Anda di halaman 1dari 14

UPAYA PERBAIKAN IDENTITAS BIMBINGAN KONSELING DI MASYARAKAT

Mata Kuliah :
Seminar Kapita Selekta BK
Dosen Pengampu :
Ishaq Matondang, S.Psi., M.Psi

Kelompok 6
Andini Dwi Cahyanti (1223151011)
Akbar Nurhakim Nst (1223151012)
Dewi Ramadana (1223151022)
Gracia Hutasoit (1223151023)
Raihan Zaki Altiaz (1223351037)

BK REG C 2022

BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga laporan
projek ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah membimbing dengan memberikan sumbangan
materi maupun mengemukakan yang ada dalam pikirannya.

Harapannya agar laporan ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, untuk ke depannya memperbaiki bentuk maupun menambah isi laporan ini supaya
menjadi laporan yang jauh lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman sehingga masih banyak kekkurangan dalam laporan ini. Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Medan, Juni 2023

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................1

BAB II TUJUAN..........................................................................................................................3

BAB III ALAT DAN BAHAN YANG DIGUNAKAN.............................................................4

BAB IV KASJIAN PUSTAKA, DUKUNGAN DATA DAN INFORMASI AWAL.............5

BAB V PROSEDUR KEGIATAN.............................................................................................7

BAB VI HASIL PENELITIAN..................................................................................................8

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI........................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................10

LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Bimbingan dan Konseling (BK) merupakan suatu profesi yang terintegrasi dalam
pendidikan formal. Pengakuan tersebut sudah termaktub dalam kurikulum tahun 1975 yang
menyebutkan bahwa terdapat tiga wilayah di dalam pendidikan formal, yaitu: manajemen dan
supervisi, pembelajaran, dan bimbingan dan konseling. Kurikulum 1975 menunjukkan bahwa
perlu menggarap aspek psikologis siswa disamping ranah kognitif yang diampu oleh guru dalam
pelaksanaan pendidikan (Santoso, 2009: 13-14). Oleh karena itu, BK mendapat peran penting di
dalamnya. Hal ini, didukung dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat 6
yang menyatakan bahwa guru BK atau konselor sebagai salah satu kualifikasi pendidik yang
sejajar dengan guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur.
Meskipun posisi konselor dalam pendidikan disejajarkan dengan guru, namun kondisi itu tidak
meredupkan ciri khas dan keunikan konselor sebagai suatu profesi. Konselor memiliki payung
organisasi profesi tersendiri yang disebut dengan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
(ABKIN). ABKIN sebagai organisasi profesi BK terpisah dengan PGRI. Perlu disadari juga
bahwa BK memang tergolong profesi yang muda jika dibandingkan dengan profesi lain seperti
polisi, dokter, tentara, ataupun guru. Namun, BK tetap memiliki spirit untuk terus berupaya dan
berusaha mewujudkan BK sebagai suatu profesi yang diakui eksistensinya pada semua kalangan.

Pekerjaan bisa dikatakan sebagai profesi apabila telah memenuhi sejumlah syarat yang
ditentukan, demikian halnya dengan BK. Menurut Uno (2010), syarat suatu profesi yaitu:
keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis, menggeluti suatu batang ilmu yg khusus,
asosiasi profesi, pendidikan yang ekstensif, ujian kompetensi, pelatihan institutional, lisensi,
kode etik, mementingkan layanan di atas kepentingan pribadi, status dan imbalan yang sesuai.
Syarat yag disebutkan telah dipenuhi oleh BK, dengan demikian BK bisa dikatakan dan diakui
sebagai suatu profesi. Pengakuan tersebut didapatkan secara de jure yang mana secara legal telah
terbentuk berbagai regulasi sebagai payung hukum mengenai keberadaannya. Namun
kenyataannya, masyarakat belum sepenuhnya menyambut baik dan memandang BK dengan
segenap mata. Paradigma yang selama ini berkembang cenderung mengarah pada berbagai
stigma. Kesalahpahaman mengenai ekpektasi dan kinerja konselor sebagai penyelenggara

iv
layanan BK seperti sebuah mindset yang telah mengakar kuat. Konselor adalah polisi sekolah,
konselor bertugas menghukum dan mendisiplinkan, konselor hanya menangani siswa yang
bermasalah, dan berbagai pandangan lain yang menciderai profesi seolah sudah terintegrasi
dalam pandangan masyarakat luas dan sulit dihapuskan.

