Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pendekatan Konseling Spiritual

1. Pengertian Konseling Spiritual

Munculnya istilah spiritual konseling tidaklah terjadi begitu

saja, melainkan melalui suatu evolusi yang cukup panjang dalam

mendiskusikannya, tetapi yang perlu diketahui bahwa konsep ini

mulai menjadi trend dalam karya-karya ilmiah sejak tahun 90’ an.

Terbukti dengan banyaknya hasil-hasil penulisan yang berujung pada

konsep verifikasi dimensi spiritual dalam perkembangan individu. Dr

Graham Wilson menyatakan bahwa;

Spiritual counseling : ... involves the use of interpersonal


skills, like those of counseling, to help on individual
(generally) to explore their own responses to physical,
emotional and spiritual issues that are affecting them, and to
redefine those responses that are no longer helpful to them by
reference to their higher self.

Dengan kata lain bahwa konseling spiritual adalah

pengembangan keterampilan interpersonal konselor untuk membantu

individu dalam memngungkap berbagai respon diri baik secara fisik,

emosi, dan spiritual secara menyeluruh agar konseli mampu

menemukan dirinya kembali (redefine) melalui berbagai respon

tersebut ke arah diri yang lebih luhur.

Spiritualitas (spirituality) berasal dari bahasa latin spiritus

yang berarti breat of life (nafas hidup). Spirit juga bisa diartikan

sebagai yang menghidupkan kekuatan hidup, yang dipresentasikan

10
11

melalui berbagai citra, seperti nafas, agin, kekuatan, dan keberanian.

Terhadap banyak pengertian tentang spiritualitas, diantaranya sebagai

berikut :

a. Ekspresi kegiatan spirit manusia

b. Proses personal dan sosial yang menunjuk pada gagasan, konsep,

sikap, dan tingkah laku yang berasal dari dalam individu sendiri.

c. kesadaran transendental yang ditandai dengan nilai-nilai tertentu,

baik yang terkait dengan diri, orang lain, alam, kehiduoan, dan

segala sesuatu yang dipandang menjadi tujuan akhir.

d. pengalaman intra, inter dan pengalaman transpersonal yang

dibentuk dan diarahkan oleh pengalaman individu dan

masyarakat, dimana individu tersebut hidup.

e. aktivitas manusia yang mencoba untuk mengekspresikan

penglaman-pengalamannya yang mendalam dan bermakna bagi

dirinya.

f. kapasitas dan kecenderungan yang bersifat unik dan bawaan dari

semua orang.

g. kecerdasan ketuhanan (divine intelegensi) yang membangun

keharmonisan dengan Tuhan dan alam. (Yusuf, 2009:6)

Piomet pengembangan dalam konsep spiritual yang disebutnya

spiritualitas trasendence, yaitu kemampuan individu untuk berada di

luar pemahaman dirinya akan waktu dan tempat, serta untuk melihat

kehidupan dari perspektif yang lebih luas dan objektif.


12

Dalam terminologi islam, konsep spiritualitas berhubungan

langsung dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi, ayat-ayat Al-Qur’an

dan perilaku nabi Muhammad mengandung praktik-praktik serta

makna-makna spiritual, Al-Qur’an maupun sunnah nabi mengajarkan

beragam cara meraih kehidupan spiritual tinggi.

Dalam konsep psikologi islami ada istilah ar ruh sebagai

dimensi spiritual psikis manusia. Dimensi yang di maksudkan adalah

sisi psikis yang memiliki kadar dan nilai tertentu dalam system

“organisasi jiwa manusia”. Dimensi spiritual yang dimaksudkan

adalah sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat ilahiyah (ketuhanan).

Sedangkan dalam konteks bimbingan dan konseling, konseling

spiritual diartikan sebagai “proses pemberian bantuan kepada individu

agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan fitrahnya sebagai

makhluk beragama (homo religious), berperilaku sesuai dengan nilai-

nilai agama (berakhlak mulia), dan mengatasi masalah-masalah

kehidupan melalui pemahaman, keyakinan, dan praktik-praktik ibadah

ritual agama yang dianutnya” (Yusuf,2009:36). Konseling spritual

berbeda dengan konseling sekuler. Dalam konseling spiritual terdapat

intervensi Tuhan dalam kehidupan manusia untuk menolongnya agar

dapat mengatasi masalah dan melakukan perubahan ke arah yang

lebih baik.

Surya (1988:38), menyebutkan konseling merupakan bantuan

yang diberikan kepada konseli supaya ia memperoleh konsep diri dan


13

kepercayaan diri untuk dimanfaatkan memperbaiki perilakunya pada

masa mendatang. Dengan konseling ia akan memperoleh konsep yang

sewajarnya tentang dirinya sendiri, orang lain, pendapat orang lain

tentang dirinya, tujuan yang ingin diraih dan kepercayaan.

2. Tujuan Konseling Spiritual

Tujuan konseling spiritual pertama kali dikemukakan oleh

David Powell dalam Faiver (2001:8) yang mengatakan bahwa dimensi

spiritual dalam konseling membutuhkan dedikasi seorang konselor

dalam kepedulian peningkatan kapasitas diri akan tujuan dan misi

dalam konseling. Pernyataan ini sebenarnya bukan hanya membahas

bagaimana tujuan konseling spiritual semata, tetapi pada kebutuhan

keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang konselor. “The

spiritual dimensions counselling require a conselor’s dedication to

quality care with a sense of purpose and mission”. Dengan mengacu

pada acuan tujuan dan misi yang sebenarnya, maka seorang konselor

dapat bertindak secara menyeluruh (holistic) dalam mengintervensi

konseli.

a. Tujuan Umum

Tujuan umum konseling spiritual atau keagamaan adalah

memfasilitasi dan meningkatkan kemampuan klien untuk

mengembangkan kesadaran beragama atau spiritualitasnya dan

masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga dapat mencapai

kehidupan yang bermakna. Kesadaran beragama atau spiritualitas


14

klien yang baik diyakini akan berpengaruh secara positif dan

fungsional terhadap aspek-aspek kehidupan pribadi lainnya

(Yusuf, 2009:38).

b. Tujuan Khusus

Secara khusus, tujuan konseling spiritual adalah untuk

membantu konseli agar lebih efektif dalam hal-hal berikut:

1) Pengalaman dan pemantapan identitas spiritual untuk

keyakinannya kepada Tuhan.

2) memperoleh bimbingan dan kekuatan dari Tuhan dalam

mengatasi masalah dan mengembangkan masalah.

3) Memperoleh dukungan sosial dan emosional, sehingga

memiliki kekuatan untuk mengatasi masalah.

4) Menguji dan memperbaiki keyakinan dan praktik-praktik

spiritualnya yang tidak berfungsi dengan baik

(disfungsional).

5) Menerima tanggung jawab dan memperbaiki kekeliruan

sikap dan perilakunya yang mementingkan diri sendiri

(selfish).

6) Mengembangkan dirinya dalam kebenaran dan komitmen

terhadap keyakinan, nilai-nilai keyakinan atau

spiritualitasnya.
15

7) Mengaktualisasikan nilai-nilai keyakinan atau spiritualitas

keagamaan dalam membangun kehidupan beragama dan

sejahtera. (Yusuf,2009:40)

Kegiatan bimbingan dan konseling merupakan jenis

keterampilan yang pada intinya mengajak, membimbing,

dan mengarahkan klien kepada fitrah, maka siapa saja yang

akan mendalami profesi ini, dia harus memiliki keimanan,

kemakrifatan, dan ketauhidan yang berkualitas. Karena

sudah sangat jelas, bahwa profesi konseling adalah usaha

sadar untuk memahami kondisi klien baik secara jasmani

maupun secara rohani yang kemudian mengantarkan

konseli untuk menemukan solusi.

3. Intervensi Konseling Spiritual

Secara umum terdapat beberapa intervensi spiritual yang

digunakan konselor dalam membantu konseli yaitu do’a konselor

(counselor prayer), pemberian informasi tentang konsep-konsep

spiritual (teaching spiritual concepst), merujuk pada kitap suci

(refence to scripture), do’a bersama konselor dan klien (counselor and

klien prayer), dorongan untuk memanfaatkan (encouragement of

forgivenss), penggunaan komunitas atau kelompok beragama (use of

religious community), do’a klien (client prayer), bibliotherapy

keagamaan (religious bibliotherapy) (Yusuf, 2009:46).

a) Intervensi Keagamaan dengan Spiritual


16

Intervensi keagamaan dengan spritualitas diartikan sebagai

pemberian layanan yang lebih terstruktur, behavioral,

denominasional, eksternal, kognitif, realistic, dan public. Contoh:

penafsiran atau pengajian kitap suci, mendorong klien untuk

mendatangi rumah ibadah, mendorong klien untuk melakukan

ritual keagamaan, dan membaca naskah keagamaan.

b) Intervensi dalam Pertemuan Konseling dengan Pertemuan Diluar

Konseling

Intervensi dalam pertemuan konseling misalnya berdo’a

bersama, memberikan informasi tentang konsep-konsep spiritual

keagamaan, mengkonfrontasi perbedaan antar keyakinan

beragama klien dengan perbuatannya, dan lain-lain.

Sedangkan intervensi di luar pertemuan konseling adalah

berupa kegiatan-kegiatan pekerjaan rumah bagi klien. Contohnya

dorongan bagi klien untuk melakukan ibadah setiap hari,

membaca dan mempelajari kandungan kitab suci, dan berdiskusi

dengan para ahli agama tentang persoalan-persoalan kehidupan

dalam perspektif agama (Yusuf,2009:51).

c) Intervensi Domisional dengan Ekumenik

Intervensi dominasional diartikan sebagai pemberian

layanan yang terkait dengan aspek teologis, atau praktik-praktik

keagamaan yang sesuai dengan agama yang dianut oleh klien,

bersifat doktrin. Sedangkan intervensi ekuminik adalah pemberian


17

layanan yang tidak bersifat doktrin dan tidak terkait dengan

teologis atau praktik-praktik keagamaan yang dianut klien, tetapi

bersifat general atau universal (Yusuf, 2009:51).

d) Intervensi Transenden Dengan Nontransenden

Intervensi transender adalah pemberian layanan yang

berlandaskan kepada keyakinan akan pengaruh nilai-nilai

spiritualitas keagamaan atau keyakinan kepada Tuhan terhadap

perubahan sikap dan perilaku klien. Adapun intervensi

nontransenden adalah pemberian layanan yang kognitif. Seperti:

diskusi akan pemahaman klien akan kitab suci, konfrontasi

diskrepansi antara keyakinan dengan perbuatan, dan menelaah

kangdungan kitab suci (Yusuf, 2009:52).

e) Intervensi Afektif, Behavioral, Kognitif, dan Interpersonal

1) Intervensi afektif adalah pemberian layanan yang dirancang

untuk membantu klien dalam mengembangkan, atau

mengubah emosi spritualitas keagamaannya.

2) Intervensi behavioral merupakan pemberian layanan yang

dirancang untuk membantu klien dalam mengubah,

mengembangkan, atau memperbaiki gaya hidup atau praktik-

praktik keagamaan klien.

3) Intervensi kognitif adalah pemberian layanan yang dirancang

untuk meningkatkan, memperbaiki, atau mengubah

pemahaman atau keyakinan klien (Yusuf, 2009:52).


18

4. Landasan Teologis Konseling Spiritual

Konseling spiritual berlandaskan kepada padangan tentang

Tuhan, hakekat manusia, tujuan hidup, spiritualitas, moralitas, dan

hidup setelah mati.

a. Pandangan tentang Tuhan

Muslim meyakini Allah sebagai Tuhan yang menciptakan

manusia dan alam semesta, Allah Maha Kasih Sayang, Kuasa,

Maha Mengetahui, Maha Mendengar, dan Kekal, Allah telah

menurunkan Wahyu-Nya kepada nabi Muhammad, yang berupa

kitab suci Al-qur’an (Ika Sari 2011:12).

b. pandangan tentang hakikat manusia

Di dalam memahami hakekat manusia menurut perspektif

islam, haruslah dilihat dari sumber utama ajaran yaitu Al-Qur’an.

Dalam Al-Qur’an diuraikan bagaimana Allah telah menciptakan

manusia dari materi dan roh, melewati beberapa fase penciptaan

sebagaimana Allah berfirman yang artinya :

(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat,


“sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah,
kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan aku
tiupkan roh (ciptaan) Ku kepadanya; maka tunduklah kamu
dengan bersujud kepadanya.” (QS shad 38 : 71-72.

Allah juga berfirman :

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para


malaikat, “sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia
dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk, maka
apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah
meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud”. (QS Al-Hijr 15 : 28-29).
19

c. pandangan tentang tujuan hidup

Tujuan hidup seorang muslim adalah memperoleh ridho Allah,

untuk memperolehnya seorang muslim harus melakukan tugas dan

kewajibannya hidup di dunia ini, yaitu beribadah kepada Allah,

melalui Habluminallah dan Hablumminannas.

d. pandangan tentang spiritual

Ketaatan terhadap hukum-hukum Allah yang tertulis dalam

kitap suci Al-Qur’an telah mengembangkan spiritualitas setiap

muslim. Spiritualitas yang dimiliki seorang muslim dapat

mencegah dirinya dari perbuatan tercela seperti arogensi, tamak,

dan tidak jujur, nilai spiritualitas seorang muslim diperoleh melalui

pengalaman ibadah mahdlah, yaitu berkomunikasi langsung dengan

Allah, seperti sholat, berdo’a atau berdzikir, serta melafalkan kaliah

toyyibah (Sari 2011:20).

e. pandangan tentang moralitas

Allah telah menurunkan hukum-hukum dalam Al-Qur’an.

Orang yang baik adalah yang menaati hukum-hukum, dan

beribadah kepadaNya. Ada lima klasifikasi tindakan moral, yaitu

wajib, sunnah makruh, haram, dan mubah. Contoh tindakan moral

yang buruk atau diharamkan adalah minum-minuman keras,

berjudi, dan berzina. Sementara contoh tindakan moral yang baik

atau yang diwajibkan adalah seperti sholat, puasa, dan zakat.


20

f. pandangan tentang hari terakhir

Salah satu rukun iman dan islam adalah beriman kepada hari

akhir. Hari akhir adalah hari pengadilan, pertanggungjawaban

setiap perbuatan di dunia. Orang yang beramal baik akan dibalas

dengan syurga dan yang beramal buruk akan dibalas dengan

neraka.

Ketika nilai-nilai spritual ini dimunculkan maka suasana

kebahagian dan ketenangan itu akan muncul dengan sendirinya. Hal

ini terjadi karena memang dalam diri setiap manusia itu terdapat

fitrah, fitrah untuk selalu mengakui akan keberadaan Tuhan. Kondisi

ini muncul karena berlandaskan pada nilai-nilai spritual. Landasan

nilai-nilai religi yang kuat pada dasarnya merupakan suasana yang

kondusif bagi terciptanya kehidupan. Suasana seperti ini akan

menumbuhkan kualitas manusia agamis yang memiliki ketahanan dan

keberdayaan yang lebih baik.

Pengintegrasian nilai-nilai agama dan konseling merupakan

upaya yang sangat berarti bagi pengembangan profesi konseling yang

lebih komprehensif, yang dimaksud komprehensif di sini adalah

bahwa intervensi konseling itu tidak hanya sebatas mengembangkan

atau menyelesaikan masalah pola pikir, emosi, sikap, atau tingkah

laku klien, tetapi meliputi perkembangan kepribadian secara utuh

sebagai makhluk yang berdimensi biospikososiospiritual (Yusuf,

2005: 5)
21

5. Peran Guru Bimbingan Dan Konseling Dalam Konseling Spiritual

Agar pemberian layanan konseling berlangsung secara efektif,

maka konselor atau pembimbing di tuntut untuk menampilkan

perannya sebagai berikut :

a) Mengadopsi sikap ekumenik, yaitu sikap dan pendekatan

konseling yang sesuai dengan latar belakang agama dan afiliasi

klien.

b) Menggunakan “denominatinal therapeutic”, yaitu pendekatan

konseling disesuaikan dengan keyakinan klien sebagai anggota

dari kelompok agama tertentu. Hal ini diperlukan agar konselor

dapat melakukan sharing dengan klien, sehingga diperoleh

pemahaman yang mendalam.

c) Membangun hubungan terapeutik melaui beberapa kondisi yang

membantu, seperti menciptakan rapport, kepercayaan (terust),

empati, kehangatan, respect, penerimaan, dan kredibilitas.

Kondisi ini dipandang sebagai faktor yang memberikan pengaruh

terhsadap keberhasilan konseling yang positif (Yusuf, 2009:41).

B. Bullying

1. pengertian bullying

istilah bullying sulit dicari padanannya dalam bahasa

Indonesia. Masyarakat Indonesia sendiri belim begitu akrab dengan

istilah bullying. Namun istilah bullying terkadang digunakan untuk

bentuk-bentuk perilaku senioritas yang dilakukan oleh siswa senior


22

kepada juniornya seperti menghina, memukul, mengumpat, dan lain-

lain. Menurut Person (2009: 9) merumuskan perilaku bullying sebagai

“perilaku agresif yang muncul dari suatu maksud yang disengaja

untuk mengakibatkan tekanan kepada orang lain secara fisik dan

psikologis”. Sedangkan Retno Astuti (2008: 3) mengemukakan bahwa

“Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti, hasrat ini

diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi

ini dilakukan secara langsung oleh seorang atau kelompok yang lebih

kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang-ulang, dan

dilakukan dengan perasaan senang”.

Selain itu, terdapat beragam pengertian bullying yang

dikemukakan para ahli, di antaranya adalah bullying yang

dikemukakan Retno Astuti (2008: 3) yang menyatakan bahwa

bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat untuk

diperlihatkan kedalam aksi menyebabkan seseorang menderita. Aksi

ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang

lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang-ulang dan

dilakukan dengan perasaan senang.

Hal senada juga diungkapkan oleh Sejiwa Amini (2008: 2)

yang menyatakan bahwa bullying adalah sebuah situasi dimana

terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan

seseorang atau sekelompok. Pihak yang di sini tidak hanya berarti

kuat dalam ukuran fisik, tapi bisa juga kuat secra mental. Sementara
23

menurut Priyatna (2010: 2) bullying adalah tindakan yang disengaja

oleh si pelaku pada korbannya yang bukan sebuah kelalaian atau

tindakan itu terjadi berulang-ulang.

Selanjutnya bullying adalah tindakan intimidasi yang

dilakukan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah

(Coloroso, 2003: 12). Sementara menurut Retno Astuti (2008: 3)

bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti, hasrat ini diperlihatkan

ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita.

Dari beberapa pendapat tokoh diatas, dapat disimpulkan

bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti atau

menyalahgunakan kekuatan yang dilakukan seseorang atau

sekelompok yang lebih kuat, biasanya dilakukan secara berulang-

ulang kepada pihak yang lebih lemah baik secara fisik maupun

mental.

2. Bentuk-Bentuk Bullying

Menurut Hortmann (2006: 18) beberapa bentuk bullying dapat

dijabarkan sebagai berikut:

a) Verbal harassment is more common among boys and girls

than is physical bullying.

b) Physical with is more common among boys.

c) Girls aften use more subtte and indirect ways of harassment

such as slandering, spreading of mumors, and manipulation of

friendship relations.
24

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

beberapa bentuk bullying antara lain bullying dalam bentuk verbal

biasanya ditujukan kepada anak laki-laki maupun perempuan dari

pada bullying bentuk fisik; bullying bentik fisik biasanya terjadi

terhadap anak laki-laki; bentuk bullying yang dilakukan siswa

perempuan tidak selalu beroreientasi secara fisik dan secara langsung

seperti memfitnah, menyebarkan isu, dan merusak persahabatan para

korban.

Person (2009: 25) mengelompokkan jenis-jenis perilaku

bullying dalam tiga kelompok, yaitu verbal atau tertulis, fisik, dan

sosial. Verbal atau tertulis meliputi perilaku mengatai, ledekan,

menakut-nakuti lewat email, dan sms yang menyakitkan. Fisik

meliputi yang termasuk, yaitu memukul, menendang, menginjak,

menyerang, mengancam dengan kekerasan dan paksaan. Sosial

meliputi perilaku yang termasuk yaitu merangkai rumor dan gosip,

mengucilkan, mempermalukan, atau mencemooh.

Selain itu Retno Astuti (2008: 22) mengelompokkan bullying

dalam dua kategori yaitu bullying fisik dan bullying non-fisik.

Bullying fisik, meliputi perilaku menggigit, menarik, memukul,

menendang, menonjok, mendorong, dan lain-lain. Sedangkan bullying

non-fisik, terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal. Verbal

contohnya pemalakan, pemerasan, mengancam, atau mengintimidasi,


25

menghasut, menyebarkan kejelekan korban, dan lain-lain. Nonverbal

terbagi menjadi langsung yang meliputi manipulasi pertemanan,

mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut,

curang dan sembunyi-sembunyi. Dan tidak langsung yang meliputi

gerakan kasar mengancam, menatap, muka mengancam, menggeram,

hentakan mengancam, atau menakuti.

Berbeda dengan Priyatna (2003: 3) bahwa beberapa bentuk

bullying yaitu:

1) Fisikal, seperti: memukul, menendang, mendorong,

merusak bendda-benda milik korban termasuk tindakan

pencurian dan lain-lain.

2) Verbal, seperti: mengolok-olok nama panggilan,

melecehkan penampilan, mengancam, menakut-nakuti,

dan lain-lain.

3) Sosial, seperti: menyebar gosip, rumor, mempermalukan

di depan umum, dikucilkan dari pergaulan, atau menjebak

seseorang sehingga diadituduh melakukan tindakan

tersebut.

4) Cyber atau elektronik, seperti: mempermalukan orang

dengan menyebar gosip di jejaring sosial internet (misal:

facebook atau friendster), menyebar foto pribadi.


26

Hal senada yang diungkapkan oleh Priyatna, menurut Sejiwa

Amini (2008: 2) bentuk bullying antara lain:

1) Bullying fisik, ini adalah jenis bullying yang kasat mata.

Siapa pun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik

antara pelaku bullying dan korban bullying. Contoh-contoh

bullying fisik antara lain: menampar, menimpuk, menginjak

kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan

barang, menghukum dengan berlari keliling lapangan,

menghukum dengan cara push up, menolak.

2) Bullying verbal, ini jenis bullying yang juga bisa tertangkap

dengan indera pendengaran kita. Contoh-contoh bullying

verbal: memaki, menghina, menjuluki, meneriaki,

mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki,

menebar gosip, memfitnah, menolak.

3) Bullying mental/psikologis, ini jenis bullying yang paling

berbahaya karena tidak tertangkap mata atau telinga.

Praktik bullying ini terjadi diam-diam dan di luar radar

pemantauan. Contoh-contohnya yaitu: memandang sinis,

memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan

umum, mendiamkan, mengucilkan, mempermalukan,

meneror lewat pesan pendek telepon genggam atau email,

memandang yang menrendahkan, memelototi, mencibir.


27

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan

bahwa bentuk-bentuk bullying yaitu:

a) Bullying fisik, ini adalah jenis bullying yang kasat mata.

Contoh-contoh bullying fisik antara lain: menampar,

menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi,

memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan

berlari keliling lapangan, menghukum dengan cara push

up, menolak.

b) Bullying Verbal, ini jenis bullying yang juga bisa

tertangkap dengan indera pendengar kita. Contoh-contoh

bullying verbal: memaki, menghina, menjuluki, meneriaki,

mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki,

menebar gosip, memfitnah, menolak.

c) Bullying mental/psikologis, ini jenis bullying yang paling

berbahaya karena tidak tertangkap mata atau telinga.

Contoh-contohnya yaitu: memandang sinis, memandang

penuh ancaman, mempermalukan di depan umum,

mendiamkan, mengucilkan, dan mempermalukan.

d) Cyber atau elektronik, seperti: mempermalukan orang

dengan menyebar gosip di jejaring sosial internet (misal:

facebook atau friendster) menyebar foto pribadi.


28

3. Faktor –Faktor Bullying

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya bullying.

Faktor-faktor tersebut bisa dari pelaku ataupun korban bullying (Retno

Astuti (2008: 4) memaparkan beberapa faktor penyebab bullying

adalah:

a) Kesenjangan Ekonomi. Mereka yang kaya biasanya

cenderung membentuk genk yang anggotanya dari kalangan

yang borju. Kelompok borju akan menindas kalangan yang

dianggap miskin.

b) Tradisi senioritas. Senior seringkali dijadikan ajang balas

dendam bagi pelaku bullying atas tindakan tidak

mengenakan yang pernah dirasakannya saat masih junior.

Selain itu, kakak kelas cenderung merasa lebih kuat dan

lebih berkuasa di sekolah daripada juniornya sehingga

mereka berbuat semaunya agar junior menghormatinya.

c) Keluarga yang tidak rukun. Bila dalam keluarga tidak ada

kerukunan, maka anak tidak akan merasakan kedamaian.

Pengalaman buruknya di rumah bisa dibawa ke

pergaulannya dengan teman-temannya.

d) Mencari popularitas. Pelaku bullying akan merasa senang

bila dia terkenal di antara teman-temannya. Hal itu

menandakan bahwa dia memiliki kekuasaan lebih


29

dibandingkan teman-temannya yang menjadi korban

bullying.

Menurut Sejiwa Amini (2008:14) beberapa faktor penyebab

terjadinya bullying adalah:

1) Kepuasan diri. Seorang pelaku bullying akan merasa puas

dan bangga bila bisa “burkuasa” di kalangan teman

sebayanya. Dengan kekuasaannya dia akan mendapat “lebel”

betapa kuatnya dia karena bisa melakukan bullying atas orang

lain. Dan hal iini akan membuatnya populer di kalangan

teman-temannya.

2) Kurangnya pendidikan empati terhadap orang lain. Akibat

tidak adanya rasa empati pada pelaku membuat para pelaku

bullying cenderung memiliki rasa percaya diri tinggi untuk

terus menerus menindas korbannya. Mereka seolah tidak bisa

merasakan perasaan korbannya yang dianiaya.

3) Tidak punya temen. Karena tidak punya teman dan takut

menjadi korban bullying, biasanya pelaku bullying

berinisiatif untuk menindas temannya terlebih dahulu agar

dia terkenal dan punya pengikut sehingga dia tidak akan

menjadi sasaran bullying.

4) Balas dendam. Seseorang yang pernah mengalami bullying

cenderung akan melakukan bullying juga pada orang lain


30

yang dianggap lemah. Dia mencoba mencari pelampiasan

atas penganiayaan yang menimpa dirinya.

Maraknya aksi bullying di institusi pendidikan

menggambarkan bahwa adanya penurunan moral di institusi

pendidikan. Sebenarnya tindakan bullying memiliki motif tertentu dari

pelakunya yang terkadang luput dari perhatian masyarakat. Penyebab

bullying lenih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, meski tidak

dipungkiri bahwa faktor dari dalam diri individupun ikut andil sebagai

penyebab bullying. Lingkungan tempat tinggal individu menjadi hal

yang sangat berpengaruh termasuk lingkungan keluarga. Lingkunga

dapat menyebabkan terbentuknya karakter ibdividu yang rentan

terhadap perilaku bullying. Budaya dan kebiasaan tidak baik yang

berlaku pada suatu lingkungan juga dapat menyuburkan perilaku

bullying. Retno Astuti (2008: 51) mengungkapkan bahwa penyebab

terjadinya bullying antara lain: “lingkungan sekolah yang kurang baik,

senioritas tidak pernah diselesaikan, guru memberikan contoh kurang

baik pada siswa, ketidakharmonisan di rumah, dan karakter anak”.

Retno Astuti (2008: 50) mengemukakan bahwa bullying terjadi

akibat faktor lingkungan, keluarga, sekolah, media, budaya, dan peer

group. Selain itu, Retno Astuti (2008: 51) mengungkapkan bahwa

penyebab terjadinya bullying antara lain: lingkungan sekolah yang

kurang baik, senioritas tidak pernah diselesaikan, guru memberikan


31

contoh kurang baik pada siswa, ketidakharmonisan di rumah, dan

karakter anak.

Berdasarkan pendapat Retno Astuti dan Sejiwa Amini tentang

faktor penyebab bullying bisa diambil kesimpulan bahwa faktor

penyebab tidak hanya berasal dari pelaku tetapi juga orang-orang

disekitarnya. Faktor yang berasal dari pelaku misalnya dorongan

untuk mencari popularitas dan kepuasan diri. Dengan melakukan

bullying pada orang lain, maka pelaku akan terkenal dan ditakuti

teman-temannya. Hali ini menimbulkan kepuasan tersendiri bagi si

pelaku. Selain itu seseorang yang pernah mengalami bullying akan

cenderung melakukan hal yang sama pada orang lain. Hal ini

dilakukannyan sebagai wujud rasa balas dendam. Tidak hanya itu,

keadaan keluarga yang tidak rukun dan kurangnya pendidikan empati

yang diberikan orang tua kepada anaknya juga menjadi faktor

penyebab seseorang melakukan bullying.

4. Lokasi Terjadinya Bullyiing

Menurut Hartmann (2006: 19) beberapa lokasi terjadinya

bullying dapat dipaparkan sebagai berikut:

a) The majority of bullying place in school-rather than going to

or coming from school.

b) Size of school, class an location of school seem the make little

diffrence.

c) It is correlted-negatively-with teacher density.


32

Dari istilah di atas, dapat disimpulkan bahwa lokasi bullying

pada umumnya berada di lingkungan sekolah dari pada di sepanjang

jalan dari dan menuju sekolah, ukuran sekolah, kelas, dan lokasi

sekolah memiliki sedikit perbedaan; tempat-tempat yang lewat

pengawasan guru.

Sejiwa Amini (2008: 13) memaparkan bahwa bullying terjadi

di lingkungan sekolah yaitu terutama di tempat-tempat yang kurang

dari pengawasan guru maupun orang tua seperti ruang kelas ketika

jam istirahat, lorong sekolah, kantin, pekarangan, lapangan, toilet,

serta jalan menuju sekolah atau sebaliknya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

lokasi bullying dapat terjadi di seluruh tempat di sekolah yang

terabaikan dari pengawasan guru dan orang tua, seperti ruang kelas,

lorong sekolah, kantin, lapangan, pekarangan, toilet, serta jalan

menuju sekolah atau sebaliknya.

5. Tanda-Tanda Terjadinya Bullying

Menurut Sejiwa Amini (2008:22) tanda-tanda bullying adalah

sebagai berikut:

a) Mengurung diri (school phobia)

b) Menangis

c) Minta pindah sekolah

d) Konsentrasi anak berkutang

e) Prestasi belajar menurun


33

f) Tidak mau bermain atau bersosialisasi

g) Suka membawa barang-barang tertentu

h) Menjadi penakut

i) Marah-marah, gelisah, berbohong

j) Memar atau lebam

k) Tidak semangat, pendiam, sensitive, rendah diri, kasar

l) Dendam, berkeringat dingin

6. Dampak Bullying Bagi Korban Dan Pelaku

Gillette (2009:8) berpendapat bahwa “Perilaku Bullying

Verbal akan berdampak bagi korban sebagai berikut; kecemasan,

kesepian, harga diri yang rendah, depresi, anti sosial, keluhan

kesehatan fisik, melarikan diri dari rumah, menggunakan barang

terlarang, bunuh diri, kinerja akademik yang buruk”.

Rudi (2010:5) juga berpendapat bahwa “Dampak Bullying

dalam jangka panjang dapat membuat korban menderita, karena

masalah emosional dan perilaku”. Bullying dapat menimbulkan

perasaan tidak aman, terisolasi, perasaan harga diri yang rendah,

depresi atau menderita stress yang dapat berakhir dengan bunuh diri.

Sedangkan menurut Cauce dkk, (dalam Hidayati, 2012:45)

“Bullying memiliki efek yang sangat negatif, seperti munculnya

problem kecemasan, depresi, dan mengalami penurunan kemampuan

belajar dikarenakan ia mengalami kesulitan konsentrasi dan


34

penurunan dalam memorinya sehingga prestasi anak secara akademis

akan menurun secara signifikan”.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang

terkena bullying akan mendapatkan efek yang sangat negatif, akan

mengalami stres yang berkepanjangan dan emosional yang tak

terkontrol (labil) karena selalu dibully.

Sedagkan dampak bagi pelaku Widiyanti (2009:10)

berpendapat “dampak bagi pelaku mengalami kesulitan dalam

melakukan relasi sosial dan apabila perilaku ini dilakukan hingga

dewasa tentu akan menimbulkan dampak yang lebih luas”.

“Dampak bagi pelaku ini cenderung untuk berprilaku kasar,

melakukan kriminalitas, melakukan tawuran, penyalahgunaan obat-

obatan dan minuman keras akibat pergaulan bebas” Wardani (2017:6).

Asra & Wahyuni (2014:3-4) juga mengemukkan “bahwa

pelaku bully itu susah dalam penyesuaikan dan pengembangan diri,

keterampilan sosialnya buruk, susah berkomunikasi, tidak responsif,

mudah terganggu, kurang rasa ingin tahu, dan motivasi untuk

berprestasi yang sangat kurang”.

Anda mungkin juga menyukai