Bab 2
Bab 2
id
19
BAB II
LANDASAN TEORI
43
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Maju, Bandung: 1994, Hlm. 27 dalam
Purnama Tioria Sianturi, Perlindungan Hukum terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak
Melalui Lelang, Cetakan ke- II, Mandar Maju, Bandung, 2013, hlm. 10.
44
Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Pusaka Media, Bandung, 2011, hlm. 53.
45
Muchyar Yahya, Pengantar Teori Hukum, Universitas Indonesia, 1999 dalam Sudikno
Mertokusumo, Teori Hukum ,Cetakan ke-2, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 87.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20
Sebagai teorinya teori, teori hukum disebut metateori. Jadi, teori hukum
ruang lingkupnya lebih luas daripada dogmatik hukum. Dogmatik hukum sifatnya
menjelaskan secara yuridis/konkret hukum positif. Dikatakan secara
yuridis/konkret karena jawabannya hanya ada di dalam hukum positif. Teori
hukum sebaliknya menganalisis atau membahasa secara teoritis/kritis, bukan
dengan menunjuk pada hukum positif atau peraturan perundang-undnagan, tetapi
menjawab secara argumentatif, dengan penalaran secara teoritis dan kritis. Adi
Sulistyono berpendapat bahwa teori hukum merupakan pisau analisis, semakin
tajam penguasaan serta penggunaan teori hukum, maka semakin tajam pula
analisisnya.46Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan teori hukum responsif
oleh Philipe Nonet & Philip Selznick.
Pengembaraan mencari hukum responsif telah menjadi kegiatan teori
hukum modern yang terus berkelanjutan. Sebagaimana yang dikatakan Jerome
Frank, tujuan utama kaum realism hukum adalah untuk membuat hukum
“menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial”. Untuk mencapai
tujuan ini, mereka mendorong perluasan”bidang-bidang yang memiliki
keterkaitan secara hukum,” sedemikian rupa sehingga nalar hukum dapat
mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap
hukum resmi para aparat penegak hukum.47 Dalam perspektif ini, hukum yang
baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar keadilan prosedural.
Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil; hukum semacam itu
seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi
tercapainya keadilan substantif.
Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya “Law and Society in
Transition : Toward Responsive Law”, telah merumuskan suatu konsep hukum
46
Adi Sulistiyono disampaikan dalam kegiatan perkuliahan mata kuliah Teori Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012.
47
Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif ,Cetakan VI), Nusa Media, Bandung,
2013, hlm. 83. Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dari Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and
Society in Transition: Toward Responsive Law Harper & Row, 1978.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21
48
A. Mukthie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer, Edisi Revisi, Setara Press, Malang,
2013, hlm 49.
49
Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society In Transition: Toward Responsive
Law, London: Harper and Row Publisher, 1978, dalam Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum : Stategi
Tertib manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cetakan Ketiga, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,
hlm. 206.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22
23
dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi
untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan
emansipasi publik.52 Kepedulian pada akomodasi aspirasi sosial, menyebabkan
teori ini tergolong dalam wilayah sociological jurisprudence. Bahkan menurut
Nonet-Selznick, hukum responsif merupakan dari sociological jurisprudensce dan
realist jurisprudence.53 Dua aliran tersebut, pada intinya menyerukan kajian
hukum yang lebih empiris melampaui batas-batas formalisme, perluasan
pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum.54
Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan
dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya,
maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga
harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu
tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari
bekerjanya hukum itu. Lebih lanjut Nonet dan Selznick mengatakan,
52
Ibid.
53
Bernard L. Tanya, dkk, Op.Cit, hlm. 205.
54
Ibid. hlm. 205.
55
Ibid. hlm. 206.
56
Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan)”, Makalah
disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, tanggal 4 September 2004.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24
57
Ibid.
58
A. Mukthie Fadjar, Op. Cit., hlm. 50.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25
59
Hukum otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang setia menjaga kemandirian hukum
itu sendiri. karena sifatnya yang mandiri, maka dikedepankan adalah pemisahan yang tegas antara
kekuasaan dengan hukum. Legitimasi hukum ini terletak pada keutamaan procedural hukum yang
bebas dari pengaruh politik melalui pembatasan prosedur yang sudah mapan. Lihat: Bernard L. Tanya,
dkk,, Op.Cit. hlm. 207.
60
Hukum represif yaitu hukum sebagai alat kekuasaan represif. Tipe hukum ini bertujuan
mempertahankan status quo penguasa yang kerap kali diterapkan dengan dalih menjamin ketertiban.
Dengan demikian, hukum ini dirumuskan secara rinci untuk mengikat setiap orang, kecuali
penguasa/pembuat hukum. Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26
Dari konstelasi hubugan antar variabel itu, jelaslah bahwa hukum represif
merupakan sistem hukum kekuasaan represif yang bertujuan mempertahankan
kepentingan penguasa yang kerapkali diterapkan dengan dalih menjamin ketertiban.
Karena hukum merupakan alat penguasa, maka dalam geraknya aturan-aturan hukum
tidak mengikat penguasa sebagai pembuatnya. Sebaliknya, ia berfungsi
mengendalikan seluruh aspek kehiduan rakyat untuk menciptakan, melakasanakan,
serta memperkuat kontrol terhadap segenap kegiatan masyarakat.
Konfigurasi sistem hukum yang demikian, tak pelak lagi memunculkan wajah
hukum yang memihak pada elite penguasa. Persis dititik ini, hukum represif sejalan
dengan apa yang oleh Podgorecky61 disebut hukum otoriterian. Yakni suatu sistem
hukum dengan ciri: Pertama, substansi hukumnya berisi peraturan yang mengikat
sepihak dan materinya berubah-ubah sesuai keinginan yang bersifat arbitrer sang
penguasa. Kedua, aturan hukum dipakai sebagai kedok dengan cara yang “lihai”
untuk menutupi intervensi kekuasaan yang berlebihan. Ketiga, “penerimaan”
masyarakat terhadap hukum berjalan dalam kesadaran palsu. Keempat, sanksi-sanksi
hukum, potensil menimbulkan keberantakan sosial (social disintegration), dan
nihilism sosial menyebar tak terkendali. Kelima, tujuan akhir hukum adalah
legitimasi institusional yang lepas dari persoalan diterima tidaknya oleh masyarakat.
Hukum responsif juga kontras dengan model hukum otonom (autonomous
law), karena model yang disebut terkahir secara radikal menutup diri terhadap dunia
di luarnya. Tatanan hukum ini berintikan supremasi peraturan dan prosedur, sehingga
masalah keadilan hanya dimaknai sebatas keadilan procedural. Secara lebih rinci, tipe
tatanan hukum otonom ini memperlihatkan ciri; (1) hukum terpisah dan kekuasaan
(politik) yang mengimplikasikan penolakan terhadap kekuasaan, (2). Tata hukum
mengacu pada “model aturan”. Dalam kerangka ini, maka aturan menjadi satu-
satunya dasar penilaian dan tanggung jawab hukum. Selain itu, aturan membatassi
61
Uraian menyeluruh tentang hukum totalitarian, dapat dibaca dalam Adam Podgorecki,
“Totalitarian Law: basic Concepts and Issues”, dalam Totalitarian and Post-Totalitarian Law,
Podgorecki & Oligiati (eds.), 1996.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27
62
Dalam pola pikir legalistic, biasanya sengketa-sengketa diformulasikan kembali menurut
kategori hukum. Dalam prose situ, niscaya terjadi pembatasan ruang lingkupnya yang kemudian
menjadi peristiwa-peristiwa tertentu, hanya melibatkan individu-individu tertentu, atau bahkan
sebaliknya. Oleh karena itu, sengketa yang ditangani lembaga hukum (pengadilan) sangat mungkin
berbeda dibandingkan dengan ketika sengketa pada awalnya masuk ke sana. Lihat: Bernard L. Tanya.,
dkk, Op. Cit., hlm. 209.
63
Para pelaksana hukum (termasuk hakim) dapat saja kurang memperhatikan semua
informasi yang disampaikan kepadanya. Tidak jarang, mereka melakukan pilihan-pilihan dari semua
informasi yang disampaikan dengan berpangkal tolak pada rumusan UU. Pada titik ini, rumusan UU
praktis menjadi alat dan petunjuk untuk menyusun suatu kejadian, dan bukan kejadian yang
menentukan aturan yang harus dipakai. Akibat lebih lanjut, tersisihnya aspek-aspek tertentu dari suatu
kejadian yang sebenarnya substantive dalam kejadian tersebut. Lihat: Ibid.
64
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum (Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945-1990), Cetakan Ke V, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 112.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28
65
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum ,Cetakan ke-6 ,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. hlm.
117
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29
dari hasrat untuk membuat hukum lebih bertujuan dalam melayani manusia dan
institusi-institusi untuk mencapai tujuan dimaksud, sehingga yang ingin dicapai tidak
hanya keadilan formal, tetapi juga keadilan substansial.66
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan
sosial yang dialami dan ditemukan tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Syarat
untuk mengemukakannya secara otentik memerlukan upaya-upaya khusus yang akan
memungkinkan hal ini dilakukan. Dengan demikian, diperlukan jalur-jalur baru untuk
berpartisipasi.67
Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada hukum di dalam
perspektif konsumen. Tetapi, di dalam konep hukum terkandung lebih hanya sesuatu
hasrat bahwa sistem hukum dibuka untuk tuntutan-tuntutan kerakyatan. Keterbukaan
saja akan mudah turun derajatnya menjadi oportunisme.
Nonet dan Selznick menunjukan kepada dilema pelik di dalam institusi-
institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti suatu institusi dalam
melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat pada prosedur-prosedur dan cara-
cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Mempertahankan
integritas dapat mengakibatkan isolasi institusional. Institusi akan terus berbicara
dalam bahasanya sendiri, menggunakan konsep-konsepnya sendiri dengan cara-
caranya sendiri yang khas yang mungkin sudah tidak dapat dimengerti sendiri-ahli
hukum berbicara dengan ahli hukum dan kegiatan institusi akan kehilangan relevansi
sosialnya. Di lain pihak keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa
66
A. Mukthie Fadjar, op. cit., hlm. 50-51
67
Ibid hlm. 55 Mahfud M.D. menyatakan bahwa produk hukum yang responsif produk
hukum yang pembentukannya atau pembuatannya dilakukan secara partisipasif dalam arti melibatkan
masyarakat secara terbuka, muatannya bersifat aspiratif dalam arti menggambarkan kehendak umum
masyarakat, dan cakupannya bersifat limitatif dalam arti tak bisa ditafsirkan sembarangan secara
sepihak melalui peraturan turunan oleh pemerintah. Karakter produk hukum di suatu tempat atau
waktu dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Pada saat konfigurasi politik
tampil demokratis, maka karakter poduk hukum cenderung responsif atau populistik, tetapi pada saat
konfigurasi politik tampil otoriter maka priduk hukumya konservatif atau ortodoks. Lihat: Achmad
Sodiki, Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta, 2013, hlm. ix-x
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30
institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada
umumnya, namun tidak mengandung arti khusus, aksi-aksi institusional akan
disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan dalam lingkungan sosial. Konsep
hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini dan mencoba
mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas.68
Jawaban konsep hukum normatif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-
tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Kriteria seleksinya adalah rule of law yang dicita-
citakan yang tidak lagi diartikan sebagai kelayakan prosedural formal, melainkan
sebagai reduksi secara progresif dari kesewenangan-kesewenangan dan
penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi. Dengan
demikian, tipe hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan
memperluasnya agar mencakup keadilan substantif.69
Tipe hukum responsif mempunyai dua ciri yang menonjol, yakni:70
a. Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;
dan
b. Pentingnya watak kerakyatan (populis) baik sebagai tujuan hukum
maupun cara untuk mencapainya.
Tipe hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam
penekanannya pada peranan tujuan di dalam hukum. Pembuatan hukum dan
penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri, melainkan arti pentingnya
merupakan akibat dari tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya. Dilihat dari
sisi ini, aturan-aturan hukum kehilangan sedikit dari sifat ketaatannya. Aturan-aturan
ini sekarang dilihat sebagai cara-cara khusus untuk mencapai tujuan yang lebih
68
A. Mukthie Fadjar, Loc.Cit., hlm. 55
69
Ibid.
70
Ibid. hlm. 56
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31
umum, dan aturan yang banyak macamnya itu diperluas atau mungkin malahan
dibuang, apabila dipandang lebih baik ditinjau dari segi tujuan yang akan dicapai.71
Apa yang menjadi tujuan hukum dan apa yang harus dilayani oleh aturan
hukum tidak selalu nampak, mungkin tersembunyi dan implisit sifatnya. Pokok yang
penting adalah dalam mementukan arti dari aturan-aturan, pernyataan yang harus
diajukan adalah maksud-maksud apa yang dilayani, nilai-nilai apa dan kepentingan-
kepentingan apa yang harus dipertaruhkan.
Menurut catatan Nonet-Selznick, masa dua puluh tahun terakhir, merupakan
masa bangkitnya kembali ketertarikan pada persoalan-persoalan dalam institusi-
institusi hukum, yaitu bagaimana isntitusi-institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan
yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya. Sudah lama
dirasakan bahwa pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan sangat
mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri.
kebangkitan ini merefleksikan dorongan akademik bahwa perspektif dan metode studi
ilmu sosial berlaku pula untuk analisis atas institusi hukum maupun semangat
pembaruan.72
71
Ibid., hlm. 50-51.
72
Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32
73
Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 1-2.
74
Zweigert Konrad dan Hein Kotz, An introduction to Comparative Law ,Volume I, North
Hollan Publishing Company, Amsterdam, 1977.
75
Sunarjati Hartono, Capita Selecta Perbandingan Hukum. Alumni, Bandung, 1982, hlm 1
76
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Bayumedia Publishing,
Jawa Timur, 2006, hlm. 313
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33
77
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum: Civil Law, Common Law,
Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1.
78
Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum (Common Law, Civil Law, dan Socialist Law),
Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 10 diterjemahkan oleh Narulita Yusron dari Peter de Cruz,
Comparative Law in a Changing World, Cavendish Publishing Limited, London-Sidney, 1999.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34
Mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari hukum yang tidak sama dengan
melakukan perbandingan hukum. Barulah pada saat orang menggarap bahan-
bahan yang telah terkumpul itu menurut arah-arah tertentu, terjadi suatu
perbandingan hukum. Penggarapan itu dapat dilakukan atas dasar keinginan,
antara lain:79
1. Menunjukkan perbedaan dan persamaan yang ada di antara sistem hukum atau
bidang-bidang hukum.
2. Menjelaskan mengapa terjadi persamaan dan perbedaan yang demikian itu,
faktor-faktor apa yang menyebabkannya.
3. Memberikan penilaian terhadap masing-masing sistem yang digunakan.
4. Memberikan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa ditarik sebagai
kelanjutan dari hasil-hasil studi perbandingan yang telah dilakukan. Misalnya
orang mengajukan gugatan tentunya universalrechtingeschichte, suatu sejarah
hukum yang universal.
5. Merumuskan kecenderungan-kecenderungan yang umum pada
perkembangan hukum, termasuk di dalamya irama dan keteraturan yang dapat
dilihat pada perkembagan hukum tersebut.
6. Salah satu segi yang penting dari perbandingan ini adalah kemungkinan-
kemungkinan untuk menemukan asas-asas umum yang didapat sebagai hasil
dari pelacakan yang dilakukan dengan cara membandingan tersebut.
Seperti diutarakan di muka, perbandingan hukum ini dapat dilakukan terhadap
sistem-sistem hukum yang berasal dari negara yang berlain-lainan. Perbandingan ini
juga bisa dilakukan di dalam suatu negara saja, khususnya bagi suatu negara yang
hukumnya bersifat majemuk. Kecuali itu, perbandingan juga bisa dilakukan antara
sistem-sistem hukum yang mempunyai taraf kepositifan yang berbeda-beda, seperti
79
Miftakhul Hadi, Perbandingan Hukum Jual Beli Kendaraan Bermotor Secara Kredit
dengan Sistem Pembiayaan Konvensional dan Pembiayaan Syariah, Tesis Program Magister Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010, hlm. 10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35
antara hukum negara dn hukum di sektor swasta, seperti yang berlaku di dalam
lingkungan suatu perusahaan.
Pada suatu saat, mungkin seorang melakukan studi perbandingan dihadapkan
kepada suatu kenyataan bahwa pada suatu sistem hukum tidak dapat diketemukan
lembaga atau pengaturan mengenai suatu masalah tertentu. Keadaan yang demikian
ini tidak boleh menyebabkan ia menghentikan penyelidikannya, melainkan justru
penelitian yang menarik mulai bisa dilakukan.
Kunci untuk melakukan analisis komparatif yang efektif adalah dengan
mengumpulkan berbagai materi dan informasi yang sesuai yang memungkingkan
para komparatis untuk menempatkan peraturan hukum atau institusi hukum cabang
hukum tertentu pada konteksnya. Norma-norma dan pola-pola perilaku yang oleh
suatu masyarakat dianggap biasa dan legal mungkin saja dikategorikan sebagai sangat
tidak layak dan tidak dapat diterima oleh masyarakat lainnya. 80
Hakikat hukum komparatif adalah pembandingan: ini berarti meletakkan
unsur-unsur yang dapat diperbandingkan dari dua sistem hukum atau lebih terhadap
satu sama lain dan mementukan persamaan dan perbedaannya. Sistem hukum dan
unsur mana yang hendak dipilih untuk dibandingkan, dengan sendirinya tergantung
pada tujuan pembandingan itu dan minat-minat pengguna metode pembandingan.81
Pembandingan dapat bersifat bilateral (diantara dua sistem hukum) atau multilateral
(lebih dari dua sistem hukum). Pembandingan dapat berupa pembandingan hukum
substantif atau pembandingan formal (di antara ciri-ciri formal sistem-sistem hukum,
misalnya, cara menafsirkan undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan).
Lebih jauh lagi ada pembandingan mikro (antara aturan-aturan hukum individual
atau lembaga-lembaga hukum) dan pembanding makro (antara sistem-sistem hukum
80
Ibid., hlm 25.
81
Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Nusa Media, Bandung,, 2010,
hlm 61 diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie dari Michael Bogdan, Comparative Law, Kluwer and
Taxation Publishers, 1994.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36
82
Rheinstein, Einfuhrung in die Rectvergleichung,, Munchen, 1974, dikutip dari Michael
Bogdan, ibid, hlm, 62.
83
Michael Bogdan, Op.Cit.,, hlm. 8
84
Ibid, hlm. 9
85
Ibid, hlm. 77.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37
86
Ibid, hlm. 78
87
Sunarjati Hartono. 1982. Op.Cit. hlm 2
88
Ibid.
89
Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, sedangkan sejarah
hukum satu aspek tertentu dari hal itu, yakni hukum. Sejarah hukum merupakan bagian dari
penyelenggaraan sejarah secara integral dengan memfokuskan perhatian pada gejala-gejala hukum, di
mana penulisan secara integral pula mempergunakan hasil-hasil sejarah secarah hukum sekaligus
meredam efek samping yang terpaksa ikut muncul ke permukaan sebagai akibat peletakan tekanan
pada gejala-gejala hukum. Namun tujuan akhir sejarah hukum, yakni menunjang dan bermuara di
dalam penulisan sejarah secara integral tidak boleh melenyapkan tujuan parsiil yang spesifik dan perlu
ada dari disiplin ini (dari permukaan), yakni penemuan dalil-dalil dan kecenderungan-kecenderungan
perkembangan hukum. Lihat. John Gilissen & Frits Gorle. Sejarah Hukum: Suatu Pengantar. Refika
Aditama, Bandung, hlm. 11-12. Edisi terjemahan dari : Historiche Inleiding tot het brecht. Kluwer
Rechtswetenschappen-Anwerpent. Belgium. 1991 oleh Freddy Tengker.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38
hukum memiliki dimensi empiris yang digunakan sebagai alat bantu (hulp
wetenschap) dalam analisis dan eksplanasi hukum. Penelitian normatif dapat dan
memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmu empiris, namun hanya berstatus sebagai
imu bantu sehingga tidak mengubah hakekat ilmu hukum sebagai ilmu normatif.90
Perbandingan hukum yang dipahami pada saat ini memiliki arti
membandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan bangsa yang
lain. Studi perbandingan hukum asing merupakan suatu studi tentang hukum
asing, dikatakan demikian karena dengan melakukan studi perbandingan sistem
hukum positif tertentu atau undang-undang hukum positif tertentu maka
melakukannya dengan bertolak pada hukum tertentu. Perbandingan hukum tidak
hanya mempelajari hukum di luar yang berlaku bagi peneliti, mengumpulkan
bahan-bahan yang berasal dari hukum yang berbeda tidak sama dengan
melakukan perbandingan hukum. Perbandingan hukum dapat dilakukan :91
1. Menunjukkan perbedaan dan persamaan yang ada diantara sistem hukum atau
bidang-bidang hukum.
90
Ibid, Hlm. 314
91
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, Hlm. 354
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39
92
Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, 1979, Hlm. 1 dalam Munir
Fuady, Op.Cit, hlm. 21.
93
Ade Maman Suherman, Op.Cit., hlm. 2
94
J.H. Merryman, The Civil Law Tradition, dikutip dari Ade Maman Suherman, Ibid, hlm. 10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40
United States, separate legal system in each other nations, and still other
distinct legal system in such organization as the European Economic
Community and the United Nations.”95
Sistem hukum dalam artian sempit didefinisikan sebagai peraturan dan
institusi hukum dari sebuah negara (seperti sistem hukum Prancis), sedangkan
dalam arti luas didefinisikan sebagai filsafat yuristik dan teknik-teknik yang
sama-sama digunakan oleh sejumlah negara yang secara umum memiliki
kesamaan sistem hukum (seperti sistem common law Inggris). Sistem hukum
dalam artian luas menggambarkan keluarga hukum induk, yaitu common law dan
civil law.96 Menurut Zweigert dan Kotz, terdapat karakteristik sistem hukum
dapat dikelompokkan ke dalam sistem hukum yang mana, yaitu:97
1. Latar belakang historis dan perkembangan dari sistem tersebut.
2. Keutamaan dan karakteristik mode pemikirannya.
3. Institusi-institusi yang berbeda.
4. Sumber-sumber hukumnya dan cara menangani hal ini.
5. Ideologinya.
Pengklasifikasian sistem hukum secara umum dibagi menjadi tiga macam
keluarga hukum atau tradisi hukum. Tradisi hukum merupakan sekumpulan sikap
yang telah mengakar kuat dan terkondisikan secara historis terhadap hakekat
hukum, aturan hukum dalam ideologi politik, organisasi serta penyelenggaraan
sistem hukum. David and Brierly membicarakan ketiga macam keluarga hukum,
yaitu civil law, common law dan socialist law yang digambarkan sebagai model-
95
Sistem hukum adalah merupakan suatu seperangkat operasional yang meliputi institusi,
prosedur, aturan hukum, dalam konteks ini ada satu negara federal dengan lima puluh sistem hukum di
Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa secara terpisah serta ada sistem Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
96
Peter de Cruz, Op.Cit., hlm. 4-5
97
Ibid, hlm. 5
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41
model eponim, hukum-hukum tertentu yang dapat dianggap sebagai tipikal atau
representatif dari sebuah keluarga yang mengelompokkan sejumlah hukum.98
Civil law merujuk pada sistem hukum yang diterapkan pada sebagai besar
negara Eropa Barat, Amerika Latin, Indonesia dan Jepang. Sistem ini diturunkan
dari hukum Romawi kuno dan pertama kali diterapkan di Eropa berdasar jus
civile Romawi.99 Civil law cenderung berpikir dalam istilah-istilah yang abstrak,
konseptual dan simetris. Civil law sebagai hukum yang berasal dari bebarapa
universitas dan hukum Romawi adalah peraturan yang didasarkan kepada dan
secara terus menerus mencarai solusi bagi permsalahan di hadapan pengadilan.
Civil law berangkat dari prinsip umum ke prinsip lainnya, undang-undang dan
hukum yang terkodifikasi menjadi bagian-bagian yang membentuk Civil law.
Ruang lingkupnya berdasar pada peraturan-peraturan yang ditegakkan saat itu,
yang telah dikodifikasi berdasar undang-undang yang diaplikasikan pada situasi
yang dihadapi. Konsekuensi lain dari perkembangan historis yang dicerminkan di
dalam mode pemikiran hukum adalah bahwa civil law cenderung merencanakan,
mensistematiskan dan mengatur persoalan sehari-hari dengan sekomprehensif
mungkin. 100
Common law melakukan pendekatan yang konkret dan berdasarkan pada
pengadilan dengan berusaha mencari jawaban-jawaban pragmatis untuk
diketengahkan di hadapan pengadilan. Common law dimulai dari perkara ke
perkara, perkara menjadi sumber utama dalam common law. Praktisi hukum
common law berpikir dalam ruang lingkup kelompok dan hubungan hukum
tertentu. Karakteristik Common law adalah berimprovisasi, mengkaji perkara
untuk preseden yang memungkinkan, yang mungkin atau mungkin juga tidak
98
Ibid, hlm. 46-47
99
Ibid, hlm. 61
100
Ibid, hlm. 53-54
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42
101
Ibid
102
Ahmad Muliadi, Op. Cit,. hlm. 15.
103
Ibid
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43
104
Ibid
105
Ibid. hlm..15.
106
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Cetakan keenam), Bandung, Citra Aditya Bakti, 2206,
hlm. 136-139.
107
Talcott Parsons, The Social System, London, Routledge and Kegan Paul, 1970, hlm. 21.
Dikutip dari Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (editor), Teori-Teori Kebudayan, Yogyakarta,
Kanisius, 2010, hlm. 59
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45
108
Satjipto Rahardjo, 2006, Op.Cit., hlm. 135.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46
diakui oleh pengadilan, hal itu berarti, hal itu berarti tujuan yang dirumuskan pun
diterima.109
Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik
berupa jabatan-jabatan dan wewenang-wewenang yang sah untuk melakukan
tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa.
Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasaan politik untuk
mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa
sosial secara tertib, hukum adalah tekhnik untuk mengemudikan suatu
mekanisme sosial yang ruwet. Di lain pihak hukum tidak efektif kecuali apabila
mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu
Maurice Duverger menyatakan: “Hukum didefinisikan oleh kekuasaan, dia terdiri
dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan
politik”.110
Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan
politik membuat hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat
dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah
hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata serta berpengaruh
dalam kehidupan masyarakat.
Hukum, dalam politik hukum, pertama-tama adalah merupakan
instrument. Ia merupakan alat yang dipakai untuk mewujudkan tujuan. Ibarat
sebuah mobil, ia merupakan kendaraan kendaraan yang dipakai untuk membawa
kita ke destinasi tertentu. Kedua, hukum dalam konteks politik hukum, adalah
pembawa misi. Ia menjadi wadah yang menampung segala keinginan dan aspirasi
mengenai berbagai hal yang ingin ditata dan dicapai. Wadah yang namanya
hukum ini penting, karena ia memiliki keunggulan dibandingkan wadah-wadah
lain. Dalam misi memperbaiki keadaan dan mencapai tujuan, ia dibekali kekuatan
109
Ibid, hlm. 139
110
Ahmad Muliadi, Op.Cit. hlm. 15
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47
pemaksa, didukung otoritas yang sah, dan (idealnya) terumus secara jelas-tegas
sehingga efektivitasnya terjamin. Ketiga, hukum dalam konteks politik hukum,
adalah piranti managemen. Ia menata kepentingan-kepentingan secara adil,
menetapkan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, mengatur hak
dan kewajiban individu-kelompok-lembaga, meyiapkan sanksi, dan melengkapi
lembaga/aparat penegaknya.111
Dalam sekalian posisi tersebut, hukum memiliki kapabilitas yang
potensial untuk membawa misi pencapaian tujuan yang ingin diwujudkan. Ia
merupakan sumber daya publik yang memiliki segala kelengkapan yang
diperlukan bagi keperluan pencapaian tujuan. Hukum memiliki dasar legalitas,
memiliki dasar legitimasi (karena dibuat oleh lembaga representative), memiliki
daya ikat yang memaksa, dilengkapi sanksi, dan ditegakkan oleh institusi yang
sah. Itulah posisi sentral hukum dalam konteks politik hukum.112
William Zevenbergen mengutarakan bahwa politik hukum, mencoba
menjawab pertanyaan, peraturan-peraturan hukum mana yang patut untuk
dijadikan hukum. Perundang-undangan itu sendiri merupakan bentuk dari politik
hukum (legal policy). Pengertian legal policy, mencakup proses pembuatan dan
pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana hukum akan
dibangun. Politik hukum memberikan landasan terhadap proses pembentukan
hukum yang lebih sesuai, situasi dan kondisi, kultur serta nilai yang berkembang
di masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap itu sendiri.
dengan kata lain, politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu:
pertama, politik hukum yang menjadi alasan dasar diadakannya suatu peraturan
111
Bernard L. Tanya, Op.Cit., hlm.11-12
112
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48
113
Abdul Latif & Hasbi Ali., Politik Hukum (cetakan kedua), Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
hlm. 19
114
Ibid.
115
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49
116
Soehino, Politik Hukum, BPPE, Yogyakarta, 2010, hlm 7-8. Dalam Ashinta Sekar Bidari,
Politik Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Lembaga Pengawas Sektor Perbankan
di Indonesia, Tesis Program Magister Hukum Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta. 2013, hlm.
18
117
Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak.
118
Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Cetakan ke-7, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 22
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50
119
Bernard L. Tanya, Op.Cit, hlm. 3
120
Ibid. Hlm. 4
121
Ibid. hlm. 4
122
Ibid. hlm. 5.
123
Ibid., hlm. 47-52
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51
dalam gagasan keadilan. Selanjunya kaum arif ini menjadi guru moral bagi
warganya, dimana warganya tersebut dimungkinkan mencapai kesempurnaan
jiwa, dalam arti menjadi pelaku dan serentak penikmat keadilan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka hukum yang membawa misi keadilan
tersebut haruslah: Pertama, aturan hukum harus dihimpun didalam satu kitab agar
tidak terjadi kekacauan hukum. Kedua, setiap undang-undang harus didahului
dengan preambule tentang motif dan tujuan tersebut. Ketiga, tugas hukum adalah
membimbing para warga negara pada suatu hidup yang saleh dan
sempurna. Keempat, orang yang melanggar hukum harus dihukum akan tetapi
hukuman tersebut bukanlah balas dendam melainkan memperbaiki moral si
penjahat.
Kedua, pentingnya kepemimpinan dan tatanan hukum yang memungkinkan
rakyat berpartisipasi dalam keadilan. Konsep ini sebetulnya bertolak dari fungsi
ganda yang dimiliki the philosoper kings. Kata kuncinya adalah
ketelaanan, dimana kepemimpinan yang adil, arif dan bijaksana akan membuat
rakyat respek dan mendorong sikapnya untuk berbuat seperti sang teladan.
Ketiga, keadilan harus menjadi alat perjuangan. Hal ini penting bagi politik
hukum, oleh karena politik hukum itu sendiri merupakan perjuangan untuk
mencapai suatu tujuan yakni tujuan negara. Menempatkan keadilan sebagai alat
perjuangan, berarti keadilan harus menjadi realitas nyata dalam semua segi
kehidupan dan hukumlah yang menjadi pengawal keadilan tersebut.
2. Agustinus.124
Pada dasarnya point ajaran dari Agustinus adalah nilai-nilai deligere (dihargai
dan dicintai) dan delicto proximi (mengasihi sesama) relevan bagi politik hukum.
Dua nilai ini bernilai bagi politik hukum, hal ini terletak pada pada idealisme
agustinus tentang “komunitas cinta kasih” sebagai jalan untuk mencapai hidup
bersama yang damai.
124
Ibid., hlm. 52-54
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52
Bagi Agustinus, kehidupan yang damai harus dijamin lewat tatanan hukum
yang didominasi oleh tujuan perdamaian. Konteks Regnum kerajaan romawi dan
penyerangan menjelang keruntuhannya, mendorong agustinus memunculkan
gagasan “komunitas kemurahan hati” dan “cinta kasih”. Lebih lanjut lagi
pengawal dan penjaga komunitas adalah hukum, yakni hukum sebagai tatanan
kedamaian. Dikarenakan kedamaian hanya mungkin jika hukum mengarahkan
orang pada nilai-nilai Honeste Vivere, Nemeninem Non Laedere, Uniqum Suum
Tribuere, Deligere, dan Delicto Proximi. Dalam atmosfer inilah keadilan bisa
tercipta dan hidup yang damai bisa lestari.
3. Thomas Aquinas.125
Pada dasarnya ajaran Aquinas ada dua point yang bernilai bagi politik hukum.
Pertama, usahanya melawan sistem hukum yang melegalkan faham patrimonial
dalam kekuasaan berdasarkan hak milik perdata (every man must have a lord).
Faham ini tidak memungkinkan penghargaan hak milik masyarakat kecil,
dikarenakan pada sistem patrimonial semua milik kawula bahkan dirinya sendiri
menjadi milik sang tuan. Oleh sebab itu, keadilan hukum harus ditegakkan
dimana hukum mengatur dan melindungi kepentingan semua individu dan bukan
memberi privilege pada sang penguasa.
Kedua, ajarannya tentang hukum merupakan produk akal sehat dan bukan
produk kehendak yang arbitrer. Hal ini penting dalam rangka mencegah
penyusupan kepentingan, selera dan nafsu para pembuat dan pelaksana hukum
kedalam ruang hukum.
Selanjutnya sumbangan Aquinas bagi politik hukum diantaranya: pertama,
hukum dan perundangan harus rasional dan masuk akal. Kedua, hukum ditujukan
bagi kepentingan umum. Ketiga, isi dan pelaksanaan hukum haruslah dapat
diterima akal sehat semuaorang. Keempat, hukum perlu dipublikasikan.
4. Thomas Hobbes.126
125
Ibid. hlm. 54-56.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53
Dimensi politik hukum dalam ajaran Thomas Hobbes adalah terletak pada
upaya teoritisnya mencegah konlik total dalam masyarakat, terkait dengan
kecenderunangan alamiah manusia mementingkan egonya. Menghadapi realitas
yang demikian itu, hukum harus mengambil peran menentukan terutama untuk
jaminan keamanan tiap individu dalam masyarakat.
Menurut Hobbes, hukum yang merupakan instrumen paling pokok untuk
mencapai tujuan bersama yang damai itu. Hukum disini yang dimaksud olehnya
adalah hukum alam yang intinya adalah keadilan, keselarasan, kesetaraan,
kerendahan hatian, kemurahhatian dan semua yang sebaiknya dilakukan dalam
kontek hidup bersama.
5. John Locke.127
Letak politik hukum dalam ajaran Locke terletak pada usahanya melindungi
hak-hak alamiah manusia, yaitu hak hidup, kebebabasan dan hak milik. Menurut
Locke, negara wajib menghormati dan serentak menjaga hak-hak tersebut agar
tidak diciderai. Kemudian instrumen yang paling efektif untuk mengawal dan
menjaganya adalah melalui hukum.
Sehingga, sistem hukum yang dibutuhkan untuk menjamin hak-hak tersebut
adalah dengan melalui kodiikasi hukum yang dibuat oleh parlemen yang berisi
pelestarian masyarakat dan pelestarian setiap anggota masyarakat.
6. Montesquieu.128
Dalam ajaranMontesquieu, dimensi politik hukumnya adalah pada usaha
menjamin hak dan kebebasan politik warga negara, yaitu hak warga negara untuk
melakukan apapun yang diperbolehkan oleh hukum dan hak warga negara untuk
126
Ibid. hlm. 58.
127
Ibid., hlm. 58
128
Ibid., hlm. 59
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54
memperoleh rasa aman. Sehingga tugas hukum adalah menjaga dan mengawal
hak-hak tersebut. Oleh sebab itu, harus dihindari pemusatan kekuasaan yang
menjurus pada keabsolutan salah satu lembaga negara, maka Montesquieu
mencetuskan adanya pembagian kekuasaan Trias Politica (Eksekutif, Legislatif
dan Yudikatif).
Trias Politica ini merupakan metode dalam politik hukum untuk mencapai
tujuan yang dituju, yakni adanya jaminan kebebasan politik bagi warga negara.
7. Karl Marx.129
Pemikiran Marx menjurus pada penghilangan struktur yang menindas
hubungan ekonomi. Tujuan Marx ini merupakan sebuah proyek politik hukum.
Keadaan yang penuh penindasan haruslah dihapus, dimana negara dan hukum
dipakai sebagai alat perjuangan demi terciptanya masyarakat yang egaliter.
Dimana dalam masyarakat yang egaliter tidak ada lagi eksploitasi, karena semua
diatur bersama.
Nilai politik hukum dalam pemikiran Marx ada pada kritiknya, yakni
menggunakan hukum untuk menciptakan perubahan kepada keadaan yang lebih
baik lagi.
8. Henry Maine130
Dalam penggambaran Maine, dalam masyarakat tradisional yang beruang
lingkup sempit dan lokal (Static Societies), dimana anggotanya terstratifikasi
dalam lapisan-lapisan sosial yang serba berjenjang menurut status, maka hukum
hanya bertugas meneguhkan hubungan antar status. Sehingga ada pembedaan hak
dan kewajiban menurut kriteria “status bawaan” masing-masing.
Dalam teorinya tentang Movement from Status to Contract, secara implisit
memiliki implikasi pada politik hukum. Artinya, tingkat perkembangan
masyarakat menentukan tipe hukum yang dibutuhkan untuk melayani masyarakat
129
Ibid., hlm. 60-62
130
Ibid., hlm. 62-64
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55
tersebut. Teori ini juga mendorong adanya politik hukum tertentu yang kondusif
untuk menangani masalah-masalah khas masyarakat sesuai tingkat
pertumbuhannya.
9. Gustav Radbruch.131
Awalnya, teori politik hukum Radbruch merupakan reaksi atas kekejaman dan
kekejian rezim Nazi Jerman yang memobilisasi tata hukum positif untuk
melegalkan genosida. Sehingga dimensi politik hukumnya terletak pada
kehendaknya menjadikan keadilan sebagai Core dari tata hukum. Tujuannya
untuk menjamin agar tata hukum benar-benar berungsi sebagai penjamin
kehidupan dan martabat manusia.
Dalam konteks politik hukum versi Radbruch, keadilan merupakan titik
sentral dalam hukum. Dapun kepastian dan kemanfaatan bukanlah unit yang
berdiri sendiri dan terpisah dari keadilan. Sebab kepastian dan kemanfaatan harus
diletakan didalam kerangka keadilan itu sendiri.
10. Leon Duguit.132
Pada dimensi politik hukum versi Duguit terletak pada: (i) adanya
kepentingan bersama yang ingin dijaga, yaitu eksistensi masyarakat karya. (ii)
Kepentingan tersebut menyangkut kepentingan masyarakat karya itu sendiri, yaitu
kelestariannya. (iii) Mereka memiliki tatanan hukum yang menopang masyarakat
itu. (iv) Campur tangan regulasinegara dibatasi secara ketat. (v) Posisi pemerintah
lebih tepat sebagai fasilitator dan melayani, bukan mengatur.
11. Talcott Parson.133
Menurut Parson, penguatan hukum dalam fungsi menjalankan pengintegrasian
masyarakat merupakan isu politik hukum yang sangat penting. Kebijakan
mendasar mengenai penguatan hukum sebagai sub-sistem integrasi sangat perlu
131
Ibid. hlm. 65-68
132
Ibid., hlm. 68-71
133
Ibid., hlm.71-73
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56
bagi nasib masyarakat sebagai sebuah sistem yang terintegrasi. Tanpa fungsi
pengintegrasian yang efektif dari hukum, maka akan terjadi konflik menyeluruh
dalam masyrakat.
12. Bredemeier.134
Menurut Bredemeier, kedudukan hukum sebagai suatu institusi yang
melakukan pengintegrasian terhadap proses-proses yang berlangsung didalam
masyarakat menyebabkan hukum harus terbuka menerima masukan-masukan dari
bidang ekonomi, politik dan budaya. Sehingga politik hukumnya terletak pada
peran pengadilan dalam melahirkan putusan yang berbobot bagi terjaminnya
integrasi sistem. Keharusan putusan-putusan pengadilan harus memberi manfaat
bagi sub-sistem lainnya, baik untuk sub-sistem Politik, sub-sistem ekonomi dan
sub-sistem budaya. Tujuan kahirnya jelas, yaitu menjamin integrasi dan
kelangsungan hidup sistem.
13. Roscoe Pound.135
Dalam teori Pound, letak politik hukumnya adalah tujuan yang ingin dicapai
yaitu terciptanya masyarakat yang beradab yang produktif, minim konflik dan
tidak boros. Baginya, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-
konsep logis-analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis
yuridis yang terlampau ekslusif. Sebaliknya, hukum itu harus didaratkan didunia
nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan
yang saling bersaing.
Sehingga point penting teori Pound bagi politik hukum adalah pemanfaatan
hukum sebagai sarana menuju sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial
melalui penataan secara proporsional berbagai kepentingan baik umum, individu
dan sosial agar tidak menimbulkan konflik dan pemborosan dalam masyarakat.
14. Nonet-Selznick.136
134
Ibid., hlm.73-75
135
Ibid., hlm. 75-77
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57
136
Ibid. hlm. 77-80
137
Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 358-359.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58
138
Adi Sulistiyono, disampaikan dalam Kuliah Pasca Sarjana FH UNS Mata Kuliah Politik
Hukum Tahun 2013.
139
Hikmahanto Juwana, Op.Cit., hlm 24.
140
Hikmahanto Juwana memilahnya dalam tujuan positif maupun negatif. Positif jika
digunakan dalam rangka memajukan kehidupan politik warganegara, misalnya memperbaiki
perekonomian, negatif, jika digunakan untuk melegitimasi kekuasaan (rule by law). Ibid., Kebijakan
pemberlakuan ini bukan dalam makna pemberlakuan hukum (sebagai terjemahan dari law
enforcement) sebagaimana dipaparkan Soediman Kartohadiprodjo bahwa politik hukum penting dalam
rangka pemberlakuan hukum. Lihat Soediman Karto Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di
Indonesia I Hukum Perdata. Galia Indonesia. hlm 46 dalam Agusmidah, Dilematika Hukum
Ketenagakerjaan (Tinjauan Politik Hukum), Softmedia, Jakarta, 2011, hlm. 1.
141
Ibid. hlm. 26.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60
146
R. Bintan Saragih, Politik Hukum dalam Menetapkan Undang-Undang di Bidang
Perbankan, artikel pada Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5. Nomor 1 April
2007, Direktorat Hukum Bank Indonesia, hlm. 1-2.
147
Soedarto, Op.Cit., hlm. 20.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61
148
Soedarto, Op.Cit., hlm. 151.
149
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2010, hlm. 15
150
Wahyudin Husein & H. Hufron, Loc.Cit., hlm. 13
151
C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit. hlm. 1-2.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
62
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63
Menurut Theo Huijber tujuan politik hukum dapat dipilah dalam 3 (tiga) hal:152
152
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm 111.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64
153
Soehino, Op.Cit, hlm. 7-8.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65
154
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996,
hlm. 3
155
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66
156
Pasal 1 angka 16, angka 17, angka 18 UU No. 10/1998.
157
Sulistyandari, Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengwasan
Perbankan di Indonesia, Sidoarjo, Laros, hlm. 332.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67
68
158
Mudrajad Kuncoro, Ekonomi Pembangunan (Masalah, Kebijakan, dan Politik), Erlangga.
Surabaya, 2010,. hlm. 32 dalam Sulistyandari, Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Penyimpan
Melalui Pengawasan Perbankan Indonesia, Laras, Sidoarjo, 2012, hlm 334.
159
Ibid. hlm. 334.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
69
160
Sumber-sumber dana (modal) lembaga perbankan antara lain: 1) dana yang bersumber dari
bank itu sendiri, 2) dana yang berasal dari masyarakat, dan 3) dana yang bersumber dari lembaga lain.
Sumber dana yang berasal dari masyarakat luas (nasabah penyimpan) merupakan sumber dana
terpenting bagi kegiatan operasi suatu bank. Pentingnya sumber dana masyarakat luas, disebabkan
sumber dana dari masyarakat luas merupakan sumber dana utama bagi bank. Sumber dana yang juga
disebut sumber dana dari pihak ketiga ini disamping mudah untuk mencarinya juga tersedia banyak di
masyarakat. Lihat : Kasmir, Op.Cit., hlm. 65.
161
Zulkarnain Sitompul. Perlindungan Dana Nasabah Bank: Pemikiran tentang Pendirian
Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia. Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
2002. hlm. 2-3
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70
71
162
Agus Yudha Hernoko, Asas Proporsionalitas sebagai Perwujudan Doktrin Keadilan
Berkontrak dalam Perkembangan dan Dinamika Hukum Perdata Indonesia, Lutfansah Mediatama,
Surabaya, 2009, dalam Sulistyandari, Op. Cit., hlm 337.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
72
163
Sulistyandari, Op.Cit., hlm. 338.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
73
164
Marulak Pardede, Efektivitas Pengawasan Perbankan (Bale Committee on Bankin
Supervision) dalam Perbankan Nasional Indonesia, artikel pada Jurnal Hukum Bisnis. Vo. 15
September 2001.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
74
165
Hermansyah., Op.Cit, hlm. 146.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75
76
dana pada bank yang bersangkutan. Hal ini harus dilakukan untuk
mencegah timbulnya kerugian dari nasabah penyimpan dan
simpanannya yang ada pada bank. Mengingat, bahwa bank terutama
bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas
dasar kepercayaan, tentu setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya
dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.
b. Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba Rugi.
Kewajiban dari bank untuk mengumumkan neraca perhitungan laba
rugi diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Perbankan 1998. Bahwa
danya ketentuan yang mewajibkan bank untuk menyampaikan dan
mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi dapat memberikan
informasi pada masyarakat, terutama nasabah penyiman mengenai
tingkat kesehatan bank dan hal-hal lain yang terkait dengan bank
tersebut.
c. Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank.
Banyak alasan dan tujuan dilakukannya merger, akuisisi, dan
konsolidasi oleh pelaku usaha terhadap badan usaha bank yang
dimilikinya. Salah satunyang terpenting adalah untuk meningkatkan
efisiensi dan mempertinggi daya saing perusahaan.
Berkaitan dengan itu, menurut ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi bahwa
dalam pelaksanaan Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi harus
memperhatikan kepentingan semua pihak, yaitu kepentingan bank,
kepentingan kreditur, kepentingan penegang saham minoritas dan
karyawan bank, juga kepentingan rayat banyak, dan persaingan yang
sehat dalam melakukan usaha bank.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa dalam rangka
pelaksanaan merger, konsolidasi, dan akuisisi bank kepentingan dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
77
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
78
166
C. A. E. GoodHart, The Regulatory Response to the Financial Crisis.,CESifo Working
Paper No. 2257. January, 2008.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79
80
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
81
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
82
F. Kerangka Pemikiran.
Upaya Pemerintah
Membangun dan Menjaga
Kepercayaan Masyarakat
terhadap Lembaga
Perbankan
Perlindungan
terhadap Dana
Simpanan Nasabah
Politik Hukum
Penjaminan Dana
Simpanan Nasabah
Sebagai Sebagai
Kebijakan Kebijakan Kebijakan
Dasar Pemberlakuan Pemberlakuan dari
(Basic Policy) (Enactment Masa ke Masa
Policy) (Pemerintahan Presiden
Soekarno hingga
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono/
Teori sekarang)
Hukum Responsif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
83
Keterangan :
Kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional merupakan
aset berharga bagi sistem perbankan yang bersangkutan. Oleh karena itu
diperlukan suatu kebijakan yang mampu menjaga bahkan meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan. Sebagai contoh,
pengalaman krisis Moneter pada tahun 1997-1998 yang menyebabkan beberapa
lembaga perbankan dilikuidasi oleh Pemerintah Indonesia berdampak pada
ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga perbankan yang ada di Indonesia.
Akibatnya, Indonesia mengalami krisis perbankan yang ditandai dengan
menarikan secara besar-besaran dana simpanan masyarakat pada lembaga
perbankan di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk
menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan
adalah memberikan penjaminan dana simpanan nasabah pada suatu lembaga
perbankan.
Politik hukum penjaminan dana simpanan nasabah lembaga perbankan di
Indonesia oleh Penulis akan dipisah menjadi 2 (dua) yaitu sebagai kebijakan dasar
(basic policy) dan kebijakan pemberlakuan (enactment policy). Hal tersebut akan
Penulis analisa dengan menggunakan teori hukum Responsif untuk mengetahui
latar belakang, tujuan serta orientasi dari politik hukum penjaminan dana
simpanan nasabah di Indonesia.
commit to user