Anda di halaman 1dari 31

UNIVERSITAS INDONESIA

PENATALAKSANAAN OKUPASI TERAPI PADA KASUS DOWN SYNDROME


DALAM AKTIVITAS MEMAKAI BAJU BERKANCING DENGAN BEHAVIOR
THERAPY DI SD LAZUARDI GLOBAL COMPASSIONATE SCHOOL

TUGAS KARYA AKHIR

NADIA CAHYA PRAMESTI SAFITRI


2006599921

PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI


PROGRAM STUDI OKUPASI TERAPI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas karya akhir ini diajukan oleh:


Nama : Nadia Cahya Pramesti Safitri
NPM :2006599921
Program Studi : Okupasi Terapi
Judul : Penatalaksanaan Okupasi Terapi pada Kasus Down Syndrome
dalam Aktivitas Memakai Baju Berkancing dengan Behavior Therapy di SD Lazuardi
Global Compassionate School

Telah berhasil dipertahankan di hadapan dewan penguji dan diterima sebagai


persyaratan yang diperlukan untuk kelulusan praktik klinik/magang pada Program
Studi Okupasi Terapi, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Reza Nur Arsyi, S.ST.,M.Si


Penguji :

Ditetapkan : Depok
Tanggal : 2023

Ketua Program Studi Okupasi Terapi


Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia
Hermito Gidion, A.Md.OT.,M.Psi.T

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Penatalaksanaan Okupasi Terapi
dalam Aktivitas Makan pada Kasus Autism Spectrum Disorder (ASD) dengan
Menggunakan Kerangka Acuan Perilaku di Lazuardi GCS yang dibuat untuk memenuhi
Tugas Karya Akhir Studi Okupasi Terapi, Rumpun Kesehatan, Program Vokasi
Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tampa bantuan dari berbagai pihak, sangat
sulit bagi penulis untuk menvelesaikan makalah ini. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Reza Nur Arsyi, S.ST.,M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, saran, dan dukungan untuk penulis

2. Bapak Abdul Ghofar, A.Md.OT., S.Pd. M.H. selaku pembimbing lahan yang telah
menyediakan waktu, tenaga dalam membimbing penulis dalam menvusun tugas karya akhir
ini

3. An. S dan keluarga yang telah bersedia menjadi objek observasi dalam makalah ini

4. Orang tua, keluarga, dan teman-teman yang telah banyak memberikan dukungan kepada
penulis untuk menvelesaikan makalah ini

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang
yang telah membaca makalah ini.
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Jakarta, 2023
Penulis

DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa kanak-kanak merupakan masa yang sangat penting bagi perkembangan dan
pertumbuhan anak baik secara mental, kognitif maupun fisik. Masa anak-anak juga
merupakan masa yang baik untuk bermain dan mempelajari banyak hal baru sebelum
nantinya tumbuh menjadi dewasa. Perkembangan merupakan perubahan mental yang
berlangsung secara bertahap dan dalam waktu tertentu, dari kemampuan yang sederhana
menjadi kemampuan yang lebih sulit, misalnya kecerdasan, sikap dan tingkah laku (Drs.
Ahmad Susanto, M.Pd. 2011). Sedangkan pertumbuhan adalah ukuran dan bentuk tubuh
atau anggota tubuh misalnya bertambah berat badan, bertambah tinggi badan, tumbuh gigi
susu dan pertumbuhan yang lain.

Faktanya tidak semua anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang


normal. Terdapat anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dari anak normal pada
umumnya salah satunya yaitu down syndrome. Insiden dari down syndrome diperkirakan 1
di antara 800-1000 kelahiran. Untuk frekuensi kejadian di Indonesia adalah 1 dalam 600
kelahiran yang hidup, dan data WHO memperkirakan 5000 bayi terlahir dengan kondisi ini
setiap tahunnya. Untuk dunia sendiri prevalensi kejadian penyakit ini yaitu 10 Down
syndrome per 10.000 kelahiran hidup.

Down Syndrome (DS) adalah kondisi kromosom paling umum yang terkait dengan
kecacatan intelektual dan ditandai dengan berbagai temuan klinis tambahan (Marilyn J.
Bull, M.D. 2020). Sedangkan menurut Cuncha dalam Mark L.Batshaw, M.D. (1992: 24)
down syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental
pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Dapat
disimpulkan bahwa anak dengan down syndrome memiliki penyimpangan perkembangan
yang menimbulkan kelainan mental, fisik dan gangguan intelektual. Hal ini sejalan dengan
pendapat Friend (Santrock, 2014) yang mengatakan anak down syndrome memiliki
hambatan fungsi intelektual yang tidak memadai. Hambatan tersebut ditandai
penyimpangan kromosom dalam sel tubuh yang memiliki ciriciri lain pada wajah dan
anggota tubuh lainnya, kurang sesuainya keterampilan dalam belajar serta defisit perilaku
adaptif.

Anak dengan down syndrome memiliki kemampuan yang terbatas dikarenakan


keterbatasan intelektual dan kemampuan fisik yang terbatas. Kegiatan keseharian yang
dianggap mudah bagi anak normal akan terasa sulit dilakukan oleh anak dengan down
syndrome, contohnya untuk memakai baju berkancing. Bruni (2006) mengungkapkan
bahwa memakai pakaian merupakan salah satu daily living skill. Berpartisipasi di dalam
kelas belajar juga merupakan daily living skill. Bagi anak, bermain merupakan daily living
skill. Anak-anak diharapkan dapat berpartisipasi dalam kegiatan keterampilan yang
berbedabeda tiap harinya. Kemampuan daily living skill bertujuan untuk memampukan
anak menolong diri (self help) hidup mandiri dalam kehidupan rutin setiap hari seperti
makan, minum, mandi, pergi ke toilet, memakai dan melepas baju, kaos kaki dan lain-lain.
Taylor (2005) juga mengungkapkan bahwa daily living skill mengajarkan anak untuk
melakukan kegiatan harian terutama kegiatan rutin sehari-hari, keterampilan mengurus dan
merawat diri sendiri.

Anak down syndrome memiliki ciri motorik halus yang khas dan ciri lain
berdasarkan derajat hambatan yang dimilikinya yaitu jari-jari tangan kasar, kaku, otot-otot
lemah, kondisi emosi sulit ditebak dan kurang terkendali secara wajar, ketergantungan pada
orang dewasa dan sering menolak orang lain (Hudayah Taiyeb, 2016). Kemampuan anak
dengan down syndrome dapat ditingkatkan melalui pelatihan. Tenaga kesehatan yang dapat
membantu anak untuk meningkatkan kemampuannya dalam melakukan aktivitas memakai
baju berkancing yaitu intervensi yang dilakukan oleh Okupasi Terapi.

Okupasi Terapi merupakan terapi yang diberikan untuk melatih kemandirian


kognitif, kemampuan sensorik, dan kemampuan motorik anak down syndrome (Raffi,
Indriati, & Utami, 2018). Okupasi Terapi dapat memberikan intervensi untuk
memperbaiki/mengejar keterlambatan perkembangan motorik halus anak, hasil penelitian
Taiyeb (2016) menemukan bahwa anak down syndrome yang diberikan eksperimen teknik 
finger painting  cenderung menunjukkan peningkatan pada tiga aspek kemampuan motorik
halus yang dinilai, yaitu melukis menggunakan semua jari, melukis menggunakan jari
secara bergantian, serta koordinasi tangan dan mata. Salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan oleh okupasi terapi untuk intervensi anak dengan down syndrome adalah
behavior therapy/ terapi prilaku.

Behavior therapy adalah istilah yang menggambarkan berbagai teknik yang


digunakan untuk mengubah perilaku maladaptif. Tujuannya adalah untuk memperkuat
perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Tujuan
umum terapi perilaku adalah membentuk kondisi baru untuk belajar karena melalui proses
belajar dapat mengatasi masalah yang ada (Gunarsa, 2000). Tujuan khusus untuk
meningkatkan kemampuan daily living skill, seperti menata rambut, menggosok gigi,
memakai sepatu, mengenakan pakaian dan memegang pensil.

Pada kasus yang diangkat penulis, An. S belum dapat memakai baju berkancing
secara mandiri. Oleh karena itu, penulis memfokuskan penerapan daily living skill yaitu
memakai baju berkancing untuk membantu anak menjadi mandiri dalam aktivitas
kesehariannya. Penulis merancang program okupasi terapi yanag sesuai dengan aset yang
dimiliki anak sehingga dapat dikembangkan menjadi kemampuan untuk memakai baju
berkancing secara mandiri. Penulis juga merancang home program untuk orang tua agar
dapat menerapkannya di rumah bersama anak demi mendukung perkembangan anak.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana perkembangan daily living skill anak dengan down syndrome yang
mendapat penatalaksanaan okupasi terapi dalam aktivitas memakai baju berkancing
menggunakan kerangka acuan behavior therapy?

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana intervensi yang diberikan


okupasi terapi dengan menggunakan kerangka acuan behavior therapy untuk meningkatkan
kemampuan anak dengan down syndrome dalam aktivitas memakai baju berkancing.

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Bagi Institusi

Sebagai sarana dan bacaan bagi institusi pendidikan yang membutuhkan informasi
mengenai intervensi Okupasi Terapi dalam meningkatkan daily living skill anak dengan
down syndrome pada aktivitas memakai baju berkancing.

1.4.2 Bagi Klien

1. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai kondisi anak dengan Down Syndrome (DS).
2. Untuk mengetahui bagaimana tatalaksana yang dapat diberikan Okupasi Terapi
dalam meningkatkan kemampuan anak dengan down syndrome dalam aktivitas
memakai baju berkancing secara mandiri.

1.4.3 Bagi Penulis

Sebagai pembelajaran penulis untuk mempelajari lebih dalam tentang Down


Syndrome dan menentukan metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan anak
Down Syndrome pada aktivitas memakai baju berkancing secara mandiri.
BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Down Syndrome

2.1.1 Definisi

Menurut (Chaplin, 1991), down syndrome adalah satu kerusakan atau cacat fisik
bawaan yang disertai keterbelakangan mental, lidahnya tebal, dan retak-retak atau terbelah,
wajahnya datar ceper, dan matanya miring. Sedangkan menurut (Kartono, 1987), down
syndrome adalah suatu bentuk keterbelakangan mental, disebabkan oleh satu kromosom
tembahan. IQ anak down syndrome biasanya dibawah 50, sifat-sifat atau ciri-ciri fisiknya
adalah berbeda, ciri-ciri jasmaniahnya sangat mencolok, salah satunya yang paling sering
diamati adalah matanya yang serong ke atas. Anak yang mengalami Down Syndrome dapat
dikenali berdasarkan ciri-cirinya, yaitu bentuk kepala yang relatif lebih kecil, bentuk mata
sipit, hidung datar, serta tangan dan juga kaki yang tergolong pendek (Irwanto dkk., 2019)

2.1.2 Prevalensi

World Health Organization (WHO), mengestemasikan bahwa terdapat 1 kejadian Down


Syndrome per 1.000 kelahiran hingga 1 kejadian per 1.100 kelahiran di seluruh dunia.
Setiap tahunnya, sekitar 3.000-5.000 anak lahir dengan kondisi ini. WHO memperkirakan
ada 8 juta penderita Down Syndrome di seluruh dunia. Kasus Down Syndrome di Indonesia
cenderung terus meningkat. Kasus Down Syndrome pada anak usia 24-59 bulan
berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010 diperoleh persentase
sebesar 0,12%, pada tahun 2013 sebesar 0,13%. Riskesdas tahun 2018 juga menyampaikan
Down Syndrome menyumbang kecacatan sejak lahir terbesar kedua yaitu sebesar 0,21%
(Kemenkes RI, 2019).

2.1.3 Etiologi

Down syndrome dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor genetik, faktor radiasi, dan
faktor usia ibu. Hasil penelitian epidemiologi mengatakan adanya peningkatan resiko
berulang bila keluarga terdapat anak dengan down syndrome (Mangunsong, 2009). Ada
sebagian besar penelitian mengatakan bahwa ibu yang pernah mengalami radiasi, 30% akan
berpeluang melahirkan anak dengan down syndrome. Anak dengan down syndrome
dilahirkan pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun sekitar 40 dari 10.000 kelahiran
hidup sedangkan wanita yang melahirkan diatas usia 40 tahun sekitar 120 dari 10.000
kelahiran hidup (CDC, 2017). Tipe down syndrome menurut (National Down Syndrome
Society, 2018):

a. Trisomi 21 (Nondisjunction)
Down syndrome disebabkan oleh kesalahan pembelahan sel yang disebut
“nondisjunction”. Nondisjunction menghasilkan embrio dengan tiga salinan
kromosom 21 bukan dua seperti pada umumnya. Sebelum dan saat pembuahan,
sepasang kromosom ke 21 gagal untuk terpisah. Ketika embrio berkembang
kromosom ekstra direplikasi di setiap sel tubuh. 95% kasus down syndrome yaitu
trisomi 21.
● Translokasi
Dalam translokasi, lengan panjang dari kromosom ke-21menempel pada kromosom
lain, atau ketika bagian atas kromosom 21 dan kromosom lain pecah, dan kedua
bagian yang tersisa tersebut saling melekat. Kasus seperti ini terjadi hanya 1-3%
pada anak down syndrome (Batshaw dkk, 2013).
● Mosaik
Mosaik memiliki kromosom berjumlah 47 tidak berjumlah 46 kromosom seperti
pada umumnya. Sel-sel dengan 47 kromosom mengandung kromosom ekstra 21.
Mosaik adalah bentuk paling umum dari down syndrome, kasus ini menyumbang
hanya sekitar 1% dari semua kasus down syndrome.

2.1.4 Prognosis

Prognosis anak yang menderita down syndrome tergantung pada tingkat keparahan
masalah medis dan komplikasi yang berkembang. Pada tahun 1910, harapan hidup
seorang anak yang terlahir dengan kondisi down syndrome adalah 9 tahun. Saat
ini,karena berkembangnya teknologi medis dan intervensi dini, sebesar 44% penderita
down syndrome hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun.
Meningkatnya risiko terkena leukemia pada down syndrome adalah 15 kali dari
populasi normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup
setelah umur 44 tahun (Shin et al., 2009). Angka kematian anak down syndrome cukup
tinggi meskipun banyak juga yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan
kelainan jantung bawaan dan leukimia. Sekitar 80% tingginya angka kejadian penyakit
jantung bawaan pada down syndrome yang mengakibatkan pada kematian. Jika terdapat
kedua penyakit tersebut maka angka harapan hidup berkurang dan jika tidak ditemukan
maka anak dapat bertahan sampai dewasa (Shin et al., 2009).
2.1.5 Permasalahan Down Syndrome

Anak down syndrome ditandai dengan lemahnya kontrol motorik, baik motorik kasar
maupun motorik halus; interaksi sosial; intelektual serta sensorik (Qaharani, 2010).
Anak dengan kondisi down syndrome cenderung tidak terkoordinasi dan tonus otot
lemah sehingga sulit bagi mereka untuk melakukan tugas-tugas fisik dan jarang terlibat
aktivitas bermain seperti anak-anak lain. Anak down syndrome memiliki gangguan
pada kemampuan motorik halus, mempunyai bentuk jari-jari yang pendek dan tumpul,
kulit kasar, serta otot-ototnya lemah, sehingga menyebabkan anak kesulitan dalam
mengambil benda-benda yang berukuran kecil (Muliar, 2016).

2.1.6 Behavior Therapy


2.1.6.1 Definisi

Kerangka acuan perilaku adalah suatu metode untuk merubah perilaku maladaptif
menjadi perilaku adaptif. Kerangka acuan yang berdasarkan dari hasil penelitian dan
prinsip kognitif, sosial dan teori pembelajaran kondisi. Secara sistematik
diaplikasikan untuk mengembangkan teknik dan prosedur perilaku yang mengubah
perilaku individu dan mengembangkan performance skill yang diperlukan individu
agar mampu hidup mandiri di lingkungan sekitarnya (Bruce & Borg, 2002).

2.1.6.2 Strategi

Strategi yang digunakan dari kerangka acuan perilaku menurut Bruce & Borg (2002)
diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Shaping

Penguatan dilakukan dengan cara membagi aktivitas menjadi tahap-tahap kecil yang
digunakan sebagai pembiasaan perilaku baru.

2. Reinforcement
Reinforcement merupakan segala sesuatu yang mampu meningkatkan atau
memberikan motivasi pada perilaku yang dimunculkan. Ada tiga kategori
reinforcement yang bisa membantu program terapi yang dilaksanakan antara lain:

1) Consumable reinforcement yaitu memberikan hadiah berupa makanan yang


disukai seperti permen, roti, atau buah-buahan (Bruce & Borg, 2002).

2) Social reinforcement yaitu memberikan senyuman, pujian, pelukan atau tepukan


di punggung.

3) Activity reinforcement yaitu memberikan aktivitas yang disukai setelah anak


mampu menyelesaikan tugas yang diberikan, misalnya bersepeda atau membaca
buku.

Sedangkan dalam pemberian reinforcement pada saat terapi harus sesuai dengan
jadwal. Jadwal pemberian reinforcement antara lain:

1) Continuitas reinforcement diberikan setiap anak menunjukkan perilaku yang


diinginkan.

2) Fixed ratio yaitu imbalan diberikan setiap tiga sampai empat kali perilaku yang
diinginkan muncul.

3) Intermitten reinforcement yaitu mengurangi reinforcement agar anak mampu


melakukan aktivitas dari keingiananya sendiri bukan karena ada imbalan. Penguat
diberikan dalam waktu tertentu saat perilaku yang diinginkan muncul.

3. Punishment
Punishment diberikan ketika perilaku maladaptif muncul dan diikuti oleh stimulus
yang merugikan yang tidak dapat dihindari. Hukuman digunakan untuk menekan
perilaku tetapi tidak untuk menghilangkan.
4. Modeling
Digambarkan sebagai metode pembelajaran yang cepat. Orang yang melihat
tindakan orang lain, akan mempelajari perilaku yang baru dengan cara imitasi
perilaku.
5. Building chains of behavior

Perilaku yang paling kompleks dapat dipahami sebagai rantai koneksi atau respon
stimulus. Respon yang dilakukan bertindak sebagai stimulus respon selanjutnya.
Building chains of behavior ada 2 cara yaitu:

1) Backward chaining

Individu diajarkan melakukan prosedur atau aktivitas dari belakang.


Langkah-langkah yang dipakai untuk aktivitas tersebut dimulai dari langkah
paling akhir (hasil akhir).

2) Forward chaining

Individu diajarkan untuk menganalisis aktivitas sendiri namun lebih


menekankan pada proses melakukan aktivitasnya. Langkah-langkah dalam
pembelajaran aktivitas diambil berdasarkan urutan awal.

6. Token ekonomi
Token ekonomi adalah sistem pengkondisian operan dirancang untuk mengubah
perilaku dengan beberapa orang atau lebih, terutama jika internal atau intangible
tidak berwujud atau tidak efektif. Token dapat digunakan sebagai reward dan dapat
ditukar dalam bentuk makanan, mainan, permen, dan sebagainya.
7. Biofeedback
Biofeedback muncul dari perilaku-teori belajar, yang berusaha untuk membentuk
dan mengendalikan perilaku dalam lingkungan yang terkendali dengan hadiah
langsung, dan dari kemajuan dalam bidang teknologi, yang mempromosikan
penggunaan peralatan elektronik selama proses evaluasi dan pengobatan.
2.1.7 Aktivitas Berpakaian
2.1.7.1 Definisi

Aktivitas berpakaian dan melepas pakaian merupakan bagian dari kehidupan sehari-
hari bagi kita semua. Tindakan berpakaian dan melepas pakaian sendiri secara
mandiri bisa menjadi proses yang rumit dan sulit (National Health Service, 2011).
Pemakaian baju berkancing sudah menjadi hal umum bagi orang-orang diseluruh
dunia. Orang-orang biasa menggunakan baju dengan kancing ketika menghadiri acara
resmi seperti pemakaian kemeja polos untuk bekerja, kemeja batik untuk menghadiri
acara pernikahan, dan siswa-siswi yang mengenakan seragam ketika pergi ke sekolah.
Keterampilan memakai baju berkancing secara mandiri dimulai dari memasukan
lengan tangan ke dalam lubang baju secara satu persatu setelah itu mengancingkan
kancing baju satu persatu sesuai dengan lubang kancing baju dan merapikannya,
tahapan ini sangat penting untuk diajarkan karena hal ini merupakan bentuk sederhana
dari kemandirian anak dalam berpakaian.

2.1.7.2 Persyaratan memakai baju berkancing

Menurut Klein (1983) ada tiga ketrampilan utama yang dibutuhkan dalam berpakaian,
antara lain: ketrampilan motorik, ketrampilan sensorik dan body scheme.
a. Keterampilan motorik

Prasyarat dalam keterampilan motorik yaitu gerak aktif, mobilitas sendi, koordinasi,
keseimbangan, kontrol lengan dan tangan serta reach, grasp and release.

1)  Gerak aktif

Kemampuan untuk menggerakan otot secara sadar dan melawan gravitasi untuk
memanipulasi badan dan ekstremitas ketika memakai dan melepas pakaian.

2)  Mobilitas sendi
Mobilitas sendi adalah kemampuan dalam menggerakkan dan mempertahankan
lingkup gerak sendi, sehingga dalam aktivitas memakai dan melepas pakaian anak
mampu melakukannya secara optimal (Klein, 1983).

3)  Koordinasi

Koordinasi yang baik adalah saat anak mampu menstabilisasi sendi, memindahkan
berat badan, menggunakan lengan, mata, badan, tungkai, dan jari secara bersamaan.
Dalam proses aktivitas memakai dan melepas pakaian, seperti melepas dan
memasang kancing pada baju memelukan koordinasi dan perencanaan gerak
motorik secara halus dan bertahap.

4)  Keseimbangan
Anak harus memiliki kemampuan untuk bergerak dengan benar dan menjaga
keseimbangan saat mengganti postur dalam melakukan aktivitas berpakaian.

5)  Kontrol lengan tangan

Anak harus memiliki keterampilan gerakan tangan yang baik, dapat mengkoordinasi
dan merencanakan gerak secara bilateral (kedua tangan melakukan hal yang sama
pada waktu yang sama) pada saat mengancingkan baju kemeja atau saat mengikat
tali sepatu.

6)  Reach, grasp dan release


Anak harus mampu menjangkau (reach) ke depan, ke atas kepala, belakang kepala
dan punggung untuk melakukan semua aktivitas berpakaian secara efisien serta
mampu menggenggam (graps) dengan halus dan melepas (release) sesuai
kebutuhan.

b. Keterampilan sensori

Kemampuan sensori terdiri dari penglihatan, persepsi dan sensasi taktil.


1) Penglihatan

Anak mampu fokus pada sebuah objek, memusatkan dan membagi fokus serta
kemampuan mata mengikuti objek.

2) Persepsi

Anak harus memiliki kemampuan untuk mengkoordinasi antara dirinya dengan


lingkungan, dapat mengenal seberapa dekat suatu objek, apakah objek tersebut
terpisah, apakah sama atau berbeda, dapat menentukan depan dan belakang
suatu objek (figure ground), mampu mebedakan sisi dalam dan sisi luar pakaian,
sisi atas dan sisi bawah pakaian serta sisi kanan dan sisi kiri pakaian, koordinasi
mata-tangan dan kesadaran garis tengah tubuh.

3) Sensasi taktil

Anak harus mampu menggunakan sensasi sentuhan dan memanipulasi berbagai


tekstur benda secara tepat serta memiliki kemampuan stereognosis (mampu
mengidentifikasi objek dengan sentuhan tanpa melihat objek tersebut).

b. Body Scheme

Body Scheme merupakan kesadaran anak pada bagian tubuhnya serta hubungannya
antara bagian tubuh yang satu dengan bagian tubuh yang lain. Kesadaran atas bagian
tubuh dan hubungan antar bagian tubuh dimana anak harus mengetahui anggota
tubuhnya secara baik seperti mana tangan, mata, kepala, kaki dll. Anak harus
mengetahui hubungan bagian tubuh dengan pakaian untuk menentukan bagaimana
memakai dan melepas pakaian tersebut. Ketrampilan persepsi ini diperlukan untuk
mengidentifikasi kiri- kanan, atas-bawah dan depan-belakang pada pakaian.
BAB 3
PERENCANAAN PENATALAKSANAAN OKUPASI TERAPI

3.1.1 Identitas Pasien

a. Nama : An. S
b. Usia : 7 Tahun 5 bulan
c. Diagnosis : Down Syndrome
d. Agama : Islam
e. Alamat : Pangkalan Jati
f. Terapis Okupasi : Nadia Cahya Pramesti Safitri

3.1.2 Informasi Subjektif

a) Riwayat Penyakit Sekarang


An. S perempuan berusia 7 Tahun 5 bulan dengan diagnosis Down Syndrome. Saat
ini anak sedang menjalani terapi di Pelangi Lazuardi Global Compassionate School
dan bersekolah di Lazuardi Global Compassionate School dan memiliki guru
pembimbing khusus. An. S masih sulit untuk fokus saat melakukan aktivitas karena
mudah terdistrak. An. S pernah terapi di klinik buah hati mandiri cinere saat berusia
20 bulan.
b) Riwayat Penyakit Dahulu
a) Pre-natal : Ibunda an. S tidak memiliki keluhan selama
kehamilan. Tetapi pada saat minggu ke 31 perut sering kontraksi, kemudian
sulit tidur & akhirnya ketuban merembes.
b) Natal : Usia kandungan 31 minggu air ketuban
pecah. 3 hari dirawat sebelum operasi caesar.
c) Post Natal : Setelah lahir, an. S dirawat di NICU selama
satu hari. 2x mendapatkan suntikan pematangan paru2 sebelum op. 5 hari bayi
dirawat. Berat badan setelah lahir 1,9 kg. An. S tengkurap saat berusia 4 bulan,
duduk saat berusia 10 bulan, beridiri saat berusia 11 bulan, berjalan saat berusia 17
bulan. An. S minum asi hingga umur 2 tahun. An. S mulai MPASI saat usia 6
bulan.
e) Riwayat Sosial Ekonomi : Ayah An. S bekerja sebagai PNS dan ibu An.
S bekerja sebagai pegawai honor. An. S anak pertama

f) Harapan Keluarga : Saat ini, orang tua An. S berharap bahwa An.
S mampu berpakaian yaitu memakai baju berkancing secara mandiri.

c) Riwayat Keluarga

Berdasarkan hasil wawancara, An. S memiliki keluarga yang riwayat kondisi


seperti an. S yaitu sepupunya.

3.1.3 Informasi Objektif

3.1.3.1 Penampilan Umum

An. D datang kesekolah dengan diantar oleh orang tuanya. An. S memiliki kulit putih,
badan berisi dan pendek, mata sipit, hidung pesek, bentuk wajah oval dan flat foot. Postur
tubuh An. S sedikit membungkuk.

3.2 Aset dan Limitasi pada Occupational Performance Component

KOMPONEN ASET LIMITASI

Kesadaran Level kesadaran yang


sensori dimiliki anak berada
pada level Composmentis
PROSES SENSORI

Taktil An. S mau untuk


menyentuh tekstur
berupa pasir, tekstur
kasar seperti amplas, lem

Proprioseptif Hipoprioceptif, ditandai anak


sering menghentakkan kakinya

Vestibular An. S mampu menaiki


papan titian dan ayunan

Visual Anak mampu mengikuti


benda yang digerakan
terapis dan sudah ada
kontak mata.

Auditori An. S mampu merespon


dan menoleh saat
dipanggil

Gustatori An. S tidak terlihat


memiliki permasalahan
pada gustatori anak

Olfactori An. S tidak terganggu


dengan bebauan yang
diberikan terapis (minyak
telon, parfum)

PERSEPSI

Stereognosis An. S belum mampu mengambil


kotak makan yang berada
ditasnya tanpa melihat

Kinestesia An. S mampu


menggerakkan kaki dan
tangan sesuai instruksi
terapis

Body Scheme An. S mampu merespon


saat diminta untuk
menunjuk anggota tubuh
seperti mata, telinga,
kaki, tangan

Diskriminasi An. S mampu


kanan kiri mengangkat tangan
kanan saat diinstruksikan
oleh terapis untuk
mengangkat tangan
kanannya
Konstansi bentuk Pemahaman anak tentang konsep
(form constancy) bentuk belum banyak

Posisi dalam An. S mampu


ruangan (position mengetahui tempat untuk
in space) menyimpan sepatunya,
tasnya

Visual closure An. S belum mampu mengambil


tempat makan yang tertutup
kertas sebagian

Figure-ground Anak belum mampu mengambil


puzzle dari kolam bola

Depth perception An. S dapat


memperkirakan jarak saat
turun tangga, saat duduk
dikursi

Orientasi An. S mampu


topografi mengetahui arah dari
gerbang sekolah menuju
ruangan kelas

NEUROMUSKULAR
Reflek Masih terdapat refleks primitif

LGS LGS anak normal

Tonus otot Derajat tahanan otot anak


normal

Ketahanan An. S tidak mudah lelah


saat melakukan aktivitas
motorik kasar seperti
melompat, menari

Kontrol postural An. S belum mampu


mempertahankan posisi tegak
saat duduk

Kelenturan Tidak terdapat luka


jaringan lunak

MOTORIK

Toleransi An. R mudah teralihkan oleh


aktivitas permainan lain sehingga tidak
dapat menyelesaikan aktivitas
yang diberikan seperti bermain
menara donat
Koordinasi An. S mampu melakukan
motorik kasar aktivitas melompat di
trampolin dan berlari

Crossing the An. S mampu mengambil


midline bagian dari menara donat
yang bersilang dengan
tangannya

Laterality Menggunakan sisi


dominan sebelah kanan
seperti mengambil botol
minum, mainan, makan

Integrasi Bilateral An. S dapat mendorong


kursi menggunakan
kedua tangannya

Praksis Perencanaan gerak an. S


baik ditandai seperti saat
ingin melompat dari
tangga

Koordinasi Koordinasi motorik halus anak


motorik halus belum optimal
Integrasi visual An. S mampu
motor mengkoordinasikan mata
dan tangan saat
melakukan aktivitas
bermain menara donat.

Kontrol oro Tidak terdapat drooling


motor selama sesi terapi

Handskill An. R belum mampu melakukan


pinch

KOGNITIF DAN INTEGRASI KOGNITIF

Level Arousal High arousal, ditandai saat


melakukan aktivitas an. S sulit
untuk duduk

Orientasi An. S mampu


mengetahui
tempat/ruangan terapi
dan juga mengenali
terapis

Recognition An. S mampu


memahami intruksi
verbal dan gesture terapis
dalam setiap aktivitas
yang akan dilakukan

Rentang atensi Anak masih sulit untuk fokus


dalam menyelesaikan suatu
aktivitas

Sequencing An. S belum mampu untuk


mengurutkan

Kategorisasi An. S belum mampu


mengkategorisasikan puzzle buah
dan puzzle hewan

Formasi Konsep Pemahaman konsep anak masih


minim

Pemecahan Anak belum mampu


masalah menyelesaikan puzzle yang
diberikan terapis

PSIKOLOGIS

Interest An. S memiliki


ketertarikan terhadap
trampolin, ayunan

Inisiasi aktivitas Saat memulai aktivitas anak


masih harus diarahkan oleh
terapis

Berhenti aktivitas An. S belum mampu berhenti


aktivitas

Kontrol diri An. S belum mampu mengontrol


dirinya ditandai saat diminta
untuk membereskan mainannya
anak langsung berlari dan
berteriak

Ekspresi diri An. S mampu


mengekspresikan dirinya
seperti tertawa saat
merasa senang, kesal

SOSIAL

Interaksi Sosial An. S mampu bermain


dengan teman sebayanya.

Komunikasi Komunikasi verbal anak masih


Verbal & terganggu karena anak hanya
NonVerbal dapat mengucapkan beberapa
kata

3.3 Permasalahan pada Occupational Performance Area

AREA KETERANGAN

Mandi Anak mampu mandi dengan bantuan minimal

BAB/BAK Anak mampu ketoilet secara mandiri

Berpakaian Anak belum mampu memakai baju berkancing secara


mandiri

Makan Anak mampu makan secara mandiri

3.3 Ringkasan Kasus

An. S perempuan berusia 7 Tahun 5 bulan dengan diagnosis Down Syndrome. Saat ini
anak sedang menjalani terapi di Pelangi Lazuardi Global Compassionate School dan
bersekolah di Lazuardi Global Compassionate School dan memiliki guru pembimbing
khusus. An. S masih sulit untuk fokus saat melakukan aktivitas karena mudah terdistrak.
An. S sedang menjalani terapi di klinik Pelangi Resource Center. Untuk perkembangan saat
ini terkait kemandirian, An. S masih perlu bantuan dalam aktivitas berpakaian yaitu
memakai baju berkancing. Aset yang dimiliki oleh An. S yaitu taktil, vestibular, auditori,
visual, gustatori, olfaktori, LGS, tonus otot, ketahanan, koordinasi motorik kasar, laterality,
crossing the midline, kelenturan jaringan lunak, kontrol oro motor, interest, ekspresi diri,
interaksi sosial, diskriminasi kanan kiri, body scheme, posisi dalam ruangan, integrasi
visual motor, orientasi, sequencing, depth perception. Sedangkan anak memiliki limitasi
pada taktil, proprioceptive, stereognosis, kinestesia, konstansi bentuk, posisi dalam
ruangan, visual closure, figure ground, kontrol postural, toleransi aktivitas, koordinasi
motorik halus, handskill, level arousal, rentang atensi, recognition, kategorisasi, formasi
konsep, pemecahan masalah, mengelola waktu, peran, inisiasi aktivitas, berhenti aktivitas,
kontrol diri, komunikasi verbal dan non verbal.

3.4 Kesimpulan Problematika Okupasional

● An. S belum mampu berpakaian yaitu menggunakan baju berkancing secara


mandiri karena terdapat limitasi pada atensi,sequencing, inisiasi aktivitas,
motorik halus, handskill, figure ground, kontrol postural, toleransi aktivitas.
● An. S belum mampu mandi secara mandiri karena memiliki limitasi pada motorik
halus, handskill, rentang atensi, toleransi aktivitas, mengelola waktu, kontrol
postural
3.5 Prioritas Masalah

Berdasarkan dari kesimpulan problematika okupasional, adapun prioritas masalah yang


ada pada An. S belum mampu berpakaian yaitu menggunakan baju berkancing secara
mandiri karena terdapat limitasi pada atensi, inisiasi aktivitas, motorik halus, handskill,
figure ground, kontrol postural, toleransi aktivitas, sequencing.

3.6 Program Terapi

Long Term Goal : An. S mampu memakai baju berkancing secara mandiri selama 15
kali pertemuan.

Pasien dapat memasukkan tangan kanan dan kiri ke lubang lengan baju selama 5
kali sesi terapi
Kerangka acuan Behavior Therapy

Metode

STG 1 Durasi 45 menit

Media Selang lingkaran, baju

Aktivitas terapeutik

Pasien mampu memasukkan kancing ke lubang baju secara mandiri selama 5


kali dalam sesi terapi

Kerangka acuan Behavior Therapy

Metode
STG 2
Durasi 45 menit

Media terapi Baju berkancing, jepitan baju, koin dan celengan

Aktivitas terapeutik 1.

3.7 Home Program

Sebagai penunjang keberhasilan rencana terapi yang telah disusun dan dilaksanakan pada
saat terapi, maka dibutuhkan home program untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Terapis memberikan home program kepada pasien dan meminta keluarga secara rutin
melakukan aktivitas home program di rumah. Terapis melakukan monitoring pelaksanaan
home program melalui kegiatan home visit dan mengecek blangko monitoring home
program. Program terapi yang dapat dilakukan di rumah, yaitu:
 Mengulang kegiatan terapi di rumah. Aktivitas yang bisa dilakukan yaitu memasang
dan melepas penjepit, bermain playdough, meronce manik-manik, media flannel
baju berkancing, dan bermain puzzle. Selain itu, diharapkan ketika anak
mengerjakan aktivitas tersebut anak mampu melakukan setiap aktivitas sampai
selesai.
 Orangtua diminta untuk tidak memanjakan anak dan membiarkan anak untuk
belajar dan berusaha menggunakan baju berkancing secara mandiri.
 Orangtua dapat melibatkan anak dalam aktivitas sehari-hari seperti memasak,
membereskan rumah, membereskan mainan anak yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan anak dalam pemahaman instruksi sederhana dan
kompleks.

Anda mungkin juga menyukai