Anda di halaman 1dari 2

ISSN: 2338 4638 Volume 2 Nomor 9a (2018)

Jangan Jadikan Ulama ‘Bak Stempel’ Pemilu


Ahmad Mukri Aji*

Tahun politik 2019 merupakan


ajang pemilihan umum anggota
legislatif maupun presiden dan
wakil presiden. Pesta demokrasi
yang tentunya melibatkan rakyat
Indonesia sebagai pemilik suara.
Akan tetapi kesadaran memilih dan
menyalurkan aspirasi dalam pemilu
kerap diabaikan oleh masyarakat.
Hal ini tentunya disebabkan faktor
kekecewaan dan rasa apatisme
terhadap wakil rakyat dan
pemimpin terdahulu. Sehingga
mereka enggan berpartisipasi dalam
pemilu dan beranggapan bahwa
para pemimpin tidak dapat
mengubah kehidupan mereka
menjadi lebih baik. Anggapan
mereka, bekerja lebih utama
dibandingkan hanya ikut memilih
pemimpin yang belum tentu
amanah. Sehingga meninggalkan
pekerjaan sehari untuk mengikuti
pemilu dianggap mengurangi
demokrasi belum mampu 159 ayat (1) Undang-Undang
penghasilan, terlebih bagi mereka
mensejahterakan masyarakat Nomor 42 tahun 2008 yang
yang bekerja serabutan sebagai
(Varma, 2001: 295). menyatakan bahwa suara sah
buruh maupun kerja harian. Bila tak
Perilaku tidak ikut pemilu apabila lebih dari 50% dari jumlah
bekerja sehari, maka mereka tidak
dengan mengedepankan tidak suara dalam pemilu dengan
mendapat penghasilan untuk
meninggalkan pekerjaan kerap sedikitnya 20% suara di setiap
menyambung hidup hari itu.
didapatkan pada masyarakat provinsi yang tersebar di lebih dari
Dampak perilaku ini
awam khususnya di pedesaaan, setengah jumlah provinsi di
mengakibatkan terjadinya golput
daerah pelosok dan pesisir. Indonesia.
dalam pemilu. Hal ini senada
Sehingga apabila hal ini dibiarkan Ketentuan ini berlaku dan
dengan pendapat Varma yang
akan berimbas pada keberhasilan memang tidak mempengaruhi suara
menyatakan bahwa terjadinya
pemilu. Meskipun berapapun akibat ketidakhadiran mereka yang
golput disebabkan oleh rasa kecewa
besarnya kehadiran masyarakat golput. Suara tetap dianggap sah,
dan apatisme masyarakat yang
akan tetap dianggap sah pemimpin karena adanya kehadiran sebagian
memandang kinerja pemerintahan
terpilih asal telah memenuhi pemilik suara lainnya. Akan tetapi
hasil pemilu yang kurang amanah,
persyaratan perolehan suara. Hal permasalahannya pada kepedulian
selain anggapan bahwa nilai-nilai
ini sebagaimana diatur dalam pasal masyarakat terhadap pesta

- 81 -
demokrasi yang sejatinya adalah penyaluran suara dinafikan bahkan memiliki posisi sentral dan penting
rakyat. Bila partisipasi rakyat sangat rendah dalam guna memobilisasi masyarakat untuk mendukung salah
penyaluran suara, maka dipastikan pemilu yang satu parpol atau paslon dalam pemilu. Apalagi ulama
dihasilkan masih belum dianggap ideal dan berhasil. atau Kiai yang mempunyai pondok pesantren, maka
Disinilah diperlukan kesadaran dan partisipasi perkataannya adalah titah yang akan diikuti
masyarakat luas di segenap lapisan termasuk masyarakat, sehingga tentunya akan meningkatkan
masyarakat pedesaan, daerah pelosok dan pesisir. kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak
Guna mendorong kesadaran masyarakat, maka pilihnya.
diperlukan sosok figur yang berpengaruh dalam Figur seorang Ulama atau Kiai dalam pandangan
mendorong kesadaran mereka. Disinilah pentingnya masyarakat lebih dihormati dibandingkan figur-figur
peran ulama yang dapat mendorong dan pemimpin yang menjabat. Suara seorang ulama atau
mempengaruhi peningkatan kesadaran pemilih. Ulama, Kiai lebih didengar dari pada suara anggota dewan
baik itu Kiai pesantren, pimpinan ormas, penceramah/ maupun pemimpin daerah. Kondisi seperti ini
dai, para ustadz atau pun mubaligh tentunya memiliki merupakan tabiat kultural masyarakat Indonesia yang
peran besar dalam menyadarkan arti penting pemilu mengedepankan ketokohan kaum beragama.
bagi masyarakat. Menggunakan atau memanfaatkan figur ulama
Tak heran bila kemudian banyak pasangan calon untuk memenangkan pemilu memang sah-sah saja, asal
legislatif maupun eksekutif tertentu yang merangkul ulama yang bersangkutan dengan sadar memposisikan
ulama untuk dapat merestui pencalonannya atau diri sebagai pengarah ke arah yang lebih positif atau
bahkan dijadikan mitra langsung lebih baik. Tidak boleh ada
dalam ajang kontestasi politik tertentu. kepentingan apapun kecuali untuk
Bila pada posisi minta restu pada kepentingan umat dan agama.
ulama, maka aspek kultural ulama di Sehingga sosok ulama dalam
tengah masyarakat dengan percaturan kancah politik tidak
memberikan legitimasi religius atau melupakan tujuan mulia yaitu
fatwa berupa dukungan formal mengajak masyarakat untuk sadar
melalui pengajian-pengajian maupun menggunakan hak pilihnya, yang
even keagamaan tertentu. Sehingga tentunya untuk memilih pemimpin
masyarakat akan meniru dan yang amanah dan selalu
mengikuti apa yang menjadi arahan mementingkan kepentingan umat atau
ulama tersebut. rakyat.
Akan tetapi uniknya, para elit Oleh karena hal tersebut, calon anggota
politik kerap hanya menjadikan ulama dewan atau paslon pemimpin daerah yang terpilih
sebatas “Bak Stempel” politik. Didatangi hanya disaat nantinya tidak boleh hanya sekedar menjadikan ulama
jelang pemilu, tetapi ketika hajat politik telah usai, maka sebatas ‘Bak Stempel,’ tetapi harus selalu bersinergi
ulama ditinggalkan. Nasehat dan petuah ulama tidak dengan ulama, memimpin masyarakat dengan
lagi didengar bahkan kerap diabaikan. Sehingga berpegang teguh pada kepentingan agama dan umat.
dampaknya, lagi-lagi masyarakat menjadi kecewa dan Sehingga tercapai keberkahan dan kedamaian yang
tidak percaya pada pemimpin yang terpilih. dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala.[]
Sejatinya politik sebagaimana penyataan Ramlan
Surbakti merupakan interaksi antara pejabat politik Pustaka Acuan:
(pemerintah) dan masyarakat dalam rangka proses * Penulis adalah Ketua Umum MUI Kabupaten Bogor
pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat sekaligus dosen tetap bidang Hukum Islam Univer-
tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal sitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
dalam suatu wilayah tertentu (Surbakti, 1992:11). Jadi Varma, S.P. Teori Politik Modern, Jakarta: PT. Raja
pasca pemilu masih harus ada sinergitas antara pemilik Grafindo Persada, 2001.
hajat politik dengan ulama dan masyarakat. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta:
Peran ulama terutama Kiai memang tidak dapat Gramedia Widya Sarana, 1992.

‘Adalah; Buletin Hukum dan Keadilan merupakan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional
(POSKO-LEGNAS), Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penasehat: Prof. Dr. H. Abdul Ghani Abdullah, SH., Prof. Dr. H. A Salman Maggalatung, SH., MH. Pemimpin Redaktur: Indra
Rahmatullah, Tim Redaktur: Nur Rohim Yunus, Fathuddin, Mara Sutan Rambe, Muhammad Ishar Helmi, Erwin Hikmatiar. Penyunting:
Latipah, Siti Nurhalimah. Setting & Layout: Siti Romlah

- 82 -

Anda mungkin juga menyukai