Anda di halaman 1dari 13

ANTIINFLAMASI

A. Inflamasi dan AntiInflamasi


Inflamasi merupakan respon kompleks biologi dari jaringan pembuluh darah terhadap
stilmulus berbahaya seperti patogen, sel-sel tubuh yang rusak, atau iritan. luka dan infeksi
tidak akan pernah sembuh dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan yang berbahaya
apabila tidak terjadi inflamasi (Egesie, 2011). Prevalensi kasus Inflammation Bowel Disease
(IBD) di dunia pada tahun 2017 mencapai 6-8 juta kasus. Penurunan angka kematian pada
tahun 1990 dari 0,61 per 100.000 populasi ke 0,51 per 100.000 populasi pada tahun 2017
(Alatab, 2020). Prevalensi dari IBD meningkat secara pesat di beberapa negara dari 1990 ke
2017, yang mungkin akan menimbulkan beban sosial dan ekonomi yang substansial pada
pemerintah dan sistem kesehatan di tahun-tahun yang akan mendatang (Alatab, 2020).
Tanda-tanda terjadinya inflamasi antara lain rasa sakit, kemerahan, bengkak, dan
disfungsi jaringan serta organ (Ehlers S, 2010). Respon inflamasi dalam tubuh ditandai
dengan adanya berbagai mediator, seperti pro inflamasi sitokin berupa IL-1, Tumor Necrosis
Factor (TNF), Interferon (INF)-c, IL-6, IL-12,dan IL-18. Selain itu Nitric Oxidase dan COX-
2 menstimulasi produksi dari mediataor pro-inflamasi. Antiinflamasi sitokin seperti IL-4, IL-
10, IL- 13, dan IFN-a bekerja secara antagonis terhadap pro-inflamasi sitokin (Mueller M,
2010). Selama proses inflamasi akut dan kronis, sejumlah mediator kimiawi akan dilepaskan.
Sejumlah besar mediator inflamasi dilepaskan melalui jalur asam arakidonat, antara lain
prostaglandin, sebagai hasil pemecahan asam arakidonat oleh enzim siklooksigenase.
Meskipun proses ini merupakan proses fisiologis dalam tubuh, namun jika proses ini
berlebihan, maka akan muncul dampak yang kurang baik bagi pasien.
Inflamasi dapat diatasi menggunakan obat-obatan antiinflamasi. Anti inflamasi
didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau
mengurangi peradangan. Berdasarkan mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi terbagi dalam
dua golongan, yaitu obat antiinflamasi golongan steroid dan obat antiinflamasi non steroid.
Mekanisme kerja obat antiinflamasi golongan steroid dan non-steroid terutama bekerja
menghambat pelepasan prostaglandin ke jaringan yang mengalami cedera (Pawlosky, 2013).
Penggunaan obat antiinflamasi dapat menimbulkan sejumlah efek samping. Beberapa
efek samping yang menonjol dari penggunaan obat antiinflamasi adalah efek samping
terhadap sistem gastrointestinal yang meningkatkan risiko terjadinya tukak lambung serta
sistem kardiovaskuler yang meningkatkan risiko terjadinya sumbatan pembuluh darah akibat
1
bekuan darah. Hal ini yang membuat gencarnya upaya pencarian alternatif obat antiinflamasi,
terutama yang berasal dari bahan alam.
B. Tanaman Herbal
Berbagai tanaman herbal telah banyak dikembangkan secara luas dan diketahui
memiliki efek terapetik untuk inflamasi. Penelitian dan pengembangan tanaman herbal telah
menunjukkan potensinya sebagai sumber obat baru. Tidak seperti obat alofatik modern
dengan zat aktif tunggal yang memiliki satu jalur target kerja, obat herbal terdiri dari berbagai
molekul aktif yang bekerja secara sinergis dengan berbagai target kerja (Kumar s, dkk, 2013)
Beberapa ekstrak tanaman beserta senyawa aktif yang terkandung di dalamnya
menghambat proses inflamasi dengan berbagai mekanisme. Diantaranya adalah Emodin yang
diisolasi dari Aloe barbadensis. Emodin diperkirakan menghambat aktivasi dari IFN-µ
sehingga menghambat terbentuknya nitric oxide (NO), Tumor Nekrosis Faktor (TNF-α) dan
interleukin. Potensi Aloe barbadansis pada dosis 100 mg/kg dapat menghambat proses
inflamasi sampai 41.77% , dan memiliki potensi yang tidak jauh berbeda dibandingkan obat
standar natrium diklofenak (Egesie, 2011).
Kurkumin dari esktrak Curcuma longa pada dosis 100 mg/kg memiliki potensi inhibisi
inflamasi sebesar 49.8% dan memiliki nilai yang sama dengan obat fenilbutazon. Kurkumin
mempengaruhi respon inflamasi yang diinduksi oleh lipoxygenase dengan mempengaruhi
aktivitas cyclooxygenase-2 (COX-2) yang mengakibatkan penghambatan produksi sitokin
inflamasi seperti Tumor Nekrosis Faktor (TNF-α), interleukin (IL) -1, -2, -6, - 8, dan -12,
serta manosit (Goel, A 2008)
Ekstrak etanol Mimosa tenuiflora memiliki aktivitas 44.44% pada pemberian 100 mg/kg
pada mencit. Diperkirakan Isosakuranetin dan sakuranetin berperan dalam penurunan
migrasi neutrofil pada jaringan yang mengalami inflamasi yang ditandai dengan penurunan
aktivitas enzim myeloperoxidase (Cruz. MP., 2016)
Senyawa diterpen seperti PsG, dan PsK yang terdapat pada ekstrak
Pseudoptergorgia elisabethae memiliki aktivitas inflamasi yang cukup tinggi pada dosis yang
kecil. 0.5 mg/kg penggunaan secara topikal memiliki efek antiinflamasi sebesar 31% dan
memiliki aktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan dexometason dan indometasin.
Efektivitas paling baik juga dicapai pada kemampuan PsG dan PsK pada inaktivasi enzim
MPO sebesar 84% (correa H, 2009).
Minyak atsiri yang diisolasi dari Lavandula angustifolia pada pemberian 100 mg/kg
memiliki potensi antiinflamasi sebesar 69%. Senyawa aktif 1,8-Cineole terbukti menghambat

2
edema secara signifikan dari induksi formalin yang ditandai dengan penurunan aktivitas
enzim MPO (Sá RdCdSe, 2013)
Katekin dari Psidium guajava merupakan senyawa yang memiliki potensi untuk
mengahmbat proses inflamasi. Katekin 100 mg/kg memiliki efek paling kecil dibandingkan
tanaman lainnya, tetapi tetap memiliki potensi sebagai inhibitor proses inflamasi. Katekin
terbukti menghambat sekresi mediator inflamasi seperti nitric oxide dan prostaglandin (Jang
M, 2014)
Naringenin, quersetin, dan kaempferol merupakan senyawa flavonoid dari ekstrak
Solanum lycopersicum, Punica granatum, dan Zingiber zerumbet dengan potensi anti-
inflamasi. 50 mg/kg ekstrak Solanum lycopersicum, 100 mg/kg Punica granatum, dan 10
mg/kg Zingiber zerumbet dapat menghambat aktivitas inflamasi sebesar 13.8%(11), 72.26%
dan 58.08%. Naringenin, quersetin dan kaempferol terbukti efektif terhadap supresi produksi
nitric oxide (NO) dibandingkan golongan flavonoid lainnya (Park My, 2009)
C. Metode Uji Antiinflamasi Secara In Vitro
1. Metode Penghambatan Denaturasi Protein
Pengujian aktivitas antiinflamasi secara in vitro dari senyawa aktif dapat dilakukan
dengan metode penghambatan denaturasi protein menggunakan Bovin Serum Albumin.
Hal ini karena, denaturasi protein pada jaringan adalah salah satu penyebab inflamasi.
Panas dapat digunakan untuk mempengaruhi ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik
non polar karena panas meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan molekul yang
menyusun protein bergerak sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan hidrogen. Selain
itu, pemanasan akan membuat protein berubah kemampuan mengikat airnya. Energi
panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi non-kovalen yang ada pada struktur
alami protein tetapi tidak memutuskan ikatan kovalennya yang berupa ikatan peptida.
Proses ini terjadi pada rentang suhu yang sempit. Penghambatan denaturasi protein
diketahui dengan pengukuran serapan secara spektrofotometri UV-Vis. Senyawa yang
menghambat denaturasi protein lebih besar dari 20% dianggap memiliki aktivitas
antiinflamasi dan dapat dijadikan sebagai nilai acuan untuk pengembangan obat.
Pengujian Aktivitas Antiinflamasi In Vitro
Pembuatan pereaksi:
1) Pembuatan Tris Buffer Saline (TBS)

3
Sebanyak 4,35 g NaCl dilarutkan dalam 200 ml aquadest, ditambahkan 605 mg Tris
Base dicukupkan dengan air sampai 400 ml. Selanjutnya pH diatur dengan penambahan
asam asetat glasial hingga pH 6,3, kemudian dicukupkan dengan air sampai 500 mL.
2) Pembuatan 0,2% BSA dalam TBS
Sebanyak 0,2 g Bovine Serum Albumin (BSA) dimasukkan ke dalam labu ukur
100 mL, kemudian ditambahkan dengan larutan TBS hingga volume 100 mL
3) Pembuatan Larutan Natrium Diklofenak sebagai Kontrol Positif
Sebanyak 25,0 mg natrium diklofenak dilarutkan dalam labu tentukur 25 mL
dengan aquadest dicukupkan hingga volume 25 mL, sehingga didapatkan larutan induk
dengan konsentrasi 1000 bpj. Kemudian dilakukan pengenceran menjadi 500, 250, 125,
62,5 dan 31,3 bpj.
4) Pembuatan Kontrol Negatif
Sebanyak 500µl aquadest ditambahkan dengan larutan BSA 0,2% dalam TBS ke
dalam labu tentukur hingga volume 5 mL.
5) Pembuatan Larutan Ekstrak Tumbuhan
Larutan uji dibuat seri konsentrasi
6) Pembuatan Larutan Kontrol Blanko
Larutan kontrol blanko yaitu akuadest
Pengujian Aktivitas Antiinflamasi:
1) Pembuatan Larutan Uji
Larutan uji dipipet 500 µL larutan ekstrak yang kemudian ditambah larutan BSA
0,2% hingga volume 5 mL sehingga didapatkan varian konsentrasi menjadi 800, 400,
200, 100, 50 dan 25 bpj.
2) Pembuatan Larutan Kontrol Positif
Larutan kontrol positif 500 µL larutan natrium diklofenak yang kemudian
ditambahkan dengan larutan BSA 0,2% hingga volume 5 ml sehingga didapatkan
variasi konsentrasi menjadi 100, 50, 25, 12,5, 6,25 dan 3,13 bpj. Setiap larutan
diinkubasi selama 30 menit pada suhu ±25 °C lalu dipanaskan selama 5 menit pada
suhu ±72 °C dengan water bath, kemudian didinginkan selama 25 menit pada suhu
ruang dan diukur absorbannya dengan spektrofotometer UV visible pada panjang
gelombang 660.
3) Perhitungan Persentase Penghambatan Denaturasi Protein

4
Persentase penghambatan denaturasi protein diukur dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
% inhibisi = (absorbansi kontrol negatif-absorbansi larutan uji) / (absorbansi kontrol
negatif) x 100%
Nilai IC50 dihitung dengan membuat persamaan regresi linear antara konsentrasi
(X) dengan % inhibisi (Y). Pada uji inhibisi ini, jika dihasilkan % inhibisi > 20%
dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi.
2. Metode Stabilisasi Membran Sel Darah Merah
Pengujian aktivitas antiinflamasi dapat menggunakan metode stabilisasi membran
sel darah merah, karena membran sel darah merah analog dengan membran lisosomal
yang dapat mempengaruhi proses inflamasi. Stabilisasi membran lisosomal penting
dalam membatasi respon inflamasi, dengan cara mencegah pelepasan enzim lisosom
dari granul-granul di dalam neutrofil aktif selama proses inflamasi. Enzim di dalam
neutrofil yang terlepas selama inflamasi (akibat teraktivasinya neutrofil) akan
menghasilkan berbagai gangguan yang dapat menyebabkan peradangan dan kerusakan
jaringan lebih lanjut. Oleh sebab itu, stabilisasi membran sel darah merah yang
diinduksi larutan hipotonik, dapat juga digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui
stabilisasi membran lisosomal (V. Kumar et al., 2012).
Untuk mengukur aktivitas antiinflamasi ekstrak terhadap stabilisasi membran
eritrosit, larutan yang digunakan sebagai berikut :
1) Pembuatan larutan uji
Larutan uji (4,5 mL) terdiri dari 1 mL dapar fosfat pH 7,4 (0,15 M), 0,5 mL
suspensi sel darah merah, 1 mL larutan sampel dan 2 mL hiposalin.
2) Pembuatan larutan kontrol positif
Misalkan yang digunakan adalah larutan natrium diklofenak sebagai kontrol
positif terdiri dari 1 mL dapar fosfat fat pH 7,4 (0,15 M), 0,5 mL suspensi sel
darah merah, 1 mL larutan Na diklofenak dan 2 mL hiposalin.
3) Pembuatan larutan kontrol uji
Larutan kontrol uji terdiri dari 1 mL dapar fosfat pH 7,4 (0,15 M), 0,5 mL
larutan isosalin sebagai pengganti suspensi sel darah merah, 1 mL larutan sampel
dan 2 mL hiposalin.
4) Pembuatan larutan kontrol negatif

5
Larutan kontrol negatif terdiri dari 1 mL dapar fosfat pH 7,4 (0,15 M), 0,5 mL
suspensi sel darah merah, 1 mL larutan isosalin sebagai pengganti larutan sampel
dan 2 mL hiposalin. Setiap larutan di atas kemudian diinkubasi pada 37oC selama
30 menit dan disentrifugasi pada 5000 rpm selama 10 menit. Cairan supernatan
yang didapat diambil dan kandungan hemoglobinnya diperhitungkan dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum.
Persen stabilitas membran sel darah merah dapat dihitung dengan rumus.
D. Metode Uji Antiinflamasi Secara In Vivo
Metode yang telah diketahui saat ini terdiri dari dua model, yaitu model inflamasi akut
dan model inflamasi kronik.
1. Model inflamasi akut
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk uji model inflamasi akut, antara lain:
(Suralkar, 2008)
a. Induksi Karagenan
Induksi udem dilakukan pada kaki hewan uji, dalam hal ini tikus disuntikkan suspensi
karaginan secara subplantar. Obat uji diberikan secara oral. Volume udem kaki diukur dengan
alat plestismometer. Aktivitas inflamasi obat uji ditunjukkan oleh kemampuan obat uji
mengurangi udem yand diinduksi pada telapak kaki hewan uji.
Karaginan berperan dalam pembentukan udem model inflamasi akut (Singh, Mhalotra
& Subban, 2008). Jenis karaginan yang digunakan adalah karaginan kappa karena mudah
untuk diperoleh dan masih dapat menimbulkan udem yang berarti, walaupun waktu untuk
melarutkannya lebih lama dibandingkan dengan jenis lamda. Karaginan dipilih karena dapat
melepaskan prostaglandin setelah disuntikkan ke hewan uji.
Ada tiga fase pembentukan udem yang diinduksi karaginan.
1) Fase pertama adalah pelepasan histamine dan serotonin yang berlangsung 90 menit
2) Fase kedua adalah pelepasan brandikinin yang terjadi pada 1,5 hingga 2,5 jam setelah
induksi.
3) Fase ketiga, terjadi pelepasan prostaglandin pada 3 jam setelah induksi, kemudian
udem berkembang cepat dan bertahan pada volume maksimal sekitar 5 jam setelah
induksi (Morris, 2003; Zubaidi, 1975). Berdasarkan penelitian, yang berperan dalam
proses pembentukan udem adalah prostaglandin intermediet yang terbentuk melalui
proses biosintesis prostaglandin. Senyawa ini dilepaskan lalu bereaksi dengan jaringan

6
di sekitarnya dan menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang merupakan
awal mula terjadinya udem (Vinegar dkk., 1976).
Pada penelitian digunakan tikus putih jantan galur Sprague-Dawley (SD) dewasa
jantan, bobot 160-200 gram, berumur ±3 bulan. Pemilihan tikus sebagai hewan uji
berdasarkan sifatnya yang tenang, mudah ditangani, dan tidak terlalu fotofobik. Selain itu,
ukuran telapak kaki tikus lebih mudah diamati dan diukur volume kakinya. Tikus putih
cenderung lebih aktif pada malam hari, sedangkan siang hari digunakan untuk istirahat dan
tidur sehingga pada siang hari tikus putih lebih mudah untuk ditangani. Pemilihan tikus jantan
didasarkan pada fungsi hormonal yang kurang berperan dalam menimbulkan respon inflamasi
adaptif.
Cara Kerja
1) Penyiapan hewan uji
2) Penyiapan dosis bahan uji
3) Penyiapan simplisia
4) Pembuatan ekstrak
5) Pembuatan suspensi Karaginan 2%
Sejumlah 0,2 gram karaginan ditimbang lalu dilarukan dalam 10mL natrium klorida
0,9% steril di dalam bekker glass.
6) Pembuatan larutan CMC 0,5% (Sebagai kontrol negatif)
Sejumlah CMC ditimbang lalu dikembangkan dengan aquadest hangat (700C)
sejumlah 20 kali beratnya. Setelah mengembang, CMC digerus dengan ditambahkan
aquadest hingga jumlah tertentu.
7) Pembuatan suspensi Natrium Diklofenak (Sebagai kontrol positif)
Ditimbang sebanyak 135 gram serbuk natrium diklofenak kemudian digerus dengan
penambahan suspensi CMC 0,5% sampai homogen dan dicukupkan volumenya
hingga 15 mL.
8) Pengujian
Pada penelitian digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7 kelompok
perlakuan masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Hal ini berdasarkan hasil
perhitungan menggunakan rumus Federer (Jusman & Halim, 2009) sebagai berikut:
(t-1)(n-1) ≥ 15
Dimana : t = jumlah perlakuan
n = jumlah pengulangan untuk tiap perlakuan

7
Pada penelitian ini, t=7, maka n ≥ 3,5, sehingga jumlah minimum tikus yang
digunakan dalam tiap kelompok adalah 4 ekor.
9) Metode pengujian
Metode pengujian menggunakan metode Winter. Induksi dilakukan pada kaki tikus
percobaan dengan cara menyuntikkan 0,4 mL suspense karaginan 2% secara
subplantar pada kaki kiri belakang tikus. Volume telapak kaki tikus diukur dengan alat
yang bekerja berdasarkan hukum Archimedes yaitu plestismometer. Aktivitas
antiinflamasi obat uji ditunjukkan oleh kemampuannya dalam mengurangi volume
udem telapak kaki yang dihasilkan akibat induksi.
Prosedur uji antiinflamasi :
a) Tikus dipuasakan ±18 jam sebelum pengujian, air minum tetap diberikan
b) Tikus ditimbang dan dikelompokkan secara acak, dan masing-masing
kelompok terdiri dari 4 tikus
c) Kaki kiri belakang setiap tikus yang akan diinduksi diberi tanda pada mata
kaki, kemudian diukur terlebih dahulu dengan cara memasukkan telapak kaki
tikus ke dalam raksa hingga batas tanda
d) Setiap tikus diberikan bahan uji secara oral sesui dengan kelompoknya
e) Satu jam kemudian, telapak kaki kiri belakang setiap tikus masing-masing
kelompok disuntik dengan 0,4 mL karaginan 2% secara subplantar
f) Volume telapak kaki tikus diukur pada jam ke -1, 2, 3, 4, 5 dan 6 setelah
diinduksi karaginan, dengan cara memasukkan telapak kaki tikus ke dalam alat
pletsimometer hingga tanda batas
Pengukuran volume telapak kaki tikus dengan plestimometer dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sulitnya mengkondisikan hewan
uji dan kejelasan pada saat pembacaan skala. Hal ini dapat dikurangi dengan
menenangkan hewan uji pada saat memasukkan kakinya ke dalam raksa,
pemberian batas yang jelas dengan penandan permanen yang tidak mudah
hilang, serta melakukan pengukuran secara triplo untum setiap hewan uji.

8
Gambar 1. Rangkaian alat timbangan dan plestimometer

g) Semua data yang diperoleh dianalisis secara statistik terhadap volume telapak
kaki tikus dan dihitung peresntase penghambatan udem.
Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Saphiro-Wilk untuk melihat normalitas data
dan dianalisis dengan uji Levene untuk melihat homogenitas data. Jika data terdistribusi
normal dan homogeny maka dilanjutkan dengan uji analisis varians (ANAVA) satu arah
9
dengan taraf kepercayaan 95% sehingga dapat diketahui apakah perbedaan yang diperoleh
bermakna atau tidak. Apabila terdapat perbedaan bermakna, maka dilanjutkan dengan uji
Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk melihat perbedaan antar tiap kelompok perlakuan (Besral,
2010)
Jika salah satu syarat untuk uji ANAVA tidak terpenuhi, maka dilakukan uji Kruskal-
Wallis untuk mengetahui adanya perbedaan. Apabila terdapat perbedaan bermakna, dilakukan
uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan antar tiap kelompok perlakuan (Besral, 2010).
Analisa data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 19 dan kerja obat
antiinflamasi dinulai dari persentase penghambatan udem rata-rata yang terjadi pada
kelompok uji metode induksi karaginan dengan rumua (Raji dkk., 2002).
% Penghambatan udem rata-rata = { 1 – [a-x]} x 100%
[b-y]
Keterangan :
a= volume rata-rata telapak kaki tikus setelah diinduksi pada kelompok tikus yang diberi obat
x= volume rata-rata telapak kaki tikus sebelum diinduksi pada kelompok tikus yang diberi
obat
b= volume rata-rata telapak kaki setelah diinduksi pada kelompok tikus yang tidak diberi obat
(kontrol negatif)
y= volume rata-rata telapak kaki tikus sebelum diinduksi pada kelompok tikus yang tidak
diberi obat (kontrol negatif)
b. Induksi Histamin
Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi karaginan, hanya saja
penginduksi yang digunakan adalah larutan histamine 1%.
c. Induksi Asam Asetat
Metode ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas inhibisi obat terhadap pengingkatan
permeabilitas vascular yang diinduksi oleh asam asetat secara intraperitoneal. Sejumlah
pewarna (Evan’s Blue 10%) disuntikkan secara intravena. Aktivitas inhibisi obat uji terhadap
peningkatan permeabilitas vascular ditunjukkan oleh kemampuan obat uji dalam mengurangi
konsentrasi pewarna yang menempel dalam ruang abdomen, yang disuntikkan sesaat setelah
induksi asam asetat.
d. Induksi Xylene pada udem daun telinga
Hewan uji diinduksi xylene dengan mikropipet pada kedua permukaan daun telinga
kanannya. Telinga kiri digunakan sebagai kontrol. Terdapat dua parameter yang diukur dalam

10
metode ini, yaitu ketebalan dan bobot dari daun telinga mencit. Ketebalan daun telinga mencit
yang telah diinduksi diukur dengan menggunakan jangka sorong digital,lalu dbandingkan
dengan telinga kiri. Jika menggunakan parameter bobot daun telinga, maka daun telinga
mencit dipotong dan ditimbang. Kemudian beratnya dibandingkan dengan telinga kirinya.
e. Induksi asam arakhidonat pada udem daun telinga
Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi xylene, hanya saja
penginduksi yang digunakan adalah asam arakhidonat yang diberikan seara topical pada
kedua permukaan daun telinga kanan hewan.
2. Metode inflamasi kronik
Model ini didesain untuk menemukan obat-obat yang dapat memodulasi proses
penyakit dan termasuk didalamnya sponge dan pellets implants serta granuloma pouches yang
terdeposit dalam jaringan granulasi. Selain itu adjuvant induced arthritis juga termasuk dalam
model inflamasi kronik (Singh, Maholtra & Subban., 2008).

11
DAFTAR PUSTAKA

Cruz MP, Andrade CMF, Silva KO, Souza EPd, Yatsuda R, Marques LM, et al. Antinoceptive
and Anti- inflammatory Activities of the Ethanolic Extract, Fractions and Flavones
Isolated from Mimosa tenuiflora (Willd.) Poir (Leguminosae). Plos One Journal.
2016;11(3):1-29

Correa H, Valenzuela AL, Ospina LF, Duque C. Anti-inflammatory effects of the gorgonian
Pseudopterogorgia elisabethae collected at the Islands of Providencia and San Andrés
(SW Caribbean). Journal of Inflammation. 2009;6(5):1-10.

Egesie UG, Chima KE, Galam NZ. Anti-inflammatory and Analgesic Effects of Aqueous Extract
of Aloe Vera (Aloe barbadensis) in Rats. African Journal of Biomedical Research.
2011;14(3):209-12.

Ehlers S, Kaufmann S. Infection, inflammation, and chronic diseases: consequences of a modern


lifestyle. Trends Immunol. 2010;31:184-90.

Erni s, sumadi 2017, percepatan penyediaan benih sumber kedelai unggul secara invitro unpad,

Goel A, Kunnumakkara AB, Aggarwal B. Curcuminas “curecumin”: from kitchen to clinic. .


Biochem Pharmacol 2008;75:787-809.

Jang M, Jeong S-W, Cho SK, Ahn KS, Lee JH, Yang DC, et al. AntiInflammatory Effects of an
Ethanolic Extract of Guava (Psidium guajava L.) Leaves In Vitro and In Vivo. Journal of
Medicinal Food. 2014;17(6):678-85

Kumar S, Bajwa B, Kuldeep S, Kalia A. Anti-Inflammatory Activity of Herbal Plants : A


Review. International Journal of Advances in Pharmacy, Biology, and Chemistry.
2013;2(2):272-81.

Mueller M, Hobiger S, Jungbauer A. Anti-inflammatory activity of extracts from fruits, herbs


and spices. Food Chemistry. 2010;122. 5. Cruz MP, Andrade CM

Nugrahaini d, uji aktifitas anti inflamasi dan analgesik sari buah belimbing pada mencit putih
betina, 2010, universitas sanata darma, yogyakaarta

12
Park MY, Kwon HJ, Sung MK. Evaluation of Aloin and Aloe-Emodin as Anti-Inflammatory
Agents in Aloe by Using Murine Macrophages. Bioscience, Biotechnology, and
Biochemistry. 2009;73(4):828-32.

Pawlosky N. Cardiovascular risk: Are all NSAIDs alike?. Clinical Brief. 2013; 146(2):80-83.

Riskesdas 2013, kementrian kesehatan republik indonesia

Sá RdCdSe, Andrade LN, Sousa DPd. A Review on Anti-Inflammatory Activity of


Monoterpenes Molecules. 2013;18:1227-54

Singh A, Malhotra S, Subban R. Anti-inflammatory and Analgesic Agents from Indian


Medicinal Plants. Int J Integr Biol India. 2008;3(1):57–72.

S amirah, rachman, 2014 uji evektifitas anti inflamasi ekstrak n-butanol dan etil asetat daun petai
cina terhadapmencit jantan yang diinduksi karagenan, UMI MAKASSAR

Stollberger C, Finsterer J. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs in patients with cardio- or


cerebrovascular disorders. Z Kardiol. 2013; 92(1):721-9.

Suralkar. In Vivo Anmial Models for Evaluaion of Antiinflamtory Activiy. 2008. p. 6.

13

Anda mungkin juga menyukai