Ios Sopandi : 7775210023 Dewi Amalia. R : 7775210007
Ardian Havidani : 7775210016
Resume Buku Democracy For Sale
BAB VI “JEJARING SOSIAL DAN BARANG BERSAMA” Dalam melakukan mobilisasi, kapasitas partai yang lemah menghasilkan suatu politisasi kehidupan yang intensif yang berumur pendek hanya ada saat sekitar waktu pemilihan. Politisi melihat jejaring sosial sebagai alat politik yang berguna untuk mengikat jejaring tersebut kedalam organisasi kampanye merka. Hampir setiap jenis jejaring sosial dapat dirubah menjadi modal politik, contohnya sseperti organisai pedagang pasar, organisasi keagamaan, kelompok seni beladiri, dll. (Tilly 2004:5) Para Politisi menggunakan jaringan kepercayaan dimana anggotanya dapat mrngajukan permintaan untuk mendapatkan perhatian atau bantuan dari orang lain. Jejaring semacam itu dapat menjadi modal politik karena kewajiban, keintiman, dan control sosial yang dihasilkan dari hal-hal tersebut dapat membantu memfasilitasi pertukaran klientelistik. Banyak dari kegiatan kampanye terdiri dari pembuatan kesepakatan diantara para calon, coordinator tim sukses dan perwakilan dari berbagai jejaring sosial. Kampanye oemilihan umum dijadikan kesempatan untuk mengambil hati pemegang kekuasaan dan mendapatkan uang dan sumber daya untuk diri sendiri dan anggotanya. Karakter penting dari pemilihan umum di Indonesia adalah penyedian barang Bersama, yaitu barang yang memberi manfaat kepada kelompok secara kolektif contohnya renovasi masjid dan pengaspalan jalan. Tetapi faktanya metode tersebut tidak dapat menjamin untuk memberikan suara. Sehingga cara yang terbaik adalah menggabungkan hadiah kolektif dengan pembelian suara. MENCARI MASSA RIIL Sebagai jalan pintas untuk menjangkau masa, politisi Indonesia harus berkeja keras utuk memetakan jejaring sosial dan identifikasi para pemmimpin di daerah yang menggunakan pengaruhnya terhadap anggota masyarakatnya. Karena penilaian yang keliru terhadap realitas soasial akan memberikan dampak yang sangat merugikan. Para calon dan team kampanye harus menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk memeriksa daya pengaruh dari para pemuka masyarakat. BERBAGAI MACAM JEJARING Untuk memahami berbagai rupa jejaring ini dan berbagai cara bagaimana jejaring tersebut ditarik ke dalam politik, ada baiknya kita membedakan antara jejaring pengaruh dan jejaring manfaat. Pembedaan ini terutama merupakan perangkat heuristik, dalam arti bahwa pembedaan antara kedua kategori tersebut sering diturunkan dalam ranah praktik tetapi sangat membantu untuk menggambarkan pergeseran yang lambat dan tak kentara dalam hal karakter kampanye pemilihan umum. Contoh utama dari jejaring pengaruh adalah organisasi-organisasi keagamaan, yang secara historis telah memainkan peran yang sangat penting dalam perpolitikan Indonesia. Merebaknya organisasi-organisasi keagamaan di tingkat komunitas - masjid, mushola, sekolah-sekolah keagamaan, kelompok-kelompok sembahyang dan pengajian, persaudaraan sufi, lembaga- lembaga pengkajian kitab suci, paduan suara dan sebagainya - ditambah dengan fakta bahwa para pemimpin agama jelas memberikan pengaruh atas pengikut mereka, yang secara eksplisit membimbing mereka dalam masalah-masalah moralitas dan perilaku sosial, membuat kelompok-kelompok keagamaan menjadi sasaran utama para politisi untuk mendapatkan akses ke massa. Tingkat pengaruh yang tinggi seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti kepala desa memiliki makna yang signifikan. Pola keterkaitan antara pemilih dan perwakilan pemerintah di tingkat masyarakat ini adalah contoh yang baik dari jejaring manfaat, dalam arti bahwa pengaruh tokoh masyarakat semacam itu terhadap para pemilih sebagian besar didasarkan pada kapasitas mereka untuk memberikan manfaat bagi para warganya dalam hal ini akses-akses ke sumber-sumber daya negara yang bermanfaat. PEMBERIAN HADIAH DAN KETERBATASAN BARANG BERSAMA Strategi pemilihan umum yang paling efektif tidak bergantung pada hadiah berupa barang bersama atau pembelian suara individual secara sendiri-sendiri, tetapi dalam kombinasi keduanya. Calon yang paling efektif adalah mereka yang membina wilayah yang menjadi targetnya dan membuka dengan barang-barang bersama dalam berbagai jenis, tetapi yang kemudian menindaklanjutinya dengan upaya pembelian suara secara individual atau pemberian hadiah secara perorangan menjelang hari pemilihan. Sering kali para calon berbicara tentang barang bersama yang mereka berikan kepada komunitas atau masyarakat yang menjadi target mereka dan menyebutnya sebagai “pintu masuk” atau cara “membuka jalan”, sementara pemberian uang tunai adalah cara untuk “mengikat” para pemilih kepada mereka. Tidak mengherankan bahwa pemilihan umum merupakan bisnis yang mahal bagi para calon. KESIMPULAN Kapasitas mobilisasi yang lemah dari partai-partai politik di Indonesia pasca Orde Baru (Reformasi) menumbuhkembangkan politisasi yang kuat dari berbagai jejaring sosial non- partai pada waktu pemilihan. Berhubung calon perlu mencari tempat lain untuk mengembangkan sarana agar bisa terhubung dengan para pemilih, mereka mencoba memasukkan berbagai jejaring sosial ke dalam tim dan kegiatan kampanye mereka. Berbeda dari negara-negara dengan jejaring partai politik yang kuat seperti di Argentina atau bahkan India, para politisi Indonesia pada umumnya harus membangun jejaring politik mereka sendiri. Kebutuhan yang tidak bisa dihindari untuk melakukan kesepakatan ad hoc dengan para pemuka masyarakat sangat berpengaruh terhadap besarnya biaya kampanye pemilihan. Jenis instrumentalisasi politik seperti ini memiliki konsekuensi penting terhadap sifat pemerintahan di Indonesia. Selain menambah pengeluaran pribadi bagi calon saat berjuang untuk maju merebut posisi jabatan politik melalui pemilihan, dan meningkatkan dorongan mereka untuk terlibat dalam korupsi, kebutuhan atas pengembangan jaringan juga membentuk karakter program pemerintah. Seiring para politisi semakin sadar bahwa peluang mereka untuk terpilih kembali sangat bergantung pada terbangunnya koneksi dengan jejaring sosial setempat, mereka pun tak segan-segan memanfaatkan program pemerintah untuk membina jejaring semacam itu.