Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN MASALAH KOOPERATIF

ATRESIA ESOFAGUS, ATRESIA ANI DAN LABIOPALATOSCHIZIZ

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas Pediatric Nursing Semester IV

Disusun Oleh :

1. Lita Sulistyo Ningrum (13.1235)


2. Risang Ari Mukti (13.1254)

AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAH PROVINSI JAWATENGAH
SEMARANG
2014/ 2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir
yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Kadang-kadang
suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir,
tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah kelahiran. Ada beberapa kelainan
bawaan diantaranya adalah labioskizis, labiopalatoskizis, atresia esofagus, atersia
rekti dan ani, obstruksi biliaris, omfalokel, hernia diafragmatika, atresia duodeni,
meningokel, ensefalokel, hidrosefalus, fimosis, dan hipospadia. Beberapa kelainan
bawaan yang akan di jelaskan lebih jauh disini adalah labiopalatoskizis, atresia
esofagus dan atersia rekti / atresia ani.
Atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai
lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang
terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat
lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau
pemeriksaan perineum.
Atresia esophagus (AE) merupakan kelainan congenital yang ditandai
dengan tindak menyambungnya esophagus bagian proksimal dengan esophagus
bagian distal. AE dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus (FTE), yaitu kelainan
congenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esophagus dengan trakea.
Diagnosis ini harus diperhatikan pada setiap neonates yang mengeluakan banyak
mucus dan saliva, dengan atau tanpa tanda-tanda gangguan pernapasan.
Labio palatoschizis merupakan kelainan bibir dan langit – langit, hal ini
biasanya   disebabkan karena perkembangan bibir dan langit – langit yang tidak
dapat berkembang secara sempurna pada masa  pertumbuhan di dalam kandungan.
Dimana biasanya penderita labio palatoschizis mempunyai bentuk wajah kurang
normal dan kurang jelas dalam berbicara sehingga menghambat masa persiapan
sekolahnya.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep gangguan sistem dalam penyakit atresia esofagus,
atresia ani dan labiopalatoschiziz.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan yang membahas tentang
penyakit atresia esofagus, atresia ani dan labiopalatoschiziz.
C. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Atresia Esofagus?
2. Apa Klasifikas dari Atresia Esofagus?
3. Apa Etiologi dari Atresia Esofagus?
4. Apa Manifestasi Klinis dari Atresia Esofagus?
5. Bagaimana Patofisiologi dari Atresia Esofagus?
6. Apa Pemeriksaan Diagnostik dari Atresia Esofagus?
7. Apa Komplikasi dari Atresia Esofagus?
8. Apa Komplikasi Pasca Operasi dari Atresia Esofagus?
9. Bagaimana Penatalaksanaan dari Atresia Esofagus?
10. Apa definisi dari Atresia Ani?
11. Apa Klasifikasi dari Atresia Ani?
12. Apa Etiologi dari Atresia Ani?
13. Apa Manifestasi Klinis dari Atresia Ani?
14. Bagaimana Patofisiologi dari Atresia Ani?
15. Bagaimana Pathway dari Atresia Ani?
16. Apa Pemeriksaan Penunjang dari Atresia Ani?
17. Apa Pemeriksaa Diagnostik dari Atresia Ani?
18. Apa Komplikasi dari Atresia Ani?
19. Apa Penatalaksanaan dari Atresia Ani?
20. Apa definisi dari Labiopalatoschiziz?
21. Apa Klasifikasi dari Labiopalatoschiziz?
22. Apa Etiologi dari Labiopalatoschiziz?
23. Apa Manifestasi Klinis dari Labiopalatoschiziz?
24. Bagaimana Patofisiologi dari Labiopalatoschiziz?
25. Apa Pemeriksaan Penunjang dari Labiopalatoschiziz?
26. Apa Komplikasi dari Labiopalatoschiziz?
27. Apa Penatalaksanaan dari Labiopalatoschiziz?
BAB II

KONSEP TEORI

I. ATRESIA ESOFAGUS
A. Definisi
Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital yang mengakibatkan
gangguan kontinuitas esophagus dengan atau tanpa hubungan persisten dengan
trakea. Terlihat keadaan pada bagian proksimal dan distal esophagus tidak
berhubungan (Whaley & Wong, 2010).
B. Klasifikasi
1. Kalasia
Kalasia ialah keadaan bagian bawah esophagus yang tidak dapat
menutup secara baik, sehingga menyebabkan regurgitasi, terutama kalau
bayi dibaringkan. Pertolongan : member makanan dalam posisi tegak, yaitu
duduk dalam kursi khusus. Kalasia adalah kelainan yang terjadi pada bagian
bawah esophagus (pada persambungan dengan lambung yang tidak dapat
menutup rapat sehingga bayi sering regurgitasi bila dibaringkan.
2. Akalasia
Ialah kebalikan chalasia yaitu bagian akhir esophagus tidak membuka
secara baik, sehingga  keadaan seperti stenosis atau atresia. Disebut pula 
spasmus cardio-oesophagus. Sebabnya : karena terdapat cartilage trachea
yang tumbuh ektopik dalam esophagus bagian bawah, berbentuk tulang
rawan yang  ditemukan secara mikroskopik dalam lapisan otot.

C. Etiologi
Atresia esophagus disebabkan oleh :
1. Tumor esophagus.
2. Kehamilan dengan hidramnion
3. Bayi lahir prematur, tapi tidak semua bayi yang lahir premature
mengalami penyakit ini. Dan ada alasan yang tidak diketahui mengapa
esefagus dan trakea gagal untuk berdiferensiasi dengan tepat selama
gestasi pada minggu ke empat dan ke  lima.
D. Manifestasi Klinis
1. Ditemukan riwayat polihydramnion pada ibu.
2. Kateter yang dipakai untuk resusitasi tidak dapat masuk ke lambung.
3. Bayi tersedak, batuk atau sianotik pada saat diberi minum.
4. Biasanya terjadi pada bayi kurang bulan
5. Gangguan Proses Menelan saat lahir
6. Terjadi gangguan pernapasan akibat makanan teraspirasi.
7. Air liur selalu meleleh dari mulut bayi dan berbui.
8. Pada fistula trakea esophagus, cairan lambung masuk kedalam paru,
oleh karena itu bayi sering sianosis.
9. Pemberian minum dapat menyebabkan batuk atau seperti tercekik dan
bayi sianosis.
10. Jika terdapat fistula trekoesofagus perut bayi tampak membuncit karena
terisi udara.
11. Bila dimasukkan kateter melalui mulut sepanjang 7.5 – 10 cm dari bibir,
kateter akan terbentur pada ujung esophagus yang buntu: dan jika kateter
didorong terus akan melingkar – lingkar di dalam esophagus yang buntu
tersebut.
12. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan memasukkan pipa radio-opak
atau larutan kontras liopodol ke dalam esophagus dan dibuat foto toraks
biasa

E. Patofisiologi

Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan
efektif. Pada janin dengan atresia esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan
mengalir menuju trakea, ke fistula kemudian menuju usus. Neonatus dengan
atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan banyak air liur.
Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur. Apabila
terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara dari trakea
juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau menerima
ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang sering kali
mematikan. Trakea juga dipengaruh  oleh gangguan embriologenesis pada
atresia esofagus. Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C
seperti biasa. Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder pada stuktur
anteroposterior trakea atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan
gejala batuk kering dan dapat terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret
sulit untuk dibersihkan dan dapat menjurus ke pneumonia berulang. Trakea juga
dapat kolaps secara parsial ketika makan, setelah manipulasi, atau ketika terjadi
refluks gastroesofagus; yang dapat menjurus ke kegagalan nafas; hipoksia,
bahkan apnea.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Dalam pemeriksaan USG pada usia kehamilan sekitar 26 minggu
ditemukan polyhidramnion tetapi pembesaran perut ibu tidak sesuai
dengan umur kehamilan (lebih kecil).
2. Terdapatnya kesulitan memasukkan kateter ke dalam lambung, biasanya
kateter akan terhenti pada jarak 10-11 cm dari gusi atas, (ukuran 8-10
French).
3. Foto polos thorax memperlihatkan gambaran khas esophagus berdilatasi
karena terisi udara, terlihatnya udara dalam lambung atau usus
menandakan adanya fistula antara trachea dan esophagus bagian distal.
4. USG menunjukkan TEF in utero pada beberapa bayi.
5. EKG dan echokardiogram dapat dilakukan karena korelasi tinggi  pada
anomaly jantung.
G. Komplikasi
1. Pneunomia aspirasi yang disebabkan karena usaha makan.
2. Atelaktasis pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
3. Dismotilitas esophagus, terjadi karena kelemahan dinding otot esophagus
4. Gastrosophagus refluks atau asam lambung naik
5. Fistula tracheosophagus berulang
6. Disfagia atau kesulitan menelan
H. Komplikasi Pasca Operasi
1. Kebocoran pada sisi anastomis
2. Fistula kambuhan
3. Sirkulasi esophagus
4. Repluks gastroesopagus dan esopagitis
5. Trakeomalaisia
6. Masalah makan dengan anak yang lebih besar
I. Penatalaksanaan
1. Pada anak segera dipasang kateter ke dalam esophagus dan bila
mungkin dilakukan penghisapan terus menerus untuk mencegah
terjadinya aspirasi.
2. Posisi anak tidur tergantung pada ada tidaknya fistula, karena aspirasi
cairan lambung lebih berbahaya dari saliva. Anak dengan fistula
trakeoesofaus ditidurkan setengah duduk, anak tanpa fistula diletakkan
dengan kepala lebih rendah (posisi trendeleburg).
3. Bayi dirawat dalam inkubator untuk mencegah terjadinya hipotermia agar
mendapatkan lingkungan yang cukup hangat.
4. Pemberian antibiotik pada kasus dengan resiko infeksi
5. Anak dipersiapkan untuk operasi segera
6. Apakah dapat dilakukan penutupan fistula dengan segera atau hanya
dilakukan gastrotomi tergantung dari jenis kelainan dan keadaan umum
anak pada saat itu
7. Kadang-kadang keadaan bayi memerlukan dilakukannya tindakan bedah
dalam 2 tahap,tahap pertama berupa pengikatan fistula serta
pemasangan pipa gastrostomi untuk pemberian makanan,tahap kedua
berupa tindakan anastomosis kedua ujung esophagus.
II. ATRESIA ANI
A. Definisi
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang
atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2003: 205).
B. Etiologi
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3
bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah
usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara
minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
C. Patofisiologi
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena kegagalan
pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan,
fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrio. Putusnya saluran pencernaan
dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga
bulan. Berkaitan dengan sindrom down. Atresia ani adalah suatu kelainan
bawaan. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral
dan abnormalitas pada uretra dan vagina.Tidak ada pembukaan usus besar yang
keluar anus menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehingga intenstinal
menyebabkan obstruksi.
D. Manifestasi Klinis
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
4. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada
fistula).
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
7. Perut kembung
E. Klasifikasi
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses
tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum
F. Komplikasi
1. Asidosis hiperkioremia.
2. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
3. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
4. Komplikasi jangka panjang.
5. Eversi mukosa anal.
6. Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis).
7. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
8. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
9. Prolaps mukosa anorektal.
10. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang
umum dilakukan pada gangguan ini.  Pemeriksaan fisik rectum kepatenan
rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
2. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel
epitel mekonium.
3. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat
menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu
pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
4. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong. 
Ultrasound    terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ
internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor
reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan
jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar
pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek
tingkat tinggi
H. Pemeriksaan Radiologi
1. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di
daerah tersebut
2. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir
dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus
impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba
di daerah sigmoid, kolon/rectum.
3. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala
dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga
pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan
udara tertinggi dapat diukur.
4. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
5. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
6. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
7. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
8. Pemeriksaan fisik rectum
9. Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
10. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan
dengan traktus urinarius.
III. LABIOPALATOSCHIZIZ
A. Definisi
Labiopalatoschiziz merupakan kongenital anomali yang berupa adanya
kelainan bentuk struktur wajah.
B. Etiologi
1. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama embrional dalam hal
kuatitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi
asam folat, vitamin C dan zn).
2. Pengaruh obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal.
3. Infeksi,khususnya viral ( toksoplasma ) dan klamidal
4. Faktor genetik
5. Kelainan ini juga diduga terjadi akibat lnfeksi virus yang di derita ibu pada
kehamilan trimester pertama.
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan organ yang terlibat
a. Celah bibir ( labioscizis ) : celah terdapat pada bibir bagian atas
b. Celah gusi ( gnatoscizis ) : celah terdapat pada gusi gigi bagian atas
c. Celah palatum ( palatoscizis ) : celah terdapat pada palatum
2. Berdasarkan lengkap atau tidaknya celah yang terbentuk
a. Komplit : jika celah melebar sampai ke dasar hidung
b. Inkomplit : jika celah tidak melebar sampai ke dasar hidung
3. Berdasarkan letak celah
a. Unilateral : celah terjadi hanya pada satu sisi bibir
b. Bilateral : celah terjadi pada kedua sisi bibir
c. Midline : celah terjadi pada tengah bibir
D. Manifestasi Klinis
1. Pada Labiochiziz
a. Distorsi pada hidung
b. Tampak sebagian atau keduanya
c. Adanya celah pada bibir
2. Pada Palatoschiziz
a. Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak dan keras
b. Adanya rongga pada hidung
c. Distorsi hidung
d. Teraba ada celah atau terbukanya langit – langit saat di periksa
dengan jari
e. Kesukaran dalam menghisap atau makan
E. Patofisiologi
Penyebab utama bibir sumbing karena kekurangan seng dan karena
menikah/kawin dengan saudara/kerabat. Bagi tubuh, seng sangat dibutuhkan
enzim tubuh. Walau yang diperlukan sedikit, tapi jika kekurangan berbahaya.
Sumber makanan yang mengandung seng antara lain : daging, sayur sayuran
dan air. Soal kawin antara kerabat atau saudara memang menjadi pemicu
munculnya penyakit generatif, (keterununan) yang sebelumnya resesif.
Kekurangan gizi lainya seperti kekurangan vit B6 dan B complek. Infeksi pada
janin pada usia kehamilan muda, dan salah minum obat obatan/jamu juga bisa
menyebabkan bibir sumbing.
Proses terjadinya labio palatoshcizis yaitu ketika kehamilan trimester I dimana
terjadinya gangguan oleh karena beberapa penyakit seperti virus. Pada trimester
I terjadi proses perkembangan pembentukan berbagai organ tubuh dan pada
saat itu terjadi kegagalan dalam penyatuan atau pembentukan jaringan lunak
atau tulang selama fase embrio.
Apabila terjadinya kegagalan dalam penyatuan proses nasal medical dan
maxilaris maka dapat mengalami labio shcizis (sumbing bibir) dan proses
penyatuan tersebut akan terjadi pada usia 6-8 minggu. Kemudian apabila terjadi
kegagalan penyatuan pada susunan palato selama masa kehamilan 7-12
minggu, maka dapat mengakibatkan sumbing pada palato (palato shcizis).

