Mereka perlu dan
Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 121
Dengan cara itu, kelak mereka dapat meningkatkan pendapatan tanpa
perlu mengerahkan dan menghabiskan tenaga mereka untuk mendapatkan
‘segopok’ uang. Mereka hanya perlu menggunakan skill dan sedikit
kecerdasan mereka untuk mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar.
Pendidikan di Amerika Serikat adalah fakta atas pandangan itu.[33] Satu
kali diriku pernah diminta oleh komisi departemen tenaga kerja Amerika
Serikat untuk memikirkan bagaimana caranya meningkatknya kualitas
tenaga kerja di negara tersebut. Apa yang dapat ‘ku dan komisi lakukan
untuk merealisasikan permintaan itu. Akhirnya, komisi ini bersepakat
untuk melakukan kajian mendalam tentang human capital dalam rangka
mewujudkan permintaan tersebut. Kajian tersebut menghasilkan peta
yang menarik: di mana investasi pada human capital di Amerika Serikat telah
mampu mentransformasi kaum perempuan pada era 1960an di Amerika
Serikat. Perempuan di negara tersebut lebih banyak menguasai matematika,
sains, ilmu ekonomi, dan hukum.[34] Dengan kepakaran seperti itu,
perempuan di Amerika Serikat lebih berpeluang untuk lebih makmur
ketimbang laki-laki. Pentingnya investasi human capital mendapatkan
argumentasi dan dukungan yang lebih empiris. Fakta yang dinarasikan
sebelumnya adalah dukungan yang paling kuat terhadap konsepsiku. Selain
konsepsi tentang human capital, belakangan ini ‘ku coba membentangkan
kertas kerja lainnya, dan itu adalah hubungan antara berbagai aspek
kehidupan dengan ekonomi. Bersama Posner Richard, kami berdua
akhirnya mempublikasi satu buku Uncommon Sense: Economic Insights, From
Marriage to Terrorism (2009). Lantas apa pemikiran yang kami tawarkan?
Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 123
pernikahan. Menariknya bagi kaum laki-laki, dengan meningkatnya
jumlah menikah karir maka akan menurunkan biaya yang harus
mereka keluarkan untuk membiayai perempuan. Suami tak perlu lagi
“merogoh” uang saku untuk membuat rumah—cukup tinggal di rumah
istrinya. Tentu saja tak hanya itu, meningkatnya jumlah wanita karir
tanpa disadari telah menghantarkan kaum perempuan pada satu wajah
seksualitas yang dapat dinilai sebagai kontradiktif dan sama sekali lain.
Tidak semua, tetapi sebagian wanita karir terkadang terjebak dalam
seksualitas yang absurd dan kabur—merayakan erotisme dengan seks
nonmarital—seks dengan resiko hamil yang dapat direduksi melalui
kontrasepsi dan bahkan aborsi.[39]
Demikianlah konsekuensi dari perkembangan ekonomi. Terkadang
tak dapat diimbangi oleh nalar manusia. Peradaban pun mesti menjadi
korban. Manusia didorong turut merayakannya, jika tak ingin terlindas.
Katakanlah, menurunnya tingkat pernikahan dan meningkatnya
homoseksual.[40] Namun, hal itu tidak dapat diklaim sebagai produk
modernitas dan kian cangihnya ekonomi. Karena memang perilaku
seksualitas semacam itu pernah terjadi pada era Yunani kuno: di
mana laki-laki ingin melakukan hubungan seksual tetapi tak ingin
terjebak pada keintiman emosional yang dapat menguras energi dan
berbiaya tinggi.[41] Kini perilaku itu kembali tumbuh, tetapi dengan
kompleksitas yang berbeda. Homoseksual atau lesbian telah menjadi
isu-isu yang diperjuangkan secara masif. Bahkan dinilai sebagai bagian
dari hak asasi manusia. Perubahan seksualitas itu tidak sekadar
persoalan biologis, tetapi ‘ku asumsikan ada keterlibatan ekonomi dan
teknologi didalamnya.
Realitas pendukung lainnya adalah fenomena imigrasi yang dihadapi
oleh negara-negara maju. Entah mengapa masyarakat di negara-negara
berkembang terpesona, hingga sangat tertarik untuk pindah ke negara-
negara maju. Berharap mendapatkan kehidupan lebih baik. Tak ayal
jika negara-negara kaya berusaha keras menyusun program yang dapat
menekan laju imigrasi.[42] Membatasi imigrasi adalah langkah terbaik
yang dapat dilakukan oleh negara-negara maju. Trend menujukkan bahwa
Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak dituju oleh imigran.
Bukan hanya alasan psikologis dan ekonomi, tetapi alasan kultural juga
turut menjadi faktor mengapa imigran lebih memilih Amerika Serikat
sebagai tujuan. Menariknya, imigran yang datang ke Amerika Serikat
Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 125
dengan institusi. Pemerintah dan organisasi lain seperti hukum dan
aturan adalah hal-hal yang kerap kali memengaruhi keputusan individu.
[48] Dengan demikian, biasanya aku menganalisis perilaku manusia
dengan beberapa aspek berikut:
Pertama, tindakan individual (individual act). Aku berkeyakinan
bahwa apa yang terjadi pada level sosial sesungguhnya dapat dijelaskan
melalui perilaku seorang individu. Ini disebut dengan methodological
individualism.[49] Kendati demikian, ini tak lantas bermakna bahwa
bahwa semua manusia diartikan secara terpisah (isolated). Tetapi
perilaku mereka dapat dimengerti sebagai hasil dari interaksi dengan
hal yang ada disekita mereka seperti orang lain dan institusi. Kedua,
insentif menentukan perilaku (incentives determine behaviour). Aku
percaya bahwa individu tidak bertindak secara acak dan spontan.
Tetapi, tindakan mereka merupakan reaksi sistematis dan prediktif.
Mereka bertindak berdasarkan perhitungan atas tantangan, dan
halangan yang membentang dihadapan mereka.[50] Manusia selalu
mencari solusi melalui tindakan mereka; mereka memiliki seperangkat
ekspektasi terhadap masa depan; belajar dan menemukan. Manusia
selalu membandingkan keuntungan dan kerugian dari tindakan yang
mereka lakukan.
Ketiga, insentif diproduksi melalui preferensi dan batasan-batasan
tertentu yang dapat membedakan tindakan manusia: perubahan pada
perilaku manusia senantiasa dapat diobservasi dan diukur. Selama
ia dapat diobservasi, maka dalam selama itu pula ia dapat diukur
dan dipahami.[51] Keempat, individu cenderung mempertimbangkan
dan mengedapankan self-interest. Asumsi ini kemudian mendapat
pembenaran dari upaya-upaya manusia untuk meraih kebahagian
melalui cara-cara yang sangat individual.[52] Apakah yang hendak aku
utarakan dengan menarasikan asumsi-asumsi yang biasa ‘ku gunakan
untuk memahami perilaku ekonomi dan manusia itu sendiri?
Aku sependapat dengan dengan Max Weber di mana dalam
memahami manusia sesungguhnya tak dapat dipisahkan dari kekuatan
dan struktur modernitas yang membentuknya.[53] Begitu juga dengan
Ludwig von Mises. Dalam konteks ini kemudian Max Weber memandang
ilmu sosial termasuk ilmu ekonomi sebagai wertfreinheit (bebas nilai,
netralitas etik atau value-neutrality). Pandangan Weber ini bukan berarti
menjadi jalan untuk mengatakan ilmu ekonomi mesti didekati dengan
Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 127
Catatan Akhir (Endnotes)
1
Howard R.Vane. Loc.Cit., hlm. 200.
2
Ibid., hlm. 202.
3
Gary S. Becker & Kevin M. Murphy. 2000. Social Economics: Market Behaviour
in a Social Environment. (London: The Belknap Press of Harvard University Press).,
hlm. 3.
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 4.
9
Ibid., hlm. 5.
10
Ibid.
11
Ibid., hlm. 6.
12
Ibid.
13
Ibid., hlm. 8.
14
Ibid., hlm.9.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid., hlm. 22.
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Ibid., hlm. 23.
22
Gary S. Becker. 1930. Human Capital: A Theoritical and Empirical Analysis with
Special Reference to Education. (Chicago: The University of Chicago Press)., hlm. 15.
23
Ibid.
24
Ibid., hlm. 16.
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Ibid.
33
Ibid., hlm. 17.
34
Ibid.
35
Gary Becker & Posner Richard. 2009. Uncommon Sense: Economic Insights, From
Marriage to Terrorism. (Chicago: The University of Chicago Press)., hlm. 2.
36
Ibid., hlm. 11.
37
Ibid.
38
Ibid., hlm. 12.
39
Ibid.
40
Ibid., hlm. 13.
41
Ibid.
42
Ibid., hlm. 37.
43
Ibid., hlm. 38.
44
Ibid., hlm. 43.
45
Bruno S. Frey. 1999. Economics as a Science of Human Behaviour: Towards a New
Social Paradigma. (Boston: Springer)., hlm. 3.
46
Ibid., hlm. 4.
47
Ibid.
48
Ibid.
49
Ibid., hlm. 5.
50
Ibid.
51
Ibid., hlm. 6.
52
Ibid., hlm. 7.
53
Peter Koslowski (ed.). 1993. Methodology of the Social Sciences, Ethics and
Economics in the Newer Historical School: From Max Weber and Rickert to Sombart and
Rothacker. (Hannover: Speringer)., hlm. 32.
54
Ibid., hlm. 39.
Bab 6 | Rational Choice: Memoar atas Pilihan Rasional dan Perilaku Manusia 129
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
)
7
James Buchanan (b.1919)
)
INDIVIDUAL FREEDOM:
MEMOAR ATAS KEBEBASAN
MANUSIA
1919
James Buchanan lahir di Murfreesboro,
Tennessee, Amerika Serikat pada tahun
1919. Ia belajar pada Middle Tennessee
State College. Pada tahun 1941 ia meraih
gelar BA, dan Ph.D Ilmu Ekonomi dari
Universitas Chicago di tahun 1948. Di
awal-awal karirnya, Buchanan mengajar
pada Universitas Tennesse (1948–51)
dan kemudian berpindah ke Florida
State University (1951–55). Pada tahun
1956, ia mengikuti penelitian selama 1
(satu) tahun di Italia sebagai fulbright scholars. Proses itu kemudian
yang menghantarkan Buchanan menjadi profesor ilmu ekonomi, dan
kemudian menghantarkannya menjabat sebagai direktur the Thomas
Jefferson Center for Political Economy and Social Philosophy, pada
University of Virginia.[1] Ketika dirinya berada di Virginia pada tahun
1960-an, bersama dengan koleganya Gordon Tullock, mereka berdua
131
mendirikan the Public Choice Society and the Academic Journal Public
Choice. Persis pada tahun 1968, Buchanan pindah dari University of
Virginia ke University of California, Los Angeles (UCLA). Setahun
di UCLA, Buchanan dinobatkan sebagai Profesor Ilmu Ekonomi pada
tahun 1969 dan menjadi direktur umum pada Center for Study of Public
Choice di Virginia Polytechnic Institute di Blacksburg.
Pada tahun 1983, dirinya pindah ke George Mason University,
Fairfax, Virginia: di mana dirinya kembali mendapatkan gelar
profesor, dan ia menetap di sana. Buchanan merupakan advisor
general director pada Center for Study of Public Choice dan kemudian
kembali dianugerahi sebagai emeritus profesor ilmu ekonomi pada
George Mason University, dan juga diberikan gelar profesor emeritus
pada Virginia Polytechnic and State University.[2] Pada tahun 1983,
Buchanan mendapatkan program fellowship pada American Economic
Association, dan kemudian menjabat sebagai presiden pada Mont
Pelerin Society dari tahun 1984 hingga 1986. Tak hanya itu, ia menerima
penghargaan Frank Seidman dalam ekonomi politik pada tahun 1984.
Puncak karirnya adalah ketika dirinya meraih Nobel Ekonomi pada
tahun 1986 atas proyek akademiknya terkait upayanya membangun
fondasi kontraktual dan konstitusional dalam menentukan keputusan
ekonomi dan politik.
Demikian tak ayal jika kontribusi Buchanan tersebut menjadikan
dirinya sebagai leading pioneers dan founders dari teori pilihan publik:
sebuah program penelitian yang concern dalam aplikasi ilmu ekonomi
untuk menganalisis ‘non-market decision-making’.[3] Tak jarang juga
ekonom menyebut proyek Buchanan tersebut sebagai ‘new political
economy’, program intelektual yang didasarkan integrasi antara
ilmu ekonomi dan ilmu politik. Integrasi semacam itu kemudian
memungkinan berbagai dinamika keputusan politik dapat dianalisis
dan dipahami bagaimana pengaruhnya terhadap pembangunan ekonomi
publik. Karir Buchanan sebagai seorang ekonom kian menanjak ketika
dirinya meraih Nobel Ekonomi. Dan itu diawali dari tiga fondasi penting
dari proyek teori pilihan publik modern (modern public choice theory),
dan itu adalah: methodological individualism; homo economicus; dan politics-
as-exchange.[4] Popularitas James Buchanan tentu bukan sesuatu yang
aksidental. Tetapi ada proses panjang yang mengiringi popularitasnya
tersebut. Ia populer diakar rumput karena buku-buku yang ditulisnya
EKONOMI DI ALTAR
)
KEINDONESIAN;
MENAKAR UNIFIKASI KULTUR,
AGAMA DAN EKONOMI
“Apa yang masih tersisa untuk kita banggakan sebagai sebuah bangsa? Hanya sebuah
mozaik budaya dan kearifan yang membentang dari Sabang hinga Merauke. Lantas apa
yang masih tersisa dalam benak kita sebagai seorang pribumi, melainkan orisinalitas nalar
dan pengetahuan yang bersumber dari keautentikan kita sebagai manusia Indonesia.”
[De]kolonialisasi Metodologi:
Sebuah Pendahuluan
Bagi pemikir dan ilmuwan, ruang untuk melahirkan teori itu
begitu sempit dan sumpek. Tidak banyak teori yang dapat dihasilkan,
melainkan hanya repetisi, bahkan hanya menguatkan teori yang telah
ada, dan itu pun berasal dari tradisi asing—Barat dan Timur. Kedua
tradisi ini telah menciptakan batas-batas ilmu pengetahuan. Mekanisme
yang diterapkan dalam pembatasan itu dapat diilustrasikan dengan
sebuah lapangan bola lengkap dengan peraturannya, dan para ilmuwan
hanya bisa bermain di dalam lapangan itu saja dan harus patuh pada
aturan-aturan dirumuskannya. Keluar dari keduanya (lapangan dan
aturan) berarti gagal. Lantas masih mungkinkah ilmuwan, khususnya
ekonom Muslim di Indonesia melahirkan teori ilmu pengetahuan
yang autentik, dan orisinil berdasarkan semangat dan karakter mereka
sebagai sebuah bangsa? Ini adalah sebuah pertanyaan mendasar, atau
lebih persisnya sebagai kesangsian awam terhadap keautentikan ilmu
ekonomi Islam. Dalam pemaknaan lainnya, pertanyaan ini adalah hasil
dari gugatan terhadap krisis ilmu pengetahuan yang disebabkan oleh
kolonialisasi metodologi.
151
Kesangsian, atau senada dengan istilah Edward W. Said,
“kritisisme” merupakan senjata untuk melawan berbagai bentuk
tirani, dominasi, dan segala kekejaman metodologis. Tujuan sosialnya
adalah ilmu pengetahuan yang nonkoersif dalam ikatan kebebasan, dan
kemanusiaan.[1] Apa hubungan antara pandangan Edward W. Said ini
dengan gerak pengilmuan ekonomi Islam dewasa ini? Ada dominasi,
atau bahkan tirani metodologi dalam berbagai pertumbuhan ilmu
pengetahuan sosial, termasuk ilmu ekonomi. Unifikasi sains; semacam
peleburan berbagai ilmu pengetahuan ke dalam positivisme, adalah
bentuk dominasi klasik dalam ilmu pengetahuan. Tanpa disadari kondisi
ini mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan. Kuantitas ilmu
pengetahuan meningkat, tetapi ironis paradigma ilmu semakin sempit
bahkan hanya dibatasi pada positivisme. Krisis ilmu pengetahuan pun
pecah. Berbagai kebuntuan, dan ketidakmampuan ilmu pengetahuan
lahir seiring dominasi itu.
Frijof Capra mendeskripsikan dominasi itu dengan:
“Kemenangan mekanika ala Newton pada abad kedelapan belas
dan kesembilan belas menetapkan fisika sebagai prototipe ilmu
“keras” yang digunakan untuk mengukur ilmu-ilmu lain dengan
lawannya. Semakin dekat ilmuwan berhasil untuk menandingi
metode-metode fisika, dan semakin banyak konsep-konsep fisika
yang dapat mereka gunaka, semakin tinggi posisi disiplin mereka
di dalam komunitas ilmiah. Dalam abad kita, tendensi untuk
mencontoh konsep dan teori ilmiah menurut fisika ala Newton
semacam ini telah menjadi suatu rintangan berat dalam banyak
bidang, tetapi barangkali yang paling banyak adalah dalam ilmu-
ilmu sosial. Ilmu-ilmu sosial secara tradisional telah dianggap
sebagai yang “terlunak” di antara ilmu-ilmu yang lain, dan ilmuwan
sosial telah mencoba dengan sangat keras untuk memperoleh
kehormatan dengan cara mengadopsi paradigma ala Descartes dan
metode-metode fisika ala Newton. Namun demikian, kerangka ala
Descartes sering kali sangat tidak cocok untuk fenomena-fenomena
yang mereka gambarkan, dan akibatnya model-model mereka telah
menjadi semakin tidak realistik. Hal ini semakin nyata saat ini
dalam ilmu ekonomi.”[2]
Deskripsi Frijof Capra terhadap dominasi paradigma Newton,
dan digunakannya metode fisika dalam ilmu sosial, senada dengan
kesimpulan F. Budi Hardiman yang menyebut itu dengan krisis
Epilog 153
tersebut adalah hilangnya fondasi umum—sebuah kebebasan untuk
menentukan paradigma ilmu pengetahuan, sesuai dengan keautentikan
disiplin yang akan dikembangkan.[5] Kecenderungannya, ilmu-ilmu
sosial bergerak meniru, memasukkan, bahkan mentradisikan paradigma
positivisme secara ekslusif. Bahkan kondisi ini juga dapat dirasakan
dalam ilmu ekonomi modern, di mana dominasi positivisme telah
melahirkan berbagai hibriditas teori ekonomi; teori-teori ekonomi
yang mencangkokkan diri pada hukum-hukum alam serupa teori-teori
fisika. Hal ini dapat dimaklumi, karena positivisme lebih cenderung
mengasumsikan manusia dan perilakunya sama dengan alam dan
fenomenanya. “Setiap perilaku manusia digerakkan oleh hukum-hukum
tertentu, yang bersifat kausalitas.” Demikian positivisme memaknai
manusia.
