Anda di halaman 1dari 12

RAMBU-RAMBU PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN PROFESIONAL

KONSELOR

Di Susun Oleh :

Sweetly Nabila Lengkong_A50121084

Elisabet Tadale_A50121024

Varisa Nuralya _A50121050

Erwana_A50121084

Meyra Maheswari_A50121084

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah


SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat. Kami menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.
Makalah ini dibuat dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk
membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama proses pengerjaan
makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami
miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta
masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Kami berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
Pendidikan.

Palu,29 oktober 2022

Kelompok 2
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..............................................................1
1.3 Tujuan/Manfaat Penulisan.................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Prinsip-prinsip BK...........................................................5-7

2.2 Asas-Asas BK.................................................................8-12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.......................................................................13

Daftar Pustaka ........................................................................14


BAB I

PENDAHULUAN
 

1.1    LATAR BELAKANG


Untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan
pada awal dekade 1960-an di sekolah- sekolah, khususnya SMA Gaya Baru,
LPTK-LPTK bergegas mendirikan jurusan untuk mewadahi tenaga akademik
yang akan membina program studi yang menyiapkan guru Bimbingan dan
Penyuluhan (sekarang disebut Konselor) yang dinamakan Jurusan Bimbingan
dan Penyuluhan, dengan program studi yang diselenggarakan pada 2 jenjang
yaitu jenjang Sarjana Muda dengan masa belajar 3 tahun, yang bisa diteruskan
ke jenjang Sarjana dengan masa belajar 2 tahun setelah Sarjana Muda. Program
studi jenjang Sarjana Muda dan Sarjana dengan masa belajar 5 tahun inilah
yang kemudian pada akhir dekade 1970-an dilebur menjadi program S-1
dengan masa belajar 4 tahun, tidak berbeda, dari segi masa belajarnya itu, dari
program bakauloreat di negara lain, meskipun ada perbedaan tajam dari sisi
sosok kurikulernya. Pada akhir dekade 1970-an itu pula mulai ada lulusan
program Sarjana (lama) di bidang Bimbingan dan Konseling, selain juga ada
tenaga akademik LPTK lulusan perguruan tinggi luar negeri yang kembali ke
tanah air pada pertengahan 1960-an dan mengawali jurusan-jurusan Bimbingan
dan Penyuluhan. Perubahan-perubahan orientasi pendidikan yang tercermin
pada perubahan kurikulum pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang dasar
dan menengah dari waktu ke waktu, membawa dampak pada tuntutan
kompetensi bagi pemangku jabatan pendidik, termasuk konselor. Penataan yang
bersifat sistematik dilakukan melalui UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, namun konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor
yang berbeda dari konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru itu, ternyata belum
diatur secara tegas dalam undang-undang tersebut, maupun dalam peraturan
pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang diterbitkan berikutnya, sehingga
mendorong Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) untuk
mengambil prakarsa untuk menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja
konselor yang tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks
pelayanan, yang pada gilirannya, juga menuntut penataan secara menyeluruh
pula kerangka pikir pelayanan ahli bimbingan dan konseling dalam jalur
pendidikan formal di tanah air. Untuk melakukan penataan kerangka pikir yang
dimaksud, ABKIN melakukan kajian akademik yang menyeluruh termasuk
terhadap ketentuan perundang-undangan di tanah air yang hasilnya dituangkan
dalam bentuk Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor,
yang pengembangannya didukung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
dan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
Departemen Pendidikan Nasional.

1.2    RUMUSAN MASALAH

1. Mengetahui Perangkat penyelenggaraan pendidikan professional konselor


2.

1.3    TUJUAN
1.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Program Pendidikan Profesional konselor masa depan dan tantangan di era
globalisasi

Konselor adalah pendidik professional yang memiliki keahlian dalam bidang


pelayanan bimbingan dan konseling, yang dihasilkan oleh pendidikan professional
konselor. Menurut naskah Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Pelayanan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (Depdiknas, 2007) pendidikan
professional konselor bertujuan untuk menghasilkan konselor profesional, yang
diselenggarakan dalam 2 tahap yaitu tahap pertama, tahap pembentukan penguasaan
kompetensi akademik, dan tahap kedua, yaitu tahap pendidikan profesi konselor
(PPK),secara keseluruhan menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sebagai
konselor yang mampu menyelenggarakan pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang
memandirikan konseli pada jalur pendidikan formal dan nonformal.

Komponen pelayanan dasar diberikankepada konseli untuk memfasilitasi konseli


agar ia dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya secara maksimal melalui
pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling yang bersifat klasikal, seperti: pelayanan
informasi, pelayanan orientasi, pelayanan bimbingan kelompok, dan pelayanan
pengumpulan data (penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling), sedangkan
komponen pelayanan responsif diberikan kepada konseli untuk membantuk mereka agar
mampu menghadapi dan memecahkan masalah-masalah emosinya (depresi sedang dan
ringan,stres sedang dan ringan, konflik, kecewa frustrasi, kecemasan, dan
ketergantungan/tidak percaya diri), dimana masalah-masalah emosi tersebut bila tidak
segera ditangani, sangat menganggu pelaksanaan tugas-tugas perkembangan konseli,
sehingga ia mengalami kemunduran (regresi) dalam perkembangannya. Konseli yang
mengalami masalah-masalah emosi, biasanya menunjukkan gejala-gejala sikap dan
perilaku yang menghambat aktivitas belajar konseli, seperti kehilangan motivasi dan minat
dalam belajar, mengalami penurunan daya retensi (kemampuan mengingat), dan daya tahan
stresnya juga mengalami penurunan, sehingga mereka kehilangan
produktivitas.

Komponen pelayanan perencanaan individual, dimaksudkan untuk memfasilitasi


konseli dalam membuat rencana masa depan yang sesuai dengan potensi konseli serta
peluang yang tersedia di masyarakat. Rencana masa depan di sini juga termasuk bagaimana
konseli bisa melakukan pilihan karier yang tepat, sesuai dengan bakat, minat serta peluang
yang ada. Konseli yang normal, akan mampu membuat pilihan kariernya, yang diwujudkan
dengan kemampuannya dalam memilih Jurusan/Program Studi pada perguruan tinggi
(Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi dan Politeknik) yang relevan serta mampu
meraih kariernya, mempertahankan dan mengembangkannya dalam kehidupan di
masyarakat. Komponen pelayanan dukungan sistem dimaksudkan untuk memfasilitasi
kebutuhan management untuk mendukung kinerja konselor, seperti kebutuhan anggaran,
fasilitas, dan kesempatan untuk mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor
secara berkelanjutan. Implementasi pelayanan bimbingan dan konseling yang baik,
membutuhkan perencanaan yang baik pula yang didukung oleh budaya organisasi yang
baik, fasilitas dan anggaran yang memadai.

Komponen dukungan sistem sangat berperan dalam upaya mengembangkan


kompetensi konselor dan pencitraan publik. Saat ini, citra guru bimbingan dan konseling di
sekolah masih dianggap oleh para siswa sebagai polisi sekolah (School Police), sehingga
para siswa sebagai konseli masih enggan untuk datang ke unit bimbingan dan konseling
untuk meminta bimbingan atau konseling.

2.2 Rambu – rambu penyelenggaraan bimbingan dan konseling dalam jalur


pendidikan formal

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) sebagai organisasi profesi


berupaya melakukan penataan dan pengembangan profesi serta pelayanan bimbingan
dan konseling dalam jalur pendidikan formal secara sistematis dan berkelanjutan
sesuai dengan kebutuhan, standar dan ekspektasi kinerja yang diharapkan oleh
masyarakat dan pemerintah. Rambu-rambu Penyelenggaraan Pelayanan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal ini merupakan salah satu hasil
kerja sama antara Direktorat Jenderal PMPTK dengan ABKIN di dalam upaya
penataan dan pengembangan profesi serta pelayanan bimbingan dan konseling.
Rambu-rambu ini dikembangkan dengan tujuan untuk:

1. memberikan kerangka pikir dan kerangka kerja utuh tentang penyelenggaraan


pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal,

2. menyediakan acuan dasar bagi penyusunan rambu-rambu khusus penyelenggaraan


pelayanan bimbingan dan konseling di Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI),
Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs.), Sekolah
Menengah Atas/ Madrasah Aliyah (SMA/MA) dan Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), termasuk rambu-rambu bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan
khusus dan berbakat.
2.3 Ekspektasi Kinerja Konselor dikaitkan dengan Jenjang Pendidikan

Konselor adalah Sarjana Pendidikan (S-1) bidang Bimbingan dan Konseling dan
telah menyelesaikan program Pendidikan Profesi Konselor (PPK), sedangkan individu yang
menerima pelayanan bimbingan dan konseling disebut Konseli. Meskipun sama-sama
berada dalam jalur pendidikan formal, perbedaan rentang usia peserta didik pada tiap
jenjang memicu tampilnya kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling yang berbeda-
beda pada tiap jenjang pendidikan. Batas ragam kebutuhan antara jenjang yang satu dengan
jenjang yang lainnya tidak terbedakan sangat tajam. Dengan kata lain, batas perbedaan
antar jenjang tersebut lebih merupakan suatu wilayah. Di pihak lain, perbedaan yang lebih
signifikan, juga tampak pada sisi lain pengaturan birokratik, seperti misalnya di Taman
Kanak-kanak sebagian besar tugas konselor ditangani langsung oleh guru kelas taman
kanak-kanak. Sedangkan di jenjang sekolah dasar, meskipun memang ada permasalahan
yang memerlukan penanganan oleh konselor, namun cakupan pelayanannya belum
menjustifikasi untuk ditempatkannya konselor di setiap sekolah dasar, sebagaimana yang
diperlukan di jenjang sekolah menengah.

Berikut ini digambarkan secara umum perbedaan ciri khas ekspektasi kinerja konselor
di tiap jenjang pendidikan

a. Jenjang Taman Kanak-kanak


Di jenjang Taman Kanak-kanak di tanah air tidak ditemukan posisi struktural bagi
konselor. Pada jenjang ini fungsi bimbingan dan konseling lebih bersifat preventif
dan developmental. pada jenjang Taman Kanak-kanak komponen perencanaan individual
student planning (yang terdiri dari : pelayanan appraisal, advicement transition planning)
dan pelayanan responsive services, (yang berupa pelayanan konseling dan konsultasi)
memerlukan alokasi waktu yang lebih kecil. Kegiatan konselor di jenjang Taman Kanak-
kanak dalam komponen responsive services, dilaksanakan terutama untuk memberikan
layanan konsultasi kepada guru dan orang tua dalam mengatasi perilaku-perilaku
mengganggu (disruptive) siswa Taman Kanak-kanak.

b. Jenjang Sekolah Dasar.


Jenjang Sekolah Dasar juga tidak ditemukan posisi struktural untuk konselor. Namun
demikian sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik usia sekolah dasar, kebutuhan
akan pelayanannya bukannya tidak ada meskipun tentu saja berbeda dari ekspektasi kinerja
konselor di jenjang sekolah menengah dan jenjang perguruan tinggi. Dengan kata lain,
konselor juga dapat berperan serta secara produktif di jenjang sekolah dasar, bukan dengan
memposisikan diri sebagai fasilitator pengembangan diri peserta didik yang tidak jelas
posisinya, melainkan dengan memposisikan diri sebagai Konselor Kunjung yang membantu
guru sekolah dasar mengatasi perilaku menganggu (disruptive behavior), antara lain dengan
pendekatan direct behavioral consultation. Setiap gugus sekolah dasar diangkat 2 (dua) atau
3 (tiga) konselor untuk memberikan pelayanan bimbingan dan konseling.
c. Jenjang Sekolah Menengah
Posisi konselor (penyelenggara profesi pelayanan bimbingan dan konseling) di tingkat
sekolah menengah telah ada sejak tahun 1975, yaitu sejak diberlakukannya kurikulum
bimbingan dan konseling. Dalam sistem pendidikan Indonesia, konselor di sekolah
menengah mendapat peran dan posisi/ tempat yang jelas. Peran konselor, sebagai salah satu
komponen student support services, adalah men-suport perkembangan aspek-aspek pribadi,
sosial, karier, dan akademik peserta didik, melalui pengembangan menu program1
bimbingan dan konseling pembantuan kepada peserta didik dalam individual student
planning, pemberian pelayanan responsive2, dan pengembangan system support. Pada
jenjang ini, konselor menjalankan semua fungsi bimbingan dan konseling. Setiap sekolah
menengah idealnya diangkat konselor dengan perbandingan 1 : 100.

d. Jenjang Perguruan Tinggi


secara struktural Posisi Pengembangan Diri dalam Bimbingan dan Konseling
• Pengembangandiribukanmerupakanmatapelajaranyang harus diasuh oleh guru.
• Pengembangandiribertujuanmemberikankesempatan kepada konseli untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat
setiap konseli sesuai dengan kondisi Sekolah/Madrasah.
• Kegiatanpengembangandiridifasilitasidanataudibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga
kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
• Kegiatanpengembangandiridilakukanmelaluikegiatan pelayanan konseling yang
berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan
karir konseli.

Ada beberapa hal yang perlu memperoleh penegasan dan reposisi terkait dengan
pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal:

1. Pengembangan diri bukan sebagai mata pelajaran, mengandung arti bahwa bentuk,
rancangan, dan metode pengembangan diri tidak dilaksanakan sebagai sebuah adegan
mengajar seperti layaknya pembelajaran bidang studi. Namun, manakala masuk ke dalam
pelayanan pengembangan minat dan bakat tak dapat dihindari akan terkait dengan substansi
bidang studi dan/atau bahan ajar yang relevan dengan bakat dan minat konseli dan disitu
adegan pembelajaran akan terjadi.
2. Pelayanan pengembangan diri dalam bentuk ekstra kurikuler mengandung arti bahwa di
dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat dan bakat yang memerlukan
pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya.
3. Pengembangan diri bukan substitusi atau pengganti pelayanan bimbingan dan konseling,
melainkan di dalamnya mengandung sebagian saja dari pelayanan (dasar, responsif,
perencanaan individual) bimbingan dan konseling yang harus diperankan oleh konselor.
2.4. Perangkat penyelenggaraan pendidikan professional konselor

1. Tujuan Pendidikan Profesional Konselor


Pendidikan Profesional Konselor bertujuan untuk menghasilkan Konselor, yang
diselenggarakan dalam 2 tahap yaitu tahap pembentukan penguasaan kompetensi
akademik yang bermuara pada penganugerahan ijazah Sarjana Pendidikan dalam
bidang Bimbingan dan Konseling, yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan
Rambu-rambu Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Konselor 3 profesi konselor,
yang secara keseluruhan menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sebagai
konselor yang mampu menyelenggarakan pelayanan ahli Bimbingan dan Konseling
yang memandirikan pada jalur pendidikan formal dan non formal. Dengan demikian
Konselor adalah tenaga pendidik yang berkualifikasi strata satu program studi
bimbingan dan konseling dan menyelesaikan Pendidikan Profesi Konselor (PPK),
sedangkan penerima / pengguna layanan ahli bimbingan dan konseling dinamakan
Konseli.

2. Standar Kompetensi Lulusan


Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu
kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor,
widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU RI No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6).
Namun sebagaimana telah diisyaratkan, dalam kesejajaran posisi itu teramati 2 jenis
konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang berbeda secara mendasar sehingga masing-
masing merupakan layanan ahli yang unik, yaitu konteks tugas dan ekspektasi kinerja
pendidik yang menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks pelayanan, dan
pendidik yang tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks pelayanan.
BAB III
PENUTUP
 
3.1 KESIMPULAN
 

 
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai