Anda di halaman 1dari 26

BAB IV

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERLAKUAN

KLAUSULA HARDSHIP DALAM MENGHADAPI DOMESTIC

MARKET OBLIGATION (DMO) BERDASARKAN ASAS

KEBEBASAN BERKONTRAK (FREEDOM OF CONTRACT)

PADA KONTRAK JUAL BELI BATU BARA INTERNASIONAL

A. Pengklasifikasian Domestic Market Obligation (DMO) sebagai

Klausula Hardship dalam Kontrak Jual Beli Batu Bara

Internasional

Hardship sebagai salah satu prinsip perubahan keadaan yang

telah diakui dalam perkembangan hukum kontrak internasional telah

membawa adanya pembaharuan pengaturan hukum kontrak

khususnya bagi kontrak-kontrak gas bumi, minyak bumi, batu bara,

dan objek-objek sumber daya alam lainnya yang nilainya bergantung

pada harga pasar. Dalam menentukan apakah suatu keadaan dapat

digolongkan sebagai keadaan hardship atau tidak sebenarnya

dibebaskan kepada para pihak dalam membuat kontrak, karena tidak

ada ketentuan seperti dalam CISG ataupun UPICC yang mengatur

secara tegas bentuk-bentuk kondisi seperti apa yang dapat termasuk

sebagai keadaan hardship.


Untuk menentukan suatu perubahan keadaan menjadi

keadaan hardship dapat dilakukan dalam beberapa cara:

1. Dituliskan Klausula Hardship dalam Kontrak

Dalam hal ini, para pihak telah terlebih dahulu

menuliskan dan memuat klausula hardship dalam kontrak.

Pembentukkan klausula ini dibebaskan kepada para pihak,

contoh dari klausula ini dapat dilihat pada beberapa kasus

seperti dalam kasus Associated British Ports v. Tata Steel UK

Limited1, di mana dalam kontrak lisensi antara keduanya

terdapat klausula economic hardship, sehingga pada saat

pelaksanaan kontrak Tata Steel yang mengalami kesulitan

kondisi keuangan mengajukan renegosiasi kepada Associated

British Port.

Persidangan Associated British Port mengajukan

pembelaan bahwa tidak ada tolak ukur yang pasti dalam

menentukan adanya kesulitan ekonomi, kendati demikian

Hakim memutuskan bahwa meskipun tolak ukur dirasa sulit

akan tetapi kekuatan mengikat dalam klausula economic


1
Lihat dalam kutipan putusan Associated British Port v. Tata Steel UK Limited [2017],
“It is hereby agreed between the parties that in the event of any major physical or financial change
in circumstances affecting the operation of [Tata's] Works at Llanwern or Port Talbot or ABP's
operation of the Tidal Harbour on or at any time after the 15th day of September 2007 either party
may serve notice on the other requiring the terms of this Licence to be re-negotiated with effect
from the date on which such notice shall be served.  The parties shall immediately seek to agree
amended terms reflecting such change in circumstances and if agreement is not reached within a
period of six months from the date of the notice the matter shall be referred to an Arbitrator (whose
decision shall be binding on both parties and who shall so far as possible be an expert in the area
of dispute between the parties) to be agreed by the parties or (if the parties shall fail to agree) to be
appointed on the joint application of the parties or (if either shall neglect forthwith to join in such
application then on the sole application of the other of them) by the President for the time being of
the Law Society.”
hardship tetap berlaku dan mengikat para pihak, oleh

karenanya renegosiasi wajib untuk dilakukan pada saat salah

satu pihak merasakan adanya kondisi sulit atau hardship yang

membuatnya kesulitan untuk melaksanakan prestasi dalam

kontraknya.

2. Ditetapkan oleh Hakim atau Arbiter dalam Penyelesaian

Sengketa

Untuk menentukan apakah suatu kondisi sulit yang

sedang dihadapi oleh salah satu pihak dalam kontrak adalah

keadaan hardship dapat juga ditentukan oleh Hakim atau

Arbiter dalam pengadilan pada saat para pihak mengajukan

gugatan. Metode ini seperti melakukan pengujian untuk

menentukan apakah kondisi yang dihadapi benar-benar

kondisi hardship atau force majeure atau mungkin juga

perubahan keadaan lain bahkan dapat juga dibuktikan bahwa

salah satu pihak wanprestasi dengan menghindari

pelaksanaan prestasi atas dasar terkena perubahan keadaan

yang mengubah keseimbangan kontraktual sehingga ia tidak

mampu melaksanakan prestaisnya.

Salah satu kasus di mana adanya putusan hakim yang

menetapkan salah satu pihak terkena hardship sehingga tidak

dapat melaksanakan prestasinya adalah pada kasus Scafom


International BV v. Lorraine Tubes S.A.S, di mana kasus yang

melibatkan Scafom International sebuah perusahaan Belanda

yang terikat dalam kontrak jual beli baja dan Exma sebuah

perusahaan Perancis yang tidak memuat adanya klausula

penyesuaian harga sehingga pada saat pelaksanaan kontrak,

nilai baja pada saat itu naik sekitar 70%. Exma selaku penjual

melakukan pemberitahuan dan meminta untuk adanya

penyesuaian harga karena adanya perubahaan tidak terduga

namun Scafom selaku pembeli tidak menerima saran tersebut

dan melakukan gugatan ke pengadilan karena Exma tidak

melaksanakan kewajibannya, yakni mengirimkan objek baja

yang diperjanjikan.

Pada putusan Mahkamah Agung Belgia, menetapkan

bahwa tidak dimuatnya klausula penyesuaian harga tidak

menutup kemungkinan untuk dilakukannya penyesuaian atau

peninjauan harga kembali bahkan renegosiasi. Mahkamah

Agung menyadari bahwa kejadian kenaikkan harga ini bukan

merupakan force majeure, mengingat kontrak di antara

keduanya tunduk pada CISG dengan mengacu pada Article 7

(1) dan (2) CISG di mana dapat dibuat untuk prinsip-prinisp

umum yang mengatur hukum perdagangan internasional

seperti UPICC, maka Mahkamah Agung mengacu pada

prinsip hardship yang dimuat dalam UPICC di mana pihak


yang terdampak perubahan keadaan yang menimbulkan

ketidakseimbangan kontrak memiliki hak untuk

mengupayakan adanya renegosiasi kontrak. 2

Klausula keadaan sulit atau hardship merupakan

ketentuan hukum yang dapat dimasukkan ke dalam kontrak

untuk melindungi pihak yang berkontrak dalam menghadapi

keadaan yang tidak terduga. Klausula ini dirancang untuk

mengurangi risiko pihak kontraktual dengan mengizinkan

adanya penyesuaian atau interpretasi terhadap kontrak. Untuk

menentukan apakah perubahan kebijakan dalam DMO batu

bara, khususnya mengenai pelarangan ekspor batu bara

dapat diklasifikasikan sebagai hardship, maka dapat

diintefikasi melalui unsur-unsur atau karakteristik hardship itu

sendiri.

1. Keadaan yang Tidak Terduga

Perubahan kebijakan DMO yang kian berubah setiap

waktu bahkan dapat berubah dalam satu tahun lebih dari 2

(dua) kali melalui keputusan menteri ESDM, sebagai contoh

pada tahun 2022 silam terjadi perubahan kebijakan DMO

yakni pada Keputusan Menteri ESDM 13

K/HK.021/MEM.B./2022 dan Keputusan Menteri ESDM 267

2
Amalina Ahmad Tajudin, “Scafom International BV v. Lorraine Tubes S.A.S. : a case
review of changing circumstances under the United Nations Convention on International Sale of
Goods (CISG) of 1980”, Juridical Tribune, Vol. 4, Issue 2, 2014, hlm. 215.
K/MB.01/MEM/B./2022, hingga terdapat ketentuan larangan

ekspor batu bara dapat dianggap sebagai keadaan yang tidak

terduga jika perusahaan atau pihak dalam kontrak

terpengaruh tidak dapat memprediksi atau mengatisipasi

secara wajar bahwa perubahan tersebut akan terjadi.

Jika kebijakan tersebut berubah tanpa adanya

pemberitahuan atau tanpa adanya indikasi sebelumnya, unsur

keadaan yang tidak terduga dapat menjadi argumen kuat

untuk melakukan klaim hardship bagi pihak yang terkena

dampak. Perubahan kebijakan DMO yang mengatur adanya

larangan ekspor batu bara menjadi keadaan yang tidak

terduga karena mengejutkan sejumlah pelaku usaha tambang

batu bara di Indonesia, hal ini disampaikan oleh Ketua Umum

Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI), Pandu

Sjahrir. Dalam salah satu wawancara yang dilansir melalui

portal berita, APBI yang mewakili sejumlah pelaku usaha

tambang batu bara di Indonesia mengungkapkan rasa

keberatan atas kebojakan larangan ekspor yang sifatnya

mengejutkan dan mendadak. Selain itu, APBI juga

mengatakan bahwasanya dalam menetapkan atau

memutuskan kebijakan seperti ini sudah seharusnya

Kementerian ESDM melakukan diskusi terlebih dahulu dengan

para pelaku usaha apalagi hal ini berkaitan erat dengan


persoalan mengenai pasokan batu bara dalam pasar domestik

atau dalam arti lain kepada PLN mengalami kritis. 3

2. Risiko di luar kendali para pihak

Keadaan hardship kerap kali dikaitkan dengan situasi di

mana risiko yang muncul dari perubahan kebijakan atau

kondisi ekonomi tidak dapat dikendalikan oleh pihak yang

terkena dampak. Apabila perubahan kebijakan DMO batu bara

terjadi tanpa adanya mekanisme perlindungan atau

pengaturan yang memadai bagi perusahaan terpengaruh,

maka perubahan tersebut dapat memenuhi unsur tidak

terkendalinya risiko oleh para pihak. Rsiko bisnis dalam dunia

batu bara dapat dibagi menjadi dua yakni risiko bisnis yang

normal dan risiko bisnis yang tidak normal. Risiko bisnis yang

normal adalah risiko bisnis dengan peluang kejadiannya

sampai dengan 99% (sembilan puluh sembilan persen) dan

sebagian besar perusahaan mengetahui dan dapat

menanggung risiko ini, contoh risiko bisnis normal pada

industri batu bara adalah ketika adanya gelombang laut yang

3
Intan Pratiwi dan Nidia Zuraya, “Produsen Batu Bara Keberatan Kebijakan Larangan
Ekspor”, https://ekonomi.republika.co.id/berita//r518e7383/produsen-batu-bara-keberatan-
kebijakan-larangan-ekspor?, diakses pada 24 Mei 2023.
tinggi sehingga tongkang yang mengangkut batu bara tidak

dapat berlabuh dan pengiriman batu bara menjadi terlambat.

Saat terjadi gelombang laut tinggi hanya terjadi dalam

hitungan hari atau hitungan minggu sehingga hal tersebut

merupakan risiko bisnis normal yang kerap terjadi dan

berkaitan dengan bencana alam, di mana risiko ini dapat

ditanggung oleh perusahaan dan operasional perusahaan

dapat tetap berjalan. Sedangkan risiko bisnis tidak normal

dapat terjadi pada saat penurunan harga batu bara yang

terjadi selama 5 (lima) tahun bertutut-turut, menyebabkan

kegiatan operasional perusahaan tidak dapat berjalan karena

terhambatnya pelaksanaan kegiatan usaha perusahaan

karena penuruhan harga batu bara tidak dapat ditanggung

oleh perusahaan.4

Dalam hal ini, meskipun kebijakan DMO sudah berlaku

sejak lama, namun perubahan seperti dilarangnya melakukan

ekspor dapat menjadi hal yang tidak dapat diantisipasi

sebelumnya oleh para pihak. Sesuai dengan pemaparan

mengenai ketentuan perubahan kebijakan DMO selama 1

(satu) tahun terakhir menunjukan bahwa ketentuan seperti

pelarangan ekspor tidak selamanya berlaku. Bahkan hanya

pernah terjadi 1 (satu) kali selama beberapa tahun terakhir.

4
Pendapat Ahli DR. Adrian Teja, SE. MM dalam Putusan Nomor 21/PAILIT/2016/PN-
NIAGA Sby
Maka, dapat dilihat bahwa perubahan kebijakan DMO

mengenai larangan ekspor yang tidak sering dilakukan maka

tidak dapat diprediksi dapat menjadi risiko yang bersifat tinggi

dalam bisnis batu bara.

3. Perubahan keadaan terjadi dan diketahui setelah kontrak

disepakati

Perubahan kebijakan DMO agar dapat diklasifikasikan

sebagai suatu keadaan hardship harus terjadi pada saat

kontrak sudah disepakati. Merujuk pada data perubahan

kebijakan DMO, dapat dilihat bahwa kebijakan DMO yang

berubah dalam kurun waktu singkat dapat memberikan

dampak bahwa pada saat kontrak sudah disepakati

perubahan kebijakan mungkin saja timbul karena cepatnya

perubahan kebijakan ini.

Faktor rentang waktu yang begitu cepat dalam

mengubah kebijakan dapat memperkuat klasifikasi DMO

menjadi sebuah situasi hardship dalam unsur perubahan

keadaan terjadi pada saat kontrak yang dibentuk oleh para

pihak sudah disepakati.


4. Nilai pelaksanaan menjadi sangat tinggi atau

memberatkan bagi salah satu pihak sehingga tidak dapat

melaksanakan prestasinya (impossibility to perform)

Kondisi hardship merujuk pada situasi di mana

perubahan kebijakan atau kondisi ekonomi secara tidak adil

merugikan salah satu pihak secara signifikan dan

menghambat pelaksanaan kontrak bahkan menjadikan pihak

tersebut tidak dapat melakukan prestasinya. Perubahan

kebijakan DMO seperti pelarangan ekspor dapat memberikan

keuntungan dalam pasar domestik atau pihak lain di industri

terkait, sementara merugikan perusahaan batu bara yang

bergantung pada ekspor.

Dalam kasus larangan ekspor akibat perubahan

kebijakan DMO di Indonesia menyebabkan perusahaan

tambang di Indonesia sebagai eksportir batu bara tidak dapat

memenuhi kontrak penjualan batu bara ekspor yang dimiliki

dan hal tersebut memiliki dampak terhadap pembukuan

pendapatan usaha perusahaan dan potensi kehilangan

pendapatan usaha, hal ini diungkapkan oleh Direktur

Perseroan Alfa Energi Investama Tbk (FIRE), serta terdapat

upaya yang ditempuh oleh FIRE yakni dengan melakukan

negosiasi untuk menentukan jadwal pengiriman ulang kepada

pembeli atau importir untuk menghindari hilangnya


pendapatan dari kontrak jual beli batu internasional yang

dimiliki perseroan.5

Potensi hilangnya pendapatan usaha dalam masa

larangan ekspor ataupun kewajiban bagi para pelaku usaha

untuk memenuhi pasokkan cadangan batu bara domestik

berimplikasi pada meningkatnya nilai pelaksanaan kontrak, hal

ini dapat disebabkan oleh faktor adanya kegiatan produksi

yang dilakukan dua kali lipat dari yang seharusnya dilakukan

oleh perseroan pada saat masa larangan ekspor. Selain itu,

hilangnya pendapatan perseroan pada masa larangan ekspor

dapat menimbulkan kerugian dan meningkatnya modal yang

harus disediakan oleh perseroan untuk melaksanakan

prestasinya pada saat kebijakan ini sudah tidak berlaku atau

pada saat perseroan melakukan kegiatan ekspor sesuai

dengan jadwal pengiriman hasil renegosiasi dengan pihak

importir.

Perubahan kebijakan DMO yang ditentukan sebagai keadaan

sulit atau hardship bergantung pada ketentuannya, namun perubahan

yang cepat menimbulkan ketidakpastian yang dapat merugikan para

pihak dalam kontrak khususnya kontrak jual beli batu bara

internasional mengingat bahwa terdapat preseden larangan ekspor

5
Pipit Ika Ramadhani, “Sederet Emiten yang Terdampak Larangan Ekspor Batu Bara
pada Januari 2022”, https://www.liputan6.com/saham/read/4852661/sederet-emiten-yang-
terdampak-larangan-ekspor-batu-bara-pada-januari-2022, diakses pada 23 Mei 2023.
yang dimuat dalam DMO. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan

pula dalam beberapa kasus, perusahaan batu bara di Indonesia yang

terikat dalam kontrak ekspor batu bara dengan importir menghadapi

kesulitan dalam memenuhi persyaratan DMO yang lebih tinggi,

terutama apabila pihak tersebut tidak memiliki infrastruktur, teknologi,

atau kapasitas produksi yang memadai untuk memenuhi permintaan

domestik yang meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan

pendapatan, penurunan profitabilitas, atau bahkan kerugian finansial

bagi perusahaan tersebut.

Merujuk pada adanya indikasi pada tahun mendatang bahwa

nilai DMO akan dinaikkan sebanyak 30%-35%, di mana rencana ini

dibahas oleh DPR RI pada Pasal 6 ayat (6) draft Rancangan Undang-

Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT). Di mana, perusahaan

tambang batu bara saat ini sudah mengalami kesulitan untuk

memenuhi DMO akibat dari tingginya harga batu bara di pasar dunia. 6

Selama regulasi tersebut belum dikeluarkan secara resmi,

tentu pelaku usaha tambang batu bara masih mengacu pada

kebijakan DMO sebesar 25% yang saat ini masih berlaku dan dapat

pula membentuk kontrak ekspor dengan proyeksi besaran DMO 25%.

Apabila dalam pelaksanaan kontrak nantinya keluar sebuah kebijakan

baru mengenai peningkatan persyaratan DMO, hal ini tentu menjadi

perubahan keadaan yang akan sulit dihadapi oleh perusahaan

6
Muhammad Fajar Riyandanu, “Terungkap, DMO Batu Bara Dinaikkan Menjadi 30%
dalam RUU EBT”, https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/623458e2778ce/terungkap-dmo-batu-
bara-dinaikkan-menjadi-30-dalam-ruu-ebt, diakses pada 15 Mei 2023.
tambang untuk beradaptasi dengan perubahan kebijakan yang

memerlukan investasi tambahan atau restrukturisasi operasional dan

di saat yang bersamaan harus melakukan pula ekspor batu bara

kepada importir yang telah terikat dalam kontrak jual beli sebelumnya.

Apabila melihat kembali pada ketentuan di bawah pengaturan

prinsip-prinsip dalam UPICC, maka harus dilakukan analisis terlebih

dahulu terhadap unsur-unsur prinsip hardship dalam UPICC. Prinsip

hardship dalam UPICC bukan sebuah hukum yang mengikat secara

langsung dalam kontrak, oleh karenanya karakteristik tersebut

biasanya melihat pada kondisi faktual dan pengujian pada pengadilan,

sehingga akan lebih sulit untuk menentukannya. Terdapat 4 (empat)

karakteristik utama mengenai prinsip hardship dalam UPICC, seperti

unforseeability, fundamental change of circumstances, execessive

onerousness, dan good faith. Apabila membahas kembali mengenai

unforseeability, fundamental change of circumstances, dan

execessive onerousness maka argumen DMO sebagai hardship

sudah dikuatkan pada penjelasan sebelumnya, akan tetapi mengenai

good faith sendiri menekankan pada upaya renegosiasi yang

dilakukan oleh para pihak, apakah sudah ada upaya tersebut atau

belum.

Alasan-alasan internal yang berkorelasi dengan kesulitan

operasional, manajemen perusahaan, restrukturisasi finansial,

manajemen kegiatan sosial mungkin tidak akan pernah diterima


sebagai alasan hardship sebagai perostiwa di luar kendali. Demikian

pula dengan alasan kebijakan publik, pengadilan arbitrase

internasional kerap kali cenderung mengabaikan pemisahan hukum

dan kepentingan antara perusahaan dan kebijakan negara. 7

Meskipun sulit untuk mengukur apakah perubahan kebijakan

DMO dapat diklasifikasikan sebagai keadaan sulit atau tidak karena

pada dasarnya prinsip mengenai hardship ini juga memiliki ketentuan

yang berbeda-beda. Secara umum, melihat perubahan kebijakan

DMO yang berubah dalam waktu yang cukup singkat, adanya indikasi

perubahan kebijakan DMO dalam hal besaran atau nilai kewajiban

DMO, ketentuan kebijakan yang memberatkan pelaku usaha untuk

melakukan ekspor atau melaksanakan prestasinya dalam kontrak jual

beli batu bara internasional, hingga perubahan kebijakan yang dapat

terjadi saat kontrak sudah disepakati menunjukkan bahwa meskipun

ketentuan dalam kebijakan DMO belum tentu berdampak menjadi

keadaan sulit namun perubahan kebijakan DMO yang memberikan

ketidakpastian bagi para pihak dan berdampak pada kewajiban

kontraktual dapat menjadi suatu keadaan sulit yang menyulitkan

penjual batu bara atau eksportir dan merugikan pihak lainnya dalam

hal ini pembeli atau importir batu bara dari Indonesia.

7
R. Costa, “Adaptation of The International Investment Contract: The Hardship
Clause”, (dissertation), 2014, hlm. 40
B. Pemberlakuan Klausula Hardship dalam Suatu Kontrak Jual Beli

Batu Bara Internasional di Indonesia akibat Perubahan Kebijakan

Domestic Market Obligation (DMO) berdasarkan Asas Kebebasan

Berkontrak (Freedom of Contract)

Hukum kontrak di Indonesia yang tidak mengakui prinsip

mengenai hardship membuat pencantuman klausul hardship sangat

lazim ditemukan pada kontrak-kontrak bisnis di Indonesia. Faktanya,

hukum kontrak yang berlaku di Indonesia pada saat ini merupakan

warisan hukum kolonial yang sudah tidak dapat lagi mengakomodasi

perkembangan bisnis dan perkembangan perdagangan internasional

yang berkembang pesat dan juga memiliki pengaruh besar bagi para

pelaku usaha di Indonesia. Sejarah pembentukan kontrak

internasional berawal dari adanya resolusi yang dibentuk oleh Institute

of International Law (IDI) melalui sidang di Swiss pada tahun 1991

yang memperkenalkan The Autonomy of the Parties in International

Contract Between Private Persons or Entities. 8 Bersumber dari

resolusi tersebut mulai dikenal pula 2 (dua) prinsip utama dalam

membentuk kontrak internasional antara para lembaga privat: 1.

Prinsip Otonomi Para Pihak (autonomy of the parties) dan 2. Prinsip

Kebebasan Berkontrak (freedom of contract).9

Dalam hukum kontrak internasional, otonomi para pihak

memberikan kebebasan bagi mereka yang ingin mengikatkan diri

8
Huala Adolf, Instrumen-Instrumen Hukum tentang Kontrak Internasional, Op.Cit., hlm.
3.
9
Ibid., hlm. 4.
dalam kontrak internasional untuk membuat klausula dan anatomi

kontrak berdasarkan kesepakatan para pihak. Kedua prinsip ini lebih

banyak menekankan mengenai kebebasan bagi para pihak untuk

memilih pilihan hukum yang akan berlaku terhadap kontrak tersebut

dan juga hukum yang dipilih berupa hukum nasional yang disepakati

dan harus dituangkan dalam bentuk tertulis. 10 Di samping itu, para

pihak juga bisa memilih perjanjian internasional seperti CISG menjadi

pilihan hukum yang berlaku dalam kontrak dengan cara yang sama

seperti memilih hukum nasional tertentu, namun CISG hanya bisa

diaplikasikan dan berlaku jika kedua pihak atau lebih yang terlibat

dalam kontrak berlokasi di negara-negara yang menjadi anggotanya

atau telah meratifikasinya.

Indonesia tentu tidak dapat mengaplikasikan model hukum

CISG dalam kontrak yang dibentuk oleh salah satu pihak yang

menjadi subjek hukum Indonesia, karena Indonesia belum

meratifikasi CISG, akan tetapi model hardship tidak hanya dimuat

dalam CISG. Unidroit melalui instrumen UPICC memiliki prinsip

hardship serupa yang mengatur tentang impossibility to perform dalam

pelaksanaan kontrak dan mengingat Indonesia telah meratifikasi

UPICC maka prinsip hardship dapat berlaku bagi kontrak di Indonesia.

Tanpa memasukkannya sebagai klausul, prinsip hardship seperti yang

ada di UPICC sudah dapat diberlakukan mengingat pula dalam

pembentukkan kontrak internasional, di samping memerhatikan


10
Ibid.,
hukum yang mengatur kontrak diikuti pula dengan prinsip hukum atau

kebiasaan dagang internasional. Akan tetapi, apabila tidak

dimasukkan sebagai klausula dalam kontrak, prinsip hardship baru

akan berlaku pada saat terjadi sengketa, di mana pihak dalam

berkontrak dapat menguji apakah kondisi yang sedang dihadapi

olehnya merupakan suatu hardship yang akan ditentukan oleh hakim

atau arbiter sehingga proses renegosiasi akibat hardship baru akan

terjadi pada saat putusan keluar.

Untuk mengantisipasi panjangnya proses dalam melakukan

klaim hardship dalam menghadapi perubahan kebijakan DMO yang

berindikasi menganggu keseimbangan kontrak, para pihak dapat lebih

dulu mengatur mengenai hal ini dengan memuat klausula hardship

yang mencantumkan beberapa kondisi yang dapat menyebabkan

hardship bagi para pihak yang berkontrak khususnya mengenai

perubahan kebijakan DMO terkait. Pencantuman klausula hardship

tentu dapat berfungsi sebagai alternatif sebagai metode penyelesaian

sengketa para pihak dalam menghadapi perubahan kebijakan DMO

yang secara fundamental dapat menganggu atau mempengaruhi

keseimbangan kontrak sehingga menghambat pelaksanaan kontrak

yang juga dapat merugikan para pihak.

Meskipun prinsip hardship dalam UPICC bersifat sebagai soft

law tapi tidak menutup kemungkinan untuk para pihak mengadopsi

prinsip tersebut untuk dijadikan sebagai klausul dalam kontrak


mereka. UPICC dapat dijadikan sumber rujukan atau referensi bagi

pembaharuan modernisasi hukum kontrak Indonesia karena prinsip

dalam UPICC dianggap sebagai prinsip-prinsip hukum kontrak

modern yang merepresentasikan perkembangan hukum kontrak

internasional yang bersumber baik dari sistem hukum civil law dan

common law, meskipun UPICC adalah soft law namun UPICC dapat

digunakan sebagai referensi untuk membentuk kontrak dengan

adanya penyesuaian-penyesuaian tertentu berdasarkan kebutuhan

para pihak.11

Pencantuman klausula hardship dalam kontrak jual beli batu

bara internasional dapat pula dilandasi dengan asas kebebasan

berkontrak para pihak, sejalan dengan Doktrin Transaksi atau

Tindakan Hukum (Legal Transaction atau Juristic Act) yang

dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa transaksi hukum merupakan

tindakan di mana individu diberi wewenang oleh hukum untuk

mengatur tindakan tertentu secara sah, transaksi tersebut yang

dinamakan dengan tindakan yang menciptakan hukum atau law-

creating act.12 Asas kebebasan berkontrak yang memberikan

kewenangan bagi para pihak untuk menentukan isi kontrak dapat

menjadi jalan pembuka bagi para pihak untuk dapat memuat klausula

hardship di dalam kontrak mereka khususnya mencantumkan pula

beberapa kondisi yang dapat diklasifikasikan sebagai keadaan sulit


11
Subianta Mandala, “UPICC Sebagai Model Bagi Pembaruan Hukum Kontrak
Indonesia dalam Rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN”, Jurnal Media Hukum, Vol. 24, No.2, 2017,
hlm. 102.
12
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Op. Cit., hlm. 17.
dalam kontrak, contohnya saat terjadi perubahan kebijakan DMO yang

menganggu keseimbangan kontrak bagi para pihak. Selain itu,

dengan dicantumkannya klausula hardship ini di dalam kontrak, dapat

menjadi alternatif bagi para pihak yang terkena dampak hardship

untuk mengajukan upaya renegosiasi sebagai jalan keluar untuk

menghadapi perubahan kebijakan DMO yang berdampak untuk pihak

yang berkontrak.

Pemberlakuan prinsip hardship berdasarkan asas kebebasan

berkontrak dapat ditemukan contohnya pada kasus antara PT Adhi

Karya dan Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan di mana dalam

kontrak perjanjian Pembangunan Mesjid Agung di Pangkalan Kerinci

yang dibentuk terdapat sebuah ketentuan mengenai penyesuaian

harga/eskalasi dalam hal adanya kebijakan pemerintah dalam bidang

moneter yang secara resmi menetapkan adanya kenaikkan harga di

mana dikategorikan sebagai keadaan force majeure. Penyesuaian

harga ini dapat dianggap sebagai pemberlakuan klausula hardship,

karena bentuk pengajuan penyesuaian harga sama saja dengan

upaya untuk melakukan renegosiasi dalam hal adanya keadaan sulit

yang menimpa pihak berkontrak dalam melaksanakan prestasinya.

Penyesuaian dalam memberlakukan klausula hardship dapat

beragam, karena hardship bukan sebuah klausula baku yang memiliki

bentuk baku dalam pengaturannya, kecuali apabila para pihak ingin

mengadopsi bentuk klausula hardship dalam model CISG yang


bersifat hard law dan wajib dipatuhi. Seperti yang sudah diuraikan di

atas, bahwa prinsip hardship seperti dalam UPICC hanya bersifat soft

law, oleh karena itu pemberlakuan klausula hardship berdasarkan

prinsip dalam UPICC dapat diadopsi sesuai dengan kebutuhan para

pihak.

Para pihak dalam membentuk kontrak dapat memasukkan

klausula hardship yang disesuaikan dengan kebutuhan dan

kepentingan mereka. Pada dasarnya klausula hardship adalah

ketentuan yang dimasukkan ke dalam kontrak untuk mengatur cara

penanganan jika terjadi perubahan keadaan yang sulit atau berat bagi

salah satu pihak yang diikuti dengan adanya upaya renegosiasi.

Dalam klausula hardship, para pihak dapat menentukan definisi

hardship, kriteria atau syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk

mengklasifikasikan suatu situasi sebagai hardship, serta langkah-

langkah untuk mengambil upaya renegosiasi yang akan diambil jika

terjadi hardship. Misalnya, klausula hardship dapat memuat kewajiban

bagi pihak-pihak untuk melakukan renegosiasi dalam rangka

mencapai kesepakatan mengenai perubahan kontrak, penangguhan

sementara, ata pemutusan kontrak dalam terjadinya situasi hardship

yang telah memenuhi kriteria dan syarat-syarat termuat dalam

kontrak.

Kriteria atau unsur hardship yang telah diuraikan pada

pembahasan sebelumnya merupakan kriteria umum, akan tetapi


berdasarkan asas kebebasan berkontrak sendiri, para pihak dapat

menentukan lebih spesifik mengenai klausula hardship yang ingin

dibentuk dan diberlakukan dalam kontraknya seperti apa. Klausula

hardship yang disesuaikan harus jelas dan spesifik untuk menghindari

penafsiran atau ambiguitas yang mungkin muncul dan juga

perselisihan di kemudian hari. Para pihak juga dapat

mempertimbangkan faktor-faktor seperti perubahan ekonomi,

perubahan peraturan pemerintah, bencana alam, atau kejadian tak

terduga lainnya yang dapat mempengaruhi kinerja kontrak dan

diklasifikasikan sebagai kondisi hardship dalam kontrak yang

dibentuk. Perlu menjadi catatan bahwa klausula hardship harus dibuat

dengan itikad baik dan menghormati prinsip-prinsip keadilan serta

kepentingan semua pihak yang terlibat.

Membentuk klausula hardship berdasarkan asas kebebasan

berkontrak dalam kontrak jual beli batu bara internasional yang

melibatkan pihak di Indonesia dapat dilakukan dengan memperhatikan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengadopsi prinsip hardship

Para pihak dapat terlebih dahulu mengadopsi prinsip

hardship yang berlaku dalam hukum kontrak internasional

seperti dalam UPICC. UPICC merupaka sekumpulan prinsip

kontrak komersial internasional dan telah digunakan dalam

beberapa kasus dan dianggap oleh para ahli sebagai bagian


dari Lex Mercatoria baru dan bagian dari hukum kontrak yang

dapat diaplikasikan pada kontrak komersial internasional.

Salah satu ketentuan yang termuat dalam UPICC

adalah mengenai hardship, bahwa salah satu pihak yang

terdampak hardship memiliki hak untuk mengajukan

renegosiasi ulang tanpa adanya penundaan yang tidak

semestinya dengan menunjukkan alasan yang mendasar.

Dengan memerhatikan prinsip dasar yang ada di UPICC, para

pihak dapat mengadopsinya untuk dimasukkan dalam klausul

kontrak.

Untuk menghadapi perubahan kebijakan DMO yang

menganggu keseimbangan kontrak batu bara, para pihak

dapat mengadopsi prinsip hardship yang ada dalam UPICC

untuk dimasukkan ke dalam kontrak sebagai klausula.

2. Identifikasi risiko hardship

Para pihak sebelum membentuk klausula hardship

dapat melakukan identifikasi terhadap risiko-risiko yang

mungkin muncul yang dapat menyebabkan keadaan sulit

atau memberatkan bagi salah satu pihak. Misalnya,

perubahan kondisi ekonomi, peraturan pemerintah, atau

kejadian tak terduga lainnya yang dapat memengaruhi

kinerja kontrak.
Dalam bisnis batu bara, pelaku usaha kerap kali

dihadapkan dengan berbagai risiko bisnis, risiko bisnis dalam

dunia batu bara dapat dibagi menjadi dua yakni risiko bisnis

yang normal dan risiko bisnis yang tidak normal. Seperti

yang sudah diuraikan pada pembahasan sebelumnya,

bahwasanya perubahan kebijakan DMO batu bara

berkenaan dengan larangan ekspor yang jarang terjadi dapat

digolongkan sebagai risiko yang tidak normal, terlebih

larangan ini merupakan kebijakan yang tidak dapat diduga

oleh pelaku usaha sebelumnya. Oleh karenanya, risiko

sejenis perubahan kebijakan DMO ini dapat dimasukkan

dalam kontrak.

3. Mencantumkan definisi hardship

Para pihak perlu untuk menentukan definisi hardship

yang sesuai dengan apa yang dikehendaki dalam kontrak,

definisi hardship yang dibentuk harus dapat menggambarkan

situasi yang dapat diklasifikasikan sebagai hardship dan

memenuhi kriteria tertentu yang disepakati oleh para pihak.

Dalam kasus memasukkan perubahan kebijakan DMO

di dalam kontrak, maka para pihak dapat membentuk definisi

yang spesifik seperti apabila adanya perubahan kebijakan

DMO yang memengaruhi nilai presentase DMO sehingga


menyebabkan adanya peningkatan pengeluaran dalam

melaksanakan prestasi atau kebijakan yang menghalangi

pihak untuk melaksanakan prestasi dapat dijadikan suatu

definisi hardship dalam kontrak tersebut.

4. Menentukan kriteria hardship

Dalam membentuk klausula hardship, para pihak perlu

memerhatikan dan menetapkan kriteria atau syarat-syarat

yang harus dipenuhi agar situasi dapat diklasifikasikan

sebagai hardship. Seperti contoh, perubahan signifikan

dalam kondisi pasar, biaya yang meningkat tanpa diduga,

atau hambatan yang tak dapat diatasi yang mengakibatkan

kinerja kontrak menjadi terlalu berat atau tidak mungkin

dilaksanakan.

Kriteria umum dalam mendeterminasi suatu kondisi

menjadi situasi hardship adalah: 1) adanya suatu perubahan

yang signifikan terjadi pada nilai kontrak yang tidak dapat

diperhitungkan sebelumnya, 2) meningkatknya biaya

pelaksanaan kontrak atau berkurangnya nilai pelaksanaan

kontrak yang seharusnya diterima oleh salah satu pihak, 3)

perubahan keadaan terjadi dan diketahui setelah kontrak

disepakati, 4) perubahan terjadi di luar kendali para pihak.

Kriteria hardship pada umumnya condong pada adanya


peningkatan biaya pelaksanaan kontrak baik secara

langsung ataupun tidak langsung yang disebabkan dari

faktor eksternal.

5. Prosedur penanganan hardship

Selain menentukan kriteria dan definisi hardship,

penting bagi para pihak untuk menentukan prosedur

penanganan hardship, termasuk langkah-langkah yang

harus diambil oleh pihak-pihak untuk menangani situasi

tersebut. Seperti contoh, adanya kewajiban untuk memulai

negosiasi dengan itikad baik pada saat pihak yang

terdampak hardship kesulitan untuk melakukan pelaksanaan

kontrak, mencari solusi yang saling menguntungkan atau

memberikan pemberitahuan tertulis jika terjadi hardship.

Dalam hal adanya perubahan kebijakan mengenai

DMO yang berdampak bagi pihak dalam berkontrak, maka

pengusaha batu bara Indonesia yang terkena dampak dapat

memasukkan ke dalam kontraknya untuk dimuat sebuah

upaya renegosiasi apabila terjadi perubahan kebijakan DMO

yang memengaruhi pelaksanaan kontrak secara

fundamental, seperti larangan ekspor batu bara ke luar

negeri.
6. Perubahan kontrak dalam menghadapi hardship

Klausula hardship yang dibentuk oleh para pihak juga

harus mempertimbangkan apakah klausula hardship ini

memberikan peluang untuk adanya modifikasi kontrak atau

amandemen kontrak untuk mengakomodasi perubahan yang

diperlukan dalam situasi hardship terjadi seperti penundaan,

pengurangan kuantitas, atau perubahan nilai kontrak.

Dalam hal terjadinya perubahan kebijakan DMO dalam

kontrak batu bara, maka para pihak dapat memilih untuk

adanya penundaan ekspor batu bara atau pengurangan

kuantitas batu bara yang hendak diekspor dalam hal apabila

adanya larangan ekspor atau kenaikkan syarat angka DMO.

7. Penyelesaian sengketa

Menyertakan ketentuan mengenai penyelesaian

sengketa yang timbul dari penerapan klausula hardship,

seperti adanya mediasi, arbitrase, atau penyelesaian

sengketa melalui pengadilan. Di mana, pada saat melakukan

upaya renegosiasi tidak mencapai kesepakatan maka

permasalahan akan situasi hardship dapat dibawa ke

pengadilan untuk meminta pandangan kepada hakim atau

arbiter untuk menyelesaikannya.

Anda mungkin juga menyukai