Anda di halaman 1dari 3

BAB IV

ANALISIS KASUS

Kasus ini adalah seorang wanita berinisial SU, berusia 39 tahun,datang dengan keluhan
penurunan kesadaran yang terjadi tiba-tiba. Sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, penderita
mengalami penurunan kesadaran yang terjadi tiba-tiba, penurunan kesadaran berupa pasien
tampak mengantuk dan sulit diajak berkomunikasi. Sesaat sebelumnya, penderita mengeluhkan
nyeri kepala hebat yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Nyeri dirasakan diseluruh bagian
kepala, nyeri kepala tidak menyebar ke leher belakang, terasa seperti ditusuk-tusuk dan ditekan,
dirasakan terus-menerus, intensitas berat. Muntah menyemprot tanpa diawali rasa mual ada
sebanyak 2x, kejang tidak ada. Mulut mengot ke kanan ada, bicara pelo belum dapat dinilai,
kelemahan tubuh ada pada keempat ekstremitas. Gangguan sensibilitas berupa rasa baal dan
kesemutan belum dapat dinilai. Kemampuan penderita memahami isi pikiran orang lain dan
mengungkapkan isi pikirannya secara lisan, tulisan, dan isyarat belum dapat dinilai.

Riwayat darah tinggi sejak 6 bulan lalu, tidak rutin berobat. Riwayat penyakit gula darah
tidak ada. Riwayat sakit jantung dan ginjal tidak ada. Riwayat stroke sebelumnya tidak ada.
Riwayat trauma kepala tidak ada. Riwayat KB pil ada sejak 4 tahun lalu. Riwayat konsumsi obat
pengencer darah sebelumnya tidak ada. Penyakit ini dialami untuk pertama kalinya.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan GCS E3M5V4 dengan tekanan darah
191/112 mmHg, nadi 96 kali/m, reguler, dan laju pernapasan 20 kali/menit. Pemeriksaan
neurologis menunjukkan adanya pupil isokor, RC (+/+), ukuran pupil ka-ki 3 mm/3 mm.
Ditemukan adanya plicanasolabialis kiri datar dan sudut mulut kiri tertinggal ( dengan rangsang nyeri ) .
Ditemukan tidak adanya lateralisasi pada pemeriksaan motorik disertai peningkatan tonus dan
refleks fisiologis serta tidak ditemukan refleks patologis pada kedua tungkai. Gejala rangsang
meningeal juga dijumpai. CT scan kepala telah dilakukan di rumah sakit umum Mohammad
Hoesin dan menunjukkan adanya perdarahan sub araknoid mengisi fisura sylvii, sulci
temporoparietalis kiri dan sulci parietalis kanan disertai perdarahan intraventrikular IV.
Dilakukan EKG, rontgen thorax, dan pemeriksaan darah. Dari EKG didapatkan sinus rhtym,
sementara rontgen thorax menunjukkan adanya kardiomegali. Kardiomegali mengindikasikan
adanya hipertensi kronis.
Pasien didiagnosis dengan perdarahan sub araknoid dan perdarahan intraventrikel dengan
diagnosa tambahan hipertensi emergensi. Kondisi ini pada akhirnya akan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial sehingga juga menimbulkan keluhan nyeri kepala yang
“terberat”, mendadak dan bertahan dalam beberapa jam. Selain itu, tekanan darah yang masih
tinggi juga dapat menimbulkan komplikasi berupa rebleeding pada pembuluh darah otak yang
mengalami aneurisma. Pada pasien ini juga ditemukan adanya kelemahan pada keempat
ekstremitas dengan perbedaan kekuatan yang cukup bervariasi. Quadriparese yang terjadi pada
SAH disebabkan karena adanya penekanan aneurisma secara lokalis terutama kompresi yang
besar di fisura sylvii ke daerah korteks pusat motorik. Penderita juga mengeluhkan adanya
pandangan mata kabur pada kedua mata, terutama mata kiri. Gangguan visus pada SAH
berkaitan dengan adanya peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh perdarahan yang
menyebabkan kompresi pada nervus opticus sehingga menyebabkan papilledema. Untuk
memastikan adanya aneurisma serta lokasi dan jenisnya harus dilakukan pemeriksaan lanjutan
berupa CT Angiografi.
Sebagai tatalaksana awal pasien diterapi dengan pemberian IVFD NaCl 0,9% gtt XX,
Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam iv, Injeksi Asam traneksamat 1gr/6 jam iv, Infus paracetamol
1gr/8 jam iv, Infus manitol 125 cc/6 jam iv, Drip nicardipin 2 amp dalam NS 100 cc ( titrasi ),
Nimotop 4 x 60 mg po, Amlodipin 1x10 mg po. Asam tranexamat dan obat Anti Hipertensi
diberikan sebagai pencegahan terjadinya rebleeding pada kasus ini. Pemberian mannitol untuk
mengurangi edema serebri yang terjadi. Pemberian glaucon pada hari ke lima sebagai tatalaksana
mengurangi produksi LCS agar resiko hidrosefalus tidak bertambah berat. Diberikan juga drip
nicardipin dosis 5-15 mikro/kgBB (titrasi) untuk tatalaksana hipertensi emergensi. Serta
direncakan pemberian Nimotop oral 60mg/6 jam setelah 72 jam onset. Pasien dikonsulkan ke
bagian divisi neurovascular untuk tindakan intervensi perencanaan CTA dan DSA, serta juga
dikonsulkan ke bagian mata untuk assessmen penurunan visus pada kedua mata.Dari berbagai
literatur, perdarahan sub araknoid umumnya disebabkan oleh adanya rupture aneurisma atau
malformasi arteriovenosa. Untuk menegakkan diagnosa adanya aneurisma harus dilakukan
pencitraan angiografi seperti CTA dan MRA. Selanjutnya diagnostik baku yakni dilakukan nya
tindakan intervensi endovascular DSA. Pada pasien ini telah dilakukan DSA coiling untuk
mencegah re-rupture dan rebleeding kembali, dimana berdasarakan guideline AHA ASA DSA
Coiling yang dilakukan lebih awal setelah onset adalah lebih adekuat untuk menurunkan angka
kematian.
Prognosis SAH dapat diperkirakan berdasarkan skala Hunt and Hess maupun skala
WFNS. Berdasarkan skala Hunt and Hess didapatkan SAH grade III karena adanya kesadaran
menurun atau deficit fokal neurologi. Dari skala WFNS didapatkan skala III dengan GCS 13 .
Pada kondisi ini angka bertahan hidup hanya berkisar 50 %. Perdarahan subaraknoid sendiri
menimbulkan banyak komplikasi baik akut, sub akut, maupun kronis. Pada pasien ini perbaikan
dari beberapa defisit neurologis mengalami perbaikan yang cukup signfikan. Nyeri kepala
membaik pada onset hari ke 5 dan perbaikan visus kedua bola mata membaik cukup signifikan
pada onset hari ke 12. Begitupula dengan kekuatan motorik pada pasien ini mengalami perbaikan
cukup adekuat hingga onset hari ke 10, dengan kekuatan motorik terendah pada tungkai kanan.
Pada pasien ini mengalami penurunan kekuatan motorik pada osnset hari ke 11 yakni adanya
hemiparese dextra tipe spastik setelah dilakuakannya tindakan DSA. Berdasarkan AHA ASA
sekitar 1,8 % mengalami defisit neurologis baru post DSA. Namun ada nya perbaikan kekuatan
motorik pada hari - hari berikutnya, cukup memberikan gambaran prognosis yang baik pada
pasien ini. Pasien direncanakan rawat jalan pada onset hari ke 21 dan rawatan hari ke 21,
dengan perbaikan klinis yang cukup signfikan.

Anda mungkin juga menyukai