Pada dasarnya pelaksanaan BK dalam jalur pendidikan formal di Indonesia telah diatur
oleh pemerintah secara komprehensif. Pengaturan pelaksanaan yang dimaksudkan tercantum
dalam buku Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling
dalam Jalur Pendidikan Formal (Depdiknas, 2008). Dalam buku tersebut, secara jelas dibahas
mengenai kompetensi, sikap dasar, konteks tugas, dan ekpektasi kinerja konselor. Ketentuan-
ketentuan mengenai karakteristik profesional konselor yang telah ditetapkan seyogianya
terintegrasi dalam diri masing-masing konselor. Pada akhirnya, berbagai stigma yang terbentuk
akan luntur dan diganti dengan terbentuknya kepercayaan. Namun sepertinya, munculnya
ketetapan mengenai sejumlah karakteristik konselor tersebut belum cukup menjamin adanya
pengakuan dari masyarakat. Lain halnya dengan berbagai profesi lain yang sudah mapan dan
mendapat pengakuan baik secara de facto maupun de jure. Profesi lain yang dimaksud seperti
dokter, polisi, perawat, guru, jaksa, tentara, dan sebagainya. Dari segi kompetensi dan
keterampilan, semua masyarakat memahami bahwa dokter bertugas untuk menyembuhkan orang
sakit, polisi bertugas dalam bidang keamanan, hakim bertugas untuk menegakkan keadilan, dst.
Terlebih lagi, deretan profesi tersebut telah dilengkapi dengan atribut yang secara kasat mata
dapat menjadi karakteristik, pembeda, dan menunjukkan identitas profesinya. Atribut tersebut
secara filosofis dapat dijelaskan keterkaitannya dengan kompetensi dan keterampilan yang
dimiliki. Dengan demikian, terbukti betapa pentingnya peran penampilan untuk mendapatkan
kepercayaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Egan (2010: 37) yang mengatakan bahwa unsur
yang membentuk kepercayaan meliputi kompetensi, sikap, dan penampilan.

v
BAB II

TUJUAN

Adapun tujuan dari projek yang dilaksanakan adalah untuk mengubah Kesalahpahaman
mengenai ekspektasi dan kinerja konselor sebagai penyelenggara layanan BK seperti sebuah
mindset yang telah mengakar kuat serta pandangan masyarakat terhadap bimbingan dan
konseling. Beberapa kesalahpahaman yang dimaksud antara lain, BK hanya menangani siswa
yang nakal/ bermasalah, BK sebagai polisi sekolah yang bertugas menghukum dan
mendisiplinkan siswa, BK hanya sebagai pemberi nasihat, Tugas BK bisa dilakukan oleh siapa
saja. Oleh karena itu, sebagai jawaban atas PR mengenai identitas profesi BK salah satunya
adalah melalui penampilan konselor. Penampilan yang dimaksud dapat dimanifestasikan dalam
bentuk atribut. Atribut tersebut secara kasat mata bisa menjadi identitas BK yang menjadikan
keunikan dari profesi lainnya.

vi
BAB III

ALAT DAN BAHAN YANG DIGUNAKAN

Adapun alat dan bahan yang dibutuhkan dalam melakukan projek ini yaitu :

 Rancangan model busana yang akan digunakan dalam pembuatan atribut bimbingan dan
konseling
 Contoh model yang digunakan agar menunjukkan gaya yang santai, sederhana, dan
memberikan kesan yang nonformal. Unsur nonformal tersebut digunakan agar tidak ada
kesan terlalu resmi dan membuat jarak antara konselor dan konseli.
 Pemilihan warna yang akan digunakan dalam rancangan busana. Setiap warna
memberikan kesan dan identitas tertentu, walaupun itu subjektif tergantung pada
pengamatnya. Warna mempunyai asosiasi dengan pribadi seseorang, memiliki kekuatan
yang mampu mempengaruhi citra orang yang melihatnya, dan mampu memberikan
respon secara psikologis (David dalam Arsyad, 2011).

vii
BAB IV

KAJIAN PUSTAKA, DUKUNGAN DATA, DAN INFORMASI AWAL

Pengakuan BK sebagai Profesi

Pengakuan penuh untuk sebuah profesi dapat dicapai melalui dua cara, yaitu de facto dan
de jure. Secara de jure profesi BK sudah mendapat pengakuan resmi oleh pemerintah yang
diintegrasikan dalam wilayah pendidikan formal. Selain itu, berbagai regulasi ditetapkan untuk
menyatakan BK telah memenuhi syarat sebagai suatu profesi. Pengakuan BK sebagai suatu
profesi dimulai dari diberlakukannya kurikulum tahun 1975 yang menyebutkan bahwa BK
terintegrasi dalam pendidikan formal. Kurikulum tahun 1975 yang menyebutkan bahwa terdapat
tiga wilayah di dalam pendidikan formal, yaitu: manajemen dan supervisi, pembelajaran, dan
bimbingan dan konseling (Depdiknas, 2008: 11). Peran penting BK dalam ranah pendidikan
formal adalah menggarap aspek psikologis siswa.

Pengakuan tersebut dikuatkan oleh UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat 6
yang menyatakan bahwa guru BK atau konselor sebagai salah satu kualifikasi pendidik yang
sejajar dengan guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur.
Meskipun posisi konselor dalam pendidikan disejajarkan dengan guru, namun kondisi itu tidak
meredupkan ciri khas dan keunikan konselor sebagai suatu profesi. Selain konteks tugas dan
ekspektasi kinerja konselor, bentuk pembeda dari profesi konselor dan pendidik yang lain adalah
organisasi profesi. BK memiliki ABKIN yang terpisah dari PGRI. Selain itu, dalam
Permendiknas No. 27 tahun 2008 telah diatur mengenai standar kualifikasi akademik dan
kompetensi konselor. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa konselor adalah lulusan
pendidikan S1 bidang Bimbingan dan Konseling dan telah mengikuti Pendidikan Profesi
Konselor. Selanjutnya terkait dengan kompetensi, dijelaskan secara lugas bahwa konselor harus
memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Terlebih lagi, dalam
Permendikbud No. 111 tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar
dan Pendidikan Menengah telah memantapkan konselor untuk memberikan layanan pada jalur
pendidikan formal. Dalam peraturan ini, dijelaskan secara detail rambu-rambu pelaksanaan yang
dapat dijadikan sebagai pedoman bagi konselor dalam pemberian layanan pada pendidikan dasar
dan pendidikan menengah.

viii
Berdasarkan pada sejumlah regulasi yang telah disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa secara legalitas pengakuan BK sebagai sebuah profesi di Indonesia sudah sangat kuat.
Pengakuan tersebut dapat menjadi payung hukum yang menjelaskan betapa kokohnya posisi BK
dalam konteks jalur pendidikan formal. Namun demikian, selain harus memenuhi syarat suatu
profesi, pengakuan penuh suatu profesi juga harus ditinjau secara de facto. Kenyataannya,
paradigma yang berkembang luas di masyarakat masih belum menunjukkan adanya pengakuan
bahwa BK penting keberadaannya. Bagi sebagaian besar masyarakat pendidik, profesi BK sudah
dikenal secara akrab. Kondisi tersebut sangat bertentangan dengan pandangan masyarakat pada
umumnya. Mayoritas masyarakat umum belum mengenal BK sebagai suatu profesi. Lebih ironi,
tidak sedikit dari mereka yang sama sekali belum mengenal BK. Paradigma terhadap BK yang
selama ini berkembang di masyarakat cenderung mengarah pada berbagai stigma.

Kesalahpahaman mengenai ekspektasi dan kinerja konselor sebagai penyelenggara layanan


BK seperti sebuah mindset yang telah mengakar kuat. Beberapa kesalahpahaman yang dimaksud
antara lain: 1) BK hanya menangani siswa yang nakal/ bermasalah, 2) BK sebagai polisi sekolah
yang bertugas menghukum dan mendisiplinkan siswa, 3) BK hanya sebagai pemberi nasihat, 4)
Tugas BK bisa dilakukan oleh siapa saja, dst. (Santoso, 2009: 100-104). Terjadinya kondisi
semacam itu bisa jadi disebabkan karena munculnya krisis kepercayaan (trustworthiness).
Menyikapi kondisi tersebut, beberapa faktor yang menjadi dasar terciptanya kepercayaan perlu
dikaji ulang, meliputi: kompetensi, sikap dan penampilan (Egan, 2010: 37). Jika ditelaah secara
mendalam, profesi BK telah memenuhi dua faktor, yaitu kompetensi dan sikap Namun secara
khusus, BK belum menunjukkan penampilan yang khas sebagai identitas dan pembeda profesi
BK dengan profesi yang lain. Dengan demikian, penampilan masih menjadi pekerjaan rumah
(PR) bagi profesi BK Sebagai bahan perbandingan, dapat dilakukan dengan mendampingkan BK
dan berbagai profesi lain seperti: dokter, polisi, jaksa, dll

ix
BAB V

PROSEDUR/CARA KERJA (LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN)

adapun prosedur dalam pembuatan atribut konselor yaitu:

1. Para konselor harus berdiskusi mengenai pembuatan atribut ini (rompi) sebagai bentuk
identitas konselor agar terpandang di masyarakat
2. Setelah semua setuju, maka selanjutnya adalah pemilihan model, warna, serta atribut-
atribut lain yang akan didesain
3. Jika model sudah fix, selanjutnya membuat rompi di konveksi sesuai dengan desain yang
dipilih

x
BAB VI

HASIL KEGIATAN
Masyarakat belum sepenuhnya menyambut baik dan memandang BK dengan segenap mata.
Paradigma yang selama ini berkembang cenderung mengarah pada berbagai stigma.
Kesalahpahaman mengenai ekpektasi dan kinerja konselor sebagai penyelenggara layanan BK
seperti sebuah mindset yang telah mengakar kuat. Konselor adalah polisi sekolah, konselor
bertugas menghukum dan mendisiplinkan, konselor hanya menangani siswa yang bermasalah,
dan berbagai pandangan lain yang menciderai profesi seolah sudah terintegrasi dalam pandangan
masyarakat luas dan sulit dihapuskan. Ketentuan-ketentuan mengenai karakteristik profesional
konselor yang telah ditetapkan seyogianya terintegrasi dalam diri masing-masing konselor. Pada
akhirnya, berbagai stigma yang terbentuk akan luntur dan diganti dengan terbentuknya
kepercayaan. Namun sepertinya, munculnya ketetapan mengenai sejumlah karakteristik konselor
tersebut belum cukup menjamin adanya pengakuan dari masyarakat. Lain halnya dengan
berbagai profesi lain yang sudah mapan dan mendapat pengakuan baik secara de facto maupun
de jure. Profesi lain yang dimaksud seperti dokter, polisi, perawat, guru, jaksa, tentara, dan
sebagainya. Dengan dibuatnya kegiatan ini berutujuan untuk membangun identitas Bimbingan
dan konseling maupun konselor agar terpandang di masyarakat, bahwa profesi ini bukan semata-
mata profesi untuk siswa bermasalah dan polisi sekolah. Pembuatan atribut untuk BK maupun
konselor yaitu untuk memperkenal dan memberi pemahaman lagi kepada masyarakat bahwa
keberadaan bimbingan dan konseling adalah suatu hal yang penting.

xi
BAB VII

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Hasil kegiatan yang dilakukan yaitu membahas rancangan atribut konselor untuk
mengubah pandangan masyarakat terhadap bimbingan dan konseling. Bimbingan dan Konseling
di Indonesia sebenarnya sudah diakui sebagai suatu profesi oleh Pemerintah. Pengakuan yang
dimaksud diberikan melalui sejumlah regulasi yang telah ditetapkan. Namun, pengakuan tersebut
nampaknya belum diiringi dengan pengakuan dari masyarakat luas. Sejauh ini hanya masyarakat
pendidikan yang memahami seluk-beluk dunia BK. Kondisi tersebut diasumsikan karena tidak
adanya suatu identitas khusus yang bisa menunjukkan karakteristik khas profesi BK. Bertolak
dari itu melalui artikel ilmiah ini, penulis menawarkan sebuah identitas yang bisa mewakili ciri
khas konselor melalui atribut konselor. Atribut konselor yang dimaksudkan berupa rompi
konselor. Rompi tersebut di-rancang dengan mempertimbangkan filosofis BK dan filosofis
Indonesia.

Untuk membangun manusia Indonesia yang seutuhnya sesuai dengan tujuan pembangunan
bangsa Indonesia, pengembangan layanan bimbingan dan konseling bagi masyarakat merupakan
saran dan wahana yang sangat baik untuk pembinaan sumber daya manusia karena Bimbingan
dan konseling yang keberadaannya semakin dibutuhkan dalam masyarakat merupakan suatu
badan yang mempunyai fungsi sangat penting. Diharapkan kedepannya bimbingan dan konseling
dapat diakui dan dapat diterima di masyarakat, dan dianggap sebagai profresi yang penting baik
di sekolah maupun di masyarakat.

xii
DAFTAR PUSTAKA

Prabawa, A. F., & Antika, E. R. (2015). Krisis Identitas Bimbingan dan Konseling Indonesia.
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling.

xiii
LAMPIRAN

xiv

Anda mungkin juga menyukai