Anda di halaman 1dari 22

Renungan, 14 Februari 2021

Membangun Penguasaan Diri

“Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal…” (2 Timotius 4:5a)


Penguasaan diri merupakan karakter yang sangat diperlukan oleh setiap orang dalam
kehidupan. Tanpa penguasaan diri, banyak sikap dan tindakan menjadi tak terkontrol
sehingga mengakibatkan kerugian dan kegagalan. Sebaliknya, penguasaan diri
membuat kita mampu berpikir lebih matang, bersikap lebih tenang, dan bertindak lebih
hati-hati. Penguasaan diri ialah fondasi bagi pengembangan karakter lainnya.
Kondisi diri yang emosional sering kali memengaruhi sikap penguasaan diri kita. Dalam
kondisi emosional, kita cenderung berikap impulsif dan reaktif, sehingga sulit
mengendalikan diri. Kita akan kehilangan pertimbangan dan akal sehat, lalu terjebak
dan didorong oleh naluri, emosi, bahkan nafsu. Sikap dan tindakan seperti ini jika
dibiarkan berlarut-larut biasanya tidak bertahan lama, dan suatu ketika membawa
kerugian bahkan kehancuran.
Penguasaan diri dapat dilatih dan dibangun melalui latihan dan sikap disiplin dalam
menanamkan kebiasaan yang baik.  Kita tidak akan kehilangan peluang, tidak akan
terjebak dalam kondisi emosional, dan tetap aman dalam pengendalian diri yang baik
jika tetap bersikap waspada dan peka terhadap kesadaran nurani. Penguasaan diri
meminimalkan resiko kegagalan dan menghindarkan kita dari tindakan yang ceroboh.
Singkatnya, mengapa kita perlu memiliki penguasaan diri?

Kita cenderung bereaksi spontan (bersikap reaktif), yaitu bertindak dulu baru berpikir.

Kita lebih senang bersikap semaunya, yang dapat menimbulkan kerugian, daripada
bertindak tertib melalui penguasaan diri sehingga kerugian dapat dicegah.

Kita perlu penguasaan diri sebagai suatu latihan iman dan dasar bagi pengembangan
karakter lainnya.

Dalam hal apa saja kita bisa membangun penguasaan diri?


1. Menguasai diri dalam perkataan
Pepatah berkata bahwa kata-kata adalah doa. Hal ini selaras dengan Firman Tuhan
dalam Amsal 12:21, “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan
memakan buahnya.” Kata-kata memang mudah sekali diucapkan, tetapi sekali terucap
tak akan pernah bisa ditarik kembali. Setiap kata yang keluar ibarat sebuah doa yang
terucap, entah baik atau buruk. Waktu akan mewujudkan doa dari kata-kata itu
menjadi kenyataan, seperti yang tertulis dalam ayat di atas; siapa yang
menggemakannya atau mengucapkannya akan memakan buahnya, yaitu buah dari
perkataan kita. Inilah perlunya menguasai diri dalam perkataan kita. Kita harus berpikir
sebelum berkata-kata supaya kata-kata kita adalah kata-kata yang membangun,
memotivasi, meneguhkan, menguatkan, dan memberkati; sehingga setiap orang yang
mendengarnya beroleh berkat dari perkataan kita. Kolose 4:6 menjelaskannya,
“Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu,
bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” Jika kita tidak bisa
menguasai diri dalam perkataan, kata-kata kita cenderung melukai hati orang lain.
Ketika kita menyadari bahwa kata-kata kita telah melukai, kita bisa saja meminta maaf,
tetapi maaf tidak menarik kembali kata-kata kita.  Oleh sebab itu, marilah kita
menguasai diri dalam perkataan kita.
2. Menguasai diri dalam keinginan dan perbuatan
Tuhan menciptakan manusia dengan kehendak bebas. Namun, ingatlah bahwa manusia
bebas dalam keinginan apa pun tetapi tidak bebas dalam menerima konsekuensi dari
keinginannya itu. Karena itu, kita harus menguasai diri dalam kehendak kita supaya apa
yang kita inginkan adalah keinginan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, lalu
mendatangkan kebaikan dan menjadi berkat bagi sesama. Semua yang ada di dalam
dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah
berasal dari Bapa, melainkan dari dunia (1 Yoh. 2:16).
Keinginan daging termasuk keinginan makan yang berlebihan. Sering kali kita
mendapati dalam acara-acara pesta, banyak makanan tersisa dalam piring-piring kotor
tanpa dihabiskan sementara masih banyak tamu yang mengantre dan belum
mendapatkan makanan. Keinginan untuk makan banyak dan mencicipi semua yang
tersedia membuat pengendalian diri hilang, padahal tubuh kita tak sanggup
menghabiskan makanan itu. Pada situasi lain, kadang kita menginginkan makanaan-
makanan enak padahal makanan itu tidak baik untuk kesehatan. Kita pun
mengesampingkan risiko jika kita memakannya, seperti kolesterol, darah tinggi,
diabetes dan sebagainya, demi tetap menikmati makanan enak itu. Di satu sisi kita
berdoa kepada Tuhan meminta kesehatan yang baik, tetapi di sisi yang lain kita tidak
menguasai diri terhadap keinginan makan dengan tetap memakan makanan yang tidak
sehat.
Keinginan mata adalah keinginan-keinginan dosa yang timbul oleh karena melihat.
Kalau sesudah melihat sesuatu tidak timbul keinginan dosa apa pun, ini hanya melihat
biasa dan tidak termasuk keinginan mata. Namun jika setelah melihat sesuatu
kemudian timbul dorongan untuk berpikir dosa dari dalam hati, apalagi pikiran itu
disetujui dan diwujudkan dalam perbuatan dosa, inilah keinginan mata yang dimaksud
di Alkitab. Keinginan mata membawa dosa, di pikiran lalu di perbuatan. Dosa dalam
pikiran yang tidak terlatih dalam pengendalian diri akan terus direnungkan, lalu
berkembang hingga akhirnya membawa dosa perbuatan.
Keangkuhan hidup adalah kesombongan, yaitu merasa lebih hebat dari yang lain dan
gila hormat. Keangkuhan memandang orang lain rendah dan tidak menghargai orang
lain. Ini termasuk keinginan untuk dipuji dan tidak mau kalah, yang pada dasarnya
perlu dikendalikan.
“Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi
orang yang merebut kota.” (Amsal 16:32)
Renungan, 20 September 2022

Menjadi suami yang berhasil

Hampir semua pria dapat dipastikan ingin menjadi suami yang berhasil. Untuk
mencapai harapan itu, kita dapat belajar melalui kegagalan-kegagalan yang pernah
dialami. Mungkin di antara Anda banyak yang pernah mencoba untuk menjadi suami
yang berhasil, tetapi ternyata Anda merasa bahwa hal itu begitu sukar dan penuh
dengan pergumulan. Atau, mungkin Anda merasa ada karakter-karakter tertentu dalam
diri Anda yang belum menunjukkan sebagai seorang suami yang baik. Jangan putus
asa! Teruslah berjuang sampai menjadi seorang suami yang berhasil di dalam Tuhan.
Ada seorang suami yang mempunyai masalah hubungan yang kurang baik dengan sang
istri. Ia selalu ingin agar istrinya tunduk kepadanya, tetapi yang terjadi tidaklah
demikian. Istrinya selalu memberontak dan tidak taat kepadanya. Jika ia berkata
sesuatu kepada istrinya, istrinya dengan sengaja justru melakukan hal yang
bertentangan dengan apa yang ia katakan itu. Sejak ia kecil, ayahnya selalu berkata,
“Jika nanti kamu punya istri, hati-hatilah. Jangan percaya kepada wanita, sebab wanita
itu adalah makhluk yang sangat manipulatif. Wanita itu merepotkan. Kamu harus tegas
dan keras terhadap wanita dan jangan memusingkan reaksinya. Jika kamu tidak
berbuat demikian, tidak mungkin istrimu akan taat. Kamu harus keras. Itulah cara
untuk membuat seorang istri taat kepada suaminya.” Tanpa sadar, ia telah memercayai
ajaran yang salah dari orang tuanya. Orang tuanya tidak mengajar dia bagaimana
menjadi suami yang baik. Namun, orang tuanya mengajarnya untuk menjadi seorang
diktator di dalam keluarga.
Kejadian 3:16 berkata, “Firman-Nya kepada perempuan itu: ‘Susah payahmu waktu
mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan
anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.’”
Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, ada satu kecenderungan yang sama dalam diri
suami maupun istri. Karena para suami merasa tidak aman, mereka cenderung ingin
berkuasa atas istri mereka. Untuk membuat istri mereka tunduk dan taat, mereka
memakai cara kekerasan. Menurut asal katanya, kata “berkuasa” di sini maksudnya
adalah “mendominasi”, atau lebih ekstrem lagi, “bersikap sebagai diktator, memaksakan
penundukan diri dari orang lain”. Jadi, kita dapat melihat bahwa semua pria cenderung
melakukan hal ini. Pria tadi berpikir bahwa supaya ia dihormati, ia harus bersikap keras,
lebih cerdik, dan sebagainya. Ini adalah gambaran yang palsu tentang bagaimana
seharusnya seorang pria menjadi seorang suami. Jika Anda menjadi suami yang seperti
itu, Anda tidak akan berhasil. Mengapa? Itu tidak sesuai dengan prinsip kebenaran yang
Alkitab katakan. Alkitab memberikan kita kunci bagaimana kita dapat menjadi seorang
suami yang berhasil.
“Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah
menyerahkan diri-Nya baginya.” (Ef. 5:25)
Jadi, bagaimana Anda dapat menjadi suami yang berhasil? Belajarlah dari Kristus.
Mungkin Anda adalah suami yang belum sempurna dan masih mempunyai banyak
kekurangan. Atau, mungkin Anda adalah suami yang tidak memiliki latar belakang
pendidikan yang tinggi. Atau, mungkin juga Anda suami yang secara ekonomi bukanlah
orang kaya. Atau, latar belakang Anda bukanlah orang yang terkenal dan bukan dari
keluarga yang hebat. Meski demikian, Anda bisa menjadi suami yang berhasil jika Anda
mengasihi istri Anda. Mengasihi adalah kuncinya.
Tahukah Anda bahwa ini adalah prinsip yang bukan hanya diajarkan tetapi juga
dilakukan oleh Kristus sendiri? Kristus telah lebih dulu mengasihi gereja-Nya dengan
menyerahkan nyawa-Nya, maka gereja tunduk dan taat kepada Kristus. Berdasarkan
kebenaran ini, istri yang sulit taat kepada suaminya memang bersalah, tetapi Anda
sebagai suami adalah yang pertama-tama dituntut untuk bertanggung jawab mengasihi
istri. Jika Anda tidak lebih dulu mengasihi istri Anda, jangan heran bahwa istri Anda sulit
tunduk kepada Anda. Wanita secara alamiah adalah makhluk yang lebih lemah dan
halus, ia tidak bisa Anda perlakukan dengan kasar. Otoritas Anda hanya akan muncul,
bertumbuh menjadi semakin kuat dan menjadi otoritas yang ilahi, jika Anda
mempraktikkan kebenaran ini. Kebenaran inilah yang akan memunculkan otoritas
suami, sehingga para istri akan mudah sekali menghormati dan mengagumi suami
mereka. Yang dunia butuhkan bukanlah sekadar kekayaan, kepandaian, atau status
baik. Yang dunia butuhkan adalah kasih. Yang istri butuhkan adalah kasih. Itu nomor
satu. Ketaatan dan penundukan diri istri akan timbul dengan sendirinya setelah Anda
sebagai suami benar-benar mengasihinya. Jadi, mulailah belajar mengasihi istri Anda.
Bagaimana cara mengasihi istri?
“Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa
yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci
tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap
jemaat.” (Ef. 5:28-29)
Untuk belajar mengasihi istri Anda, gunakan kebenaran ini sebagai patokan. Kasihilah
istri Anda seperti Anda mengasihi diri Anda sendiri, yaitu misalnya tubuh Anda. Hanya
orang gila yang memukul-mukul badannya sendiri dan menyakiti tubuhnya sendiri.
Pernahkah gigi Anda “membuat kesalahan”? Misalnya menggigit lidah Anda? Ketika gigi
Anda sudah 50 kali mengigit lidah Anda, apakah Anda memutuskan tidak akan
mengampuni gigi Anda lalu memanggil dokter gigi dan mencabut gigi Anda satu per
satu? Tentu tidak! Tidak seorang pun yang waras akan berbuat seperti itu. Walaupun
gigi itu “bersalah”, Anda tetap mengasihinya karena ia tetaplah gigi Anda. Gigi itu
adalah anggota tubuh Anda. Demikianlah suami dan istri menurut Alkitab.
Jika Anda sebagai suami suka memukul, Anda adalah orang gila. Seorang suami Kristen
yang benar tidak akan memukul istrinya. Bahkan, ia tidak akan menyakiti istrinya
kecuali tanpa sengaja. Jika ia melakukannya, itu berarti ia tidak mengasihi tubuhnya
sendiri. Ia belum menghayati bahwa istrinya adalah tubuhnya sendiri. Demikian juga,
jika istri Anda memiliki kekurangan atau kesalahan, janganlah pernah Anda
menceraikannya. Anda bahkan seharusnya merawatnya dan menuntunnya untuk
menjadi lebih baik. Istri Anda memang belum sempurna dan mungkin masih melakukan
banyak kesalahan, tetapi Anda harus mengampuninya. Istri Anda adalah bagian hidup
Anda yang tidak pernah boleh dipisahkan. Inilah kasih. Jika seorang suami mengasihi
istrinya, akan mudah bagi sang istri untuk tunduk kepadanya.
Apakah Anda mau berkomitmen untuk menjadi suami yang baik dan berhasil dengan
belajar mengasihi istri Anda? Mulailah dari hati Anda hari ini. Tuhan tidak mencari orang
yang sempurna, tetapi Tuhan mencari orang yang hatinya rela dibentuk. Mari kita
merendahkan hati dan berkata, “Tuhan, aku mau menjadi suami yang berhasil.”
Persepuluhan sebagai ucapan syukur dan pengakuan akan Tuhan

