id
BAB II
LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. LANDASAN TEORI
1. Teori Critical Legal Studies
Teori hukum murni adalah tentang hukum positif umum, bukan tentang
tatanan hukum khusus. Sebagai sebuah teori, terutama dimaksudkan untuk
mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya menjawab
pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana hukum itu ada, bukan bagaimana
hukum mestinnya ada. Teori Hukum Murni merupakan ilmu hukum
(yurisprudensi), bukan politik hukum.
Teori hukum murni ini disebut “murni” lantaran teori ini hanya
menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan objek penjelasannya dari
segala hal yang tidak ada sangkut-paut dengan hukum. Apa yang menjadi
tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing. Inilah
landasan metodelogis dari teori itu.1
Landasan teori yang digunakan dalam kajian adalah Critical Legal Sudies
(CLS) atau studi hukum kritis dari pelopornya, Roberto M. Unger, dan Teori
Utilitas atau kegunaan atau manfaat hukum Jeremy Bentham, Critical Legal
Studies dideklarasikan pada saat dilakukannya sebuah konferensi di Madison,
Amerikan Serikat pada tahun 1977. Critical Legal Studies masih sering disebut
sebagai suatu gerakan atau aliran.
Critical Legal Studies bersumber dari Teori Hukum Kritis (Critical Legal
Teories). Teori Hukum Kritis dilatarbelakangi oleh pemikiran kritis Karl Marx,
yang direinterpertasikan oleh Frankfurt School dengan pelopornya yaitu Max
Horkheimer, Theodore Adorno, dan Herbert Marcuse. Menurut Karl Marx, yang
paling menentukan dalam sejarah dunia bukanlah politik atau ideologi,
melainkan ekonomi,2 sehingga Karl Marx mengartikan masyarakat sebagai
keseluruhkan hubungan-hubungan ekonomi, baik produksi maupun konsumsi,
1
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung : Nusamedia, 2015), hal.1
2
F.X. Adji Sameko, Studi Hukum Kritis : Kritik Terhadap Hukum Modern, (Bandung : Citra Aditya
Bhakti, 2005), hal. 35
13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1982), hal. 112
4
F.X. Adji Sameko, op. cit., hal. 36.
5
Ibid.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Ibid.
14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
(dispassionately), bebas dari bias politik dan penilaian pribadi. Legal Realism
mendorong untuk melihat hukum dalam kontek sosial.
Legal Realism bermaksud menentang ajaran hukum yang telah dianggap
paling benar yaitu ajaran sangat mengedepankan peran hukum positif, tanpa
memperhatikan realitas yang ada.10 Menurut Soetandyo Wigjosoebroto, legal
realism bukan mengabaikan sifat kajian-kajian hukum doktrinal, melainkan
bermaksud menegaskan bahwa di dalam setiap penciptaan hukum in concreto
selalu terjadi judgements, yaitu infitrasi pertimbangan yang bersifat extralegal.11
Jadi, dasar pijakan legal realism tetap pada norma atau hukum positif, tetapi
harus dikembangkan dengan menyertakan extralegal, yaitu fakta sosial atau
pengalaman hiduo sebagai masukan. Hukum tidak hanya sekedar sarana kontrol
sosial tetapi juga sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering).
Aliran Critical Legal Studies mengkritik aliran-aliran hukum yang
diyakini oleh sebagian besar ahli hukum sebagai aliran modern. Critical Legal
Studies memandang hukum sebagai bagian dari masyarakat, dan didalam hukum
terdapat kekuatan yang nyata serta kepentingan-kepentiangan yang dominan di
satu sisi dan aspirasi keadilan serta legitimasi disisi lain.12Critical Legal Studies
mengecam aliran liberalisme dan pluralisme hukum.13
Critical Legal Studies merupakan arus pemikiran hukum dikarangan ahli
hukum Amerika yang tidak puasa dan menentang paradigma liberal yang sudah
mapan dalam studi-studi hukum atau jurisprudence.14Critical Legal Studies lahir
sebagai akibat dari ketidakberdayaan hukum untuk menyelesaikan masalah
hukum dan masalah sosial saat itu di Amerikan Serikat. Critical Legal Studies
dipersatukan oleh ketidakpuasan terhadap tradisi pemikiran hukum liberal
(liberal legal thought) yang saat itu dominan, dan hanya sedikit dapat digunakan
untuk menjawab masalah-masalah keresahan sosial dan politik yang terjadi di
10
F.X. Adji Sameko, Justice Not Fot All : Kritik Terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum
Kritis, (Yogyakarta : Genta Pers, 2008), hal. 96.
11
Ibid.
12
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 9.
13
Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005) hal. 103
14
H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka
kembali, (Bandung : Refika Aditama, 2009), hal. 124
15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15
Ifdhal Kasim, “Berkenalan dengan Critical Legal Studies” dalam Roberto Mangabeira Unger, The
Critical Legal Studies Movement, (Elsem, 1999), hal. XI
16
Ibid., hal. xx
17
Munir Fuady, op. cit., hal. 107
16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18
Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum : Rampai Kolom & Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum,
(Jakarta : Kencana, 2008), hal. 139.
19
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 111
20
Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement, terjemahan Ifdal Kasim, (Elsam :
Jakarta, 1999), hal. xxv
18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 115.
22
Munir Fuady, Hukum jaminan Hutang, (Erlangga : Jakarta, 2013), hal. 5-6.
23
F.X. Adji Sameko, Op. Cit., hal.. 57.
19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24
Ibid.
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
F.X. Adji Sameko B, Op.Cit., hal. 93.
29
Ibid.
20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 171-172
31
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 107.
22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dilakukan melalui equity, ialah koreksi terhadap hukum apabila hukum itu
kurang tepat karena hukum itu bersifat umum.
Konsep Aristoteles ini kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquinas,
yang mengatakan bahwa secara ideal hukum terpancar dari kekuasaan untuk
memerintah guna kebaikan bersama.32 Tugas hukum yang baik tertulis didalam
hati dan kehendak rakyat, karena manusia merupakan makhluk rasional.
Menurut Teori Utility dari Jeremy Bentham (174-1832) bahwa hukum
bertujuan memberikan kebahagiaan terbesar untuk sebagaimana besar orang (the
greatest happiness for the greatest numbers).33 Hukum semata-mata
menghendaki hal yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna, hukum
ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah manusia yang terbesar
(utilitarisme).34Teori Utilitarianisme ini dikembangkan dengan prinsip bahwa
manusia yang melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang
sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.35 Rumusan yang bersamaan juga
diberikan oleh E. Utrecht bahwa menurut Jeremy Bentham hukum bertujuan
mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang, hukum bertujuan
menjamin adanya bahagia sebanyak banyaknya pada orang sebanyak-
banyaknya.36
Teori Utility atau Utilitarianisme dipilih dalam menganalisa
permasalahan didalam kajian ini disebabkan pelaksanaan lelang atau eksekusi
jaminan kredit adalah dimaksudkan untuk memenuhi kebahagiaan dan manfaat
yang sebesar-besarnya sebagai perwujudan perlindungan hukum bagi para pihak.
Alam telah menempatkan manusia dibawah perintah dua tuan yang
berkuasa, yaitu kesenangan dan sengsara.37 Utilitarianisme percaya bahwa yang
baik dan yang jahat bagi masyarakat harus diukur deangan faedah tindakan
dalam membantu tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan bagi sebagian
32
Ibid.
33
Ibid.
34
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de studie van het Nederlands recht),
terjemahan Oetarid Sadino, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1990), hal. 16
35
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung : Alumni, 1983), hal.
36
E. Utrecht, Pengantar dala Hukum Indonesia, (Jakarta : Penerbitan dan Balai Bukum “ichtiar”, 1964),
hal 27
37
Peter mahmud Marzuki, Loc. Cit, hal 120
23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
terbesar anggota masyarakat. Hukum yang efisien dan efektif adalah hukum
yang bisa mencapai visi dan misinya, yaitu memberikan kebahagiaan terbesar
kepada jumlah warga yang banyak.
Dengan demikian, kesenangan (kebahagiaan) dan kesengsaraan
(penderitaan) dijadikan sebagai alat ukur untuk menentukan suatu perbuatan itu
baik atau tidak baik untuk perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Perbuatan yang mendatangkan kesenangan atau kebahagiaan dianggap sebagai
perbuatan yang baik dan sesuai dengan hukum, sedangkan perbuatan yang
menimbulkan kesengsaraan dipandang sebagai perbuatan yang dilarang dan
bersifat melanggar hukum (jahat). Hukum itu dilihat dari segi empirisnya,
bermanfaat atau tidak. Jadi prinsip dasar dalam pembuatan hukum (Undang-
Undang) adalah kemanfaatan (utility). Hukum harus melarang perbuatan-
perbuatan yang menimbulkan kesengsaraan. Bagi Indonesia, kelahiran hukum
modern yang liberal, rasional, dam formal bukan akhir dari segalanya, melainkan
merupakan alat untuk merai tujuan yang lebih jauh yaitu kebahagiaan dan
kesejahteraan.
Beberapa prinsip dasar pemikiran teori Utilitas dari jeremy Bentham
adalah sebagai berikut :
a. Alam telah menempatkan manusia dibawah perintah dua tuan yang
berkuasa yaitu kesenangan dan sengsara.
b. Utility adalah prinsip-prinsip yang menyetujui atau menolak setiap
tindakan apapun yang tampak memperbesar atau mengurangi
kebahagiaan pihak berkepentingan yang terpengaruh oleh tindakan
itu.
c. Tugas pemerintah adalah meningkatkan kebahagiaan masyarakat
dengan memperbesar kesenangan yang dapat dinikmati masyarakat
dan memungkinkan terciptanya keamanan dengan mengurangi
penderitaan.
d. Alat untuk menentukan suatu perbuatan benar atau salah adalah
kebahagiaan terbesar untuk sebagian besar orang.
e. Apabila individu-individu yang membentuk masyarakat bahagia dan
24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38
Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Hukum dan Masalah-Masalah Kontemporer, (Jakarta : Rajawali
Pers, 1990), hal. 47
39
Johannes Ibrahim Kosasi, Hassanain Kaykal, Kasus Hukum Notaris Di Bidang Perbankan,(Jakarta
Timur : Sinar Grafika, 2021), hal. 25
40
Ibid.
41
Ibid
26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia berkenginan untuk tidak
berkeinginan membuat suatu perjanjian.
Konsep lain datang dari Bentham, yang merupakan penganut paham
utilitarisme. Menurut Bentham, ukuran yang menjadi patokan sehubungan
dengan kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap orang dapat bertindak bebas
tanpa dapat dihalangi hanya karena memiliki bargaining position atau posisi
tawar untuk dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhanya.42 Juga tidak
seorang pun sebagai satu pihak dalam suatu perjanjian dapat bertindak bebas
memenuhi hal tersebut, asal saja pihak yang lain dapat menyetujui syarat-syarat
perjanjian itu sebagai hal yang patut diterima. Dikatakan pula bahwa secara
umum tidak seorang pun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepetingan
dirinya kecuali dirinya sendiri.
Jadi pada prinsipnya kebebasan berkontrak berarti para pihak boleh
membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentang dengan Peraturan perundang-
undangan, Kesusilaan, dan Ketertiban umum. Pada pasal 1338 ayat (1) alenia ke-
1KUH Perdata menegaskan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”(pacta sunt
servanda).
Ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut perjanjian di
Indonesia adalah sebagai berikut :
a) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian
b) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian
c) Kebebasan untuk menentukan atau memilih klausula perjanjian
yang akan dibuatnya
d) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian
e) Kebebasan menentukan bentuk suatu perjanjian
f) Kebebasan untuk menerima/menyimpan ketentuan Undang-
42
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak
dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 44.
27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43
Sutan Remy Syahdeini, 1993, Op. Cit., hal. 47
44
Petter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group), 2008,
hal.158
28
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45
Ibid, hal.158
46
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta : Laksbang
Pressindo, 2010), hlm. 59
29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
penegakan hukum terhadap suatu tindakan yang tidak memandang siapa individu
yang melakukan. Melalui kepastian hukum, setiap orang mampu memperkirakan
apa yang akan ia alami apabila ia melakukan suatu tindakan hukum tertentu.
Kepastian hukum pun diperlukan guna mewujudkan prinsip-prinsip dari
persamaan dihadapan hukum tanpa adanya diskriminasi. Dari kata kepastian,
memiliki makna yang erat dengan asas kebenaran. Artinya, kata kepastian dalam
kepastian hukum merupakan suatu hal yang secara ketat dapat disilogismekan
dengan cara legal formal. Dengan kepastian hukum, maka akan menjamin
seseorang dapat melakukan suatu perilaku yang sesuai dengan ketentuan dalam
hukum yang berlaku dan begitu pula sebaliknya. Tanpa adanya kepastian
hukum, maka seorang individu tidak dapat memiliki suatu ketentuan baku untuk
menjalankan suatu perilaku. Sejalan dengan tujuan tersebut, Gustav Radbruch
pun menjelaskan bahwa kepastian hukum merupakan salah satu tujuan dari
hukum itu sendiri.
Gustav Radbruch menjelaskan, bahwa dalam teori kepastian hukum yang
ia kemukakan ada empat hal mendasar yang memiliki hubungan erat dengan
makna dari kepastian hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut :47
1. Hukum merupakan hal positif yang memiliki arti bahwa hukum positif
ialah perundang-undangan.
2. Hukum didasarkan pada sebuah fakta, artinya hukum itu dibuat
berdasarkan pada kenyataan.
3. Fakta yang termaktub atau tercantum dalam hukum harus dirumuskan
dengan cara yang jelas, sehingga akan menghindari kekeliruan dalam hal
pemaknaan atau penafsiran serta dapat mudah dilaksanakan.
4. Hukum yang positif tidak boleh mudah diubah.
47
https://www.gramedia.com/literasi/teori-kepastian-hukum/, diakses Pada Hari Minggu Tanggal 10 Juli
2021 Pukul 15:36 WIB
30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
mampu mengatur kepentingan setiap manusia yang ada dalam masyarakat dan
harus selalu ditaati meskipun, hukum positif tersebut dinilai kurang adil. Lebih
lanjut, kepastian hukum merupakan keadaan yang pasti, ketentuan maupun
ketetapan.Secara hakiki hukum haruslah bersifat pasti dan adil. Maksudnya,
hukum yang pasti adalah sebagai pedoman kelakukan serta adil adalah pedoman
kelakukan yang harus menunjang antara suatu tatanan dan dinilai wajar. Hanya
dengan bersifat pasti dan adil lah, maka hukum pada dijalankan sesuai dengan
fungsi yang dimilikinya.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Hukum Perikatan / Perjanjian
Mengenai istilah perjanjian dalam hkum perdata berasal dari istilah
Belanda sebagai sumber aslinya sampai saat ini belum ada kesamaan dan
kesatuan dalam menyalin kedalam Bahasa Indonesia dan kata lain belum ada
kesatuan terjemahan untuk istilah asing kedalam istilah teknis yuridis dari istilah
Belanda kedalam Istilah Indonesia. Maka dari ini dalam memahami suatu istilah
hukum dalam praktek maupun teoritis kita dapat merujuk pada Doktrin atau
pendapat ahli, dan dalam hal ini ada pendapat beberapa ahli hukum Indonesia
menerjemahkan istilah perjanjian didasarkan pada pandangan dan tujuan
masing-masing.
Dalam hukum perdata Nederland dalam hubunganya dengan istilah
perjanjian dikenal dua istilah yaitu VERBINTENIS dan OVEREENKOMST dan
dua istilah tersebut para ahli hukum perdata Indonesia berbeda-beda dalam
menafsirkan kedaam istilah hukum Indonesia. Diantaranya ada beberapa ahli
yang berpendapat mencoba menafsirkan dari dua istilah tersebut.
Utrecht, verbintenis diterjemahkan dengan perutangan dan overrenkomst
menggunakan istilah perjanjian. Achmad Ichsan menggunakan istilah perjanjian
perjanjian untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst. Kansil,
Verbintenis diterjemahkan perikatan dan perjanjian untuk menterjemahkan
overeenkomst. KUH Perdata terjemahan Subekti dan Tjitro Sudibio
menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan istilah persetujuan untuk
31
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48
Sutarno, Aspek-Aspek HukumPerkreditan pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2009), hal.72.
49
Ibid. Hal. 72-73
32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50
J.J.H. Bruggink (alih bahasa : Arief Sidharta), Refleksi tentang Hukum, (Bandung : Citra Aditya,
1996),hal. 119-120.
51
Satjipto Rahardjo, Peranan dan Kedudukan Asas-Asas Hukum dalam Kerangka Hukum Nasional
(Pembahasan terhadap Makalah Sunaryanti Hartono), Jakarta : Seminar dan LokakaryaKetentuan Umum Peraturan
Perundang-Undangan, 1998.
33
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 5.
34
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53
Subekti, 1984, Op.Cit, hal. 15.
54
Johannes Ibrahim Kosasi, Hassanain Kaykal, Op. Cit., hal. 30.
55
Subekti, 1984, Op.Cit, hal. 6.
35
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56
https://pn-bandaaceh.go.id/pembatasan-asas-freedom-of-contract-dalam-perjanjian-komersial/,
diakses pada tanggal 14 September 2022, Pukul 20.08 WIB
57
Ibid.
37
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58
Ibid
59
Ibid.
60
Ibid.
38
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61
Ibid.
62
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Mandar maju, 1985), hal. 106-107
39
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta :
Kencana, 2010, hal. 78-79
64
Ibid.
40
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65
Ibid
41
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66
Ibid. hal. 86
67
Ibid.
68
https://hukumexpert.com/asas-proporsionalitas-asas-keseimbangan/?detail=ulasan, diakses Pada Hari
Minggu Tanggal 10 Juli 2022 Pukul 15:53 WIB
42
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
69
Zulfi Diane Zaini “Indepensi Bank Indonesia dan Penyelesaian bank Bermasalah” CV. Keni Media,
Bandung,2012, hal.56
43
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70
Sutarno, Op. Cit. h.92
44
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
menanggung resiko, singkatnya kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen-
komponen kepercayaan, resiko, dan pertukaran ekonomi pada masa mendatang.71
Dalam kredit memiliki 4 (empat) unsure pokok yaitu kepercayaan, waktu,
resiko, dan prestasi adapun pengertian dari masing-masing unsur
sebagaimana berikut :72
- Kepercayaan berarti bahwa setiap pelepasan kredit dilandasi
dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut
akan dapat dibayar kembali oleh debiturnya sesuai dengan
jangka waktu yang telah diperjanjikan.
- Waktu disini berarti bahwa antara pelepasan kredit oleh
bank dan pembayaran kembali oleh debitur tidak dilakukan
pada waktu yang bersamaan, tetapi dipisahkan dengan
tenggang waktu
- Resiko disini berarti bahwa setiap pelepasan kredit jenis
apapun akan terkandung resiko didalamnya, yaitu resiko
yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit
dan pembayaran kembali. Hal ini berarti semakin panjang
waktu kredit semakin tinggi resiko kredit tersebut.
- Prestasi disini berarti bahwa setiap kesepakatan terjadi
antara bank dan debiturnya mengetahui suatu pemberian
kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan
kontra prestasi.
Dalam pelaksanaan atau dalam praktek pada saat ini, secara umum ada 2
(dua) jenis kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya atau kata lain
kepada pemohon (debitur), yaitu ditinjau dari segi tujuan pengunaannya dan
ditinjau dari segi jangka waktunya. Jenis kredit ditinjau dari segi tujuan
penggunannya dapat berupa :
a. Kredit produktif yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha
yang menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya.
Dalam pelaksanaan kredit produktif ada 2 (dua) kemungkinan dalam
penggunaannya antara lain :
- Kredit modal kerja yaitu kredit yang diberikan untuk
membiayai kebutuhan usaha-usaha, termasuk guna menutupi
biaya produksi dalam rangka peningkatan produksi atau
penjualan.
71
H. R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h. 124
72
Ibid. Hal. 124-125
45
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
73
SURAT EDARAN DIREKSI BANK INDONESIA No. SE-23/6/BPPP Tanggal 28 Februari 1991
Kepada Semua Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank di Indonesia Perihal : Jaminan Pemberian Kredit
46
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
a. Charcter (watak)
Penilaian watak debitur terutama didasarkan kepada hubungan yang telah
dijalin antara bank dengan debitur yang bersangkutan atau informasi yang
telah diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya, sehingga bank dapat
menyimpulkan bahwa debitur tersebut jujur, beritikad baik dan tidak akan
menyulitkan bank dikemudian hari.
b. Capacity (kemampuan)
Untuk menilai kemampuan, bank terutama harus meneliti tentang keahlian
debitur dalam bidang usahanya dan atau kemampuan manajemen debitur
sehingga bank merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dengan kredit
tersebut dikelola oleh orang-orang yang tepat.
c. Capital (modal)
Untuk penilaian terhadap modal, bank terutama harus melakukan analisis
terhadap posisi keuangan secara perkiraan untuk masa yang akan datang,
sehingga menunjang pembiayaan proyek atau usaha debitur yang
bersangkutan.
d. Condition of Economy (kondisi ekonomi/prospek usaha)
Untuk penilaian terhadap prospek usaha debitur, bank terutama harus
melakukan analis mengenai keadaan pasar di dalam maupun di luar negeri
baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang sehingga dapat
diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha debitur yang
dibiayai dengan kredit bank yang bersangkutan.
e. Colateral (agunan)
Selanjutnya dalam melakukan penilaian terhadap agunan, bank harus menilai
barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan
dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang ditambahkan sebagai
agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai, sehingga apabila debitur
tidak dapat melunasi kreditnya, agunan tersebut dapat digunakan untuk
menanggung pembayaran kembali kredit bank yang bersangkutan.
74
Gunardi Suharto, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum.(Yogyakarta : Kanisius, 2007), h.97
47
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Setiap Pejabat yang terlibat dalam kebijakan persetujuan kredit harus mampu
memastikan hal-hal berikut :75
a. Setiap kredit yang diberikan telah sesuai dengan prinsip perkreditan yang
sehat dan ketentuan perbankan lainnya,
b. Pemberian kredit telah sesuai dan didasarkan pada analisis kredit yang jujur,
objektif, cermat, dan seksama (mengunakan 5C’s Principlesi) serta
independent,
c. Adanya keyakinan bahwa kredit akan mampu dilunasi oleh debitur.
Telah dijelaskan dan dibahas sebelumnya bahwa kredit merupakan suatu hal yang
memiliki resiko untuk bank. Sebenarnya kredit akan berjalan lancer bilamana
Kreditur dan Debitur telah melaksanakan Hak dan Kewajiban masing-masing akan
tetapi akan menjadi masalah bilamana salah satu pihak mengingkarinya. Dikatakan
kredit bermasalah apabila debitur mengingkari janjinya membayar bunga dan/atau
kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau
sama sekali tidak ada pembayaran, dengan demikian mutu kredit menjadi merosot.
Didalam dunia perbankan suatu kredit dapat dikatagorikan dalam kredit bermasalah
apabila :76
a. Terjadinya keterlambatan pembayaran bunga dan/atau kredit induk lebih dari
90 hari semenjak tanggal jatuh temponya,
b. Tidak dilunasisama sekali atau,
c. Diperlukan negosiasi kembali dengan syarat pembayaran kembali kredit dan
bunga yang tercantum dalam pemberian kredit.
4. Hukum Jaminan
Dalam kegiatan bersmasyarakat saat ini sudah sangat tidak asing dengan
kegiatan pinjam meminjam uang guna memenuhi kebutuhan baik dalam bentuk
modal kerja atau konsumtif. Pada umumnya pihak pemberi pinjaman
mensyaratkan adanya jaminan utang sebelum memberikan pinjaman uang
kepada pihak peminjam. Sementara itu, keharusan penyerahan jaminan-jaminan
utang tersebut sering pula diatur dan disyaratkan oleh peraturan intern pihak
75
Rachmat Firdaus, Maya Ariyanti. Manajemen Perkreditan Bank Umum.(Bandung : Alfabeta, 2003),
hal.51
76
Sutoyo Siswanto. Menangani Kredit Bermasalah.(Jakarta : Pustaka Binawan Presindo, 1997) hal.12
48
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
77
Djaja S Meliana, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, (Bandung, :
Nuasa Aulia, 2019), hal. 27
52
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
KUH Perdata. Hak ini mirip/sama dengan hak Revindicatie dari seorang
pemilik.78 Jika debitur wanprestasi maka pemegang gadai berhak menjual
benda gadai atas kekuasaan sendiri. Hak pemegang gadai untuk menjual
barang gadai tanpa titel eksekutorial (tanpa perantara) disebut parate
eksekusi. Dengan demikian pemegang gadai menjual barang gadai
seakan menjual barangnya sendiri dan berhak mengambil pelunasan
piutangnya terlebih dahulu.79 Tetapi pasal 1555 ini merupakan ketentuan
yang bersifat mengatur (aanvullend). Para pihak diberi kebebasan untuk
memperjanjikan lain, mislanya melalui penjualan dimuka umum atau
dibawah tangan. Namun demikian pemegang gadai dilarang memiliki
benda gadai (Pasal 1154 KUH Perdata).
Hak dan Kewajiban Gadai80
Hak Pemegang Gadai :
(1). Menjual dengan kekuasaan sendiri
(parate eksekusi)
(2). Menjual barang gadai dengan perantara hakim
(Pasal 1156 ayat (1) KUH Perdata)
(3). Mempunyai hak retensi (pasal 1159 KUH Perdata)
(4). Hak didahulukan pembayarannya
(droit de preference)
Kewajiban pemegang Gadai :
(1). Bertanggung jawab atas hilangnya atau
berkurangnya nilai barang gadai (Pasal 1157 ayat 1 KUH Perdata)
(2). Berkewajiban untuk memberitahu pemberi gadai
jika barang gadai hendak dijual (pasal 1156 ayat 2
KUH Perdata)
(3). Bertanggung jawab terhadap hasil penjualan
barang gadai (pasal 1159 ayat 1 KUH Perdata)
78
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991) hal.
108
79
Ibid. Hal. 136
80
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab tentang Credietverband, Gadai, & Fidusia, (Bandung : PT Citra
Aditya Bakti, 1991) hal. 59
53
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
c. Fidusia
Fidusia atau Fiduciare Engendomsoverdracht (FEO), ialah
jaminan hak milik berdasarkan kepercayaan, yang merupakan suatu
bentuk jaminan atas benda bergerak disamping gadai dan resi gudang
yang lahir dari yurisprudensi. Jaminan Fidusia ini timbul dengan praktek
berkenaan dengan adanya Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata tentang
gadai, yang mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan
tidak boleh berada pada pihak debitur. Ketentuan ini mengakibatkan
pihak debitur tidak dapat mempergunakan benda yang dijaminkannya
untuk keperluan usahanya. Keadaan semacam ini kemudian dapat diatasi
dengan mempergunakan Jaminan Fidusia. Oleh karena itu, perbedaan
Jaminan Fidusia dengan Gadai terletak pada penguasaan benda yang
dijaminkan. Pada Gadai benda jaminan harus diserahkan oleh pihak
debitur kepada debitur sedangkan dalam fidusia yang diserahkan adalah
hak kepemilikan atas benda jaminan, benda jaminan itu sendiri tetap
berada ditangan dan dikuasai oleh Debitur.
Lembaga Jaminan Fidusia ini mulai disebut secara resmi dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Satuan Rumah Susun
(UU Surusun), yang menyatakan bahwa Rusun atau Sarusun (apartemen)
54
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dapat dibebani Hipotek dan Hak Tanggungan, jika hak tanahnya hak
milik maupun hak guna bangunan, atau dengan fidusia jika tanahnya hak
pakai atas tanah negara, sekarang ini hak pakai ini telah menjadi objek
hak tanggungan (Pasal 27 Undang-Undang Hak Tanggungan).
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999, berbunyi
sebagai berikut “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu
benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik
benda”. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999
menyatakan Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak
baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang –Undang Nomor 4 tahun 1999
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi
Fidusia. Sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan
kedudukan diutamakan kepada penerima Fidusia terhadap kreditur
lainnya.
Objek Fidusia
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia, pada umumnya benda yang menjadi objek
jaminan adalah benda bergerak yang terdiri dari benda persediaan
(barang inventaris), barang dagangan, piutang, peralatan mesin, dan
kendaraan bermotor. Dalam penjelasan umum butir 3 Undang-Undang
Jaminan Fidusia menyatakan : oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan
masyarakat yang terus berkembang maka menurut Undang-undang ini
objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas yaitu benda
bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud, dan benda tidak
bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang hak tanggungan.
Subjek Fidusia
Yang menjadi subjek atau para pihak dari jaminan fidusia adalah
55
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
81
Abdulkadir Muhammad¸ Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 131.
58
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Mengenai benda bergerak tak berwujud seperti piutang atas nama dan barang
lain, cara penyerahanya dilakukan menurut Pasal 613 KUH Perdata: untuk
piutang aan tooder (atas bawa) dilakukan dengan penyerahan surat tagihan
yang bersangkutan (feitelijke levering), untuk piutang aan order (atas
tunjuk) dengan endossement, sedangkan piutang op naam (atas nama)
dilakukan dengan membuat akta cessie.
• Verjaring (kadaluarsa/lewat waktu)
Benda bergerak tidak mengenal verjaring karena adanya asas
sebagaimana terkandung dalam pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata tersebut,
sedangkan benda tidak bergerak semula mengenal adanya verjaring, tetapi
setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria benda tidak bergerakpun
sudah tidak lagi mengenal adanya verjaring.
• Bezwaring (pembebanan/jaminan)
Mengenai bezwaring atau pembebanan terhadap benda bergerak
dilakukan dengan cara gadai, fidusia, atau resi gudang, sedangkan untuk
benda tidak bergerak dilakukan dengan hak tanggungan atau sebelumnya
dengan hipotik.
Didalam setiap benda baik berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak pasti memiliki yaitu hak kebendaan. Hak kebendaan adalah hak mutlak
atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Hak
kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu :
• Hak menikmati, seperti hak milik, bezit, hak memungut (pakai) hasil, hak
pakai, dan hak mendiami
• Hak yang memberikan jaminan, seperti gadai, fidusia, hak tanggungan,
hipotek, dan sistem resi gudang
Hak kebendaan ini merupakan sifat atau ciri-ciri yang dapat dibedakan
dengan hak perorangan, Perbedaannya adalah sebagai berikut :82
• Hak kebendaan adalah absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap
setiap orang, sedangkan hak perorangan bersifat relatif artinya hanya dapat
dipertahankan terhadap pihak tertentu
82
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda nasional, Bandung : alumni, 1993, hal. 30
59
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
C. KERANGKA BERFIKIR
Kerangka pemikiran atau kerangka teori pada dasarnya merupakan arah
penalaran.
Debitur menjaminkan benda bergerak
PERJANJIAN (AKAD) KREDIT sebagai jaminan pelunasan hutang
antara
Debitur & Kreditur
Rumusan Masalah :
62
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63