Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Perkembangan Dewasa dan Adiyuswa
Disusun oleh:
1. Azzahra Putwiantoro (15000121130102)
2. Adilla Panca Karsa (15000121120010)
3. Hanina Failasufa (15000121130171)
4. Hesti Rosmeida (15000121130124)
5. Priscilla Genta Abella (15000121140322)
6. Risa Lidyawati (15000121130164)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Mei, 2022
PERSEMBAHAN
Puji syukur atas kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah pada Mata Kuliah Psikologi
Perkembangan Dewasa dan Adiyuswa yang berjudul "Spiritualitas dan Religiusitas pada
Adiyuswa" yang disusun untuk memenuhi nilai tugas kelompok pada mata kuliah Psikologi
Perkembangan Dewasa dan Adiyuswa.
Kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Yeniar Indriana, M.S, selaku dosen pada Mata Kuliah Psikologi Perkembangan
Dewasa dan Adiyuswa kelas 4.
2. Teman-teman pada Mata Kuliah Psikologi Perkembangan Dewasa dan Adiyuswa kelas
Semoga dengan disusunnya makalah ini, dapat memberikan manfaat kepada pembaca dan
mahasiswa yang membutuhkan materi dari makalah ini.
ii
ANALISIS PEMBELAJARAN
Mata Kuliah : Perkembangan Dewasa dan Adiyuswa
Kelas :4
Semester : 2 (Genap)
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebab karena
limpahan rahmat serta anugerah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan sebuah makalah
dengan judul “Spiritualitas dan Religiusitas pada Adiyuswa” tepat pada waktunya. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada Mata Kuliah Psikologi Perkembangan Dewasa
dan Adiyuswa.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Yeniar
Indriana, M.S, selaku dosen pengampu Mata Kuliah Psikologi Perkembangan Dewasa dan
Adiyuswa kelas 4 serta setiap pihak yang telah mendukung juga membantu kami selama proses
penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah yang telah diselesaikan masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon kritik dan saran dari pembaca
untuk makalah ini agar dapat dijadikan pembelajaran kedepannya.
Demikianlah yang dapat dihaturkan, kami berharap agar makalah yang telah kami buat
ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.
Kelompok 9
iv
TINJAUAN MATA KULIAH
a. Deskripsi Singkat
Mata kuliah ini memberikan pemahaman konsep perkembangan manusia di
masa dewasa dan adiyuswa, keberhasilan tugas perkembangan yang dapat dicapai, serta
permasalahan yang terjadi apabila seseorang mengalami kegagalan dalam menjalani
tugas-tugas perkembangannya melalui analisis kasus.
b. Relevansi
Setelah mempelajari mata kuliah ini mahasiswa diharapkan mempunyai
pemahaman dan kemampuan menjelaskan tentang konsep serta teori perkembangan
manusia di masa dewasa dan adiyuswa, pembelajaran ini bertujuan untuk pencapaian
keberhasilan tugas perkembangannya sekaligus permasalahan yang terjadi apabila
mengalami kegagalan dalam tugas perkembangannya melalui analisis kasus.
c. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
1. Mampu menjelaskan perbedaan antara fase perkembangan dewasa dan fase
perkembangan adiyuswa.
2. Mampu menguraikan ciri-ciri dan tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa
dan masa usia lanjut.
3. Mampu menjelaskan berbagai konsep maupun teori tentang perkawinan dan
pekerjaan yang menjadi tugas utama pada masa perkembangan dewasa.
4. Mampu menjelaskan proses penuaan dan dampaknya pada adiyuswa.
5. Mampu menjelaskan konsep kepuasan perkawinan dan kepuasan kerja pada masa
dewasa dan kepuasan hidup pada adiyuswa.
6. Mampu menggunakan konsep perkembangan dewasa dan adiyuswa untuk
menganalisis kasus yang terjadi di masa dewasa maupun adiyuswa.
d. Sub Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
Mahasiswa memahami secara jelas materi mengenai spiritualitas dan
religiusitas beserta dimensi-dimensinya, pentingnya spiritualitas dan religiusitas bagi
adiyuswa, dan contoh asesmen pada berbagai kasus terkait dengan spiritualitas dan
religiusitas adiyuswa.
e. Indikator
Mahasiswa mampu menjelaskan dengan 90% benar tentang spiritualitas dan
religiusitas pada adiyuswa.
v
f. Petunjuk belajar
1. Membaca dan memahami RPS mata kuliah agar mahasiswa mengetahui tujuan
dan kemampuan akhir pada setiap pertemuan kuliah.
2. Membaca materi makalah kelompok presenter dan literatur lain di setiap
pertemuan kuliah.
3. Mendengarkan pemaparan materi oleh kelompok presenter serta mengajukan
pertanyaan di setiap sesi diskusi.
4. Berdiskusi mengenai materi perkuliahan dengan mahasiswa lainnya.
5. Membuat rangkuman materi di setiap pertemuan.
vi
DAFTAR ISI
PERSEMBAHAN .................................................................................................................... ii
ANALISIS PEMBELAJARAN ............................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. iv
TINJAUAN MATA KULIAH ................................................................................................ v
a. Deskripsi Singkat ........................................................................................................... v
b. Relevansi ........................................................................................................................ v
c. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah............................................................................... v
d. Sub Capaian Pembelajaran Mata Kuliah ....................................................................... v
e. Indikator ......................................................................................................................... v
f. Petunjuk Belajar ............................................................................................................ vi
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 1
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 2
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 2
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Spiritualitas .................................................................................................. 3
2.2 Dimensi Spiritualitas...................................................................................................... 3
2.3 Pengertian Religiusitas................................................................................................... 5
2.4 Dimensi Religiusitas ...................................................................................................... 6
2.5 Religiusitas, Spiritualitas, dan Kehidupan pada Adiyuswa ........................................... 7
2.6 Religiusitas, Spiritualitas, dan Kesehatan pada Adiyuswa ............................................ 9
2.7 Peran Spiritualitas dan Religiusitas Dalam Pemaknaan Hidup pada Adiyuswa.......... 10
SENARAI................................................................................................................................ 20
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian spiritualitas
Agama memiliki peranan yang penting dalam mempengaruhi kehidupan manusia.
Clifford (1973) berpendapat bahwa agama (religion) merupakan seperangkat
kepercayaan yang terorganisir tentang hubungan alam dengan dimensi supranatural dari
realitas serta peran manusia di dalam hubungan tersebut. Spiritualitas dan religiusitas
merupakan konsep yang sering ditemui dalam lingkup agama. Spiritualitas berasal dari
bahasa Latin yaitu spiritu yang memiliki arti napas hidup. Menurut Elkins dkk (1988),
spiritualitas merupakan kaidah untuk menjadi serta mengalami sesuatu yang datang
karena hadirnya kesadaran pada dimensi transenden yang ditandai oleh beberapa nilai
yang terlihat baik untuk diri, makhluk lain, kehidupan, dan segala hal yang
dipersepsikan sebagai Yang Hakiki. Menurut Maslow (1970,) spiritualitas merupakan
sifat manusia yang alamiah meskipun manusia tersebut mengaku tidak mengikuti jenis
agama apapun. Spiritualitas berfungsi untuk membantu seseorang memahami berbagai
persoalan dalam kehidupannya.
Berdasarkan penelitian (Aridhona, 2017) spiritualitas diartikan sebagai kesadaran
dan penyatuan dengan individu lain serta konsolidasi dari filosofi dasar manusia tentang
kehidupan, sikap dan praktek. Menurut Phipps (2012), spiritualitas merupakan
keinginan dasar untuk menemukan makna dan tujuan kehidupan individu serta
menjalani kehidupan yang reintegrasi. Berdasarkan definisi spiritualitas dari beberapa
ahli dapat disimpulkan bahwa spiritualitas merupakan tingkat seseorang dalam
melakukan pencarian makna dan tujuan hidup yang diekspresikan melalui setting
religius maupun non-religius.
2.2 Dimensi spiritualitas
Menurut Elkins dkk (1988), spiritualitas memiliki sembilan dimensi
diantaranya sebagai berikut:
1. Transenden
Individu yang memiliki tingkat spiritualitas tinggi memiliki kepercayaan bahwa
terdapat eksistensi dimensi transenden pada kehidupan. Kepercayaan tersebut
berupa perspektif agama tentang Tuhan hingga perspektif psikologis bahwa
transenden adalah eksistensi yang bersifat alamiah dari kesadaran diri yang
bersumber dari area ketidaksadaran. Manusia yang memiliki spiritualitas tinggi juga
memiliki pengalaman transenden yang disebut sebagai peak experience. Manusia
3
tidak hanya melihat sesuatu yang dapat dilihat secara kasat mata akan tetapi dapat
juga melihat dimensi yang tidak dapat dilihatnya.
2. Arti dan tujuan hidup
Individu dengan tingkat spiritualitas yang tinggi akan mempunyai arti serta
tujuan hidup yang didapatkannya melalui kepercayaan jika kehidupan penuh
dengan makna. Seseorang dikatakan bereksistensi apabila ia memiliki tujuan hidup.
Setiap individu mempunyai arti dan tujuan hidup masing-masing. Namun pada
umumnya mereka memenuhi ‘exixtential vaucum’ melalui authentic sense jika
hidup penuh dengan arti dan tujuan.
3. Misi hidup
Individu yang mempunyai tingkat spiritualitas tinggi merasa bahwa ia memiliki
tanggung jawab terhadap hidupnya. Dimensi ini memberikan tugas kepada manusia
untuk menemukan jati dirinya, seperti mencari makna siapakah dirinya dan apa
tujuan ia berada dan hidup di dunia.
4. Kesucian hidup
Individu yang memiliki tingkat spiritualitas tinggi mampu mensucikan jiwanya
dengan tujuan agar kehidupan yang dijalaninya damai dan bahagia. Apabila
manusia selalu berusaha untuk mensucikan jiwanya maka ia akan mendapatkan
suatu kekhidmatan dan kekhusyukkan ketika berhubungan dengan realitas
transenden. Seseorang dengan spiritualitas tinggi meyakini bahwa diperlukan jiwa
yang suci untuk berhubungan dengan realitas transenden. Jika dalam kehidupan
sehari-hari manusia ternodai oleh tindakan yang buruk maka realitas transenden
tidak akan memasuki dirinya.
5. Kepuasan spiritualitas
Individu dengan tingkat spiritualitas tinggi tidak akan menemukan kepuasan
pada materi namun ia akan mendapatkan kepuasan dari aspek spiritualnya. Individu
tersebut tidak memandang bahwa kepuasan tertinggi berada pada banyaknya uang
atau tingginya kedudukan dan ia juga tidak memanfaatkan materi yang dimilikinya
untuk menggantikan kebutuhan spiritual. Manusia meyakini bahwa apabila ia
mempunyai spiritualitas yang baik maka kehidupannya pun akan baik juga.
6. Altruisme
Individu yang mempunyai tingkat spiritualitas tinggi akan memahami bahwa
semua manusia di dunia ini berdampingan dan tersentuh oleh penderitaan yang
4
dirasakan oleh orang lain. Ia mempunyai perasaan yang kuat kepada keadilan sosial
dan komitmen cinta serta perilaku altruistik.
7. Idealisme
Individu dengan tingkat spiritualitas tinggi merupakan orang yang visioner yang
mempunyai komitmen untuk membuat dunia menjadi lebih baik. Manusia tersebut
mempunyai kepercayaan yang kuat mengenai kekuatan transenden yang berada di
luar kehidupan materialistik. Hal tersebut menyebabkan ia memanfaatkan potensi
kehidupannya untuk mendekatkan diri pada sesuatu yang transenden.
8. Kesadaran akan adanya penderitaan
Berdasarkan dimensi ini, individu dengan tingkat spiritualitas tinggi akan
menyadari adanya penderitaan dan kematian dalam kehidupannya. Kesadaran
tersebut menyebabkan dirinya menjadi lebih berhati-hati dalam menjalani
kehidupan sebab penderitaan dianggap sebagai sebuah ujian atau musibah.
Kesadaran terhadap penderitaan dan kematian juga membawa dampak positif yaitu
dapat meningkatkan kebahagiaan, penilaian, dan apresiasi seseorang terhadap
kehidupan.
9. Hasil dari spiritualitas
Ketika spiritualitas yang dilaksanakan dengan benar maka akan membawa
dampak positif kepada manusia. Apabila seseorang memiliki spiritualitas yang baik
maka ia akan dapat menjaga hubungan baik dengan Tuhannya, sesama manusia,
serta alam di sekitarnya.
2.3 Pengertian Religiusitas
5
2.4 Dimensi Religiusitas
Dalam konsep religiusitas, ada lima dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh
Glock dan Stark, antara lain sebagai berikut:
1. The Ideological Dimension (Dimensi Keyakinan)
Dimensi keyakina merupakan dimensi yang berisi harapan-harapan yang
dimana orang-orang religius, mereka tetap berpegang teguh dengan pandangan
teologis (ajaran) tertentu dan mereka mengakui kebenaran akan doktrin yang
mereka yakini. Misalnya dalam ajaran agama Islam, dimensi keyakinan ini
bersangkutan dengan keyakinan umatnya terhadap rukun iman, kepercayaan
individu dengan kebenaran-kebenaran yang ada dalam agama mereka, dan
keyakinan mereka akan hal-hal ghaib yang diajarkan oleh agama yang
bersangkutan.
2. The Ritualistic Dimension (Dimensi Praktik Agama)
Dalam dimensi praktik agama atau ritual, akan diukur sejauh mana individu bisa
melakukan kewajiban mereka dalam ritual atau praktik agama yang mereka anut.
Misalnya ketika individu melaksanakan ibadah, pergi ke tempat ibadah mereka,
berdoa, puasa, dan lainnya. Dimensi ini dipenuhi dengan keberagaman berupa
keberagaman peribadatan dan bentuk acara atau upacara keagamaan masing-
masing agama yang dianut.
3. The Experimental Dimension (Dimensi Penghayatan)
Sesudah mencapai dimensi keyakinan yang tinggi dan menunaikan dimensi
praktik agama yang dianut dengan optimal, maka individu akan memasuki
dimensi penghayatan (Experimental Dimension). Dalam tingkatan dimensi ini,
individu akan merasakan sejauh mana mereka merasa kedekatan dengan Tuhan-
nya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Contoh perilaku dalam dimensi ini
adalah perasaan dan pengalaman kedekatan dengan Tuhan, perasaan bersyukur
atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan, dan perasaan ikhlas dan nikmat dalam
melaksanakan ibadah sesuai dengan agama atau keyakinan yang dianut.
4. The Intellectual Dimension (Dimensi Pengetahuan Agama)
Dimensi ini berhubungan dengan intelektual, pemahaman, dan seberapa jauh
pengetahuan individu terhadap ajaran agama mereka. Dalam dimensi ini,
setidaknya individu memiliki pengetahuan dan pemahaman minimal tentang
6
dasar-dasar keyakinan atau agama mereka seperti kitab suci, ritus, tradisi, dan
pedoman hidup.
5. The Consequential Dimension (Dimensi Konsekuensi)
Berbeda dengan dimensi lainnya, dimensi ini berkaitan dengan dampak dari
keyakinan keagamaan/kepercayaan, praktek keagamaan, pengalaman,
pengetahuan dan pemahaman individu. Dimensi konsekuensi ini lebih berpatok
pada aspek sosial, dimana berkaitan dengan bagaimana hubungan individu dengan
manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari yang dilandaskan oleh ajaran-ajaran
agama/kepercayaan yang dianut.
7
terdapat paksaan, diliputi dengan perasaan kasih sayang antar satu dengan lainnya, dan
yang utama beranjak melekatkan diri para adiyuswa dengan Tuhan. (Santrock, 2006).
Kemunduran pada syarat psikis, fisik, serta sosial pada adiyuswa dapat
menyebabkan mereka menjadi ketergantungan ketika melakukan aktivitas
kesehariannya. Hal tersebut disebabkan karena adanya kenaikan tingkat kerentanan
terhadap penyakit dan kematian secara eksponensial yang seiringan dengan proses
penuaan. Salah satu hal yang mempengaruhi kualitas hidup adiyuswa adalah terjadinya
ketergantungan (Mira Afnesta Yuzefo, dkk, (2016). Pada masa tuanya, adiyuswa
cenderung sangat membutuhkan dukungan sosial dari orang-orang disekitarnya supaya
dapat lebih merasa nyaman dengan lingkungannya, merasa dipedulikan, dihargai, dan
dicintai serta tidak merasakan kesepian. Maka dari itu, dukungan yang adiyuswa terima
dari lingkungan sekitar bisa membantu meningkatkan kualitas hidup mereka.
Usia yang semakin tua dan perubahan fisik merupakan sesuatu hal yang tidak
terhindarkan. Perubahan bentuk tubuh dan kulit, kehilangan gigi (ompong) serta
terjadinya penurunan fungsi indra terutama pendengaran dan penglihatannya tak jarang
akan berdampak terhadap konsep diri. Adiyuswa diharapkan mampu untuk beradaptasi
dalam perubahan yang terjadi. Penerimaan positif terhadap perubahan keadaan fisik
dapat membuat adiyuswa mengalami peningkatan kualitas hidup sebab mereka akan
tetap percaya diri serta menyayangi diri sendiri. Apabila terjadi penolakan perubahan
fisik karena proses penuaan dapat memperlambat successfull aging. Successful aging
merupakan manusia yang mempunyai rasa kepuasaan terhadap dirinya atau
kehidupannya, hal tersebut dikemukakan oleh Havighurst. Peran successfull aging
dalam meningkatkan kualitas hidup adiyuswa sangat penting sehingga mereka bisa
menyesuaikan diri dengan perubahan karena penuaan saat memasuki usia lanjut. Selain
itu, terdapat pula adiyuswa yang menerima perubahan fisik. Hal tersebut membentuk
kepercayaan diri pada adiyuswa serta mereka tetap menyukai setiap anggota tubuhnya.
Penerimaan serta kesanggupan dalam beradaptasi terhadap kemunduran yang dirasakan
dapat mewujudkan tercapainya successful aging (Hamidah & Wrastari, 2012).
Oleh karena itu, adiyuswa diupayakan untuk mampu mengembangkan
spiritualitasnya. Dengan demikian, adiyuswa bisa menjalani kehidupan dengan
nyaman, tenang, dan tentram. Hasil Munawarah (2018) mengemukakan bahwa
Adiyuswa yang merasakan kenyamanan dan ketentraman membuat kualitas hayati yang
semakin tinggi. Terdapat hubungan sangat signifikan antara spiritualitas dengan
kualitas hayati yang mana apabila spiritualitas individu tersebut baik maka kualitas
8
hayatinya juga akan baik pula. Dengan adanya spiritualitas yang baik maka adiyuswa
akan selalu mengupayakan untuk mempertahankan keragaman dengan dunia luar, dan
berupaya agar menerima sumber kekuatan ketika menghadapi berbagai penyakit, stres
emosional serta kematian (Prakoso, 2014).
2.6 Religiusitas, Spiritualitas, dan Kesehatan pada Adiyuswa
Peningkatan usia pada adiyuswa berjalan beriringan dengan adanya berbagai
perubahan pada fisik, psikologis, dan spiritual pada diri adiyuswa. Spiritualitas sendiri
termasuk faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan adiyuswa. Spiritualitas dapat
dikaitkan dengan keluhan fisik, mental, serta gangguan adiksi yang berkurang karena
kualitas hidup yang meningkat. Berdasarkan teori tugas perkembangan, individu yang
sudah mencapai tahap adiyuswa diharapkan dapat meningkatkan spiritualitasnya dan
menjadi sosok yang lebih bijaksana. Adiyuswa yang religius dan berkehidupan
spiritualitas yang baik akan memiliki koping yang baik pula serta dapat menyesuaikan
diri dengan segala perubahan fisik yang terjadi pada dirinya. Spiritualitas yang baik
diiringi dengan religiusitas yang mencerminkan kedekatan antara hamba dengan
Tuhannya.
Kaitan antara religiusitas, spiritualitas, dan kesehatan pada adiyuswa dapat
dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2016). Berdasarkan penelitian
tersebut dapat diketahui adanya hubungan yang signifikan antara spiritualitas dengan
persepsi kesehatan fisik dan mental adiyuswa yang mengidap hipertensi di wilayah
kerja Puskesmas Mayang. Hipertensi merupakan silent killer bagi adiyuswa yang mana
dapat dipicu dan memicu stres. Dalam penelitian tersebut ditunjukkan bahwa
mekanisme koping negatif yang dimiliki oleh responden tergolong rendah karena
menganggap bahwa hipertensi yang diderita merupakan ujian dari Tuhan dan hasil dari
perbuatan mereka sendiri. Pada saat individu sedang sakit dan stres, maka agama dan
spiritualitas menjadi mekanisme koping bagi individu tersebut. (Naewbood, dkk., 2012
dalam Dewi, 2016).
Adiyuswa yang tengah berada pada akhir siklus kehidupan manusia tidak jarang
menjalani hidup yang tidak diinginkannya hingga akhirnya mengalami gangguan
mental. Sejalan dengan hal tersebut terdapat penelitian yang menunjukkan hubungan
antara religiusitas, spiritualitas, dan depresi pada adiyuswa. Disebutkan bahwa dalam
proses mengurangi tingkat depresi pada adiyuswa, kehidupan spiritual turut memegang
peranan penting (Park dan Roh, 2013 dalam Handayani, 2018). Selain itu, keyakinan
yang kuat pada ajaran agama, ketaatan dalam melaksanakan ajaran agama, dan
9
pengalaman adiyuswa dalam kehidupan beragama adalah beberapa faktor religiusitas
yang memengaruhi depresi pada adiyuswa. Pada saat individu menghadapi situasi yang
cenderung memicu perasaan depresi, stres, dan tertekan, maka individu akan berusaha
untuk mencari kompensasi yang dapat mengatasi perasaan yang sedang dirasakannya.
Mendekatkan diri kepada Tuhan merupakan salah satu kompensasi yang dapat
dilakukan oleh individu untuk mengurangi beban yang ditanggungnya. Oleh karena itu,
tingkat spiritual lanjut usia sangat berhubungan dengan fenomena depresi pada lanjut
usia. Selain itu, untuk menghindari perasaan depresif juga diperlukan tingkat
religiusitas yang tinggi. (Hamid, 2000 dalam Handayani, 2018). Berdasarkan hasil
penelitian Handayani (2018), diperoleh bahwa lebih dari separuh jumlah responden
merupakan adiyuswa yang tidak berhubungan baik dengan orang lain, lingkungan, dan
Tuhan cenderung menolak perubahan pada dirinya, murung, dan merasa bahwa hidup
yang dijalaninya itu tidak menyenangkan hingga akhirnya mengakibatkan mereka lebih
mudah mengalami depresi. Sebaliknya, adiyuswa yang berhubungan dekat dengan
orang lain, lingkungan, dan Tuhan, merasa damai setelah melaksanakan ibadah,
memahami dirinya sendiri tidak mengalami depresi.
Kedekatan antara individu adiyuswa terhadap Tuhan yang dilandasi oleh adanya
rasa ikhlas akan menyebabkan adiyuswa menaati seluruh ajaran agama yang dianutnya.
Dalam hal tersebut, ajaran agama yang ditaati juga mencakup ajaran mengenai cara
berperilaku dan pola hidup sehat. Pada individu yang menderita suatu penyakit,
pemahaman akan penyakit yang diderita dan keyakinan terhadap agama yang dianut
akan turut serta memberikan motivasi kepada adiyuswa untuk melaksanakan perilaku
dan pola hidup sehat demi kesehatan dirinya sendiri.
2.7 Peran Spiritualitas dan Religiusitas Dalam Pemaknaan Hidup pada Adiyuswa
Suatu hal yang dianggap menjadi sesuatu yang berharga dan penting, juga
memberikan nilai khusus sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan disebut
dengan makna hidup (Frankl, 2003 dalam Santoso M.R & Wijaya S.V, 2014). Sejalan
dengan pengertian tersebut, Bustaman (2006 dalam Santoso M.R & Wijaya S.V, 2014)
mengartikan makna hidup sebagai sesuatu hal yang dilihat penting, didambakan, benar,
dan memberi nilai khusus serta bisa dijadikan tujuan hidup seseorang. Makna hidup
setiap manusia akan berbeda-beda. Menurut Frankl (1985, dalam Fridayanti, 2013)
makna hidup adalah alasan seseorang tetap bertahan dalam kondisi ekstrim serta
menjadi penyelamat dari kondisi ekstrim. Keberhasilan dalam menemukan dan
10
memenuhi makna hidup dapat menyebabkan individu merasa kehidupannya berarti dan
berharga. Makna hidup yang rendah dapat menjadi salah satu penyebab gangguan
kesehatan mental yaitu depresi. Karena individu tidak mampu mengarahkan dirinya
kepada makna-makna tertentu yang pasti serta tidak mampu melakukan penyesuaian
diri dan mengatasi permasalah hidupnya. Sejalan dengan itu, berbagai studi juga
menunjukkan bahwa individu yang telah menemukan rasa makna dalam hidup lebih
sehat secara fisik dan lebih bahagia serta mengalami lebih sedikit depresi daripada
mereka yang belum menemukan arti hidup (Debats, 1990; Krause, 2004; Parquart,
2002). Persoalan makna hidup ini sangat penting karena kekosongan makna hidup
dapat menyebabkan ketidaktahanan individu terhadap penderitaan yang dialami dan
harga diri menjadi tidak kokoh. Lansia merupakan periode kehidupan manusia dengan
semua perubahan dan pengalaman hidup yang pernah mereka lalui. Dengan segala
perubahan dan pengalaman hidup tersebut membuat adiyuswa mengembangkan makna
hidup. Dari penelitian yang ada menunjukan tidak sedikit individu yang berpendapat
bahwa agama memainkan peran penting dalam meningkatkan eksplorasi makna hidup
(Krause, 2009).
Pencarian makna hidup bisa dimengerti dalam 4 kebutuhan utama akan makna
yang memandu bagaimana individu mencoba memahami kehidupan mereka (Roy
Baumeister & Kathleen Vohs, 2002). Pertama, Need for purpose yaitu kebutuhan yang
dapat digambarkan dengan bagaimana peristiwa saat ini menarik makna dari
hubungannya dengan peristiwa masa depan. Hidup dapat berorientasi pada keadaan
yang diantisipasi di masa mendatang, seperti bahagia atau jatuh cinta. Kedua, Need for
values dimana kebutuhan ini mmapu memberikan rasa kebaikan atau karakterisasi
kehidupan yang positif dan membenarkan tindakan tertentu. Frankl (1984) sendiri
menekankan nilai sebagai bentuk utama makna yang dibutuhkan setiap orang. Ketiga,
Need for a sense off efficacy dimana kebutuhan ini melibatkan keyakinan bahwa
seseorang dapat membuat perbedaan. Oleh karena itu, sebuah kehidupan yang
mempunyai tujuan dan nilai-nilai namun tidak terdapat kemanjuran akan menjadi
tragis. Orang tersebut mengetahui apa yang diinginkannya namun tidak mampu
melakukan apapun dengan pengetahuan tersebut. Keempat, Need for self-worth dimana
setiap manusia menginginkan menjadi orang yang baik dan berharga.
11
Ada beberapa aspek makna hidup yang dikemukakan oleh Crumbaugh &
Maholic (1964) antara lain :
1. Tujuan hidup: sesuatu hal yang dipilih, memberi nilai khusus dan menjadi
tujuan hidup.
5. Pikiran tentang bunuh diri: bagaimana pemikiran mereka tentang bunuh diri.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
13
d. Merasa bahwa hidup yang dijalaninya itu tidak menyenangkan
e. Memahami dirinya sendiri tidak mengalami depresi
3. Perhatikan pernyataan di bawah ini!
1. Kebutuhan akan tujuan
2. Tujuan hidup
3. Kebutuhan akan nilai
4. Kebutuhan akan kedamaian
5. Kebutuhan akan kebebasan
Dari kelima pernyataan di atas, manakh yang merupakan bagian dari 4 kebutuhan
utama untuk pencarian makna hidup?
a. 1 dan 2
b. 1 dan 3
c. 1 dan 4
d. 3 dan 5
e. 3 dan 4
4. Dimensi dalam konsep religiusitas dimana individu akan merasakan sejauh mana
mereka merasa kedekatan dengan Tuhan-nya dalam kehidupan mereka sehari-
hari, disebut…
a. Dimensi keyakinan
b. Dimensi praktik dan ritual agama
c. Dimensi penghayatan
d. Dimensi konsekuensi
e. Dimensi pengetahuan agama
5. Kondisi dimana adanya penerimaan dan kesanggupan dalam menyesuaikan diri
terhadap kemunduran yang dirasakan oleh adiyuswa adalah…
a. Personal well-being
b. Successful aging
c. Healthy aging
d. Emotional vitality
e. Functional ability
6. Di bawah ini yang termasuk pernyataan benar mengenai makna hidup (meaning
of life) adiyuswa adalah…
a. Makna hidup setiap manusia akan berbeda-beda
14
b. Agama memainkan peran penting dalam meningkatkan eksplorasi makna
hidup
c. Makna hidup (meaning of life) yang rendah tidak sampai dapat
menyebabkan depresi
d. Makna hidup memberikan nilai khusus sehingga layak dijadikan tujuan
dalam kehidupan
e. Makna hidup dikembangkan dengan segala perubahan dan pengalaman hidup
adiyuswa.
7. Ada 4 kebutuhan utama yang membantu individu mencoba memahami kehidupan
mereka, kebutuhan akan nilai sebagai bentuk utama makna yang diperlukan setiap
orang dinamakan dengan kebutuhan…
a. Need for purpose
b. Need for self-worth
c. Need for validation
d. Need for a sense of efficacy
e. Need for values
8. Adiyuswa lebih tertarik pada aktivitas yang berhubungan dengan sosial
keagamaan, dikarenakan kecuali…
a. Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada
adiyuswa
b. Masa usia lanjut seseorang sudah tidak lagi dibebani dengan tanggungan
keluarga dan pekerjaan
c. Kegiatan di bidang sosial dan keagamaan merupakan salah satu aktivitas yang
menarik dan dapat diikuti para adiyuswa
d. Aspek sosial merupakan salah satu aspek yang mempunyai peran signifikan
pada masa lansia
e. Religiusitas tidak menjadi aspek yang mempengaruhi kesejahteraan
masa lansia.
9. Dalam 4 kebutuhan utama ada makna yang memandu bagaimana individu
mencoba memahami kehidupan mereka, di bawah ini yang bukan merupakan 4
kebutuhan tersebut adalah …
a. Need for values
b. Need for purpose
c. Need for self-esteem
15
d. Need for a sense off efficacy
e. Need for self-worth
10. Dalam konsep religiusitas, ada 5 dimensi-dimensi religiusitas yang dirumuskan
oleh Glock dan Stark. Dimensi yang berpatok pada aspek sosial, dimana berkaitan
dengan bagaimana hubungan individu dengan manusia lainnya dalam kehidupan
sehari-hari yang dilandaskan oleh ajaran-ajaran agama/kepercayaan yang dianut
disebut …
a. Dimensi Praktik Agama
b. Dimensi Konsekuensi
c. Dimensi Pengetahuan Agama
d. Dimensi Penghayatan
e. Dimensi Keyakinan
3.2.2 Uraian
1. Jelaskan dimensi spiritualitas transenden dan altruisme!
Jawaban:
a. Dimensi Transenden
Menurut dimensi transenden, seseorang yang memiliki tingkat spiritualitas
tinggi memiliki kepercayaan bahwa terdapat eksistensi dimensi transenden
dalam kehidupan. Kepercayaan tersebut berupa perspektif agama mengenai
Tuhan hingga perspektif psikologis bahwa transenden merupakan eksistensi
alamiah dari kesadaran diri yang berasal dari wilayah ketidaksadaran. Seseorang
yang memiliki spiritualitas tinggi juga memiliki pengalaman transenden yang
disebut sebagai peak experience yaitu mereka tidak hanya melihat sesuatu yang
dapat dilihat secara kasat mata namun juga dapat melihat dimensi yang tidak
dapat dilihatnya.
b. Dimensi Altruisme
Menurut dimensi altruisme, seseorang yang memiliki tingkat spiritualitas
tinggi akan memahami bahwa semua manusia di dunia ini bersaudara dan
mereka mudah tersentuh oleh penderitaan yang dirasakan oleh orang lain
sehingga timbul keinginan untuk menolong orang tersebut meskipun ia
mengorbankan dirinya sendiri. Ia mempunyai perasaan yang kuat terhadap
keadilan sosial dan komitmen cinta serta perilaku altruistik.
16
STUDI KASUS
MW merupakan seorang nenek berusia lebih dari 60 tahun yang tinggal di Panti Tresna
Werdha Teratai Palembang. MW pernah menikah dan mempunyai 8 anak dari
pernikahanya yang pertama namun anak MW meninggal 4 dan hidup 4. Setelah suami
MW meninggal beliau memutuskan untuk menikah lagi. Dari penuturan MW ia
mengatakan alasan yang paling utama kenapa MW tinggal di panti karena beliau merasa
malu dengan kelakuan anaknya lalu pergi meninggalkan rumah. Anak perempuan MW dari
pernikahannya yang pertama menjadi seorang janda dan pernah di tahan, setelah kembali
dari tahanan, anak MW kembali tinggal bersamanya. Setelah pulang dari tahanan dan
kembali tinggal dengan MW, anaknya berhubungan intim dengan suami MW sendiri. MW
menceritakan bahwa saat pertama kali tinggal di Panti, MW merasa sedih dan selalu menangis,
karena saat itu belum ada teman dan tidak bisa berjalan. Anak MW sering ingin mengajak
MW pulang namun keponakan MW melarang supaya beliau tetap tinggal di panti dan juga
MW memang tidak mau lagi pulang sampai peristirahatan terakhir ia tetap ingin tinggal di
panti. MW tidak ingin pulang karena merasa malu dengan kelakuan anaknya. Dari cerita
MW sebelumnya ia mengatakan bahwasannya hubungan MW dengan keluarga agak
renggang, karena kelakuan anak dan suaminya. Namun keponakan-keponakannya banyak
yang mengunjungi MW di panti. Lama kelamaan tinggal di panti MW merasa nyaman tinggal
di panti dikarena ada pengajian dan MW sering mengikuti pengajian, setiap hari beliau juga
mengaji. MW merupakan seorang adiyuswa yang religius. Pekerjaan sehari-hari MW hanya
sholat dan mengaji. Kalau kegiatan panti MW seperti pengajian, kumpul-kumpul di aula MW
selalu mengikutinya.Sekarang MW merasa betah tinggal di panti, karena sholatnya tidak
pernah tertinggal. MW mengungkapkan bahwa hubunggannya dengan penghungi panti
lainnya, pegawai, dan ibu pantai terjalin baik, apabila dimarahi MW menganggapnya biasa
saja. MW merasa dirinya sehat, berbeda dengan penghuni yang lainnya yang sudah
linglung. MW merasa tenang ketika tinggal di panti karena tidak ada pikiran untuk urusan
rumah tangga seperti berbelanja, membayar listrik, membayar air, dan sebagainya. MW tidak
melakukan kegiatan berat untuk sehari-hari. Ia tidak bisa bekerja seperti menyapu karena
kakinya sudah tidak sanggup berjalan akan tetapi jika duduk-duduk membantu membersihkan
sayuran MW masih sanggup. MW tidak berharap banyak, hanya saja berharap agar selalu
sehat dan tidak mendapat penyakit lain lagi bahkan beliau menurutkan apabila "sudah siap
apabila suatu saat dipanggil". Berkat kereligiusannya tersebut beliau memiliki spiritualitas
yang baik pula sehingga dapat pandangan hidup yang baik. Menurut beliau kebahagiaan itu
17
sendiri adalah jika beliau melakukan kesenangannya. MW merasa bahagia yaitu karena dirinya
bisa rutin mengaji sehingga batinnya terasa bersih. Dalam konteks untuk mengahadapi
permasalahan, MW terkadang berbeda pendapat dengan temannya. Namun untuk mengatasi
suatu hal agar tidak terjadi masalah, MW cepat-cepat kembali kekamar dan membaca Al-
qur’an di dalam kamar. Karena jika sedang terjadi cekcok subjek merasa gelisah sehingga
subjek mengatasinya dengan membaca Al-qur’an.
18
DAFTAR PUSTAKA
Alnaseh, D., Desi, D., & Dese, D. C. (2021). Spiritualitas dan kualitas hidup lansia pada Suku
Dayak Tomun. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional
Indonesia, 9(2), 275-292.
Ardian, I. (2016). Konsep spiritualitas dan religiusitas dalam pasien DM tipe 2. NURSCOPE
Jurnal Keperawatan Dan Pemikiran Ilmiah, 5, 1–9.
Aridhona, J. (2017). Hubungan antara kecerdasan spiritual dan kematangan emosi dengan
penyesuaian diri remaja. Intuisi : Jurnal Psikologi Ilmiah, 9(3), 224–233.
Dewi, S. R. (2016). Spiritualitas dan persepsi kesehatan lansia dengan hipertensi di Wilayah
Kerja Puskesmas Mayang Jember. The Indonesian Journal Of Health Science, 6(2),
228–237.
Impisari, I. (2017). Makna kebahagiaan pada lansia muslim yang tinggal di Panti Tresna
Werdha Teratai Palembang. Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial Dan Sains, 6(2),
211-228. https://doi.org/10.19109/intelektualita.v6i2.1607
Permana, D. (2018). Peran spiritualitas dalam meningkatkan resiliensi pada residen narkoba.
Jurnal Syifa Al-Qulub, 2(Januari), 80–93. https://doi.org/10.15575/saq.v2i2.2972
Santoso M. R. & Wijaya S. V. (2014). Gambaran makna hidup pada lansia yang tinggal di
panti werdha. Psibernetika, 7(1), 1-11.
19
SENARAI
Altruisme Tindakan membantu orang lain yang dilakukan dengan cara
mengorbankan diri sendiri.
Silent killer Penyakit yang tidak memiliki gejala atau indikasi yang terlihat kentara.
20
LEMBAR KONTRIBUSI
NAMA KONSTRIBUSI
Azzahra Putwiantoro • Menyusun studi kasus
(15000121130102) • Menyusun rumusan masalah dan tujuan
• Menyusun powerpoint
• Menyusun makalah
Adilla Panca Karsa • Menyusun materi pengertian dan dimensi
(15000121120010) religiusitas
• Membuat pertanyaan pilihan ganda
• Menyusun powerpoint
• Menyusun makalah
Hanina Failasufa • Menyusun materi religiusitas, spiritualitas, dan
(15000121130171) kesehatan pada adiyuswa
• Menyusun latar belakang
• Menyusun powerpoint
• Menyusun makalah
Hesti Rosmeida • Menyusun materi peran spiritualitas dan
(15000121130124) religiusitas dalam pemaknaan hidup pada
adiyuswa
• Membuat pertanyaan pilihan ganda
• Menyusun powerpoint
• Menyusun makalah
Priscilla Genta Abella • Menyusun materi religiusitas, spiritualitas, dan
(15000121140322) kehidupan pada adiyuswa
• Membuat pertanyaan pilihan ganda
• Menyusun powerpoint
• Menyusun makalah
Risa Lidyawati • Menyusun materi pengertian dan dimensi
(15000121130164) spiritualitas
• Menyusun bab penutup (kesimpulan)
• Membuat pertanyaan uraian
21
• Menyusun powerpoint
• Menyusun makalah
• Melakukan cek turnitin
22
CEK TURNITIN
23
24