Dalam konteks di atas Aguste Comte memaparkan bahwa:
“... setiap kekuasaan spritual secara prinsipil harus dapat diuji,
dan ini kemudian yang akan menjadi model terbaik bagi proposal
positivisme dan katolikisme. Bagi kalangan positivisme, objek
moral ditujukan untuk membuat insting simpatis (sympathetic
instincts) mampu melampaui sejauh mungkin insting diri (selfish
instincts); social feeling melampaui personal feeling.[6]
Dari pandangan Aguste Comte itulah doktrin bahwa ilmu
pengetahuan harus dilahirkan secara bebas nilai (free values); objektif,
empirisme, dan mesti membuang jauh bias subjektivitas. Dalam
kata lainnya, mengacu pada penjelasan Harriet Martineau; menurut
pandangan positivistik, “mind” atau nalar telah menghasilkan pencarian
yang sia-sia setelah absolute notion, dan hukum alam benar-benar
mengilhami ilmuwan untuk mempelajari hukum-hukum alam. Pada
kondisi itulah mereka menemukan berbagai benang merah, yang
dapat dihubungkan.[7] Hal ini mengondisikan ilmuwan untuk terus
mengadopsi nalar, atau paradigma positivisme dalam menghasilkan
teori-teori ilmu pengetahuan, bahkan dalam ilmu sosial sekalipun.
Tanpa disadari kecenderungan seperti inilah sesungguhnya yang
memberi peluang bagi positivisme untuk terus menjadi ‘penjahat’
metodologi. Bagaimana jika kenyataan yang telah dipaparkan ini
dihubungkan dengan ekonomi Islam?
Untuk mengatakan bahwa kolonialisasi terhadap ekonomi Islam
telah berlangsung, meskipun tidak terlalu kuat seperti kolonialisasi
Epilog 155
Islam telah melaksanakan sistem ekonomi yang diinspirasi dari Islam
itu sendiri.[9] Hal ini menandaskan bahwa ekonomi Islam itu telah
lahir sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Ada banyak bukti tulisan,
untuk kemudian disebut dengan eksemplar ekonomi Islam yang ditulis
oleh fuqaha’ atau Muslim jurists.[10] Dan tulisan tersebut setidaknya
membuktikan pandangan bahwa ekonomi Islam adalah sains. Meskipun
mereka menulis isu-isu ekonomi tidak secara spesifik melainkan hanya
bersifat fragmented, terpisah-pisah di pelbagai karya mulai dari fiqh
hingga dapat ditemukan dalam kita-kita tasawuf seperti ihya’ ulumuddin
karangan Al-Ghazali. Pemikiran bahkan teori tentang ekonomi Islam
tersebut telah menjadi dasar kebijakan oleh pemerintahan, atau khilafah
Islam untuk melahirkan kebijakan ekonomi rabbani; sebuah sistem
perekonomian yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. Namun fakta
historis ini, tidak cukup kuat menyakinkan Muhammad Baqir as Sadr
untuk mengakui bahwa ekonomi Islam adalah sebagai sebuah ilmu
pengetahuan. Mengapa demikian?
Muhammad Baqir as Sadr1 adalah seorang ulama syiah kharismatik.
Melalui magnum opus-nya, “iqtishûda”; as Sadr menegaskan keyakinannya
bahwa ekonomi Islam bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan hanyalah
seperangkat doktrin ekonomi yang harus dijadikan acuan, dasar
pertimbangan bagi umat Islam dalam berperilaku ekonomi. Ini pula
yang mendorong as Sadr memperkenalkan aspek ‘subjektivitas’ ekonomi
Islam. Secara esensial, paradigm as Sadr ini telah mendorong dirinya
untuk memperkenal metode yang unik dalam menghasilkan doktrin
ekonomi Islam. Namun secara bersamaan hal tersebut memunculkan
‘inkonsistensi’ Baqir as Sadr. “Ketika as Sadr meyakini bahwa ekonomi
Islam bukan ilmu pengetahuan, tetapi mengapa kemudian dirinya
menggunakan metodologi khas, dan spesifik untuk menghasilkan
doktrin ekonomi Islam?”. Pada titik inilah “inkonsistensi” Baqir as
Sadr mencuat, muncul ke permukaan. Ketidakkonsistenan Baqir as
Sadr hanya terletak pada penggunaan metode al-istiqrā’ terhadap isu-
isu ekonomi Islam.
