Anda di halaman 1dari 17

STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P

DENGAN STROKE NON HEMORAGIC (SNH)

Disusun oleh :

RIZKIANA DWI SAPUTRI

P1337420920136

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN DAN PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stroke merupakan penyebab kematian kedua di dunia, sedangkan di Amerika
Serikat stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker sedangkan di Indonesia stroke menempati urutan pertama
sebagai penyebab kematian di rumah sakit, akibat peningkatan Tekanan Intrakranial. Di
seluruh dunia prevalensi stroke ada 7,1 juta pada tahun 2000 dan akan terus meningkat
(American Heart Association, 2012).
Menurut WHO setiap tahun 15 juta orang di seluruh dunia mengalami stroke.
Sekitar 5 juta menderita kelumpuhan permanen. Dikawasan Asia Tenggara terdapat 4,4 juta
orang mengalami stroke (WHO, 2019). Menurut data Riskesdas (2015) dalam laporan
nasionalnya mendapatkan bahwa penyebab kematian utama untuk semua umur adalah
stroke (15,4%), TB (7,5%), hipertensi (6,8%). Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun
terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang
meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat. Secara umum, dapat dikatakan angka
kejadian stroke adalah 200 per 100.000 penduduk. Dalam satu tahun, di antara 100.000
penduduk, maka 200 orang akan menderita stroke.
Stroke Non Hemoragik (SNH) terjadi karena penurunan aliran darah ke otak,
sehingga suplai darah tidak ke otak, iskemia menyebabkan perfusi otak menurun akhirnya
terjadi stroke. Pada pasien stroke didapatkan peningkatan intrakranial dengan tanda klinis
berupa nyeri kepala yang tidak hilang dan semakin meningkat. Peningkatan Tekanan
Intrakranial (TIK) merupakan kasus gawat darurat dimana cedera otak irrevesibel atau
kematian dapat dihindari dengan intervensi tepat pada waktunya (Hisam, 2013). 
Penanganan kegawatan pada pasien stroke salah satunya adalah melakukan
pengontrolan peningkatan TIK yaitu dengan memberikan posisi kepala. Posisi elevasi
kepala merupakan tindakan keperawatan tradisional, pemberian posisi kepala flat (0°) dan
posisi elevasi kepala (30°) yaitu suatu bentuk tindakan keperawatan yang rutin dilakukan
pada pasien cedera kepala, stroke dengan hipertensi intrakranial. Teori yang mendasari
elevasi kepala ini adalah peninggian anggota tubuh di atas jantung dengan vertical axis,
akan menyebabkan cairan serebro spinal (CSS) terdistribusi dari kranial ke ruang
subarahnoid spinal dan memfasilitasi venus return serebral (Hasan, 2018).
Penelitian yang dilakukan oleh Hasan (2018), menunjukkan bahwa pemberian
posisi kepala flat (0º) dan elevasi kepala (30º) pada pasien dengan SNH dapat dilakukan
secara bergantian untuk mengontrol adanya peningkatan TIK pada pasien SNH, pemberian
posisi ini membutuhkan pemantauan yang ketat terhadap adanya perubahan TIK (nyeri
kepala, tingkat kesadaran, denyut nadi, frekuensi nafas, tekanan darah, dan suhu tubuh dan
gangguan menelan atau aspirasi).
Memberikan tindakan elevasi kepala yang bertujuan untuk mencukupi oksigenasi
otak dengan terpenuhinya oksigen pada otak maka otak akan tetap mempertahankan
metabolisme serebral. Sedangkan jika pada otak terjadi hipoksia maka dapat menebabkan
iskemik serebral, selanjutnya terjadi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada jaringan
otak atau infark dalam hitungan menit. Tindakan elevasi kepala 15°-30° diharapkan venous
return (aliran balik) kejantung berjalan lebih optimal sehingga dapat mengurangi edema
serebral karena perdarahan (Smeltzer, 2013).
Martono, Sudiro & Satino (2016) menjelaskan bahwa pada keadaan kritis
dianjurkan untuk dipetahankan pada nilai lebih dari 65 mmHg, sehingga dapat
memperbaiki mikrosirkulasi dan autoreglasi otak mmHg. Sedangkan perfusi jaringan
dipertahankan pada nilai 60-100 mmHg. Jika perfusi jaringan mean arterial pressure (MAP)
kurang dari 60 maka akan menyebabkan hipoksia, dan jika melebihi 100 mmHg maka akan
menyebabkan peningkatan intrakranial sehingga aliran darah ke otak juga akan terganggu.

B. Tujuan
Untuk memahami asuhan keperawatan pada klien Stroke Non Hemoragik (SNH) dengan
diagnosa keperawatan risiko perfusi serebral tidak efektif dan bersihan jalan napas tidak
efektif.
BAB II
STUDI KASUS
A. Identitas Klien
Nama                : Tn. P
Jenis Kelamin : Laki - laki
Umur                : 56 tahun
Diagnosa Medis : SNH (Stroke Non Hemoragic)
B. Riwayat Keperawatan
Keluarga klien mengatakan klien dibawa ke IGD RS X pada tanggal 20 April 2021
dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 1 jam lalu hingga kejang dan muntah
setelah jatuh terpleset didepan rumahnya. Kemudian Tn. P dibawa ke HCU untuk
pengawasan dan keadaan semakin menurun hingga gagal napas lalu dibawa ke ICU. GCS =
E1VETM2, klien memiliki riwayat hipertensi dan kelemahan pada ekstremitas kanan serta
merupakan stroke serangan kedua kalinya. Stroke pertama terjadi pada tahun 2019.
C. Pengkajian Primer

Airway Klien mengalami sumbatan pada selang Endotrakeal Tube dengan


sputum kental berwarna putih, tidak terdapat suara snoring, maupun
stridor dan terdapat suara gurgling.
Breathing RR : 13 x/menit, klien terpasang Endotrakeal Tube dengan nomor 7 batas
maksimal 22cm, pengembangan dada simetris namun ada kelemahan otot
pernapasan, tidak ada reflek batuk,  menggunakan otot bantu pernapasan,
mode ventilator PCV, PC 15, PS : 12, FiO2 : 70%, I: E (1:2), PEEP
5cmH2O, Trigger 3. 
Circulation TD : 153/99 mmHg, HR : 109 x/menit dan kekuatan nadi lemah, SpO : 2

90 %, S : 38,2℃, Capillary Refill Time : <2 detik, akral dingin, tidak


sianosis, pitting edema : baik, tidak ada distensi vena jugularis, tidak ada
suara jantung tambahan seperti gallop maupun murmur, tidak ada
perdarahan, BB : 65 kg, diaphoresis
Disability Terjadi paralisis pada ektremitas kanan, terdapat kelemahan otot, GCS :
E1 VET M2
Exposure Terdapat jejas pada lengan kanan klien
Folley Tidak keluar darah dari orifisium uretra, terpasang kateter urin hari ke 3
Catheter
Gastric Tidak keluar darah dari telinga dan hidung, tidak ada tanda lebam pada
Tube orbita, negatif battle sign (kaku kuduk), terpasang NGT hari ke 3 

D. Pengkajian Sekunder
1. Kepala
Mesencephalon, kulit kepala kotor, pertumbuhan rambut merata, tidak ada lesi,
benjolan maupun nyeri tekan
2. Mata
Inspeksi : refleks terhadap cahaya baik +2/+2, pupil isokor, kelopak mata tidak
ptosis, sklera tidak ikterik, conjuctiva tidak anemis
3. Telinga
Inspeksi : simetris, bersih tidak ada serumen, tidak terdapat lesi, dan fungsi
pendengaran kurang.
4. Hidung
Inspeksi : tidak ada deviasi posisi pada septum nasi, tidak bernapas dengan cuping
hidung
5. Mulut dan Bibir
Inspeksi : bentuk bibir normal, tidak terdapat bengkak, mukosa bibir kering, bibir
berwarna merah muda, tidak ada stomatitis, gigi bersih, lidah bersih, tidak ada caries.
6. Leher
Inspeksi : tidak ada distensi vena jugularis, bentuk leher normal
Palpasi : tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
7. Thorax
Paru
 Inspeksi : simetris, tidak terdapat jejas, pergerakan dada simetris, tidak
terdapat tarikan dinding dada
 Palpasi :  tactile fremitus bergetar sama kuat pada dada kanan dan kiri yang
disebut simetris
 Perkusi : seluruh lapang paru sonor 
 Auskultasi : suara ronchi 

Jantung

 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak


 Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 midclavicula, tidak ada massa
 Perkusi : 
Batas atas ICS 3 parasternum dextra dan sinistra
Batas bawah ICS 5 parasternum dextra dan sinistra sampai ICS 5 Axila anterior
sinistra
Batas kanan  ICS 3 parasternum dextra dan sinistra sampai ICS 5 parasternum
dextra
Batas kiri ICS 3 parasternum sinistra sampai ICS 5 Axila anterior sinistra
 Auskultasi : suara jantung I,II regular. Murmur (-), Gallop (-).
Bunyi katup mitral (ICS 5 midclavicula) 
Bunyi katup trikus (ICS 4 parasternum sinistra)
Bunyi katup pulmonal (ICS 2 midclavicula sinistra / parasternum)
Bunyi katup aorta (ICS 2 midclavicula dekstra / parasternum)

8. Ekstremitas Atas dan Bawah


 Ektremitas atas : ada paralisis kanan, tidak terdapat bekas trauma, terpasang
infus hari ke-3.
 Ekstremitas bawah : ada paralisis kanan, tidak terdapat bekas trauma, tidak
terdapat oedem pada kaki kanan dan kiri. 
 Pergerakan : lemah

Kekuatan otot :

1 1
1 1

9. Kuku dan Kulit


Tidak terdapat sianosis, tidak ada lesi, turgor kulit baik, tidak terdapat ekimosis (bintik
merah), terdapat hematom di tangan kiri.

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Foto Thorax
Tanggal Pemeriksaan : 20 April 2021
 Letak ETT baik
 Cor tidak membesar
 Gambaran bronkopneumonia
2. CT Scan Kepala
Tanggal Pemeriksaan : 21 April 2021
 Atrofi cerebri gambaran encephalomalacia pada lobus frontal kanan, parietal
kanan, hemisfere cerebellum kanan
 Infark lakuner pada sentrum semiovale kanan kiri, corona radiata kanan kiri,
thalamus kiri
 Infark lama pada corona radiata kanan, nucleus caudatus kanan, nucleus
lentiformis kanan, thalamus kiri. 
3. Pemeriksaan Analisa Gas Darah
Tanggal Pemeriksaan : 20 April 2021
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
PH 7,52(H) 7,35 – 7,45 
PCO2 28,1 mmhg 35 – 45
PO2 (L) mmhg 80 – 100 
cHCO3 127 (H) mmol/L 22 – 26 
BE 22,8 mmol/L -2 – 3 
SPO2 0,1 95 – 100
94

F. Program Terapi
TERAPI RUTE FUNGSI
Cairan kristaloid yang mengandung kalsium, kalium,
RL 20 tpm Intravena laktat, natrium, klorida dan air untuk hidrasi cairan dan
memenuhi kebutuhan elektrolit
Meningkatkan senyama kimia otak (phospholipid
Citicolin 1 gr /12
Intravena phosphatidylcholine) dalam meningkatkan aliran darah
jam
dan oksigen di otak
Meningkatkan kemampuan kognitif tanpa menimbulkan
Piracetam 3gr/12
Intravena rangsangan pada otak dan tidak menyebabkan rasa
jam
kantuk
Neurobion 1mg/8
Intravena Menjaga kesehatan sistem saraf
jam
Paracetamol
Intravena Sebagai antipiretik dan analgesik
10mg/12 jam
Moxifloxacin 1
Intravena Antibiotik untuk menangani infeksi bakteri
flash / 24jam
Mengobati angina pectoris dan meningkatkan
Trimetazidin
Oral  penggunaan glukosa miokard melalui penghambatan
35mg/12 jam
metabolisme asam lemak
Atorvastatin Menurunkan LDL dan trigliserid dan meningkatkan
Oral
20mg/8 jam jumlah HDL
Nitrokaf 2,5 Oral Mengurangi intensitas serangan angina
mg/12 jam
Pulmicort Mengurangi peradangan dan pembengkakan saluran
Inhalasi
0,25mg/8 jam napas
Ventolin 4mg /8 Melebarkan saluran uradara pada paru-paru dan
Inhalasi
jam mencegah bronkospasme

BAB III
PEMBAHASAN
A. Analisa kasus
Pengkajian pada Tn. P dengan SNH (Stroke Non Hemoragik)
1. Data Subjektif
Keluarga klien mengatakan klien dibawa ke IGD RS X tanggal 20 April 2021 dengan
keluhan penurunan kesadaran sejak 1 jam lalu hingga kejang dan muntah setelah
makan sebanyak 3x, tiba-tiba diajak berbicara tidak nyambung. Klien pernah dirawat
di RS X pada bulan Agustus 2019 dengan keluhan stroke dan hipertensi. Kemudian Tn.
P dibawa ke HCU untuk pengawasan dan keadaan semakin menurun hingga gagal
napas lalu dibawa ke ICU. Klien memiliki penyakit hipertensi sudah 4 tahun.
2. Data Objektif
a) Airway
Klien mengalami sumbatan pada selang Endotrakeal Tube dengan sputum kental
berwarna putih dan gurgling
b) Breathing 
Klien menggunakan otot bantu pernapasan, mode ventilator PCV, PC 15, PS : 12,
FiO2 : 70%, I: E (1:2), PEEP 5cmH2O, Trigger 3. 
c) Circulation
SpO : 90 %
2

Auskultasi paru : suara ronchi


TD : 153/99 mmHg, HR : 109 x/menit dan kekuatan nadi lemah
d) Disability
Paralisis pada ektremitas kanan, GCS : E1 VET M2
e) Laboratorium
PH 7,52, PCO2 28,2 mmmhg, HCO3 22,8 mmol/L 
f) Foto Thorax
Gambaran bronkopneumonia

g) CT Scan Kepala
 Atrofi cerebri gambaran encephalomalacia pada lobus frontal kanan, parietal
kanan, hemisfere cerebellum kanan
 Infark lakuner pada sentrum semiovale kanan kiri, corona radiata kanan kiri,
thalamus kiri
 Infark lama pada corona radiata kanan, nucleus caudatus kanan, nucleus
lentiformis kanan, thalamus kanan

Masalah keperawatan yang muncul adalah risiko perfusi serebral tidak efektif
berhubungan dengan embolisme pada otak (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
Menurunnya perfusi serebral adalah kondisi tidak adekuatnya suplai oksigen akibat
menurunnya suplai darah pada jaringan otak. Hal ini berhubungan dengan hipovolemia,
edema, thrombosis vena, perdarahan, penurunan cardiac output. Data fokus seperti edema,
nadi lemah, cappilary refill > 2 dtk, pucat, menurunnya sensasi, peningkatan (Stilwell, S,
2011). Dari hemodinamik klien didapatkan klien memiliki hipertensi yang sudah 3 tahun
terakhir dialami klien. Pada pemeriksaan tekanan darah didapatkan hasil melebihi batas
normal yaitu 155/105 mmHg.
Hipertensi merupakan factor risiko utama yang dapat mengakibatkan pecahnya
maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Bila tekanan sistolik di atas 160 mmHg dan
tekanan diastolic lebih dari 90mmHg, maka dapat berpotensi menimbulkan serangan CVD,
terlebih bila telah berjalan selama bertahun tahun. Pecahnya pembuluh darah otak akan
menimbulkan perdarahan, akan sangat fatal bila terjadi interupsi aliran darah ke
bagiandistal, di samping itu darah ekstravasal akan tertimbun sehingga akan menimbulkan
tekanan intracranial yang meningkat, sedangkan menyempitnya pembuluh darah otak akan
menimbulkan terganggunya aliran darah ke otak dan sel sel otak akan mengalami kematian
(Rosjid & Nurhidayat, 2014).
Sedangkan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan
monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul,
monitor adanya paretese, monitor kemampuan BAB, monitor adanya tromboplebitis,
instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada isi atau laserasi, gunakan sarung
tangan untuk proteksi, batasi grakan kepala, leher, dan punggung, diskusikan mengenai
penyebab perubahan sensasi, kolaborasikan pemberian analgetik (Supadi, 2017).
Masalah selanjutnya tidak efektifnya bersihan jalan napas merupakan kondisi
dimana pasien tidak mampu mengeluarkan secret sehingga menimbulkan obstruksi partial
atau total saluran nafas. Hal ini berhubungan dengan menurunnya energy dan kelelahan,
infeksi trakeo bronchial, penurunsn kesadaran, reflek batuk menurun. Data fokus yang
muncul seperti suara nafas tambahan (ronchi), perubahan irama nafas, batuk, sianosis
(Stilwell, S, 2011).
Sedangkan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan
monitor status oksigen pasien, identifikasi perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan,
monitor respirasi dan status oksigen, pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning, auskultasi
suara nafas sebelum dan sesudah suctioning, minta klien nafas dalam sebelum suctioning,
berikan oksigen dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakheal,
posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi dan berikan bronkodilator bila perlu,
berikan pelembab udara Kassa basah NaCL lembab, atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan, ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction,
keluarkan secret dengan batuk atau suction, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
terapi oksigen dan pemberian bronkodilator (Rodrigues, Amorim, Lourenco, & Jamami,
2017).
B. Analisa Intervensi Keperawatan
Rencana intervensi yang dilakukan adalah melakukan elevasi kepala 30 derajad.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pertami, Sulastywati & Anami (2017)
dengan judul “Effect Of 30° Head-Up Position On Intracranialpressure Change In Patients
With Head Injury In Surgical Ward Of General Hospital Of Dr. R. Soedarsono
Pasuruan”menunjukkan bahwa pasien dengan stroke iskemik akut memiliki gangguan
vasomotor reaktivitas, terutama di bagian otak yang terkena, sehingga bergantung langsung
pada tekanan darah sistemik untuk mempertahankan perfusi ke jaringan serebral. Posisi
duduk dapat mempengaruhi perfusi serebral oleh penurunan aliran darah ke otak pada
jaringan yang dapat diselamatkan, posisi pasien dengan stroke iskemik akut dan posisi flat
0° bisa meningkatkan CBF melalui sirkulasi kolateral atau gaya gravitasi. Sehingga hasil
penelitian secara signifikan ada perbedaan antara di sisi yang terkena stroke dalam posisi
kepala datar berbaring di 0 atau 15 derajat dibandingkan dengan posisi kepala tegak di 30
derajat.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hunter, Snodgrass, Quain, Parsons & Levi
(2017) dengan judul “HOBOE (Head-of-Bed Optimization of Elevation ) Study :
Association of Higher Angle With Reduced Cerebral Blood Flow Velocity in Acute
Ischemic Stroke”menunjukkan bahwa Otoregulasi serebral dapat terganggu setelah stroke
iskemik, dengan efek samping potensial pada aliran darah serebral. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menilai perubahan dalam darah serebral kecepatan aliran dengan variasi
ortostatik pada 24 jam setelah stroke. Penelitian ini menggunakan observasi yang
membandingkan kecepatan aliran rata-rata (MFVs) pada 30, 15, dan 0 derajat elevasi
kepala tempat tidur. Hasil yang terkena stroke iskemik 30° (51,5 cm /s, rentang
interkuartil), 15° (55,5 cm /detik) , 0 ° (85,0 cm/s). Sehingga ada perbedaan yang signifikan
untuk lainnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anderson et al., (2017) dengan judul “Cluster-
Randomized, Crossover Trial of Head Positioning in Acute Stroke” menunjukkan bahwa
peran posisi terlentang setelah stroke akut dalam meningkatkan aliran darah otak. Hal
tersebut menentukan apakah hasil pada pasien dengan stroke iskemik akut dapat
ditingkatkan dengan memposisikan pasien untuk berbaring datar yaitu, terlentang
sepenuhnya dengan bagian belakang horizontal dan wajah ke atas) selama perawatan dalam
meningkatkan perfusi serebral. Metode yang digunakan cluster-acak, yang dilakukan di
sembilan negara, 11.093 pasien dengan stroke akut (85% dari stroke adalah iskemik) untuk
diberikan posisi berbaring atau posisi duduk dengan kepala diangkat ke atas setidaknya 30
derajat, sesuai dengan pengalihan pengacakan dari rumah sakit yang mana mereka diterima.
posisi yang ditentukan dimulai segera setelah masuk rumah sakit dan dipertahankan selama
24 jam. Hasil yang didapatkan Posisi yang ditentukan adalah 14 Pasien diposisikan flat 0
derajat dan 30 derajat (87% vs. 95%, P <0,001) yang artinya ada perbedaan yang
signifikan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarto (2015) dengan judul “Peningkatan
Nilai Saturasi Oksigen Pada Pasien Stroke Menggunakan Model Elevasi Kepala”
menunjukkan bahwa saturasi oksigen pada pasien stroke sebelum dan sesudah elevasi
kepala 15°, menjelaskan saturasi oksigen pada pasien stroke sebelum dan sesudah
pelaksanaan kepala peninggian 30°, dan menganalisis perbedaan saturasi oksigen pada
pasien stroke sebelum dan setelah pelaksanaan peninggian antara 15° dan kepala 30°.
Rancangan penelitian ini adalah eksperimen komparasi yaitu membandingkan nilai saturasi
oksigen pasien stroke (stroke hemoragik dan non hemoragik) sebelum dan sesudah
dilakukan elevasi kepala 15° dan 30°. Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan
pasien stroke dengan jumlah sampel 26 responden. Analisis data untuk menguji hipotesis
ini menggunakan Mann-Whitney U-Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai hitung
Mann Whitney U-Test adalah 0.979 > 0.05. Hal ini mengindikasikan bahwa H0-hipotesis
ini menerima yang berarti secara statistik ada secara signifikan dalam kejenuhan oksigen
yang berbeda dari penderitaan pasien stroke sebelum dan setelah pelaksanaan kepala antara
15° dan 30°.
Pasien dengan stroke akut sulit menyeimbangkan perfusi serebral ke otak.
Berdasarkan respon fisiologis, elevasi kepala bisa peningkatan perfusi serebral dan
penurunan tekanan intrakranial. Posisi elevasi kepala datar (0º) dan 30º dapat dilakukan
untuk pasien dengan stroke iskemik akut. Desain penelitian adalah quasi post experiment.
Observasi pada tanda-tanda klinis tekanan intra-kranial, seperti Mean Atria Pressure
(MAP), suhu tubuh, pernapasan dan denyut nadi, muntah proyektil, sakit kepala, tingkat
kesadaran dan nilai GCS, reaksi pupil terhadap cahaya dan ukuran pupil. 
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Stroke Non Hemoragik (SNH) merupakan proses menurunnya aliran darah ke otak,
sehingga suplai darah tidak ke otak, iskemia menyebabkan perfusi otak menurun akhirnya
terjadi stroke. Pada kasus yang terjadi pada klien dengan diagnose medis SNH biasanya
akan mengalami risiko perfusi serebral tidak efektif sehingga dapat dilakukan suatu terapi
komplementer untuk mengurangi peningkatan tekanan intracranial pada otak dengan
memberikan posisi elevasi kepala 30o sehingga pemenuhan oksigen ke otak dapat terpenuhi
dengan baik.
Pemenuhan kebutuhan oksigenasi otak sebelum dan sesudah diberikan posisi
elevasi kepala 30° dan 15° diperoleh perbandingan bahwa posisi elevasi kepala 30° lebih
efektif dibandingkan dengan posisi elevasi kepala 15°. Dengan alasan, posisi elevasi kepala
30° menurunkan tekanan darah sistole 42 mmHg dan tekanan darah diastole 23 mmHg,
menurunkan nilai MAP 30 mmHg, menurunkan heart rate 16x/menit, menaikan saturasi
oksigen 2%, dan menaikan suhu 0,4°C. 
Sedangkan posisi elevasi kepala 15° menurunkan tekanan darah sistole 10 mmHg
dan menurunkan tekanan darah diastole 10 mmHg, menurunkan MAP 10 mmHg, menaikan
heart rate 10x/menit, menaikan suhu 0,4°C dan menaikan saturasi oksigen 1%. Kemudian
pemberian posisi elevasi kepala 30° maupun 15° tidak merubah respirasi rate dan GCS.
B. Saran 
1. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan pembelajaran klinik kebutuhan dasar kritis berdasarkan evidence based
nursing pada kasus Stroke Non Hemoragik
2. Bagi Perawat Klinis
Perlu adanya kajian pengelolaan pasien dengan SNH yang tepat agar dapat diterapkan
SOP (Standar Operasional Prosedur) yang benar dan menguntungkan bagi pasien.

DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. (2012). Heart Disease and Stroke Statistic 2012. Circulation
Journal of the American Heart Association, 125(1), 2–220.
https://doi.org/10.1161/CIR.0b013e31823ac046

Anderson, C. S., Arima, H., Lavados, P., Billot, L., Hackett, M. L., Olavarría, V. V, &
Watkins, C. (2017). Cluster-Randomized, Crossover Trial of Head Positioning in
Acute Stroke. The New England Journal of Medicine, 376(25).
https://doi.org/https://doi.org/10.1056/NEJMoa1615715

Hasan, A. K. (2018). Studi Kasus Gangguan Perfusi Jaringan Serebral Dengan Penurunan
Kesadaran Pada Klien Stroke Hemoragik Setelah Diberikan Posisi Kepala Elevasi
30o. Babul Ilmi_Jurnal Ilmiah Multi Science Kesehatan, 9(2), 229–241.

Hisam. (2013). Tatalaksana Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) Pada Operasi


Craniotomy Evaluasi Hematoma yang Disebabkan Oleh Hambatan Intraserebral.
Jurnal Komplikasi Anastesi, 1(1), 35–42.

Hunter, A. J., Snodgrass, S. J., Quain, D., Parsons, M. W., & Levi, C. R. (2017). HOBOE
(Head-of-Bed Optimization of Elevation ) Study : Association of Higher Angle With
Reduced Cerebral Blood Flow Velocity in Acute Ischemic Stroke. Physical Therapy,
91(10).

Martono, Sudiro, & Satino. (2016). Deteksi Dini Derajat Kesadaran Menggunakan
Pengukuran Nilai Kritis Mean Artery Pressure. Jurnal Ners, 11(1), 73–78.
Pertami, S. B., Sulastywati, & Anami, P. (2017). Effect Of 30° Head-Up Position On
Intracranialpressure Change In Patients With Head Injury In Surgical Ward Of
General Hospital Of Dr. R. Soedarsono Pasuruan. Public Health of Indonesia, 3(3),
89–95.

Riskesdas. (2015). Prevalensi Penyakit Stroke Tahun 2015. Jakarta: Riset Kesehatan Dasar
Depkes RI.
Rodrigues, J., Amorim, V., Lourenco, M. M., & Jamami, M. (2017). Comparing the Effects
of Two Different Levels of Hyperoxygenation on Gas Exchange During Open
Endotracheal Suctioning : A Randomized Crossover Study. Respiratory Care, 62(1),
92–101. https://doi.org/https://doi.org/10.4187/respcare.04665

Rosjid, C. H., & Nurhidayat, S. (2014). Buku Ajar Peningkatan Tekanan Intrakranial &
Gangguan Peredarah Darah Otak. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Stilwell, S, B. (2011). Pedoman Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.

Sunarto. (2015). Peningkatan Nilai Saturasi Oksigen Pada Pasien Stroke Menggunakan
Model Elevasi Kepala. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, 4(1), 23–25.

Supadi. (2017). Pengaruh Elevasi Posisi Kepala Pada Klien Stroke Hemoragik Terhadap
Tekanan Rata-Rata Arterial, Tekanan Darah Dan Tekanan Intra Kranial Di Rumah
Sakit Margono Soekarjo Purwokerto. Jurnal Kesmasindo, 5(2), 154–168.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI).
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai