Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH UJIAN TENGAH SEMESTER TIGA

Disampaikan pada Mata Kuliah Sejarah Asia

PERBANDINGAN DINAMIKA DAN EKSISTENSI ELIT POLITIK


INDONESIA DAN KOREA SELATAN DALAM MENENTUKAN
KEBIJAKAN NEGARA DEMOKRATIS (1966-1998)

Penyusun: Dinda Nabila

NIM: 20/456025/SA/20283

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamua’alaikum wr.wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Makalah yang berjudul “Dinamika dan Eksistensi Elit Politik Indonesia dan Korea Selatan
Dalam Menentukan Kebijakan Negara Demokratis (1966-1998)” merupakan hasil dari mata kuliah
Sejarah Asia pada Ujian Tengah Semester Tiga. Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima
kasih kepada Ibu Nur Aini Setiawati, Ph.D sebagai pengampu mata kuliah Sejarah Asia ini. Kami
sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kami mengharap kritik dan saran agar
yang membangun penulisan studi sejarah selanjutnya.

Akhirnya dengan mengharap ridha dari Allah SWT, makalah ini dapat bermanfaat bagi
banyak pihak.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Yogyakarta, 1 Oktober 2021


Penyusun

Dinda Nabila
NIM. 20/456025/SA/20283

ii
DAFTAR ISI

MAKALAH UJIAN TENGAH SEMESTER TIGA ................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................................... iv
BAB I .............................................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................................ 2
C. Tujuan ................................................................................................................................................ 3
BAB II ............................................................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ............................................................................................................................................ 4
A. Keadaan dan Situasi Indonesia dan Korea Selatan (1966-1998) .................................................. 4
1. Indonesia pada tahun 1966-1998 ................................................................................................. 4
2. Korea Selatan pada tahun 1966-1998.......................................................................................... 8
B. Peran Elit Politik Indonesia dan Korea Selatan Dalam Menentukan Berbagai Kebijakan ...... 9
C. Faktor Penyebab Berbagai Kebijakan yang Diterapkan Indonesia dan Korea Selatan .......... 13
1. Represi ......................................................................................................................................... 13
2. Klientelisme Ekonomi ................................................................................................................. 14
3. Wacana Partikularistik .............................................................................................................. 14
4. Korporatisme Negara ................................................................................................................. 14
D. Perbandingan Antara Kebijakan Elit Politik Korea Selatan dan Indonesia ............................ 15
E. Dampak Kebijakan Bagi Masing-Masing Negara ....................................................................... 16
1. Kerusuhan Mei 1998 di Indonesia ............................................................................................. 16
2. Pemberontakan Gwangju 1980 di Korea Selatan .................................................................... 16
BAB III......................................................................................................................................................... 18
PENUTUP .................................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 19

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Pelepasan Tahanan PKI pada tahun 1978


Gambar 1.2 Pelepasan Tahanan PKI pada tahun 1978
Gambar 1.3 Pelepasan Tahanan PKI pada tahun 1978
Gambar 1.4 Pelepasan Tahanan PKI pada tahun 1978
Gambar 1.5 Pelepasan Tahanan PKI pada tahun 1978
Gambar 2.1 Rapat Redaksi Majalah Sari Pers 1976
Gambar 2.2 Rapat Redaksi Majalah Sari Pers 1976
Gambar 3.1 Kongres PWI Ke IX
Gambar 3.2 Kongres PWI Ke IX
Gambar 4.1 Surat Kabar Dong-a Ibo
Gambar 4.2 Surat Kabar Hankyoreh
Gambar 5.1 Rapat Dewan Stabilitas Ekonomi 1977
Gambar 5.2 Rapat Dewan Stabilitas Ekonomi 1977
Gambar 5.3 Rapat Dewan Stabilitas Ekonomi 1977
Gambar 5.4 Rapat Dewan Stabilitas Ekonomi 1977

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia dan Korea Selatan merupakan contoh negara Asia yang menerapkan sistem
demokrasi. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan dimana rakyat memiliki kendali yang
utuh. Hal ini senada dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln
bahwa “demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”.1 Definisi ini berarti bahwa rakyat berperan penting dalam berbagai elemen negara.
Umumnya, negara yang demokrasi memiliki ciri-ciri yaitu kebebasan berbicara, berkumpul,
kebebasan politik, agama, kebebasan bergerak, kesempatan ekonomi, dan pendidikan yang
setara (Cunningham, 2002, hlm, 2). Selain itu, demokrasi juga mengandung empat elemen dasar
yaitu pemilu, partisipasi rakyat yang aktif, perlindungan HAM, dan aturan hukum yang
mengikat.2

Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan suatu negara akhirnya menganut sistem
demokrasi, salah satunya adalah pengaruh bangsa asing yang menanamkan doktrin demokrasi.
Namun, hal yang paling penting adalah bagaimana konsep dan nilai-nilai demokrasi yang
sesungguhnya dapat mengakar kuat dalam jati diri bangsa. Menurut Cass R. Sustein, konsep
konstitusi demokratis adalah legitimasi yang berdasarkan hak. Sustein menyatakan:

”Democracy comes with its own internal morality--- the internal morality of
democracy. This internal morality requires constitutional protection of many
individual rights, includin the right of free expression, the right to vote, the right
to political equality, and even the right to provate property, for people can not be
independent citizens if their holdings are subject to unlimited government
readjustment. Properly understood, democracy is not antagonistic to rights. It
enthusiatically protects rights, thus constraining what majorities are able to do
to individuals or groups. A democratic constitution is drawn up and interpreted
with these ideas in mind.” 3

1
Harry C. Boyte, The Citizen Solution: How You Can Make a Difference, (St. Paul: Minnesota Society, 2008), hlm.
15.
2
What is Democracy, https://diamond-democracy.stanford.edu/speaking/lectures/what-democracy (diakses pada 7
Oktober 2021)
3
Cass R. Sustein, Designing Democracy: What Constitutions Do (Oxford: Oxford University Press, 2001), hlm. 6.

