Anda di halaman 1dari 65

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

19

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Teori Hukum Responsif.


Teori adalah serangkaian preposisi atau keterangan yang saling
berhubungan dengan dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan
atau suatu gejala. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan
secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris, sehingga teori tentang
ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan objek penelitian
dijelaskannya dan untuk mendapat verifikasi, maka harus didukung oleh data
empiris yang membantu dalam mengungkapkan kebenaran.43 Sedangkan teori
hukum adalah teori dalam bidang hukum yaitu berfungsi memberikan
argumentasi yang meyakinkan bahwa hal-hal yang dijelaskan itu adalah ilmiah,
atau paling tidak, memberikan gambaran bahwa hal-hal yang dijelaskan itu
memenuhi standar teoretis.44 Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang
mempelajari berbagai aspek teoritis maupun praktis dari hukum positif tertentu
secara tersendiri dan dalam keseluruhannya secara interdisipliner, yang bertujuan
memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih baik, lebih jelas, dan lebih
mendasar mengenai hukum positif yang bersangkutan.45
Dogmatik hukum dan teori hukum kedua-duanya mempelajari hukum
positif: peraturan-peraturan hukum dan yurisprudensi. Dengan demikian,
dogmatik hukum merupakan teori, teorinya hukum positif. Teori hukum
sebaliknya, kecuali mempelajari hukum positif, objeknya juga dogmatik hukum.

43
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Maju, Bandung: 1994, Hlm. 27 dalam
Purnama Tioria Sianturi, Perlindungan Hukum terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak
Melalui Lelang, Cetakan ke- II, Mandar Maju, Bandung, 2013, hlm. 10.
44
Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Pusaka Media, Bandung, 2011, hlm. 53.
45
Muchyar Yahya, Pengantar Teori Hukum, Universitas Indonesia, 1999 dalam Sudikno
Mertokusumo, Teori Hukum ,Cetakan ke-2, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 87.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

Sebagai teorinya teori, teori hukum disebut metateori. Jadi, teori hukum
ruang lingkupnya lebih luas daripada dogmatik hukum. Dogmatik hukum sifatnya
menjelaskan secara yuridis/konkret hukum positif. Dikatakan secara
yuridis/konkret karena jawabannya hanya ada di dalam hukum positif. Teori
hukum sebaliknya menganalisis atau membahasa secara teoritis/kritis, bukan
dengan menunjuk pada hukum positif atau peraturan perundang-undnagan, tetapi
menjawab secara argumentatif, dengan penalaran secara teoritis dan kritis. Adi
Sulistyono berpendapat bahwa teori hukum merupakan pisau analisis, semakin
tajam penguasaan serta penggunaan teori hukum, maka semakin tajam pula
analisisnya.46Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan teori hukum responsif
oleh Philipe Nonet & Philip Selznick.
Pengembaraan mencari hukum responsif telah menjadi kegiatan teori
hukum modern yang terus berkelanjutan. Sebagaimana yang dikatakan Jerome
Frank, tujuan utama kaum realism hukum adalah untuk membuat hukum
“menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial”. Untuk mencapai
tujuan ini, mereka mendorong perluasan”bidang-bidang yang memiliki
keterkaitan secara hukum,” sedemikian rupa sehingga nalar hukum dapat
mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap
hukum resmi para aparat penegak hukum.47 Dalam perspektif ini, hukum yang
baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar keadilan prosedural.
Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil; hukum semacam itu
seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi
tercapainya keadilan substantif.
Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya “Law and Society in
Transition : Toward Responsive Law”, telah merumuskan suatu konsep hukum
46
Adi Sulistiyono disampaikan dalam kegiatan perkuliahan mata kuliah Teori Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012.
47
Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif ,Cetakan VI), Nusa Media, Bandung,
2013, hlm. 83. Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dari Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and
Society in Transition: Toward Responsive Law Harper & Row, 1978.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

yang dapat memenuhi tuntutan-tuntutan agar hukum dibuat lebih responsif


terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendesak dan terhadap masalah-
masalah keadilan sosial, sambil tetap mempertahankan hasil-hasil pelembagaan
yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasarkan hukum (rule of law).48
Hukum responsif adalah model atau teori yang digagas Nonet-Selznick di
tengah krisis Neo-Marxis terhadap liberal legalism. Seperti diketahui, liberal
legalism mengandaikan hukum sebagai institusi mandiri dengan sistem peraturan
dan prosedur yang obyektif, tidak memihak, dan benar-benar otonom. Ikon
liberal legalism adalah otonomi hukum. Wujud paling nyata dari otonomi itu
adalah rezim rule of law. Dengan karakternya yang otonom itu, diyakini bahwa
hukum dapat mengendalikan represi dan menjaga integritasnya sendiri.
Dilihat dari kepentingan internal sistem hukum itu sendiri, dalil integritas
itu dapat dipahami. Tapi hukum bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Hukum
adalah alat bagi manusia. Ia merupakan instrumen untuk melayani kebutuhan
manusia. Dalam makna ini, isolasi sistem hukum dari berbagai institusi sosial di
sekitarnya, justru berdampak buruk dari sisi kebutuhan manusia itu sendiri.
hukum dengan mudah berubah menjadi institusi yang melayani diri sendiri, bukan
lagi melayani manusia. Hukum tidak lagi bisa diandalkan sebaga alat perubahan
dan sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif. Akibatnya jelas, legitimasi
sosial dari hukum itu melorot tajam. Tanda bahaya tentang terkikisnya otoritas
tersebut dan macetnya keadilan substantif, telah menjadi fokus kritik terhadap
hukum.49

48
A. Mukthie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer, Edisi Revisi, Setara Press, Malang,
2013, hlm 49.
49
Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society In Transition: Toward Responsive
Law, London: Harper and Row Publisher, 1978, dalam Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum : Stategi
Tertib manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cetakan Ketiga, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,
hlm. 206.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

Sebenarnya, di balik doktrin otonomi hukum, tersembunyi ideologi status


quo. Dan status quo sendiri merupakan canopy (benteng perlindungan) orang-
orang mapan, orang-orang berpunya. Ini poin pertama kritik Neo-Marxis.
Keberpihakan hukum sangat jelas. Ia menguntungkan golongan kaya dan
merugikan serta menipu golongan miskin. Dengan begitu, secara tersembunyi
institusi-institusi hukum telah tercemar dan ikut menyebabkan ketiadaan
ketertiban sosial secara keseluruhan. Ia bekerja sebagai alat kekuasaan. Poin
kedua yang dikritik Neo-Marxis adalah legalisme liberal (liberal legalism),
khususnya mengenai gagasan bahwa tujuan keadilan dapat dicapai melalui sistem
peraturan dan prosedur yang obyektif, tidak memihak, dan otonom. Menurut Neo-
Marxis, faktual, the rule of law tidak mampu mengatasi isu-isu mendasar
mengenai keadilan sosial. Lebih buruk lagi, rule of law merupakan “musuh
tersembunyi” bagi keadilan sosial itu sendiri.50 Bukan keadilan sosial yang diraih
dalam rule of law, tapi kemenangan orang-orang mapan dan kaya.
Di tengah rangkaian kritik atas realitas kritis otoritas hukum itulah, Nonet-
Selznick mengajukan model hukum responsif.51 Perubahan sosial dan keadilan
sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. Kebutuhan ini, sesungguhnya
telah menjadi tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan semangat
fungsional, pragmatis, dan semangat purposif (berorientasikan tujuan), seperti
halnya Roscoe Pound, para penganut paham realism hukum, dam kritikus-kritikus
kontemporer. The model of rules yang diajukan oleh Dworkin, tidak bisa lagi
diandalkan menangani dinamika kebutuhan-kebutuhan sosial di tengah perubahan
yang tiada bertepi dewasa ini.
Nonet dan Selznick lewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai
sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai
50
Ibid.
51
Dalam membahas hukum responsif, Nonet dan Selznick member perhatian khusus pada
variabel-variabel yang berkaitan dengan hukum, yaitu: peranan paksaan dalam hukum, hubungan
antara hukum dengan politik, negara, tatanan moral, tempat diskresi, peranan tujuan dalam keputusan-
keputusan hukum, partisipasi, legitimasi, dan kondisi-kondisi kepatuhan terhadap hukum. Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi
untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan
emansipasi publik.52 Kepedulian pada akomodasi aspirasi sosial, menyebabkan
teori ini tergolong dalam wilayah sociological jurisprudence. Bahkan menurut
Nonet-Selznick, hukum responsif merupakan dari sociological jurisprudensce dan
realist jurisprudence.53 Dua aliran tersebut, pada intinya menyerukan kajian
hukum yang lebih empiris melampaui batas-batas formalisme, perluasan
pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum.54
Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan
dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya,
maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga
harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu
tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari
bekerjanya hukum itu. Lebih lanjut Nonet dan Selznick mengatakan,

“… Thus a distinctive feature of responsive law is the search of implicit


values in rules and policies… a more flexible interpretation that sees rules
as bound to specific problems and contexts, and undertakes to identify the
values at stake in procedural protection”.55
Apa yang dikatakan Nonet dan Selznick itu, sebetulnya ingin mengkritik
model analytical jurisprudence atau rechtsdogmatic yang hanya berkutat di
dalam sistem aturan hukum positip,56 model yang mereka sebut dengan tipe

52
Ibid.
53
Bernard L. Tanya, dkk, Op.Cit, hlm. 205.
54
Ibid. hlm. 205.
55
Ibid. hlm. 206.
56
Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan)”, Makalah
disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, tanggal 4 September 2004.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

hukum otonom. Hukum responsif, sebaliknya, pemahaman mengenai hukum


melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking towards pada hasil
akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu.57 Itulah sebabnya, hukum responsif
mengandalkan dua “doktrin” utama. Pertama, hukum itu harus fungsional,
pragmatic, bertujuan dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi
terhadap semua pelaksanaan hukum.
Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka
tatanan hukum responsif menekankan : (1) keadilan substantif sebagai dasar
legitimas hukum, (2) peraturan merupakan sub-ordinasi dan prinsip dan
kebijakan, (3). Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat
bagi kemaslahatan masyarakat (4) Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam
pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan. (5)
memupuk sistem kewajiban sebaga ganti sistem paksaan, (6) Moralitas kerjasama
sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum, (7) Kekuasaan didayagunakan
untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat, (8) Penolakan
terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum, (9)
Akses patisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan
sosial.
Nonet dan Selznick mengembangkan konsep hukum responsif tersebut
dengan membandingkan tiga tipologi hukum sesuai dengan tahapan-tahapan
sosial, yaitu:58
a. Tipe hukum Represif, yakni hukum sebagai abdi kekuasaan represif;
b. Tipe hukum Otonom, yakni hukum sebagai institusi yang dibedakan dan
mampu untuk menjinakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri;
dan

57
Ibid.
58
A. Mukthie Fadjar, Op. Cit., hlm. 50.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

c. Tipe hukum Responsif, yakni hukum sebagai fasilitator dari respon


terhadap kebutuhan sosial dan aspirasi sosial
Ketiga tipologi hukum tersebut harus dipandang sebagai berkaitan satu sama
lain dalam suatu tahapan perkembangan sosial. Ketiga tipologi hukum tersebut tidak
hanya merupakan tipologi hukum yang berbeda satu sama lain, tetapi juga
merupakan suatu tahap-tahap evolusi dalam hubungan antara hukum dengan tatanan
politik dan tatanan sosial.
Sejalan dengan tiga tipologi hukum diatas, hukum responsif oleh Nonet dan
Selznick dikontraskan dengan dua model yang lain, yaitu hukum represif59 dan
hukum otonom.60 Hukum represif lebih mengarah pada pelayanan kekuasaan dan
menafikan aspirasi publik. Ini jelas terlihat dalam ciri utamanya : (1). kekuasaan
politik mengatasi institusi hukum, sehingga kekuasaan negara menjadi dasar
legitimasi hukum, (2). Penyelenggaraan hukum dijalankan menurut perspektif
penguasa dan pejabat (menempatkan ketertiban menjadi tujuan utama hukum serta
mementingkan kemudahan administratif). (3) peraturan-peraturan yang diskriminatif
(bersifat keras/represif mengikat rakyat, tapi lunak terhadap penguasa). (4) alasan
pembuatannya bersifat ad-hoc sesuai keinginan arbitrer penguasa. (5) kesempatan
bertindak bersifat serba meresap sesuai kesempatan; (6). Pemaksaan serba mencakupi
batas yang jelas. (7). Moralitas yang dituntut dari masyarakat adalah pengendalian
diri. (8) kepatuhan masyarakat harus tanpa syarat, dan ketidak patuhan dihukum
sebagai kejahatan. (9). Parsitipasi masyarakat diijinkan lewat penundukan diri,
sedangkan kritik dipahami sebagai pembangkangan.

59
Hukum otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang setia menjaga kemandirian hukum
itu sendiri. karena sifatnya yang mandiri, maka dikedepankan adalah pemisahan yang tegas antara
kekuasaan dengan hukum. Legitimasi hukum ini terletak pada keutamaan procedural hukum yang
bebas dari pengaruh politik melalui pembatasan prosedur yang sudah mapan. Lihat: Bernard L. Tanya,
dkk,, Op.Cit. hlm. 207.
60
Hukum represif yaitu hukum sebagai alat kekuasaan represif. Tipe hukum ini bertujuan
mempertahankan status quo penguasa yang kerap kali diterapkan dengan dalih menjamin ketertiban.
Dengan demikian, hukum ini dirumuskan secara rinci untuk mengikat setiap orang, kecuali
penguasa/pembuat hukum. Ibid.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

Dari konstelasi hubugan antar variabel itu, jelaslah bahwa hukum represif
merupakan sistem hukum kekuasaan represif yang bertujuan mempertahankan
kepentingan penguasa yang kerapkali diterapkan dengan dalih menjamin ketertiban.
Karena hukum merupakan alat penguasa, maka dalam geraknya aturan-aturan hukum
tidak mengikat penguasa sebagai pembuatnya. Sebaliknya, ia berfungsi
mengendalikan seluruh aspek kehiduan rakyat untuk menciptakan, melakasanakan,
serta memperkuat kontrol terhadap segenap kegiatan masyarakat.
Konfigurasi sistem hukum yang demikian, tak pelak lagi memunculkan wajah
hukum yang memihak pada elite penguasa. Persis dititik ini, hukum represif sejalan
dengan apa yang oleh Podgorecky61 disebut hukum otoriterian. Yakni suatu sistem
hukum dengan ciri: Pertama, substansi hukumnya berisi peraturan yang mengikat
sepihak dan materinya berubah-ubah sesuai keinginan yang bersifat arbitrer sang
penguasa. Kedua, aturan hukum dipakai sebagai kedok dengan cara yang “lihai”
untuk menutupi intervensi kekuasaan yang berlebihan. Ketiga, “penerimaan”
masyarakat terhadap hukum berjalan dalam kesadaran palsu. Keempat, sanksi-sanksi
hukum, potensil menimbulkan keberantakan sosial (social disintegration), dan
nihilism sosial menyebar tak terkendali. Kelima, tujuan akhir hukum adalah
legitimasi institusional yang lepas dari persoalan diterima tidaknya oleh masyarakat.
Hukum responsif juga kontras dengan model hukum otonom (autonomous
law), karena model yang disebut terkahir secara radikal menutup diri terhadap dunia
di luarnya. Tatanan hukum ini berintikan supremasi peraturan dan prosedur, sehingga
masalah keadilan hanya dimaknai sebatas keadilan procedural. Secara lebih rinci, tipe
tatanan hukum otonom ini memperlihatkan ciri; (1) hukum terpisah dan kekuasaan
(politik) yang mengimplikasikan penolakan terhadap kekuasaan, (2). Tata hukum
mengacu pada “model aturan”. Dalam kerangka ini, maka aturan menjadi satu-
satunya dasar penilaian dan tanggung jawab hukum. Selain itu, aturan membatassi
61
Uraian menyeluruh tentang hukum totalitarian, dapat dibaca dalam Adam Podgorecki,
“Totalitarian Law: basic Concepts and Issues”, dalam Totalitarian and Post-Totalitarian Law,
Podgorecki & Oligiati (eds.), 1996.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

kreativitas institusi-institusi hukum dan peresapan hukum ke dalam wilayah politik.


(3). Prosedur dipandang sebagai inti hukum, dan dengan demikian tujuan pertama
tujuan pertama dan kompetensi utama tata hukum adalah regularitas. (4) loyalitas
pada hukum bermakna sama dengan kepatuhan pada aturan hukum positif. (5)
diskresi sangat dibatasi karena dapat merongrong integritas proses hukum, (6)
Formalisme dan legalisme menjadi landasan pertimbangan utama, (7) Kritik terhadap
aturan hukum positif harus dilaksanakan melalui proses legislasi.
Dalam tatanan hukum otonom, penyelenggaraan hukum diorientasikan pada
keutamaan sistemik-logik. Artinya, peraturan-peraturan hukum dijadikan sebagai
pedoman yang semesta, dan dijabarkan secara logis menurut metorde formal-
dogmatis62 oleh para pelaksana hukum dalam bentuk keputusan-keputusan hukum.63
Karena sifatnya yang demikian, maka pendekatan yang ditonjolkan adalah
pendekatan top-down dan deduktif.
Dalam kaitannya dengan politik, pada hukum represif, hukum tunduk kepada
politik, tetapi hanya lemah sekali mengikat pembuatnya. Sedangkan pada hukum
otonom, hukum bebas dari politik; pemisahan kekuasaan maupun yang diperintahkan.
Pada hukum responsif, aspirasi-aspirasi hukum dan politik berintegrasi pembauran
kekuasaan.64

62
Dalam pola pikir legalistic, biasanya sengketa-sengketa diformulasikan kembali menurut
kategori hukum. Dalam prose situ, niscaya terjadi pembatasan ruang lingkupnya yang kemudian
menjadi peristiwa-peristiwa tertentu, hanya melibatkan individu-individu tertentu, atau bahkan
sebaliknya. Oleh karena itu, sengketa yang ditangani lembaga hukum (pengadilan) sangat mungkin
berbeda dibandingkan dengan ketika sengketa pada awalnya masuk ke sana. Lihat: Bernard L. Tanya.,
dkk, Op. Cit., hlm. 209.
63
Para pelaksana hukum (termasuk hakim) dapat saja kurang memperhatikan semua
informasi yang disampaikan kepadanya. Tidak jarang, mereka melakukan pilihan-pilihan dari semua
informasi yang disampaikan dengan berpangkal tolak pada rumusan UU. Pada titik ini, rumusan UU
praktis menjadi alat dan petunjuk untuk menyusun suatu kejadian, dan bukan kejadian yang
menentukan aturan yang harus dipakai. Akibat lebih lanjut, tersisihnya aspek-aspek tertentu dari suatu
kejadian yang sebenarnya substantive dalam kejadian tersebut. Lihat: Ibid.
64
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum (Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945-1990), Cetakan Ke V, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 112.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

Dari sekilas perbandingan diatas, kiranya jelas bahwa hukum responsif


merupakan sebuah tatanan atau sistem yang inklusif, dalam arti mengaitkan diri
dengan sub-sistem sosial non-hukum, tak terkecuali dengan kekuasaan. Hukum,
dalam tatanan hukum responsif memandang dirinya sebagai bagian tak terpisahkan
dengan dunia sosial yang mengitarinya. Tidak hanya itu, agar benar-benar fungsional
dan bermanfaat dalam melayani masyarakat, maka tatanan hukum responsif
berkehendak merangkul semua kekuatan sosial yang dapat menopang vitalisasinya
dalam merespons aspirasi dan kebutuhan sosial yang hendak dilayani.
Pendek kata, bagi tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi sosial.
Oleh karena itu, hukum dilihat lebih dari sekedar suatu sistem peraturan belaka,
melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk
65
masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti melhat hukum itu
dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan kekuatan
dalam masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Edwin M.Schur, sekalipun hukum itu
nampak sebagai perangkat norma-norma hukum, tetapi hukum merupakan hasil dari
suatu proses sosial, sebab hukum dibuat dan dirubah oleh usaha manusia dan hukum
itu senantiasa berada di dalam keadaan yang berubah pula.
Masing- masing tipe hukum berkaitan dengan suatu problem lainnya dalam
tatanan sosial, misalnya tipe hukum represif tata tertibnya sendiri yang menarik
semua perhatian, dalam tipe hukum otonom yang dipermasalahkan adalah masalah
legitimasi dari tata tertib sosial yakni legitimasi yang didasarkan atas gagasan bahwa
tertib sosial sah apabila penggunaan kekuasaan didasarkan atas gagasan bahwa tertib
sosial sah apabila penggunaan kekuasaan didasarkan atas prinsip-prinsip
konstitusional, prosedur-prosedur formal, dalam lembaga peradilan yang bebas (yang
merupakan cita-cita ‘rule of law’ yang liberal klasik). Sedangkan tipe hukum
responsif yang dipermasalahkan adalah tujuan dan dan tata tertib sosial yang berasal

65
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum ,Cetakan ke-6 ,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. hlm.
117

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

dari hasrat untuk membuat hukum lebih bertujuan dalam melayani manusia dan
institusi-institusi untuk mencapai tujuan dimaksud, sehingga yang ingin dicapai tidak
hanya keadilan formal, tetapi juga keadilan substansial.66
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan
sosial yang dialami dan ditemukan tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Syarat
untuk mengemukakannya secara otentik memerlukan upaya-upaya khusus yang akan
memungkinkan hal ini dilakukan. Dengan demikian, diperlukan jalur-jalur baru untuk
berpartisipasi.67
Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada hukum di dalam
perspektif konsumen. Tetapi, di dalam konep hukum terkandung lebih hanya sesuatu
hasrat bahwa sistem hukum dibuka untuk tuntutan-tuntutan kerakyatan. Keterbukaan
saja akan mudah turun derajatnya menjadi oportunisme.
Nonet dan Selznick menunjukan kepada dilema pelik di dalam institusi-
institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti suatu institusi dalam
melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat pada prosedur-prosedur dan cara-
cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Mempertahankan
integritas dapat mengakibatkan isolasi institusional. Institusi akan terus berbicara
dalam bahasanya sendiri, menggunakan konsep-konsepnya sendiri dengan cara-
caranya sendiri yang khas yang mungkin sudah tidak dapat dimengerti sendiri-ahli
hukum berbicara dengan ahli hukum dan kegiatan institusi akan kehilangan relevansi
sosialnya. Di lain pihak keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa

66
A. Mukthie Fadjar, op. cit., hlm. 50-51
67
Ibid hlm. 55 Mahfud M.D. menyatakan bahwa produk hukum yang responsif produk
hukum yang pembentukannya atau pembuatannya dilakukan secara partisipasif dalam arti melibatkan
masyarakat secara terbuka, muatannya bersifat aspiratif dalam arti menggambarkan kehendak umum
masyarakat, dan cakupannya bersifat limitatif dalam arti tak bisa ditafsirkan sembarangan secara
sepihak melalui peraturan turunan oleh pemerintah. Karakter produk hukum di suatu tempat atau
waktu dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Pada saat konfigurasi politik
tampil demokratis, maka karakter poduk hukum cenderung responsif atau populistik, tetapi pada saat
konfigurasi politik tampil otoriter maka priduk hukumya konservatif atau ortodoks. Lihat: Achmad
Sodiki, Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta, 2013, hlm. ix-x

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada
umumnya, namun tidak mengandung arti khusus, aksi-aksi institusional akan
disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan dalam lingkungan sosial. Konsep
hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini dan mencoba
mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas.68
Jawaban konsep hukum normatif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-
tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Kriteria seleksinya adalah rule of law yang dicita-
citakan yang tidak lagi diartikan sebagai kelayakan prosedural formal, melainkan
sebagai reduksi secara progresif dari kesewenangan-kesewenangan dan
penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi. Dengan
demikian, tipe hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan
memperluasnya agar mencakup keadilan substantif.69
Tipe hukum responsif mempunyai dua ciri yang menonjol, yakni:70
a. Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;
dan
b. Pentingnya watak kerakyatan (populis) baik sebagai tujuan hukum
maupun cara untuk mencapainya.
Tipe hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam
penekanannya pada peranan tujuan di dalam hukum. Pembuatan hukum dan
penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri, melainkan arti pentingnya
merupakan akibat dari tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya. Dilihat dari
sisi ini, aturan-aturan hukum kehilangan sedikit dari sifat ketaatannya. Aturan-aturan
ini sekarang dilihat sebagai cara-cara khusus untuk mencapai tujuan yang lebih

68
A. Mukthie Fadjar, Loc.Cit., hlm. 55
69
Ibid.
70
Ibid. hlm. 56
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

umum, dan aturan yang banyak macamnya itu diperluas atau mungkin malahan
dibuang, apabila dipandang lebih baik ditinjau dari segi tujuan yang akan dicapai.71
Apa yang menjadi tujuan hukum dan apa yang harus dilayani oleh aturan
hukum tidak selalu nampak, mungkin tersembunyi dan implisit sifatnya. Pokok yang
penting adalah dalam mementukan arti dari aturan-aturan, pernyataan yang harus
diajukan adalah maksud-maksud apa yang dilayani, nilai-nilai apa dan kepentingan-
kepentingan apa yang harus dipertaruhkan.
Menurut catatan Nonet-Selznick, masa dua puluh tahun terakhir, merupakan
masa bangkitnya kembali ketertarikan pada persoalan-persoalan dalam institusi-
institusi hukum, yaitu bagaimana isntitusi-institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan
yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya. Sudah lama
dirasakan bahwa pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan sangat
mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri.
kebangkitan ini merefleksikan dorongan akademik bahwa perspektif dan metode studi
ilmu sosial berlaku pula untuk analisis atas institusi hukum maupun semangat
pembaruan.72

B. Tinjauan tentang Perbandingan Hukum.


Perbandingan Hukum adalah suatu pengetahuan dan metode mempelajari
ilmu hukum dengan meninjau lebih dari satu sistem hukum, dengan meninjau
kaidah dan/atau aturan hukum dan/atau yurisprudensi seta pendapat ahli yang
kompeten dalam berbagai sistem hukum tersebut, untuk menemukan persamaan-
persamaan dan perbedaan-perbedaan, sehingga dapat ditarik kesimpulan-
kesimpulan dan konsep-konsep tertentu, dan kemudian dicari sebab-sebab

71
Ibid., hlm. 50-51.
72
Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

timbulnya persamaan dan perbedaan secara historis, sosiologis, analitis, analitis,


dan normatif.73
Selain itu, ada juga yang memberikan arti kepada perbandingan hukum
sebagai suatu perbandingan terhadap semangat, model, atau institusi hukum dari
sistem hukum yang berbeda, untuk mencari solusi terhadap berbagai persoalan
hukum serupa yang terjadi di berbagai sistem hukum.74
Dalam melakukan suatu perbandingan hukum, metode yang dipakai
adalah adalah membanding-bandingkan salah satu lembaga hukum (legal
institutions) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum, yang kurang
lebih sama dari sistem hukum yang lain. Dengan membanding-bandingkan itu
maka kita dapat menemukan unsur persamaan, tetapi juga unsur perbedaan dari
kedua sistim hukum itu.75 Perbandingan hukum itu dapat dilakukan baik di bidang
hukum perdata, maupun bidang hukum publik. Bahkan dapat pula dilakukan
dengan membanding-bandingkan suatu lembaga hukum dimasa yang lampau
dengan sifat/corak lembaga hukum yang sama itu dimasa sekarang.
Johny Ibrahim berpendapat bahwa pendekatan perbandingan dalam
penelitian normatif digunakan untuk membandingkan salah satu lembaga hukum
(legal institutions) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum yang
lain. Persamaan-persamaan yang ada akan menunjukkan inti dari lembaga hukum
yang diteliti dan perbedaan-perbedaan dapat disebabkan oleh perbedaan iklim,
suasana dan sejarah masing-masing bangsa yang bersangkutan.76

73
Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 1-2.
74
Zweigert Konrad dan Hein Kotz, An introduction to Comparative Law ,Volume I, North
Hollan Publishing Company, Amsterdam, 1977.
75
Sunarjati Hartono, Capita Selecta Perbandingan Hukum. Alumni, Bandung, 1982, hlm 1
76
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Bayumedia Publishing,
Jawa Timur, 2006, hlm. 313

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

Perkembangan tentang studi perbandingan sistem hukum (comparative


legal studies) merupakan ilmu yang sama tuanya dengan disiplin hukum itu
sendiri. namun dalam perkembangannya, studi perbandingan sistem hukum baru
tampak pada abad ke 19 sebagai cabang khusus dari disiplin ilmu hukum.77
Hug telah mengusulkan lima kelompok studi komparatif yang mungkin
bisa digunakan untuk dapat dikelompokkan sebagai hukum komparatif, antara
lain: (1) memperbandingkan sistem asing dengan sistem domestic dalam rangka
menemukan persamaan dan perbedaan; (2) studi yang menganalisis berbagai
solusi secara obyektif dan sistematis yang ditawarkan oleh berbagai sistem untuk
suatu masalah hukum tertentu; (3) studi yang mengidentifikasi hubungan kausal
antara sistem-sistem hukum berbeda; (4) studi-studi yang membandingkan tahap-
tahap dari beberapa sistem hukum; dan (5) studi yang berusaha menemukan atau
mengkaji evolusi hukum secara umum berdasarkan sistem dan periodenya.78
Perbandingan hukum yang dibicarakan dan dipahami sekarang ini dipakai
dalam arti membanding-bandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu
dengan bangsa yang lain. Ilmu perbandingan hukum dipakai dalam yang baru
disebutkan ini. Apabila orang mulai melakukan studi perbandingan terhadap
sistem-sistem hukum positif atau undang-undang hukum positif tertentu, maka
barang tentu ia melakukannya dengan bertitik tolak dari hukum positif tertentu.
Dilihat dari posisi yang demikian itu orang akan mengatakan bahwa studi
perbandingan hukum adalah studi dengan hukum asing. Memang tidak dapat
diingkari, bahwa studi perbandingan hukum dilakukan dengan cara mempelajari
hukum di luar hukum yang berlaku bagi si penyelidik, tetapi dengan cara
demikian saja, ia tidak dapat dikatakan melakukan studi perbandingan hukum.

77
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum: Civil Law, Common Law,
Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1.
78
Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum (Common Law, Civil Law, dan Socialist Law),
Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 10 diterjemahkan oleh Narulita Yusron dari Peter de Cruz,
Comparative Law in a Changing World, Cavendish Publishing Limited, London-Sidney, 1999.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

Mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari hukum yang tidak sama dengan
melakukan perbandingan hukum. Barulah pada saat orang menggarap bahan-
bahan yang telah terkumpul itu menurut arah-arah tertentu, terjadi suatu
perbandingan hukum. Penggarapan itu dapat dilakukan atas dasar keinginan,
antara lain:79
1. Menunjukkan perbedaan dan persamaan yang ada di antara sistem hukum atau
bidang-bidang hukum.
2. Menjelaskan mengapa terjadi persamaan dan perbedaan yang demikian itu,
faktor-faktor apa yang menyebabkannya.
3. Memberikan penilaian terhadap masing-masing sistem yang digunakan.
4. Memberikan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa ditarik sebagai
kelanjutan dari hasil-hasil studi perbandingan yang telah dilakukan. Misalnya
orang mengajukan gugatan tentunya universalrechtingeschichte, suatu sejarah
hukum yang universal.
5. Merumuskan kecenderungan-kecenderungan yang umum pada
perkembangan hukum, termasuk di dalamya irama dan keteraturan yang dapat
dilihat pada perkembagan hukum tersebut.
6. Salah satu segi yang penting dari perbandingan ini adalah kemungkinan-
kemungkinan untuk menemukan asas-asas umum yang didapat sebagai hasil
dari pelacakan yang dilakukan dengan cara membandingan tersebut.
Seperti diutarakan di muka, perbandingan hukum ini dapat dilakukan terhadap
sistem-sistem hukum yang berasal dari negara yang berlain-lainan. Perbandingan ini
juga bisa dilakukan di dalam suatu negara saja, khususnya bagi suatu negara yang
hukumnya bersifat majemuk. Kecuali itu, perbandingan juga bisa dilakukan antara
sistem-sistem hukum yang mempunyai taraf kepositifan yang berbeda-beda, seperti

79
Miftakhul Hadi, Perbandingan Hukum Jual Beli Kendaraan Bermotor Secara Kredit
dengan Sistem Pembiayaan Konvensional dan Pembiayaan Syariah, Tesis Program Magister Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010, hlm. 10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

antara hukum negara dn hukum di sektor swasta, seperti yang berlaku di dalam
lingkungan suatu perusahaan.
Pada suatu saat, mungkin seorang melakukan studi perbandingan dihadapkan
kepada suatu kenyataan bahwa pada suatu sistem hukum tidak dapat diketemukan
lembaga atau pengaturan mengenai suatu masalah tertentu. Keadaan yang demikian
ini tidak boleh menyebabkan ia menghentikan penyelidikannya, melainkan justru
penelitian yang menarik mulai bisa dilakukan.
Kunci untuk melakukan analisis komparatif yang efektif adalah dengan
mengumpulkan berbagai materi dan informasi yang sesuai yang memungkingkan
para komparatis untuk menempatkan peraturan hukum atau institusi hukum cabang
hukum tertentu pada konteksnya. Norma-norma dan pola-pola perilaku yang oleh
suatu masyarakat dianggap biasa dan legal mungkin saja dikategorikan sebagai sangat
tidak layak dan tidak dapat diterima oleh masyarakat lainnya. 80
Hakikat hukum komparatif adalah pembandingan: ini berarti meletakkan
unsur-unsur yang dapat diperbandingkan dari dua sistem hukum atau lebih terhadap
satu sama lain dan mementukan persamaan dan perbedaannya. Sistem hukum dan
unsur mana yang hendak dipilih untuk dibandingkan, dengan sendirinya tergantung
pada tujuan pembandingan itu dan minat-minat pengguna metode pembandingan.81
Pembandingan dapat bersifat bilateral (diantara dua sistem hukum) atau multilateral
(lebih dari dua sistem hukum). Pembandingan dapat berupa pembandingan hukum
substantif atau pembandingan formal (di antara ciri-ciri formal sistem-sistem hukum,
misalnya, cara menafsirkan undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan).
Lebih jauh lagi ada pembandingan mikro (antara aturan-aturan hukum individual
atau lembaga-lembaga hukum) dan pembanding makro (antara sistem-sistem hukum

80
Ibid., hlm 25.
81
Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Nusa Media, Bandung,, 2010,
hlm 61 diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie dari Michael Bogdan, Comparative Law, Kluwer and
Taxation Publishers, 1994.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

secara menyeluruh atau antara keluarga-keluarga lengkap sistem-sistem hukum).82


Pembandingan mikro pun termasuk membandingkan aturan-aturan dalam lingkungan
hukum dan nonhukum.

Unsur sentral dalam perbandingan atau komparatif adalah pembanding


tersebut (the comparison). Pembanding berarti menghadapkan unsur-unsur yang
dapat diperbandingkan dari dua sistem hukum atau lebih terhadap satu sama lain
untuk menemukan persamaan dan perbedaan diantara sistem-sistem itu.83 Persamaan
dan perbedaan dapat menjadi subyek untuk studi lanjutan mengenai karaktek teoritis.
Penjelasan persamaan dan perbedaan yang ditemukan dapat menambah pemahaman
pengguna metode pembandingan (comparist) akan hukum negaranya sendiri.
Evaluasi komparatif dari berbagai negara terkait dengan isu yang sama akan sangat
bermanfaat untuk pembuatan draft legislasi atau pekerjaan de lege ferenda lainnya.84
Salah satu tugas hukum komparatif yang paling menarik dan paling penting
ialah berupaya menjelaskan persamaan dan perbedaan seperti itu. Saat mencari
penjelasan yang dapat dimengerti itulah akan diketahui faktor-faktor mana yang
memengaruhi strukur, perkembangan, dan muatan-muatan substantif sistem hukum
tersebut: persamaan dan perbedaan di antara faktor-faktor inilah yang menciptakan
persamaan dan perbedaan di bidang hukum.85
Persamaan dan perbedaan diantara sistem-sistem hukum adalah dua sisi mata
uang yang sama. Persamaan menunjukkan kurangnya perbedaan, sementara
perbedaan menunjukkan kurangnya persamaan. Karena itu baik persamaan maupun
perbedaan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama, walaupun arahnya berlawanan.

82
Rheinstein, Einfuhrung in die Rectvergleichung,, Munchen, 1974, dikutip dari Michael
Bogdan, ibid, hlm, 62.
83
Michael Bogdan, Op.Cit.,, hlm. 8
84
Ibid, hlm. 9
85
Ibid, hlm. 77.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

Misalnya, jika persamaan-persamaan diantara sistem-sistem ekonomi dianggap


menimbulkan persamaan diantara sistem-sistem hukum, maka perbedaan diantara
sistem-sistem ekonomi harus dianggap turut menyumbang perbedaan-perbedaan di
bidang hukum. Maka penjelasan tentang persamaan dan perbedaan itu pasti dapat
ditemukan dalam sekumpulan faktor relevan yang sama.86
Menurut Sunarjati Hartono, dengan melakukan perbandingan hukum akan
menghasilkan kesimpulan :87
1. Kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara
pengaturan yang sama pula;
2. Kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasan dan sejarah
menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.
Itulah sebabnya, antara dua sisem hukum mungkin terdapat persamaan-
persamaan (karena adanya kebutuhan yang universal itu), dan mungkin
pula terdapat perbedaan-perbedaan (yang disebabkan oleh perbedaan suasana
dan sejarah).88
Konsekuensi logis studi perbandingan hukum akan membawa seorang
Penulis pada sejarah hukum89, sebagaimana yang dikatakan F. Pringsheim bahwa
“comparative law without the history law is an imposible task”. Perbandingan

86
Ibid, hlm. 78
87
Sunarjati Hartono. 1982. Op.Cit. hlm 2
88
Ibid.
89
Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, sedangkan sejarah
hukum satu aspek tertentu dari hal itu, yakni hukum. Sejarah hukum merupakan bagian dari
penyelenggaraan sejarah secara integral dengan memfokuskan perhatian pada gejala-gejala hukum, di
mana penulisan secara integral pula mempergunakan hasil-hasil sejarah secarah hukum sekaligus
meredam efek samping yang terpaksa ikut muncul ke permukaan sebagai akibat peletakan tekanan
pada gejala-gejala hukum. Namun tujuan akhir sejarah hukum, yakni menunjang dan bermuara di
dalam penulisan sejarah secara integral tidak boleh melenyapkan tujuan parsiil yang spesifik dan perlu
ada dari disiplin ini (dari permukaan), yakni penemuan dalil-dalil dan kecenderungan-kecenderungan
perkembangan hukum. Lihat. John Gilissen & Frits Gorle. Sejarah Hukum: Suatu Pengantar. Refika
Aditama, Bandung, hlm. 11-12. Edisi terjemahan dari : Historiche Inleiding tot het brecht. Kluwer
Rechtswetenschappen-Anwerpent. Belgium. 1991 oleh Freddy Tengker.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

hukum memiliki dimensi empiris yang digunakan sebagai alat bantu (hulp
wetenschap) dalam analisis dan eksplanasi hukum. Penelitian normatif dapat dan
memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmu empiris, namun hanya berstatus sebagai
imu bantu sehingga tidak mengubah hakekat ilmu hukum sebagai ilmu normatif.90
Perbandingan hukum yang dipahami pada saat ini memiliki arti
membandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan bangsa yang
lain. Studi perbandingan hukum asing merupakan suatu studi tentang hukum
asing, dikatakan demikian karena dengan melakukan studi perbandingan sistem
hukum positif tertentu atau undang-undang hukum positif tertentu maka
melakukannya dengan bertolak pada hukum tertentu. Perbandingan hukum tidak
hanya mempelajari hukum di luar yang berlaku bagi peneliti, mengumpulkan
bahan-bahan yang berasal dari hukum yang berbeda tidak sama dengan
melakukan perbandingan hukum. Perbandingan hukum dapat dilakukan :91

1. Menunjukkan perbedaan dan persamaan yang ada diantara sistem hukum atau
bidang-bidang hukum.

2. Menjelaskan mengapa terjadi persamaan dan perbedaan yang demikian itu,


faktor-faktor apa yang menyebabkannya.

3. Memberikan penilaian terhadap masing-masing sistem yang digunakan.

4. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa ditarik sebagai


kelanjutan dari hasil-hasil studi perbandingan yang telah dilakukan.

5. Merumuskan kecenderungan-kecenderungan yang umum pada perkembangan


hukum, termasuk di dalamnya irama dan keteraturan yang dapat dilihat pada
perkembangan hukum tersebut.

6. Kemungkinan menemukan asas-asas umum yang didapat sebagai hasil dari


pelacakan yang dilakukan dengan cara membandingkan tersebut.

90
Ibid, Hlm. 314
91
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, Hlm. 354

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kegunaan perbandingan hukum adalah


sebagai berikut :92

1. Memberikan pemahaman tentang persamaan dan perbedaan di antara


pengertian dasar dari berbagai bidang tata hukum.
2. Mempermudah untuk mengadakan keseragaman hukum (unifikasi). Kepastian
hukum dan kesederhanaan hukum
3. Memberikan pegangan atau pedoman tentang keanekawarnaan hukum yang
harus diterapkan.
4. Memberikan bahan-bahan tentang faktor-faktor hukum apakah yang perlu
dikembangkan atau dihapuskan berangsur-angsur demi integrasi masyarakat.
5. Memberikan bahan tentang hal-hal apa yang diperlukan untuk
mengembangkan hukum antar tata hukum pada bidang-bidang dimana
kodifikasi dan unifikasi terlalu sulit untuk diwujudkan.
6. Untuk memecahkan masalah-masalah hukum secara adil dan tepat, jadi bukan
hanya sekedar menemukan persamaan atau dan/atau perbedaannya saja.
7. Memberikan kemungkinan untuk mengadakan pendekatan fungsional, yakni
pendekatan dari sudut masalah hukum yang dihadapi dengan terlebih dahulu
menemukan hakikatnya.
8. Mendapatkan bahan untuk dianalisis tentang motif-motif politis, ekonomi,
sosial dan psikologis yang menjadi latar belakang suatu aturan, traktat,
kebiasaan dan yurisprudensi.
9. Berguna bagi pelaksanaan pembaharuan hukum.
10. Untuk mempertajam dan mengarahkan proses penelitian hukum.
11. Memperluas kemampuan untuk memahami sistem hukum yang ada serta
penegakan hukum yang adil dan tepat.

Memahami perbandingan sistem hukum secara langsung pada spesifikasi


tertentu tanpa memahami perbandingan sistem hukum secara umum akan terjadi
pemahaman parsial sehingga pencapaiannya tidak optimal.93 Sistem hukum
mengandung pengertian :94

“legal system is an operating set of legal institutions, procedures, and


rules. In this sense there are one federal and fifty state legal systems in the

92
Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, 1979, Hlm. 1 dalam Munir
Fuady, Op.Cit, hlm. 21.
93
Ade Maman Suherman, Op.Cit., hlm. 2
94
J.H. Merryman, The Civil Law Tradition, dikutip dari Ade Maman Suherman, Ibid, hlm. 10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

United States, separate legal system in each other nations, and still other
distinct legal system in such organization as the European Economic
Community and the United Nations.”95
Sistem hukum dalam artian sempit didefinisikan sebagai peraturan dan
institusi hukum dari sebuah negara (seperti sistem hukum Prancis), sedangkan
dalam arti luas didefinisikan sebagai filsafat yuristik dan teknik-teknik yang
sama-sama digunakan oleh sejumlah negara yang secara umum memiliki
kesamaan sistem hukum (seperti sistem common law Inggris). Sistem hukum
dalam artian luas menggambarkan keluarga hukum induk, yaitu common law dan
civil law.96 Menurut Zweigert dan Kotz, terdapat karakteristik sistem hukum
dapat dikelompokkan ke dalam sistem hukum yang mana, yaitu:97
1. Latar belakang historis dan perkembangan dari sistem tersebut.
2. Keutamaan dan karakteristik mode pemikirannya.
3. Institusi-institusi yang berbeda.
4. Sumber-sumber hukumnya dan cara menangani hal ini.
5. Ideologinya.
Pengklasifikasian sistem hukum secara umum dibagi menjadi tiga macam
keluarga hukum atau tradisi hukum. Tradisi hukum merupakan sekumpulan sikap
yang telah mengakar kuat dan terkondisikan secara historis terhadap hakekat
hukum, aturan hukum dalam ideologi politik, organisasi serta penyelenggaraan
sistem hukum. David and Brierly membicarakan ketiga macam keluarga hukum,
yaitu civil law, common law dan socialist law yang digambarkan sebagai model-

95
Sistem hukum adalah merupakan suatu seperangkat operasional yang meliputi institusi,
prosedur, aturan hukum, dalam konteks ini ada satu negara federal dengan lima puluh sistem hukum di
Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa secara terpisah serta ada sistem Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
96
Peter de Cruz, Op.Cit., hlm. 4-5
97
Ibid, hlm. 5
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

model eponim, hukum-hukum tertentu yang dapat dianggap sebagai tipikal atau
representatif dari sebuah keluarga yang mengelompokkan sejumlah hukum.98
Civil law merujuk pada sistem hukum yang diterapkan pada sebagai besar
negara Eropa Barat, Amerika Latin, Indonesia dan Jepang. Sistem ini diturunkan
dari hukum Romawi kuno dan pertama kali diterapkan di Eropa berdasar jus
civile Romawi.99 Civil law cenderung berpikir dalam istilah-istilah yang abstrak,
konseptual dan simetris. Civil law sebagai hukum yang berasal dari bebarapa
universitas dan hukum Romawi adalah peraturan yang didasarkan kepada dan
secara terus menerus mencarai solusi bagi permsalahan di hadapan pengadilan.
Civil law berangkat dari prinsip umum ke prinsip lainnya, undang-undang dan
hukum yang terkodifikasi menjadi bagian-bagian yang membentuk Civil law.
Ruang lingkupnya berdasar pada peraturan-peraturan yang ditegakkan saat itu,
yang telah dikodifikasi berdasar undang-undang yang diaplikasikan pada situasi
yang dihadapi. Konsekuensi lain dari perkembangan historis yang dicerminkan di
dalam mode pemikiran hukum adalah bahwa civil law cenderung merencanakan,
mensistematiskan dan mengatur persoalan sehari-hari dengan sekomprehensif
mungkin. 100
Common law melakukan pendekatan yang konkret dan berdasarkan pada
pengadilan dengan berusaha mencari jawaban-jawaban pragmatis untuk
diketengahkan di hadapan pengadilan. Common law dimulai dari perkara ke
perkara, perkara menjadi sumber utama dalam common law. Praktisi hukum
common law berpikir dalam ruang lingkup kelompok dan hubungan hukum
tertentu. Karakteristik Common law adalah berimprovisasi, mengkaji perkara
untuk preseden yang memungkinkan, yang mungkin atau mungkin juga tidak

98
Ibid, hlm. 46-47
99
Ibid, hlm. 61
100
Ibid, hlm. 53-54

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

mengikat terhadap pemeriksaan di pengadilan saat itu dan hanya memutuskan


untuk melakukan legislasi dalam cara yang terorganisir dan komprehensif apabila
wilayah hukum tertentu dinilai membingungkan, tidak jelas dan menciptakan
sebuah gap dalam hukum.101

C. Tinjauan tentang Politik Hukum


Hukum dan politik merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan.
Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem
kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi
melakukan social control, dispute settlement dan social engineering atau
inivarion, sedang fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi
(socialization dan recruitment), konversi (rule making, rule application, rule
adjudication, interest particulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas
(regulative, ekstratif, distributive dan responsif).102
Di antara politik dan hukum terdapat hubungan yang sangat erat dan
merupakan two face of coin, saling mementukan dan mengisi. Adakalanya
kebijakan politis yang berperan utama untuk menentukan materi hukum yang
seyogyanya berlaku dalam negara, sesuai dengan pandangan dan pertimbangan
politik. Di lain posisi, hukum berperan mengatur lalu lintas kehidupan politik bagi
masyarakat politik itu, baik yang berada di suprastruktur maupun infrastruktur
politiknya, baik kalangan partai politik sebagai nucleus-nya maupun bagi ormas-
ormas selaku plasma masyarakat politik itu.103
Meskipun sistem hukum dan sistem politik dapat dibedakan, namun dalam
berbagai hal sering tumpang tindih. Dalam proses pembentukan undang-undang

101
Ibid
102
Ahmad Muliadi, Op. Cit,. hlm. 15.
103
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

oleh badan pembentuk undang-undang misalnya. Proses tersebut dapat


dimasukkan ke dalam sistem hukum dan juga ke dalam sistem politik, karena
undang-undang sebagai output merupakan formulasi yuridis dari kebijakan politik
dan proses pembentukannya sendiri digerakkan oleh proses politik. 104
Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan adalah bersifat
terbuka, karena itu keduanya saling mempengaruhi dan dipegaruhi oleh subsistem
lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Walaupun
hukum dan politik mempunyai fungsi dan dasar pembenaran yang berbeda,
namun keduanya tidak saling bertentangan, tetapi saling melengkapi. Masing-
masing memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya untuk menggerakkan
sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam masyarakat yang terbuka dan
relatif stabil sistem hukum dan politiknya selalu dijaga keseimbangannya,
disamping sistem-sistem lainnya yang ada dalam suatu masyarakat.105
Teori Sibernetik Talcott Parsons menyimpulkan bahwa hukum dalam
kehidupan masyarakat “tidaklah otonom”, karena senantiasa dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain faktor ekonomi, politik, sosial, budaya termasuk
antropologi dan psikologi. Tegasnya, teori ini dengan indikator-indikator tersebut
di atas memperlihatkan adanya suatu hubungan sibernetik. Sibernetik berasal dari
kata Yunani kybernetike yang berarti “seni keahlian untuk mengarahkan”.106
Parsons mengatakan bahwa masyarakat tersusun dari empat sub-sistem
yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi untuk memecahkan
persoalan tertentu yang dapat dijabarkan sebagai berikut :107

104
Ibid
105
Ibid. hlm..15.
106
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Cetakan keenam), Bandung, Citra Aditya Bakti, 2206,
hlm. 136-139.
107
Talcott Parsons, The Social System, London, Routledge and Kegan Paul, 1970, hlm. 21.
Dikutip dari Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (editor), Teori-Teori Kebudayan, Yogyakarta,
Kanisius, 2010, hlm. 59
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

1. Adaptation, adalah cara sistem beraptasi dengan dunia material dan


pemenuhan kebutuhan material untuk bertahan hidup (sandang, pangan,
papan). Ekonomi teramat penting dalam subsistem ini.
2. Goal attainment (pencapaian tujuan). Subsistem ini berurusan dengan hasil
atau produk (output) dari sistem kepemimpinan. Politik menjadi panglima
dari subsistem ini.
3. Integration, adalah penyatuan subsistem ini berkenaan dengan menjaga
tatanan. Sistem hukum dan lembaga-lembaga atau komunitas-komunitas
yang memperjuangkan tatanan sosial termasuk dalam kelompok ini.
4. Latent pattern maintenance and tension management, mengacu pada
kebutuhan masyarakat untuk mempunyai arah panduan yang jelas dan gugus
tujuan dari tindakan. Lembaga-lembaga yang ada dalam subsistem ini
bertugas untuk memproduksi nilai-nilai budaya, menjaga solidaritas, dan
menyosialisikan nilai-nilai.
Sub-sub sistem yang saling berkaitan itu mengalirkan dua arus dengan arah
yang berlawanan bergantung pada fungsinya. Parsons menamakan arus itu
sebagai:
a. Arus Energi, yaitu arus yang berisikan kekuatan, di mana bila arus ini
mengarah ke atas, semakin naik maka arus kekuatan itu akan semakin
semakin besar dan dan bila mengarah ke bawah, semakin turun arus
energinya juga semakin kecil.
b. Arus informasi, yaitu arus yang berisikan informasi yang mengalir, apabila
dari bawah mengarah ke atas, semakin naik ke atas akan semakin kecil
kadar informasi yang disampaikan. Dan apabila arus informasi itu mengarah
ke bawah, semakin turun akan menyebabkan informasinya semakin besar.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

Sub-sub Fungsi-Fungsi Arus-arus Informasi


Sistem Primernya dan Energi

Tingkat Informasi tinggi


(kontrol)

Budaya Mempertahankan pola Hirarki faktor- Hirarki faktor-


Sosial Integrasi Faktor yang faktor yang
Mengkondisikan mengontrol
Politik Mengejar tujuan

Ekonomi Adaptasi Tingkat energi tinggi


(kondisi)

Bagan 2. Sub-sub sistem dengan fungsi primernya.108

Berdasarkan bagan diatas, dalam kaitannya hubungan hukum dengan


politik, sub-sistem politik memiliki arus energi yang lebih besar terhadap sub-
sistem hukum akan tetapi sub-sistem hukum memiliki arus informasi lebih besar
daripada sub-sistem politik. Dalam hal pengejaran atau pencapaian tujuan yang
dilakukan oleh sub-sistem politik, sub sistem sosal memberikan penyelesaian
terhadap sengketa-sengketa yang timbul mengenai sahnya suatu tujuan atau
perumusan dari tujuan tersebut. Melalui perundang-undangan, tujuan-tujuan
tersebut ditetapkan menjadi hukum. Keputusan ini bisa berupa pengesahan
terhadap hukum itu ataupun pembatalannya. Apabila pengesahan hukum itu

108
Satjipto Rahardjo, 2006, Op.Cit., hlm. 135.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

diakui oleh pengadilan, hal itu berarti, hal itu berarti tujuan yang dirumuskan pun
diterima.109
Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik
berupa jabatan-jabatan dan wewenang-wewenang yang sah untuk melakukan
tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa.
Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasaan politik untuk
mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa
sosial secara tertib, hukum adalah tekhnik untuk mengemudikan suatu
mekanisme sosial yang ruwet. Di lain pihak hukum tidak efektif kecuali apabila
mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu
Maurice Duverger menyatakan: “Hukum didefinisikan oleh kekuasaan, dia terdiri
dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan
politik”.110
Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan
politik membuat hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat
dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah
hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata serta berpengaruh
dalam kehidupan masyarakat.
Hukum, dalam politik hukum, pertama-tama adalah merupakan
instrument. Ia merupakan alat yang dipakai untuk mewujudkan tujuan. Ibarat
sebuah mobil, ia merupakan kendaraan kendaraan yang dipakai untuk membawa
kita ke destinasi tertentu. Kedua, hukum dalam konteks politik hukum, adalah
pembawa misi. Ia menjadi wadah yang menampung segala keinginan dan aspirasi
mengenai berbagai hal yang ingin ditata dan dicapai. Wadah yang namanya
hukum ini penting, karena ia memiliki keunggulan dibandingkan wadah-wadah
lain. Dalam misi memperbaiki keadaan dan mencapai tujuan, ia dibekali kekuatan

109
Ibid, hlm. 139
110
Ahmad Muliadi, Op.Cit. hlm. 15

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

pemaksa, didukung otoritas yang sah, dan (idealnya) terumus secara jelas-tegas
sehingga efektivitasnya terjamin. Ketiga, hukum dalam konteks politik hukum,
adalah piranti managemen. Ia menata kepentingan-kepentingan secara adil,
menetapkan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, mengatur hak
dan kewajiban individu-kelompok-lembaga, meyiapkan sanksi, dan melengkapi
lembaga/aparat penegaknya.111
Dalam sekalian posisi tersebut, hukum memiliki kapabilitas yang
potensial untuk membawa misi pencapaian tujuan yang ingin diwujudkan. Ia
merupakan sumber daya publik yang memiliki segala kelengkapan yang
diperlukan bagi keperluan pencapaian tujuan. Hukum memiliki dasar legalitas,
memiliki dasar legitimasi (karena dibuat oleh lembaga representative), memiliki
daya ikat yang memaksa, dilengkapi sanksi, dan ditegakkan oleh institusi yang
sah. Itulah posisi sentral hukum dalam konteks politik hukum.112
William Zevenbergen mengutarakan bahwa politik hukum, mencoba
menjawab pertanyaan, peraturan-peraturan hukum mana yang patut untuk
dijadikan hukum. Perundang-undangan itu sendiri merupakan bentuk dari politik
hukum (legal policy). Pengertian legal policy, mencakup proses pembuatan dan
pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana hukum akan
dibangun. Politik hukum memberikan landasan terhadap proses pembentukan
hukum yang lebih sesuai, situasi dan kondisi, kultur serta nilai yang berkembang
di masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap itu sendiri.
dengan kata lain, politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu:
pertama, politik hukum yang menjadi alasan dasar diadakannya suatu peraturan

111
Bernard L. Tanya, Op.Cit., hlm.11-12
112
Ibid.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

perundang-undangan. Kedua, tujuan atau alasan yang muncul dibalik


113
pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, politik hukum
memiliki peran sangat penting. Pertama, sebagai alasan mengapa diperlukan
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan
apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dan menjadi perumusan
pasal. Dua hal ini penting karena keberadaan peraturan perundang-undangan dan
perumusan pasal merupaka jembatan antara politik hukum tersebut dalam tahap
implementasi peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat antara
pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus ada konsistensi dan korelasi
yang erat dengan apa yang ditetapkan sebagai politik.114
Politik hukum berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan menentukan
bagaimana seharusnya manusia bertindak, politik hukum berusaha menyelidiki
perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang
berlaku supaya menjadi sesuai dengan kenyataan sosial (sociale werkelijkheid).
Akan tetapi, kadang-kadang juga untuk menjauhkann tata hukum dari sociale
werkelikheid yaitu dalam hal politik hukum menjadi alat dalam tangan suatu
ruling class yang hendak menjajah tanpa memperhatikan kenyataan sosial itu.
Surojo Wignyodipuro, mengemukakan politik hukum menyelidiki perubahan-
perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum sekarang supaya menjadi lebih
sesuai dengan perasaan hukum yang ada pada masyarakat. Meneruskan
perkembangan hukum dengan berusaha melenyapkan sebanyak banyaknya
ketegangan antara yang berlaku dengan perasaan yang ada dalam masyarakat
(antara positivitas dan kebenaran sosial). 115

113
Abdul Latif & Hasbi Ali., Politik Hukum (cetakan kedua), Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
hlm. 19
114
Ibid.

115
Ibid.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

Sedangkan tujuan pengkajian politik hukum adalah sebagai berikut:116


1. Agar orang mampu memahami pemikiran-pemikiran masa yang lampau,
yamg melatarbelakangi penetapan aturan-atran hukum dan atau
ketentuan-ketentuan hukum yang sedang berlaku. Dengan demikian
orang mampu mengaplikasikan atau menerapkan aturan-aturan hukum
sebagaimana mestinya.
2. Agar orang mampu menentukan dan memilih pemikiran-pemikiran
tersebut, yang dapat dipergunakan sebagai dasar penentapan aturan-
aturan hukum atau ketentuan-ketentuan hukum ius constitutum dari ius
constituendum yang berlaku dalam rangka menghadapi perkembangan,
perubahan, atau pertumbuhan kehidupan masyarakat. Sehingga mampu
menetapkan aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum baru
sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat.
3. Agar orang mampu memahami kebijakan yang menggariskan kerangka
dan arah tata hukum yang berlaku. Sehingga dapat menerapkan dan
mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan hidup bermasyarakat
dalam satu sistem.
Secara etimologis, politik hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
rechtspolitiek yaitu recht dan politiek. Recht yang berarti hukum dan politiek yang
berarti kebijakan (policy). Secara singkat politik hukum mempunyai arti kebijakan117
hukum.118

116
Soehino, Politik Hukum, BPPE, Yogyakarta, 2010, hlm 7-8. Dalam Ashinta Sekar Bidari,
Politik Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Lembaga Pengawas Sektor Perbankan
di Indonesia, Tesis Program Magister Hukum Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta. 2013, hlm.
18
117
Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak.
118
Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Cetakan ke-7, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 22

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

Menurut Bernard L Tanya, politik hukum di antara realism hidup dengan


tuntutan idealism. Politik hukum tidak boleh terikat pada yang ada (what is)
melainkan mencari jalan keluar kepada apa yang seharusnya (what ought). Politik
hukum merupakan sebuah cita-cita/harapan, terdapat visi hukum yang ditetapkan
terlebih dahulu yang kemudian bentuk dan isi hukum dibangun untuk mewujudkan
visi tersebut.119 Karenanya, dalam konteks politik hukum, hukum tidak boleh
ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu untuk mengabdi bagi kepentingan
dirinya.120
Politik hukum dengan hukum dan politik mempunyai arti yang berbeda.
Dapat dikatakan politik hukum apabila hukum mengemban misi suatu masyarakat,
bangsa, negara untuk mewujudkan ideologi bersama (common ideology).121
Sedangkan dalam hukum dan politik, lebih mengarah kepada realitas hubungan
timbal balik dan tarik menarik antara hukum dan politik itu sendiri.122 Berikut ini
merupaka definisi para ahli mengenai politik hukum sebagai berikut:
1. Plato.123
Dalam setiap pemikirannya, Plato selalu membicarakan mengenai tujuan
hukum sebagai sarana mencari keadilan. Dalam konsepnya, Plato menawarkan
negara yang ideal, dimana setiap orang berkesempatan untuk menikmati keadilan.
Didalam konsepnya ini, Plato menawarkan dua jalan.
Pertama,memandang perlunya kehadiran the philosoper kings sebagai
pemimpin negara. Dikarenakan Plato menganggap bahwa mereka adalah oang-
orang pilihan yang arif bijaksana sehingga memunculkan partisipasi semua orang

119
Bernard L. Tanya, Op.Cit, hlm. 3
120
Ibid. Hlm. 4
121
Ibid. hlm. 4
122
Ibid. hlm. 5.
123
Ibid., hlm. 47-52

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

dalam gagasan keadilan. Selanjunya kaum arif ini menjadi guru moral bagi
warganya, dimana warganya tersebut dimungkinkan mencapai kesempurnaan
jiwa, dalam arti menjadi pelaku dan serentak penikmat keadilan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka hukum yang membawa misi keadilan
tersebut haruslah: Pertama, aturan hukum harus dihimpun didalam satu kitab agar
tidak terjadi kekacauan hukum. Kedua, setiap undang-undang harus didahului
dengan preambule tentang motif dan tujuan tersebut. Ketiga, tugas hukum adalah
membimbing para warga negara pada suatu hidup yang saleh dan
sempurna. Keempat, orang yang melanggar hukum harus dihukum akan tetapi
hukuman tersebut bukanlah balas dendam melainkan memperbaiki moral si
penjahat.
Kedua, pentingnya kepemimpinan dan tatanan hukum yang memungkinkan
rakyat berpartisipasi dalam keadilan. Konsep ini sebetulnya bertolak dari fungsi
ganda yang dimiliki the philosoper kings. Kata kuncinya adalah
ketelaanan, dimana kepemimpinan yang adil, arif dan bijaksana akan membuat
rakyat respek dan mendorong sikapnya untuk berbuat seperti sang teladan.
Ketiga, keadilan harus menjadi alat perjuangan. Hal ini penting bagi politik
hukum, oleh karena politik hukum itu sendiri merupakan perjuangan untuk
mencapai suatu tujuan yakni tujuan negara. Menempatkan keadilan sebagai alat
perjuangan, berarti keadilan harus menjadi realitas nyata dalam semua segi
kehidupan dan hukumlah yang menjadi pengawal keadilan tersebut.
2. Agustinus.124
Pada dasarnya point ajaran dari Agustinus adalah nilai-nilai deligere (dihargai
dan dicintai) dan delicto proximi (mengasihi sesama) relevan bagi politik hukum.
Dua nilai ini bernilai bagi politik hukum, hal ini terletak pada pada idealisme
agustinus tentang “komunitas cinta kasih” sebagai jalan untuk mencapai hidup
bersama yang damai.

124
Ibid., hlm. 52-54
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

Bagi Agustinus, kehidupan yang damai harus dijamin lewat tatanan hukum
yang didominasi oleh tujuan perdamaian. Konteks Regnum kerajaan romawi dan
penyerangan menjelang keruntuhannya, mendorong agustinus memunculkan
gagasan “komunitas kemurahan hati” dan “cinta kasih”. Lebih lanjut lagi
pengawal dan penjaga komunitas adalah hukum, yakni hukum sebagai tatanan
kedamaian. Dikarenakan kedamaian hanya mungkin jika hukum mengarahkan
orang pada nilai-nilai Honeste Vivere, Nemeninem Non Laedere, Uniqum Suum
Tribuere, Deligere, dan Delicto Proximi. Dalam atmosfer inilah keadilan bisa
tercipta dan hidup yang damai bisa lestari.
3. Thomas Aquinas.125
Pada dasarnya ajaran Aquinas ada dua point yang bernilai bagi politik hukum.
Pertama, usahanya melawan sistem hukum yang melegalkan faham patrimonial
dalam kekuasaan berdasarkan hak milik perdata (every man must have a lord).
Faham ini tidak memungkinkan penghargaan hak milik masyarakat kecil,
dikarenakan pada sistem patrimonial semua milik kawula bahkan dirinya sendiri
menjadi milik sang tuan. Oleh sebab itu, keadilan hukum harus ditegakkan
dimana hukum mengatur dan melindungi kepentingan semua individu dan bukan
memberi privilege pada sang penguasa.
Kedua, ajarannya tentang hukum merupakan produk akal sehat dan bukan
produk kehendak yang arbitrer. Hal ini penting dalam rangka mencegah
penyusupan kepentingan, selera dan nafsu para pembuat dan pelaksana hukum
kedalam ruang hukum.
Selanjutnya sumbangan Aquinas bagi politik hukum diantaranya: pertama,
hukum dan perundangan harus rasional dan masuk akal. Kedua, hukum ditujukan
bagi kepentingan umum. Ketiga, isi dan pelaksanaan hukum haruslah dapat
diterima akal sehat semuaorang. Keempat, hukum perlu dipublikasikan.
4. Thomas Hobbes.126

125
Ibid. hlm. 54-56.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

Dimensi politik hukum dalam ajaran Thomas Hobbes adalah terletak pada
upaya teoritisnya mencegah konlik total dalam masyarakat, terkait dengan
kecenderunangan alamiah manusia mementingkan egonya. Menghadapi realitas
yang demikian itu, hukum harus mengambil peran menentukan terutama untuk
jaminan keamanan tiap individu dalam masyarakat.
Menurut Hobbes, hukum yang merupakan instrumen paling pokok untuk
mencapai tujuan bersama yang damai itu. Hukum disini yang dimaksud olehnya
adalah hukum alam yang intinya adalah keadilan, keselarasan, kesetaraan,
kerendahan hatian, kemurahhatian dan semua yang sebaiknya dilakukan dalam
kontek hidup bersama.
5. John Locke.127
Letak politik hukum dalam ajaran Locke terletak pada usahanya melindungi
hak-hak alamiah manusia, yaitu hak hidup, kebebabasan dan hak milik. Menurut
Locke, negara wajib menghormati dan serentak menjaga hak-hak tersebut agar
tidak diciderai. Kemudian instrumen yang paling efektif untuk mengawal dan
menjaganya adalah melalui hukum.
Sehingga, sistem hukum yang dibutuhkan untuk menjamin hak-hak tersebut
adalah dengan melalui kodiikasi hukum yang dibuat oleh parlemen yang berisi
pelestarian masyarakat dan pelestarian setiap anggota masyarakat.

6. Montesquieu.128
Dalam ajaranMontesquieu, dimensi politik hukumnya adalah pada usaha
menjamin hak dan kebebasan politik warga negara, yaitu hak warga negara untuk
melakukan apapun yang diperbolehkan oleh hukum dan hak warga negara untuk

126
Ibid. hlm. 58.
127
Ibid., hlm. 58
128
Ibid., hlm. 59
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

memperoleh rasa aman. Sehingga tugas hukum adalah menjaga dan mengawal
hak-hak tersebut. Oleh sebab itu, harus dihindari pemusatan kekuasaan yang
menjurus pada keabsolutan salah satu lembaga negara, maka Montesquieu
mencetuskan adanya pembagian kekuasaan Trias Politica (Eksekutif, Legislatif
dan Yudikatif).
Trias Politica ini merupakan metode dalam politik hukum untuk mencapai
tujuan yang dituju, yakni adanya jaminan kebebasan politik bagi warga negara.
7. Karl Marx.129
Pemikiran Marx menjurus pada penghilangan struktur yang menindas
hubungan ekonomi. Tujuan Marx ini merupakan sebuah proyek politik hukum.
Keadaan yang penuh penindasan haruslah dihapus, dimana negara dan hukum
dipakai sebagai alat perjuangan demi terciptanya masyarakat yang egaliter.
Dimana dalam masyarakat yang egaliter tidak ada lagi eksploitasi, karena semua
diatur bersama.
Nilai politik hukum dalam pemikiran Marx ada pada kritiknya, yakni
menggunakan hukum untuk menciptakan perubahan kepada keadaan yang lebih
baik lagi.
8. Henry Maine130
Dalam penggambaran Maine, dalam masyarakat tradisional yang beruang
lingkup sempit dan lokal (Static Societies), dimana anggotanya terstratifikasi
dalam lapisan-lapisan sosial yang serba berjenjang menurut status, maka hukum
hanya bertugas meneguhkan hubungan antar status. Sehingga ada pembedaan hak
dan kewajiban menurut kriteria “status bawaan” masing-masing.
Dalam teorinya tentang Movement from Status to Contract, secara implisit
memiliki implikasi pada politik hukum. Artinya, tingkat perkembangan
masyarakat menentukan tipe hukum yang dibutuhkan untuk melayani masyarakat
129
Ibid., hlm. 60-62
130
Ibid., hlm. 62-64

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

tersebut. Teori ini juga mendorong adanya politik hukum tertentu yang kondusif
untuk menangani masalah-masalah khas masyarakat sesuai tingkat
pertumbuhannya.
9. Gustav Radbruch.131
Awalnya, teori politik hukum Radbruch merupakan reaksi atas kekejaman dan
kekejian rezim Nazi Jerman yang memobilisasi tata hukum positif untuk
melegalkan genosida. Sehingga dimensi politik hukumnya terletak pada
kehendaknya menjadikan keadilan sebagai Core dari tata hukum. Tujuannya
untuk menjamin agar tata hukum benar-benar berungsi sebagai penjamin
kehidupan dan martabat manusia.
Dalam konteks politik hukum versi Radbruch, keadilan merupakan titik
sentral dalam hukum. Dapun kepastian dan kemanfaatan bukanlah unit yang
berdiri sendiri dan terpisah dari keadilan. Sebab kepastian dan kemanfaatan harus
diletakan didalam kerangka keadilan itu sendiri.
10. Leon Duguit.132
Pada dimensi politik hukum versi Duguit terletak pada: (i) adanya
kepentingan bersama yang ingin dijaga, yaitu eksistensi masyarakat karya. (ii)
Kepentingan tersebut menyangkut kepentingan masyarakat karya itu sendiri, yaitu
kelestariannya. (iii) Mereka memiliki tatanan hukum yang menopang masyarakat
itu. (iv) Campur tangan regulasinegara dibatasi secara ketat. (v) Posisi pemerintah
lebih tepat sebagai fasilitator dan melayani, bukan mengatur.
11. Talcott Parson.133
Menurut Parson, penguatan hukum dalam fungsi menjalankan pengintegrasian
masyarakat merupakan isu politik hukum yang sangat penting. Kebijakan
mendasar mengenai penguatan hukum sebagai sub-sistem integrasi sangat perlu

131
Ibid. hlm. 65-68
132
Ibid., hlm. 68-71
133
Ibid., hlm.71-73
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

bagi nasib masyarakat sebagai sebuah sistem yang terintegrasi. Tanpa fungsi
pengintegrasian yang efektif dari hukum, maka akan terjadi konflik menyeluruh
dalam masyrakat.
12. Bredemeier.134
Menurut Bredemeier, kedudukan hukum sebagai suatu institusi yang
melakukan pengintegrasian terhadap proses-proses yang berlangsung didalam
masyarakat menyebabkan hukum harus terbuka menerima masukan-masukan dari
bidang ekonomi, politik dan budaya. Sehingga politik hukumnya terletak pada
peran pengadilan dalam melahirkan putusan yang berbobot bagi terjaminnya
integrasi sistem. Keharusan putusan-putusan pengadilan harus memberi manfaat
bagi sub-sistem lainnya, baik untuk sub-sistem Politik, sub-sistem ekonomi dan
sub-sistem budaya. Tujuan kahirnya jelas, yaitu menjamin integrasi dan
kelangsungan hidup sistem.
13. Roscoe Pound.135
Dalam teori Pound, letak politik hukumnya adalah tujuan yang ingin dicapai
yaitu terciptanya masyarakat yang beradab yang produktif, minim konflik dan
tidak boros. Baginya, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-
konsep logis-analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis
yuridis yang terlampau ekslusif. Sebaliknya, hukum itu harus didaratkan didunia
nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan
yang saling bersaing.
Sehingga point penting teori Pound bagi politik hukum adalah pemanfaatan
hukum sebagai sarana menuju sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial
melalui penataan secara proporsional berbagai kepentingan baik umum, individu
dan sosial agar tidak menimbulkan konflik dan pemborosan dalam masyarakat.
14. Nonet-Selznick.136

134
Ibid., hlm.73-75
135
Ibid., hlm. 75-77
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

Dalam teori hukumnya Nonet-Selznick, letak politik hukum adalah


proposalnya mengenai Responsive Law (hukum responsif). Nonet-Selznick
memberi tekanan pada fungsi sosial yang harus dijalankan oleh hukum.
Dikarenakan hukum bukanlah untuk hukum itu sendiri, akan tetapi untuk
manusia. Sehingga Nonet-selznick menolak tipe hukum yang represif dan
otonom, karena menjadi alat kekuasaan bagi penguasa bukan menjadi alat
keadilan bagi masyarakat.
Hukum harus berfungsi sebagai alat perubahan dan alat untuk mencapai
keadilan yang subtantif. Hukum tidak boleh menjadi canopy dari orang-orang
mapan, karena hukum harus melayani masyarakat secara keseluruhan.

15. Satjipto Rahardjo.


Politik hukum diartikan sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk untuk mencapai suatu tujuan sosial tertentu. Menurutnya terdapat
pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum yaitu:137
a. Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada, tujuan ini
bisa berupa satu tujuan besar yang tunggal atau dipecah-pecah ke dalam
tujuan yang lebih spesifik;
b. Cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai
mencapai tujuan tersebut;
c. Kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana
perubahan itu sebaiknya dilakukan;
d. Dapatkan dirumuskan suatu pola yang mapan yang membantu untuk
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut.
16. Adi Sulistiyono.

136
Ibid. hlm. 77-80
137
Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 358-359.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

Kebijakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara dalam merencanakan


(prolegnas), memberlakukan dan menegakkan hukum untuk membangun sistem
hukum dalam upaya mencari tujuan negara sebagai diamanatkan dalam
konstitusi; dimana proses dan hasilnya ditentukan oleh interaksi politik yang
terjadi di dalamnya.138
17. Hikmahanto Juwana.
Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa politik hukum Indonesia terbagi
menjadi dua dimensi yaitu kebijakan dasar (basic policy) dan kebijakan
pemberlakuan (enactment policy).139 Kebijakan dasar (basic policy) adalah
politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan
perundang-undangan. Sedangkan enactment policy adalah tujuan atau alasan yang
muncul dibalik pemberlakuan suatu perundang-undangan. Di sini pemberlakuan
suatu peraturan perundang-undangan dipandang sebagai instrument politik
pemerintah atau penguasanya untuk tujuan tertentu.140 Kebijakan pemberlakuan
memiliki muatan politis. Dikatakan demikian karena kebijakan pemberlakuan
perundang-undangan pada dasarnya sangat bergantung pada apa yang diinginkan
oleh pembuat perundang-undangan. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang
relatif lebih netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan
pembuatan undang-undang tertentu.141

138
Adi Sulistiyono, disampaikan dalam Kuliah Pasca Sarjana FH UNS Mata Kuliah Politik
Hukum Tahun 2013.
139
Hikmahanto Juwana, Op.Cit., hlm 24.
140
Hikmahanto Juwana memilahnya dalam tujuan positif maupun negatif. Positif jika
digunakan dalam rangka memajukan kehidupan politik warganegara, misalnya memperbaiki
perekonomian, negatif, jika digunakan untuk melegitimasi kekuasaan (rule by law). Ibid., Kebijakan
pemberlakuan ini bukan dalam makna pemberlakuan hukum (sebagai terjemahan dari law
enforcement) sebagaimana dipaparkan Soediman Kartohadiprodjo bahwa politik hukum penting dalam
rangka pemberlakuan hukum. Lihat Soediman Karto Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di
Indonesia I Hukum Perdata. Galia Indonesia. hlm 46 dalam Agusmidah, Dilematika Hukum
Ketenagakerjaan (Tinjauan Politik Hukum), Softmedia, Jakarta, 2011, hlm. 1.
141
Ibid. hlm. 26.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

18. Moh. Mahfud MD


Politik hukum diartikan sebagai legal policy. Dengan demikian, politik hukum
merupakan pilihan hukum-hukum yang akan diberlakukan dan hukum-hukum
yang akan dicbut atau tidak diberlakukan dengan bertujuan mencapai tujuan
negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.142
19. Sunaryati Hartono
Sunaryati Hartono dalam bukunya “Politik Hukum Menuju Satu Sistem
Nasional” tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai definisi politik hukum. Ia
melihat politik hukum sebagai alat yang digunakan pemerintah untuk
menciptakan sistem hukum yang dapat membawa rakyat kepada arah masyarakat
yang dicita-citakan.143
20. Padmo Wahjono
Politik hukum diartikan sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk, yang berkaitan dengan hukum
yang berlaku dimasa datang (ius constituendum).144
21. Teuku M. Radhie.
Politik hukum merupakan pernyataan kehendak penguasa negara mengenai
hukum dan arah perkembangan hukum yang dibangun di wilayahnya. Hal ini
terkait dengan hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan mengenai
arah perkembangan hukum yang dibangun mengandung pengertian hukum di
masa yang akan datang (ius constituendum).145
22. R. Bintan Saragih
142
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan ke-5, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2012, hlm.1
143
C.F.G. Sunaryati Hartono., Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
Bandung, hlm. 1991, hlm. 1.
144
Wahyudin Husein & H. Hufron, Hukum, Politik & Kepentingan, Cetakan I, PRESSind,
Yogyakarta, 2008, hlm. 13
145
Abdul Latif & Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 26.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

Politik Hukum merupakan kebijakan yang diambil oleh negara, melalui


lembaganya atau pejabatnya untuk menetapkan hukum yang perlu diganti, diubah,
dipertahankan, atau hukum yang perlu diatur atau ditetapkan agar
penyelenggaraan negara dan pemerintah dapat berlangsung dengan baik dan tertib
sehingga tujuan negara seperti kesejahteraan rakyat secara bertahap dan terencana
dapat terwujud.146
23. Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum secara harfiah dapat
diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau
dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan tertentu.
Politik hukum nasional bisa politik hukum nasional bisa meliputi a)
Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten b) Pembangunan
hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum baru yang
diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat; c) Penegasan
fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum, dan pembinaan anggotanya; d)
Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit
pengambil kebijakan
24. Soedarto.
Soedarto yang mengemukakan bahwa politik hukum adalah kebijakan negara
melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-
peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai
yang dicita-citakan.147 Kemudian Soedarto pada tahun 1986 mengemukakan

146
R. Bintan Saragih, Politik Hukum dalam Menetapkan Undang-Undang di Bidang
Perbankan, artikel pada Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5. Nomor 1 April
2007, Direktorat Hukum Bank Indonesia, hlm. 1-2.
147
Soedarto, Op.Cit., hlm. 20.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

kembali bahwa politik hukum merupakan upaya untuk mewujudkan peraturan-


peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.148
.
Berdasarkan definisi para ahli tersebut diatas, Penulis mencoba memberi
definisi bahwa politik hukum adalah suatu cara yang ditempuh oleh pemerintah
sebagai penyelenggara negara untuk mencapai tujuan negara dengan merumuskan
kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan, menetapkan kebijakan dasar
maupun kebijakan pemberlakuan, serta melaksanakan kebijakan-kebijakan hukum
baik kebijakan hukum yang baru maupun perubahan-perubahannyanya.
Politik hukum juga dapat dilihat sebagai kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling bersaingan dalam pemberlakuan hukum sehingga latar belakang
politik tertentu melahirkan hukum dengan karakter hukum tertentu.149 Jika hukum
diibaratkan sebagai thermometer (alat pengukur suhu),efektifitasnya dipengaruhi oleh
suhu badan yang diukur dan suhu udara saat itu. Sebelum digunakan biasanya
termomete dikibas-kibaskan, untuk mendapatkan ketepatan hasil ukur suhu badan
yang sedang diobservasi.150 Faktor-faktor yang mennetukan politik hukum nasional
tidak hanya ditentukan apa yang telah menjadi cita-cita atau tergantung kepada
kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoritisi, akan tetapi juga dipengarahi
dan ditentukan oleh perkembangan hukum negara lain serta perkembangan
internasional. Faktor-faktor dari luar jangkauan bangsa kita juga akan mempengaruhi
dan menentukan politik hukum masa kini dam dimasa yang akan datang.151
Dari berbagai definisi yang bervariasi, terdapat persamaan yang substantif
yaitu politik hukum merupakan legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara

148
Soedarto, Op.Cit., hlm. 151.
149
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2010, hlm. 15
150
Wahyudin Husein & H. Hufron, Loc.Cit., hlm. 13
151
C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit. hlm. 1-2.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

nasional oleh Pemerintah Indonesia mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan


hukum yang menunjukkan sifat dan arah mana hukum yang akan dibangun, yaitu
meliputi :
1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap
materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Menurut Bernard L. Tanya , terdapat tiga posisi hukum dalam politik hukum
merupakan instrument yang merupakan alat yang dipakai untuk mewujudkan tujuan,
ibarat sebuah mobil sebagai kendaraan untuk membawa kta ke desrinasi tertentu.
Mutu dan kapabilitas dari hukum sebagai alat itu diharapkan mampu menggerakkan
perubahan dari minus menjadi plus. Kedua, hukum sebagai pembawa misi, hukum
memnjadi wadah yang menampung aspirasi dan keinginan yang akan dicapai dan
ditata. Ketiga, hukum sebagai piranti manajemen, yaitu menata kepentingan-
kepentingan yang ada secara adil.
Hubungan kausalitas antara hukum dan politik, minimal ada tiga jawaban yaitu
pertama, hukum harus determinan atas politik yang artinya bahwa kegiatan-kegiatan
politik harus diatur dan tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan
atas hukum, hukum merupakan hasil atau kristalisasi kehendak-kehendak politik yang
saling berinteraksi dan bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem
kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat, meskipun hukum merupakan
keputusan politik tetapi ketika hukum ada maka kegiatan politik tunduk kepada
aturan-aturan hukum.
Meskipun Penulis mengutip beberapa definisi tentang politik hukum dari
beberapa ahli dan mencoba mendefinisikan sendiri politik hukum, dalam penelitian
ini Penulis mengkombinasikan pengertian politik hukum dari Hikmahanto Juwana
dan Soedarto sebagai pedoman untuk menganalisa politik hukum dari penjaminan
dana simpanan nasabah lembaga perbankan di Indonesia.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

Menurut Theo Huijber tujuan politik hukum dapat dipilah dalam 3 (tiga) hal:152

1. Tujuan utama politik hukum adalah menjamin keadilan dalam masyarakat.


Melalui hukum, pemerintah harus mengimbangi kepentingan umum dengan
kepentingan-kepentingan lainnya. Cita-cita akan keadilan yang hidup dalam
jiwa rakyat tidak lain daripada symbol suatu harmonisasi kepentingan-
kepentingan tersebut. Dengan kata lain; tugas utama pemerintah suatu negara
ialah mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial itu terwujud dalam suatu
negara dimana hak-hak manusia dihormati, dan untung-untung dan beban-
beban dibagi secara pantas, terutama berhubungan dengan harta. Keadilan ini
yang sekarang biasanya ditunjuk dengan istilah keadilan sosial (iusticia
socialis), dulu disebut keadilan distributif (iusticia distributiva).
2. Selain tujuan menjamin keadilan, politik hukum juga menciptakan
ketentraman hidup, dengan memelihara kepastian hukum. Bila dikatakan
bahwa dalam suatu negara terdapat kepastian hukum, maksudnya adalah
bahwa dalam negara tersebut Undang-Undang yang telah ditentukan,
sungguh-sungguh berlaku sebagai hukum, dan bahwa putusan-putusan para
hakim bersifat konstan, sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Akibatnya orang-orang akan tidak ragu-ragu terhadap hukum yang berlaku
itu, sebab Undang-Undang jelas dan praktek hukum jelas. Kepastian hukum
berkaitan dengan efektivitas hukum. Sebab itu kepastian hukum hanya
terjamin bila pemerintah negara mempunyai sarana-sarana yang secukupnya
untuk memastikan peraturan-peraturan yang ada. Aparat polisi dan pengadilan
memainkan peranan penting dalam menjaga nilai sosial hukum ini.
3. Politik hukum juga bertujuan untuk menangani kepentingan-kepentingan yang
nyata dalam kehidupan bersama secara konkret. Manakah kepentingan itu
nampak dalam cita-cita masyarakat sebagai keseluruhan. Atas dasar suatu

152
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm 111.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

penyelidikan dan renungan yang mendalam pemerintah memilih salah satu


nilai hidup sebagai tujuan khusus politiknya dan membentuk Undang-Undang
guna mendukungnya dan mengembangkannya. Diantara tujuan khusus politik
suatu pemerintah disebut: perkembangan manusia sebagai peribadi,
perkembangan negara, perkembangan kebudayaan.
Berikut ini merupakan tujuan pengkajian politik hukum, yaitu:153
1. Agar orang mampu memahami pemikiran-pemikiran masa yang lampau, yang
melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum atau ketentuan-ketentuan
hukum yang sedang berlaku. Dengan demikian orang mampu
mengaplikasikan atau menerapkan aturan-aturan hukum sebagaimana
mestinya.
2. Agar orang mampu menentukan dan memilih pemikiran-pemikiran tersebut,
yang dapat dipergunakan sebagai dasar penetapan aturan-aturan hukum atau
ketentuan-ketentuan hukum ius constitutum dari ius constituendum yang
berlaku dalam dalam rangka menghadapi perkembangan, perubahan, atau
pertumbuhan kehidupan bermasyarakat. Sehingga mampu menetapkan aturan-
aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum baru sesuai dengan
kebutuhan hidup masyarakat.
3. Agar orang mampu memahami kebijakan yang menggariskan kerangka dan
arah tata hukum yang berlaku. Sehingga dapat menerapkan dan
mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan hidup bermasyarakat dalam
satu sistem.

D. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Nasabah Penyimpan.


1. Dasar Filosofis Perlindungan Hukum Nasabah Penyimpan.
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam

153
Soehino, Op.Cit, hlm. 7-8.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

melaksanakan kegiatannya. Dengan demikian, hukum perbankan adalah


hukum yang mengatur segala sesuatu tentang bank, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatannya.
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan/atau bentuk-bentuk lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.
Ruang lingkup hukum perbankan tidak terbatas pada pengaturan
hubungan perdata (hubungan antara orang perseorangan/badan hukum sebagai
nasabah dengan bank) saja, tetapi hukum perbankan juga mengatur hubungan
administrasi negara (hubungan anara bank dengan negara dalam hal bank
memerlukan penetapan administrasi negara yang bersifat yuridis seperti
perijinan untuk mendirikan dan menjalankan usaha bank), selain itu hukum
perbankan juga mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran dan
sebagainya.154
Dengan demikian di dalam hukum perbankan mengatur hubungan hukum
antara orang perseorangan/badan hukum sebagai nasabah dengan bank yang
disebut dengan hubungan perdata, juga hubungan antara bank dengan negara
dalam hal bank memerlukan penetapan adminsitrasi negara yang bersifat
yurisdis untuk mendirikan dan menjalankan usaha bank yang disebut
hubungan administrasi.155
Pengaturan hubungan hukum adalah pengaturan kepentingan kepentingan
dari yang bersangkutan, karena hubungan-hubungan hukum adalah
kepentingan-kepentingan yang mendapat perlindungan hukum. Tiap-tiap
hubungan hukum mempunyai dua segi, pada satu pihak ia mempunyai hak
dan pada pihak lainnya ia mempunyai kewajiban. Jika pihak yang mempunyai

154
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996,
hlm. 3
155
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

kewajiban tidak melaksanakan kewajiban, maka terjadilan pelanggaran hak-


hak pada pihak lainnya, yang demikian ini disebut dengan pelanggaran
hukum.
Dengan demikian, pengaturan hubungan hukum antara nasabah dengan
bank dan antara bank dengan negara dalam hubungan perbankan adalah
pengaturan untuk kepentingan-kepentingan dari nasabah, bank dan negara.
Tiap-tiap hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu pada satu pihak ia
mempunyai hak dan pada satu pihak lainnya ia mempunyai kewajiban. Dalam
hubungan hukum antara bank dengan nasabah ada hak pada bank dan ada
kewajiban pada nasabah, demikian sebaliknya, demikian juga dengan
hubungan bank dengan negara. Sebagai pemegang hak dan kewajiban dalam
hukum perbankan, maka nasabah adalah subyek hukum dalam hukum
perbankan. Hak-hak nasabah dalam hukum perbankan yang dilanggar haknya
harus mendapatkan perlindungan hukum.
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank; Nasabah Penyimpan
adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk Simpanan
berdasarkan perjanjian bank dengan Nasabah yang bersangkutan; Nasabah
Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.156
Kajian Filosofis dasar perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan
dilihat dari dua (dua) aspek yaitu aspek ekonomi dan aspek hukum :157
1) Aspek Ekonomi.
Menurut Undang-Undang Perbankan 1998, fungsi utama perbankan
Indonesia adalah sebagai penghimpun dana masyarakat, dan tujuan
perbankan perbankan Indonesia adalah menunjang pelaksanaan

156
Pasal 1 angka 16, angka 17, angka 18 UU No. 10/1998.
157
Sulistyandari, Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengwasan
Perbankan di Indonesia, Sidoarjo, Laros, hlm. 332.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,


pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
Jika dilihat dari fungsi dan tujuan perbankan Indonesia, maka peranan
bank di Indonesia adalah sangat penting dalam menunjang pembangunan
nasional, khususnya pembangunan ekonomi, dimana bank berfungsi
sebagai lembaga intermediasi antara pihak penyimpan dana sebagai pihak
yang surplus dana dengan pihak yang membutuhkan dana sebagai pihak
yang minus dana. Jika pihak yang membutuhkan dana, memperoleh dana
dari bank dan digunakan untuk kegiatan usaha yang produktif, menyerap
tenaga kerja banyak, menghasilkan barang/jasa yang punya nilai lebih,
maka niscaya tujuan perbankan sebagaimana yang disebutkan dalam UU
Perbankan terwujud.
Mengingat betapa pentingnya peranan bank di Indonesia saat ini, maka
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan harus tetap terjaga.
Oleh karena itu menurut Pasal 29 Undang-Undang Perbankan 1998, bank
wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai kecukupan modal,
kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan
aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan
kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Bank Indonesia
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk
menetapkan perizinan, pembinaan, pengawasan bank serta pengenaan
sanksi terhadap bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang
berlaku.
Dalam fungsi utama perbankan sebagai penghimpun dan penyalur
dana masyarakat (lembaga intermediasi) dan untuk mewujudkan tujuan
perbankan Indonesia yaitu menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan
stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, maka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

nasabah penyimpan juga mempunyai peranan penting. Peranan penting


tersebut dapat dilihat ketika nasabah penyimpan mempercayakan dananya
kepada bank dan kemudian bank sebagai lembaga intermediasi
menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan dana
dalam bentuk kredit. Kemudian oleh peminjam kredit (nasabah debitur)
digunakan kegiatan usaha yang produktif, menyerap tenaga kerja banyak
dan menghasilkan barang dan jasa yang mempunyai nilai lebih, maka
kegiatan tersebut berlangsung terus menerus, maka tujuan perbankan
nasional untuk menunjang pembangunan nasional, stabilitas nasional
kearah peningkatan kesejahteraan rakyat akan terwujud.
Dalam hubungan antara nasabah penyimpan dengan bank, nasabah
penyimpan yang telah mempercayakan dananya kepada bank akan
memperoleh kembali dana dan bunganya sesuai yang diperjanjikan.
Dalam hubungan antara bank dengan nasabah debitur, bank yang telah
memberikan kredit kepada nasabah debitur untuk dikelola akan
memperoleh kembali dana yang dipercayakan nasabah debitur dengan
bunganya sesuai yang diperjanjikan. Dalam fungsi intermediasi ini bank
mendapatkan keuntungan berupa selisih bunga pinjaman dengan bunga
simpanan. Hubungan saling menguntungkan demikian merupakan
hubungan ekonomi, dalam hubungan demikian diperlukan adanya
keterkaitan atau interdependensi antara pihak satu dengan pihak yang
lainnya, sehingga diharapkan tercipta kerjasama yang mendorong adanya
pembangunan ekonomi.158 Kata kunci pembangunan ekonomi adalah
pembentukan modal.159 Dalam fungsi intermediasi lembaga perbankan ini,

158
Mudrajad Kuncoro, Ekonomi Pembangunan (Masalah, Kebijakan, dan Politik), Erlangga.
Surabaya, 2010,. hlm. 32 dalam Sulistyandari, Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Penyimpan
Melalui Pengawasan Perbankan Indonesia, Laras, Sidoarjo, 2012, hlm 334.
159
Ibid. hlm. 334.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

nasabah penyiman sebagai pihak yang memberikan modal, sedang bank


sebagai pihak yang menghimpun modal dan nasabah debitur sebagai pihak
yang mengelola modal tersebut160, sedangkan Pemerintah (Bank
Indonesia) sebagai regulator dan pengawas perbankan. Sebagai pihak yang
mempunyai peranan penting dalam mewujudkan pembangunan nasional
sebagaimana yang dicita-citakan dalam Undang-Undang Perbankan 1998
maka nasabah penyimpan harus mendapatkan perlindungan hukum.
2) Aspek hukum.
Menurut Undang-Undang Perbankan 1998, bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan.atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak,
sedang nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di
bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah
yang bersangkutan.
Hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan selain ada
hungunan kontraktual, ada hubungan non-kontraktual yang disebutkan
dengan asas-asas khusus, menurut Zulkarnain Sitompul, asas khusus
tersebut antara lain hubungan kepercayaan (fiducia relation), hubungan
kerahasiaan (confidential relation), hubungan kehati-hatian (prudential
relation).161

160
Sumber-sumber dana (modal) lembaga perbankan antara lain: 1) dana yang bersumber dari
bank itu sendiri, 2) dana yang berasal dari masyarakat, dan 3) dana yang bersumber dari lembaga lain.
Sumber dana yang berasal dari masyarakat luas (nasabah penyimpan) merupakan sumber dana
terpenting bagi kegiatan operasi suatu bank. Pentingnya sumber dana masyarakat luas, disebabkan
sumber dana dari masyarakat luas merupakan sumber dana utama bagi bank. Sumber dana yang juga
disebut sumber dana dari pihak ketiga ini disamping mudah untuk mencarinya juga tersedia banyak di
masyarakat. Lihat : Kasmir, Op.Cit., hlm. 65.
161
Zulkarnain Sitompul. Perlindungan Dana Nasabah Bank: Pemikiran tentang Pendirian
Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia. Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
2002. hlm. 2-3

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

Hubungan kontraktual merupakan hubungan bank dengan nasabah


penyimpan didasarkan kepada kontrak/perjanjian dalam hal ini perjanjian
penyimpanan. Dalam kontrak penyimpanan ini menimbulkan hubungan
hukum antara bank dan nasabah penyimpan yaitu nasabah penyimpan
berhak atas pengembalian dana simpanan dan bunganya, sedangkan bank
memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana simpanan dan bungannya.
Hubungan non kontraktual adalah hubungan nasabah penyimpan
dengan bank itu muncul bukan karena adanya kontrak melainkan
hubungan itu bisa muncul karena adanya hubungan tertulis/peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya atau hukum tidak tertulis seperti
hukum kebiasaan dalam perbankan. Dalam peraturan perundang-undangan
perbankan di Indonesia, hubungan non kontraktual ini bisa dilihat antara
lai dalam Undang-Undang Perbankan 1998 dan Undang-Undang Bank
Indonesia beserta peraturan pelaksanaannya antara lain : hubungan
kepercayaan (fiducia relation) yaitu hubungan antara nasabah penyimpan
dengan bank dan hubungan antara bank dengan nasabah debitur dimana
nasabah penyimpan mempercayakan dananya kepada bank untuk dikelola
dan bank kemudian mempercayakan dana yang dihimpunnya untuk
disalurkan kepada nasabah debitur untuk dikelola pula, hubungan
kepercayaan ini merupakan prinsip yang diatur dalam UU Perbankan
sehingga menimbulkan hubungan hukum bank dengan nasabah
penyimpan.
Dalam hubungan kontraktual bank dengan nasabah penyimpan
merupakan hubungan hukum antara orang perseorangan yang merupakan
lingkup hukum perdata. Pengaturan hukum perdata adalah pengaturan
untuk kepentingan-kepentingan orang perseorangan dalam hal nasabah
penyimpan dan bank. Dalam konsep tujuan hukum menurut Aristoteles
bahwa tujuan hukum itu memberikan keadilan, memberikan perlindungan
hukum atau memberikan hak dan kewajiban di dalam hukum, maka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

keadilan atau perlindungan hukum yang diberikan dalam lingkup perdata


adalah keadilan komutatif, dimana keadilan yang diberikan adalah setara
antara para pihak dalam hubungan hukum tersebut, dalam hal ini adalah
bank dan nasabah. Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan
dalam lingkup hukum perdata adalah dalam menyetarakan keadilan/hak
dan kewajiban nasabah penyimpan dengan hak dan kewajiban bank atau
menjamin terwujudnya proporsionalitas hak dan kewajiban nasabah
penyimpan dan bank menurut keadilan Rawls yang telah ditafsirkan oleh
Agus Yudo Hernoko.162
Dalam hubungan non kontraktual, hubungan antara bank dengan
negara/pemerintah/BI (prinsip kerahasiaan) diatur dalam Undang-Undang
Perbankan 1998, Undang-Undang Bank Indonesia dan peraturan
pelaksananya merupakan lingkup hukum publik. Pengaturan hukum
publik adalah pengaturan untuk kepentingan-kepentingan publik yaitu
kepentingan masyarakat pada umumnya termasuk nasabah penyimpan.
Dalam konsep tujuan hukum menurut Aristoteles bahwa tujuan hukum itu
memberikan keadilan, memberikan perlindungan hukum atau memberikan
hak dan kewajiban di dalam hukum, maka keadilan atau perlindungan
hukum yang diberikan dalam lingkup hukum publik adalah keadilan
distributif., dimana keadilan/hak dan kewajiban yang diberikan
legislator/negara/pemerintah kepada individu harus rata dalam hal ini
individu termasuk nasabah penyimpan, namun Aristoteles tidak
memberikan jawaban mengenai hak mana yang harus diberikan oleh
legislator kepada individu itu. Di dalam hukum publik mempertahankan
hak individu ini termasuk hak nasabah penyimpan dilakukan oleh negara.
Dengan demikian perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan

162
Agus Yudha Hernoko, Asas Proporsionalitas sebagai Perwujudan Doktrin Keadilan
Berkontrak dalam Perkembangan dan Dinamika Hukum Perdata Indonesia, Lutfansah Mediatama,
Surabaya, 2009, dalam Sulistyandari, Op. Cit., hlm 337.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

dalam lingkup hukum publik seperti perlindungan hukum terhadap


nasabah penyimpan melalui pengawasan perbankan adalah
menyamaratakan keadilan/hak dan kewajiban atau member hak dan
kewajiban yang sama kepada masyarakat termasuk diantaranya
masyarakat penyimpan.
Berdasarkan hal tersebut, Sulistyandari menyimpulkan bahwa dasar
filosofis perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan: dalam aspek
ekonomi adalah nasabah penyimpan sebagai pemberi modal mempunyai
peranan dalam pembangunan ekonomi nasional perlu mendapatkan
perlindungan hukum; dalam aspek hukum perlindungan hukum terhadap
nasabah penyimpan melalui pengawasan merupakan perlindungan hukum
publik yaitu menyamaratakan keadilan/hak dan keajiban masyarakat
penyimpan dan perlindungan hukum privat yaitu menyetarakan
keadilan/hak dan kewajiban nasabah penyimpan dengan bank.163

2. Perlindungan Hukum bagi Nasabah Penyimpan Dana Lembaga Perbankan.


Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan atas
suatu perjanjian. Untuk itu tentu adalah sesuatu yang wajar apabila
kepentingan dari nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan
hukum, sebagaimana perlindungan yang diberikan hukum kepada bank. Tidak
dapat disangkal bahwa memang telah ada political will dari pemerintah untuk
melindungi kepentingan nasabah bank, terutama nasabah penyimpan dana. Ini
dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, selain yang diatur dalam Undang-Undang
Perbankan 1998..

163
Sulistyandari, Op.Cit., hlm. 338.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah ini, Marulak


Pardede164 mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia,
mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu:
a. Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection), yaitu
perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang
efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebankrutan bank.
Perlindungan ini diperoleh melalui: (1) peraturan perundang-undangan di
bidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan
pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia, (3) upaya
menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada
khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya,
(4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai
dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang tidak
merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan (7) meyediakan informasi
risiko pada nasabah.
b. Perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection), yaitu
perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin
simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan,
lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan
pada bank gagal tersebut.perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan
lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam
Keputusan Presiden RI No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap
Kewajiban Bank Umum.

164
Marulak Pardede, Efektivitas Pengawasan Perbankan (Bale Committee on Bankin
Supervision) dalam Perbankan Nasional Indonesia, artikel pada Jurnal Hukum Bisnis. Vo. 15
September 2001.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

Hermansyah165 membagi perlindungan hukum terhadap nasabah


penyimpan dana menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum secara
langsung dan tidak langsung.
a. Perlindungan Tidak Langsung.
Perlindungan secara tidak langsung oleh dunia perbankan terhadap
kepentingan nasabah penyimpan dana adalah suatu perlindungan hukum
yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana terhadap segala risiko
kerugian yang timbul dari suatu kebijaksanaan atau timbul dari kegiatan
usaha yang dilakukan oleh bank. Hal ini adalah suatu upaya dan tindakan
pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan dengan
melalui hal-hal yang dikemukakan berikut ini.
1) Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan 1998
dikemukakan, bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-
hatian. Dari ketentuan ini, menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian
adalah salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan atau
dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank untuk selalu
berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus
selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan
di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme iktikad baik.
Berdasarkan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 2 diatas, kita dapat menemukan pasal lain di dalam
Undang-Undang Perbankan 1998 yang mempertegas kembali
mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian itu diterapka, yakni dalam
pasal 29 ayat (2).

165
Hermansyah., Op.Cit, hlm. 146.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

a. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).


Mengenai batas maksimum pemberian kredir (BMPK) atau legal
lending limit, telah diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Perbankan
1998 dan Peraturan Pelaksaannya.
Untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank
diwajibkan menyebar resiko dengan mengatur penyaluran kredit atau
pemberian pembiayaan berdaarkan prinsip syariah, pemberian
pinjaman ataupun fasilitas lain sedeikian rupa sehingga tidak terpusat
pada nasabah debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu.
Berkaitan dengan itu, menurut SK Bank Indonesia No.
31/177/KEP/DIR, yang dimaksud batas maksimum pemberian kredit
(legal lending limit) adalah persentase perbandingan batas maksimum
penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank.
Mengenai batas maksimum pemberian kredit tersebut, oleh Bank
Indonesia telah ditetapkan bahwa untuk peminjam atau kelompok
peminjam yang merupakan pijak terkait adalah 20% dari modal,
sedangkan untuk peminjam atau kelompok peminjam yang terkait
sebesar 10% dari modal.
Ditetapkannya ketentuan batas maksimum pemberian kredit, baik
dalam Undang-Undang Perbankan 1998 maupun peraturan
pelaksanaannya semata-mata bertujuan untuk memelihara kesehatan
bank dan meningkatkan daya tahan bank melalui penyebaran resiko
dalam bentuk penanaman kredit kepada berbagai nasabah peminjam.
Lebih dari itu, adanya ketentuan batas maksimum pemberian kredit
kepada peminjam atau kelompok peminjam tertentu saja.
Ketaatan bank dalam melaksanakan ketentuan batas maksimum
pemberian kredit juga merupakan wujud dari kehendak untuk
memelihara kesehatan bank dan wujud perlindungan terhadap
kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah penyimpan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

76

dana pada bank yang bersangkutan. Hal ini harus dilakukan untuk
mencegah timbulnya kerugian dari nasabah penyimpan dan
simpanannya yang ada pada bank. Mengingat, bahwa bank terutama
bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas
dasar kepercayaan, tentu setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya
dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.
b. Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba Rugi.
Kewajiban dari bank untuk mengumumkan neraca perhitungan laba
rugi diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Perbankan 1998. Bahwa
danya ketentuan yang mewajibkan bank untuk menyampaikan dan
mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi dapat memberikan
informasi pada masyarakat, terutama nasabah penyiman mengenai
tingkat kesehatan bank dan hal-hal lain yang terkait dengan bank
tersebut.
c. Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank.
Banyak alasan dan tujuan dilakukannya merger, akuisisi, dan
konsolidasi oleh pelaku usaha terhadap badan usaha bank yang
dimilikinya. Salah satunyang terpenting adalah untuk meningkatkan
efisiensi dan mempertinggi daya saing perusahaan.
Berkaitan dengan itu, menurut ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi bahwa
dalam pelaksanaan Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi harus
memperhatikan kepentingan semua pihak, yaitu kepentingan bank,
kepentingan kreditur, kepentingan penegang saham minoritas dan
karyawan bank, juga kepentingan rayat banyak, dan persaingan yang
sehat dalam melakukan usaha bank.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa dalam rangka
pelaksanaan merger, konsolidasi, dan akuisisi bank kepentingan dari

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77

nasabah enyimpan sebagai kreditur telah memperoleh perlindungan


hukum.
1) Perlindungan Langsung.
Perlindungan secara langsung oleh dunia perbankan terhadap kepentingan
nasabah penyimpan dana adalah suatu perlindungan yang diberikan
kepada nasabah penyimpan dana secara langsung terhadap kemungkinan
timbulnya resiko kerugian dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.
Mengenai perlindungan secara langsung ini dapat dikemukakan dalam dua
hal, yaitu:
a. Hak preferen adalah suatu hak yang diberikan kepada seorang kreditur
untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Dalam sistem perbankan
Indonesia, nasabah penyimpan merupakan kreditur yang mempunyai
hak preferen, dalam arti bahwa nasabah penyiman harus didahulukan
dalam menerima pembayaran dari bank yang sedang mengalami
kegagalan atau kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kewajiban-
kewajibannya.
b. Lembaga Asuransi Deposito
Jaminan perlindungan bagi nasabah penyimpan dana sehubungan
dengan dihentikannya kegiatan usaha sebuah bank adalah mutlak
diperlukan. Untuk memberikan perlindungan di kemudian hari bagi
kepentingan nasabah-nasabah penyimpan dari bank-bank yang
mengalami kegagalan, terutama para deposan yang dananya relatif
kecil, maka perlu diciptakan sistem asuransi deposito.
Misi lembaga asuransi deposito ini adalah memelihara stabilitas
dari sistem keuangan negara dengan cara mengasuransikan para
deposan bank dan mengurangi gangguan-gangguan terhadap
perkonomian nasional yang disebabkan kegagalan yang dialami oleh
perbankan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

Mengenai tujuan lembaga asuransi deposito, C. A. E. Goodhart


berpendapat sebagai berikut:
“In fact there are two quite distinct purposes. The first is to
allow an insured institution (a bank) to be closed by the authorities
with less social ha rdship and less consequential political fuss.
This can, it is widely t hought, be done by insuring all small
deposits 100%, and medium-sized deposits w ith some partial co-
insurance up to some limit, or cap. The second is to prevent
(politica lly-embarrassing) runs by depositors. This latter requires
both 100% deposit insurance, and a very rapid pay-out,
preferably next working day, to succeed.”166

Mengenai lembaga jaminan asuransi ini, sesungguhnya diatur


dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahu 1973 tentang Jaminan
Simpanan Uang pada Bank yang ditetapkan pada tanggal 22 Agustus
1973. Sejak ditetapkannya peraturan pemerintah ini, belum
dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Berkaitan dengan jaminan terhadap dana masyaraat yang bada
pada bank, dalam ketentuan Pasal 37 B Undang-Undang Perbankan
1998 dikemukakan, bahwa:
Pasal 37B ayat (1):
Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada
bank yang bersangkutan.
Dari ketentuan tersebut, jelaslah bahwa adanya suatu kewajiban bagi
bank untuk dana dari nasabah penyimpan. Ketentuan ini juga
memberikan suatu jaminan bagi nasabah penyimpan bahwa apabila
bank di mana ia menyimoan dananya mengalami kegagalan, maka
dananya tersebut pasti diterimanya kembali.
Berkaitan dengan itu, dalam ketentuan Pasal 37B ayat (2)
dikemukakan, bahwa:

166
C. A. E. GoodHart, The Regulatory Response to the Financial Crisis.,CESifo Working
Paper No. 2257. January, 2008.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

79

Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan ini diperlukan dalam
rangka melindungi kepentingan nasabah dan sekaligus meningkatkan
kepercayaan masyarakat kepada bank.
Dalam penyelenggaraan penjaminan simpanan dan masyarakat
pada bank, Lembaga Penjamin Simpanan dapat menggunakan:
a. Skim dana bersama.
b. Skim asuransi, atau
c. Skim lainnya yang disetujui oleh Bank Indonesia.
Terhadap perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, kajian dalam
penelitian tesis ini berfokus pada perlindungan secara langsung terhadap nasabah
penyimpan dana melalui lembaga asuransi deposito (deposit insurance) yang
memberikan penjaminan terhadap dana simpanan nasabah lembaga perbankan.

E. Penelitian yang Relevan.


Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah :
1. Analisis Hukum Lembaga Penjamin Simpanan dalam Upaya Perlindungan
Nasabah Bank. Muhammad Noordin. Tesis, Program Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara. 2005.
Penelitian di atas berfokus pada hubungan antara Lembaga Penjamin
Simpanan dengan Nasabah, tanggung jawab Lembaga Penjamin Simpanan
dengan bank dan nasabah bank, kewajiban bank agar mendapat perlindungan
dari Lembaga Penjamin Simpanan.
Hasil Penelitian :
a) Hubungan antara LPS, Bank, dan Nasabah terikat oleh perjanjian.
b) LPS memiliki 2 (dua) fungsi yaitu menjamin simpanan nasabah bank dan
melakukan penyelesaian atau penanganan terhadap bank gagal. LPS
bertanggungjawab dengan merumuskan kebijakan-kebijakan penjaminan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

80

dana simpanan, memberikan penjaminan terhadap dana simpanan


nasabah, dan melakukan penyelesaian terhadap bank gagal.
c) Untuk mendapatkan perlindungan dari Lembaga Penjamin Simpanan,
maka bank wajib melakukan perhitungan premi.
2. Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Pembubaran
Badan Hukum dan Likuidasi Bank yang Berbentuk Perusahaan Daerah
(Studi Kasus Pembubaran dan Likuidasi PD BPR Bungbulang, Garut).
Yudha Ramelan. Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. 2011.
Penelitian diatas berfokus pada kewenangan LPS dalam melakukan
pembubaran dan likuidasi bank yang berbentuk Perusahaan Daerah (PD)
serta benturan kewenangan antara UU No.7/2009 dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (selanjutnya disebut UU
No. 5/1962) dalam hal melaksanakan pembubaran dan likuidasi.
Hasil penelitian antara lain :
a) LPS berwenang melakukan pembubaran dan likuidasi bank yang
berbentuk Perusahaan Daerah.
b) Benturan kewenangan antara UU No.7/2009 dengan Undang-Undang
Perusahaan Daerah dalam hal penyelesaian pembubaran dan likuidasi
bank yang berbentuk Perusahaan Daerah sudah sepatutnya digunakan
asas lex specialis derogat lex generalis, dimana UU No.7/2009 berlaku
lex spesialis terhadap Perusahaan Daerah sehingga UU No.7/2009
diuatamakan kewenangannya.
3. Penyelesaian Kewajiban Bank terhadap Nasabah Penyimpan Dana pada
Bank Perkreditan Rakyat dalam Proses Likuidasi. I Komang Darmayasa.
Tesis, Program Maguster Hukum Universitas Udayana. 2011.
Penelitian diatas berfokus pada realissi pemenuhan hak-hak nasabah
penyimpan dana pada Bank Perkreditan Rakyat dalam proses likuidasi.
Hasil penelitian antara lain :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

81

1) Realisasi pemenuhan hak-hak nasabah penyimpan dana pada Bank


Perkreditan Rakyat dalam proses likuidasi dilakukan oleh dilaksanakan
oleh Tim Likuidasi bersama dengan Lembaga Penjamin Simpanan
melalui konsiliasi dan verifikasi dana nasabah untuk menentukan
simpanan layak bayar dan simpanan tidak layak bayar sesuai ketentuan
UU No.7/2009.
2) Penyelesaian kewajiban Bank Perkreditan Rakyat terhadap hak-hak
nasabah Penyimpan Dana yang tidak dapat terpenuhi dalam proses
likuidasi dapat dilakukan dengan meminta tanggungjawab pemegang
saham bank sampai dengan menyita seluruh harta pribadinya, bila
pemegang saham terbukti sebagai penyebab bank menjadi bank gagal.
Perbedaan penelitian ini dengan keempat penelitian diatas adalah
penelitian ini memfokuskan permasalahnnya kepada politik hukum dari
penjaminan dana simpanan nasabah lembaga perbankan sebagai kebijakan
dasar (basic policy) atau kebijakan pemberlakuan (enactment policy) serta
dilakukan perbandingan dengan penjaminan dana simpanan nasabah lembaga
perbankan yang ada di Amerika Serikat. Apabila dicermati, penelitian-
penelitian diatas berfokus pada peran dan tugas LPS dalam memberikan
penjaminan terhadap dana simpanan terutama pada saat suatu bank
dilikuidasi serta realisasi dari pemberian hak-hak dari nasabah penyimpan
oleh LPS.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

82

F. Kerangka Pemikiran.
Upaya Pemerintah
Membangun dan Menjaga
Kepercayaan Masyarakat
terhadap Lembaga
Perbankan

Perlindungan
terhadap Dana
Simpanan Nasabah

Politik Hukum
Penjaminan Dana
Simpanan Nasabah

Sebagai Sebagai
Kebijakan Kebijakan Kebijakan
Dasar Pemberlakuan Pemberlakuan dari
(Basic Policy) (Enactment Masa ke Masa
Policy) (Pemerintahan Presiden
Soekarno hingga
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono/
Teori sekarang)
Hukum Responsif

Gambar 4. Kerangka Pemikiran

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

83

Keterangan :
Kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional merupakan
aset berharga bagi sistem perbankan yang bersangkutan. Oleh karena itu
diperlukan suatu kebijakan yang mampu menjaga bahkan meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan. Sebagai contoh,
pengalaman krisis Moneter pada tahun 1997-1998 yang menyebabkan beberapa
lembaga perbankan dilikuidasi oleh Pemerintah Indonesia berdampak pada
ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga perbankan yang ada di Indonesia.
Akibatnya, Indonesia mengalami krisis perbankan yang ditandai dengan
menarikan secara besar-besaran dana simpanan masyarakat pada lembaga
perbankan di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk
menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan
adalah memberikan penjaminan dana simpanan nasabah pada suatu lembaga
perbankan.
Politik hukum penjaminan dana simpanan nasabah lembaga perbankan di
Indonesia oleh Penulis akan dipisah menjadi 2 (dua) yaitu sebagai kebijakan dasar
(basic policy) dan kebijakan pemberlakuan (enactment policy). Hal tersebut akan
Penulis analisa dengan menggunakan teori hukum Responsif untuk mengetahui
latar belakang, tujuan serta orientasi dari politik hukum penjaminan dana
simpanan nasabah di Indonesia.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai