Disusun Oleh:
1. Dewi Anggraeni 21105244053
2. Ridwan Hadi Utomo 21105241052
3. Mutia Kusumaningtyas 21105241061
4. Annisa Salsabila 21105241062
5. Kartika Amalia 21105244030
6. Annisa Nur Rohmah 21105244042
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat, hidayah, serta inayah-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Perkembangan dan Karakteristik
Peserta Belajar yang berjudul "Prinsip Perkembangan Kecerdasan" dengan tepat waktu.
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Perkembangan
dan Karakteristik Peserta Belajar serta sarana untuk menambah wawasan dan ilmu bagi para
pembaca dan penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. C. Asri Budiningsih, M.Pd.
selaku dosen Mata Kuliah Perkembangan dan Karakteristik Peserta Belajar. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada teman-teman yang telah membantu menyelesaikan makalah
ini. Terlepas dari segala hal tersebut, kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Tim Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk diperoleh anak-anak ataupun orang
dewasa. Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang agar dapat berhasil dan
mampu meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Peserta didik yang menduduki bangku
pendidikan pasti memiliki keberagaman yang unik seperti keberagaman karakter, minat
dan bakat, begitu pula dengan kecerdasan. Kecerdasan dapat dipandang sebagai
kemampuan untuk memperoleh informasi kemudian mengintegrasikan dan
memperluasnya, sehingga membentuk kesadaran dan pengetahuan-pengetahuan baru.
Kecerdasan dapat juga dipandang sebagai kemampuan untuk mengolah atau memproses
informasi dan menggunakannya untuk menghasilan dan menemukan sesuatu yang baru,
serta mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi, sehingga seseorang dapat
mengembangkan potensinya. Namun kenyataannya masih banyak terjadi kendala dalam
pembelajaran yang memberikan metode untuk keberagaman kecerdasan yang dimiliki oleh
setiap peserta didik.
Kendala bagi dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas adalah
masih banyaknya instansi pendidikan yang mempunyai pola pikir tradisional di dalam
menjalankan proses belajarnya yaitu sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika
(matematika) dan bahasa. Kenyataan ini senada dengan yang diungkapkan oleh Seto
Mulyadi (2003), seorang praktisi pendidikan anak, bahwa suatu kekeliruan yang besar jika
setiap kenaikan kelas, prestasi anak didik hanya diukur dari kemampuan matematika dan
bahasa. Dengan demikian sistem pendidikan nasional yang mengukur tingkat kecerdasan
anak didik yang semata-mata hanya menekankan kemampuan logika dan bahasa perlu
direvisi. Dengan begitu pemahaman akan beragamnya kecerdasan yang dimiliki anak perlu
diperhatikan dengan serius sehingga, nantinya dapat menerapkan metode pembelajaran
yang mewadahi keberagaman kecerdasan yang dimiliki oleh setiap peserta didik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Kecerdasan?
2. Bagaimana proses perkembangan kecerdasan?
3. Apa saja macam-macam kecerdasan?
4. Apa saja faktor yang mempengaruhi kecerdasan?
5. Bagaimana kecerdasan siswa sebagai pijakan dalam pembelajaran?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Menjelaskan pengertian Kecerdasan.
2. Mengetahui proses perkembangan kecerdasan.
3. Menjelaska macam-macam kecerdasan.
4. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan.
5. Mengetahui kecerdasan siswa sebagai pijakan dalam pembelajaran.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kecerdasan
Terdapat beragam definisi kecerdasan atau intelegensi menurut para ahli, diantaranya
adalah Kecerdasan berasal dari kata cerdas yang berarti pintar dan cerdik, cepat tanggap
dalam menghadapi masalah dan cepat mengerti jika mendengar keterangan. Kecerdasan
adalah kesempurnaan perkembangan akal budi. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang
untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dalam hal ini adalah masalah yang menuntut
kemampuan fikiran (Daryanto, 2014).
Kecerdasan merupakan potensi yang dimiliki seseorang yang sifatnya dinamis, dapat
tumbuh dan berkembang. Kecerdasan juga diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk
memecahkan masalah atau menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan di dalam latar budaya
tertentu Howard Gardner (Agus Efendi, 2005: 81). Rentang masalah atau sesuatu yang
dihasilkan mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Dikatakan mulai dari upaya
mengakhiri cerita, menentukan langkah-langkah permainan catur, menambal selimut yang
sobek, sampai menghasilkan teori-teori, komposisi musik dan sistem politik. Seseorang
dikatakan cerdas bila ia dapat memecahkan masalah yang dihadapi dalam hidupnya
dan/atau mampu menghasilkan sesuatu yang berharga dan berguna bagi umat manusia.
Definisi Inteligensi atau kecerdasan selanjutnya menurut Dusek (Casmini,2007:14)
dapat didefinisikan melalui dua jalan, yaitu secara kuantitatif adalah proses belajar untuk
memecahkan masalah yang dapat diukur dengan tes inteligensi, dan secara kualitatif suatu
cara berpikir dalam membentuk konstruk bagaimana menghubungkan dan mengelola
informasi dari luar yang disesuaikan dengan dirinya.
Kemudian Munzert mengartikan kecerdasan sebagai sikap intelektual mencakup
kecepatan memberikan jawaban, penyeleasaian, dan kemampuan menyelesaikan masalah.
David Wescler juga memberi pengertian kecerdasan sebagai suatu kapasitas umum dari
individu untuk bertindak, berpikir rasional dan berinteraksi dengan lingkungan secara
efektif (Syaiful Sagala, 2010: 82). Sehingga dapat diartikan pula bahwa kecerdasan atau
Inteligensi adalah kemampuan untuk menguasai suatu kemampuan tertentu.
Kecerdasan dapat juga diartikan sebagai daya pikir atau kekuatan mental seseorang
dalam memecahkan masalah atau menghasilkan sesuatu. Kemampuan ini akan berbeda-
beda pada setiap orang. Kecerdasan akan mengalami perkembangan sesuai bertambahnya
usia dan pengalaman seseorang, sehingga kecerdasan setiap orang akan berbeda-beda pula
secara kualitatif. Cara seseorang memperoleh kecakapan intelektual atau mengalami
perkembangan kecerdasan pada umumnya berhubungan dengan proses mencari
keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan alami serta mereka ketahui pada satu
sisi, dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau
persoalan. Bila seseorang dalam kondisi sekarang dapat mengatasi situasi baru,
keseimbangan mereka tidak akan terganggu. Jika belum dapat mengatasi, ia harus
melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan
5
terjadi secara simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi (Asri Budiningsih, 2013). Asimilasi
adalah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang ada
sekarang, sementara akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat
dipahami. Dengan kata lain, apabila individu menerima informasi atau pengalaman baru
maka informasi tersebut akan dimodifikasi, sehingga cocok dengan struktur kognitif yang
telah dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang
sudah dimilikinya yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini
disebut akomodasi.
Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitif
atau suatu ketidakseimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau
dialaminya sekarang. Proses ini akan mempengaruhi strutur kognitif yang telah
dimilikinya. Menurut Piaget, perkembangan kecerdasan terjadi karena adanya proses
tersebut yang dikatakan sebagai proses belajar. Proses belajar akan terjadi jika mengikuti
tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi
merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke dalam struktur
kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi
adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Sebagai contoh, seorang anak sudah memahami prinsip-prinsip pengurangan. Ketika
mempelajari prinsip-prinsip pembagian, maka terjadi proses pengintegrasian antara prinsip
pengurangan yang sudah dikuasainya dengan prinsip pembagian (informasi baru). Inilah
yang disebut proses asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka
situasi ini disebut akomodasi. Artinya, anak tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau
memakai prinsip-prinsip pembagian dalam situasi baru dan spesifik untuk melahirkan
pemikiran baru.
Agar seseorang dapat terus mengembangkan kecerdasan dan menambah
pengetahuannya sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses
penyeimbangan. Proses penyeimbangan yaitu menyeimbangkan antara lingkungan luar
dengan struktur kognitif yang sudah ada di dalam dirinya. Proses inilah yang disebut
ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif atau kecerdasan seseorang
akan mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya tampak pada
caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis, dan
sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur
kognitif.
6
tahap kognitifnya. J. Piaget (Paul Suparno, 2001) membagi tahap-tahap perkembangan
kognitif atau kecerdasan ini menjadi empat yaitu;
Pada tahap preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa
dalam mengembangkan konsepnya walaupun masih sangat sederhana. Maka sering
terjadi kesalahan anak dalam memahami obyek. Karakteristik tahap ini adalah:
a. Self counter nya sangat menonjol.
b. Dapat mengklasifikasikan obyek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok.
c. Tidak mampu memusatkan perhatian pada obyek-obyek yang berbeda.
d. Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria, termasuk kriteria yang
benar.
e. Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan
perbedaan antara deretan.
