Anda di halaman 1dari 8

CLINICAL SKILL TRAINING

PEMERIKSAAN FUNGSI LUHUR

Oleh:
Dinda Asari Zulkarnain
(70700121008)

Pembimbing:
dr. Arlina Wiyata Gama

Supervisor:
dr. Lilian Triana Limoa, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN
2021
PEMBAHASAN

A. Pendahuluan
Fungsi luhur merupakan sifat khas manusia. Yang membedakan
antara otak manusia berbeda dengan hewan adalah korteks asosiatifnya,
yang menduduki daerah antar berbagai korteks perseptif primer. Fungsi
luhur yang khas bagi manusia mencakup aktivitas yang memiliki
hubungan dengan kebudayaan, bahasa, ingatan, dan pengertian. Fungsi
luhur berkembang pada manusia melalui mekanisme neuronal yang
memungkinkan penyadaran dan pengenalan segala sesuatu yang berasal
dari dunia luar dirinya, sehingga menjadi pengalaman dan miliknya yang
dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan dirinya kepada dunia luar
secara adekuat. Komponen fungsi kortikal luhur mencakup language,
memory, visuospatial, emotion or personality, cognition1,2.

B. Gnosia
Pengenalan suatu objek adalah langkah pertama yang diperlukan
untuk menyebutkan nama, menggunakan, dan bereaksi secara emosional
terhadap objek tersebut. Kemampuan untuk menerima informasi/stimulus
visual, somatosensori, atau auditori spesifik merupakan modalitas untuk
mengaktifkan asosiasi jaringan saraf yang terletak di girus temporal bagian
anterior kiri dan kutub temporal. Adanya gangguan pada pengenalan
terhadap suatu stimulus disebut agnosia1,3.
Agnosia adalah berkurangnya kemampuan untuk memahami
informasi sensorik. Agnosia visual paling umum dan terlihat pada lesi di
luar korteks visual menuju bagian posterior lobus temporal. Gejala dapat
bersifat umum seperti ketidakmampuan untuk mengenali semua jenis
objek, atau lebih spesifik seperti ketidakmampuan untuk mengenali wajah
(prosopagnosia) atau untuk mengamati lebih dari satu objek
(simultanagnosia). Agnosia taktil adalah ketidakmampuan untuk

2
mengenali objek dengan sentuhan tangan dan jari. Gejala ini terjadi
dengan lesi lobus parietal kontralateral1,3.

C. Gangguan Cara Berbahasa


Kemampuan untuk berbicara atau memahami kata-kata yang
diucapkan adalah salah satu fungsi kortikal pada manusia. Area Brocas
dan Wernickes disebut pusat bicara karena lesi masing-masing
menghasilkan afasia motorik atau sensorik. Bicara dan pemahaman sangat
dipengaruhi oleh area kortikal asosiatif dan korteks visual1,3.
Gangguan cara berbahasa disebut afasia. Namun lebih tepat untuk
menggunakan istilah disfasia karena umumnya kemampuan untuk
berbicara tidak hilang secara mutlak. Afasia didefinisikan sebagai
hilangnya kemampuan normal untuk berbicara (afasia motorik) atau
memahami kata-kata yang diucapkan (afasia sensorik). Hal ini erat
kaitannya dengan hilangnya kemampuan menulis atau membaca. Afasia
global terjadi pada lesi simultan pada area Broca, area Wernicke, lobus
parietal inferior dan white matter di bawahnya1,3.
Pada afasia motorik adalah hilangnya kemampuan untuk berbicara,
namun masih memahami Bahasa. Verbal dan visual serta memahami
perintah untuk melakukan sesuatu. Pada Afasia sensorik kemampuan
untuk memahami Bahasa verbal dan visual terganggu atau hilang, namun
kemampuan mengucapkan kata dan menulis kata masih ada walaupun
yang diucapkan atau ditulis tidak memiliki makna1,3.

D. Gangguan Artikulasi (Disartria)


Disartria merupakan gangguan alat ucap yang disebabkan oleh
kerusakan sistem saraf pusat yang secara langsung mengontrol aktivitas
otot yang berperan dalam proses artikulasi untuk pembentukan suara
pengucapan. Bentuk gangguan berbicara yang meliputi gangguan
artikulasi disebabkan karena penurunan gerak dari otot-otot organ bicara
termasuk ke dalam bentuk disartria. Penderita disartria tidak mengalami

3
kesulitan dalam memahami suatu ujaran, membaca dan menulis. Penderita
disartria hanya mengalami kesulitan dalam mengujarkan ujaran. Disartria
juga merupakan gangguan motorik dari pengucapan akibat kelemahan otot
mulut dan pernapasan1,4.
Gangguan terhadap otot mulut dan pernafasan tersebut
mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam berbahasa lisan, sebab untuk
melakukan percakapan atau sebuah ujaran yang normal atau mudah
dipahami lawan bicara seseorang harus memiliki fungsi otot mulut, alat
artikulasi dan pernafasan yang baik. Tanda dan gejala pada penderita
disartria yaitu bicara pelo atau tidak jelas, nada lunak dan lambat,
terbatasnya gerakan bibir, lidah dan rahang, perubahan kualitas vokal
(sengau), serak, dan sulit untuk mengunyah dan menelan1,4.

E. Teknik Pemeriksaan
Kuesioner Mini Mental State Examination (MMSE) adalah salah
satu instrumen yang paling umum digunakan untuk menilai adanya
penurunan kognitif. MMSE terdiri dari pertanyaan yang menilai lima
bidang fungsi kognitif (orientasi, memori, perhatian/konsentrasi,
keterlambatan mengingat, bahasa). Skor maksimal adalah 30, dimana skor
kurang dari 24 dikategorikan sebagai memiliki gangguan kognitif5.

NILAI
NO LANGKAH/KEGIATAN (TES) NILAI
MAKS
I. ORIENTASI
1. Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), (hari)
5
apa?
2. Kita berada dimana? (negara), (privinsi), (kota), (rumah
5
sakit), (lantai/kamar berapa)
II. REGISTRASI
3. Sebutkan 3 nama benda (apel, meja, koin) tiap benda 1 3

4
detik, klien diminta mengulangi ketiga nama benda tadi.
Nilai 1 untuk tiap nama benda yang benar. Ulangi
sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar, catat
jumlah pengulangan.
III. ATENSI DAN KALKULASI
4. Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang
benar. Hentikan setelah 5 jawaban.
100 - 7 = 93
93 - 7 = 86
86 - 7 = 79
5
79 - 7 = 72
72 – 7 = 65
Atau disuruh mengeja terbalik kata “WAHYU” (nilai
diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan,
misalnya UYAHWE = 2 nilai)
IV. MENGINGAT KEMBALI (RECALL)
5. Klien disuruh menyebutkan kembali 3 nama benda di
3
atas.
V. BAHASA
6. Menyebutkan : Klien disuruh menyebutkan nama benda
yang ditunjukkan (pensil, buku). 2
Beri skor 1 untuk setiap jawaban benar.
7. Pengulangan : Klien disuruh mengulang kata-kata
“bukan, itu bukan…….!, tetapi itu…… dan …..!. 1
Beri skor 1 bila pengulangan benar.
8. Klien disurh melakukan perintah : “ambil kertas itu
dengan tangan anda, lipatlah menjadi dua dan letakkan
3
di lantai”.
Beri skor 1 poin untuk setiap langkah yang benar
9. Membaca : pada kertas yang tercetak kalimat : 1
“pejamkan mata anda” dengan huruf yang cukup besar.

5
Minta pasien untuk membacanya dan melakukan apa
yang yang tertulis. Skor benar hanya bila pasien
memang memejamkan matanya.
10. Menulis : dengan secarik kertas, minta pasien menulis
sebuah kalimat yang harus ditulisnya secara spontan.
Kalimat harus mengandung subjek dan kata kerja, serta 1
berarti. Tata bahasa dan tanda baca dikecualikan.
Gangguan menulis disebut agrafia.
VI. KONSTRUKSI
11. Pada secarik kertas kosong yang bergambar dua segi
lima yang saling bersentuhan seperti berikut ini, tiap sisi
berukuran 2 cm. Minta pasien untuk menirunya dengan
tepat. Kesepuluh sudut harus nampak, dimana dua sudut
saling bersebelahan untuk memperoleh satu poin.
1

INTERPRETASI SKOR :
24-30 : No Cognitive Impairment / Normal
17-23 : Mild Cognitive Impairment / Probable Gangguan Kognitif
0-16 : Severe Cognitive Impairment / definite Gangguan Kognitif

DAFTAR PUSTAKA

6
Mardjono PDM, Sidharta PDP. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke. Dian
Rakyat; 2014.
Akhmad, Sahmad, Hadi I, Rosyanti L. Mild Cognitive Impairment ( MCI )
pada Aspek Kognitif dan Tingkat Kemandirian Lansia dengan Mini-Mental
State Examination ( MMSE ) Sebagai bagian dari penilaian Penuaan ,
diperkirakan prevalensi gangguan kognitif tanpa demensia sekitar 22 %
dengan usia 71. Heal Inf J Penelit. 2019;11(1).
Tysnes. Neurological Examination of Cortical Function Deficits. Acta
Neurologica Scandinavica; 2009.
Yuliastuti RA, Handayani H, Kartini Y. PERUBAHAN KEMAMPUAN
KOMUNIKASI VERBAL PASIEN STROKE ISKEMIK DENGAN
DISARTRIA PASCA LSVT LOUD DI RSI JEMURSARI SURABAYA:
The Increasing Of Verbal Communication Ability of Stroke Ischemic Patient
With Dysarthria Post LSVT Loud. J Ilm Keperawatan. 2018;4(2):35-44.
doi:10.33023/jikep.v4i2.183
Akhmad. Mild Cognitive Impairment ( MCI ) pada Aspek Kognitif dan
Tingkat Kemandirian Lansia dengan Mini-Mental State Examination
( MMSE ) Sebagai bagian dari penilaian Penuaan , diperkirakan prevalensi
gangguan kognitif tanpa demensia sekitar 22 % dengan usia 71. Heal Inf J
Penelit. Published online 2019.

7
8

Anda mungkin juga menyukai