1
2

Demokrasi memang dipercaya oleh banyak negara sebagai sistem yang mampu
memajukan negara dalam berbagai aspek. Sistem ini juga dinilai aplikatif sehingga dapat
membentuk pemerintahan yang makmur. Menurut Plato, sistem pemerintahan yang baik dimulai
dari kerajaan, aristokrasi, dan demokrasi. Apabila pemerintahan itu menurun, maka akan
memunculkan tirani, sistem aristokrat menurun akan memunculkan oligarki, dan apabila sistem
demokrasi menurun akan memunculkan mobokrasi.4 Dalam negara yang menganut sistem
demokrasi pasti memiliki konsep pembatasan terhadap segala bentuk kekuasaan. Hal inilah yang
diterapkan dalam demokrasi presidensial (Amerika Serikat), demokrasi parlementer (Inggris),
dan demokrasi prosedural.5

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa demokrasi bukan hanya tentang sistem
dalam wadah konstitusi, tetapi bagaimana menjaga akar demokrasi agar partisipasi rakyat dapat
dipahami konstitusi itu sendiri. Namun, hal ini tidak berlaku di Indonesia dan Korea Selatan
selama periode 1966-1998. Terdapat berbagai kebijakan yang justru bertolak belakang dengan
nilai-nilai demokrasi. Hal ini diperparah dengan kuatnya sendi pemerintah yang membuat rakyat
tidak berani untuk menyuarakan hak-haknya. Seiring berjalannya waktu, ketika rakyat sudah
mulai berpartisipasi, tetapi eksistensinya justru direpresi oleh pemerintah.

Eksistensi demokrasi di Indonesia dan Korea Selatan memang menjadi suatu hal penting
dalam perjalanan sejarah kenegaraan. Terdapat beberapa anggapan yang menyatakan bahwa
demokrasi Indonesia dan Korea Selatan pada periode ini gagal. Namun, tidak sedikit pula yang
menilai bahwa dibalik lemahnya sistem demokrasi, tetapi periode ini tetap membawa
kegemilangan dan kemajuan bagi negara secara umum. Oleh karena itu, makalah ini membahas
tentang bagaimana keadaan Indonesia dan Korea Selatan yang menganut sistem demokrasi pada
saat itu hingga berbagai polemik yang muncul. Tulisan ini diharapkan juga mampu memberi
informasi faktual secara detail sehingga dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan Indonesia dan Korea Selatan yang menganut sistem demokratis pada
tahun 1966-1998?
2. Bagaimana peran elit politik dalam menentukan berbagai kebijakan?
3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi berbagai kebijakan yang diterapkan saat itu?

4
D.N Andriyan, Hukum Tata Negara dan Sistem Politik: Kombinasi Presidensial dengan Multipartai di Indonesia.
(Yogyakarta: Deepublish, 2016), hlm. 58.
5
Runi Hariantati, “Etika Politik dalam Negeri Demokrasi”, Jurnal Demokrasi, Vol. 2, No. 1, 2003, hlm. 65.
3

4. Bagaimana perbandingan antara kebijakan elit politik Korea Selatan dan Indonesia pada tahun
1966-1998?
5. Bagaimana dampak dari kebijakan yang diambil tersebut?

C. Tujuan
1. Untuk mengenal keadaan Indonesia dan Korea Selatan sebagai negara demokratis dalam
berbagai aspek pada tahun 1966-1998.
2. Untuk mengetahui peran elite politik dalam menentukan berbagai kebijakan negara.
3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang memengaruhi kebijakan tersebut.
4. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari masing-masing kebijakan yang diambil
Indonesia dan Korea Selatan.
5. Untuk mengetahui dampak dari masing-masing kebijakan yang diambil.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keadaan dan Situasi Indonesia dan Korea Selatan (1966-1998)


Indonesia dan Korea Selatan memiliki persamaan sejarah yaitu sama-sama dijajah oleh
Jepang. Meski hanya dijajah dalam kurun waktu yang sebentar, tetapi dampak terhadap kedua
negara ini cukup signifikan dalam beberapa aspek. Dapat diketahui bahwa kemerdekaan
Indonesia dan Korea Selatan hanya terpaut 3 tahun. Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945 dan Korea Selatan merdeka pada tanggal 15 Agustus 1948. Meskipun kedua negara ini
memiliki kedekatan usia, tetapi keadaan Indonesia dan Korea Selatan saat ini cukup jauh
berbeda. Tentu banyak faktor yang memengaruhi hal ini, salah satunya pada era 1966-1998. Pada
periode ini, Indonesia sedang dipimpin oleh rezim Soeharto atau yang dikenal dengan masa Orde
Baru. Disisi lain, Korea Selatan sedang dipimpin oleh rezim Park Chung Hee (1963-1979), Choi
Kyu Ha (1979-1980), Chun Doo Hwan (1980-1988), Roh Tae Woo (1988-1993), dan Kim
Young Sam (1993-1998).

1. Indonesia pada tahun 1966-1998


Sebelum diperintah oleh Soeharto, Indonesia sempat mengalami berbagai macam
permasalahan. Salah satu faktor besar yang menyebabkan pergantian masa jabatan adalah
peristiwa G30S PKI. Peristiwa itu mampu mengubah situasi hanya dalam waktu yang singkat.
Peristiwa itu ditandai dengan terbunuhnya enam jenderal dan seorang letnan sebagai tanda
puncak pemberontakan.6 Transisi dari Orde Lama menuju Orde Baru memang bukan hal yang
mudah, tetapi adanya peristiwa ini terbukti telah melemahkan ekssistensi Orde Lama.
Berbagai desakan ditanggapi Soekarno dengan menulis surat perintah kepada Soeharto untuk
memulihkan keadaan. Surat yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar)
ini lah yang menjadi pertanda runtuhnya rezim Soekarno dan diganti dengan rezim Soeharto.

Awalnya, kehadiran Soeharto disambut baik oleh masyarakat karena berbagai kebijakan
yang dilakukan secara tegas dan cepat, terutama mengenai peristiwa G30SPKI. Soeharto
bersama dengan Jenderal Abdul Haris Nasution merupakan dua tokoh penting dalam
penghancuran golongan komunis saat itu.7 Salah satu kebijakan Soeharto dalam mengatasi

6
John Musa Renhoard, “Politik Identitas Era Orde Baru Di Indonesia Memasuki Era Reformasi”, Jurnal Societas Dei,
Vol. 6, No. 1, 2019, hlm. 118.
7
Abdul Syukur, “Kehancuran Golongan Komunis di Indonesia”, Jurnal Sejarah Lontar, Vol. 5, No. 2, 2008, hlm. 7.

4
5

situasi ini adalah diterapkannya kebijakan TAP MPRS No. XXV/1966.8 Dalam kebijakan ini
memuat banyak hal tentang pembatasan gerak yang berkaitan dengan PKI. Terdapat pula
beberapa pasal yang memberi batasan ideologi seperti dalam pasal 2 yang berbunyi “Setiap
kegiatan di indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan
segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran
tersebut, dilarang”.

Pada rezim ini, PKI semakin tidak memiliki ruang gerak untuk melancarkan aksi-aksi
demi mewujudkan tujuannya. Konsistensi Soeharto dalam meredam gerak PKI sangat tinggi
dan diikuti oleh pengawasan ketat oleh militer. Meski demikian, para pelaku atau tahanan PKI
yang masih hidup mulai dibebaskan pada tahun 1978.

Gambar 1. 1 Pelepasan Tahanan PKI pada tahun 1978

Gambar 1. 2 Pelepasan Tahanan PKI pada tahun 1978 Gambar 1. 3 Pelepasan Tahanan PKI pada tahun 1978

8
Harsa Permata, “Gerakan 30 September 1965 Dalam Perspektif Filsafat Sejarah Marxisme”, Jurnal Filsafat, Vol. 25,
No. 2, 2015, hlm. 222.
6

Gambar 1. 4 Pelepasan Tahanan PKI pada tahun 1978 Gambar 1. 5 Pelepasan Tahanan PKI pada tahun 1978

Seiring berjalannya waktu, rakyat semakin sadar bahwa rezim yang baru ini pun
semakin lama menunjukkan warna aslinya. Rakyat Indonesia yang mayoritas kurang memiliki
pemahaman akan politik rezim Soeharto kian sadar bahwa keberadaannya hanya dijadikan
sebagai legitimasi kekuasaan. Kelompok politik Islam adalah salah satu contoh yang
menyadari pola kekuasaan rezim Soeharto ini. Awalnya mereka menaruh harapan besar agar
eksistensi politik Islam dapat lebih terbuka. Namun, Soeharto justru meredam aktivitas Islam
politik yang digadang-gadang ingin mendirikan partai Masyumi yang baru. Selain itu, latar
belakang Soeharto di bidang miiliter semakin memudahkannya untuk memeluk Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai benteng pertahanan.

Rezim Soeharto sering juga disebut sebagai rezim militer. Hal ini ditandai dengan
eksistensi ABRI di berbagai aspek pemerintahan yang tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan
petahanan dan keamanan, tetapi juga sebagai kekuatan politik.9 Banyak jabatan pemerintah
yang dipegang oleh ABRI mulai dari tingkat atas hingga tingkat bawah, misalnya menteri,
gubernur, bupati/walikota, hingga camat dan kepala desa. Keadaan ini tentu tidak hanya
mempermudah birokrasi dan sistem yang telah disusun rezim Orde Baru, tetapi juga sebagai
jembatan menuju cita-cita Orde Baru yang ingin didominasi oleh kekuatan militer. Situasi ini
semakin memupuk kegemilangan rezim Soeharto, salah satunya karena kemampuannya
dalam bidang ekonomi. Selama berkuasa kurang lebih 32 tahun, rezim Soeharto terbukti telah
membawa banyak kemajuan dengan banyaknya pembangunan.

Meskipun rezim Soeharto fokus dalam mengembalikan kehidupan bernegara


berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pada kenyataannya terdapat berbagai penyimpangan
yang dilakukan dengan sengaja atau tidak oleh pemerintah, kelembagaan, atau perseorangan.

9
John Musa Renhoard, op. cit. hlm 123
7

Perhatian Orde Baru terhadap Pancasila dan UUD 1945 seakan hanya merupakan wacana
yang mampu menyamarkan gerak politik yang berbalut militer. Salah satu bukti konkrit dari
penyimpangan ini adalah kasus korupsi. Korupsi memang sudah menjadi warisan sejak zaman
dahulu, tetapi pada akhir tahun 1960 hingga awal tahun 1970, kasus korupsi di Indonesia
semakin tidak terkendali. Pada 15 Januari 1974 terjadi peristiwa Malari di Jakarta yang berupa
aksi demo untuk menuntut kasus korupsi di dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni
Perusahaan Tambang Minyak Nasional (PERTAMINA) dan Badan Urusan Logistik
(BULOG).10 Selain itu, demonstrasi ini juga bertujuan untuk menentang banyaknya investasi
asing terutama dari Jepang.11 Menurut Soemitro Djojohadikusumo, kasus korupsi yang tidak
kunjung ditangani secara serius ini telah menghilangkan uang negara sebanyak 30% pada
akhir tahun 1980.12

Tidak dapat dipungkiri bahwa Orde Baru lahir diatas puing-puing kehancuran politik
dan ekonomi Orde Lama. Kehadirannya memiliki banyak tugas guna memperbaiki kehidupan
negara secara menyeluruh. Meskipun kebijakan pada awal-awal pemerintahan belum terlihat,
tetapi lambat laun Orde Baru hanya menggunakan sistem demokrasi sebagai wacana.
Berbagai permasalahan kian muncul setelah peristiwa Malari. Rakyat juga tidak dapat
merasakan kehidupan demokrasi karena partisipasi rakyat selalu direpresi oleh pemerintah.
Hak-hak pers ditutup sehingga seluruh elemen demokrasi dipegang oleh kekuatan rezim
militer. Akhirnya, eksistensi Soeharto perlahan menurun setelah tahun 1995.

Faktor terbesar yang mengakibatkan tumbangnya Soeharto adalah krisis ekonomi.


Masyarakat yang semula diam karena merasa perekonomian berhasil lambat laun berubah
melawan pemerintah. Hal ini diawali oleh nilai mata uang Bath Thailand yang terdepresi,
sehingga terjadi krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara pada tahun 1997.13 Mayoritas
negara Asia Tenggara menggunakan sistem ekonomi terbuka sehingga ketika satu negara
bermasalah, maka akan berdampak pada negara disekitarnya. Inilah yang disebut dengan efek
domino. Indonesia menjadi salah satu yang terdampak, bahkan mengalami penurunan
pertumbuhan ekonomi sebesar -13,1 % pada tahun 1998.14 Dampaknya adalah inflasi dan

10
Andi Suwirta, “Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Peristiwa MALARI Tahun 1974 dalam Pandangan Surat
Kabar Merdeka dan Indonesia Raya di Jakarta” Susurgalur, Jurnal Kajian Sejarah dan Pendidikan Sejarah, Vol. 6, No.
1, 2018, hlm. 75.
11
Ibid., 79.
12
Dewi Pawestri Anjarsari, “Orde Baru Mengundang Maraknya Kasus Korupsi”, Skripsi, STIMIK AMIKOM Yogyakarta,
2012, hlm. 9.
13
Clara Septyana dan Vera Lisna, “Analysis of Indonesian EMP and four ASEAN Countries During Crisis”, Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. 16, No. 2, 2016, hlm. 105.
14
Ibid.
8

tekanan ekonomi yang berakhir pada demonstrasi massa dan penurunan jabatan Presiden
Soeharto pada tahun 1998.

2. Korea Selatan pada tahun 1966-1998


Dinamika kehidupan Korea Selatan pada periode tahun 1966 hingga 1998 sebetulnya
tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Keduanya memiliki pola kehidupan
dan peristiwa yang hampir sama, sehingga sudah sepantasnya eksistensi demokrasi pada masa
ini dipertanyakan. Meski demikian, kedua negara ini memiliki latar belakang peristiwa yang
berbeda-beda. Apabila Indonesia mulai masa orde baru pada tahun 1966, maka tahun 1966
bagi Korea Selatan yang dipimpin oleh Park Chung Hee bukanlah masa orde baru. Hal ini
karena Korea Selatan tetap saja dipimpin oleh pemimpin yang diktaktor.

Presiden Korea Selatan sejak pertama kali merdeka adalah Rhee Syngman. Ia menjabat
selama 12 tahun yaitu sejak tahun 1948 hingga 1960. Kepemimpinannnya yang diktaktor
akhirnya membuat ia diturunkan dari jabatan dan kemudian diganti oleh presiden kedua yaitu
Yun Boseon. Dinilai tidak berhasil dalam memerintah, akhirnya ia dikudeta yang dipimpin
oleh Park Chung Hee dan tentaranya. Berhasilnya Park Chung Hee dalam mengatasi
kepemimpinan sebelumnya telah membuat ia diangkat menjadi presiden pada tahun 1963.
Pada masa inilah, Korea Selatan mengalami perubahan drastis dalam berbagai bidang. Faktor
utama yang memengaruhinya adalah faktor ekonomi yang kian membaik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa masa jabatan Park Chung Hee memiliki banyak
persamaan dengan masa jabatan Soeharto. Mereka sama-sama membangun negara dari bawah
dan masih mengemban tugas dan permasalahan dari kepemimpinan sebelumnya. Meski harus
menggunakan berbagai cara, tetapi keduanya dapat mencapai keberhasilan yang memuaskan,
khususnya dalam perekonomian. Pada awal pemerintahan Park Chung Hee, Korea Selatan
masih dalam keadaan yang serba kekurangan. Mayoritas penduduk berkerja sebagai buruh di
bidang pertanian dan perikanan. Mereka tidak memiliki modal dan masih bergantung dengan
kekuatan politik negara yang ditandai adanya aktivitas impor yang cukup besar.15

Pada awal kepemimpinannya, Park Chung Hee sudah bertekad untuk membangkitkan
perekonomian. Menurutnya, ekonomi adalah sendi utama untuk bangkit. Hal ini dapat dilihat
dari kebijakannya dalam mengembangkan sektor industri, program rencana pembangunan

15
Retno Ayu Oktaviani dan Agus Mulyana, “Perlawanan Masyarakat Korea Selatan Menuju Gerbang Demokrasi Tahun
1980”, Jurnal FACTUM, Vol. 7, No. 2, 2018, hlm. 228.
9

lima tahun, dan gerakan Sae-maul guna memperbaiki kondisi pedesaan dalam berbagai hal.16
Selain itu, Park Chung Hee mulai menerapkan kebijakan ekspor pada tahun 1960-an dan
kebijakan industri berat pada tahun 1970-an yang lambat laun menjadi faktor terpenting bagi
kemajuan ekonomi Korea Selatan. 17 Kebijakan ekspor memang dinilai cukup sulit dilakukan,
tetapi adanya sumber daya manusia yang murah, modal asing, dan teknologi telah membantu
terwujudnya sistem ekspor ini.18 Keadaan ini telah membuat sektor ekonomi sebagai alat
legitimasi bagi kepemimpinan Park Chung Hee.

Sistem perbaikan ekonomi yang dilakukan oleh Park Chung Hee memang memberi
dampak ekonomi yang signifikan. Namun terdapat berbagai polemik dibalik kesuksesan
tersebut, salah satunya keberadaan buruh dan pekerja yang berada dalam garis kemiskinan
dan kebodohan.19 Selama upaya perbaikan ekonomi masih melalui ekspor dan industri yang
kian tinggi, maka rakyat kelas bawah hampir tidak mampu merasakan dampak positif dari
kemajuan ekonomi ini. Tidak hanya partisipasinya yang direpresi, tetapi mereka juga tidak
mendapat imbalan yang seimbang. Selain itu, Park Chung Hee juga terlalu mengutamakan
kegiatan ekspor dan pasar internasional yang berdampak pada terbengkalainya pasar
domestik. Hal ini juga mengakibatkan pasar domestik yang tidak mampu bertahan ketika
terdapat depresi ekonomi global. Pada titik inilah masyrakat sadar bahwa ekonomi telah
lemah yang pada akhirnya mendorong aksi kudeta terhadap rezim Park Chung Hee.

B. Peran Elit Politik Indonesia dan Korea Selatan Dalam Menentukan Berbagai Kebijakan
Dominasi politik dan kekuasaan yang dimiliki elit Indonesia maupun Korea Selatan telah
memberi banyak pengaruh dalam berbagai sektor. Hampir dalam setiap kebijakan yang diambil
pasti melibatkan suara elit yang dominan. Tentu hal ini menjadi kajian menarik karena dominasi
elit ini menunjukkan tidak sehatnya sistem demokrasi yang sedang berjalan. Dalam wacana
demokrasi yang diagungkan di Indonesia dan Korea Selatan selalu mengandung ketidakpuasan
rakyat yang seharusnya berdiri sebagai penguasa negara demokrasi. Salah satu contoh konkrit
tentang besarnya pengaruh elit dalam memberi kebijakan adalah soal pers atau media massa.
Baik di Indonesia maupun di Korea Selatan, pergerakan pers selalu diawasi.

16
Dlia’ Dlunnun Khosazi, “Kegiatan Perekonomian Korea Selatan Pasca Perang Korea Tahun 1960-1980” Skripsi,
Universitas Jember, 2016, hlm. 3.
17
Lee Byeong-cheon et.al, Developmental Dictartorship and the Park Chung Hee Era: The Shaping of Modernity in
the Republic of Korea (Seoul: Changbi Publishers, 2003), hlm. 80-81.
18
Sung-il Choi, “South Korea under Park Chung Hee: Development or decay?”, Jurnal Taylor Francis Online Bulletin
of Concerned Asian Scholars, Vol. 15, No. 2, 1983, hlm. 69.
19
Ibid.
10

Pembatasan gerak media pada masa Soeharto telah dimulai sejak ia memimpin dari tahun
1966. Awalnya, pembatasan ini ditujukan untuk meredam berbagai spekulasi dan berita yang
kurang berdasar atas insiden G30SPKI. Namun, pembatasan ruang gerak media ini terus
diberlakukan. Lebih lanjut, rezim orde baru memiliki badan khusus yaitu Indonesian Journalist
Assosiations atau dikenal sebagai PWI yang bertugas melakukan kontrol pers terhadap rezim
Soeharto.20 Orde Baru juga memiliki kebijakan melalui Keputusan Menteri
02/PER/MENPEN/1969 Departemen Penerangan yang membatasi jumlah jurnalis dan
mewajibkannya untuk bergabung dengan PWI sebagai organisasi tunggal.

Tentu kebijakan ini telah melanggar Pasal 28E (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan
berekspresi, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, kebijakan ini hanya akan
mempersempit ruang gerak jurnalis dan memperluas ruang gerak pemerintah. Salah satu contoh
adalah saat sebelum pemilihan umum tahun 1971. Pada waktu ini, media Harian Kami dan Duta
Masyarakat dilarang keras untuk beroperasi karena dianggap tidak menghormati minggu tenang
sebelum pemilu berlangsung. Selain itu, media Sinar Harapan juga dicabut hak edarnya oleh
Kopkamtib pada bulan Januari 1973 karena diduga telahh membocorkan RAPBN 1973-74 dan
melanggar kode etik pers. 21

Gambar 2. 1 Rapat Redaksi Majalah Sari Pers 1976 Gambar 2. 2 Rapat Redaksi Majalah Sari Pers 1976

20
Herlambang Perdana Wiratraman, “Press Freedom, Law and Politics in Indonesia: A Socio-Legal Study”, Thesis,
Faculteit der Rechtsgeleerdheid, Leiden University, 2014, hlm. 95.
21
Ibid., 96-97.
11

Gambar 3. 1 Kongres PWI Ke IX Gambar 3. 2 Kongres PWI Ke IX

Pembatasan media pers tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada masa kakuasaan Park Chung
Hee juga dilakukan pembatasan media yang dianggap akan membahayakan kebijakan dan
eksistensi politik negara. Contoh surat kabar yang pernah dilarang terbit pada masa Park Chung
Hee ataupun setelahnya saat masa pemarintahan Chun Doo-hwan adalah Dong-a Ibo dan
Hankyoreh. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan Presiden ke-5 Korea Selatan (1980-1988) Chun
Doo-Hwaan yang memerintahkan Huh Moon-do — sekretaris sekaligus mantan reporter Chosun
Ilbo — untuk mengamati gerakan pers. 22 Kemudian Presiden Chun Doo Hwan memerintahkan
Huh Moon-do — sekretarisnya untuk urusan negara yang pernah menjadi reporter Chosun Ilbo
— untuk membuat garis besar tentang apa yang disebut promosi media.

Gambar 4. 2 Surat Kabar Hankyoreh


Gambar 4. 1 Surat Kabar Dong-a Ibo

Luasnya kekuasaan yang dimiliki elit politik dan pejabat pemerintah di Indonesia dan
Korea Selatan memang terbukti mampu memegang berbagai kendali kebijakan. Umumnya,

22
For the people, not the powerful, https://koreajoongangdaily.joins.com/2021/09/09/opinion/columns/Chinese-movie-The-Sacrifice-
Korean-War/20210909194600537.html (diakses pada 10 Oktober 2021)
12

kedua rezim yang memiliki banyak kemiripan ini selalu menggaungkan wacana egalitarianisme
dan demokrasi. Pencapaian ekonomi juga menjadi alat untuk melancarkan kedua wacana
tersebut. Tidak mudahnya meningkatkan perekonomian negara telah membuat Indonesia atau
Korea Selatan berupaya untuk memajukan ekonomi dari berbagai sektor. Hubungan kerja sama
dengan luar negeri pun juga ditempuh guna mendapatkan modal yang cukup. Namun di samping
usaha tersebut, wacana egalitarianisme dan demokrasi ini justru digunakan hanya sebagai alat
untuk memperkuat eksistensi politik negara, bukan semata-mata bagi kesejahteraan rakyat. 23

Gambar 5. 1Rapat Dewan Stabilitas Ekonomi 1977 Gambar 5. 2 Rapat Dewan Stabilitas Ekonomi 1977

Gambar 5. 3 Rapat Dewan Stabilitas Ekonomi 1977 Gambar 5. 4 Rapat Dewan Stabilitas Ekonomi 1977

Hwang Byeong-ju, “The Rulling Discourse and Mass Politics of The Park Chung Hee Regime”, Journal Academy
23

Korean Studies, Vol. 12, No. 3, 2009, hlm. 15.


13

C. Faktor Penyebab Berbagai Kebijakan yang Diterapkan Indonesia dan Korea Selatan
Pemerintahan diktaktor yang berbasis militer pada era pemerintahan Soeharto di Indonesia
atau Park Chung Hee dan Chung Doo Hwan di Korea Selatan telah memberi gambaran jika
mereka memiliki tujuan yang visioner. Alih-alih mendengarkan suara rakyat yang menjadi dasar
berdirinya negara demokrasi, tetapi kedua pemerintahan ini selalu menekan rakyat dari berbagai
sisi. Hal ini tentu mengundang kemarahan rakyat karena hak-haknya tidak bisa dipenuhi,
misalnya saja dalam berbagai demonstrasi massa atau mahasiswa yang menuntut keadilan di
tanah demokrasi ini. Pratikno (1998) menyatakan bahwa setidaknya terdapat empat faktor yang
menyebabkan kekuasaan politik mampu memberi pengaruh pada setiap kebijakan, yaitu represi,
klientelisme ekonomi, wacana partikularistik, dan korporatisme negara.

1. Represi
Represi merupakan faktor utama yang mampu memberi ruang bebas bagi pemerintah
untuk melancarkan tujuan dan kebijakan yang dibuat. Meskipun bentuk represi ini sering
menggunakan kekerasan, tetapi hal ini terbukti mampu meredam gerak dan langkah rakyat
yang melawan kebijakan. Praktik nyata dari represi ini berupa pembentukan badan dan
lembaga yang mampu melakukan kontrol terhadap masyarakat. Contoh badan atau lembaga
di Indonesia adalah BIAS (Badan Intelejen Strategis), BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen),
dan Kopkamtib. 24 Badan dan lembaga ini pada umumnya didominasi oleh ABRI.

Represi besar-besaran juga terjadi di Korea Selatan. Selama Park Chung Hee
memimpin, banyak kebijakan berbasis militer yang ia kerahkan demi mengontrol rakyat. Hal
pertama yang dilakukan adalah mengatur media massa agar memberitakan hal-hal baik terkait
dirinya dan pemerintahan yang ia pimpin. Apabila hal ini masih gagal, maka Park Chung Hee
mengerahkan militer. Hal ini dapat dilihat dari kebijakaannya saat menerapkan junta militer
dan mengerahkan tentara untuk berjaga di universitas guna meredam demonstrasi mahasiswa.
25
Sikap otoriternya juga terlihat saat ia menerapkan kebijakan Yushin Constitution yang
menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaannya. 26

24
Pratikno, “Keretakan Otoritarianisme Orde Baru Dan Prospek Demokratisasi”, Jurnal JSP, Vol. 2, No. 2, 1998, hlm.
20-21.
25
Sejarah 26 Oktober: Presiden Korea Selatan Park Chung Hee Tewas Ditembak,
https://bosscha.id/2019/10/26/sejarah-26-oktober-presiden-korea-selatan-park-chung-hee-tewas-ditembak/ (diakses
pada 10 Oktober 2021)
26
Ibid.
14

2. Klientelisme Ekonomi
Faktor kedekatan ekonomi dan politik menjadi faktor berikutnya yang mampu
memperkuat otoritarianisme. Ketika negara mampu menunjukkan keberhasilan ekonomi,
maka posisi politik dan pemerintahan elit semakin kuat. Kekuatan ekonomi di Indonesia pada
masa itu terbantu karena besarnya sumber daya alam yang tersedia. Ekspor minyah mentah
banyak dilakukan sehingga menghasilkan keuntungan yang besar. Di sisi lain, Korea Selatan
tidak memiliki sumber daya alam sebesar Indonesia tetapi tetap mampu melakukan ekspor.
Hal ini tidak lepas dari peran chebol atau para konglomerat yang membantu distribusi
perekonomian Korea Selatan.

Fokus perekonomian di Korea Selatan saat itu adalah peningkatan ekspor dan industri,
seperti Samsung, LG, dan Hyundai. Konsistensi pemerintah dalam rencana ini dan didukung
oleh kekuatan asing seperti Amerika Serikat telah membuat perekonomian Korea Selatan
semakin baik. Keadaan ini dapat dilihat dari total ekspor yang semula hanya 42 juta USD
pada tahun 1961, kemudian berubah drastis menjadi 10 miliar USD pada tahun 1977. 27

3. Wacana Partikularistik
Rezim Soeharto dan Par Chung Hee memang memberi kesan negatif atas berbagai
kebijakan yang telah ditetapkan. Meski demikian, pola militer dan pemerintahan yang otoriter
ini bisa bertahan cukup lama. Satu hal yang memengaruhi panjangnya usia kedua
pemerintahan ini adalah wacana kesejahteraan yang selalu disampaikan kepada masyarakat.
Hal ini terbukti mampu mempertahankan keabsahan politik negara saat itu. Apabila
penggunaan kebijakan represi merupakan bentuk perlawanan sekaligus pertahanan
pemerintah melalui kekerasan, maka kebijakan wacana partikularistik ini menjadi jalan
kontrol persepsi dan pola pikir masyarakat agar selalu tunduk pada setiap kebijakan.

4. Korporatisme Negara
Kebijakan ini berupa pengelompokan masyarakat ke dalam beberapa afiliasi yang
setara guna mempermudah penerapan kebijakan pemerintah. Penerapan kebijakan ini adalah
dengan membentuk struktur organiasi baru yang berkepentingan sama. Hal ini dapat dilihat
dari berbagai profesi yang kemudian dibagi berdasarkan jenisnya, misalnya golongan jurnalis
hanya memiliki satu organiasi jurnalis yaitu PWI. Sistem seperti ini juga berlaku bagi prospek
pekerjaan lain, sehingga keberadaannya dapat menemukan titik fungsional dan efektivitas.

27
Wow! Karena ini Korea Selatan Menjadi Negara yang Cepat Berkembang, https://www.klipklop.net/negara-yang-
cepat-berkembang/ (diakses pada 12 Oktober 2021)
15

D. Perbandingan Antara Kebijakan Elit Politik Korea Selatan dan Indonesia


Berbagai kebijakan yang diterapkan oleh elit politik dan penguasa di Indonesia atau pun
Korea Selatan menunjukkan bahwa keduanya memiliki beberapa persamaan. Pertama,
persamaan latar belakang pemimpin. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang personal Soeharto
dan Park Chung Hee yaitu sama-sama berasal dari kalangan militer dan sifat pemerintahannya
yang otoriter. Kedua, persamaan dalam penerapan kebijakan. Meskipun tidak sama persis, tetapi
pola yang mereka lakukan memiliki banyak kemiripan. Keduanya sama-sama membatasi ruang
gerak masyarakat baik dari sisi pers maupun sisi militer secara langsung. Ketiga, persamaan
kebijakan guna meningkatkan perekonomian. Indonesia dan Korea Selatan sama-sama menganut
ekonomi terbuka dan melakukan eskspor ke pasar internasional. Selain itu, keduanya juga
menerapkan sistem Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).

Banyaknya persamaan antara kedua negara ini tidak lantar mengkaburkan berbagai
perbedaan yang ada. Salah satu perbedaan terbesar dan yang paling berpengaruh dalam jangka
waktu yang panjang adalah sikap yang diambil pemimpin dan masyarakat masing-masing. Disini
dapat dilihat dari usaha pemerintah Korea Selatan yang terus berupaya dan bersinergi kuat untuk
memajukan perekonomian. Mereka sadar bahwa kondisi ekonomi sedang rapuh, tetapi mereka
mau memaksimalkan sumber daya manusia. Pemerintah dan masyarakat Korea Selatan juga
paham bahwa mereka tidak memiliki sumber daya alam yang mampu menopang perekonomian,
sehingga satu-satunya cara adalah memaksimalkan potensi yang ada.

Keadaan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pada awal
pemerintahan Soeharto, banyak kebijakan ekonomi yang akhirnya membuat perekonomian
indonesia menguat. Namun, kuatnya ekonomi ini bukanlah ekonomi yang sehat. Mayoritas
modal asing digunakan sebagai awal pembangunan, sumber daya alam dijual mentah dengan
harga tidak terlalu tinggi, dan masyarakatnya tidak memperkuat potensi yang ada. Sikap terlena
inilah yang menyebabkan Indonesia tertinggal jauh dari Korea Selatan. Disaat Korea Selatan
mampu ekspor dan memproduksi industri barang berat dan elektronik, Indonesia masih belum
banyak memproduksi produk unggulan dalam negeri. Meskipun Korea Selatan nantinya kembali
mengalami krisis ekonomi, setidaknya usaha penguatan produksi sejak dini telah membantu
Korea Selatan menjadi lebih baik.
16

E. Dampak Kebijakan Bagi Masing-Masing Negara


1. Kerusuhan Mei 1998 di Indonesia
Berbagai kebijakan yang diterapkan Soeharto sejak awal memerintah telah membawa
berbagai polemik dari rakyat. Ada yang setuju dan mendukung upaya yang dilakukan
pemerintah, tetapi banyak pula yang tidak puas bahkan melawan dengan berbagai cara.
Eksistensi Soeharto yang menjabat kurang lebih 30 tahun ini telah membuat rakyat geram.
Meskipun diimbangi dengan kuatnya perekonomian, tetapi ruang gerak rakyat sangat terbatas.
Tidak ada kebebasan bereskpresi dan segala hal harus berdasarkan keputusan pusat. Lambat
tapi pasti, tentu hal ini menimbulkan kemarahan rakyat.

Dimulai dari demonstrasi Malari pada tahun 1974, rakyat kembali menyuarakan hak-
haknya dalam demonstrasi tahun 1990-an. Kala itu, kepemimpinan Soeharto kian melemah
karena beberapa faktor, misalnya hutang luar negeri yang kian menumpuk dan adanya depresi
ekonomi di Asia Tenggara. Melemahnya ekonomi yang berakibat pada inflasi ini sukses telah
membuat rakyat berdemo di beberapa daerah. Peristiwa Trisakti menjadi contoh
pemberontakan tahun 1997 yang menewaskan banyak kalangan, terutama mahasiswa. Ketika
pemerintahan telah kalut dan diambang kehancuran, akhirnya Presidan Soeharto turun jabatan
pada 21 Mei 1998.

2. Pemberontakan Gwangju 1980 di Korea Selatan

Gambar 6. 1 Peristiwa Gwangju 18 Mei 1980

Salah satu pemberontakan massa yang didominasi oleh kaum buruh dan memberi
pengaruh besar dalam sejarah Korea Selatan adalah pemberontakan Gwangju. Sebetulnya
telah terjadi pemberontakan lain sebelum pemberontakan ini, salah satunya pemberontakan
17

kaum buruh pada tahun 1970. Saat itu, buruh menuntut perbaikan ekonomi dan kebijakan
yang diterapkan kepada buruh karena dinilai tidak humanis. Masyarakat kala itu juga kian
sadar akan pemerintah yang diktaktor. Aksi protes buruh ini tetap tidak ditanggapi oleh
pemerintah, justru para buruh kian direpresi dengan berbagai cara. Puncak peristiwa ini adalah
insiden bunuh diri yang dilakukan oleh Chun Tae Il. 28 Meski harus kehilangan nyawa, tetapi
aksi bunuh diri ini lah yang mendorong demonstrasi-demonstrasi berikutnya.
Pemberontakan selanjutnya yaitu gerakan Busan-Masan yang kemudian dikenal
sebagai Gerakan Demokratik Gwangju. Pada dasarnya pemberontakan ini memiliki pola
protes yang sama, yaitu perbaikan sistem demokrasi. Masyarakat yang didominasi buruh ini
juga menentang kebijakan Park yaitu kebijakan Yushin. Gwangju menjadi satu-satunya kota
di Korea Selatan saat itu yang begitu aktif dan gencar melawan rezim diktaktor Park Chung
Hee menuju rezim diktaktor Chun Doo Hwan. Namun usaha itu selalu digagalkan oleh
pemerintah. Awalnya pemerintah memblokir seluruh media berita dan stasiun televisi
Munhwa Broadcasting Corporation (MBC). Dirasa masih belum berhasil, akhirnya
pemerintah melawan kota Gwangju dengan berbagai kekuatan militer. Pada tanggal 18 Mei
1980, situasi Gwangju sangat parah karena perlawanan antara sipil dan militer.29 Gwangju
tetap tidak menyerah, seluruh masyarakat bahu-membahu melawan pemerintah. Namun,
minimnya persenjataan akhirnya membuat Gwangju kalah pada tanggal 25 Mei 1980. 30

28
Retno Ayu Oktaviani dan Agus Mulyana, “Perlawanan Masyarakat Korea Selatan Menuju Gerbang Demokrasi Tahun
1980”, Jurnal FACTUM, Vol. 7, No. 2, 2018, hlm.229.
29
Kisah Taksi Kuning dan Pembantaian Mahasiswa Gwangju 1980, https://tirto.id/kisah-taksi-kuning-dan-
pembantaian-mahasiswa-gwangju-1980-cxNZ (diakses 12 Oktober 2021)
30
Ibid.
BAB III

PENUTUP

Eksistensi negara yang baik dapat dilihat perjalanan sistem yang dianut dan bagaimana
dampak dari hal tersebut. Sistem demokrasi menjadi sistem yang banyak diakui tentang
kemampuannya untuk memajukan kehidupan bernegara dalam berbagai aspek. Pemilihan sistem
ini bukan tanpa alasan dan sebab yang pasti, tetapi terdapat berbagai latar belakang dan alasan.
Salah satu alasan pemilihan sistem demokrasi adalah keyakinan bahwa sistem ini sesuai dengan jati
diri bangsa dan mampu membawa negara menuju negara yang maju dan berhasil. Namun, agaknya
sistem yang sudah dipercaya bagus pun masih rapuh apabila terdapat beberapa pihak yang hanya
mengutamakan tujuan personal atau kelompok. Inilah yang mengakibatkan sistem demokrasi di
Indonesia dan Korea menjadi tidak sehat selama masa pemerintahan Soeharto dan Park Chung Hee.

Kegemilangan ekonomi yang terjadi di kedua negara ini memang memberi perubahan
kehidupan yang drastis. Upaya represi pemerintah baik secara halus maupun kasar terbukti telah
memberi ruang sempit bagi pergerakan rakyat yang ingin menegakkan demokrasi. Satu hal yang
harus dicatat adalah kegemilangan ekonomi ini mampu terwujud dengan mengorbankan banyak hal
dan kepentingan. Rakyat yang semakin tertindas, hutang luar negeri yang kian banyak, dan
demonstrasi yang merugikan jutaan harta dan nyawa. Oleh karenanya, kegemilangan ekonomi ini
tidak bisa disebut sebagai kegemilangan yang absolut.

Seluruh peristiwa yang terjadi pada masa itu tidak bisa dilepaskan dari peran elit. Besarnya
kekuasaan yang dimiliki tidak digunakan untuk menjawab tuntutan rakyat, tetapi digunakan demi
kepentingan pribadi atau golongan. Kebijakan represi, wacana egalitarian, wacana demokrasi,
kemajuan ekonomi, dan korporatisme negara telah menjadi alat yang selalu digaungkan pemerintah.
Ketika rakyat tidak lagi mampu menahan seluruh wacana tersebut, demonstrasilah yang akan
menjawab. Rakyat melakukan demo besar-besar an karena tidak ada lagi celah dalam menyuarakan
hak-haknya sebagai pemegang kedaulatan penuh negara.

Kini, kehidupan Indonesia dan Korea Selatan tentu lebih baik dalam beberapa hal dari pada
masa itu. Namun, ini bukan berarti bahwa demokrasi masa kini telah tercapai seutuhnya.
Demonstrasi masa kini masih sering terjadi, bahkan suara rakyat masih kerap diredam oleh
pemerintah. Dibutuhkan sinergi yang utuh dan kolaborasi antara pemerintah dan rakyat agar tujuan,
visi, dan misi negara dapat diselaraskan. Apabila hal ini dapat dicapai, tentu akan membawa ke
kehidupan yang sejahtera.

18
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Andriyan, D. N. (2016). Hukum Tata Negara dan Sistem Politik: Kombinasi Presidensial dengan
Multipartai di Indonesia. Yogyakarta: Deepublish.
Boyte, H. C. (2008). The Citizen Solution: How You Can Make a Difference. St Paul: Minnesota
Historical Society.
Cheon, L. B. (2003). Developmental Dictartorship and the Park Chung Hee Era. Seoul: Changbi
Publishers.
Cunningham, F. (2002). Theories of Democracy: A Critical Introduction. . New York: Routledge.
Sustein, C. R. (2001). Designing Democracy: What Constitutions Do. Oxford: Oxford University
Press.
Sumber Jurnal
Byeong-ju, H. (2009). The Rulling Discourse and Mass Politics of The Park Chung Hee Regime.
Journal Academy Korean Studies, 11-40.
Choi, S.-i. (1983). South Korea uunder Park Chung Hee: Development or decay? Journal Taylor
Francis Bulletin of Concerned Asian Scholars, 67-72.
Hariantati, R. (2003). Etika Politik dalam Negara Demokrasi. Jurnal Demokrasi, 57-68.
Oktaviani, R. A., & Mulyana, A. (2018). Perlawanan Masyarakat Korea Selatan Menuju Gerbang
Demokrasi Tahun 1980. Jurnal FACTUM, 227-240.
Permata, H. (2015). Gerakan 30 September 1965 Dalam Perspektif Filsafat Sejarah Marxisme.
Jurnal Filsafat, 221-251.
Pratikno. (1998). Keretakan Otoritarianisme Orde Baru dan Prospek Demokratisasi. JSP, 18-33.
Renhoard, J. M. (2019). Politik Identitas Era Orde Baru Di Masa Indonesia Memasuki Era
Reformasi. Jurnal Societas Dei, 115-131.
Sulaeman, C. S., & Lisna, V. (2016). Analysis of Indonesian EMP and four ASEAN Countries
During Crisis. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 105-122.
Suwirta, A. (2018). Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru: Peristiwa MALARI Tahun 1974
dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka dan Indonesia Raya di Jakarta. Susurgalur, Jurnal
Kajian Sejarah dan Pendidikan Sejarah, 73-98.
Syukur, A. (2008). Kehancuran Golongan Komunis di Indonesia. Jurnal Sejarah Lontar, 1-8.

19
20

Sumber Website dan Artikel Online


Diamond, L. (2004, January 21). Stanford University. Retrieved from standford.edu:
https://diamond-democracy.stanford.edu/speaking/lectures/what-democracy
Dong-ho, K. (2021, September 9). Korea JongAng Daily. Retrieved from
koreajoongangdaily.joins.com:
https://koreajoongangdaily.joins.com/2021/09/09/opinion/columns/Chinese-movie-The-
Sacrifice-Korean-War/20210909194600537.html
Irfan, M. F. (2017, Oktober 5). Tirto. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/kisah-taksi-kuning-dan-
pembantaian-mahasiswa-gwangju-1980-cxNZ
Kandhani, E. (2019, Oktober 26). Bosscha. Retrieved from Bosscha.id:
https://bosscha.id/2019/10/26/sejarah-26-oktober-presiden-korea-selatan-park-chung-hee-
tewas-ditembak/
Klipklop. (2021, Oktober 12). KlipKlop. Retrieved from klipklop.net:
https://www.klipklop.net/negara-yang-cepat-berkembang/
Sumber Skripsi
Khosazi, Dlia’ Dlunnun. 2016. Kebangkitan Perekonomian Korea Selatan Pasca Perang Korea
Tahun 1960-1980, Skripsi S1 Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Jember.
Dewi Pawestri Anjarsari. 2012. Orde Baru Mengundang Maraknya Kasus Korupsi, Tugas Akhir
Pancasila, STIMIK Amikom Yogyakarta.
Herlambang Perdana Wiratraman. 2014. Press Freedom, Law, and Politics in Indonesia: A Socio-
Legal Study, Thesis Faculteit der Rechtsgeleerdheid, Leiden University.
Sumber Gambar
https://www.perpusnas.go.id/

Anda mungkin juga menyukai