Pada tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun), anak telah dapat memperoleh pengetahuan
berdasarkan pada kesan yang agak abstraks. Dalam menarik kesimpulan sering tidak
diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia ini anak telah dapat
mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki
pengalaman yang luas. Karakteristik pada tahap ini adalah:
a. Anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori obyek, tetapi kurang disadarinya.
b. Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih
kompleks.
c. Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
d. Anak mampu memperoleh prinsip-prinsip secara benar. Dia mengerti terhadap
sejumlah obyek yang teratur dan cara mengelompokkannya. Anak kekekalan masa
pada usia 5 tahun, kekekalan berat pada usia 6 tahun, dan kekekalan volume pada
usia 7 tahun. Anak memahami bahwa jumlah obyek adalah tetap sama meskipun
obyek itu dikelompokkan dengan cara yang berbeda.
7
3. Tahap operasional konkrit (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan
aturan-aturan yang jelas dan logis dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak
telah memiliki kecakapan berpikir logis akan tetapi hanya dengan benda-benda yang
bersifat konkrit. Operation adalah suatu tipe tindakan untuk memanipulasi obyek atau
gambaran yang ada di dalam dirinya. Karenanya kegiatan ini memerlukan proses
transformasi informasi ke dalam dirinya, sehingga tindakannya lebih efektif. Anak
sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir
dengan menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan kegiatan tertentu. Ia
dapat menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya. Anak mampu menangani
sistem klasifikasi.
Namun sungguhpun anak telah dapat melakukan pengklasifikasian,
pengelompokan dan pengaturan masalah (ordering problems) ia tidak sepenuhnya
menyadari adanya prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Namun taraf
berpikirnya sudah dapat dikatakan maju. Anak sudah tidak memusatkan diri pada
karakteristik perseptual pasif. Untuk menghindari keterbatasan berpikir anak perlu
diberi gambaran konkrit, sehingga ia mampu menelaah persoalan. Sungguhpun
demikian anak usia 7-12 tahun masih memiliki masalah mengenai berpikir abstrak.
8
tahap-tahap tersebut. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan tidak sesuai dengan
kemampuan dan karakteristik siswa tidak akan ada maknanya bagi siswa.
Menurut pandangan para ahli dapat disimpulkan bahwa kecerdasan atau Inteligensi adalah
kemampuan untuk menguasai kemampuan tertentu. Inteligensi atau kecerdasan adalah suatu
kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu.
9
2. Kecerdasan Emosional atau Emotional Quotient (EQ)
Emotional Quotient (EQ) atau Kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk
mengenali, mengendalikan dan menata perasaan sendiri dan perasaan orang lain secara
mendalam sehingga kehadirannya menyenangkan dan diidamkan orang lain. Kecerdasan
ini memberi kesadaran tentang perasaan diri sendiri dan juga perasaan orang lain, memberi
rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau
kegembiraan secara tepat.
Indikator Kecerdasan Emosi :
1) Mengenali emosi diri (self awareness), Kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Dalam indikator ini
menekankan pada mengidentifikasi emosi yang terjadi sehingga, dapat menjadi
pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
2) Mengelola emosi diri (self management), Yaitu merupakan kemampuan menangani
emosinya sendiri, mengekspresikan serta mengendalikan emosi, memiliki kepekaan
terhadap kata hati, untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan sehari-hari.
3) Motivasi diri (motivation), Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk
setiap saat membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik
serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, mampu bertahan
menghadapi kegagalan dan frustasi.
4) Empati (sosial awarness), Empati merupakan kemampuan merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif orang lain, dan menimbulkan
hubungan saling percaya serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu.
5) Membina hubungan (relationship management), Merupakan kemampuan menangani
emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan menciptakan serta
mempertahankan hubungan dengan orang lain, bisa mempengaruhi, memimpin,
bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan dan bekerja sama dalam tim.
11
7. Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence).
Kecerdasan intrapersonal mengendalikan pemahaman terhadap aspek internal diri
seperti, perasaan, proses berpikir, refleksi diri, intuisi, dan spiritual. Identitas diri dan
kemampuan mentransendenkan diri merupakan bagian/bidang kecerdasan ini. Menurut
H. Gardner, kecerdasan ini merupakan jenis yang paling individual sifatnya, dan untuk
menggunakannya diperlukan semua kecerdasan yang lain.
8. Kecerdasan naturalis (naturalistic intelligence).
Kecerdasan naturalis banyak dimiliki oleh para pakar lingkungan. Seorang penduduk
di daerah pedalaman dapat mengenali tanda-tanda akan terjadi perubahan lingkungan,
misalnya dengan melihat gejala-gejala alam. Dengan melihat rumput/daun yang patah,
ia dapat memastikan siapa yang baru saja melintas, dan sebagainya.
9. Kecerdasan spiritual (spirituallist intelligence).
Kecerdasan spiritual banyak dimiliki oleh para rohaniwan. Kecerdasan ini berkaitan
dengan bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhannya. Kecerdasan ini dapat
dikembangkan pada setiap orang melalui pendidikan agama.
10. Kecerdasan eksistensial (exsistensialist intelligence).
Kecerdasan eksistensial banyak dijumpai pada para filusuf. Mereka mampu menyadari
dan menghayati dengan benar keberadaan dirinya di dunia ini dan apa tujuan hidupnya.
Melalui kontemplasi dan refleksi diri kecerdasan ini dapat berkembang.
Pada dasarnya semua orang memiliki semua macam kecerdasan di atas namun tentu
saja tidak semuanya berkembang atau dikembangkan pada tingkatan yang sama, sehingga
tidak dapat digunakan secara efektif. Pada umumnya satu kecerdasan lebih menonjol atau
lebih kuat dari pada yang lain. Tetapi tidak berarti bahwa hal itu bersifat permanen atau
tetap. Di dalam diri manusia tersedia kemampuan untuk mengaktifkan semua kecerdasan
tersebut. Teori Gardner memang masih memerlukan penelitian lebih lanjut khususnya
tentang strategi pengukuran untuk masing-masing jenis kecerdasan, serta apakah macam-
macam kecerdasan yang ada adalah sejumlah yang telah diuraikan di atas atau masih dapat
bertambah lagi.
12
c. Nilai budaya suatu ketrampilan.
Cara untuk memahami sesuatu didukung oleh budaya manusia dan merupakan hal yang
harus diteruskan kepada generasi penerus. Contoh, pengembangan bahasa dapat berupa
tulisan pada suatu budaya, hiroglif pada budaya lain, pesan-pesan lisan, bahasa-bahasa
tanda pada budaya lain pula. Namun bahasa formal dinilai tinggi dan merupakan
kriteria pendidikan dan sosial seseorang.
d. Memiliki basis neurologi.
Setiap kecerdasan memiliki bagian tertentu pada otak sebagai pusat kerjanya dan yang
dapat diaktifkan atau dipicu oleh informasi eksternal maupun internal.
13
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan
14
G. Kecerdasan siswa sebagai pijakan pembelajaran
Kategori-kategori yang banyak digunakan orang selama ini adalah kategori musik,
pengamatan ruang, dan body-kinestetik (Amstrong, 1994). Adalah hal yang baru ketika
Gardner memasukkan kategori-kategori itu semua ke dalam pengertian kecerdasan dan
bukannya talenta atau bakat. Gardner menyadari bahwa banyak orang telah terbiasa
mengatakan atau mendengarkan ungkapan seperti “ Ia tidak begitu cerdas, tetapi ia
memiliki bakat musik yang sangat hebat”. Sebagaimana orang-orang mengatakan bahwa
sesuatu adalah bakat, oleh Gardner bakat-bakat atau kategori-kategori tersebut dikatakan
sebagai kecerdasan.
Untuk memberi dasar terhadap teori yang dikemukakannya, Gardner merancang dasar-
dasar “tes” tertentu di mana setiap kecerdasan harus dipertimbangkan sebagai inteligensi
yang terlatih dan memiliki banyak pengalaman yang tidak disebut sebagai talenta atau
bakat. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam teori kecerdasan ganda yaitu: (1)
setiap orang memiliki semua kecerdasan-kecerdasan itu, (2) banyak orang dapat
mengembangkan masing-masing kecerdasannya sampai ke tingkat yang optimal, (3)
kecerdasan biasanya bekerja bersama-sama dengan cara yang unik dan (4) ada banyak cara
untuk menjadi cerdas.
Para pakar terdahulu mengatakan bahwa pikiran dipertimbangkan sebagai sesuatu yang
ada pada jantung, hati dan batu ginjal. Pakar berikutnya beranggapan bahwa kecerdasan
atau inteligensi terdiri dari beberapa faktor. Teori kecerdasan ganda merupakan model
kognitif yang menjelaskan bagaimana individu-individu menggunakan kecerdasannya
untuk meme-cahkan masalah dan bagaimana hasilnya. Tidak seperti model-model lain
yang berorientasi proses, pendekatan Gardner lebih berorientasi pada bagaimana pikiran
manusia mengoperasi atau mengolah, menggunakan dan menguasai lingkungan.
Pengalaman-pengalaman menyenangkan ketika belajar akan menjadi aktivator bagi
perkembangan kecerdasan pada tahap perkembangan berikutnya. Sedangkan pengalaman-
pengalaman yang menakutkan, memalukan, menyebabkan marah dan pengalaman emosi
negatif lainnya akan menghambat perkembangan kecerdasan pada tahap perkembangan
berikutnya.
Apabila ingin mengetahui arah kecerdasan siswa di kelas, dapat diketahui melalui
indikator-indikator tertentu. Misalnya, apa yang dikerjakan ketika mereka mempunyai
waktu luang. Setiap guru dapat menggunakan catatan-catatan kecil praktis yang dapat
digunakan untuk memantau kecenderungan perkembangan kecerdasan siawa di kelas. Guru
juga dapat menyusun cheklist yang berisi tentang kecerdasan-kecerdasan tersebut. Cheklist
dapat digunakan untuk memantau kecerdasan siswanya. Selain cheklist ada cara lain yang
dapat digunakan yaitu mengumpulkan dokumen berupa photo, rekaman-rekaman lain yang
berhubungan dengan aktivitas siswa dan catatan-catatan di sekolah yang berhubungan
dengan peringkat nilai semua mata pelajaran. Kegiatan-kegiatan yang dapat digunakan
untuk mengembangkan kecerdasan ganda antara lain dengan menyediakan hari-hari karir,
studi tour, biografi, pembelajaran terprogram, kegiatan-kegiatan eksperimen, majalah
dinding, papan display, membaca buku-buku yang bertujuan untuk mengembangkan
15
kecerdasan ganda, membuat tabel perkembangan kecerdasan ganda, atau human
intelligence hunt.
Setiap siswa memiliki perbedaan kecenderungan dalam perkembangan kecerdasannya,
maka guru perlu menggunakan strategi umum maupun khusus dalam pembelajaran untuk
mengembangkan seluruh kecerdasan siswa secara optimal. Teori kecerdasan ganda juga
mengatakan bahwa tidak ada satupun pendekatan atau strategi yang cocok digunakan bagi
semua siswa. Dalam hal pengukuran kecerdasan ganda lebih mengutamakan pada studi
dokumentasi dan proses pemecahan masalah. Apabila kegiatan di atas dapat dilakukan
maka ketrampilan kognitif siswapun dapat berkembang dengan sendirinya.
Ada satu alternatif lain yang juga dapat digunakan dalam rangka memantau
perkembangan kecerdasan siswa di kelas, yaitu dengan memberdayakan siswa sendiri.
Artinya, cheklist yang mencakup kecerdasan-kecerdasan tadi yang mengisi bukannya guru,
tetapi pengisian dilakukan oleh para siswa. Kegiatan di kelas pada saat-saat tertentu adalah
pengisian cheklist tentang kecerdasan-kecerdasan masing-masing siswa. Mereka saling
memberikan penilaian antar teman. Misalnya Ali melakukan pengamatan terhadap Budi,
dan berdasarkan pengamatannya Ali mengisi cheklist tentang kecerdasan-kecerdasan apa
yang dilakukan oleh Budi. Demikian juga Budi melakukan hal yang sama seperti Ali
terhadap siswa lainnya, demikian seterusnya. Selain siswa diberi kesempatan untuk menilai
kecerdasan temannya, ia juga diberi kesempatan untuk self-monitoring dengan cara
mengisi cheklist tentang kecerdasan-kecerdasan yang dimilikinya sendiri.
Perkembangan kecerdasan juga dapat dilakukan dengan teknik “konseling sebaya” atau
“tutor sebaya”. Caranya, guru menyeleksi siapakah yang memiliki keunggulan dalam
bidang tertentu. Siswa yang memiliki keunggulan di bidang matematika misalnya, diminta
membimbing teman-temannya yang kurang dalam matematika. Demikian juga untuk
bidang-bidang kecerdasan yang lain. Pembimbing di dalam kelompok dapat bergantian
tergantung pada kecerdasan apa yang akan dikembangkan. Misalnya, Susi akan menjadi
pembimbing untuk kecerdasan musik, tetapi ia akan dibimbing oleh teman lainnya dalam
kecerdasan matematika dan seterusnya.
Pendekatan ini sangat tepat digunakan untuk anak-anak SLTP dan SMU, mengingat
pada dasarnya mereka lebih suka berbicara dan bergaul dengan teman sebayanya dari pada
dengan gurunya. Di samping itu, model konseling sebaya atau tutor sebaya dalam
pembelajaran kecerdasan ganda memungkinkan berbagai aspek dalam diri siswa dapat
berkembang selaras dan optimal. Kelompok belajar semacam ini sangat potensial untuk
mengembangkan kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Guru diharapkan
mampu mendeteksi siswa-siswa yang memiliki kecerdasan-kecerdasan unggul dan
membentuk kelompok-kelompok sesuai dengan kebutuhan.
Pendidikan dan/atau pembelajaran kecerdasan ganda berorientasi pada pengembangan
potensi siswa bukan berorientasi pada idealisme guru atau orang tua apalagi ideologi
politik. Siswa berkembang agar mampu membuat penilaian dan keputusan sendiri secara
tepat, bertanggungjawab, percaya diri dan mandiri tidak bergantung pada orang lain,
kreatif, mampu berkolaborasi, serta dapat membedakan mana yang baik dan tidak baik.
Ketrampilan-ketrampilan ini sangat dibutuhkan oleh m
16
anusia-manusia yang hidup di era ekonomi informasi abad global. Para guru juga perlu
memperhatikan kegiatan pembelajarannya dengan mengikuti prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka
mengalami perkembangan kognitif atau kecerdasannya melalui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik terutama
jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena perkembangan
kecerdasan hanya dengan mengaktifkannya, sehingga proses asimilasi dan akomodasi
pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman
atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan
menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks.
6. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna,
informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang
dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatiakan, karena faktor ini
sangat mempengaruhi keberhasilan belajar mereka. Perbedaan tersebut misalnya pada
motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peserta didik memiliki kecerdasan yang beragam secara garis besar dibagi menjadi tiga
yaitu kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan intelektual merupakan
kecerdasan dalam bidang kognitif peserta didik, kecerdasan tersebut digunakan untuk
memecahkan masalah logika maupun strategis. Kecerdasan emosional terkait dengan
bagimana manusia mengenali dan mengontrol emosi yang muncul pada dirinya sehingga hasil
dari kedua hal tersebut dapat digunakan dalam memutuskan suatu hal dengan tepat. Kecerdasan
spiritual merupakan sumber yang mengilhami dan melambungkan semangat seseorang dengan
mengikatkan diri pada nilai kebenaran tanpa batas waktu. Kecerdasan ini digunakan untuk
membedakan baik dan buruk, benar dan salah, dan pemahaman terhadap standar moral.
Dalam pembelajaran dapat menggunakan metode pembelajaran kecerdasan ganda
dengan beberapa program yang memberikan efek membangun, memperkuat, mengajarkan, dan
mentransfer kecerdasan dapat dilakukan dengan guru sebagai aktor utama maupun dengan
pembelajaran tutor sebaya.
18
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C. A. (2015). Karakteristik Siswa Sebagai Pijakan Dalam Penelitian Dan Metode
Pembelajaran. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 1(1), 160–173.
https://doi.org/10.21831/cp.v1i1.4198
Elida, P., & Remaja, P. P. (1991). Perkembangan Peserta Didik. In Dirjen Dikti: Jakarta.
Gulinda, B. (2012). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Hasil Belajar Matematika
Pada Materi Pecahan Siswa Kelas Iv Sd Negeri Donan 5 Kecamatan Cilacap Tengah
Kabupaten Cilacap. 9–49.
Ibda, F. (2015). Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita, 3(1), 242904.
19