Anda di halaman 1dari 11

Nama : Ida Ayu Ngurah Intan Marlina

NIM : 1912521001
Ujian Akhir Semester Analisa Konflik dan Perdamaian

1. Perang Rusia-Ukraina
a. Latar Belakang Konflik
Kerenggangan hubungan Ukraina dan Rusia terjadi sejak awal keruntuhan Uni
Soviet. Rusia sebagai penerus Uni Soviet dan Ukraina merupakan negara pecahan Uni
Soviet terbesar dengan posisi strategis berada di antara Rusia dan negara-negara Barat
menjadikan Ukraina sebagai saudara dan mitra yang penting bagi Rusia. Rusia
mengharapkan Ukraina lebih dekat dengan Rusia dibandingkan negara-negara Barat
tetapi masyarakat Ukraina memandang Rusia tidak melihat negara mereka sebagai negara
yang dapat berdiri sendiri. Pandangan masyarakat Ukraina terhadap Rusia semakin
memburuk setelah Presiden Rusia, Vladimir Putin dilaporkan menyebutkan bahwa
Ukraina bahkan bukan merupakan sebuah negara kepada Presiden Amerika Serikat pada
tahun 2008 dan penolakan Rusia terhadap upaya Ukraina untuk membujuk warga negara
Ukraina beretnis Rusia dalam menggunakan bahasa Ukraina. Dengan demikian, di dalam
Ukraina terdapat pihak yang tidak menyukai kedekatan Ukraina dengan Rusia dan
sebaliknya. Kondisi tersebut berubah menjadi krisis ketika Uni Eropa menawarkan
perjanjian kerja sama kepada Ukraina. Pihak Uni Eropa mengemukakan bahwa perjanjian
tersebut hanya merupakan bentuk inisiatif untuk membangun hubungan baik antara
negara tetangga tetapi Rusia melihat tindakan Uni Eropa melalui kacamata geopolitik dan
mencurigai tawaran tersebut sebagai bentuk upaya Uni Eropa dalam memperluas
pengaruhnya dan menyudutkan Rusia (Pikulicka-Wilczewska & Sakwa, 2016: 123-128).
Krisis dalam hubungan Rusia dan Ukraina terlihat pada tahun 2013 ketika terjadi
demonstrasi di Kiev, ibukota Ukraina sebagai bentuk protes terhadap keputusan Presiden
Viktor Yanukovych, pemimpin Ukraina yang dianggap dekat dengan Rusia untuk tidak
menandatangani perjanjian kerja sama yang ditawarkan Uni Eropa. Demonstrasi tersebut
dikenal dengan sebutan “Euromaidan” sebab memiliki intensi dukungan terhadap
integrasi Ukraina dengan Uni Eropa. Para demonstran menuntut pergantian pemerintahan
dan pemilihan umum pun akhirnya dilaksanakan sehingga pada tahun 2014 Presiden
Yanukovych menghilang dan pemerintahan baru dibentuk oleh parlemen Ukraina.
Setelah peristiwa tersebut, pasukan militer Rusia dan pasukan pendukung Rusia
mengambil kontrol terhadap Krimea, wilayah Ukraina yang mayoritas penduduknya
beretnis Rusia. Majelis Otonomi Krimea kemudian mendeklarasikan bahwa berdasarkan
referendum yang diadakan, Krimea memilih untuk bebas dari Ukraina dan bergabung
dengan Rusia pada bulan Maret 2014. Referendum tersebut dinilai tidak sah oleh Ukraina
dan negara-negara lain, utamanya negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sebab
dianggap diadakan di bawah tekanan pasukan militer Rusia. Di samping itu, Rusia terus
mendukung gerakan-gerakan separatis di wilayah Ukraina lainnya, seperti Donetsk dan
Luhansk sehingga kontak senjata antara pemerintah Ukraina dan kelompok separatis
yang didukung Rusia pun terjadi. Konflik antara Rusia dan Ukraina terus berlanjut dan
menimbulkan ribuan korban jiwa meski telah terdapat Perjanjian Minsk pada tahun
2014/2015 yang mencantumkan mengenai gencatan senjata dan penarikan semua
kelompok bersenjata asing, serta pengakuan terhadap status istimewa Donetsk dan
Luhansk (Walker, 2022: 4).
Pada bulan November 2021, Rusia meningkatkan jumlah pasukan militernya di
perbatasannya dengan Ukraina dan menurunkan 100.000 personel militer ke Krimea.
Selain itu, Rusia juga melakukan latihan militer bersama Belarus di dekat perbatasan
dengan Ukraina. Tindakan Rusia tersebut dipandang oleh intelijen Amerika Serikat
sebagai tanda-tanda Rusia akan menginvasi Ukraina pada awal tahun 2022. Beberapa hari
setelah Presiden Rusia, Vladimir Putin secara resmi mengakui deklarasi kemerdekaan
DPR (Donetsk People’s Republic), LPR (Luhansk People’s Republic), dan wilayah
Ukraina timur lainnya yang berada dalam kontrol Rusia, Rusia melancarkan aksi militer
terhadap Ukraina. Tepatnya pada 24 Februari 2022, pasukan Rusia memasuki Ukraina
dari utara melalui Belarus dan dari selatan melalui Krimea. Tindakan Rusia mendapat
dikecam secara internasional dan negara-negara Barat kemudian menerapkan sanksi
terhadap Rusia serta memberikan bantuan militer kepada Ukraina yang kembali
meningkatkan ketegangan perang yang telah berlangsung antara Rusia dan Ukraina sejak
2014 (Walker, 2022: 5).
b. Isi/Pembahasan
Mediasi merupakan salah satu bentuk manajemen konflik yang dilakukan dengan
melibatkan pihak ketiga dalam negosiasi antara dua pihak yang berkonflik baik secara
resmi maupun tidak resmi. Selama 8 tahun perang antara Rusia dan Ukraina, telah
terdapat beberapa upaya mediasi yang dilakukan. Salah satu upaya mediasi awal untuk
mencapai resolusi perdamaian antara Rusia dan Ukraina terkait perang di Donbask adalah
pertemuan Trilateral Contact Group on Ukraine yang difasilitasi oleh OSCE. Melalui
kerangka OSCE tersebut kemudian menghasilkan perjanjian Minsk I pada September
2014 dan perjanjian Minsk II pada Februari 2015. Mediasi yang dilakukan OSCE
tersebut secara detail terangkum dalam tabel berikut (Wilkenfeld, dkk., 2019: 135-136).
Tanggal Format Pihak yang Hasil Dampak
dan Lokasi terlibat
20/06/201 Rusia, Ukraina, Tidak terdapat Rusia membahas
Trilateral
4 perwakilan kemajuan. hasil tersebut
Contact
Donetsk separatis di dalam forum
Group dan
Luhansk dan Dewan Keamanan
Separatis
Donetsk PBB.
17/07/201 Kesepakatan untuk OSCE melakukan
Rusia, Ukraina,
4 Trilateral mengizinkan OSCE pengawasan dan
perwakilan
Kiev Contact melakukan memeroleh akses
separatis di
Group dan pengawasan dan ke lokasi jatuhnya
Luhansk dan
Separatis mendapat akses ke MH-17.
Donetsk
lokasi tertentu.
4/09/ 2014 Trilateral Rusia, Ukraina, Ditandatanganinya Genjatan senjata
Minsk Minsk I. sementara,
peningkatan
perwakilan
Contact kondisi
separatis di
Group dan kemanusiaan, dan
Luhansk dan
Separatis separatis yang
Donetsk
memeroleh lebih
banyak otonomi.
22/09/201 Rusia, Ukraina, Ditandatanganinya Penarikan senjata
Trilateral
4 perwakilan Memorandum berat oleh para
Contact
Minsk separatis di Minsk. pemberontak.
Group dan
Luhansk dan
Separatis
Donetsk
31/01/201 Rusia, Ukraina, Dialog mengalami Tidak terdapat
Trilateral
5 perwakilan kegagalan. dampak spesifik.
Contact
Minsk separatis di
Group dan
Luhansk dan
Separatis
Donetsk
11/02/201 Kegagalan upaya Perhatian tertuju
5 untuk pada Ukraina yang
Minsk Rusia, Ukraina, mengembalikan menunda pemilihan
Format
Perancis, dan Minsk I dan umum di wilayah
Normandie
Jerman Memorandum. separatis. Konflik
Ditandantanganinya ter-deskalasi.
Minsk II.
26/08/201 Laporan terhadap Berkurangnya
Rusia, Ukraina,
6 Trilateral keberhasilan kasus kekurangan
perwakilan
Minsk Contact kesepakatan antara air dan listrik di
separatis di
Group dan perusahaan pasokan wilayah separatis.
Luhansk dan
Separatis air dan listrik di
Donetsk
wilayah separatis.
12/12/201 Trilateral OSCE menyoroti Stabilisasi konflik.
Rusia dan
6 Contact penurunan korban
Ukraina
Vienna Group dalam konflik.
19/01/201 Konfirmasi OSCE Menandakan
7 bahwa kesepakatan stabilisasi konflik,
Trilateral
Vienna Rusia dan pasokan air masih dirasakannya
Contact
Ukraina berlaku. penurunan
Group
keparahan krisis
kemanusiaan.
01/02/201 Penegasan kembali Berkurangnya
Trilateral
7 Rusia dan komitmen terhadap kontak senjata
Contact
Minsk Ukraina ketentuan Minsk II. yang menandakan
Group
stabilisasi konflik.
Stabilisasi konflik tersebut tidak bertahan lama sebab pada paruh kedua tahun
2017, jumlah korban dan pelanggaran terhadap perjanjian meningkat kembali. Meski
Trilateral Contact Group telah bertemu secara reguler untuk menegaskan komitmen para
pihak terhadap perjanjian Minsk II, OSCE mengemukakan telah terjadi sekitar 400.000
pelanggaran terhadap perjanjian dan 1700 diantaranya terjadi di bulan Desember 2017.
Kegagalan mediasi tersebut diakibatkan oleh setidaknya dua alasan. Pertama,
menurunnya solidaritas Barat yang menurunkan efektivitas mediasi sebab tekanan
terhadap Rusia menjadi lebih sedikit. Menurunnya solidaritas Barat telah terlihat sejak
tahun 2016 ketika beberapa negara anggota Uni Eropa menyuarakan keringanan terhadap
sanksi ekonomi yang diterima Rusia. Rusia terus berupaya dalam mempererat hubungan
bilateral dengan beberapa negara Uni Eropa, seperti Italia dan Hungaria. Kedua,
kurangnya keberadaan kemungkinan yang ingin dihindari atau para pihak tidak
merasakan bahwa melanjutkan mediasi tersebut lebih menguntungkan dibandingkan
melanjutkan kontak senjata. Hal tersebut dikarenakan terdapat keterlibatan pihak luar.
Carment, Samy, dan El Achkar menemukan bahwa perbedaan kekuatan antara kedua
belah pihak dalam konflik akan membuat konflik lebih cepat terhenti. Maka dari itu,
kondisi Ukraina yang mendapat dukungan negara-negara Barat membuat konflik menjadi
lebih lama mencapai penyelesaian (Wilkenfeld, dkk., 2018: 137-138).
c. Kesimpulan
Manajemen konflik menggunakan mediasi dalam kasus Perang Rusia-Ukraina
tampaknya kurang efektif. Kondisi Perang Rusia-Ukraina serupa dengan Perang Dingin
ketika terdapat kekuatan besar yang mendukung pihak dalam konflik sehingga
menyulitkan tercapainya penyelesaian. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan upaya mediasi dalam kasus tersebut adalah mengurangi jumlah aktor yang
terlibat dalam dialog untuk mencapai penyelesaian.
d. Referensi
Pikulicka-Wilczewska, A & Sakwa, R. (ed). (2016). Ukraine and Russia: People,
Politics, Propaganda and Perspectives. Bristol: E-International Relations
Publishing.
Walker, N. (2022). Ukraine Crisis: A Timeline (2014-Present). London: House of
Commons Library.
Wilkenfeld, J., dkk. (2019). Research Handbook on Mediating International Crises.
Cheltenham: Edward Elgar Publishing.

2. Sengketa Perbatasan China dan beberapa negara ASEAN di LCS


a. Latar Belakang Konflik
Laut China Selatan adalah perairan yang membentang dari barat daya dengan
lintang selatan yang berada diantara wilayah Sumatera dan Kalimantan (Indonesia)
hingga ke timur laut berbatasan dengan Selat Taiwan. Laut China Selatan terdiri dari
perairan seluas 4.000.000 km2 dengan ratusan pulau-pulau kecil dan terumbu karang.
Menurut informasi dari berbagai survei seismik, wilayah Laut China Selatan terutama
kepulauan Spratly dan Paracel memiliki sumber daya alam yang berlimpah, termasuk
sumber daya laut serta cadangan minyak dan gas. Maka dari itu, negara-negara berupaya
mendapatkan legitimasi terhadap wilayah Laut China Selatan. Sengketa terhadap wilayah
tersebut diawali dengan klaim China pada tahun 1974 yang merilis peta dengan wilayah-
wilayah kedaulatannya. Kepulauan Spratly, Paracels, dan Pratas dalam Laut China
Selatan juga tercantum dalam peta tersebut. Pada tahun yang sama, China menempatkan
militernya di pulau-pulau tersebut. Klaim China tersebut kemudian mendapat respon dari
negara-negara lain yang perbatasannya bersimpangan dengan Laut China Selatan,
utamanya negara-negara ASEAN. Negara-negara ASEAN yang terlibat dalam kasus
sengketa perbatasan dengan China terhadap Laut China Selatan, antara lain Vietnam,
Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Negara-negara tersebut
memberikan respon beragam dalam menanggapi klaim China. Filipina mengajukan
gugatan dengan argumen bahwa Filipina hanya menginginkan Spratly yang jelas jaraknya
lebih dekat dengan daratan Filipina dibandingkan daratan China. Sementara itu, Vietnam
menolak klaim China dengan menunjukkan dokumen yang membuktikan bahwa Vietnam
telah berkuasa di Paracel dan Spratly sejak abad ke-17 (Kusuma, dkk., 2021: 52-53).
b. Isi/Pembahasan
Analisis pada kasus ini akan menggunakan metode negosiasi dengan berfokus
pada negosiasi antara China dan Vietnam. Negosiasi dalam format dialog bilateral antara
China dan Vietnam dilakukan sejak normalisasi hubungan keduanya pada tahun 1991.
Untuk mengelola sengketa wilayah Laut China Selatan, keduanya menginisiasi sebuah
sistem dialog dan diskusi terstruktur dan ekstensif dari level rendah hingga level tinggi,
yakni dari dialog level ahli hingga ke level pemerintah. Dialog leel ahli terjadi pada tahun
1992 dan dialog level tinggi dimulai pada tahun 1993. Hasil dari dialog tersebut adalah
penandatanganan perjanjian mengenai prinsip penanganan sengketa perbatasan darat dan
Teluk Tonkin. Ketika ketegangan terhadap sengketa Laut China Selatan meningkat pada
periode 2009-2011, China dan Vietnam melakukan negosiasi kembali dan kali ini
menghasilkan perjanjian mengenai prinsip-prinsip dasar yang memandu penyelesaian
permasalahan terkait maritim. Keduanya pun telah mengambil langkah untuk
mengimplementasikan perjanjian tersebut di tahun 2012, 2013, dan 2014. Pada tahun
2012, ronde pertama dialog tingkat departemen mengenai demarkasi daerah di luar mulut
Teluk Tonkin serta pembicaraan tentang kerja sama di bidang yang kurang sensitif di laut
pun dilangsungkan. Pada tahun 2013, dilaksanakan pertemuan tingkat tinggi sebagai
bentuk upaya China dan Vietnam dalam mendorong manajemen situasi sengketa terhadap
wilayah Laut China Selatan. Hasil dari pertemuan tersebut adalah keduanya menyepakati
empat hal penting, yakni sebagai berikut. Pertama, mengamati persepsi umum yang
dicapai kedua pemimpin negara dan menerapkan perjanjian dari dialog sebelumnya.
Kedua, menggunakan mekanisme negosiasi tingkat pemerintah dan terus berupaya
mencari solusi yang dapat diterima kedua negara melalui negosiasi dan pembicaraan
secara damai. Ketiga, membentuk kelompok kerja yang bertanggung jawab atas kerja
sama pembangunan di laut. Keempat, meningkatkan operasi kelompok kerja di perairan
dari mulut Teluk Tonkin dan kelompok kerja tingkat ahli untuk kerja sama dalam isu-isu
lainnya. Pada pertemuan lainnya di tahun yang sama, keduanya mengumumkan
pembentukan “Kelompok Kerja China Vietnam untuk Pengembangan Bersama dan
Konsultasi Maritim” secara resmi. Pada tahun 2014, kelompok kerja yang telah dibentuk
secara resmi tersebut mengadakan dialog pertama dan keduanya. Hingga tahun 2014,
negosiasi yang dilakukan terlihat sukses dalam mengelola konflik yang terjadi antara
China dan Vietnam. Namun, pengiriman oleh China National Offshore Oil Corporation
(CNOOC) dari rig pengeboran HD-981 untuk operasi di wilayah sebelah barat kepulauan
Paracel pada awal Mei 2014 menyebabkan terjadinya ketegangan antara China dan
Vietnam hingga akhirnya berakhir ketika China mengumumkan penarikan rig
pengeboran dari area operasi. Meski demikian, ketegangan akibat penarikan rig
pengeboran dapat dikatakan sebagai satu-satunya cara yang dapat disajikan sebagai
perkembangan yang dapat diterima oleh China dan Vietnam. Kedua belah pihak dapat
mengklaim bahwa mereka mencapai tujuannya. China dapat menyoroti selesainya operasi
pengeboran dan Vietnam dapat memperlihatkan kemampuannya dalam mempertahankan
tekanan pada China hingga terjadi penarikan rig. Setelah krisis berakhir, kedua negara
telah memulai proses yang bertujuan untuk membangun kembali kepercayaan,
normalisasi hubungan secara keseluruhan, dan pembahasan mengenai sengketa wilayah
melalui negosiasi dalam pertemuan antara pemimpin dan ahli Vietnam dan Cina (Amer,
2015: 22-26).
c. Kesimpulan
Manajemen konflik menggunakan negosiasi dalam kasus konflik Laut China
Selatan, khususnya antara China dan Vietnam terlihat berhasil. Kedua negara telah
memiliki gambaran mengenai intensi satu sama lain. Keduanya menginginkan hubungan
yang saling menguntungkan tetapi juga tidak menahan diri dalam memberikan komplain
terhadap satu sama lain. Namun, bagian terpenting adalah keduanya tidak berhenti dalam
bernegosiasi dengan satu sama lain.
d. Referensi
Amer, R. (2015). Dispute Management in the South China Sea. Haikou: NISCSS.
Kusuma, W., dkk. (2021). South China Sea: Conflict, Challenge, and Solution. Lampung
Journal of International Law (LaJIL), 3(1), 51-62.

3. Konflik di Myanmar antara junta militer dan kelompok pro demokrasi


a. Latar Belakang Konflik
Konflik di Myanmar antara junta militer dan kelompok pro demokrasi mulai
berkembang sekitar tahun 1970 ketika pemerintah Myanmar mengeluarkan kebijakan
diskriminatif yang memaksa suku Rohingya untuk meninggalkan Myanmar menuju
Bangladesh. Konflik tersebut memburuk dan mendapat perhatian internasional kembali di
tahun 2017 ketika 700.000 orang suku Rohingya kehilangan rumahnya dan harus
mengungsi ke Bangladesh, setidaknya 6700 orang Rohingya telah dibunuh, dan beberapa
wanita dan anak-anak perempuan menjadi korban pemerkosaan oleh militer Myanmar.
Militer Myanmar dipandang berupaya menghilangkan keseluruhan suku Rohingya atau
memiliki intensi genosida (Mahmud, dkk., 2019: 3314).
Pada awal kemerdekaannya di tahun 1948, Myanmar yang masih bernama “Union
of Burma” memulai dengan sistem demokrasi parlementer. Namun, sistem tersebut hanya
berlangsung hingga 1962 keyika Jendral Ne Win memimpin kudeta militer yang berhasil
dan sejak saat itu Myanmar dikuasai oleh junta militer. Ne Win menegaskan penggunaan
institusi baru dengan kebijakan luar negeri yang isolasionis dan program-program
ekonomi sosialis. Kondisi ekonomi menurun drastis, korupsi mulai marak terjadi, dan
protes akibat kekurangan makanan juga terjadi. Militer berupaya menekan orang-orang
yang melakukan protes sehingga mengakibatkan korban jiwa sekitar 3.000 orang. Setelah
peristiwa tersebut, Ne Win mengundurkan diri dan junta militer yang baru mengambil
alih. Pada tahun 1989, rezim militer yang baru mengubah nama Burma menjadi
Myanmar. Pada tahun 2007, muncul Revolusi Saffron, yakni protes anti-pemerintah
akibat kenaikan harga bahan bakar. Mendapatkan tekanan dari pihak internasional dan
domestik, junta militer Myanmar memutuskan mengeluarkan konstitusi baru yang
memberikan militer memiliki kekuatan bahkan di bawah pemerintahan rakyat. Pada
tahun 2011, junta militer secara resmi telah menghilang dan digantikan oleh parlemen
rakyat yang didominasi oleh militer dan menjadikan mantan birokrat militer dan Perdana
Menteri Thein Sein sebagai presiden. Selanjutnya di tahun 2015, Myanmar mengadakan
pemilihan umum pertamanya dan dimenangkan oleh Htin Kyaw tetapi kekuatan
sesungguhnya berada di tangan Suu Kyi. Pada tahun 2021, terjadi kudeta militer dan
menahan Aung San Suu Kyi yang dianggap sebagai pemimpin Myanmar. Masyarakat
kembali melakukan protes agar dikembalikannya pemerintah yang telah dipilih. Dalam
rangka membungkam para pengunjuk rasa, militer menghancurkan desa-desa yang
diduga mendukung para oposisi. Kudeta militer juga mengakhiri proses perdamaian yang
dimulai oleh pemerintah Suu Kyi antara pemerintah pusat dan organisasi etnis bersenjata.
Sebagian besar organisasi etnis bersenjata menentang junta militer dan beberapa
diantaranya bekerja sama dengan NUG (National Unity Government) (CFT, 2022).
b. Isi/Pembahasan
Analisis pada kasus ini akan menggunakan metode mediasi. Mediasi merupakan
metode manajemen konflik dengan melibatkan pihak ketiga dalam negosiasi antara dua
pihak dalam konflik. Dua pihak dalam konflik pada kasus ini adalah junta militer dan
kelompok pro demokrasi (National League for Democracy) yang tergabung dalam
National Unity Government (NUG). Kedua pihak dalam konflik percaya bahwa mereka
dapat mengalahkan pihak lainnya dan peningkatan jumlah korban kemanusiaan akibat
konflik tersebut merupakan konsekuensi yang masih dapat ditanggung. Menurut NUG,
Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) yang berafiliasi dengannya telah membunuh lebih dari
4.600 tentara antara Juni dan November 2021. Di lain sisi, Junta mengklaim bahwa 1.150
warga sipil dan 182 personel keamanan telah terbunuh oleh serangan PDF. Jumlah pasti
korban akibat konflik keduanya tidak dapat dipastikan dan diperkirakan lebih banyak
dibandingkan jumlah yang telah disebutkan. ASEAN berupaya memediasi konflik
tersebut dan sempat memeroleh kemajuan tercapainya “Lima Poin Konsensus” dengan
kehadiran junta supremo Min Aung Hlaing dan beberapa bulan setelahnya, Erywan
Yusof dari Brunei ditunjuk sebagai utusan khusus untuk memediasi konflik tersebut
dengan menyerukan de-edkalasi konflik dan memfasilitasi pengiriman bantuan
kemanusiaan. Namun, upaya mediasi tersebut mengalami hambatan ketika Min Aung
Hlaing menyebutkan bahwa consensus tersebut hanya akan dipertimbangkan setelah
kondisi Myanmar menjadi stabil. Beberapa aktivis justru melihat kedatangan junta bukan
dengan intensi ingin mencapai penyelesaian melainkan menunjukkan adanya pengakuan
terhadap pemerintahannya dari ASEAN. Ketika Yusof mengumumkan bahwa pasukan
militer Myanmar (Tatmadaw) telah menerima tawaran gencatan senjata, kedua pihak
dalam konflik merespon pengumuman tersebut dalam waktu 48 jam. Juru bicara junta
mengemukakan bahwa pihaknya tidak pernah menyetujui tawaran tersebut sedangkan
pihak NUG mempertanyakan gencatan senjata dan menyebutkan bahwa permasalahan
kemanusiaan sebaiknya ditangani belakangan. NUG bahkan mengeskalasi konflik dengan
mengumumkan mengenai revolusi pertahanan rakyat sebagai metode terakhir yang akan
mereka lakukan dikarenakan kegagalan intervensi dari komunitas internasional. Yusof
berupaya mempertemukan kedua pemimpin pihak dalam konflik tetapi tawarannya
ditolak oleh pihak junta. Sebagai respn, ASEAN mengambil sikap tegas dengan tidak
mengundang pihak junta dalam pertemuan di bulan Oktober. Tindakan ASEAN tersebut
menjadi pukulan keras bagi upaya junta untuk memeroleh legitimasi internasional (The
Diplomat, 2021).
c. Kesimpulan
Upaya manajemen konflik menggunakan metode mediasi dalam kasus konflik di
Myanmar terlihat tidak berhasil. Hal tersebut dikarenakan kedua pihak dalam konflik
tidak memiliki pandangan bahwa mediasi merupakan cara yang lebih baik dibandingkan
dengan kontak senjata yang tengah berlangsung. Dibuktikan dengan pernyataan keduanya
yang menyebutkan bahwa korban kemanusiaan bukan merupakan permasalahan utama
bagi keduanya.
d. Referensi
CFR. (2022). Myanmar’s Troubled History: Coups, Military Rule, and Ethnic Conflict.
Diakses tanggal 6 Juni 2022, dari https://www.cfr.org/backgrounder/myanmar-
history-coup-military-rule-ethnic-conflict-rohingya#chapter-title-0-2.
Mahmud, M.T., dkk. (2019). A Conflict Profile: The Rohingya Conflict in Myanmar.
Journal of Social Science Research, 14, 3313-3324.
The Diplomat. (2021). Is Mediation Even Possible in Myanmar? Diakses tanggal 7 Juni
2022, dari https://thediplomat.com/2021/12/is-mediation-even-possible-in-
myanmar/.

4. Konflik Papua antara Pemerintah Indonesia dan kelompok pro kemerdekaan (OPM)
a. Latar Belakang Konflik
Gerakan separatis di Papua telah muncul sejak tahun 1960 atas dasar sejarah dan
keluhan kondisi ekonomi dan politik. Upaya serius pemerintah Indonesia dalam
menanggapi isu ini baru terlihat pada tahun 1999 dengan memberikan Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua (OTSUS). Meski ketika itu upaya tersebut mampu mengakomodasi
aspirasi banyak masyarakat Papua tetapi 10 tahun setelahnya OTSUS tidak berdampak
signifikan untuk meningkatkan kondisi di Papua yang membuat masyarakat Papua
kecewa (Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 32).
Perdebatan terkait status politik papua berakar pada proses dekolonisasi
Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, Belanda masih memiliki kendali terhadap wilayah
yang disebut Belanda Papua Nugini dan telah menyiapkan rencana untuk kemerdekaan
Papua pada tahun 1970 dengan langkah awal berupa pembentukan Dewan Nugini pada
tahun 1961. Dewan tersebut mengibarkan Bendera Bintang Kejora dan menyatakan
mengenai negara merdeka bernama Papua Barat. Tidak lama setelah itu, Presiden
Soekarno mengumumkan Trikora untuk membebaskan Papua dan menjadikannya bagian
dari Indonesia. Tentara Nasional Indonesia yang menjalankan mandat tersebut kemudian
menyadari bahwa mayoritas masyarakat Papua tidak ingin dibebaskan yang terlihat dari
terjadinya perlawanan oleh Korps Relawan Papua (PVC). Untuk mencegah Indonesia
menjadi semakin dekat dengan blok komunis, Amerika Serikat melakukan lobi kepada
pemerintah-pemerintah negara Barat lainnya untuk tidak mendukung kebijakan Belanda
terhadap Papua. Pada tahun 1962, Belanda dan Indonesia pun menandatangani perjanjian
New York yang mengharuskan Belanda melepaskan Papua dan memindahkan
kedaulatannya kepada Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA) selama enam bulan
hingga dapat dilangsungkan pemilihan oleh masyarakat Papua untuk merdeka atau
bergabung dengan Indonesia. Setahun setelahnya, Indonesia mengambil administrasi dari
UNTEA dan memilih 1026 perwakilan untuk berpartisipasi dalam “Act of Free Choice”
di tahun 1969 dengan pilihan merdeka atau bergabung dengan Indonesia. Indonesia
berargumen bahwa geografi Papua yang sulit dan budaya politik Indonesia mengenai
musyawarah mufakat membenarkan pemungutan suara oleh perwakilan dibandingkan
referendum populer. Selain itu, Indonesia merasa bahwa tidak semua masyarakat Papua
memiliki kemampuan untuk memilih karena mereka dipandang masih sederhana dan
primitif. Hasil pemungutan suara tersebut menjadikan Papua bagian dari Indonesia meski
terdapat banyak testimony dari media mengenai pelanggaran perjanjian New York dan
penolakan dari 15 negara. Papua pun secara resmi menjadi bagian dari Indonesia pada
tahun 1973. Setelah resmi menjadi bagian dari Indonesia, Presiden Soeharto mengambil
beberapa tindakan yang memicu konflik yang terjadi hingga saat ini. Pemerintahan
Soeharto menginisiasi kerja sama dengan perusahaan Amerika Serikat, yakni Freeport
McMoran untuk menambang salah satu cadangan tembaga terbesar dunia di Papua. Situs
tambang tersebut menimbulkan protes sebab dianggap sebagai eksploitasi terhadap
sumber daya alam Papua. Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menerapkan kebijakan
transmigrasi yang dengan cepat merubah komposisi penduduk di Papua dan
menimbulkan ketakutan bagi masyarakat bahwa mereka nantinya akan termarginalisasi
(Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 32-35).
Masyarakat Papua yang kecewa karena tidak memiliki suara dan menjadi pihak
dalam perjanjian New York pun berupaya memperjuangkan kemerdekaannya sendiri
yang kemudian memunculkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada tahun 1965. OPM
terdiri dari dua sayap, yakni sayap militer dan sayap politik. Sayap militer berfungsi
meluncurkan kampanye untuk melindungi kehidupan rakyat asli Papua dari militer
Indonesia dan untuk menghancurkan kekuatan pendudukan kolonial, fasilitas, dan
sekutunya. Sementara itu, sayap politik beroperasi di dalam dan di luar Papua Barat serta
memiliki kantor di Swedia (sejak 1998) dan Vanuatu (sejak 2003). Kantor di Swedia
berfungsi untuk penjangkauan diplomatik, kampanye pendidikan publik, dan
penggalangan dana sedangkan kantor Vanuatu berfungsi memimpin kampanye
internasional. Organisasi ini juga memperluas pengaruhnya hingga ke Belanda sebagai
upaya lobi politik (Centre for Humanitarian Dialogue, 2011: 47-48).
b. Isi/Pembahasan
Analisis pada kasus ini akan menggunakan metode fasilitasi. Fasilitasi merupakan
salah satu bentuk metode manajemen konflik dengan seorang fasilitator yang
memfasilitasi dialog yang dirancang untuk mencari pemecahan masalah berdasarkan
pemahaman bersama terhadap sumber permasalahan. Kontak antar-kelompok dirancang
untuk menciptakan keadaan yang menguntungkan untuk berdialog dan mempromosikan
isu utama (Butler, 2009: 192). Perbedaan fasilitasi dengan mediasi adalah dukungannya
lebih tidak langsung, yakni dilakukan melalui pembicaraan lain terlebih dahulu/bekerja di
latar belakang dibandingkan langsung memediasi negosiasi di atas meja (Greminger,
2007: 7).
Pada tahun 2009, seorang pendeta Katolik Papua dan tokoh masyarakat
terkemuka bernama Father Neles Tebay meluncurkan inisiatif di Papua untuk
mempromosikan dialog antara masyarakat Papua dengan pemerintah di Jakarta. Sebelum
inisiatif dari Neles Tebay, upaya otonomi khusus telah gagal dan pemerintah kehilangan
dukungan masyarakat Papua. Neles Tebay menyarankan untuk mengadakan dialog di
bawah payung “Tanah Damai”, yakni sebelum dialog dimungkinkan, perlu dilakukan
dialog internal antara masyarakat asli Papua dan pendatang. Kerangka Neles Tebay
diterima dengan baik dan menjadi dokumen yang banyak dibaca di Papua dan dasar
untuk diskusi tentang potensi proses dialog dengan pemerintah pusat. Bersama dengan
LIPI, Neles Tebay kemudian membentuk The Papua Peace Network (PPN) pada tahun
2010 untuk mengembangkan kapasitas fasilitator informal Papua dari berbagai agama,
etnis, dan spectrum politik. Pembentukan PPN merupakan langkah awal untuk
mendukung konsultasi intra-Papua sebagai persiapan untuk potensi dialog dengan
pemerintah pusat. PPN telah bekerja dalam mempromosikan pemahanan mengenai
kekuaran dan kelemahan dialog sebagai metode penyelesaian konflik kepada kelompok
pemuda yang seringkali menyarankan penggunaan kekerasan sebagai bentuk
penyelesaian isu ini. Dari sisi pemerintah, pada awalnya terdapat penolakan terhadap
dialog tetapi jaringan pihak pro-dialog dalam posisi penting pun dibentuk pula dan secara
gradual memperluas jumlah anggota dalam pemerintahan pusat yang setuju untuk
melakukan dialog. Setelah fasilitasi tersebut, kedua pihak pun akhirnya siap dan
berkeinginan untuk melakukan dialog. Di Papua terdapat kecenderungan yang jelas
menuju penyatuan faksi yang berbeda dan meningkatnya dukungan untuk dialog.
Sementara itu, pidato Presiden pada Agustus 2010 menandai awal dari perubahan
kebijakan menjadi menyetujui adanya dialog. Beberapa rekomendasi berupa sejumlah
langkah konkret yang berkontribusi pada fase persiapan serta dialog yang aktual pun
dibangun di atas perkembangan positif tersebut. Adapun rekomendasi tersebut, antara
lain menunjuk tim khusus untuk dialog, mengevaluasi OTSUS, memetakan dan
mengelola konflik para pihak, menentukan agenda untuk dialog, meningkatkan dukungan
publik untuk dialog, melibatkan migran, menjamin implementasi, memulai demiliterisasi
dan mengakhiri impunitas, serta amandemen terhadap KUHP Indonesia (Centre for
Humanitarian Dialogue, 2011: 39-45).
c. Kesimpulan
Manajemen konflik menggunakan metode fasilitasi dalam kasus konflik
Indonesia-Papua terlihat berhasil menciptakan kembali dialog antara kedua pihak dalam
konflik. Fasilitasi menjadi metode yang terkesan menyegarkan sebab sebelumnya
masyarakat Papua hanya menerima sepihak upaya dari pemerintah Indonesia dalam
bentuk OTSUS. Dikarenakan perbedaan kekuatan yang jelas diantara keduanya pula,
pihak pemerintah pusat enggan melakukan dialog di awal. Namun, dengan fasilitasi yang
secara perlahan mempromosikan dialog antara kedua belah pihak, akhirnya kedua pihak
berkeinginan untuk melakukan dialog.
d. Referensi
Butler, M.J. (2009). International Conflict Management. London: Routledge
Centre for Humanitarian Dialogue. (2011). Conflict Management in Indonesia: An
Analysis of the Conflicts in Maluku, Papua and Poso. Geneva: Centre for
Humanitarian Dialogue.
Greminger, T. (2007). Mediation & Facilitation in Today’s Peace Processes: Centrality
of Commitment, Coordination and Context. Geneva: Swiss Federal Department of
Foreign Affairs.

Anda mungkin juga menyukai