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto rongen
2. Pemeriksaan fisik
3. MRI untuk evaluasi anormal
G. Penatalaksanaan
Pada bayi yang langit - langitnya sumbing barrier ini tidak ada sehingga pada
saat menelan bayi bisa tersedak.Kemampuan menghisap bayi juga lemah,
sehingga bayi mudah capek pada saat menghisap, keadaan ini menyebabkan
intake minum/makanan yg masuk menjadi kurang. Untuk membantu keadaan ini
biasanya pada saat bayi baru lahir di pasang :
1. Pemasangan selang Nasogastric tube, adalah selang yang dimasukkan
melalui hidung berfungsi untuk memasukkan susu langsung ke dalam
lambung untuk memenuhi intake makanan.
2. Pemasangan Obturator yang terbuat dr bahan akrilik yg elastis, semacam
gigi tiruan tapi lebih lunak, jd pembuatannya khusus dan memerlukan
pencetakan di mulut bayi. Beberapa ahli beranggarapan obturator
menghambat pertumbuhan wajah pasien, tp beberapa menganggap
justru mengarahkan. Pada center2 cleft spt Harapan Kita di Jakarta dan
Cleft Centre di Bandung, dilakukan pembuatan obturator, karena pasien
rajin kontrol sehingga memungkinkan dilakukan penggerindaan oburator
tiap satu atau dua minggu sekali kontrol dan tiap beberapa bulan
dilakukan pencetakan ulang, dibuatkan yg baru sesuai dg pertumbuhan
pasien.
3. Pemberian dot khusus dot khusus, dot ini bisa dibeli di apotik2 besar. Dot
ini bentuknya lebih panjang dan lubangnya lebih lebar daripada dot biasa.
Tujuannya dot yang panjang menutupi lubang di langit2 mulut, susu bisa
langsung masuk ke kerongkongan karena daya hisap bayi yang rendah,
maka lubang dibuat sedikit lebih besar.
Operasi, dengan beberapa tahap, sebagai berikut :
Penjelasan kepada orangtuanya :
1. Umur 3 bulan (rule over ten) : Operasi bibir dan alanasi(hidung),
evaluasi telinga.
2. Umur 10-12 bulan : Qperasi palato/celah langit-langit, evaluasi
pendengaran dan telinga.
3. Umur 1-4 tahun : Evaluasi bicara, speech theraphist setelah 3
bulan pasca operasi
4. Umur 4 tahun : Dipertimbangkan repalatoraphy atau/dan
Pharyngoplasty
5. Umur 6 tahun : Evaluasi gigi dan rahang, evaluasi pendengaran.
6. Umur 9-10 tahun : Alveolar bone graft (penambahan tulang pada
celah gusi)
7. Umur 12-13 tahun : Final touch, perbaikan-perbaikan bila
diperlukan.
8. Umur 17 tahun : Evaluasi tulang-tulang muka, bila diperlukan
advancementosteotomy LeFORTI
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

I. ATRESIA ESOFAGUS
A. Pengkajian

1. Lakukan pengkajian bayi baru lahir


2. Observasi manifestasi atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus (FTE)
3. Bantu dengan prosedur diagnostik, misalnya radiografi dada dan abdomen;
kateter dengan perlahan dimasukkan kedalam esofagus yang membentur
tahanan bila lumen tersebut tersumbat.
4. Kaji tanda-tanda distres pernapasan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan lubang abnormal
antara esophagus dan trakea atau obstruksi untuk menelan sekresi.
2. Kerusakan (kesulitan) menelan berhubungan dengan obstruksi mekanis.
3. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pembedahan
4. Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena
pembedahan.
5. perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak dengan defek fisik.
C. Intervensi dan Rasional
1. Dx. 1
Tujuan: Pasien mempertahankan jalan napas yang paten tanpa aspirasi
Kriteria Hasil :

 Jalan napas tetap paten


 Bayi tidak teraspirasi sekresi
 Pernapasan tetap pada batas normal

No Intervensi Rasional
1. Lakukan pengisapan sesuai dengan Untuk menghilangkan penumpukan
kebutuhan. sekresi di orofaring.
2. Beri posis terlentang dengan kepala Untuk menurunkan tekanan pada rongga
ditempatkan pada sandaran yang torakal dan meminimalkan refluks sekresi
ditinggikan (sedikitnya 300). lambung ke esophagus distal dan ke
dalam trakea dan bronki.
3. Beri oksigen jika bayi menjadi sianotik. Untuk membantu menghilangkan distress
pernapasan.
4. Jangan gunakan tekanan positif (misalnya; Karena dapat memasukkan udara ke
kantong resusitasi/ masker). dalam lambung dan usus, yang
menimbulkan tekana tambahan pada
rongga torakal.
5. Puasakan Untuk mencegah aspirasi.
6. Pertahankan penghisapan segmen Untuk menjaga agar kantong buntu
esophagus secara intermitten atau tersebut tetap kosong.
kontinue, bila di pesankan pada masa pra
operasi.
7. Tinggalkan selang gastrostomi, bila ada, Agar udara dapat keluar, meminimalkan
terbuka untuk drainase gravitasi. resiko regurgitasi isi lambung dengan
trakea.

2. Dx. 2
Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat.
Kriteria Hasil :
Bayi mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan penambahan berat badan
yang memuaskan.

No Intervensi Rasional
1. Beri makan melalui gastrostomi Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian
sesuai dengan ketentuan makanan oral memungkinkan.
2. Lanjutkan pemberian makan oral Untuk memenuhi kebutuhan akan nutrisi bayi
sesuai ketentuan, sesuai kondisi
bayi dan perbaikan pembedahan.
3. Observasi dengan ketat. Untuk memastikan bayi mampu menelan
tanpa tersedak.
4. Pntau masukan keluaran dan Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.
berat badan.
5. Ajarkan keluarga tentang teknik Untuk mempersiapkan diri terhadap
pemberian makan yang tepat. pemulangan.
3. Dx. 3 :
Tujuan : Pasien tidak mengalami trauma pada sisi pembedahan.
Kriteria Hasil :
Anak tidak menunjukkan bukti-bukti cidera pada sisi pembedahan.

No Intervensi Rasional
1. Hisap hanya dengan kateter yang diukur Untuk mencegah trauma pada mukosa.
sebelumnya sampai ke jarak yang tidak
mencapai sisi pembedahan.

4. Dx. 4.
Tujuan : Pasien mengalami rasa aman tanda ketidaknyamanan.

Kriteria Hasil :

 Bayi istirahat dengan tenang, sadar bila terjaga, dan melakukan


penghisapan  non- nutrisi.
 Mulut tetap bersih dan lembab.
 Nyeri yang dialamianak minimal atau tidak ada.

No Intervensi Rasional
1. Beri stimulasi taktil (mis; membelai, Untuk memudahkan perkembangan optimal
mengayun). dan meningkatkan kenyamanan.
2. Beri perawatan mulut. Untuk menjaga agar mulut tetap bersih dan
membran mukosa lembab.
3. Beri analgesik sesuai ketentuan
4. Dorong orangtua untuk berpastisipasi Untuk memberikan rasa nyaman dan aman.
dalam perawatan anak.

5. Dx. 5.
Tujuan : pasien (keluarga) disiapkan untuk perawatan anak di rumah.

Kriteria hasil : Keluarga menunjukkan kemampuan untuk memberiakn


perawatan pada bayi, memahami tanda-tanda komplikasi, dan tindakan yang
tepat.

No. Intervensi Rasional


1. Ajarkan pada keluarga tentang  Untuk mencegah aspirasi
keterampilan dan observasi kebutuhan
perawat di rumah:  Untuk mencegah keterlam-
batan tindakan
 Beri posisi  Agar praktisi dapat diberitahu
 Tanda-tanda distress pernapasan
 Tanda-tanda komplikasi; menolak  Untuk menjamin perawatan
makan, disfagia, peningkatan yang
batuk.
 Kebutuhan alat dan bahan yang
diperlukan
 Perawatan gastrostomi bila bayi
telah dioperasi, termasuk teknik-
teknik seperti pengisapan,
pemberian makan, perawatan sisi
operasidan atau ostomi, dan
penggantian balutan.

II. ATRESIA ANI


A. Pengkajian
1. Pola Nutrisi dan Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umumnya terjadi pada pasien
dengan atresia ani post tutup kolostomi. Keinginan pasien untuk makan
mungkin terganggu oleh mual dan muntah dampak dari anastesi.
2. Pola Eliminasi
Pasien yang menderita atresia ani akan mengalami kesulitan dalam defekasi.
3. Pola Tidur dan Istirahat
Akan terganggu karena luka insisi

B. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani biasanya
anus tampak merah, usus melebar, termometer yang dimasukkan melalui anus
tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengar hiperperistaltik, tanpa
mekonium dalam waktu 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urine dan vagina.

C. Diagnosa Keperawatan
1. Pre Operasi
a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan
anus.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.
c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit dan prosedur perawatan.
2. Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan
perawatan dirumah.

D. Intervensi dan Rasional


1. Pre Operasi
a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan
anus.
Tujuan : Terjadi peningkatan fungsi usus
KH :
 Pasien menunjukkan konsistensi tinja lembek
 Terbentuknya tinja
 Tidak ada nyeri saat defekasi
 Tidak terjadi perdarahan
Intervensi :
 Lakukan dilatasi anal sesuai program.Rasional : Meningkatkan
kenyamanan pada anak.
 Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam. Rasional : Menyakinkan
berfungsinya usus.
 Ukur lingkar abdomen klien. Rasional : Membantu mendeteksi
terjadinya distensi.
 Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus
normal. Rasional : Memulihkan dan mengembalikan fungsi
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah
Tujuan : Volume cairan terpenuhi
Kriteria Hasil :
 Turgor kulit baik dan bibir tidak kering
 TTV dalam batas normal
Intervensi :
 Awasi masukan dan keluaran cairan. Rasional : Untuk memberikan
informasi tentang keseimbangan cairan.
 Kaji tanda - tanda vital seperti TD, frekuensi jantung, dan nadi.
Rasional :Kekurangan cairan meningkatkan frekuensi jantung, TD dan
nadi turun.
 Observasi tanda tanda perdarahan yang terjadi post operasi. Rasional
: Penurunan volume menyebabkan kekeringan pada jaringan.
 Kolaborasi dalam pemberian cairan elektrolit sesuai indikasi. Rasional
:Untuk pemenuhan cairan yang hilang

c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


penyakit dan prosedur perawat
Tujuan : Rasa cemas dapat hilang atau berkurang
Kriteria Hasil :
 Ansietas berkurang
 Klien tidak gelisah

Intervensi :
 Kaji status mental dan tingkat ansietas dari klien dan keluarga.
Rasional : Derajat ansietas akan dipengaruhi bagaimana informasi
tersebut diterima.
 Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum dilakukan
operasi. Rasional : Dapat meringankan ansietas terutama ketika
tindakan operasi tersebut dilakukan.
 Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan
takutnya. Rasional : Mengungkapkan rasa takut secara terbuka
dimana rasa takut dapat ditujukan.
 Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman. Rasional : Lingkungan
yang nyaman dapat mengurangi ansietas.
2. Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
Tujuan : Nyeri dapat berkurang dan skala nyeri berkurang
Kriteria Hasil :
 Klien mengatakan
 nyeri berkurangSkala nyeri 0-1
 Ekspresi wajah terlihat rileks
Intervensi :
 Kaji karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, dan kualitas nyeri.
Rasional : Bantu klien untuk menilai nyeri dan sebagai temuan dalam
pengkajian.
 Ajarkan klien manajemen nyeri dengan teknik relaksasi dan distraksi.
Rasional : Membantu dalam menurukan atau mengurangi persepsi
atau respon nyeri.
 Ciptakan lingkungan yang nyaman dan anjurkan klien untuk istirahat.
Rasional : Memberikan kenyamanan untuk klien agar dapat istirahat.
 Kolaborasi untuk pemberian analgetik sesuai advis dokter.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
Tujuan : Asupan nutrisi dapat terpenuhi dan menuunjukkan perbaikan usus.
Kriteria Hasil :
 Tidak terjadi penurunan BB.
 Klien tidak mual dan muntah.
Intervensi :
 Kaji kemampuan klien untuk menelan dan menguyah makanan.
Rasional : Menentukan pemilihan jenis makanan sehingga mencegah
terjadinya aspirasi.
 Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Mengevaluasi keadekuatan rencana pemenuhan nutrisi.
 Jaga keamanan saat memberikan makan klien seperti kepala sedikit
fleksi saat menelan.
Rasional : Menurunkan resiko terjadinya aspirasi dan mengurangi
rasa nyeri pada saat menelan.
 Berikan makanan lembut dalam porsi sedikit tapi sering.
Rasioanl : Meningkatkan pemasukan dan menurunkan distress
gaster.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan
Tujuan : Tidak ditemukannya tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil :
 Tidak ada tanda-tanda infeksi
 Pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan peningkatan leukosit.
 Luka post operasi bersih
Interversi :
 Pantau suhu tubuh klien (peningkatan suhu).
Rasional : Demam dapat terjadi karena infeksi.
 Ajarkan keluarga teknik mencuci tangan dengan benar dan
menggunakan sabun anti mikroba.
Rasional : Faktor ini paling sederhana tetapi paling penting untuk
mencegah infeksi di rumah sakit.
 Pertahankan teknik aseptik pada perawatan luka.
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
 Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi luka.
 Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
Rasional : Peningkatan leukosit menunjukkan adanya infeksi.

d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan


perawatan dirumah.
Tujuan : Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah.
Kriteria Hasil :
 Kelurga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan
untuk bayi di rumah.
 Keluarga tahu dan memahami dalam memberikan perawatan pada
klien.
Intervensi :
 Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan.
 Rasional : Agar keluarga dapat melakukannya.
 Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan
perawat.
 Rasional : Agar segera dilakukan tindakan.
 Ajarkan keluarga cara perawatan luka yang tepat.
 Rasional : Dapat memberikan pengetahuan keluarga
 Latih keluarga untuk kebiasaan defekasi.
 Rasional : untuk melatih pasien.
 Ajarkan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).
 Rasional : Membantu klien memperlancar defekasi.

III. LABIOPALATOSCHIZIZ
A. Pengkajian
Terdiri atas uraian mengenai lokasi serta luas cacat atau defek tersebut, dan
keberadaan palatoschiziz diperkirakan dengan melihat langsung pada saat bayi
menangis. Palatoschiziz tanpa labioschiziz dapat ditemukan dengan cara palpasi
memakai jari tangan pada saat pemeriksaan bayi baru lahir.
1. Riwayat Kesehatan
Riwayat kehamilan, riwayat keturunan, labiotalatos kisis dari keluarga,
berat/panjang bayi saat lahir, pola pertumbuhan, pertambahan/penurunan
berat badan, riwayat otitis media dan infeksi saluran pernafasan atas.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi kecacatan pada saat lahir untuk mengidentifikasi karakteristik
sumbing.
b. Kaji asupan cairan dan nutrisi bayi
c. Kaji kemampuan hisap, menelan, bernafas.
d. Kaji tanda-tanda infeksi
e. Palpasi dengan menggunakan jari
f. Kaji tingkat nyeri pada bayi
3. Pengkajian Keluarga
a. Observasi infeksi bayi dan keluarga
b. Kaji harga diri / mekanisme kuping dari anak/orangtua
c. Kaji reaksi orangtua terhadap operasi yang akan dilakukan
d. Kaji kesiapan orangtua terhadap pemulangan dan kesanggupan
mengatur perawatan di rumah.
e. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
B. Diagnosa Keperawatan
1. Diagnosa pra bedah
a. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan cacat fisik.
b. Resiko perubahan perilaku orang tua berhubungan dengan cacat fisik
pada bayi.
2. Diagnosa pasca bedah
a. Resiko trauma pada tempat pembedahan berhubungan dengan prosedur
bedah, gangguan fungsi menelan
b. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kesulitan makan sesudah prosedur pembedahan
c. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan
d. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan cacat fisik pada anak,
perawatan di RS.
C. Intervensi dan Raisonal
1. Perawatan pra bedah
a. Dx. 1.
Tujuan: pasien mengkonsumsi makanan dengan gizi yang adekuat.
Kriteria hasil :
 Bayi mengkonsumsi nutrien dengan jumlah yang memadai
 Bayi memperlihatkan berat badan yang tepat.
Intervensi dan rasional:
 Berikan diet yang sesuai usia.
 Bantu ibu dalam menyusui bayinya. Rasional: bayi dengan cacat
lahir dapat disusui sendiri.
 Modifikasi teknik pemberian susu sesuai keadaan defek.
Rasional: karena kemampuan bayi untuk menghisap susu
berkurang.
 Peluk anak dalam posisi tegak. Rasional: meminimalkan resiko
aspirasi.
 Pantau berat badan bayi. Rasional: untuk menilai kecukupan
asupan gizinya.
b. Dx. 2.
Tujuan: pasien (keluarga) memperlihatkan penerimaan terhadap bayi.
Kriteria hasil: keluarga memperlihatkan sikap menerima.
Interensi dan rasional:
 Berikan kesempatan pada keluarga untuk mengungkapkan
perasaan mereka. Rasional: untuk mendorong kemampuan
keluarga mengatasi masalah (koping).
 Tunjukan lewat perilaku bahwa anak merupakan insan yang
berarga. Rasional: untuk mendorong penerimaan bayi cacat fisik.
 Jelaskan hasil operasi untuk mengoreksi cacat.
2. Perawatan Pasca Bedah
a. Dx. 1.
Tujuan:
 Pasien tidak mengalami trauma pada tempat pembedahan.
 Pasien memperlihatkan bukti tidak adanya aspirasi.
Kriteria hasil :
 Luka operasi tidak terganggu / rusak.
 Anak dapat menangani sekret yang dikeluarkan dan susu formula
tanpa aspirasi.
Intervensi dan rasional :
 Atur posisi bayi (berbaring telentang atau miring atau duduk).
Rasional: untuk mencegah trauma pada tempat pembedahan.
 Pertahankan alat pelindung bibir. Rasional: untuk melindungi
jahitan luka.
 Gunakan teknik pemberian susu yang non traumatik. Rasional:
meminimalkan resiko trauma.
 Lakukan imobilisasi siku bayi. Rasional: mencegah bayi
menyentuh luka operasi.
b. Dx. 2 :
Tujuan : Pasien mengkonsumsi makanan dengan gizi yang adekuat
Kriteria hasil :
 Bayi dapat mengkonsumsi nutrien dengan jumlah yang adekuat.
Keluarga memeagakan kemampuan untuk melakukan perawatan
pasca bedah.
 Bayi memperlihatkan kenaikan berat badan yang tepat.
Intervensi dan Rasional :
 Pantau pemberian cairan intravena.
 Berikan diet yang sesuai dengan usia dan sesuai program untuk
periode pasca bedah.
 Libatkan keluarga dalam menentukan metode pemberian susu yang
terbaik.
 Modifikasi teknik pemberian susu. Rasional : Menyesuaikan dengan
cacat dan koreksi pembedahan.
 Berikan susu dalam posisi duduk. Rasional : Meminimalkan resiko
aspirasi.
 Ajarkan teknik pemberian susu dan pengisapan kepada keluarga.
Rasional : Mengoptimalkan perawatan dirumah.
c. Dx. 3 :
Tujuan : Pasien mengalami tingkat kenyamanan yang optimal.
Kriteria Hasil : Bayi merasa nyaman dan beristirahat dengan tenang.
Intervensi dan Rasional :
 Kaji perilaku dan tanda vital. Rasional : Menemukan bukti adanya rasa
nyeri
 Peluk bayi dan laksanakan tindakan yang memberikan stimulasi taktil
serta intervensi non farmakologi. Rasional : Memberikan rasa nyaman
yang optimal.
 Libatkan orang tua dalam perawatan bayinya. Rasional :Memberikan
rasa nyaman dan aman.
d. Dx. 4 :
Tujuan : Pasien( keluarga) menerima dukungan yang adekuat
Intervensi dan Rasional :
 Rujuk keluarga ke lembaga dan kelompok pendukung yang tepat
 Lihat rencana asuhan keperawatan
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penyakit atresia esofagus, atresia ani dan labiopalatoschiziz merupakan penyakit
kongenital yang dibawa sejak lahir. Beberapa kelainan tersebut menyerang sistem
gastrointestinal pada anak.
Atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang
untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat
kehamilan.
Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital yang mengakibatkan gangguan
kontinuitas esophagus dengan atau tanpa hubungan persisten dengan trakea. Terlihat
keadaan pada bagian proksimal dan distal esophagus tidak berhubungan
Labio palato schisis merupakan kongenital anamali yang berupa adanya kelainan
bentuk pada stuktur wajah. Kelainan sumbing selain mengenai bibir juga bisa mengenai
langit-langit. Berbeda pada kelainan bibir yang terlihat secara estetik, kelainan sumbing
langit-langit lebih berefek kepada fungsi mulut seperti menelan, makan,minum dan
bicara. Keadaan ini menyebabkan intake minum / makanan yang masuk menjadi kurang
dan jelas berefek terhadap pertumbuhan dan perkembangannya, selanjutnya mudah
terkena infeksi saluran nafas atas ksrena terbukanya palatum tidak ada batas antara
hidung dan mulut, bahkan infeksi bisa menyebar sampai ke telinga.

B. SARAN

1. Bagi perawat
Agar dapat memberi ASKEP pada klien atresia esofagus, atresia ani dan labiopalatoschisis
melalui pendekatan proses keperawatan semaksimal mungkin.

2. Bagi masyarakat
Agar selalu memperhatikan kesehatan diri dan lingkungan apabila di temukan tanda dan
gejala penyakit atresia esofagus, atresia ani dan labiopalatischisis, maka segera
memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat sehingga dapat di obati segera.
DAFTAR PUSTAKA

 Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Edisike-3. Jakarta EGC.
 Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
 Suriadi dan Yuliani, Rita. (2001). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I. Pt
FAJAR INTERPRATAMA
 Wong, Donna L. (2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri
Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai