Anda di halaman 1dari 4

NOFANSYAH

REVIEW JURNAL BAB VIII, ESTETIKA RESEPSI


Resepsi dari kata recipere (Latin), berarti penerimaan (pembaca). Teori-teori
postrukturalisme secara keseluruhan memberikan perhatian pada kompetensi
pembaca. Pembacalah yang memberikan arti dan makna yang sesungguhnya kepada
karya seni, bukan pengarang. Dengan kalimat lain, secara metodologis kualitas
estetika sastra seharusnya digali melalui kearifan pembaca, dengan alasan
pembacalah, yaitu masyarakat sastra pada umumnya yang memberikan penilaian
terhadap sebuah karya sastra. Jauss memusatkan perhatian pada pembaca, berbeda
pandangan dengan Iser pada karya sastra sebagai komunikasi, pada pengaruh yang
ditimbulkannya, bukan semata-mata arti karya. Jauss memiliki konsep horison
harapan dan Iser memiliki konsep ruang kosong.

8.1 Perkembangan Awal dan Gagasan Pokok


Dalam sub-bab perkembangan awal dan gagasan pokok, ahli yang membahas
estetika resepsi adalah Mukarovsky, ia berpendapat bahwa yang dimaksudkan dari
estetika resepsi adalah fungsi-fungsi estetis yang berhubungan dengan nilai sebagai
fakta sosial. Nilai estetis bukan hanya dihasilkan melalui unsur intrinsik melainkan
lebih dominan melalui kontak dengan masyarakat.

Estetika resepsi adalah kualitas keindahan yang muncul karena adanya


hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Pada dasarnya estetika resepsi
berorientasi pada teori-teori komunikasi sastra, yaitu hubungan antara pengarang,
karya sastra, dan pembaca. Dengan penjelasan berikut, menurut Mukarovsky karya
seni nilai-nilai estetis pada umumnya sesuai dengan norma yang berlaku, sedangkan
dalam karya seni, nilai estetis justru merupakan pelanggaran atas norma. Estetika
identitas lebih mementingkan persetujuan norma dibandingkan dengan
penyimpangannya. Oleh karena itulah, estetika identitas sesuai dengan budaya
tertentu, khususnya budaya lama yang memerlukan sesuatu yang berpusat,
dibandingkan dengan estetika berlawanan yang lebih mementingkan sesuatu yang
lurus menjauhi pusatnya. Pada kesimpulannya budaya lama yang mengikat atau
saling menjauhi.

8.2 Karya Sastra sebagai Sumber Estetika Resepsi


Estetika resepsi adalah aspek-aspek keindahan yang muncul karena adanya
pertemuan antara karya sastra dengan pembaca. Karya sastra merupakan hasil ciptaan
pengarang, maka dalam teori resepsi akan terjadi dialog antara pengarang dan
pembaca. Teori resepsi yang menghidupkan kembali karya sastra sejak awal mulanya
hingga sekarang. Melestarikan aspek-aspek kebudayaan bukan berarti hanya
menyimpan, melindungi, melainkan memanfaatkannya demi masyarakatnya itu
sendiri.

Teeuw menyebutkan tiga macam penelitian estetika resepsi. Pertama,


pemahaman estetika resepsi dalam bentuk kritik. Kedua, estetika resepsi melalui
penelitian interteks, penyalinan dan penerjemahan dan yang Ketiga, pemahaman
estetika resepsi secara eksperimental, penelitian ini dilakukan oleh beberapa orang
saat bersamaan dengan harapan pembaca memberi tanggapan sesuai dengan
kompetensinya masing-masing. Diantara ketiga jenis penelitian estetika tersebut
model pertamalah yang dianggap sebagai paling banyak memberikan sumbangan
terhadap perkembangan karya sastra secara keseluruhan.

8.3 Struktur Sosial


Sebagai gejala sosial, berbeda dengan etika yang mempengaruhi kehidupan
manusia secara imperatif, estetika mempengaruhinya melalui kesadaran total proses
psikologis aspek keindahan yang disertai dengan tendensi, cara-cara eksplisit, dan
pemaksaan merupakan kegagalan. Struktur sosial berpengaruh besar terhadap
kehidupan manusia. Kondisi-kondisi sosial ekonomi, misalnya, memegang peranan
yang sangat menentukan, yang memungkinkan manusia untuk hidup teratur, sesuai
dengan norma-norma yang berlaku.
Estetika sosial paling jelas ditunjukkan melalui aspek-aspek subjek kreator
sebagai pencipta, audiens sebagai penerima, dan dengan sendirinya masalah-masalah
sosial ditampilkan dalam karya seni tersebut. Dalam menciptakan karya, subjek telah
membayangkan audiens yang dituju. Penikmatan terhadap karya seni tidak harus
berhubungan langsung dengan subjek kreator. Seperti teori yang dicetuskan oleh
Richard dan T.S Elliot dalam buku The New Criticsm, bahwa pengarang dianggap
telah mati, kemudian interpretasi karya sastra diserahkan kepada pembaca.

8.4 Hubungan Antara Pengarang dan Pembaca


Teori apapun yang digunakan untuk memahami hubungan antara karya seni
dengan subjeknya, pada akhirnya juga berkesimpulan bahwa subjek kreator tetap
berperan. Peranan subjek adalah untuk memahami karya dengan tujuan menemukan
makna karya dapat diungkapkan secara maksimal. Menurut Ricoeur (2005) penulis
adalah pembaca pertama terhadap karya sastra yang dihasilkannya, yang kemudian
diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sebagai pembaca.

Subjek sesungguhnya tidak menyadari bahwa dalam karya seni tersebut


terkandung kualitas estetis. Seniman hanya mencipta, merangkai kata-kata dan
kalimat untuk menulis sebuah novel, mengkomposisikan warna dan garis untuk
melukis, dan mengkombinasikan nada dan irama untuk menciptakan sebuah lagu
maka itulah tercipta karya seni.

Karya seni hidup dalam penafsiran, sedangkan penafsiran itu sendiri


mengimplikasikan perbedaan-perbedaan. Kehidupan masyarakat pada dasarnya
ditopang oleh perbedaan, bukan persamaan. Pemberian penilaian merupakan tugas
masyarakat, khususnya kritikus. Kualitas estetis ditentukan oleh perbedaan penilaian
melalui interpretasi yang dihasilkan oleh karya tersebut.
8.5 Hubungan antara Proses Kreatif dan Proses Reseptif
Karya seni merupakan aktivitas kreatif, aktivitas penciptaan, yang

dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan sebagai aktivitas deskriptif evaluatif

sebagai aktivitas penelitian. Proses kreatif jelas mempermasalahkan pengarang

menuliskan idenya kedalam sebuah karya sastra yang keseluruhannya dianggap

sebagai memiliki kualitas imajinasi, sebagian besar proses kreatif dapat dianggap

sebagai fakta, proses yang secara sadar dialami oleh penulis. Tingkat kematangan

karya pada dasarnya berbanding lurus dengan usia penulis, semakin dewasa semakin

matang pula karya tulis yang dihasilkan.

Karya seni juga merupakan curahan perasaan, masalah-masalah pribadi, ciri-

ciri yang paling banyak dibicarakan adalah masalah subjektif. Dengan adanya

perbedaan tersebut kenyataannya bahwa selama ini bangsa Indonesia menempatkan

karya seni pada posisi kedua, bahkan ketiga. Bangsa yang besar adalah bangsa yang

menghargai keindahan, yaitu karya seni itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai