NIM : 4223131007
2022/2023
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan kasihnya , sehingga saya dapat menyelesaikan dengan baik tugas Critical
Jurnal Review saya dengan baik untuk memenuhi tugas mata kuliah Biologi Umum Teori..
Saya juga berterimakasih kepada orang tua saya terlebih kepada Bapak Mhd Yusuf
Nasution selaku dosen pengampu mata kuliah Biologi Umum Teori yang sudah
memberikan arahan dan bimbingannya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan
tugas Critical Jurnal Review ini.
Tugas Critical Jurnal Review ini disusun dengan berbagai harapan dapat menambah
wawasan kita tentang Biologi Umum tentang materi Adaptasi, Evolusi, Variasi dan
Keanekaragaman terlebih kepada kita sebagai mahasiswa. jika terdapat kesalahan dan
kekurangan dalam Critical Jurnal Review saya ini baik dalam segi penulisan maupun
dalam materi mohon dimaafkan dan adapun harapan untuk para pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang membangun sehingga saya dapat mengerjakan tugas
Critical Jurnal Review saya dengan baik dan benar untuk kedepannya. Semoga CJR saya
ini memberikan manfaat untuk menambah wawasan bagi pembaca. Akhir kata saya
ucapkan terimakasih.
Repelita Manihuruk
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
C.MANFAAT CJR..............................................................................................................1
A.PENDAHULUAN...........................................................................................................3
B.DESKRIPSI ISI...............................................................................................................4
BAB IV PENUTUP............................................................................................................11
A.KESIMPULAN................................................................................................................11
B.REKOMENDASI............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................12
LAMPIRAN.......................................................................................................................12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kritik jurnal adalah analisa terhadap suatu jurnal untuk mengamati atau menilai
baik buruknya suatu jurnal secara objektif. Kritical jurnal adalah kegiatan penganalisaan
dan pengevaluasian suatu jurnal dengan tujuan untuk meningkatkan pemahahaman,
memperluas apresiasi, atau menganalisis kelebihan dan kekurangan jurnal dan membantu
memperbaiki kesalahan pada jurnal agar tidak terjadi kekeliruan kembali . Kegiatan
mengkritik jurnal sangatlah penting mengingat bahwa pembaca dituntut untuk memahami
suatu jurnal secara kritis. Setiap jurnal yang dikritik akan menjadi rujukan pembuatan
jurnal yang lebih baik kedepannya. Apabila kegiatan ini tidak dilakukan maka tidak akan
terjadi kemajuan literasi dalam dunia pendidikan terutama di Indonesia. Karena dari
kegiatan ini kualitas jurnal yang baik dapat diketahui secara detail dan mendalam. Dalam
hal ini pengkritik akan mengkritikndua buah jurnal yang berhubungan dengan Biologi
Umum Teori yaitu dengan materi
1
D. Identitas Jurnal
a. Jurnal Utama
b. Jurnal Pembanding
2
BAB II
A.Pendahuluan
B. Deskripsi Isi
Menurut Teilhard de Chardin proses evolusi dibedakan menjadi 3 tahap, seperti berikut ini.
a. Tahap Geosfer
Tahap pra-hidup, tahap perubahan yang terutama menyangkut perubahan tata surya.
b. Tahap Biosfer
Kalau pada tahap geosfer yang menjadi masalah adalah adanya "loncatan" dari materi
tak hidup menjadi materi hidup, maka pada tahap biosfer yang dimasalahkan adalah
"loncatan" munculnya manusia.
b. Tahap Nesosfer
Pada tahap ini yang penting pada makhluk hidup dalam hal ini manusia adalah
terjadi evolusi kesadaran batin yang semakin mantap. Dengan cara menghubungkan
keanekaragaman kehidupan dengan mekanisme penyebab alaminya, Darwin memberikan
suatu dasar ilmiah yang jelas bagi ilmu biologi. Namun demikian, produk evolusi yang
beraneka ragam sungguh sangat elok dan mengilhami banyak pemikiran. Sebagaimana
yang dikatakan Darwin dalam alinea penutup bukunya The Origin of Spesies, “Ada
keagungan dalam kehidupan dilihat dari sudut pandang ini”.
Gagasan tentang evolusi biologi sudah ada sejak zaman dahulu, khususnya di
antara ahli filsafat Yunani seperti Anaximander dan Epicurus serta ahli filsafat India
seperti Patanjali. Namun, teori ilmiah evolusi belum mapan sampai abad ke 18 dan 19.
Pemahaman modern tentang evolusi didasarkan pada teori seleksi alam, yang pertama kali
diperkenalkan dalam karya ilmiah bersama antara Charles Darwin dan Alfred Russel
Wallace pada tahun 1858, dan dipopulerkan di dalam buku Darwin The Origin of Species
pada tahun 1859. Pada tahun 1930 an, para ilmuwan mengkombinasikan seleksi alam
Darwinian dengan teori dari hereditas Mendelian untuk membentuk sintesis evolusi
modern, yang juga dikenal sebagai "Neo-Darwinism".
4
BAB III
PEMBAHASAN ANALISIS
1, Jurnal Utama
Lahan gambut adalah salah satu sumber daya alam yang dimiliki Provinsi Riau
yang sampai saat ini belum digarap atau dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan data
dari Global Wetlands (2021) luas seluruh lahan gambut di Indonesia mencapai 36,458,236
Ha. Provinsi Riau sendiri memiliki luas lahan gambut berkisar 5,7 juta Ha (Direktorat
Jenderal PPKL-KLHK, 2017). Khusunsnya pada daerah kampar luas lahan gambut
mencapai 191.363 ha (Sudiana, 2018). Vegetasi yang tumbuh di atas tanah gambut
membentuk ekosistem hutan rawa yang akan mengikat karbondioksida dari atmosfer
melalui proses fotosintesis dan menambah simpanan karbon dalam ekosistem tersebut.
Tetapi jika mengalami gangguan, lahan gambut akan menjadi sumber gas rumah kaca
seperti CH4 dan N2O, sehingga gambut dianggap salah satu faktor yang potensial dalam
mempengaruhi perubahan iklim (Günther, 2020). Banyak area lahan gambut adalah salah
satu sumber daya alam yang dimiliki Provinsi Riau yang sampai saat ini belum digarap
atau dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan data dari Global Wetlands (2021) luas
seluruh lahan gambut di Indonesia mencapai 36,458,236 Ha. Provinsi Riau sendiri
memiliki luas lahan gambut berkisar 5,7 juta Ha (Direktorat Jenderal PPKL-KLHK, 2017).
Khusunsnya pada daerah kampar luas lahan gambut mencapai 191.363 ha (Sudiana, 2018).
Vegetasi yang tumbuh di atas tanah gambut membentuk ekosistem hutan rawa yang akan
mengikat karbondioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan menambah
simpanan karbon dalam ekosistem tersebut. Tetapi jika mengalami gangguan, lahan
gambut akan menjadi sumber gas rumah kaca seperti CH4 dan N2O, sehingga gambut
dianggap salah satu faktor yang potensial dalam mempengaruhi perubahan iklim (Günther,
2020). Banyak area lahan Jumlah spesies dan jumlah individu semut lebih banyak di hutan
gambut alami (113 spesies dengan 3660 individu) dari pada di lahan gambut yang dibuka
(49 spesies dengan 5976 individu) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Dari delapan subfamili
yang diperoleh jumlah genus dan jumlah spesies yang ditemukan berbeda pada kedua
lokasi. Paling banyak didapatkan di hutan gambut alami sebanyak delapan (8) subfamili,
33 genus dari total 38 genus, dan 113 spesies dari total 129 spesies yang didapatkan. Pada
5
hutan gambut alami ini, subfamily Myrmicinae didapatkan paling banyak yaitu sebanyak
13 genus dari 33 genus, dan 53 spesies dari 113 spesies. Subfamili Myrmicinae
mempunyai jumlah genus dan jumlah spesies yang cukup banyak dan cukup luas
penyebarannya di ekosistem hutan, diantaranya genus Pheidole, Monomorium dan
Crematogaster. Menurut Siriyah (2016), genus Pheidole dan Monomorium mempunyai
jumlah spesiesyang banyak dan penyebarannya luas di berbagai habitat. dan jumlah
spesies dari subfamili Myrmicinae ini menurun dengan terjadinya pembukaan lahan.
Beberapa subfamili hanya ditemukan pada lokasi tertentu saja. Semut dari
subfamili Amblyoponinae dan Ectamomminae hanya ditemukan di hutan gambut alami
dan tidak ditemukan di lahan gambut yang dibuka. Hasil ini hampir sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ikudome & Yamane (2008) di Kepulauan Seribu, yang
menemukan semut dari subfamili Amblyoponinae hanya di Pulau Sertung yang relatif
lebih alami dibandingkan dari empat pulau yang di teliti. Total jumlah spesies yang hanya
ada di hutan gambut alami dan tidak ada di lahan gambut yang dibuka ada 41 spesies. Hal
ini disebabkan pada hutan gambut alami faktor lingkungan masih sangat mendukung untuk
kehidupan berbagai macam semut karena banyak terdapat serasah daun dari vegetasi yang
tumbuh di hutan tersebut. Selain itu juga banyak terdapat potongan kayu lapuk dari
tumbuhan yang sudah mati yang merupakan tempat hidup dan tempat membuat sarang
yang baik bagi berbagai macam spesies semut. Menurut Bruhl et al., (1999) sekitar 45 % -
50 % dari semua makroinvertebrata yang ada pada serasah daun di suatu hutan tropis
adalah semut, dan semut ditemukan di semua hutan dengan keanekaragaman yang tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian, di hutan gambut terbuka hanya ditemukan 49 spesies semut,
tetapi jumlah individu nya paling banyak yaitu 5.976. Hal ini disebabkan karena faktor
lingkungannya tidak mendukung lagi bagi semut tertentu diantaranya habitat tempat hidup
dan membuat sarang nya sudah rusak atau hilang, seperti akar dan batang pohon yang
sudah tidak ada lagi karena sudah ditebang atau dibakar, dan juga akan menyebabkan
berkurangnya serasah daun di lantai hutan, sehingga spesies yang ditemukan hanya spesies
yang dapat bertahan dengan kondisi lingkungan yang baru. Menurut Latumahina (2016),
gangguan pada vegetasi menyebabkan terganggunya komunitas semut, karena
terganggunya habitat dan bahan makanan yang diperlukan bagi hidupnya. Gangguan
tersebut berasal beberapa faktor antara lain, pembakaran lahan dan pembakaran hutan
menyebabkan suhu di permukaan tanah menjadi tinggi dan tanah cendrung menjadi kering
6
permukaan tanah yang tinggi menyebabkan semut kebanyakan hidup dan membuat sarang
di dalam tanah (Meneses & Vargas, 2003). Pembukaan hutan gambut alami juga
menyebabkan perubahan faktor fisika kimia lingkungan karena tutupan kanopi pohon tidak
ada lagi sehingga meningkatkan suhu tanah gambut. Menurut Hayuni (2016), selain faktor
pembakaran, pembudidayaan lahan menyebabkan fragmentasi habitat. Fragmentasi habitat
memberikan kerugian pada komunitas semut (Latumahina, 2015). Semut harus beradaptasi
dengan lingkungan yang baru tersebut dari habitat yang memiliki vegetasi ke habitat yang
lebih terbuka (Bruhl et al. 2003). Jumlah individu ditemukan di lahan gambut terbuka lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah individu di hutan gambut alami. Hal ini disebabkan
karena ada spesies tertentu yang didapatkan dalam jumlah individu yang cukup tinggi.
Semut merupakan hewan yang sensitive terhadap perubahan lingkungan, yang salah
satunya adalah suhu lingkungan, baik suhu udara maupun suhu tanah. Sehingga perubahan
yang terjadi akan menimbulkan pengurangan keanekargaman semut (Putra et al., 2021).
Perubahan suhu dapat dipicu dari kebakaran hutan. Hal ini yang menajdi salah satu
penyebab penurunan diversitas semut (Maneses & 2021.
Namun, spesies Crematogaster akan banyak ditemukan pada lahan pasca terbakar
(MacKay et al., 1991). Spesies yang hanya ditemukan di lahan gambut terbuka ada 16
spesies, diantaranya adalah spesies Anoplolepis gracilipes. Spesies ini ditemukan dalam
jumlah individu paling banyak di lokasi lahan terbuka yaitu 2434 individu. Hasil ini
didukung oleh pendapat Peck et al., (1998), bahwa A. gracilipes merupakan spesies yang
hidup pada daerah yang memiliki penerangan cahaya yang tinggi dan spesies ini
merupakan tramp spesies yaitu spesies yang mudah beradaptasi pada suatu area dan
memiliki penyebaran yang sangat luas. Kehadiran semut ini akan menyebabkan penurunan
keanekaragaman spesies semut lainnya. Apabila pada suatu area terdapat penyebaran A.
gracilipes yang tinggi spesies ini akan mendominasi area tersebut sehingga spesies lain
akan tergusur/tertekan. Spesies A. gracilipes tidak ditemukan di hutan gambut alami dan
baru muncul di lahan gambut terbuka dalam jumlah individu yang sangat melimpah
7
2. Jurnal Pembanding
8
penelitian Sharkey (1996), global emisi isoprena ke atmosfir dari tumbuh-tumbuhan sekitar
100.000 kali jumlah isoprena yang diemisi oleh manusia, atau diestimasi sekitar 3 x 1014
gram per tahun. Tingginya jumlah emisi isoprena dari tumbuh-tumbuhan ditemukan paling
banyak pada tingkat pohon, dan sumber yang terbesar berasal dari organ tumbuhan, yaitu
daun. Emisi isoprena dari daun bergantung pada evolusi gen dari suatu jenis tumbuhan,
kondisi lingkungan, dan perkembangan daun. Dari beberapa studi mengamati dan
mengevaluasi, jumlah isoprena dan komposisi isoprena tingkat daun, jenis, taksonomi, dan
ekosistem beragam. Salah satu contohnya adalah hasil studi Tambunan et. al. (2006).
Tambunan et. al. (2006) menemukan dari 42 jenis atau 23 famili tumbuhan yang tumbuh di
Okinawa – Jepang, jumlah emisi isoprena beragam pada setiap jenis tumbuhan, dan jenis
tumbuhan yang terbanyak mengemisi isoprena adalah Ficus virgata, yaitu sebesar 14,2
μg/g/jam.
9
B. Kelebihan dan Kekurangan Isi Artikel Jurnal
Dari aspek bahasa pada jurnal utama dan jurnal pembanding sudah baik namun
terlalu fokus menggunakan bahasa yang rumit sehingga pembaca pun akan susah dalam
memahami isi jurnal terlebih pembaca akan lebih mudah untuk bosan dalam membaca
artikel
10
BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
B. Rekomendasi
Artikel ini sudah bagus dalam menjelaskan apa evolusi dan keanekargaman semut
yang ada pada lahan gambut alami dan tumbuh-tumbuhan pada suatu evolusi molekul gen
dan adaptasi fisiologi. Artikel juga sudah bagus dalam menggunakan aspek bahasanya
sehingga menambahkan wawasan yang berguna bagi para pembaca.
11
DAFTAR PUSTAKA
C. PENILAIAN CJR :
12