1
Kazimiya; sebuah kota di Baghdad-Irak, menjadi saksi atas lahirnya seorang
bayi laki-laki. Hari itu tanggal 25 Dzulqa’idah 1353 H, bertepatan dengan 01-03-
1935 M, Muhammad Baqir as-Sadr lahir. Hanya tiga tahun, Muhammad Baqir
as-Sadr tumbuh dalam dekapan kasih-sayang seorang ayah, pada 27 Jumadil Stani
1356, ayahnya Sayyed Haidr al-Sadr, wafat di kota Kazimiya.
Epilog 157
Tugas utama yang dinubuatkan kepada positivisme adalah
mengeliminir pengaruh, dan tendensi metafisika dalam proses
membangun sebuah disiplin ilmu, termasuk ilmu ekonomi. Robert
Carnap dalam rangka itu, sengaja mempublikasikan sebuah artikel
dengan judul “The Elimination of Metaphysics through the Logical
Analysis of Language”. Dalam artikel ini ia mengajukan pertanyaan:
“Can it be that so many men, of various times and nations, outstanding minds
among them, have devoted so much effort, and indeed fervour, to metaphysics,
when this consists of nothing more than words strung together without
sense?”[14], atau ... dapatkan setiap orang dalam lintas zaman dan
bangsa, menonjolkan nalar antarsesama mereka, mencurahkan banyak
usaha bahkan semangat, terhadap metafisika, sungguh ini tidak lebih
dari sekedar kata-kata tanpa indra? Carnap hanya ingin menyampaikan
bahwa ilmu, apa pun rumpunnya jika ia mengandalkan metafisika terlalu
tunduk pada aspek normatif, maka pada saat itu ia sesungguhnya telah
menjadikan diri pada tipu daya kata-kata. Lantas, dapatkah pandangan
klasik dan primitif Robert Carnap ini diaminkan?
Ekonomi Islam sebagai disiplin paradoks, karena kompleksitas
paradigma yang dimilikinya, adalah ilmu pengetahuan yang tidak
biasa. Ia berasal dari dua hal yang berbeda, bahkan dalam sejarahnya
terus-menerus berkonflik. Metafisika dan empirisme; dua hal ini adalah
fondasi ilmu ekonomi Islam. Metafisika di sini diartikan sumber-sumber
normatif ekonomi Islam seperti Al-Qur’an, hadis, dan qaul sahabat,
bahkan fatwa ulama dikelompokkan ke dalam bentuk ini. Sementara itu,
empirisme adalah ekonomi Islam sebagai realitas. Hal ini kemudian yang
mendorong ekonomi Islam dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan
berparadigma ganda[15]; ekonomi Islam memosisikan Islam lengkap
dengan landasan doktrinnya; budaya lengkap dengan nilai-nilai
idealisme; dan realitas lengkap dengan objektivitasnya secara sejajar
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Ini kemudian yang menyebabkan
ekonomi Islam layak disebut sebagai disiplin berparadigma ganda.
Kompleksitas paradigma ekonomi Islam ini memicu gerakan saintifikasi
ekonomi Islam di kalangan Mazhab Mainstream. Padahal hal ini tidak
diperlukan, mengingat bahwa ekonomi Islam haruslah dibiarkan
tumbuh dengan keautentikannya sebagai ekonomi normatif.
Ekonomi–Indonesia:
Unifikasi Kultur, Islam, dan Ekonomi
Ekonomi Islam di Indonesia tidak hadir di ruang hampa; ada
banyak nilai-nilai kultural yang telah memengaruhi perilaku ekonomi
Epilog 159
masyarakat Muslim di Indonesia. Dalam ruang seperti inilah ekonomi
Islam tumbuh, dan dikembangkan di Indonesia. Hal ini mendorong
agar ekonomi Islam mampu menjadi disiplin yang autentik; sebuah
ilmu pengetahuan yang mempertimbangkan karakter budaya dalam
merumuskan teori-teorinya. Pertanyaannya kemudian, “... bagaimana
konstruksi epistemologis dari diskursus ini?” Jika ekonomi Islam
bermula dari nalar fiqh, maka pada titik inilah budaya dan segala perilaku
ekonomi yang berasal darinya, mungkin untuk dijadikan sebagai
sumber ilmu ekonomi islam. Terlebih ketika ‘urf; sebagai adat/costum
terkadang menentukan struktur perilaku ekonomi. Tidak berlebihan
jika ‘urf diartikan sebagai kebiasaan yang bersifat intersocietal, dengan
melingkupi “kebiasaan” yang disepakati oleh masyarakat dalam satu
atau dua wilayah, bahkan melampaui satu generasi.[17] Melampaui
satu generasi bermakna, “al-‘Urf” sesungguhnya hidup dan terus
diekspresikan secara kontinu dan ajek dalam satu masyarakat, tidak
hanya satu masa tetapi diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Tidak berlebihan jika Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah al-Sa’di
memandang,[18] “Jika satu hukum tidak tertera dengan jelas dan
terang untuk tidak mengatakan tidak tersedia “hukum” qath’i dalam
Al-Qur’an dan hadis, maka pada saat itu “sah” dan dinilai baik untuk
melihat “al-‘Urf” yang berlaku dalam satu masyarakat.
Pandangan dan pemaknaan terhadap al-‘urf, jika dihubungkan
dengan konteks keindonesiaan, maka menghantarkan pada satu
penafsiran bahwa budaya yang ada, dan berkembang di Indonesia
merupakan sebuah mozaik, dan layak dijadikan sebagai pertimbangan
epistemologis. Dalam konteks ekonomi Islam, ini menandaskan
yang dibutuhkan di Indonesia bukan islamisasi ekonomi, melainkan
mengindonesiakan ekonomi islam. Opsi terakhir ini berkorelasi
dengan kenyataan empiris, bahwa di Indonesia ada banyak idealisme
kebudayaan2 yang tidak saja berasal, atau cocok dengan semangat
Islam tetapi juga terdapat kearifan yang diperlukan oleh sebuah sistem
perilaku ekonomi. Mengukuhkan hal tersebut, William A. Jakson (2009)
mengemukan pendapat bahwa, “Manusia telah mengelaborasi budaya
2
Budaya telah menjadi daftar kajian menarik bagi kebanyak akademik,
belakangan ini. Tidak hanya disiplin antropologi dan sosiologis, ekonomi bahkan
ilmu-ilmu alam pun mulai melirik budaya sebagai kajian dan memasukkannya
sebagai domain pemikiran.
Epilog 161
muncul darinya selalu saja berbarengan dengan hadirnya berbagai tanda,
atau signs. Pada kondisi ini kemudian perilaku ekonomi dipengaruhi oleh
berbagai idealitas-idealitas di luar ekonomi itu sendiri. Scott Lash dan
John Urry, lewat bukunya “Economies of Signs and Space”, memperkenalkan
dua terma untuk memahami ekonomi di luar tradisi positivisme, yakni:
i) cognitive reflexivity, sebuah ukuran untuk memantau diri dan aturan
struktur sosial dan sumber-sumbernya; ii) aesthetic reflexivity, sebuah
proses interpretasi atau penafsiran terhadap latarbelakang praktik-
praktik sosial. Jika cognitive reflexivity mengisyaratkan adanya sebuah
pertimbangan (judgement); maka lain halnya dengan aesthetic reflexivity
yang bersifat hermeneutis, atau dalam pemaknaan Gadamer sebagai
hal yang diselami dalam pre-judgment (baca; idealitas nonekonomi).[23]
Diandaikan jika ekonomi dan realitas adalah hasil dari berbagai
interaksi, baik antara aktor dan kepentingan yang menyertainya,
maka ekonomi sesungguhnya dapat pula dimaknai sebagai hasil dari
konstruksi yang diupayakan oleh berbagai agen-agen ekonomi, termasuk
di dalamnya pengaruh budaya di mana agen itu tumbuh dan berperilaku.
Margarets S. Archer, melalui bukunya “Culture and Agency: The Place of
Culture in Social Theory” (1996) telah menawarkan satu teori yang agaknya
mampu menjelaskan di mana posisi budaya, atau kultur dalam teori
sosial. Ia menamai teori ini dengan “socio-cultural integration”; di mana
menurutnya faktor sosio-kultural menentukan: i) apa respons yang
dibangun ketika dibawah tekanan emanasi situasi yang logis dari sistem
kultural; ii) hal apa saja yang dapat melekatkan, atau mengintegrasikan
struktur sosio-kultur; iii) apakah hal itu berangkat dari socio-culture
(SC) ke culture-system dalam sebuah proses yang baru, atau hanya
sekadar repetisi.[24] Teori yang diperkenalkan oleh Archer ini memang
agak sulit dipahami, tetapi dari sini setidak dapat dimengerti bahwa
kultur memengaruhi aktor dan sistem sosial di mana aktor tersebut
mengekspresikan diri dan berperilaku, termasuk dalam ranah ekonomi.
Kendati demikian, aktor sebagai pembentuk dan pewarna bagi struktur
sosial tidak bertindak secara otomatis, dan otonomis melainkan ia juga
dikonstruksi oleh idealitas seperti nilai-nilai agama, budaya, bahkan
nilai-nilai material-ekonomis. Di sinilah budaya, dan Islam mendapatkan
tempat terbaik dalam realitas ekonomi.
Semakin kukuh kemudian, bahwa budaya, Islam sekaligus realitas
ekonomi dapat diposisikan secara sejajar dalam membangun berbagai
Epilog 163
Catatan Akhir (Endnotes)
1
Lihat dalam Ferial J. Ghazoul. Edward Said and Critical Decolonization. (New
York: the American University in Cairo Press, 2007). Hlm. 6.
2
Frijof Capra. The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture. Terj. M.
Thoyibi. (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002). Hlm. 218-9.
3
F. Budi Hardiman. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis
tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernita. (Yogyakarta: Kanisius, 2008). Hlm. 5.
4
Amar Acheraїou. Questioning Hybridity, Postcolonialism and Globalization. (New
York: Palgrave MacMillan, 2011). Hlm. 13.
5
Piet Strydom. Discourse and Knowledge: The Making of Enlightement Sociology.
(Liverpool: Liverpool University Pres, 2000). Hlm. 93.
6
Auguste Comte. A General View of Positivisme. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009). Hlm. 98.
7
Harriet Martineau. The Positive Philosophy of Auguste Comte. (London: Batoche
Books, 2000). Hlm. 28.
8
Gaston Bachelard. New Scientific Spirit. (Boston: Beacon Press, 1934). Hlm. 19.
9
Ahmed El-Asker & Rodney Wilson. Islamic Economics: A Short History. (Leiden:
Brill, 2006). Hlm. xi.
10
Ibid.
11
Muhammad Baqir as Sadr, lihat dalam Muhammad Sholihin.
PengantarMetodologi Ekonomi Islam: Dari Mazhab Baqir as Sadr hingga Mazhab
Mainstream. (Yogyakarta: Ombak, 2013). Hlm. 80.
12
Farhad Nomani & Ali Rahnema. Islamic Economic Systems. (Kuala Lumpur:
Business Information Press, 1995). Hlm. 1.
13
Lihat dalam Stuart G. Shanker (ed.). Philosophy of Science, Logic and Mathematics
in the Twentieth. (New York: Routledge, 2004). Hlm. 193.
14
Ibid. Hlm. 194
15
Muhammad Sholihin. PengantarMetodologi Ekonomi Islam. Hlm. xii.
16
Ibid. Hlm. 311.
17
Umar Abdullah Kamali, al-Qawaid al-Fiqhiyah al-Kubra wa asharua fi al-
Muamalath al-Maliah, (Kairo: Disertasi Doktor di Fakultas Dirasath al-Arabiah wa
al-Islamiah, tt), hlm. 154.
18
Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah al-Sa’di. al-Qawaid al-Fiqhiah. (Riyad:
Dar ibn al-Jauzi, tt), hlm. 33.
19
Lihat William A. Jackson. Economics, Culture and Social Theory. (UK: Edwar
Elgar, 2009). Hlm. 3.
20
Ibid. Hlm. 3.
21
Lihat dalam Mark J. Cherry (ed.). The Death of Metaphysics, The Death of Culture:
Epistemology, Metaphysics and Morality. (Netherlands: Springer, 2006). Hlm. 3.
22
Jerome Kagan. The Three Cultures: Natural Sciences, Social Sciences, and the
Humanities in the 21st Century. (New York: Cambridge University Press, 2009).
Hlm. 174.
23
Scothh Lash & John Urry. Economies of Signs and Space. (London: SAGE
Publications, 1994). Hlm. 5.
24
Margaret S. Archer. Culture and Agency: The Place of Culture in Social Theory.
(New York: Cambridge University Press, 1996). Hlm. 187.
25
Homi K. Bhabha. The Location of Culture. (London: Routledge, 1994). Hlm. 171.
26
Fritz Ringer. Max Weber’s Methodology: The Unification of the Cultural and Social
Sciences. (London: Harvard University Press, 1997). Hlm. 23.
165
Muhammad Sholihin lahir di Koto Baru,
Dharmasraya pada tanggal 18 Februari
1984. Menceburkan diri (nyantri) di
pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Candung (MTI Candung, Agam) selama 7
(tujuh). Sebuah pesantren salafi yang
didirikan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasully.
Tahun 2008, memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi Islam dari Fakultas Syariah, IAIN
Imam Bonjol Padang. Tahun 2012 memperoleh gelar Magister Studi
Islam, dengan konsentrasi ekonomi Islam dari Program Pascasarjana
Magister Studi Islam-Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Saat ini
penulis tercatat sebagai mahasiswa doktoral pada Program Studi
Perekonomian Islam dan Industri Halal, Sekolah Pascasarjana-
Universitas Gadjah Mada.