Untitled Document
Untitled Document
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan : Depok
Tanggal : 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Penatalaksanaan Okupasi Terapi
dalam Aktivitas Makan pada Kasus Autism Spectrum Disorder (ASD) dengan
Menggunakan Kerangka Acuan Perilaku di Lazuardi GCS yang dibuat untuk memenuhi
Tugas Karya Akhir Studi Okupasi Terapi, Rumpun Kesehatan, Program Vokasi
Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tampa bantuan dari berbagai pihak, sangat
sulit bagi penulis untuk menvelesaikan makalah ini. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Reza Nur Arsyi, S.ST.,M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, saran, dan dukungan untuk penulis
2. Bapak Abdul Ghofar, A.Md.OT., S.Pd. M.H. selaku pembimbing lahan yang telah
menyediakan waktu, tenaga dalam membimbing penulis dalam menvusun tugas karya akhir
ini
3. An. S dan keluarga yang telah bersedia menjadi objek observasi dalam makalah ini
4. Orang tua, keluarga, dan teman-teman yang telah banyak memberikan dukungan kepada
penulis untuk menvelesaikan makalah ini
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang
yang telah membaca makalah ini.
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Jakarta, 2023
Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
Masa kanak-kanak merupakan masa yang sangat penting bagi perkembangan dan
pertumbuhan anak baik secara mental, kognitif maupun fisik. Masa anak-anak juga
merupakan masa yang baik untuk bermain dan mempelajari banyak hal baru sebelum
nantinya tumbuh menjadi dewasa. Perkembangan merupakan perubahan mental yang
berlangsung secara bertahap dan dalam waktu tertentu, dari kemampuan yang sederhana
menjadi kemampuan yang lebih sulit, misalnya kecerdasan, sikap dan tingkah laku (Drs.
Ahmad Susanto, M.Pd. 2011). Sedangkan pertumbuhan adalah ukuran dan bentuk tubuh
atau anggota tubuh misalnya bertambah berat badan, bertambah tinggi badan, tumbuh gigi
susu dan pertumbuhan yang lain.
Down Syndrome (DS) adalah kondisi kromosom paling umum yang terkait dengan
kecacatan intelektual dan ditandai dengan berbagai temuan klinis tambahan (Marilyn J.
Bull, M.D. 2020). Sedangkan menurut Cuncha dalam Mark L.Batshaw, M.D. (1992: 24)
down syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental
pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Dapat
disimpulkan bahwa anak dengan down syndrome memiliki penyimpangan perkembangan
yang menimbulkan kelainan mental, fisik dan gangguan intelektual. Hal ini sejalan dengan
pendapat Friend (Santrock, 2014) yang mengatakan anak down syndrome memiliki
hambatan fungsi intelektual yang tidak memadai. Hambatan tersebut ditandai
penyimpangan kromosom dalam sel tubuh yang memiliki ciriciri lain pada wajah dan
anggota tubuh lainnya, kurang sesuainya keterampilan dalam belajar serta defisit perilaku
adaptif.
Anak down syndrome memiliki ciri motorik halus yang khas dan ciri lain
berdasarkan derajat hambatan yang dimilikinya yaitu jari-jari tangan kasar, kaku, otot-otot
lemah, kondisi emosi sulit ditebak dan kurang terkendali secara wajar, ketergantungan pada
orang dewasa dan sering menolak orang lain (Hudayah Taiyeb, 2016). Kemampuan anak
dengan down syndrome dapat ditingkatkan melalui pelatihan. Tenaga kesehatan yang dapat
membantu anak untuk meningkatkan kemampuannya dalam melakukan aktivitas memakai
baju berkancing yaitu intervensi yang dilakukan oleh Okupasi Terapi.
Pada kasus yang diangkat penulis, An. S belum dapat memakai baju berkancing
secara mandiri. Oleh karena itu, penulis memfokuskan penerapan daily living skill yaitu
memakai baju berkancing untuk membantu anak menjadi mandiri dalam aktivitas
kesehariannya. Penulis merancang program okupasi terapi yanag sesuai dengan aset yang
dimiliki anak sehingga dapat dikembangkan menjadi kemampuan untuk memakai baju
berkancing secara mandiri. Penulis juga merancang home program untuk orang tua agar
dapat menerapkannya di rumah bersama anak demi mendukung perkembangan anak.
Sebagai sarana dan bacaan bagi institusi pendidikan yang membutuhkan informasi
mengenai intervensi Okupasi Terapi dalam meningkatkan daily living skill anak dengan
down syndrome pada aktivitas memakai baju berkancing.
1. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai kondisi anak dengan Down Syndrome (DS).
2. Untuk mengetahui bagaimana tatalaksana yang dapat diberikan Okupasi Terapi
dalam meningkatkan kemampuan anak dengan down syndrome dalam aktivitas
memakai baju berkancing secara mandiri.
LANDASAN TEORI
2.1.1 Definisi
Menurut (Chaplin, 1991), down syndrome adalah satu kerusakan atau cacat fisik
bawaan yang disertai keterbelakangan mental, lidahnya tebal, dan retak-retak atau terbelah,
wajahnya datar ceper, dan matanya miring. Sedangkan menurut (Kartono, 1987), down
syndrome adalah suatu bentuk keterbelakangan mental, disebabkan oleh satu kromosom
tembahan. IQ anak down syndrome biasanya dibawah 50, sifat-sifat atau ciri-ciri fisiknya
adalah berbeda, ciri-ciri jasmaniahnya sangat mencolok, salah satunya yang paling sering
diamati adalah matanya yang serong ke atas. Anak yang mengalami Down Syndrome dapat
dikenali berdasarkan ciri-cirinya, yaitu bentuk kepala yang relatif lebih kecil, bentuk mata
sipit, hidung datar, serta tangan dan juga kaki yang tergolong pendek (Irwanto dkk., 2019)
2.1.2 Prevalensi
2.1.3 Etiologi
Down syndrome dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor genetik, faktor radiasi, dan
faktor usia ibu. Hasil penelitian epidemiologi mengatakan adanya peningkatan resiko
berulang bila keluarga terdapat anak dengan down syndrome (Mangunsong, 2009). Ada
sebagian besar penelitian mengatakan bahwa ibu yang pernah mengalami radiasi, 30% akan
berpeluang melahirkan anak dengan down syndrome. Anak dengan down syndrome
dilahirkan pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun sekitar 40 dari 10.000 kelahiran
hidup sedangkan wanita yang melahirkan diatas usia 40 tahun sekitar 120 dari 10.000
kelahiran hidup (CDC, 2017). Tipe down syndrome menurut (National Down Syndrome
Society, 2018):
a. Trisomi 21 (Nondisjunction)
Down syndrome disebabkan oleh kesalahan pembelahan sel yang disebut
“nondisjunction”. Nondisjunction menghasilkan embrio dengan tiga salinan
kromosom 21 bukan dua seperti pada umumnya. Sebelum dan saat pembuahan,
sepasang kromosom ke 21 gagal untuk terpisah. Ketika embrio berkembang
kromosom ekstra direplikasi di setiap sel tubuh. 95% kasus down syndrome yaitu
trisomi 21.
● Translokasi
Dalam translokasi, lengan panjang dari kromosom ke-21menempel pada kromosom
lain, atau ketika bagian atas kromosom 21 dan kromosom lain pecah, dan kedua
bagian yang tersisa tersebut saling melekat. Kasus seperti ini terjadi hanya 1-3%
pada anak down syndrome (Batshaw dkk, 2013).
● Mosaik
Mosaik memiliki kromosom berjumlah 47 tidak berjumlah 46 kromosom seperti
pada umumnya. Sel-sel dengan 47 kromosom mengandung kromosom ekstra 21.
Mosaik adalah bentuk paling umum dari down syndrome, kasus ini menyumbang
hanya sekitar 1% dari semua kasus down syndrome.
2.1.4 Prognosis
Prognosis anak yang menderita down syndrome tergantung pada tingkat keparahan
masalah medis dan komplikasi yang berkembang. Pada tahun 1910, harapan hidup
seorang anak yang terlahir dengan kondisi down syndrome adalah 9 tahun. Saat
ini,karena berkembangnya teknologi medis dan intervensi dini, sebesar 44% penderita
down syndrome hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun.
Meningkatnya risiko terkena leukemia pada down syndrome adalah 15 kali dari
populasi normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup
setelah umur 44 tahun (Shin et al., 2009). Angka kematian anak down syndrome cukup
tinggi meskipun banyak juga yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan
kelainan jantung bawaan dan leukimia. Sekitar 80% tingginya angka kejadian penyakit
jantung bawaan pada down syndrome yang mengakibatkan pada kematian. Jika terdapat
kedua penyakit tersebut maka angka harapan hidup berkurang dan jika tidak ditemukan
maka anak dapat bertahan sampai dewasa (Shin et al., 2009).
2.1.5 Permasalahan Down Syndrome
Anak down syndrome ditandai dengan lemahnya kontrol motorik, baik motorik kasar
maupun motorik halus; interaksi sosial; intelektual serta sensorik (Qaharani, 2010).
Anak dengan kondisi down syndrome cenderung tidak terkoordinasi dan tonus otot
lemah sehingga sulit bagi mereka untuk melakukan tugas-tugas fisik dan jarang terlibat
aktivitas bermain seperti anak-anak lain. Anak down syndrome memiliki gangguan
pada kemampuan motorik halus, mempunyai bentuk jari-jari yang pendek dan tumpul,
kulit kasar, serta otot-ototnya lemah, sehingga menyebabkan anak kesulitan dalam
mengambil benda-benda yang berukuran kecil (Muliar, 2016).
Kerangka acuan perilaku adalah suatu metode untuk merubah perilaku maladaptif
menjadi perilaku adaptif. Kerangka acuan yang berdasarkan dari hasil penelitian dan
prinsip kognitif, sosial dan teori pembelajaran kondisi. Secara sistematik
diaplikasikan untuk mengembangkan teknik dan prosedur perilaku yang mengubah
perilaku individu dan mengembangkan performance skill yang diperlukan individu
agar mampu hidup mandiri di lingkungan sekitarnya (Bruce & Borg, 2002).
2.1.6.2 Strategi
Strategi yang digunakan dari kerangka acuan perilaku menurut Bruce & Borg (2002)
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Shaping
Penguatan dilakukan dengan cara membagi aktivitas menjadi tahap-tahap kecil yang
digunakan sebagai pembiasaan perilaku baru.
2. Reinforcement
Reinforcement merupakan segala sesuatu yang mampu meningkatkan atau
memberikan motivasi pada perilaku yang dimunculkan. Ada tiga kategori
reinforcement yang bisa membantu program terapi yang dilaksanakan antara lain:
Sedangkan dalam pemberian reinforcement pada saat terapi harus sesuai dengan
jadwal. Jadwal pemberian reinforcement antara lain:
2) Fixed ratio yaitu imbalan diberikan setiap tiga sampai empat kali perilaku yang
diinginkan muncul.
3. Punishment
Punishment diberikan ketika perilaku maladaptif muncul dan diikuti oleh stimulus
yang merugikan yang tidak dapat dihindari. Hukuman digunakan untuk menekan
perilaku tetapi tidak untuk menghilangkan.
4. Modeling
Digambarkan sebagai metode pembelajaran yang cepat. Orang yang melihat
tindakan orang lain, akan mempelajari perilaku yang baru dengan cara imitasi
perilaku.
5. Building chains of behavior
Perilaku yang paling kompleks dapat dipahami sebagai rantai koneksi atau respon
stimulus. Respon yang dilakukan bertindak sebagai stimulus respon selanjutnya.
Building chains of behavior ada 2 cara yaitu:
1) Backward chaining
2) Forward chaining
6. Token ekonomi
Token ekonomi adalah sistem pengkondisian operan dirancang untuk mengubah
perilaku dengan beberapa orang atau lebih, terutama jika internal atau intangible
tidak berwujud atau tidak efektif. Token dapat digunakan sebagai reward dan dapat
ditukar dalam bentuk makanan, mainan, permen, dan sebagainya.
7. Biofeedback
Biofeedback muncul dari perilaku-teori belajar, yang berusaha untuk membentuk
dan mengendalikan perilaku dalam lingkungan yang terkendali dengan hadiah
langsung, dan dari kemajuan dalam bidang teknologi, yang mempromosikan
penggunaan peralatan elektronik selama proses evaluasi dan pengobatan.
2.1.7 Aktivitas Berpakaian
2.1.7.1 Definisi
Aktivitas berpakaian dan melepas pakaian merupakan bagian dari kehidupan sehari-
hari bagi kita semua. Tindakan berpakaian dan melepas pakaian sendiri secara
mandiri bisa menjadi proses yang rumit dan sulit (National Health Service, 2011).
Pemakaian baju berkancing sudah menjadi hal umum bagi orang-orang diseluruh
dunia. Orang-orang biasa menggunakan baju dengan kancing ketika menghadiri acara
resmi seperti pemakaian kemeja polos untuk bekerja, kemeja batik untuk menghadiri
acara pernikahan, dan siswa-siswi yang mengenakan seragam ketika pergi ke sekolah.
Keterampilan memakai baju berkancing secara mandiri dimulai dari memasukan
lengan tangan ke dalam lubang baju secara satu persatu setelah itu mengancingkan
kancing baju satu persatu sesuai dengan lubang kancing baju dan merapikannya,
tahapan ini sangat penting untuk diajarkan karena hal ini merupakan bentuk sederhana
dari kemandirian anak dalam berpakaian.
Menurut Klein (1983) ada tiga ketrampilan utama yang dibutuhkan dalam berpakaian,
antara lain: ketrampilan motorik, ketrampilan sensorik dan body scheme.
a. Keterampilan motorik
Prasyarat dalam keterampilan motorik yaitu gerak aktif, mobilitas sendi, koordinasi,
keseimbangan, kontrol lengan dan tangan serta reach, grasp and release.
1) Gerak aktif
Kemampuan untuk menggerakan otot secara sadar dan melawan gravitasi untuk
memanipulasi badan dan ekstremitas ketika memakai dan melepas pakaian.
2) Mobilitas sendi
Mobilitas sendi adalah kemampuan dalam menggerakkan dan mempertahankan
lingkup gerak sendi, sehingga dalam aktivitas memakai dan melepas pakaian anak
mampu melakukannya secara optimal (Klein, 1983).
3) Koordinasi
Koordinasi yang baik adalah saat anak mampu menstabilisasi sendi, memindahkan
berat badan, menggunakan lengan, mata, badan, tungkai, dan jari secara bersamaan.
Dalam proses aktivitas memakai dan melepas pakaian, seperti melepas dan
memasang kancing pada baju memelukan koordinasi dan perencanaan gerak
motorik secara halus dan bertahap.
4) Keseimbangan
Anak harus memiliki kemampuan untuk bergerak dengan benar dan menjaga
keseimbangan saat mengganti postur dalam melakukan aktivitas berpakaian.
Anak harus memiliki keterampilan gerakan tangan yang baik, dapat mengkoordinasi
dan merencanakan gerak secara bilateral (kedua tangan melakukan hal yang sama
pada waktu yang sama) pada saat mengancingkan baju kemeja atau saat mengikat
tali sepatu.
b. Keterampilan sensori
Anak mampu fokus pada sebuah objek, memusatkan dan membagi fokus serta
kemampuan mata mengikuti objek.
2) Persepsi
3) Sensasi taktil
b. Body Scheme
Body Scheme merupakan kesadaran anak pada bagian tubuhnya serta hubungannya
antara bagian tubuh yang satu dengan bagian tubuh yang lain. Kesadaran atas bagian
tubuh dan hubungan antar bagian tubuh dimana anak harus mengetahui anggota
tubuhnya secara baik seperti mana tangan, mata, kepala, kaki dll. Anak harus
mengetahui hubungan bagian tubuh dengan pakaian untuk menentukan bagaimana
memakai dan melepas pakaian tersebut. Ketrampilan persepsi ini diperlukan untuk
mengidentifikasi kiri- kanan, atas-bawah dan depan-belakang pada pakaian.
BAB 3
PERENCANAAN PENATALAKSANAAN OKUPASI TERAPI
a. Nama : An. S
b. Usia : 7 Tahun 5 bulan
c. Diagnosis : Down Syndrome
d. Agama : Islam
e. Alamat : Pangkalan Jati
f. Terapis Okupasi : Nadia Cahya Pramesti Safitri
f) Harapan Keluarga : Saat ini, orang tua An. S berharap bahwa An.
S mampu berpakaian yaitu memakai baju berkancing secara mandiri.
c) Riwayat Keluarga
An. D datang kesekolah dengan diantar oleh orang tuanya. An. S memiliki kulit putih,
badan berisi dan pendek, mata sipit, hidung pesek, bentuk wajah oval dan flat foot. Postur
tubuh An. S sedikit membungkuk.
PERSEPSI
NEUROMUSKULAR
Reflek Masih terdapat refleks primitif
MOTORIK
PSIKOLOGIS
SOSIAL
AREA KETERANGAN
An. S perempuan berusia 7 Tahun 5 bulan dengan diagnosis Down Syndrome. Saat ini
anak sedang menjalani terapi di Pelangi Lazuardi Global Compassionate School dan
bersekolah di Lazuardi Global Compassionate School dan memiliki guru pembimbing
khusus. An. S masih sulit untuk fokus saat melakukan aktivitas karena mudah terdistrak.
An. S sedang menjalani terapi di klinik Pelangi Resource Center. Untuk perkembangan saat
ini terkait kemandirian, An. S masih perlu bantuan dalam aktivitas berpakaian yaitu
memakai baju berkancing. Aset yang dimiliki oleh An. S yaitu taktil, vestibular, auditori,
visual, gustatori, olfaktori, LGS, tonus otot, ketahanan, koordinasi motorik kasar, laterality,
crossing the midline, kelenturan jaringan lunak, kontrol oro motor, interest, ekspresi diri,
interaksi sosial, diskriminasi kanan kiri, body scheme, posisi dalam ruangan, integrasi
visual motor, orientasi, sequencing, depth perception. Sedangkan anak memiliki limitasi
pada taktil, proprioceptive, stereognosis, kinestesia, konstansi bentuk, posisi dalam
ruangan, visual closure, figure ground, kontrol postural, toleransi aktivitas, koordinasi
motorik halus, handskill, level arousal, rentang atensi, recognition, kategorisasi, formasi
konsep, pemecahan masalah, mengelola waktu, peran, inisiasi aktivitas, berhenti aktivitas,
kontrol diri, komunikasi verbal dan non verbal.
Long Term Goal : An. S mampu memakai baju berkancing secara mandiri selama 15
kali pertemuan.
Pasien dapat memasukkan tangan kanan dan kiri ke lubang lengan baju selama 5
kali sesi terapi
Kerangka acuan Behavior Therapy
Metode
Aktivitas terapeutik
Metode
STG 2
Durasi 45 menit
Aktivitas terapeutik 1.
Sebagai penunjang keberhasilan rencana terapi yang telah disusun dan dilaksanakan pada
saat terapi, maka dibutuhkan home program untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Terapis memberikan home program kepada pasien dan meminta keluarga secara rutin
melakukan aktivitas home program di rumah. Terapis melakukan monitoring pelaksanaan
home program melalui kegiatan home visit dan mengecek blangko monitoring home
program. Program terapi yang dapat dilakukan di rumah, yaitu:
Mengulang kegiatan terapi di rumah. Aktivitas yang bisa dilakukan yaitu memasang
dan melepas penjepit, bermain playdough, meronce manik-manik, media flannel
baju berkancing, dan bermain puzzle. Selain itu, diharapkan ketika anak
mengerjakan aktivitas tersebut anak mampu melakukan setiap aktivitas sampai
selesai.
Orangtua diminta untuk tidak memanjakan anak dan membiarkan anak untuk
belajar dan berusaha menggunakan baju berkancing secara mandiri.
Orangtua dapat melibatkan anak dalam aktivitas sehari-hari seperti memasak,
membereskan rumah, membereskan mainan anak yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan anak dalam pemahaman instruksi sederhana dan
kompleks.