Anda di halaman 1dari 51

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI
1. Teori Critical Legal Studies
Teori hukum murni adalah tentang hukum positif umum, bukan tentang
tatanan hukum khusus. Sebagai sebuah teori, terutama dimaksudkan untuk
mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya menjawab
pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana hukum itu ada, bukan bagaimana
hukum mestinnya ada. Teori Hukum Murni merupakan ilmu hukum
(yurisprudensi), bukan politik hukum.
Teori hukum murni ini disebut “murni” lantaran teori ini hanya
menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan objek penjelasannya dari
segala hal yang tidak ada sangkut-paut dengan hukum. Apa yang menjadi
tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing. Inilah
landasan metodelogis dari teori itu.1
Landasan teori yang digunakan dalam kajian adalah Critical Legal Sudies
(CLS) atau studi hukum kritis dari pelopornya, Roberto M. Unger, dan Teori
Utilitas atau kegunaan atau manfaat hukum Jeremy Bentham, Critical Legal
Studies dideklarasikan pada saat dilakukannya sebuah konferensi di Madison,
Amerikan Serikat pada tahun 1977. Critical Legal Studies masih sering disebut
sebagai suatu gerakan atau aliran.
Critical Legal Studies bersumber dari Teori Hukum Kritis (Critical Legal
Teories). Teori Hukum Kritis dilatarbelakangi oleh pemikiran kritis Karl Marx,
yang direinterpertasikan oleh Frankfurt School dengan pelopornya yaitu Max
Horkheimer, Theodore Adorno, dan Herbert Marcuse. Menurut Karl Marx, yang
paling menentukan dalam sejarah dunia bukanlah politik atau ideologi,
melainkan ekonomi,2 sehingga Karl Marx mengartikan masyarakat sebagai
keseluruhkan hubungan-hubungan ekonomi, baik produksi maupun konsumsi,

1
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung : Nusamedia, 2015), hal.1
2
F.X. Adji Sameko, Studi Hukum Kritis : Kritik Terhadap Hukum Modern, (Bandung : Citra Aditya
Bhakti, 2005), hal. 35

13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sehingga berasal dari kekuatan-kekuatan ekonomis yaitu teknik dan karya.3


Adapun teori besarnya dala utilitariunisme, yang intinya adalah bahwa
tiap perilaku sebenarnya diarahkan untuk kepentingan tertentu.4 pada waktu itu
segala macam hubungan, tatanan, dan norma-norma yang diberlakukan dalam
masyarakat feodal, sebenarnya tidak lebih daripada selubungan untuk menutupi
adanya eksploitasi kelas-kelas feodal tehadap kelas-kelas bawah.5 Maka dari itu,
muncullah Frankfurt School untuk mengkritik ilmu pengetahuan atau teori-teori
yang hanya bertujuan memperkuat kedudukan penguasa, termasuk pola
konsumtif negara-negara kapitalis,
Adorno dan Horkheimer yang menyusun Teori Dialect Ofenlightment
(dialektika pencerahan), telah berhasil membebaskan manusia dari belenggu
mitor dan teologi, namun menimbulkan penindasan baru yaitu motos scientjjic
dan mitos positivic.6 Perkembangan rasionalitas tidak mengabdi pada
pertimbangan praktis moral, tetapi pada dominasi rasio instrumental.
Keunggulan rasional dugunakan untuk menindas pihak lain. Rasio Instrumental
diartikan sebagai rasio yang melihat atayu mengartikan realitas sebagai potensi
untuk dimanipulasi, dikuasai, dan ditundukan secara total.
Menurur Marcuse, rasio instrumental tidak akan membawa masyarakat
menjadai rasional, tetapi hanya menyembunyikan sifat irasional manusia, yaitu
kepentingan untuk berkuasa, yang melahirkan komunismen, nasiisme, dan
kapitalisme.7
Critical Legal Studies atau Studi Hukum Kritis mengajukan kritik
utamanya terhadap formalisme dan objektivisme.8Critical Legal Studies berakar
pada legal realism, sebagai salah satu aliran yang muncul dalam teori hukum.9
Ajaran Legal Realism menentukan teori-teori hukum yang pada waktu itu telah
diterima kebenarannya bahwa melalui analisis hukum dan prinsip-prinsip hukum
yang termuat di dalam judicial opinion, yang dalam hal ini hakim tidak memihak

3
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1982), hal. 112
4
F.X. Adji Sameko, op. cit., hal. 36.
5
Ibid.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Ibid.

14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(dispassionately), bebas dari bias politik dan penilaian pribadi. Legal Realism
mendorong untuk melihat hukum dalam kontek sosial.
Legal Realism bermaksud menentang ajaran hukum yang telah dianggap
paling benar yaitu ajaran sangat mengedepankan peran hukum positif, tanpa
memperhatikan realitas yang ada.10 Menurut Soetandyo Wigjosoebroto, legal
realism bukan mengabaikan sifat kajian-kajian hukum doktrinal, melainkan
bermaksud menegaskan bahwa di dalam setiap penciptaan hukum in concreto
selalu terjadi judgements, yaitu infitrasi pertimbangan yang bersifat extralegal.11
Jadi, dasar pijakan legal realism tetap pada norma atau hukum positif, tetapi
harus dikembangkan dengan menyertakan extralegal, yaitu fakta sosial atau
pengalaman hiduo sebagai masukan. Hukum tidak hanya sekedar sarana kontrol
sosial tetapi juga sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering).
Aliran Critical Legal Studies mengkritik aliran-aliran hukum yang
diyakini oleh sebagian besar ahli hukum sebagai aliran modern. Critical Legal
Studies memandang hukum sebagai bagian dari masyarakat, dan didalam hukum
terdapat kekuatan yang nyata serta kepentingan-kepentiangan yang dominan di
satu sisi dan aspirasi keadilan serta legitimasi disisi lain.12Critical Legal Studies
mengecam aliran liberalisme dan pluralisme hukum.13
Critical Legal Studies merupakan arus pemikiran hukum dikarangan ahli
hukum Amerika yang tidak puasa dan menentang paradigma liberal yang sudah
mapan dalam studi-studi hukum atau jurisprudence.14Critical Legal Studies lahir
sebagai akibat dari ketidakberdayaan hukum untuk menyelesaikan masalah
hukum dan masalah sosial saat itu di Amerikan Serikat. Critical Legal Studies
dipersatukan oleh ketidakpuasan terhadap tradisi pemikiran hukum liberal
(liberal legal thought) yang saat itu dominan, dan hanya sedikit dapat digunakan
untuk menjawab masalah-masalah keresahan sosial dan politik yang terjadi di

10
F.X. Adji Sameko, Justice Not Fot All : Kritik Terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum
Kritis, (Yogyakarta : Genta Pers, 2008), hal. 96.
11
Ibid.
12
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 9.
13
Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005) hal. 103
14
H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka
kembali, (Bandung : Refika Aditama, 2009), hal. 124

15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Amerika pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an.15


Aliran Critical Legal Studies merupakan paradoks terhadap
perkembangan teori dan praktik hukum, yang dalam hal ini teori hukum
memfasilitasi eksploitasi dan diskriminasi terhadap sesama manusia. Dan
ternyata Critical Legal Studies lebih bergema dan berpengaruh serta menguasai
perkembangan hukum pada abad ke-21. Keresahan sosial di Amerikan serikat
pada waktu itu dipicu akibat perang Vietnam, adanya diskriminasi ras dan
gender, pengangguran, ketidakadilan, kemiskinan dan penindasan. Keresahan-
keresahan sosial yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan doktrin-doktrin
hukum liberal yang ada saat itu sehingga harus melihat kepada interaksi riil dan
realistis dibidang kehidupan masyarakat tempat doktrin itu berlaku, termasuk
teori sosial yang dapat dipercaya.16
Ketidakadilan dan ketidakpastian penerapan hukum saat itu sangat
dirasakan oleh masyarakat. Banyak putusan pengadilan meskipun sudah
mempertimbangkan berbagai teori, kaidah, dalil dan argumentasi hukum, telah
menghasilkan putusan bukan saja tidak adil, melainkan aneh, naif dan
bertentangan dengan kaidah-kaidah commonsense sama sekali.17 Critical Legal
Studies mengkaji hukum dan ukuran-ukuran yang dipergunakan oleh hukum itu
sendiri, sejauh mana di belakang bentuk yuridis yang universal tersembunyi isi
yang khas, yang ditentukan oleh perbandingan kekuatan (power realitionship)
dan struktur kepentingan.
Critical Legal Studies juga mengkritik paham hukum modern yang
formalisme dan objektivisme. Formalisme merupakan suatu instrumen atau
metode pembenaran hukum yang berbeda dengan pertikaian yang tidak ada
ujungnya menyangkut pengertian-pengertian dasar dalam kehidupan sosial,
konflik-konflik ideologis, filosofis atau visioner. Formalitas meyakini
impersonalitas (keobjektifan) tujuan-tujuan, kebijakan-kebijakan, dan kaidah-
kaidah hukum sebagai komponen yang tak terhindarkan dan pemikiran hukum.

15
Ifdhal Kasim, “Berkenalan dengan Critical Legal Studies” dalam Roberto Mangabeira Unger, The
Critical Legal Studies Movement, (Elsem, 1999), hal. XI
16
Ibid., hal. xx
17
Munir Fuady, op. cit., hal. 107

16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Undang-Undang mungkin berlaku karena telah dibuat sesuai dengan prosedur-


prosedur yang sah. Pembuatan Undang-Undang memungkinkan semua
kelompok yang berkepentingan terwakili dan bersaing untuk mendapatkan
pengaruh guna diperhitungkan secara setara dalam memilih hukum yang akan
mengaturnya. Di sisi lain, objektivisme adalah keyakinan bahwa materi-materi
hukum yang otoritatif seperti UU, Preseden, dan gagasan hukum yang sudah
mapan, menambahkan dam mempertahankan pola hubungan yang dapat
dipertahankan.
Formalisme dan objektivisme inilah yang paling ditentang oleh Critical
Legas Studie. Selanjutnya, Roberto M. Unger mengatakan sebagai berikut :
Critical Legal Studies menganggap bahwa pandangan yang memisahkan hukum
dengan politik dan hukum akan diterapkan secara adil di pengadilan hanyalah
mitos dan merupakan prinsip hukum yang memiliki dasar yang objektif, sesuatu
yang tidak berpijak pada kebenaran, tetapi pada kekuasaan. Dengan kata lain
hukum hanya merupakan alat kekuasaan penguasa.
Ukuran bagi hukum bukan benar atau salah, bermoral atau tidak
bermoral, melainkan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok
masyarakat yang paling berkuasa. Hukum harus ditafsirkan, tetapi nyatanya akan
ditafsirkan menurut keinginan yang menafsirkan, dan penafsir hukum tersebut
selalu mempunyai perasaan dan kepentingan sendiri. Dengan demikian, yang
namanya keadilan hanya semboyan yang retorik yang digunakan oleh kelompok
mayoritas untuk menjelaskan apa yang mereka inginkan. Keinginan pihak
minoritas tidak pernah menjadi basis penafsiran hukum dan menjadi bulan-
bulanan dari hukum. Jadi, Critical Legal Studies memandang hukum tidak
netral, tidak objektif, tidak berdasarkan kebenaran dan keadilan, serta sangan
dipengaruhi oleh kekuasaan.
Paham formalisme mengajarkan bahawa asas hukum, kebijaksanaan, dan
tujuan hukum bersifat objektif/impersonal yang merupakan unsur dan penalaran
hukum (legal reasoning). Adapun paham onjektif percaya bahwa materi hukum
yang otoritatif (seperti Undang-Undang, Preseden, dan cita hukum) membentuk
dan mempertahankan bentuk-bentuk defensive dalam kelompok masyarakat.

17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kekecewaan terhap hukum modern di Amerika Serikatyang terlalu berkutat pada


formalisme, objektivisme, prosedural merupakan penyebab munculnya gerakan
Critical Legal Studies, yang menggugat agar hukum dapat dikembalikan pada
akar moralitas dan religiusnya.18 Dengan demikian, Critical Legal Studies
bermaksud untuk mengurangi kesewenang-wenangan penguasa dan karut-
marutnya hukum sekaligus meindungi hak-hak asasi manusia. Critical Legal
Studies hendak mendobrak formalisme hukum, karena formalisme hukum
memiliki pokok-pokok pemikiran sebagai mana berikut :
a. Hukum formal dapat mencapai tujuan yang sama dengan tujuan
hukum subtamtif
b. Hukum dibuat oleh negara sehingga damalam hukum terkandung
makna imperatif
c. Hukum merupakan suatu produk ilmu yang rasional dan ilmiah, yang
tersusun secara logis, koheren, dan sitematis.19
Menurut Critical Legal Studies bahwa hakim bukan hanya menerapkan
dan menafsirkan hukum, melainkan juga membuat atau membentuk hukum, dan
dalam pembuatan hukum tersebut hakim sangat dipengaruhi oleh pertimbangan
politik, perasaan, dan kepentingan. Critical Legal Studies yang timbul dari alira
kiri dalam pemikiran dan praktik hukum modern mengkritik formalisme dan
objektivisme.20
Penerapan hukum mempunyaisuatu unsur kreatif, sedangkan
objektivisme memercayai materi-materi hukum yang otoritatif, mempertahankan
pola hubungan manusia yang dapat dilestarikan. Faham formalisme hukum
menganggap hukum sebagai suatu aturan yang logis, koheren, dan sistematis
karena hukum merupakan suatu produk dan suatu ilmu, dalam hal ini putusan-
outusan hukum disusun secara deduksi dan suatu reasoning yang formal dan
hukum. Karena itu, para penganut formalisme hukum berkeyakinan bahwa
terdapat keterpisahan antara putusan-putusan hukum dan putusan politik, yang

18
Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum : Rampai Kolom & Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum,
(Jakarta : Kencana, 2008), hal. 139.
19
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 111
20
Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement, terjemahan Ifdal Kasim, (Elsam :
Jakarta, 1999), hal. xxv

18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sangat ditentang oleh Critical Legal Studies.21


Aliran Critical Legal Studies memiliki beberapa karakteristik yang
umum sebagai berikut :
a. Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku
yang nyatanya memihak ke politik, dan sama sekali tidak netral.
b. Ajaran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang saratdan
dominan dengan ideologi.
c. Aliran Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen yang besar
terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu.
Karena itu, aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi
kemanusiaan.
d. Jaran Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentuk-bentuk
kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif.
Karena itu, ajaran Critical Legal Studies ini menolak keras ajaran-
ajaran dalam aliran positivisme hukum.
Aliran Critical Legal Studies menolak perbedaan teori dan praktik serta
antara fakta (fact) dan nilai (value), yang merupakan karakteristik dan paham
liberal. Dengan demikian, aliran Critical Legal Studies menolak kemungkinan
teori murni (pure theory), tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki
daya pengaruh terhadap transformasi sosial praktis.22
Critical Legal Studies adalah teori yang berisikan penentangan terhadap
norma-norma dan standar-standar di dalam teori dan praktik hukum. Dalam
Critical Legal Studies, logika-logika dan struktur hukum muncul sebagai power
relationships dalam masyarakat.23 Keberadaan hukum bertujuan mendukung
kepentingan-kepentingan masyarakat atau kelas masyarakat yang mendukung
pembentukan hukum atau pemerintah. Kerangka pemikiran (asumsi) sebagai
instrumen atau alat untuk melakukan penekanan-penekanan kepada masyarakat
guna mempertahankan kedudukannya. Oleh karena itu, hukum diperlukan
sekedar sebagai a collection beliers, ialah seperangkat keyakinan yang

21
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 115.
22
Munir Fuady, Hukum jaminan Hutang, (Erlangga : Jakarta, 2013), hal. 5-6.
23
F.X. Adji Sameko, Op. Cit., hal.. 57.

19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

digunakan sebagai alat pengendali sosial.24


Menurut Antonio Gramsci, pada masyarakat kapitalis, beliefs telah
diterima sebagai common sense dan dianggao sebagai bagian dan natural
order.25 Dengan demikian, ide dasar dari Critical Legal Studies adalah
pemikiran bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari politik, tidak netral, dan
tidak bebas nilai, mulai dari perbuatan hingga berlakunya hukum selalu
mengandung pemihakan-pemihakan. Penganut Critical Legal Studies bermaksud
membongkar dan melawan struktur-struktur hierarkis dalam masyarakat yang
tercipta karena adanya dominasi yang kuat terdapat yang lemah dengan
menggunakan sarana hukum. Dominasi dilegitimasi melalui reifikasi dan
hegemoni.
Menurut Milovanovic, reifikasi adalah suatu proses ketika masyarakat
secara sadar atau tidak ikut memperkuat dominasi yang berkuasa. 26 Hukum
dianggap sebagai suatu yang benar dan dianggap alami walaupun sebenarnya
justru menciptakan ketidakseimbangan sehingga charles Stamford mengatakan
bahwa basis sosial hukum sebenarnya penuh dengan hubungan-hubungan yang
bersifat tidak seimbang. Karena itu, apa yang tampak di permukaan teratur,
tertib, jelas dan pasti sebenarnya adalah ketikdakteraturan (disorder).27
Selanjutnya, milovanovic mengatakan bahwa hegemoni adalah suatu
proses ketika kelompok elit dalam masyarakat dapat memerintah (mengatur)
melalui persetujuan dari mereka yang ditekan. Untuk menjaga eksistensi
hegemoni, the rulingelites akan menciptakan a system of beliefs sedemikian rupa
sehingga dapat diterima sebagai the natural order oleh mereka yang berada
pada kedudukan subordinated.28 Menurut Calvin Woodward tujuan utama dari
Critical Legal Studies adalah untuk menghilangkan halangan yang berasal dari
struktur sosial dan kelas dalam masyarakat, memberdayakan diri untuk
memahami keberadaannya serta bebas untuk mengekpresikan pedapatnya.29

24
Ibid.
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
F.X. Adji Sameko B, Op.Cit., hal. 93.
29
Ibid.

20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Disamping menolak anggapan bahwa hukum itu bersifat objektif, sudah


tertentu, netral dan otonom, para penganut ajaran Critical Legal Studies juga
mengajukan pandangannya sebagai berikut :
a. Hukum mencari legitimasi yang salah.
Hukum mencari legitimasi dengan cara yang salah yaitu dengan jalan
mistifikasi, dengan menggunkan prosedur hukum yang berbelit,
bahasa yang tidak gampang dipahami; hal mana merupakan alat
pemikat sehingga pihak yang ditekan oleh yang punya kuasa cepat
percaya bahwa hukum adalah netral.
b. Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi
Dalam hal ini, pihak penganut Critical Legal Studies percaya bahwa
setiap kesimpulan hukum yang telah dibuat selalu terdapat sisi
sebaliknya sehingga kesimpulan hukum tersebut hanya merupakan
pengakuan terhadap pihak kekuasaan, dengan hukum yang demikian,
mereka akan berseru “pilih sisi/pihakmu, tetapi jangan pura-pura
menjadi objektif”.
c. Tidak adanya yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum.
Ahli hukum tradisional percaya bahwa prinsip yang mendasari setiap
hukum adalah “pemikiran yang rasional”. Akan tetapi, menurut
Critical Legal Studies, pemikiran rasional itu merupakan ciptaan
masyarakat yang juga merupakan pengakuan terhadap kekuasaan.
Karena itu, tidak ada kesimpulan hukum yang valid, baik yang
diambil dengan jalan deduktif maupun verifikasi empiris.
d. Hukum tidak netral.
Para pengikut Critical Legal Studies berpendapat bahwa hukum tidak
netral, dan hakim hanya berpura-pura atau percaya secara naif bahwa
dia mengambil putusan yang netral dan tidak memihak dengan
mendasari putusan Undang-Undang, yurisprudensi atau prinsip-
prinsip keadilan. Padahal, mereka selalu bias dan selalu dipengaruhi
oleh ideologi, legitimasi dan mistifikasi yang dianutnya untuk
memperkuat kelas yang dominan.

21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Munir Fuady mengatakan bahwa melihat karakter dari aliran hukum


kritis, dalam kenyataannya aliran ini sudah hampir merata diterima diseluruh
dunia, memiliki watak universal, artinya dapat diberlakukan dimana-mana.30
Dalam perkembangannya Critical Legal Studies telah memunculkan
generasi kedua yaitu Critical Race Theory. Feminist Critical Theory, dan radical
Criminology, bahkan dianggap sudah melahirkan suatu paham baru yang disebut
Critical Yurisprudence. Namun, dalam karya tulis ini Critical Legal Studies
generasi kedua tidak dibicarakan dikarenakan tidak digunakan untuk landasan
teori.
Penggunaan Teori Critical Legal Studies dalam kajian ini guna
memberikan masukan dan maksud yang baik agar menghasilkan Undang-
Undang yang terbaik dan terbaru. Dengan demikian tidak terjadi karut-marut
hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap para pihak dalam
pelaksanaan lelang dan eksekusi jaminan kredit, serta dapat mengurangi dan
menghapus perbedaan teori dan praktik sehingga terciptanya perlindungan
hukum yang seimbang diantara para pihak, yang dalam hal ini kreditur
mendapatkan pelunasan piutangnya didahulukan, debitur dapat melunasi utang
dengan penjualan objek jaminan.
2. Teori Utility
Teori Utility dari Jeremy Bentham dan ajarannya disebut dengan
utilitarianisme. Teori ini diajukan oleh Jeremy Bentham sebagai kritik terhadap
formalisme yang terlepas dari kenyataan dalam masyarakat. Teori ini merupakan
salah satu teori yang membahas tujuan hukum. Pemikir Yunani yang pertama
membicarakan tentang tujuan hukum adalah Aristoteles dengan konsep zoon
politicon-nya, dan mengatakan bahwa merupakan sarana yang tepat dan dapat
digunakan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, yang merupakan tujuan
utama dari negera.31 Namun Aristoteles juga menyadari bahwa dalam
pelaksanaan hukum mungkin saja terjadi untuk kasus-kasus konkret kesulitan
akibat penerapan hukum yang kaku, dan untuk mengatasi hal tersebut dapat

30
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 171-172
31
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 107.

22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dilakukan melalui equity, ialah koreksi terhadap hukum apabila hukum itu
kurang tepat karena hukum itu bersifat umum.
Konsep Aristoteles ini kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquinas,
yang mengatakan bahwa secara ideal hukum terpancar dari kekuasaan untuk
memerintah guna kebaikan bersama.32 Tugas hukum yang baik tertulis didalam
hati dan kehendak rakyat, karena manusia merupakan makhluk rasional.
Menurut Teori Utility dari Jeremy Bentham (174-1832) bahwa hukum
bertujuan memberikan kebahagiaan terbesar untuk sebagaimana besar orang (the
greatest happiness for the greatest numbers).33 Hukum semata-mata
menghendaki hal yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna, hukum
ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah manusia yang terbesar
(utilitarisme).34Teori Utilitarianisme ini dikembangkan dengan prinsip bahwa
manusia yang melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang
sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.35 Rumusan yang bersamaan juga
diberikan oleh E. Utrecht bahwa menurut Jeremy Bentham hukum bertujuan
mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang, hukum bertujuan
menjamin adanya bahagia sebanyak banyaknya pada orang sebanyak-
banyaknya.36
Teori Utility atau Utilitarianisme dipilih dalam menganalisa
permasalahan didalam kajian ini disebabkan pelaksanaan lelang atau eksekusi
jaminan kredit adalah dimaksudkan untuk memenuhi kebahagiaan dan manfaat
yang sebesar-besarnya sebagai perwujudan perlindungan hukum bagi para pihak.
Alam telah menempatkan manusia dibawah perintah dua tuan yang
berkuasa, yaitu kesenangan dan sengsara.37 Utilitarianisme percaya bahwa yang
baik dan yang jahat bagi masyarakat harus diukur deangan faedah tindakan
dalam membantu tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan bagi sebagian

32
Ibid.
33
Ibid.
34
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de studie van het Nederlands recht),
terjemahan Oetarid Sadino, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1990), hal. 16
35
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung : Alumni, 1983), hal.
36
E. Utrecht, Pengantar dala Hukum Indonesia, (Jakarta : Penerbitan dan Balai Bukum “ichtiar”, 1964),
hal 27
37
Peter mahmud Marzuki, Loc. Cit, hal 120

23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terbesar anggota masyarakat. Hukum yang efisien dan efektif adalah hukum
yang bisa mencapai visi dan misinya, yaitu memberikan kebahagiaan terbesar
kepada jumlah warga yang banyak.
Dengan demikian, kesenangan (kebahagiaan) dan kesengsaraan
(penderitaan) dijadikan sebagai alat ukur untuk menentukan suatu perbuatan itu
baik atau tidak baik untuk perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Perbuatan yang mendatangkan kesenangan atau kebahagiaan dianggap sebagai
perbuatan yang baik dan sesuai dengan hukum, sedangkan perbuatan yang
menimbulkan kesengsaraan dipandang sebagai perbuatan yang dilarang dan
bersifat melanggar hukum (jahat). Hukum itu dilihat dari segi empirisnya,
bermanfaat atau tidak. Jadi prinsip dasar dalam pembuatan hukum (Undang-
Undang) adalah kemanfaatan (utility). Hukum harus melarang perbuatan-
perbuatan yang menimbulkan kesengsaraan. Bagi Indonesia, kelahiran hukum
modern yang liberal, rasional, dam formal bukan akhir dari segalanya, melainkan
merupakan alat untuk merai tujuan yang lebih jauh yaitu kebahagiaan dan
kesejahteraan.
Beberapa prinsip dasar pemikiran teori Utilitas dari jeremy Bentham
adalah sebagai berikut :
a. Alam telah menempatkan manusia dibawah perintah dua tuan yang
berkuasa yaitu kesenangan dan sengsara.
b. Utility adalah prinsip-prinsip yang menyetujui atau menolak setiap
tindakan apapun yang tampak memperbesar atau mengurangi
kebahagiaan pihak berkepentingan yang terpengaruh oleh tindakan
itu.
c. Tugas pemerintah adalah meningkatkan kebahagiaan masyarakat
dengan memperbesar kesenangan yang dapat dinikmati masyarakat
dan memungkinkan terciptanya keamanan dengan mengurangi
penderitaan.
d. Alat untuk menentukan suatu perbuatan benar atau salah adalah
kebahagiaan terbesar untuk sebagian besar orang.
e. Apabila individu-individu yang membentuk masyarakat bahagia dan

24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bersuka cita, keseluruhan negara akan menikmati kebahagiaan dan


kemakmuran
f. Apa yang menjadi landasan bagi Undang-Undang adalah utility
g. Hukum ditujukan untuk meningkatkan kebahagiaan masyarakat
secara keseluruhan dengan cara melarang perbuatan yang
mendatangkan sengsara.
3. Teori Kebebasan Berkontrak
Prinsip bahwa orang terikat pada persetujuan-persetujuan
mengasumsikan adanya suatu kebebasan tertentu di dalam masyarakat untuk
dapat turut serta didalam lalu lintas yuridis dan hal ini mengimplikasikan pula
prinsip kebebasan berkontrak. Bilamana antara para pihak telah diadakan sebuah
persetujuan maka diakui bahwa ada kebebasan kehendak diantara para pihak
tersebut. Bahkan di dalam kebebasan kehendak ini diasumsikan adanya suatu
kesetaraan minimal. Pada intinya suatu kesetaraan ekonomis antara para pihak
sering tidak ada dan jika kesetaraan antara para pihak tidak ada, maka
nampaknya tidak pula ada kebebasan untuk mengadakan kontrak.
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting
didalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini adalah perwujudan dari
kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.
Kepentingan umum masyarakat menuntut dan menetapkan pula
pembatasan kebebasan untuk mengadakan sebuah kontrak. Bahwa adanya
kebebasan untuk mencapai tentang apa dan dengan siapa kita ingin
melakukannya adalah sangan penting. Prinsip kebebasan berkontrak disebut
sebagai bagian dari hak asasi manusia. Kebebasan berkontrak adalah begitu
esensial, baik bagi individu untuk mengembangkan diri di dalam kehidupan
pribadi dan didalam lalu lintas kemasyarakatan serta untuk mengindahkan
kepentingan-kepentingan harta kekayaannya, maupun bagi masyarakat sebagai
suatu kesatuan, sehingga hal-hal tersebut oleh beberapa penulis dianggap sebagai
suatu dasar.
Maine memandang bahwa kebebasan berkontrak adalah suatu aspek

25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hukum esensial dari kebebasan individu.38


Hugo Grotius, seorang tokoh terkemuka dari aliran hukum alam,
mengatakan bahwa hak untuk membuat perjanjian adalah salah satu dari hak
asasi manusia. Dikemukakannya bahwa ada suatu supreme body of law yang
dilandasi oleh nalar manusia (human reason) yang disebut sebagai hukum alam
(natural law). Ia beranggapan bahwa suatu kontrak adalah suatu tindakan
sukarela dari seseorang yang ia menjanjikan suatu kepada orang lain dengan
maksud bahwa orang lain itu akan menerimanya. Kontrak tersebut adalah lebih
dari sekedap janji, karena suatu janji tidak memberikan hak kepada pihak yang
lain atas pelaksanaan janji itu.39 Pendekatan hukum alam melandasi asas
kebebasan berkontrak, yang ide dasarnya ialah bahwa setiap individu dapat
membuat perjanjian dalam arti seluas luasnya, tanpa campur tangan dari pihak
luar.
Pelopor dari asas kebebasan berkontrak adalah Thomas Hobbes,
menyatakan bahwa kebebasan berkontrak merupakan bagian dari kebebasan
manusia. Menurut hobes kebebasan hanya dimungkinkan apabila orang dapat
dengan bebas bertindak sesuai dengan hukum.40 Konsep ini didukung pula oleh
John Stuar Mill yang menggunakan konsep kebebasan berkontrak melalui dua
asas.41
Asas yang pertama mengatakan bahwa “hukum tidak dapat membatasi
syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak”. Artinya bahwa hukum
tidak boleh membatasi apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang telah
mengadakan suatu perjanjian. Asas umum yang pertama ini menegaskan bahwa
para pihak bebas untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang akan dibuat.
Asas umum kedua mengemukakan bahwa “pada umumnya seorang
menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian”. Asas
umum yang kedua menegaskan bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan

38
Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Hukum dan Masalah-Masalah Kontemporer, (Jakarta : Rajawali
Pers, 1990), hal. 47
39
Johannes Ibrahim Kosasi, Hassanain Kaykal, Kasus Hukum Notaris Di Bidang Perbankan,(Jakarta
Timur : Sinar Grafika, 2021), hal. 25
40
Ibid.
41
Ibid

26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia berkenginan untuk tidak
berkeinginan membuat suatu perjanjian.
Konsep lain datang dari Bentham, yang merupakan penganut paham
utilitarisme. Menurut Bentham, ukuran yang menjadi patokan sehubungan
dengan kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap orang dapat bertindak bebas
tanpa dapat dihalangi hanya karena memiliki bargaining position atau posisi
tawar untuk dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhanya.42 Juga tidak
seorang pun sebagai satu pihak dalam suatu perjanjian dapat bertindak bebas
memenuhi hal tersebut, asal saja pihak yang lain dapat menyetujui syarat-syarat
perjanjian itu sebagai hal yang patut diterima. Dikatakan pula bahwa secara
umum tidak seorang pun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepetingan
dirinya kecuali dirinya sendiri.
Jadi pada prinsipnya kebebasan berkontrak berarti para pihak boleh
membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentang dengan Peraturan perundang-
undangan, Kesusilaan, dan Ketertiban umum. Pada pasal 1338 ayat (1) alenia ke-
1KUH Perdata menegaskan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”(pacta sunt
servanda).
Ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut perjanjian di
Indonesia adalah sebagai berikut :
a) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian
b) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian
c) Kebebasan untuk menentukan atau memilih klausula perjanjian
yang akan dibuatnya
d) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian
e) Kebebasan menentukan bentuk suatu perjanjian
f) Kebebasan untuk menerima/menyimpan ketentuan Undang-

42
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak
dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 44.

27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Undang yang bersifat opsional (aanvulend, optional).43


4. Teori Kapstian Hukum
Didalam hukum kontrak terdapat suatu prinsip bahwa perjanjian yang
dibuat dengan itikat baik mengikat para pembuatnya sebagaimana undang-
undang. Apabila hal ini dikesampingkan oleh pengadilan berarti pengadilan
tersebut telah menyimpangi sesuatu yang telah disepakati oleh para pihak
sehingga mengancam kepastian hukum demikian pula halnya dengan
penyimpangan tersebut aturan yang dibuat oleh mereka yang berwenang
membuat aturan menyebabkan adanya ketidak pastian hukum.
Merupakan suatu kenyataan bahwa dalam hidup bermasyarakat
diperlukan aturan-aturan yang bersifat umum. Betapapun setiap kepentingan
yang ada didalam masyarakat dipertimbangkan untuk dituangkan didalam aturan
yang bersifat umum agar kepentingan-kepentingan itu dilindungi dan
sedemokratis apa pun kehidupan bernegara dan dan bermasyarakat suatu bangsa,
tidaklah mungkin aturan-aturan itu dapat mengakomodasi semua kepentingan
tersebut begitupula dalam kehidupan nyata kasus-kasus yang unik jarang terjadi.
Yang terjadi adalah masalah-masalah umum yang timbul dari adanya
kepentingan yang harus dilayani. Hal itupun perlu dituangkan didalam aturan
yang bersifat umum juga. Pada masyarakat modern aturan yang bersifat umum
tempat dituangkannya perlindungan kepentingan-kepentingan itu adalah undang-
undang.
Dengan demikian kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu :44
Pertama, Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
Kedua, Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenang-
wenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
negara terhapap individu.
Oleh Roscoe Pound dikatakan bahwa adanya kepastian hukum

43
Sutan Remy Syahdeini, 1993, Op. Cit., hal. 47
44
Petter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group), 2008,
hal.158

28
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memungkinkan adanya “predctability”. Apa yang dikemukanan oleh Pound ini


oleh Van Apeldoorn dianggap sejalan dengan apa yang diketengahkan oleh
Oliver Wendell Holmes dengan pandangan realismenya. Holmes mengatakan
“The prophecies of what the Courts will do in fact and noting more pretentious
are what I mean by law”.45 Oleh Van Apeldoorn dikatakan bahwa pandangan
tersebut kurang tepat karena pada kenyataannya hakim juga dapat memberi
putusan yang lain dari apa yang diduga oleh pencari hukum
Akan tetapi pendapat Van Apeldoorn atas pandangan yang dikemukakan
oleh homes juga mempunyai kelemahan. Memang benar hakim mempunyai
kebebasan untuk menafsirkan peraturan hukum, memiliki diskresi bahkan
bilamana perlu membuat hukum. Namun demikinan adanya peraturan untuk
masalah-masalah yang konkret dapatlah dijadikan acuan dalam penyelesaian
perkara yang dihadapi kepadanya. Bahkan putusan hakim yang dibuat bukan atas
dasar peraturan, melainkan atas dasar nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat dapat dijadikan landasan bagi hakim berikutnya dalam menghadapi
kasus-kasus serupa.
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang
melainkan juga adanya konsitensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu
dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum
secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil
karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar.
Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat
menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya
bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.46
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, teori kepastian hukum
merupakan salah satu dari tujuan hukum dan dapat dikatakan bahwa kepastian
hukum merupakan bagian dari upaya untuk dapat mewujudkan keadilan.
Kepastian hukum sendiri memiliki bentuk nyata yaitu pelaksanaan maupun

45
Ibid, hal.158
46
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta : Laksbang
Pressindo, 2010), hlm. 59

29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penegakan hukum terhadap suatu tindakan yang tidak memandang siapa individu
yang melakukan. Melalui kepastian hukum, setiap orang mampu memperkirakan
apa yang akan ia alami apabila ia melakukan suatu tindakan hukum tertentu.
Kepastian hukum pun diperlukan guna mewujudkan prinsip-prinsip dari
persamaan dihadapan hukum tanpa adanya diskriminasi. Dari kata kepastian,
memiliki makna yang erat dengan asas kebenaran. Artinya, kata kepastian dalam
kepastian hukum merupakan suatu hal yang secara ketat dapat disilogismekan
dengan cara legal formal. Dengan kepastian hukum, maka akan menjamin
seseorang dapat melakukan suatu perilaku yang sesuai dengan ketentuan dalam
hukum yang berlaku dan begitu pula sebaliknya. Tanpa adanya kepastian
hukum, maka seorang individu tidak dapat memiliki suatu ketentuan baku untuk
menjalankan suatu perilaku. Sejalan dengan tujuan tersebut, Gustav Radbruch
pun menjelaskan bahwa kepastian hukum merupakan salah satu tujuan dari
hukum itu sendiri.
Gustav Radbruch menjelaskan, bahwa dalam teori kepastian hukum yang
ia kemukakan ada empat hal mendasar yang memiliki hubungan erat dengan
makna dari kepastian hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut :47

1. Hukum merupakan hal positif yang memiliki arti bahwa hukum positif
ialah perundang-undangan.
2. Hukum didasarkan pada sebuah fakta, artinya hukum itu dibuat
berdasarkan pada kenyataan.
3. Fakta yang termaktub atau tercantum dalam hukum harus dirumuskan
dengan cara yang jelas, sehingga akan menghindari kekeliruan dalam hal
pemaknaan atau penafsiran serta dapat mudah dilaksanakan.
4. Hukum yang positif tidak boleh mudah diubah.

Pendapat Gustav Radbruch mengenai kepastian hukum tersebut,


didasarkan pada pandangannya mengenai kepastian hukum yang berarti adalah
kepastian hukum itu sendiri. Gustav Radbruch mengemukakan, bahwa kepastian
hukum adalah salah satu produk dari hukum atau lebih khususnya lagi
merupakan produk dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapat dari Gustav
Radbruch mengenai kepastian hukum, hukum merupakan hal positif yang

47
https://www.gramedia.com/literasi/teori-kepastian-hukum/, diakses Pada Hari Minggu Tanggal 10 Juli
2021 Pukul 15:36 WIB

30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mampu mengatur kepentingan setiap manusia yang ada dalam masyarakat dan
harus selalu ditaati meskipun, hukum positif tersebut dinilai kurang adil. Lebih
lanjut, kepastian hukum merupakan keadaan yang pasti, ketentuan maupun
ketetapan.Secara hakiki hukum haruslah bersifat pasti dan adil. Maksudnya,
hukum yang pasti adalah sebagai pedoman kelakukan serta adil adalah pedoman
kelakukan yang harus menunjang antara suatu tatanan dan dinilai wajar. Hanya
dengan bersifat pasti dan adil lah, maka hukum pada dijalankan sesuai dengan
fungsi yang dimilikinya.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Hukum Perikatan / Perjanjian
Mengenai istilah perjanjian dalam hkum perdata berasal dari istilah
Belanda sebagai sumber aslinya sampai saat ini belum ada kesamaan dan
kesatuan dalam menyalin kedalam Bahasa Indonesia dan kata lain belum ada
kesatuan terjemahan untuk istilah asing kedalam istilah teknis yuridis dari istilah
Belanda kedalam Istilah Indonesia. Maka dari ini dalam memahami suatu istilah
hukum dalam praktek maupun teoritis kita dapat merujuk pada Doktrin atau
pendapat ahli, dan dalam hal ini ada pendapat beberapa ahli hukum Indonesia
menerjemahkan istilah perjanjian didasarkan pada pandangan dan tujuan
masing-masing.
Dalam hukum perdata Nederland dalam hubunganya dengan istilah
perjanjian dikenal dua istilah yaitu VERBINTENIS dan OVEREENKOMST dan
dua istilah tersebut para ahli hukum perdata Indonesia berbeda-beda dalam
menafsirkan kedaam istilah hukum Indonesia. Diantaranya ada beberapa ahli
yang berpendapat mencoba menafsirkan dari dua istilah tersebut.
Utrecht, verbintenis diterjemahkan dengan perutangan dan overrenkomst
menggunakan istilah perjanjian. Achmad Ichsan menggunakan istilah perjanjian
perjanjian untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst. Kansil,
Verbintenis diterjemahkan perikatan dan perjanjian untuk menterjemahkan
overeenkomst. KUH Perdata terjemahan Subekti dan Tjitro Sudibio
menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan istilah persetujuan untuk

31
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

overeenkomst.48 Didalam pendapat para ahli tersebut diatas belum adala


kesepakatan daripara ahli dalam menafsirkan dari dua istilah yang diadopsi dari
istilah belanda tersebut
Subekti mengemukakan perkataan perikatan yaitu hubungan hukum
antara dua pihak yang isinya adalah hak dan kewajiban yaitu hak untuk
menuntut sesuatu dan di sebelah lainnya untuk memenuhi tuntutan, sedangkan
Kusumadi Verbintenis diterjemahkan dengan perutangan dengan alasan karena
menganggap perikatan terdapat dalam hukum perdata hanyalah perikatan yang
terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan saja bukan perikatan pada
umumnya.49
Definisi Perjanjian berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 1313 KUH Perdata “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana 1 (satu) orangan atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang
lain atau lebih”. Berdasarkan definisi ketentuan tersebut menurut hemat saya
bahwa perjanjian adalah suatu kesepakatan yang disepakati baik itu tertulis
maupun tidak tertulis yang mengatur terkait aturan main suatu hal tertentu dan
menjelaskan mengenai hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak dan harus
dijalankan atau dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama. Akan tetapi
yang perlu di garis bawahi bahwa perjanjian dibuat para pihak dengan cara
mengikatkan diri dan saling mengikatkan diri agar masing-masing pihak aktiv
dalam perumusan daripada klasula atau kesepakatan yang mereka buat. Pada
umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat
secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat alat bukti
apabila terjadi perselisihan.
2. Asas Hukum Kontrak yang melandasi Transasksi Perbankan
Didalam suatu hukum kontrak belaku beberapa asas hukum yang
melandasi dari pada lahirnya suatu penjanjian / kontrak. Asas hukum menurut
beberapa pakar sebagaimana berikut :
Paul Scholten menguaraikan definisi mengenai asas hukum yaitu

48
Sutarno, Aspek-Aspek HukumPerkreditan pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2009), hal.72.
49
Ibid. Hal. 72-73

32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

“Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat didalam dan dibelakang sistem hukum,


masing – masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan
keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya”.50
Menurut Satjipto Raharjo, asas hukumdapat diartikan sebagai suatu hal
yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai besic truth
atau kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas hukum itulah pertimbangan etis
dan sosial maysrakat masuk kedalam hukum. Dengan demikian, asas hukum
menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai
etis, moral, dan sosial masyarakat.51
Dari uraian beberapa pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa asas hukum
merupakan suatu landasan mendasar untuk suatu pembetukan peraturan
Perundang-Undangan maupun kesepakatan kesepakatn berkontrak. Sejumlah
prinsip / asas hukum merupakan dasar bagi hukum kontrak. Asas hukum kontrak
memberikan suatu gambaran mengenai latar belakang cara berfikir yang menjadi
dasar hukum kontrak. Suatu dan lain hak karena sifat fundamental sersebut,
maka prinsip-prinsip utama itu dikatakan pula sebagai prinsip-prinsip dasar.
Prinsip dasar yang melandasinya adalah Asas Konsesnsualitas, Asas Kekuatan
mengikat, Asas Itikat Baik, Asas Kepribadian (Personality), Asas Keseimbangan
(Proporsonalitas), Asas Kepatutan (Kebiasaan), Asas Kepercayaan (Fiduciary
Pinciple).
a. Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan
bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315
KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya

50
J.J.H. Bruggink (alih bahasa : Arief Sidharta), Refleksi tentang Hukum, (Bandung : Citra Aditya,
1996),hal. 119-120.
51
Satjipto Rahardjo, Peranan dan Kedudukan Asas-Asas Hukum dalam Kerangka Hukum Nasional
(Pembahasan terhadap Makalah Sunaryanti Hartono), Jakarta : Seminar dan LokakaryaKetentuan Umum Peraturan
Perundang-Undangan, 1998.

33
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sendiri. ”Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan


suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya
sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku
antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud
bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi
mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu
terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal
1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat
untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu. ”Pasal ini
mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan
perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan
adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal
1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri
sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan
untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Jika
dibandingkan kedua pasal itu, maka Pasal 1317 KUHPer
mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam
Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli
warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang
membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur
tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer
memiliki ruang lingkup yang luas.
b. Asas Konsensualitas
Dalam perjanjian hal utama yang harus ditonjolkan ialah
bahwa kita berpegang pada asas konsensualitas, yang merupakan
syarat mutlak bagi hukum perjanjian modern dan bagi terciptanya
kepastian hukum.52 Asas konsensualitas mempunyai arti yang
terpenting yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup

52
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 5.

34
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan dicapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dari


perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang
timbul karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik
tercapainya konsensus atau kesepakatan. Dengan perkataan lain,
perjanjian itu sudah sah apabila hal-hal pokok sudah disepakati
dan tidak diperlukan suatu formalitas.53 Selanjutnya, seperti
diutarakan oleh Eggens, asas konsensualitas merupakan suatu
puncak peningkatan manusia yang tersirat dalam pepatah : “een
man een man, een woord een woord” maksudnya adalah dengan
diletakannya kepercayaan pada perkataannya, orang itu
ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya sebagai manusia.54
Hal yang diutarakan oleh Eggens bahwa ketentuan yang
mengharuskan orang dapat dipegang ucapannya dalah suatu
tuntutan kesusilaan, dan memang jika orang ingin dihormati
sebagai manusia ia harus dapat dipegang perkataannya.55
Dengan demikian memang asas konsensualitas memang
harus terpenuhi oleh semua pihak dikarenan asas konsensualitas
merupakan suatu kunci atau dasar dari lahirnya suatu perjanjian.
Diharapkat dengan adanya suatu kesepakatan yang jelas maka
akan tercapainya suatu kepastian hukum baik hak dan kewajiban
dari masing-masing pihak. Asas Konsensualitas sebagaimana
telah disimpulkan dan tersirat didalam Pasal 1320 junto Pasal
1338 alenia ke-1 KUH Perdata“Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”..
c. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)
Untuk memahami kekuatan mengikat daripada suatu
perjanjian kita merujuk pada Pasal 1338 alenia ke-1 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa : “Perjanjian yang dibuat secara sah

53
Subekti, 1984, Op.Cit, hal. 15.
54
Johannes Ibrahim Kosasi, Hassanain Kaykal, Op. Cit., hal. 30.
55
Subekti, 1984, Op.Cit, hal. 6.

35
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”


serta didalam pasal 1339 KUH Perdata “Suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau Undang-
Undang”.Sebagai contoh perjanjian jual beli yang tidak tertulis
dalam transaksi terjadi perjanjian jual beli suatu barang yang
disepakati akan tetapi setelah sampai dirumah diketahui bahwa
barang yang dibeli merupakan barang kadaluarsa maka
seyogyanya pihak penjual bersedia serta wajib mengganti barang
tersebut dengan barang yang baru karena dalam kebiasaannya
barang yang layak dijual adalah barang yang masih layak edar.
Maka dari contoh kasus tersebut walaupun barang dan harga
sudah terdapat kesepakatan akan tetapi mengenai tidak ada
kesepakatan mengenai penggantian barang maka pihak penjual
wajib mengganti barang dikarenakan diketahui barang yang dibeli
ternyata telah kadaluarsa.
Merujuk pada dua pasal tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwanya setiap manusia atau masyarakat diberikan kesempatan,
kebebasan, atau persetujuan untuk membuat suatu kesepakatan-
kesepakatan antar beberapa pihak dan kesepakatan tersebut akan
memiliki kekutan hukum bagi para pihak. Dengan demikian
kesepakatan-kesepakat yang dibuat oleh para pihak akan menjadi
suatu Undang-undang yang mengikat secara pribadi untuk
masing-masing pihak. Akan tetapi dalam pembuatan suatu
kesepakatan atau perjanjian harus tetap memperhatikan dan tidak
boleh bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku dan juga tetap memperhatikan kepatutan, kebiasaan serta
hukum adat yang hidup dan berlaku di masyarakat.
d. Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat

36
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah


perwujudan dari kehendak bebas sebagai pancaran hak asasinya.
Asas ini berhubungan pula dengan isi perjanjian, yaitu untuk
menentukan “apa” dan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perkataan
“semua” mengandung pengertian seluruh perjanjian, baik yang
namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-
undang.56 Kebebasan berkontrak berarti kebebasan untuk memilih
dan membuat kontrak, kebebasan untuk membuat dan tidak
membuat kontrak, dan kebebasan para pihak untuk menentukan
isi dan janji mereka, dan kebebasan untuk memilih subjek
perjanjian. Dalam hukum kontrak, kebebasan berkontrak
memiliki makna yang positif dan negatif. Positif dalam arti para
pihak memiliki kebebasan untuk membuat kontrak yang
mencerminkan kehendak bebas para pihak, dan negatif berarti
para pihak bebas dari suatu kewajiban sepanjang kontrak yang
mengikat itu tidak mengaturnya.57
Dalam perkembangannya ternyata asas kebebasan
berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilan, karena asas ini
hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan
kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki
bargaining power yang seimbang. Jika salah satu pihak lemah,
maka pihak yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat
memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain, demi
keuntungan dirinya sendiri. Syarat-syarat atau ketentuan-
ketentuan dalam kontrak yang semacam itu akhirnya akan
melanggar aturan-aturan yang adil dan layak. Dalam
perkembangannya asas ini, menimbulkan kepincangan dalam
kehidupan masyarakat, sehingga negara perlu turut campur
tangan melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan dari asas

56
https://pn-bandaaceh.go.id/pembatasan-asas-freedom-of-contract-dalam-perjanjian-komersial/,
diakses pada tanggal 14 September 2022, Pukul 20.08 WIB
57
Ibid.

37
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kebebasan berkontrak untuk melindungi pihak yang lemah.58


Pasal 1320 ayat (1) menyatakan sebagian salah satu syarat
sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya “sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya”. Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya”. Berdasar dua pasal
dalam KUH Perdata tersebut, dapatlah dikatakan berlakunya asas
konsensualisme di dalam hukum perjanjian memantapkan adanya
asas kebebasan berkontrak. Tanpa “sepakat” dari salah satu pihak
yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah,
sehingga dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk
memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa
disebut Contradictio interminis, adanya paksaan menunjukkan
tidak adanya sepakat.59 Adanya konsensus dari para pihak, maka
menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana undang-
undang (pacta sunt servanda). Asas pacta sunt servanda menjadi
kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan hanya kewajiban
moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib
ditaati, konsekuensinya hakim maupun pihak ketiga tidak boleh
mencampuri isi perjanjian yang dibuat para pihak tersebut.60
Cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak adalah dengan
menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan
“perjanjian” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata. Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut,
seolah-olah membuat pernyataan bahwa masyarakat
diperbolehkan membuat perjanjian dan mengikat sebagaimana
mengikatnya undang-undang bagi yang membuatnya. Pembatasan
terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan

58
Ibid
59
Ibid.
60
Ibid.

38
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

“ketentuan umum dan kesusilaan”.61


e. Asas Itikat Baik (good faith)
Merujuk pada Pasal 1338 alenia ke 3 KUH Perdata
dinyakatan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik”. Didalam Pasal 1965 KUH Perdata dijelaskan
mengenai itikad baik “Itikad baik selamatnya harus dianggap
ada,sedangkan siapa yang menunjuk kepada suatu itikad buruk
diwajibkan membuktikannya”.
Itikat baik dalam hal ini adalah itikat baik dalam
pelaksanaan perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat,
diharuskan setiap kesepakatan yang dibuat dijalankan sesuai
dengan alurnya dan tetap memperhatikan kepatutan dan
kesusilaan.
R. Wirjono Prodjodikoro menjelaskan itikat baik dari sisi
lainnya, disebutkan bahwa kejujuran ini dasarnya masih kurang
dapat memuaskan pihak karena bersifat subjektif. Kejujuran ini
masih harus dibuktikan secara objektif. Bukti itikat baik secara
objektif adalah dengan bertolak pada Pasal 1339 KUH Perdata
sumber perjanjian memenuhi unsur yaitu sifat perjanjian,
kepatutan, kebiasaan, dan Undang-Undang.62
f. Asas Proporsionalitas (Keseimbangan Antar Pihak)
Asas proporsionalitas dan asas keseimbangan merupakan
asas yang berlaku dalam hukum perjanjian. Pengertian asas
proporsionalitas dan asas keseimbangan seringkali disamaartikan,
sehingga sulit untuk membedakan keduanya. Pada dasarnya asas
proporsionalitas dan asas keseimbangan merupakan asas yang
tidak dapat dipisahkan, namun menurut Agus Yudha Hernoko
dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perjanjian Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial” hal. 74 menyatakan

61
Ibid.
62
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Mandar maju, 1985), hal. 106-107

39
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bahwa sesederhana apapun pemahaman mengenai asas


proporsionalitas dan asas keseimbangan, masih dapat ditarik
benang merahnya melalui pemahaman yang lebih komprehensif
untuk membedakan keduanya. Agus Yudha Hernoko
mengartikan asas keseimbangan dan asas proporsionalitas sebagai
berikut :63

1. Keseimbangan acap kali diartikan dalam kesamaan,


sebanding dalam jumlah, ukuran atau posisi. Dalam
perspektif kontrak, asas keseimbangan diberikan
penekanan pada posisi tawar para pihak harus
seimbang. Tidak adanya keseimbangan para pihak
mengakibatkan kontrak menjadi tidak seimbang dan
membuka peluang intervensi penguasa untuk
menyeimbangkannya;
2. Proporsionalitas (Asas proporsionalitas) acap kali
sekadar dipahami dalam konteks hukum pembuktian,
meskipun pada dasarnya asas proporsionalitas harus
dimaknai sebagai pembagian hak dan kewajiban
menurut proporsi yang meliputi segenap aspek
kontraktual secara keseluruhan.

Pengertian asas keseimbangan lebih abstrak


pemahamannya dibandingkan dengan asas proporsionalitas.64
Berdasarkan atas beberapa pendapat, antara lain Sutan Remy
Sjah-deini, Mariam Darus Badrulzaman, Sri Gambir Melati
Hatta serta Ahmadi Miru disimpulkan bahwa memberi makna
secara umum asas keseimbangan sebagai keseimbangan posisi
para pihak yang berkontrak, apabila terjadi ketidakseimbangan

63
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta :
Kencana, 2010, hal. 78-79
64
Ibid.

40
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

posisi yang menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak


diperlukan intervensi otoritas tertentu (pemerintah).65Asas
keseimbangan (equal-equilibrium) akan bekerja memberikan
keseimbangan apabila posisi tawar para pihak dalam menentukan
kehendak menjadi tidak seimbang. Tujuan dari asas
keseimbangan yaitu hasil akhir yang menempatkan posisi para
pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan
kewajibannya.
Contoh penerapan asas keseimbangan yaitu pada Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen). Konsumen
merupakan objek aktivitas bisnis bagi pelaku usaha untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya yang dalam hal
ini posisi konsumen relatif lemah. Oleh karena itu, diterbitkannya
UU Perlindungan Konsumen untuk memberikan perlindungan
terhadap konsumen dengan mengatur mengenai larangan-
larangan, hak serta kewajiban baik konsumen maupun pelaku
usaha. Hal tersebutlah daya kerja asas keseimbangan, sehingga
secara imperatif pelaku usaha terikat atas ketentuan dalam UU
Perlindungan Konsumen guna terciptanya keseimbangan posisi
diantara konsumen dengan pelaku usaha.
Sedangkan ruang lingkup dan daya kerja asas
proporsionalitas lebih dominan pada kontrak komersial dengan
asumsi dasar bahwa karakteristik kontrak komersial
menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan, sehingga
tujuannya berorientasi pada keuntungan bisnis dengan pertukaran
hak dan kewajiban yang proposional (fair). Hal inilah yang
menjadi pembeda antara asas keseimbangan dengan asas
proporsionalitas, dimana asas keseimbangan lebih bermakna
terhadap posisi atau keseimbangan kedudukan para pihak,

65
Ibid

41
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sedangkan asas proposionalitas tidak dilihat dari konteks


keseimbangan-matematis (equilibrium), tetapi pada proses dan
mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung
secara fair. Menurut pendapat Peter Mahmud Marzuki
menyebut asas proporsionalitas dengan istilah (equitability
contract) dengan unsur justice serta fairness.66
Merujuk pada asas aequitas praestasionis yaitu asas yang
menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran justum pretium,
yaitu kepantasan menurut hukum. Apabila para pihak dalam
kontrak dalam keadaaan yang tidak sama, maka hal ini tidak
boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan
kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain. Situasi
demikian dapat dikatakan bahwa asas proporsionalitas bermakna
equitability.67 Tujuan dari asas proporsionalitas yaitu memberikan
hak dan kewajiban para pihak secara adil dan patut.68 Contoh
mengenai penerapan asas proporsionalitas misal A dan B ingin
membeli sebungkus jeruk yang berisi 10 biji dengan harga 10
ribu, A memiliki uang 4 ribu sedangkan B memiliki uang 6 ribu.
Berdasarkan asas proporsionalitas maka A berhak mendapatkan 4
buah jeruk, sedangkan B mendapatkan 6 buah jeruk. Hal ini
merupakan bentuk kesetaraan dan proporsional sesuai dengan apa
yang dimiliki masing-masing orang, walaupun jumlahnya satu
sama lain tidak sama.
g. Asas Kebiasaaan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata “Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas
dinyatakan didalamnya. Tetapi juga untuk segal sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebuasaan

66
Ibid. hal. 86
67
Ibid.
68
https://hukumexpert.com/asas-proporsionalitas-asas-keseimbangan/?detail=ulasan, diakses Pada Hari
Minggu Tanggal 10 Juli 2022 Pukul 15:53 WIB

42
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

atau undang-undang”. Asas kepatutan disini berkaitan dengan


ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas ini merupakan ukuran
tentang hubungan yang ditentukan juga oleh rasa keadilan
masyarakat.
h. Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle)
Didalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia “Fidusia
adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas
dasarkepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang
hakkepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilikbenda”. Didalam Jaminan Fidusia kepercayaan merukan
seuatu landasan utama yang melandasi daripada perikatan
tersebut.Asas kepercayaan (Fiduciary Principle) adalah suatu asas
yangmelandasi hubungan antara bank dan nasabah bank.
Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan
bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara
bank dan nasabah. Bank terutama bekerja dengan dana dari
masyarakat yang disimpan padanya atas dasar kepercayaan,
sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan
tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat
padanya. Kemauan masyarakat untukmenyimpan sebagian
uangnya di bank, semata – mata dilandasi oleh kepercayaan
bahwa uangnya akan dapat diperolehnya kembali pada waktu
yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan dan
disertai dengan imbalan.69
Asas kepercayaan (Fiduciary Principle) ini tercermin
dalam pasal 29ayat (4) Undang-Undang Nomor 10/1998, yaitu:
“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan

69
Zulfi Diane Zaini “Indepensi Bank Indonesia dan Penyelesaian bank Bermasalah” CV. Keni Media,
Bandung,2012, hal.56

43
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”


3. Perkreditan
Kata kredit berasal dari kata Romawi “Credere” artinya percaya, dalam
bahasa Belanda istilahnya Vertruwen, dalam bahasa Inggris Believe atau trus or
confidence artinya sama yaitu percaya.70
Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Perbankan memberi
pengertian dan menyatakan “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
atau bagi hasil”. Harus diakui bahwa dibandingkan dengan produk perbankan
lainnya kredit adalah produk perbankan yang pendapatan atau keuntungan yang
diperoleh oleh bank lebih banyak dibandingkan dengan produk perbankan
lainnya. Dan mutlak adanya bahwa kredit harus terus menerus secara
kesinambungan harus dijalankan bank karena kredit merupakan ujung tombak
roda perekonomian perbankan. Dan kredit juga merupakan fungsi utama bank
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 Undang-Undang Perbankan “Fungsi
utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat”. Namun kita harus mengetahui bahwa pelaksanaan kredit memiliki
resiko salah satunya adalah dimana nasabah tidak mengembalikan dana tersebut.
Dengan resiko inilah bank harus selalu menganalisi secara mendalam kepada
setiap permohonan kredit yang masuk kepadanya.
Kredit bila dilihat dari sudut bahasa kredit merupakan kepercayaan.
Bilamana seseorang telah mendapatkan kredit dari bank maka berarti seseorang
tersebut telah mendapatkan kepercayaan dari bank.
Menurut O.P. Simorangkir (1988), kredit adalah pemberian prestasi
(misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada
waktu mendatang. Kredit berfungsi konperatif antar si pemberi dan kredit dan si
penerima kredit atau kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling

70
Sutarno, Op. Cit. h.92

44
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menanggung resiko, singkatnya kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen-
komponen kepercayaan, resiko, dan pertukaran ekonomi pada masa mendatang.71
Dalam kredit memiliki 4 (empat) unsure pokok yaitu kepercayaan, waktu,
resiko, dan prestasi adapun pengertian dari masing-masing unsur
sebagaimana berikut :72
- Kepercayaan berarti bahwa setiap pelepasan kredit dilandasi
dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut
akan dapat dibayar kembali oleh debiturnya sesuai dengan
jangka waktu yang telah diperjanjikan.
- Waktu disini berarti bahwa antara pelepasan kredit oleh
bank dan pembayaran kembali oleh debitur tidak dilakukan
pada waktu yang bersamaan, tetapi dipisahkan dengan
tenggang waktu
- Resiko disini berarti bahwa setiap pelepasan kredit jenis
apapun akan terkandung resiko didalamnya, yaitu resiko
yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit
dan pembayaran kembali. Hal ini berarti semakin panjang
waktu kredit semakin tinggi resiko kredit tersebut.
- Prestasi disini berarti bahwa setiap kesepakatan terjadi
antara bank dan debiturnya mengetahui suatu pemberian
kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan
kontra prestasi.

Dalam pelaksanaan atau dalam praktek pada saat ini, secara umum ada 2
(dua) jenis kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya atau kata lain
kepada pemohon (debitur), yaitu ditinjau dari segi tujuan pengunaannya dan
ditinjau dari segi jangka waktunya. Jenis kredit ditinjau dari segi tujuan
penggunannya dapat berupa :
a. Kredit produktif yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha
yang menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya.
Dalam pelaksanaan kredit produktif ada 2 (dua) kemungkinan dalam
penggunaannya antara lain :
- Kredit modal kerja yaitu kredit yang diberikan untuk
membiayai kebutuhan usaha-usaha, termasuk guna menutupi
biaya produksi dalam rangka peningkatan produksi atau
penjualan.

71
H. R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h. 124
72
Ibid. Hal. 124-125

45
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

- Kredit investasi, yaitu kredit yang diberikan untuk


pengadaan barang modal maupun jasa yang dimaksudkan
untuk menghasilkan suatu barang dan ataupun jasa bagi
usaha yang bersangkutan.
- Kredit konsumtif yaitu kredit yang diberikan kepada orang
perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif
masyarakat umumnya (sumber pengembaliannya dari fixed
income debitur)
Sedangkan bilamana kredit dipandang dari segi jangka waktunya kredit
dapat berupa :
a. Kredit Jangka Pendek
Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang diberikan dengan tidak
melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun.
b. Kredit Jangka Menengah
Kredit jangka menengah adalah kredit yang berjangka waktu antara 1
(satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun, kecuali kredit untuk
tanaman musiman tersebut diatas. (Pasal 1 Huruf e Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan).
c. Kredit Jangka Panjang
Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka
waktu melebihi dari 3 (tiga) tahun.
Secara umum untuk mendapatkan kredit harus melalui prosedur yang telah
ditentukan oleh bank / lembaga keuangan. Agar kegiatan pelaksanaan perkreditan
dapat berjalan dengan sehat dan layak karena telah dijelaskan bahwa kredit
adalah kegiatan perbankan yang mempunyai resiko, dikenal dengan 5 C yaitu
telah dijelaskan berdasarkan angka 3 SURAT EDARAN DIREKSI BANK
INDONESIA No. SE-23/6/BPPP Tanggal 28 Februari 1991 Kepada Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank di Indonesia perihal Jaminan Pemberian kredit
sebagaimana berikut :73

73
SURAT EDARAN DIREKSI BANK INDONESIA No. SE-23/6/BPPP Tanggal 28 Februari 1991
Kepada Semua Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank di Indonesia Perihal : Jaminan Pemberian Kredit

46
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

a. Charcter (watak)
Penilaian watak debitur terutama didasarkan kepada hubungan yang telah
dijalin antara bank dengan debitur yang bersangkutan atau informasi yang
telah diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya, sehingga bank dapat
menyimpulkan bahwa debitur tersebut jujur, beritikad baik dan tidak akan
menyulitkan bank dikemudian hari.
b. Capacity (kemampuan)
Untuk menilai kemampuan, bank terutama harus meneliti tentang keahlian
debitur dalam bidang usahanya dan atau kemampuan manajemen debitur
sehingga bank merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dengan kredit
tersebut dikelola oleh orang-orang yang tepat.
c. Capital (modal)
Untuk penilaian terhadap modal, bank terutama harus melakukan analisis
terhadap posisi keuangan secara perkiraan untuk masa yang akan datang,
sehingga menunjang pembiayaan proyek atau usaha debitur yang
bersangkutan.
d. Condition of Economy (kondisi ekonomi/prospek usaha)
Untuk penilaian terhadap prospek usaha debitur, bank terutama harus
melakukan analis mengenai keadaan pasar di dalam maupun di luar negeri
baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang sehingga dapat
diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha debitur yang
dibiayai dengan kredit bank yang bersangkutan.
e. Colateral (agunan)
Selanjutnya dalam melakukan penilaian terhadap agunan, bank harus menilai
barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan
dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang ditambahkan sebagai
agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai, sehingga apabila debitur
tidak dapat melunasi kreditnya, agunan tersebut dapat digunakan untuk
menanggung pembayaran kembali kredit bank yang bersangkutan.

Bank Perlu memperhatikan prinsip-prinsip dalam menilai suatu


permohonan kredit yaitu sebagaimana berikut :74
a. Bank hanya memberikan kredit apabila permohonan kredit diajukan secara
tertulis. Hal ini berlaku baik untuk kredit baru, perpanjangan jangka waktu,
tambah kredit, maupun permohonan perubahan persyaratan,
b. Permohonan kredit harus memuat informasi yang lengkap dan memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank

Bank harus memastikan kebenaran data informasi yang disampaikan dalam


permohonan kredit.

74
Gunardi Suharto, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum.(Yogyakarta : Kanisius, 2007), h.97

47
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Setiap Pejabat yang terlibat dalam kebijakan persetujuan kredit harus mampu
memastikan hal-hal berikut :75
a. Setiap kredit yang diberikan telah sesuai dengan prinsip perkreditan yang
sehat dan ketentuan perbankan lainnya,
b. Pemberian kredit telah sesuai dan didasarkan pada analisis kredit yang jujur,
objektif, cermat, dan seksama (mengunakan 5C’s Principlesi) serta
independent,
c. Adanya keyakinan bahwa kredit akan mampu dilunasi oleh debitur.
Telah dijelaskan dan dibahas sebelumnya bahwa kredit merupakan suatu hal yang
memiliki resiko untuk bank. Sebenarnya kredit akan berjalan lancer bilamana
Kreditur dan Debitur telah melaksanakan Hak dan Kewajiban masing-masing akan
tetapi akan menjadi masalah bilamana salah satu pihak mengingkarinya. Dikatakan
kredit bermasalah apabila debitur mengingkari janjinya membayar bunga dan/atau
kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau
sama sekali tidak ada pembayaran, dengan demikian mutu kredit menjadi merosot.
Didalam dunia perbankan suatu kredit dapat dikatagorikan dalam kredit bermasalah
apabila :76
a. Terjadinya keterlambatan pembayaran bunga dan/atau kredit induk lebih dari
90 hari semenjak tanggal jatuh temponya,
b. Tidak dilunasisama sekali atau,
c. Diperlukan negosiasi kembali dengan syarat pembayaran kembali kredit dan
bunga yang tercantum dalam pemberian kredit.
4. Hukum Jaminan
Dalam kegiatan bersmasyarakat saat ini sudah sangat tidak asing dengan
kegiatan pinjam meminjam uang guna memenuhi kebutuhan baik dalam bentuk
modal kerja atau konsumtif. Pada umumnya pihak pemberi pinjaman
mensyaratkan adanya jaminan utang sebelum memberikan pinjaman uang
kepada pihak peminjam. Sementara itu, keharusan penyerahan jaminan-jaminan
utang tersebut sering pula diatur dan disyaratkan oleh peraturan intern pihak

75
Rachmat Firdaus, Maya Ariyanti. Manajemen Perkreditan Bank Umum.(Bandung : Alfabeta, 2003),
hal.51
76
Sutoyo Siswanto. Menangani Kredit Bermasalah.(Jakarta : Pustaka Binawan Presindo, 1997) hal.12

48
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pemberi pinjaman dan oleh peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.


Kegiatan pinjam meminjam uang yang dikaitkan dengan persyaratan
penyerahan jaminan utang banyak dilakukan oleh perorangan dan berbagai
badan usaha. Badan usaha umumnya secara tegas mensyaratkan kepada pihak
peminjam untuk menyerahkan suatu barang (benda) sebagai objek jaminan utang
pihak peminjam. Jaminan utang yang ditawarkan (diajukan) oleh pihak
peminjam umumnya akan dinilai oleh badan usaha tersebut sebelum diterima
sebagai objek jaminan atas pinajamn yang diberikan, penilaian seharusnya
dilakukan sebagaimana yang biasa terjadi di bidang perbankan meliputi
penilaian dari segi hukum dan dari segi ekonomi. Berdasarkan penilaian dari
kedua segi tersebut diharapkan akan dapat disimpulkan kelayakannya sebagai
jaminan utang yang baik dan berharga.
Salah satu sumber hukum dalam hukum yang berlakuk di Indonesia
sebagaimana yang lazim dikemukanan dalam bahasan tata hukum Indonesia
adalah peraturan Perundang-Undangan. Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku saat ini sangat banyak jumlahnya dan terdiri dari berbagai bentuk dan
tingkatan. Bentuk dan tingkatannya adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh
ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Diantara peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku tersebut terdapat pula yang mengatur atau
yang berkaitan dengan penjaminan utang yang selanjutnya disebut sebagai
hukum jaminan. Hukum jaminan terdapat dalam KUH Perdata, KUH Dagang,
dan beberapa Undang-undang tersendiri dan ditetapkan secara terpisah.
1. Ruang Lingkup Hukum Jaminan
Ruang lingkup hukum jaminan di Indonesia mencakup berbagai ketentuan
peraturan Perundang-Undangan yang mengatur hal-hal berkaitan dengan
penjaminan utang yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia. Dalam
hukum positif di Indonesia terdapat peraturan Perundang-undangan yang
sepenuhnya mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan
hutang. Atara lain mengenal prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-
lembaga jaminan, objek jaminan utang, penanggung hutang dan sebagainya.
Beberapa ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata dan KUH Dagang

49
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengatur sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping


itu terdapat pula peraturan Perundang-undangan tersendiri yaitu Undang-
Undang Nomor 4 tahun 1996 dan Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999
yang masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan dalam
rangkapenjaminan utang.
a. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan
Beberapa pinsip hukum jaminan sebagaimana diatur oleh beberapa
ketentuan-ketentuan KUH Perdata adalah sebagai berikut :
1). Kedudukan Harta Pihak Peminjam
Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta
pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya
merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya. Pasal 1131 KUH
Perdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam baik berupa harta
bergerak maupun yang tidak bergerak baik yang sudah ada maupun yang
akan ada dikemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang pihak
peminjam.
Ketentuan pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan
pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta
pihak yang berutang atas perikatan utannya. Berdasarkan ketentuan pasal
1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut
pelunasan utang pihak peminjam dan semua harta yang bersangkutan,
termasuk harta yang masih dimilikinya kemudian hari. Pihak pemberi
pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta
yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari.
2). Kedudukan Pihak Pemberi Pinjaman
Bagaimana kedudukan pihak pemberi pinjaman terhadap harta
pihak peminjam dapat diperhatikan dari ketentuan pasal 1132 KUH
Perdata. Berdasarkan ketentuan pasal 1132 KUH Perdata dapat
disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan
atas dua golongan yaitu ke-satu yang mempunyai kedudukan berimbang
sesuai dengan piutang masing-masing dan ke-dua yang mempunyai

50
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain


berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan
Pasal 1132 KUH Perdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam
menjadi jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil
penjualan harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara
pihak pemberi pinjaman itu mempunyai alasan yang sah untuk
didahulukan.
Pihak peminjam yang mempunyai kedudukan didahulukan lazim
disebut kreditur preferen dan pihak pemberi pinjaman yang yang
mempunyai hak berimbang disebut sebagai kreditur konkuren. Mengenai
alasan yang sah untuk didahulukan sebagaimana yang tercantum pada
bagian akhir ketentuan pasal 1132 KUH Perdata adalah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan oleh Pasal 1133 KUH Perdata, yaitu dalam
jaminan utang diikat melalui gadai atau hipotik. Kedudukan sebagai
kreditur yang mempunyai hak kedudukan didahulukan juga ditetapkan
oleh Undang-Undang Nomor 4 tahun 1999 mengenai fidusia. Pemegang
hak tanggungan dan pemegang jaminan fidusia mempunyai hak
didahulukan dari kreditur lainnya umtuk memperoleh pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan jaminan utang yang diikat dengan hak
tanggungan atau jaminan fidusia.
3). Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang
oleh pemberi pinjaman
Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki
objek jaminan utang apabila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi).
Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 1154 KUH Perdata tentang gadai,
Pasal 1178 KUP Perdata tentang Hipotik. Larangan yang sama juga juga
terdapat dalam ketentuan peraturan Perundang-Undangan lain, yaitu pada
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan,
Pasal 33 UU No. 42 tahun 1999 mengenai jaminan Fidusia. Larangan

51
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bagi pihak pemberi pinjaman untuk memperjanjikan akan memiliki objek


jaminan utang bertujuan melindungi kepentingan pihak peminjam dan
pihak pemberi pinjaman lainnya yang berkedudukan sebagai kreditur
konkuren.
b. Gadai
Diatur dalam buku II KUH perdata, Bab XX, Pasal 1150 sampai
dengan Pasal 1160. Pasal 1150 KUH Perdata merumuskan pengertian
gadai sebagai berikut : Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur
atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur
atau oleh kuasanya sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi
wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari
barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lainnya; dengan
pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas
tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan dan biaya penyelamatan
barang itu yang dikeluarkan setelah barang itu digadaikan dan yang
harus didahulukan,
Dari ketentuan Pasal 1150 ini dapat dilihat bahwa para pihak yang
terlibat dalam perjanjian gadai, ada 2 (dua) yaitu pemberi gadai (debitur)
dan pihak penerima gadai (kreditur). Juga perlu diingat bahwa perjanjian
gadai merupakan perjanjian asesoir, artinya merupakan perjanjian
tambahan terhadap perjanjian pokok yaitu perjanjian pinjam meminjam
uang.
Hak gadai sebagai hak kebendaan selalu melekat atau mengikuti
bendanya (droit de suit/saaksgevolg).77 Hak gadai tetap akan ada
meskipun kepemilikan atas benda itu jatuh ke tangan orang lain,
misalnya karena pewarisan. Jika seorang pemegang gadai kehilangan
benda gadai itu maka ia berhak meminta (menuntut) kembali benda itu
dari tangan siapa benda itu berada sebelum tenggang waktu 3 (tiga)
tahun. Hak untuk menuntut kembali ditentukan dalam pasal 1977 ayat (2)

77
Djaja S Meliana, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, (Bandung, :
Nuasa Aulia, 2019), hal. 27

52
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KUH Perdata. Hak ini mirip/sama dengan hak Revindicatie dari seorang
pemilik.78 Jika debitur wanprestasi maka pemegang gadai berhak menjual
benda gadai atas kekuasaan sendiri. Hak pemegang gadai untuk menjual
barang gadai tanpa titel eksekutorial (tanpa perantara) disebut parate
eksekusi. Dengan demikian pemegang gadai menjual barang gadai
seakan menjual barangnya sendiri dan berhak mengambil pelunasan
piutangnya terlebih dahulu.79 Tetapi pasal 1555 ini merupakan ketentuan
yang bersifat mengatur (aanvullend). Para pihak diberi kebebasan untuk
memperjanjikan lain, mislanya melalui penjualan dimuka umum atau
dibawah tangan. Namun demikian pemegang gadai dilarang memiliki
benda gadai (Pasal 1154 KUH Perdata).
Hak dan Kewajiban Gadai80
Hak Pemegang Gadai :
(1). Menjual dengan kekuasaan sendiri
(parate eksekusi)
(2). Menjual barang gadai dengan perantara hakim
(Pasal 1156 ayat (1) KUH Perdata)
(3). Mempunyai hak retensi (pasal 1159 KUH Perdata)
(4). Hak didahulukan pembayarannya
(droit de preference)
Kewajiban pemegang Gadai :
(1). Bertanggung jawab atas hilangnya atau
berkurangnya nilai barang gadai (Pasal 1157 ayat 1 KUH Perdata)
(2). Berkewajiban untuk memberitahu pemberi gadai
jika barang gadai hendak dijual (pasal 1156 ayat 2
KUH Perdata)
(3). Bertanggung jawab terhadap hasil penjualan
barang gadai (pasal 1159 ayat 1 KUH Perdata)

78
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991) hal.
108
79
Ibid. Hal. 136
80
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab tentang Credietverband, Gadai, & Fidusia, (Bandung : PT Citra
Aditya Bakti, 1991) hal. 59

53
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(4). Mengembalikan barang gadai apabila utang pokok


berikut bunganya sudah dibayar lunas
Hak gadai hapus karena beberapa hal atantara lain
(1). Hapusnya perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam meminjam
uang
(2). Benda gadai dikembalikan secara sukarela oleh
pemegang gadai
(3). Karena suatu sebab (jual-beli/warisan) pemegang
gadai menjadi pemilik benda gadai
(4). Benda gadai dieksekusi oleh pemegang gadai
(5). Karena lenyap/hilangnya benda yang digadaikan

c. Fidusia
Fidusia atau Fiduciare Engendomsoverdracht (FEO), ialah
jaminan hak milik berdasarkan kepercayaan, yang merupakan suatu
bentuk jaminan atas benda bergerak disamping gadai dan resi gudang
yang lahir dari yurisprudensi. Jaminan Fidusia ini timbul dengan praktek
berkenaan dengan adanya Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata tentang
gadai, yang mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan
tidak boleh berada pada pihak debitur. Ketentuan ini mengakibatkan
pihak debitur tidak dapat mempergunakan benda yang dijaminkannya
untuk keperluan usahanya. Keadaan semacam ini kemudian dapat diatasi
dengan mempergunakan Jaminan Fidusia. Oleh karena itu, perbedaan
Jaminan Fidusia dengan Gadai terletak pada penguasaan benda yang
dijaminkan. Pada Gadai benda jaminan harus diserahkan oleh pihak
debitur kepada debitur sedangkan dalam fidusia yang diserahkan adalah
hak kepemilikan atas benda jaminan, benda jaminan itu sendiri tetap
berada ditangan dan dikuasai oleh Debitur.
Lembaga Jaminan Fidusia ini mulai disebut secara resmi dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Satuan Rumah Susun
(UU Surusun), yang menyatakan bahwa Rusun atau Sarusun (apartemen)

54
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dapat dibebani Hipotek dan Hak Tanggungan, jika hak tanahnya hak
milik maupun hak guna bangunan, atau dengan fidusia jika tanahnya hak
pakai atas tanah negara, sekarang ini hak pakai ini telah menjadi objek
hak tanggungan (Pasal 27 Undang-Undang Hak Tanggungan).
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999, berbunyi
sebagai berikut “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu
benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik
benda”. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999
menyatakan Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak
baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang –Undang Nomor 4 tahun 1999
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi
Fidusia. Sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan
kedudukan diutamakan kepada penerima Fidusia terhadap kreditur
lainnya.
Objek Fidusia
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia, pada umumnya benda yang menjadi objek
jaminan adalah benda bergerak yang terdiri dari benda persediaan
(barang inventaris), barang dagangan, piutang, peralatan mesin, dan
kendaraan bermotor. Dalam penjelasan umum butir 3 Undang-Undang
Jaminan Fidusia menyatakan : oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan
masyarakat yang terus berkembang maka menurut Undang-undang ini
objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas yaitu benda
bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud, dan benda tidak
bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang hak tanggungan.
Subjek Fidusia
Yang menjadi subjek atau para pihak dari jaminan fidusia adalah

55
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

perorangan atau korporasi.


Pendaftaran Jaminan Fidusia
Dalam rangka memenuhi asa publisitas, Pasal 11 ayat (1) UU
Jaminan Fidusia, menentukan : Benda yang dibebani dengan jaminan
fidusia wajib didaftarkan. Selanjutnya Pasal 12 ayat (1) UU Jaminan
Fidusia menuntukan Pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud
dalam pasal 11 ayat (1) dilakukan pada kantor pendaftaran fidusia.
Pendaftaran pada kantor fidusia ini dilakukan secara manual. Dalam
perkembangannya kemudian Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(KEMENKUMHAM) mengeluarkan kebijakan melalui Surat Edaran
Dirjen AHU tertanggal 5 Maret 2013 nomor AHU-06.ot.03.01 tahun
2013 mengenai pemberlakuan sistem administrasi pendaftaran jaminan
fidusia secara elektronik (online system)
Eksekusi Jaminan Fidusia
Undang-undang Jaminan Fidusia juga memberikan kemudahan
dalam melaksanakan eksekusi melalui lembaga Parate Eksekusi (Pasal 15
ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia). Mengenai eksekusi Jaminan
Fidusia ini diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang Jaminan
Fidusia.
Pemegang Jaminan Fidusia merupakan kreditur separatis
sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 56 Undang-Undang Kepailitan
Nomor 4 tahun 1998 jo Pasal 55 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-
PKPU). Pengakuan hak separatis akan memberikan perlindungan hukum
bagi kreditur pemegang fidusia.
Hapusnya Jaminan Fidusia
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang jaminan fidusia menentukan,
Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut :
(1). Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia
(2). Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh
penerima fidusia

56
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(3). Musnahnya benda yang menjadi objek


Jaminan Fidusia
5. Hukum Tentang Benda
Hukum Benda adalah hukum yang mengatur hubungan sukjek hukum
dengan beda, yang menimbulkan hak kebendaan. Hukum benda merupakan
bagian dari hukum harta kekayaan. Diatur didalam Buku II KUH Perdata, Pasal
499 sampai Pasal 1232, meliputi pengertian benda dan macam-macam hak
kebendaan.
Menurut pasal 499 KUH Perdata, pengertian benda atau “zaak” adalah
“Segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik”. Yang dapat menjadi
objek hak milik dapat berupa barang dan dapat pula berupa hak, seperti hak
cipta, hak paten, dan lain sebagainya. Namun pengertian benda yang dimaksud
didalam KUH Perdata adalah benda berwujud seperti kendaraan bermotor, tanah,
dan lain-lain. Sedangkan benda tak berwujud seperti hak cipta, paten, tidak
diatur oleh KUH Perdata melainkan diatur dalam Undang-Undang tersendiri,
yaitu Undang-Undang Perlindungan Hak Atas kekayaan Intelektual.
Macam-macam Benda dapat dibendakan atas :
a. Benda berwujud dan tidak berwujud (Pasal 503 KUH Perdata)
b. Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504 KUH Perdata)
c. Benda dapat dipakai habis dan tidak dapat dipakai habis (Pasal 505
KUH perdata)
d. Benda yang sudah ada dan benda yang akan ada (Pasal 1334 KUH
Perdata)
e. Benda dalam perdagangan dan diluar perdagangan (Pasal 537, Pasal
1444, dan pasal 1445 KUH perdata)
f. Benda yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi (Pasal 1296 KUH
Perdata)
g. Benda terdaftar dan tidak terdaftar (Undang-Undang Hak
Tanggungan, Fidusia)
h. Benda atas nama dan tidak atas nama (pasal 613 KUH perdata jis
Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24

57
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)


Dari perbendaan macam-macam benda sebagaimana disebut diatas yang
terpenting adalah pembedaan atas benda benda bergerak dan benda tidak
bergerak serta perbedaan benda terdaftar dan benda tidak terdaftar. Contoh
benda terdaftar misalnya : Kendaraan bermotor, tanah, kapal, hak cipta, hak
tanggungan, fidusia, dan lain-lain. Sedangkan benda tidak terdaftar adalah
benda-benda bergerak yang tidak sulit pembuktian pemiliknya karena berlaku
azaz “yang mengusai dianggap pemiliknya” seperti alat-alat rumah tangga,
pakaian, perhiasan, hewan peliharaan, dan lain sebagainya yang dapat
dipersamakan dengan itu.
Pentingnya pembedaan ini terletak pada pembuktian pemilikannya (untuk
ketertiban umum). Benda terdaftar dibuktikan dengan tanda pendaftaran, untuk
sertifikat atas nama pemiliknya, sedangkan untuk benda tidak terdaftar (tidak
atas nama) berlaku asas “yang menguasai diaggap sebagai pemiliknya”.81
Pentingnya mebedakan beda bergerak dan benda tidak bergerak berkaitan
dengan 4 (empat) hal, yaitu :
• Bezit (kedudukan berkuasa)
Mengenal bezit terhadap benda bergerak belaku asas yang terkandung di
dalam pasal 1997 ayat (1) KUH Perdata yaitu bezitter dari benda bergerak
adalah pemilik dari benda bergerak tersebut (kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya). Sedangkan untuk benda tidak tidak bergerak tidak demikian
halnya oleh karena benda tidak bergerak adalah merupakan benda atas nama
dan atau terdaftar dan ada bukti pemiliknya atau dapat dibuktikan dengan
suatu akta (Pasal 620 KUH Perdata). Jika tidak ada pemiliknya maka
dikuasai oleh Negara (Pasal 2 jo Pasal 4 UUPA)
• Levering (penyerahan)
Levering terhadap benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata
(feitelike levering) sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan penyerahan
secara yuridis (yuridischa levering), yaitu dengan balik nama atau sekarang
cukup dengan dibuatkan akta/PPAT (Pasal 37 PP No 24 tahun 1997).

81
Abdulkadir Muhammad¸ Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 131.

58
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Mengenai benda bergerak tak berwujud seperti piutang atas nama dan barang
lain, cara penyerahanya dilakukan menurut Pasal 613 KUH Perdata: untuk
piutang aan tooder (atas bawa) dilakukan dengan penyerahan surat tagihan
yang bersangkutan (feitelijke levering), untuk piutang aan order (atas
tunjuk) dengan endossement, sedangkan piutang op naam (atas nama)
dilakukan dengan membuat akta cessie.
• Verjaring (kadaluarsa/lewat waktu)
Benda bergerak tidak mengenal verjaring karena adanya asas
sebagaimana terkandung dalam pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata tersebut,
sedangkan benda tidak bergerak semula mengenal adanya verjaring, tetapi
setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria benda tidak bergerakpun
sudah tidak lagi mengenal adanya verjaring.
• Bezwaring (pembebanan/jaminan)
Mengenai bezwaring atau pembebanan terhadap benda bergerak
dilakukan dengan cara gadai, fidusia, atau resi gudang, sedangkan untuk
benda tidak bergerak dilakukan dengan hak tanggungan atau sebelumnya
dengan hipotik.
Didalam setiap benda baik berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak pasti memiliki yaitu hak kebendaan. Hak kebendaan adalah hak mutlak
atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Hak
kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu :
• Hak menikmati, seperti hak milik, bezit, hak memungut (pakai) hasil, hak
pakai, dan hak mendiami
• Hak yang memberikan jaminan, seperti gadai, fidusia, hak tanggungan,
hipotek, dan sistem resi gudang
Hak kebendaan ini merupakan sifat atau ciri-ciri yang dapat dibedakan
dengan hak perorangan, Perbedaannya adalah sebagai berikut :82
• Hak kebendaan adalah absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap
setiap orang, sedangkan hak perorangan bersifat relatif artinya hanya dapat
dipertahankan terhadap pihak tertentu

82
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda nasional, Bandung : alumni, 1993, hal. 30

59
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

• Hak kebendaan jangka waktunya tidak terbatas, sedangkan hak perorangan


jangka waktunya terbatas
• Hak kebendaan mempunyai droit de suite (zaaksgevolg), artinya mengikuti
bendanya dimanapun benda itu berada. Dalam hal ada beberapa hak
kebendaan di atas suatu benda, maka kekuatan hak itu ditentukan
berdasarkan urutan terjadinya (asas prioritas/droit de preference).
Sedangkan pada hak perorangan mana lebih dulu terjadi tidak dipersoalkan
karena sama saja kekuatannya (asas kesamaan / asas pari pasu / asas paritas
creditorium)
• Hak kebendaan meberikan weweng yang sangat luas kepada pemiliknya.
Hak ini dapat dijual, dijaminkan, disewakan, atau dapat dipergunakan
sendiri, sedangkan hak perorangan meberikan wewenang terbatas. Pemilik
hak perorangan hanya dapat dialihkan dengan persetujuan pemilik.

60
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. KERANGKA BERFIKIR
Kerangka pemikiran atau kerangka teori pada dasarnya merupakan arah
penalaran.
Debitur menjaminkan benda bergerak
PERJANJIAN (AKAD) KREDIT sebagai jaminan pelunasan hutang
antara
Debitur & Kreditur

Debitur Ingkar Janji / Wanprestasi

Debitur melakukan perlawanan / Debitur menyerahkan objek


tidak rela menyerahan objek jaminan fidusia dengan sukarela
fidusia kepada kreditur

Kreditur melakukan Gugatan


wanprestasi kepada Debitur di
Pengadilan Negeri

Putusan Pengadilan yang


menyatakan Debitur Wanprestasi
serta Sita Jaminan

Penjualan Objek Fidusia serta Penjualan Objek Fidusia serta


pelunasan pinjaman pelunasan pinjaman

Rumusan Masalah :

1. Apakah Putusan MK nomor 18/PUU- XVII/2019 dan nomor 2/PUU-


XIX/2021 sudah menjamin adanya kepastian hukum yang
berkeadilan ?
2. Bagaimanakah upaya hukum bagi penerima fidusia agar tetap
mendapat jaminan atas kebendaan yang sudah dijaminkan bilamana
debitur wanprestasi ?
61
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Mengacu pada permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan


bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui dan menganalisa kepastian hukum dari eksekusi


jaminan fidusia berdasarkan putusan MK nomor 18/PUU-
XVII/2019 dan nomor 2/PUU-XIX/2021
2. Mengentahui dan menganalisa upaya hukum bagi penerima
fidusia agar tetap mendapatkan jaminan atas kebendaan
bilamana debitur wanprestasi

Didalam menjalani kehidupan bermasyarakat dimana manusia sebagai makluk


sosial maka setiap orang dituntut untuk memenuhi segala kebutuhan pokok antara
lain Sandang, Pangan, Papan. kebutuhan pokok yang pertama Sandang dimana
dalam filosifi Jawa Ajining Rogo Soko Ing Busono dimana kebutuhan Sandang
merupakan kebutuhan hidup yang utama, kedua Pangan yaitu setiap orang wajib
mencukup seluruh kebutuhan makanan dalam keluarga untuk bertahan hidup, ketiga
yaitu Papan dimana suatu rumah merupakan tempat berlindung bagi keluarga selain
sebagai tempat berlindung juga sebagai suatu wujud pencapaian dari usaha atau
karier seseorang. Akan tetapi banyak hal yang harus dilalui untuk mencapai
kebutuhan pokok tersebut dan tidak sedikit masyarakat mendapatkan Fasilitas kredit
dari Perbankan baik itu berupa Kredit Modal Kerja atau Kredit Konsumsi, dimana
Kredit Modal Kerja digunakan menunjang usaha yang dijalankan semakin
berkembang ataupun Kredit Konsumsi yaitu kredit yang digunakan untuk memenuhi
/ membeli barang yang digunakan menunjung kebutuhan sehari hari. Sebagaimana
Pengerian Bank Menurut Undang-Undang Perbankan “Bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan
kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Akan tetapi Bank dalam menyalurkan kredit harus tetap berpegang teguh pada
prinsip Prudential Banking (asas kehati-hatian) dimana dalam pemberian kredit

62
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

harus tetap melakukan analisa-analisa khusus sebelum memberikan kredit kepada


seseorang. Salah satu syarat yang umum untuk dipenuhi adalah terkait Jaminan
Utang dan dalam hal ini Jaminan utang dapat berupa harta benda milik seseorang
baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, dan juga dapat berupa benda
bergerak terdaftar maupun benda bergerak tidak terdaftar. Dalam Praktek
dimasyarakat kebanyakan saat ini benda yang sering dimiliki dan digunakan sebagai
untuk dijaminkan adalah benda bergerak terdaftar sebagai Contoh : Sepeda Motor
dan Mobil. Didalam hukum perikatan benda bergerak diikat secara Fidusia dimana
terjadi peralihan hak kepemilikan suatu benda tersebut dari pemberi fidusia kepada
penerima fidusia akan tetapi objek fidusia tetap berada pada pemberi fidusia.
Dalam teorinya Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan
Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana dalam akta fidusia
memiliki irah irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”. Akan tetapi saat ini banyak perdebatan terkait eksekusi jaminan
fidusia pada saat Debitur telah wanprestasi atau nunggak membayar angsuran
kreditnya, perdebatan ini muncul Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
18/PUU-XVII/2019 & Nomor 2/PUU-XIX/2021yang menguji konstitusionalitas
Pasal 15 ayat (2)dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU No. 42 Tahun 1999). Maka terkait hal
tersebut dalam karya tulis dan penelitian ini akan mengkaji dan menganalisa terkait
kekuatan eksekutorial jaminan fidusia pasca putusan MK dan mencari solusi hukum
yang baik dan tepat untuk menghindari terjadinya perselisihan dikala salah satu
daripada debitur atau kreditur wanprestasi.

63

Anda mungkin juga menyukai