Renungan, 8 Maret 2020

Kedorlaomer adalah pemimpin raja-raja yang menaklukkan raja-raja di sejumlah


wilayah, termasuk Sodom dan Gomora. Singkatnya, Kedorlaomer adalah ahli strategi
perang dan memiliki pasukan yang kuat. Lot dan keluarganya yang tinggal di Sodom
menjadi tawanan raja ini. Mendengar keponakannya ditangkap, Abraham membawa
318 orang untuk membebaskan Lot dan berhasil mengalahkan pasukan Raja
Kedorlaomer (Kejadian 14:14). Kemudian, Abraham kembali, dan tiba-tiba Melkisedek,
raja Salem, muncul. Dia bukan hanya seorang raja, tetapi juga seorang imam dari
Tuhan Yang Mahatinggi. Dia membawa anggur dan roti dan memberkati
Abraham. Perhatikan kata-kata Melkisedek yang menarik: "Terpujilah Abram dari Allah
Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi, dan terpujilah Allah Yang Mahatinggi, yang
telah menyerahkan musuhmu ke tanganmu," (Kejadian 14:19-20).
Siapakah Melkisedek? Ibrani 7:1-4 menjelaskan, “Sebab Melkisedek adalah raja Salem
dan imam Allah Yang Mahatinggi; ia pergi menyongsong Abraham ketika Abraham
kembali dari mengalahkan raja-raja, dan memberkati dia. Kepadanya pun Abraham
memberikan sepersepuluh dari semuanya. Menurut arti namanya Melkisedek adalah
pertama-tama raja kebenaran, dan juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera. Ia tidak
berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak
berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam
sampai selama-lamanya. Camkanlah betapa besarnya orang itu, yang kepadanya
Abraham, bapa leluhur kita, memberikan sepersepuluh dari segala rampasan yang
paling baik.” Penulis surat Ibrani menyatakan bahwa Melkisedek adalah gambaran Anak
Allah, yaitu Yesus Kristus, yang kemudian dinyatakan di Perjanjian Baru.
Kemunculannya sangat mendadak di tengah raja Sodom dan Abraham. Melalui
Melkisedek, Tuhan sedang berbicara kepada Abraham agar tidak sombong, bahwa ia
menang bukan karena kehebatannya, tetapi Allah Yang Mahatinggi. Abraham
menanggapi suara Tuhan dengan memberikan sepersepuluh dari hasil rampasan
terbaik kepada Melkisedek sebagai tanda bahwa sumber hidupnya dan sumber
kemenangannya adalah Tuhan.
Ketika saya lahir baru di Sydney, Australia, semasa kuliah di sana, saya diajarkan untuk
memberikan sepersepuluh dari setiap berkat yang saya terima. Saat itu, saya hanya
setia saja untuk memberikan meski saya tidak begitu mengerti maknanya. Saya
memberikan uang yang saya dapatkan dari pemberian orang tua saya. Itu bukan uang
saya. Saya memberi karena diajarkan bahwa ini adalah perintah Allah, sampai pada
suatu acara retret, saya bertanya kepada salah seorang pembicara, “Pak,
bagaimanakah caranya menghitung sepersepuluh, karena saya belum bekerja?” Saat
itu, saya merasa bangga sekali karena sekalipun tidak bekerja, saya memberikan
persepuluhan. Namun, jawaban dari pembicara itu menyambar saya, “Orang yang
bertanya tentang persepuluhan itu adalah orang pelit!” Saya sedikit tersinggung dengan
jawaban tersebut. Selanjutnya, ia berkata bahwa sebenarnya Tuhan telah memberikan
segala-galanya bagi kita. Yesus memberikan nyawa-Nya bagi kita di atas kayu salib.
Jadi, kita harus menyerahkan semuanya, bukan hanya 10 persen. Dia mengutip ayat
ini: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu,
supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang
kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah
kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu,
sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang
berkenan kepada Allah dan yang sempurna,” (Roma 12:1-2).
Sebenarnya, mengapa saya bertanya tentang cara menghitung sepersepuluh? Pikiran
saya berkata bahwa jika saya salah menghitung sehingga kurang $1 dari persepuluhan,
saya akan terkena kutuk; sebaliknya jika saya memberikan lebih $1 saja, saya akan
rugi. Itulah sebabnya, saya mau perhitungan yang saya lakukan tepat sesuai
jumlahnya. Dengan tindakan ini, saya telah menunjukkan bahwa saya tidak lagi hidup
dalam prinsip iman. Saya sedang mempraktikkan gaya hidup menurut aturan Hukum
Taurat. Itu adalah pengalaman masa lalu saya. Sampai hari ini pun saya tetap masih
setia menyisihkan sepersepuluh dari semua pendapatan saya untuk memberikan
persepuluhan. Namun, cara berpikir saya sekarang berbeda. Saya menemukan bahwa
Abraham memberikan persepuluhan sebagai rasa hormatnya kepada Tuhan. Jadi,
persepuluhan adalah sebagai tanda pengakuan bahwa Tuhanlah Allah Yang Mahatinggi,
yang telah memanggil kita untuk percaya kepada Dia dan memberi kita kehidupan yang
sekarang di bumi dan kehidupan yang kekal dalam kemuliaan-Nya.
Warisan iman dari Abraham tentang persepuluhan ini juga turun sampai kepada Yakub.
Waktu itu, Yakub sedang melarikan diri dari ancaman akan dibunuh Esau. Namun di
tengah jalan, yaitu di Betel saat ia tidur, ia mendapat mimpi. Ada tangga yang
panjangnya dari bumi sampai ke surga. Malaikat Allah turun naik di tangga itu. Dalam
mimpinya, Yakub mendengar perkataan Tuhan, “Sesungguhnya Aku menyertai engkau
dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi, dan Aku akan membawa
engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan
tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu”. Mendengar janji Tuhan ini,
bernazarlah Yakub: “Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang
kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai,
sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku.
Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala
sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh
kepada-Mu,” (Kejadian 28:20).
Saya tidak tahu dari manakah Yakub mendapatkan konsep tentang pemberian
persepuluhan. Namun, saya percaya bahwa Abraham telah mengajar Ishak sampai
Yakub tentang persepuluhan. Jadi, ketika Yakub kabur pun, ia masih memiliki prinsip
iman yang telah tertanam di dalam hati Yakub untuk tetap percaya bahwa Tuhan
adalah Allahnya sendiri, yang akan memelihara hidupnya. Sebagai tanda bahwa ia
menghormati Tuhan, ia akan memberikan sepersepuluh dari apa yang ia dapatkan.
Setelah saya mengerti prinsip ini dan waktu saya mulai bekerja di sebuah perusahaan,
cara saya memberi persepuluhan menjadi berbeda. Saya tidak lagi terlalu
memperhitungkan rupiah demi rupiah ketika memberi persepuluhan kepada Tuhan.
Saya lebih memperhatikan sikap hati saya ketika memberi persepuluhan. Saya
melepaskan sepersepuluh dengan perasaan sukacita. Saya melakukan ini bukan lagi
sebagai Hukum Taurat, tetapi ungkapan syukur dari hati saya yang terdalam. Saya
tidak setuju dengan orang-orang yang mengajarkan persepuluhan dengan menabur
ketakutan dengan berkata, “Terkutuklah orang yang tidak memberikan persepuluhan,”
(Maleakhi 3:9). Seharusnya spirit memberi, termasuk memberi persepuluhan, haruslah
prinsip iman.
Saat Abraham ditawarkan oleh raja Sodom (yang sudah dikalahkan oleh Kedorlaomer)
sejumlah harta benda miliknya, Abraham berkata, “Aku bersumpah demi TUHAN, Allah
Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi: Aku tidak akan mengambil apa-apa dari
kepunyaanmu itu, sepotong benang atau tali kasut pun tidak, supaya engkau jangan
dapat berkata: Aku telah membuat Abram menjadi kaya.” (Kejadian 14:22-23). Ini
berarti Abraham bukan hanya memiliki iman, tetapi juga memiliki integritas. Abraham
tidak mau hidupnya diberkati karena kekayaan raja Sodom, tetapi ia hanya mau
diberkati oleh Allah Yang Mahatinggi yang kepada-Nya ia percaya dan beriman. Prinsip
inilah yang harus ada pada kita. Bisakah kita berkata kepada anak-anak kita bahwa
“segala keberadaan papa dan mama hari ini adalah karena anugerah Tuhan dan bukan
karena yang lain”?
Warisan yang kita tinggalkan kepada anak kita janganlah berupa harta. Warisan
terbesar yang dapat kita tinggalkan kepada anak-anak kita adalah warisan iman. Anak-
anak yang menerima warisan iman akan tetap bergantung kepada Tuhan meski harus
melewati ujian iman. Mereka pasti menang. Saya senang anak-anak saya juga memberi
persepuluhan sebagai pengakuan bahwa semuanya dari Tuhan, sekalipun uang itu
adalah pemberian kami orang tua mereka. Jadi, memberikan persepuluhan adalah
sebagai ungkapan syukur karena pemeliharaan Tuhan dan bukan semata-mata karena
keharusan.
Musa di dalam Hukum Taurat mengambil prinsip memberi sepersepuluh dengan tujuan
supaya pelaksanaan kegiatan oleh suku Lewi di Kemah Musa tidak terganggu.
“Mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan
persepuluhan di antara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas
pekerjaan yang dilakukan mereka, pekerjaan pada Kemah Pertemuan,” (Bilangan
18:21). Suku Lewi adalah satu-satunya suku dari 12 suku Israel yang tugasnya khusus
mengurusi segala peribadatan di Kemah Musa dan kemudian Bait Suci di Yerusalem.
Mereka tidak mendapat bagian tanah di Kanaan untuk berladang waktu bangsa Israel
kembali dari perbudakan di Mesir. Untuk menopang hidup mereka, Tuhan memberi
perintah pada Musa untuk menggunakan prinsip persepuluhan.
Dalam Perjanjian Baru, Paulus juga mengatur supaya orang-orang yang mengajar,
orang-orang yang memberitakan Injil, orang-orang yang menggembalakan jemaat,
hidup dari pemberian jemaat. Memang ia tidak memakai kata “persepuluhan” yang
artinya mengenai jumlah. Namun pada prinsipnya, ada pemeliharaan untuk orang-
orang yang dipanggil sepenuh waktu untuk pekerjaan Tuhan, mereka perlu dibiayai
hidupnya, sekalipun Paulus sebagai rasul tidak mau mengambil hak tersebut. “Jadi, jika
kami telah menaburkan benih rohani bagi kamu, berlebih-lebihankah, kalau kami
menuai hasil duniawi dari pada kamu? Kalau orang lain mempunyai hak untuk
mengharapkan hal itu dari pada kamu, bukankah kami mempunyai hak yang lebih
besar? Tetapi kami tidak mempergunakan hak itu. Sebaliknya, kami menanggung
segala sesuatu, supaya jangan kami mengadakan rintangan bagi pemberitaan Injil
Kristus. Tidak tahukah kamu, bahwa mereka yang melayani dalam tempat kudus
mendapat penghidupannya dari tempat kudus itu dan bahwa mereka yang melayani
mezbah, mendapat bahagian mereka dari mezbah itu? Demikian pula Tuhan telah
menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan
Injil itu,” (1 Korintus 9:12-14). Baca juga Galatia 6:6 dan 1 Timotius 5:17-18 tentang
hal ini.
Memberi dalam Perjanjian Baru bukanlah tentang angka tertentu atau sepersepuluh,
tetapi lebih berkaitan dengan sikap hati dan bertujuan supaya terjadi keseimbangan
dan kecukupan. Kepada jemaat di Korintus, Paulus mengaturnya, “Hendaklah masing-
masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena
paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2 Korintus
9:7). Ini berarti jika kita tidak rela di dalam hati untuk memberi, tidak ada gunanya kita
memberi, karena yang Tuhan perhitungkan adalah maksud atau sikap hati. Jangan
memberi persepuluhan karena terpaksa atau dengan hati yang tidak rela. Mengapa?
Karena memberi adalah sebuah respons yang bersifat pribadi antara kita dengan
Tuhan. Ini adalah bagian dari perjanjian kita dengan Tuhan. Lebih baik kita memberi
kepada Tuhan dengan sukacita, dari pada kita melakukannya dengan bersungut-
sungut.
Paulus menjelaskan bahwa memberikan segala sesuatu (termasuk praktik
persepuluhan) harus sesuai dengan dua prinsip dalam konteks Perjanjian
Baru, yaitu:
1. Prinsip iman, yang juga sudah dipraktikkan oleh Abraham dan Yakub. Hukum iman
berkata bahwa “aku melakukan ini karena aku mengasihi Tuhan. Tuhanlah yang
berkuasa memelihara hidupku.” Kolose 3:23 jelas menegaskan hal ini, “Apa pun juga
yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan
bukan untuk manusia.”
2. Prinsip kasih karunia. Dasar dari kasih karunia adalah melakukan segala sesuatu
dengan hati yang rela karena kita sudah menerima kasih karunia berupa keselamatan.
2 Korintus 8:9 menyatakannya, “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita
Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya,
supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.”
Dengan kedua prinsip ini, kita melakukan segala sesuatu, termasuk memberi
persepuluhan, dengan hati yang penuh sukacita. Memberi persepuluhan tidak lagi
diletakkan dalam konteks Hukum Taurat, yang dipraktikkan oleh Musa dan orang Israel.
Hukum Taurat berbicara tentang upah. Kamu akan menerima upah bila melakukannya.
Namun bila kamu tidak melakukannya, kutuk akan turun ke atas kamu. Padahal, praktik
memberi persepuluhan sudah ada sebelum Hukum Taurat, seperti yang dilakukan
Abraham dan Yakub dengan prinsip iman atau hukum iman. Hukum iman masih tetap
berjalan terus, karena orang benar hidup oleh iman.
Yesus sendiri pun pernah berbicara soal persepuluhan ketika bertemu dengan ahli
Taurat dan orang Farisi. Matius 23:23 menceritakannya, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari
selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam Hukum Taurat
kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus
dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.” “Jangan abaikan” berarti kita tetap
melakukan meski dengan cara yang berbeda. Jika Anda bertanya kepada saya apakah
persepuluhan itu penting atau tidak penting, saya akan menjawab bahwa persepuluhan
adalah penting. Mengapa? Karena saya tahu siapa saya, sebagai orang yang sudah
mendapat kasih karunia Tuhan. Bagi saya, persepuluhan adalah ekspresi iman saya
kepada Tuhan. Hal itu bersifat pribadi antara saya dengan Tuhan. Prinsip iman ini
sangat penting dan menentukan dalam kekristenan kita, karena tanpa iman tidak
mungkin orang berkenan kepada Allah.
Ketika Yesus ditanya soal apakah yang paling utama di dalam Hukum Taurat, Ia tidak
menyebutkan larangan jangan membunuh atau jangan berzinah. Namun, Yesus
berbicara soal hati manusia dan apa yang ada di dalam hati, “Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal
budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang
sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,” (Matius
22:37-39). Yesus mementingkan urusan hati, sedangkan ahli Taurat dan orang Farisi
yang hidup di zaman itu mementingkan tradisi dan hal-hal yang lahiriah dari Hukum
Taurat, sehingga mereka menjadi sombong. Dulu, saya melihat persepuluhan seperti
sebuah Hukum Taurat. Itu sebabnya, saya selalu memperhitungkan segala sesuatu
dengan Tuhan, dengan maksud supaya saya mendapatkan berkat serta tidak
mengalami kutuk. Namun setelah saya mengerti prinsip Yesus yang lebih
mengutamakan sikap hati ini, saya bersukacita untuk melakukannya dengan sepenuh
hati.
Saya sudah mendengar banyak kesaksian tentang banyak pintu-pintu berkat dari surga
terbuka kepada orang-orang yang taat memberikan persepuluhan. Ada banyak berkat
yang mengalir pada mereka yang bersedia dan taat untuk melakukannya dengan hati
yang penuh dengan sukacita dan lahir dari prinsip iman kepada Tuhan yang menjadi
Sumber segala berkat.
Pertanyaan selanjutnya adalah ke manakah uang persepuluhan yang diberikan kepada
gereja saat ini mengalir. Yang pertama, persepuluhan dipakai untuk membiayai orang-
orang yang memberikan hidupnya sepenuh waktu bekerja di kantor gereja maupun
melayani sebagai staf pengabdi, penatua, maupun pelayan Tuhan. Yang kedua adalah
membayar biaya-biaya yang berhubungan dengan kegiatan gereja di hari Minggu,
seperti operasional ibadah minggu, pembicara, tim penyembahan, KEGA, majalah Build,
penyewaan gedung (kalau ada) maupun fasilitas lainnya seperti AC, peralatan musik
dan tata suara, dan sebagainya. Yang ketiga adalah urusan penggembalaan, diakonia,
komsel, dan acara-acara jemaat seperti SPK, retret, pelatihan, maupun Paskah/Natal.
Yang keempat adalah biaya untuk pelayanan ke gereja-gereja baik di daerah-daerah
maupun di luar negri. Yang kelima, persepuluhan kita mendukung penjangkauan jiwa-
jiwa (pekerjaan misi) di dalam maupun di luar negeri. Semua pelayanan ini berjalan
oleh dukungan keuangan dari uang persepuluhan yang telah Anda berikan ke gereja
setiap minggu atau setiap bulan.
Di Abbalove, sudah ada sistem yang bertahun-tahun mengatur pemakaian
persepuluhan supaya ada akuntabilitas (pertanggungjawaban), efisiensi penggunaan
dana, dan harus tepat guna (artinya, tidak sembarangan dipergunakan). Keputusan
pengeluaran dana membutuhkan tanda tangan dari minimal tiga orang pemimpin yang
berwenang. Penatua atau pemimpin jemaat tidak boleh memperkaya diri atau
mengambil keuntungan untuk pribadi dan keluarga dari persepuluhan. Mereka diberi
gaji (disebut persembahan kasih) setiap bulan. Saya percaya, persepuluhan selain
dipakai untuk pemeliharaan jemaat seperti penggembalaan, juga perlu dialokasikan
lebih besar (selain dana misi/BIT) untuk pengembangan jemaat, supaya Amanat Agung
yaitu menjadikan semua bangsa murid Kristus, bisa menjadi fokus utama.
Uang ialah benda mati. Namun, bagaimana cara kita mempergunakan uang yang
adalah benda mati itu untuk melayani manusia yang hidup agar mereka berubah
sampai memiliki kualitas murid Kristus, itu adalah tujuan yang penting dan sangat
mulia. Persepuluhan adalah salah satu bagian dari prinsip hidup orang beriman. Apakah
kita dapat berkata, “Tuhan, hidup saya hari ini adalah sebuah perjalanan iman yang
saya tempuh seperti Abraham. Ia hanya berasal dari sebuah perkampungan kecil di Ur
Kasdim, tetapi ia hidup oleh iman. Ia melangkah bersama Tuhan untuk menggapai
impian yang terbesar.” Anda mungkin berasal dari kampung kecil di Kediri, di Kupang,
di Riau, di Tondano, di Pangkalan Bun, atau kampung-kampung yang lain. Dengan
iman atau tanpa iman (karena belum kenal Yesus), Anda melangkah ke Jakarta atau
kota besar lainnya. Sekarang Anda hidup dalam iman, berkuliah, bekerja, menikah,
membesarkan keluarga, dan melakukan banyak hal bersama Tuhan. Pengakuan bahwa
hanya Tuhanlah satu-satunya Sumber kehidupan Anda membuat Anda ada sampai hari
ini. Semuanya adalah karena kasih karunia dari Tuhan. Maukah kita memberikan 100
persen hidup kita, waktu kita, tenaga kita, hati kita, untuk melayani orang-orang yang
sudah maupun yang belum mengenal Tuhan?
Sebagai keluarga besar jemaat Abbalove Ministries, kita memberi persepuluhan kita
karena percaya dan mengakui Tuhan yang adalah sumber kehidupan, sumber berkat,
dan sumber kemenangan kita.
Tiga Cara Praktis untuk Hidup dalam Iman

Renungan, 18 Juni 2020

Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin


kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.” (Roma 1:17)
Ketika pertama kali bertobat, Rasul Paulus menjadi buta. Saya menafsirkan bahwa
kebutaan yang terjadi ini ialah karena Rasul Paulus adalah orang yang sangat jenius
dan sangat dominan menggunakan logikanya, dan dunia (lawan Tuhan) sebelumnya
memanfaatkan kepandaian Rasul Paulus dengan cara menyelewengkan sudut
pandangnya. Rasul Paulus hidup hanya dengan sudut pandang yang telah
terselewengkan ini, sehingga ia sama sekali tak mengenal sudut pandang Tuhan dan
tak mampu melihat (buta) sudut pandang Tuhan itu saat berjumpa dengan-Nya.
Dalam hal ini, yang dimaksud bukanlah seseorang tidak bisa pandai, tetapi kepintaran
itu harus  berpandangan Kristus , tidak terdistorsi oleh pandangan dunia . Ketika Rasul
Paulus menjadi buta selama tiga hari, dia dibimbing oleh Imam Ananias. Sudut
pandangnya diubah ( metanoia ) dari filsafat Romawi menjadi kebenaran Ilahi. Proses
ini seperti yang ditulisnya dalam Roma 12:2, “ Jangan menjadi serupa dengan dunia ini,
tetapi berubahlah oleh pembaharuan akal budimu, sehingga kamu dapat membedakan
apa yang menjadi kehendak Tuhan: apa yang baik, apa yang menyenangkan Tuhan. ,
dan apa yang sempurna."
Melalui pengalaman perubahan sudut pandang dan pola pikir Rasul Paulus
ini, kita dapat belajar melakukan cara-cara praktis untuk hidup dalam iman.
1. Lebih memercayai yang tak terlihat daripada yang terlihat.
Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena
yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal. Kami
tidak memperhatikan hal-hal yang kelihatan, melainkan hal-hal yang tidak kelihatan. (2
Kor. 4:18)
Nasihat Rasul Paulus ini jelas, yaitu agar kita lebih memercayai yang tidak terlihat
daripada yang terlihat. Secara manusiawi, emosi kita sering dipengaruhi oleh yang
terlihat. Padahal, yang terlihat itu dikendalikan oleh yang tak terlihat. Pada masa
sekarang ini, penyebaran virus Covid-19 akan terlihat pada gejala orang-orang yang
sakit, tetapi yang tak terlihat adalah ketakutan, kekhawatiran, kepanikan, kegelisahan,
stres, depresi, yang semakin memperburuk yang terlihat itu. Bahkan, yang tak terlihat
ini telah menjadi lebih besar daripada yang terlihat. Dalam situasi seperti ini, marilah
kita melihat kasih karunia Tuhan yang tidah terlihat oleh mata kita pula, tetapi bagaikan
cahaya matahari di pagi hari yang tak pernah terlambat bersinar. Kasih karunia Tuhan
menyelimuti hidup kita. Marilah kita juga percaya bahwa ada malaikat Tuhan yang
menyertai kita dengan membawa pedang untuk menjagai kita.
2. Membangun iman sejati melalui Firman Tuhan
Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus. (Roma
10:17)
Iman yang sejati datang dari pendengaran, dan pendengaran yang dimaksud ialah
pendengaran Firman Kristus. Rasul Paulus ialah pakar/ahli dalam Hukum Taurat dan
ilmu filsafat, tetapi ia sebelumnya tidak pernah memiliki iman yang benar. Segala hal
yang ia ketahui dan ia perbuat hanyalah bersumber dari pengetahuan. Tanpa ia sadari,
apa yang dilakukannya itu didasari bukan oleh iman, tetapi oleh kepercayaan dirinya
akan hal-hal yang terlihat. Ketika Rasul Paulus menemukan kebenaran dan
melakukannya, terutama ketika Taurat digenapi oleh Yesus Kristus, Rasul Paulus
mengatakan “Yureka”, yang bermakna pencerahan atau suatu hal yang betul-betul
ditangkap oleh segenap keberadaan diri, bukan hanya pengetahuan atau informasi
baru. Rasul Paulus pun memaknai bahwa iman sejati harus dibangun dari Firman Allah
dan bukan dari pengalaman.
3. Iman sejati berkolaborasi dengan pengharapan dan kasih
Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling
besar di antaranya ialah kasih. (1 Kor. 13:13)
Selama Rasul Paulus belum mengenal Yesus, ia tidak memiliki ketiga hal ini. Ketika
pertobatan terjadi, iman dan pengharapan Rasul Paulus pun bersatu dengan kasih
Kristus, dan persatuan ini membuat hidupnya berubah karena memiliki pengharapan.
Hidupnya penuh pengampunan karena memiliki kasih. Iman hanya bisa bertumbuh
karena Firman yang dilakukan. Iman dilatih dengan melihat yang tak terlihat. Iman
sejati selalu berkolaborasi dengan pengharapan dan kasih.
Kiranya Tuhan memberkati pertumbuhan iman kita.
Renungan, 06 Aril 2021

Proses Pembelajaran dan Pelatihan setiap Murid Kristus

“Aku Akan Menjadikan Kamu Penjala Manusia”


Proses Pembelajaran dan Pelatihan setiap Murid Kristus
Di tengah-tengah pandemi Covid-19 ini, kita melihat bahwa Tuhan mengizinkan situasi
yang begitu sulit bagi gereja dan masyarakat di dunia ini. Dalam perspektif Kristen,
semua ini terjadi dalam rencana Tuhan yang sempurna, khususnya dalam konteks
kebangunan rohani dan penuaian besar supaya kerajaan-Nya diperluas pada akhir
zaman ini. Firman Tuhan menyatakannya dengan jelas,
Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan ke seluruh dunia sebagai kesaksian bagi semua
bangsa, setelah itu akan datang akhirnya.  Matius 24:14, NIV
Dari kebenaran ini, jelaslah bahwa kegerakan terbesar pada akhir zaman adalah
kegerakan penuaian besar-besaran. Injil Kerajaan Allah akan diberitakan kepada semua
suku (etnis/kelompok masyarakat) menjadi kesaksian. Inilah Amanat Agung. Karena
alasan dan tujuan inilah, Yesus menjadikan para murid-Nya penjala manusia. Murid-
murid yang dijadikan penjala manusia ini bukan hanya 12 orang rasul yang kita baca di
kisah-kisah Injil, melainkan kita semua, murid-murid Kristus yang hidup di masa
sekarang, pula.
Mari kita lihat proses dan gambaran utuhnya.
Titik Awal Nya: Mengikuti Yesus (“ Ikutlah Aku ”)
Proses Yesus menjadikan kita penjala manusia dimulai dari titik awal kita mengikut Dia,
“Yesus berkata kepada mereka: ‘Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala
manusia,” (Mat. 4:19, TB). Dari titik awal ini, Yesus memulai proses-Nya dan
menjalankan metode-Nya bagi kita. Panggilan untuk kita mengikut Dia adalah panggilan
untuk kita menjadi murid (mathetes), yaitu pemagang. Pada zaman Yesus, pemuridan
adalah proses hidup sehari-hari mengikuti seorang rabi, belajar dari rabi tersebut
sebagai pemagang, sampai tamat pelajarannya. Setiap murid tidak belajar di kelas
(synagoge) saja, tetapi terutama belajar dengan rabinya secara langsung di lapangan,
dalam kelompok berdua atau bertiga (havruta). Proses pemagangan ini berlangsung
setiap hari. Murid-murid Yesus pun mengikuti Yesus sebagai pemagang dengan pola
dan proses yang demikian, yang semuanya diawali dari titik menerima panggilan untuk
mengikut Dia. Kita yang telah menerima panggilan ini perlu menyadari bahwa kita pun
telah berada dalam proses dan perjalanan magang bersama Yesus sebagai penjala
manusia.
Kendaraannya: Havruta (“Kamu akan Kujadikan penjala manusia”)
Pada zaman Yesus, semua rabi menggunakan metode havruta (kelompok
pertemanan/persahabatan) untuk mengajar para pemagang. Havruta adalah kelompok
pemuridan 2-3 orang yang telah digunakan oleh bangsa Yahudi sejak masa
pembuangan di Babilonia, yang lalu menjadi paling populer pada zaman Yesus, dan
bahkan masih dipertahankan sampai masa kini. Itulah sebabnya, semua rasul dipanggil
mengikuti Yesus dalam kelompok-kelompok kecil, bukan dipanggil masing-masing
secara individual. Inilah kendaraan yang harus kita persiapkan untuk menjadi penuai
jiwa pada akhir zaman. Kita semua yang dipanggil menjadi pemagang Yesus perlu dan
hendaklah hidup di dalam havruta (komunitas pemuridan). Melalui havruta-lah Kristus
akan melatih dan menjadikan kita penjala-penjala manusia.
Pada masa kini, kebanyakan pola pemuridan di gereja-gereja yang ada bukanlah
mengikuti Yesus dan menjadi pemagang Yesus, tetapi justru mengikuti seorang
“pemurid” dan menjadi pemagang dari “pemurid” tersebut dalam hal program-program
atau materi-materi tertentu. Memang banyak program dan materi pemuridan yang baik
dan berguna, tetapi manusia tentu terbatas dan tidak sempurna seperti Yesus dalam
memuridkan kita serta tidak mampu menjadikan kita penjala manusia. Di sisi lain, saat
ini banyak pula orang Kristen yang berpendapat lebih baik langsung mengikut Tuhan
saja tanpa merasa perlu dimuridkan oleh manusia. Padahal, seharusnya kita menjadi
pemagang Kristus dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga kita memiliki contoh serta
rekan/sahabat untuk menjalani proses pemuridan dan menjala manusia bersama-
sama. Havruta adalah model yang tepat kendaraan kita dalam proses perjalanan
magang bersama Yesus menjadi penjala manusia; di dalam havruta, kita bersama-sama
dengan 1-2 orang sahabat dimuridkan oleh Yesus sendiri.
 
Alatnya: Pengajaran Rasul-Rasul (“Tebarkanlah jalamu”)
Agar havruta dapat menjala manusia, alat yang dipergunakan pun harus tepat.
Perhatikan bahwa ketika Yesus mengirimkan banyak ikan untuk ditangkap oleh murid-
murid-Nya yang kelelahan setelah lama tak berhasil mendapatkan ikan, Yesus
memerintahkan mereka untuk menebar jala (menggunakan jaring). Yesus tidak
menyuruh para murid untuk memancing, apalagi menunggu. Gambaran ini
menunjukkan bahwa menjala manusia perlu dilakukan menggunakan alat yang tepat,
yaitu “jala” atau “jaring”. Apakah jala atau jaring itu?
Untuk memahaminya, kita perlu melihat gambaran kegiatan menangkap ikan pada
zaman Yesus. Para nelayan di danau Galilea bukan mencari dan menangkap ikan
dengan cara memancing, karena setidaknya dua pertimbangan. Yang pertama,
memancing berarti menunggu ikan datang mendekat ke kail, lalu menangkapnya
dengan umpan satu per satu. Yang kedua, memancing ialah pekerjaan yang bisa dan
biasa dilakukan sendirian, karena tidak membutuhkan bantuan atau kerja sama dari
rekan atau teman. Ini berbeda dengan menjala atau menjaring ikan. Menjaring ikan
berarti aktif bergerak ke titik tempat banyak ikan berada lalu menangkap banyak ikan
sekaligus, dan menjaring ikan tidak dapat dikerjakan oleh satu orang saja sendirian,
melainkan harus dilakukan oleh 2-3 orang bersama-sama. Inilah gambaran menjala
manusia yang Yesus maksudkan dan Yesus latih kepada kita. Penjaringan manusia
hanya efektif dan produktif (“berbuah lebat”) jika dilakukan oleh komunitas Tubuh
Kristus melalui havruta (kelompok 2-3 orang) dengan “jala/jaring manusia” yang siap
digunakan.
Apakah jala atau jaring manusia yang dimaksud itu? Itulah pengajaran dasar yang
Yesus khotbahkan sendiri (“khotbah di bukit”, Mat. 5-7), yang langsung diajarkannya
kepada para rasul dan murid-murid pada masa hidup-Nya di bumi. Pada masa jemaat
mula-mula, ini disebut pengajaran para rasul. Pada masa kini, khususnya di jemaat
Abbalove, kita menyebutnya pengajaran SPK (Saya Pengikut Kristus). Secara prinsip, ini
berarti pengajaran Firman dasar, yang perlu diajarkan dan dipahami hingga menjadi
iman pada jiwa-jiwa baru yang dijala/dijaring. Kita perlu terus meneliti dan
mengajarkan pengajaran Firman dasar ini. Jika havruta kita tidak memiliki jala/jaring
ini, jiwa-jiwa baru tidak mungkin dapat “tertangkap”, karena inilah pengajaran dasar
yang akan membentuk dasar iman mereka sebagai pengikut Yesus. Kebanyakan
program penginjilan pada masa sekarang gagal memenangkan jiwa karena tidak
menggunakan jala/jaring ini; para calon jiwa baru “ditarik” dengan berbagai program
yang menyenangkan mood atau menarik minat atau menjawab kebutuhan sesaat
mereka saja, yang tidak berdampak pada terbentuknya dasar iman mereka untuk
menjadi pengikut Yesus dalam sisa hidup mereka. Dalam havruta kita sekarang, kita
perlu mencontoh jemaat mula-mula yang menggunakan jala/jaring pengajaran rasul-
rasul untuk menangkap jiwa-jiwa baru, sehingga 3.000 lebih orang langsung
ditambahkan ke dalam Tubuh Kristus saat itu dan jemaat itu tercatat terus tumbuh kuat
serta makin banyak dalam proses kehidupan selanjutnya.
Mari terlibat dalam rencana Tuhan bagi Amanat Agung-Nya pada akhir zaman ini. Kita
telah melewati titik awal itu; kita telah menerima panggilan untuk mengikut Yesus. Kini,
hiduplah sebagai komunitas Tubuh Kristus di dalam havruta, dan setialah sebagai
pemagang-Nya untuk bersama-sama menjala manusia menggunakan pengajaran rasul-
rasul. Sampai rencana-Nya genap dan tuntas.
Berbagai Kesaksian
Sejak pandemi Covid-19 merebak di Indonesia hingga kebijakan PSBB diberlakukan,
kami di gereja lokal Abbalove Industri pun menyatukan hati dan mencari tuntunan
Tuhan secara khusus. Tuhan mengingatkan bahwa Tuhan akan membawa gereja
kepada pola yang mula-mula, dan kami mengambil kesimpulan bahwa kita harus
kembali ke pola gereja seperti yang ada di Kisah Para Rasul. Kami pun mulai
mengajarkan pola ini kepada teman-teman di jemaat. Pada bulan Juni akhir, Tuhan
mulai membukakan suatu kebenaran yang rupanya telah jarang kita praktikkan pada
masa kini, yaitu tentang ibadah sejati (Mat. 5-7; Roma 12:1-8). Dalam pemahaman
yang Tuhan berikan kepada kami, ibadah sejati ini adalah mempersembahkan tubuh
bersama-sama dalam komunitas untuk selalu hidup di hadirat-Nya (coram Deo),
berjalan bersama-sama dalam tuntunan Roh Kudus setiap hari sehingga mengalami
transformasi hati yang terus-menerus (pembaharuan budi), serta menjangkau jiwa
bersama-sama. Ibadah sejati ini kemudian kami praktikkan bersama setiap hari dalam
bentuk kegiatan mezbah pagi, lalu dilanjutkan dengan kegiatan sepanjang hari. Saat ini,
ada sekitar 1.500 orang jemaat yang mengikuti mezbah pagi ini setiap hari, dan hal ini
telah mulai menjadi suatu kegerakan. Kami mengalami dan menyaksikan bahwa Roh
Kudus bekerja secara luar biasa. Inilah secara umum beberapa kesaksian di antaranya:

Hampir semua orang yang bergabung dalam kegerakan ibadah sejati ini mengalami
jamahan Tuhan yang sangat kuat dan merasakan lawatan Roh Kudus, sehingga mereka
kembali ke kasih yang mula-mula lalu kembali terbeban untuk menjadi penjala manusia.

Ratusan orang yang mengikuti mezbah pagi mengalami langsung pemulihan hati,
pelepasan, kesembuhan batin, kesembuhan fisik, mukjizat, dan tanda-tanda heran.

Setiap harinya, makin banyak anggota Tubuh Kristus yang lain, termasuk dari luar
negeri, bergabung dalam mezbah pagi dan mereka yang baru bergabung pun
mengalami lawatan Tuhan yang luar biasa.

Hampir setiap hari terbentuk komunitas-komunitas baru (kelompok pemuridan, havruta,


komunitas sepakat). Mereka ini segera diperlengkapi dengan pengajaran SPK, dan
segera siap menjadi penjala manusia.

Kami percaya bahwa setiap kesaksian yang terjadi ini meneguhkan kita semua sebagai
Tubuh Kristus bahwa inilah waktu kebangunan rohani yang dahsyat dan penuaian besar
yang telah dijanjikan Tuhan untuk kita alami pada akhir zaman.
Lima Cara Tuhan Bekerja dalam Profesi Anda

Renungan, 21 Februari 2021

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk
mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang
terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28)
Pernahkah Anda mengalami tiba di tempat kerja/usaha pada suatu pagi tetapi merasa
Tuhan jauh dari Anda, seolah-olah ia tidak mendengar pergumulan Anda dalam
pekerjaan/usaha itu? Mungkin bahkan terpikir di benak Anda, “Apakah Tuhan ada?”
Mungkin Anda merasa putus harapan dan frustrasi mengapa karir Anda tidak
berkembang, mengapa tidak ada yang peduli, mengapa doa-doa Anda tidak dijawab
Tuhan, dan banyak lagi. Mungkin juga Anda menjadi ragu-ragu tentang diri Anda
sendiri dan bertanya-tanya seperti apa rasanya menjadi pekerja profesional atau
pebisnis yang memiliki iman yang kuat terhadap Tuhan; sementara Anda sendiri merasa
tawar hati, tidak punya iman lagi, dan kehilangan harapan pada Tuhan.
Sebetulnya, apakah Tuhan juga ada di tempat kerja/usaha kita? Apa yang sedang
Tuhan kerjakan dalam hidup saya melalui dunia kerja/usaha saya?
Pada masa pergantian tahun ini, ketika biasanya orang mengambil kesempatan khusus
untuk merenungkan perjalanan hidup dan mempertajam tujuan-tujuan, artikel ini akan
mengajak kita semua untuk berfokus pada pekerjaan dan karier Anda, dengan secara
khusus menyadari sebenarnya Tuhan sedang giat bekerja di dalam hidup kita melalui
profesi yang Ia percayakan.
1. Tuhan menggunakan profesi Anda sebagai tempat Anda memuliakan Tuhan.
Tiada hal yang kebetulan dengan Tuhan menempatkan Anda pada profesi, bidang
usaha, atau komunitas bisnis tertentu. Di manapun Anda ditempatkan, Tuhan
menciptakan kita untuk hidup bagi dia dan kemuliaan-Nya. Itulah panggilan utama kita
dalam hidup ini. Apa pun yang kita lakukan, kita harus melakukannya untuk kemuliaan
Tuhan (1 Kor. 10:31). Apa pun profesi kita, kita tidak bekerja untuk kesenangan,
hiburan, kepuasan, kebanggaan, atau keuntungan kita sendiri saja. Kita berprofesi
untuk Tuhan dan untuk kemuliaan-Nya, dan kita harus memuliakan Dia dalam segala
hal yang kita lakukan di profesi itu.
2. Tuhan menggunakan profesi Anda sebagai sarana untuk melatih hati Anda.
Tuhan mampu mengubah Paulus yang dulu bernama Saulus menjadi alat-Nya dalam
menjangkau jiwa-jiwa. Tuhan mampu mengubah hati Saulus yang kasar menjadi
lembut dan memiliki isi hati Tuhan, sehingga mampu melakukan pekerjaan besar dari
Tuhan. Demikian pula, Tuhan sedang melatih dan mengubah hati kita semakin
mengasihi Dia lewat berbagai orang di profesi kita, berbagai tekanan, berbagai kejadian
yang tidak adil, dan berbagai perlakuan yang baik maupun yang tidak enak. Semua itu
Ia izinkan sebagai sarana-Nya melatih hati kita.
Ketika kita lesu dan tidak bersemangat dalam pekerjaan/usaha, ketika kita gagal dan
tidak terinspirasi, saat kita tergoda untuk menyerah, itulah momen yang tepat untuk
kita mengingat, “Apa pun yang kamu lakukan, bekerjalah sepenuh hati, seperti untuk
Tuhan dan bukan untuk manusia,” (Kol. 3:23). Pekerjaan dan usaha kita pada akhirnya
tidak dilakukan untuk orang-orang di sekitar kita, tetapi untuk kemuliaan Bapa Surgawi
kita. Jika Anda tidak bersemangat karena kesulitan, pikirkan Dia “yang karena sukacita
yang telah ditetapkan sebelum dia menanggung salib” (Ibr. 12: 2).
3. Tuhan menggunakan profesi Anda sebagai sarana untuk melayani orang lain.
Salah satu ladang misi yang paling potensial berbuah dan yang paling terjangkau ialah
orang-orang di sekeliling kita dalam lingkungan profesi kita. Coba pikirkan, seberapa
besar Anda telah memberikan perhatian dan doa kepada para tenaga kebersihan,
tenaga keamanan, staf, pengawas lapangan, pemimpin divisi, bahkan manajer dan
direksi? Seberapa besar usaha kita selama ini untuk menjangkau mereka, menanyakan
apa yang bisa kita doakan, dan bahkan menginjili mereka?
Tuhan punya misi besar untuk kita lakukan, di manapun kita ditempatkan di lingkungan
profesi kita. Pekerjaan dan usaha kita sesungguhnya ialah suatu persembahan kepada
Allah (Roma 12:1). Jika pekerjaan/usaha dilakukan hanya untuk mengejar promosi,
pengakuan, atau kemajuan, kita akan selalu berkecil hati dan kecewa dengan apa yang
kita dapatkan. Upah terbesar kita sesungguhnya ialah saat orang-orang di dalam
profesi kita berjumpa dengan Tuhan dengan mengalami transformasi kehidupan,
melalui kehidupan kita.
4. Tuhan menggunakan profesi Anda untuk menghasilkan buah roh di dalam diri Anda.
“Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan,
kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri,” (Gal. 5:22-23). Namun,
bagaimana caranya kita bisa menghasilkan berbagai buah roh tersebut? Tak salah lagi,
melalui berbagai tekanan dan perlakuan yang tidak enak. Seperti biji gandum yang
kalau tidak ditanam ke dalam tanah dan mati tidak bisa menghasilkan buah,
demikianlah Tuhan akan melakukan proses-Nya kepada diri kita melalui berbagai situasi
yang sering kali tidak enak. Beberapa contohnya ialah dikhianati rekan kerja, difitnah
oleh orang yang kita pimpin, diabaikan oleh pemimpin, ditipu oleh pelanggan, dibohongi
oleh karyawan, dsb. Semua ini bertujuan untuk menguji iman dan hati kita, dan
menumbuhkan serta mematangkan buah roh di dalam diri kita.
5. Tuhan menggunakan profesi Anda untuk melatih kualitas diri Anda.
Tuhan ingin kita maksimal di setiap “wilayah” yang Ia percayakan, termausk di dalam
profesi kita. Tidak ada orang yang bisa maksimal dan berhasil tanpa belajar dan
berubah terus menerus. Bahkan, Tuhan Yesus selama hidup-Nya di bumi pun terus-
menerus belajar, berlatih, dan beradaptasi dengan lingkungan. Tuhan sedang melatih
mentalitas kita supaya memiliki spirit of excellence dalam bekerja dan berusaha. Tuhan
ingin kita setiap tahun meningkatkan kualitas diri, meningkatkan kapasitas, dan
memperbaiki area-area pada diri kita yang masih lemah. Saat Anda memiliki kualitas
yang unggul, Anda akan dilihat orang dan akan menjadi teladan. Pada titik in lah, Anda
memiliki situasi yang sangat strategis menebarkan pengaruh Kerajaan Allah kepada
banyak orang dan memperkenalkan Yesus dalam hidup Anda kepada mereka.
(Bayangkan orang yang kualitasnya rendah, malas belajar, sulit berubah, sombong
dengan apa yang sudah ia kuasai, dan keahliannya rata-rata saja; apakah orang yang
demikian akan didengar oleh banyak orang dan akan menjadi teladan?)
Tuhan ingin kita maksimal, ahli dan dan mahir di bidang kita masing-masing, dengan
tujuan untuk kita bisa menjadi teladan dan menebar pengaruh Kerajaan-Nya kepada
banyak orang. Anda akan didengar saat Anda punya kualitas yang unggul, dan melalui
profesi Anda, Tuhan akan melatih kualitas itu.
Dengan lima cara inilah, Tuhan bekerja di dalam profesi kita masing-masing.
Pertanyannya, apakah Anda bersedia dilatih dan dipersiapkan oleh Tuhan melalui
profesi Anda?
Bagaimana respons Anda? Mari kita bersaat teduh sejenak, berdoa, berdialog dengan
Tuhan, dan menjawab beberapa pertanyaan berikut ini:

Dalam hal apa Tuhan menegur atau mengingatkan saya melalui artikel ini?

Dosa atau kebiasaan buruk apa yang Tuhan ingin saya bertobat dan berubah dalam hal
profesi?

Apa komitmen saya di awal tahun 2020 ini dalam kaitannya dengan profesi saya?

Selamat merenungkan dan selamat bekerja bersama Tuhan di tahun yang baru ini.

Anda mungkin juga menyukai