Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PAI

Bab 8 Menghindari Akhlak Madzmumah dan Membiasakan Akhlak


Mahmudah Agar Hidup Nyaman dan Berkah

Kelompok 2 :
1). Abdul Hafis Agil Firdaus
2). Alika Edra Dewina
3). Aulia Ramadhani
4). Muhammad Fajar Ilham
5). Muhammad Thoriq Fahrezi
6). Nayla Maulidah

Kelas :
X.6

SMA NEGERI 1 MARTAPURA


TAHUN AJARAN TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Bab 8.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dengan melakukan sesuai kemampuan
terbaik kami, dan bantuan dari berbagai pihak sehingga memperlancar pembuatan makalah
ini. untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih atas selesainya penyusunan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu kami menyadari masih ada keurangan baik dalam segi
penyusunan maupun tata bahasanya. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat dibutuhkan agar dapat membuat makalah dengan lebih baik lagi kedepanya.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Bab 8 tentang Menghindari akhlak
madzmumah dan membiasakan akhlak mahmudah agar hidup nyaman dan berkah ini
memeberikan manfaat dan dapat menambah wawasan pembaca

Martapura, Februari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................................i

Daftar Isi...................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................................................2

C. Tujuan Makalah...................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Riya...................................................................................................................3

B. Dalil Naqli Riya.....................................................................................................................4

C. Hukum Riya..........................................................................................................................5

D. Sebab Timbulnya Riya.........................................................................................................6

E. Ciri-ciri Riya..........................................................................................................................7

F. Bentuk dan Contoh Sikap Riya..............................................................................................7

G. Cara Menghindari Riya.......................................................................................................12

H. Bahaya Terhadap Riya........................................................................................................15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan….....................................................................................................................20

B. Saran…...............................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudah menjadi hal pasti dan tidak bisa ditawar lagi, dalam diri manusia ada
yang namanya nafsu yang selalu mendorong jiwa pada hal yang negative dan
perbuatan yang jelek. Disadari atau tidak nafsu ini, adalah semacam energy negatif
yang terus memicu pada arah yang keji dan tidak diridhai oleh Allah SWT.

Persoalan ini, sebenarnya bukan hal yang asing untuk di perbincangkan, akan
tetapi problem lawas yang sampai saat ini tetap saja aktual untuk selalu dibahas dan
selalu didiskusikan. Mengapa demikian? Tidak dapat dipungkiri lagi, pergolakan akut
dalam jiwa antara energi buruk dan energi baik senantiasa bergejolak memimpin jalan
hidup manusia. Konsekwensinya adalah siapakah pemenang dari pergolakan tersebut
maka dialah yang akan menjadi sebuah karakter yang melekat pada setiap individual.
Dari hal inilah, hasil dari pergolakan tersebut akan menuai banyak kerugian.
Sebab jika yang menang adalah energi jelek yang didorong oleh hawa nafsu atau
tuntunan syetan, maka sudah bisa dipastikan akan menjadi boomerang terhadap
dirinya sendiri dan menjerumuskan pada kobaran api neraka yang sarat dengan
siksaan yang sangat pedih. Dalam hal ini sebisa mungkin bagaimana bias
mengantisipasi semaksimal mungkin akan terjadinya pergolakan dan dimenangkan
oleh energi jelek itu sendiri, sehingga bisa selamat dari pergolakan dua energi itu.
Bagaimana caranya hal itu dihasilkan?
Menjadi hal urgen, untuk meminimalisir terjadinya pergolakan adalah tetapnya
hati senantiasa ingat dan senantiasa bertafakkur terhadap kekuasaan Allah SWT.
sehingga dengan seperti itulah akan didapatkan kesadaran akan kekuasaan Allah.
Bukankah Allah mencipta segala sesuatu merupakan hal yang perlu dikaji dan banyak
hikmahnya?

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Riya?

2. Apa saja dalil tentang Riya?

3. Apa ciri-ciri dan sebab timbulnya Riya?

4. Apa Saja Bentuk, Contoh, Bahaya Dan Cara Menghindari Riya?

C. Tujuan Makalah

1. untuk mengetahui pengertian Riya

2. Untuk mengetahui dalil tentang riya

3. untuk mengetahui ciri, sebab, contoh dan bentuk Riya

4. untuk mengetahui Bahaya dan cara menghindari Riya

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Riya

Secara etimologi, kata riya berasal dari kata ru’yah, yang artinya
menampakkan. Dikatakan arar-rajulu, berarti seseorang menampakkan amal shalih
agar dilihat oleh manusia. Makna ini sejalan dengan firman Allah SWT:

‫ عون‬7ۡ
‫وَي ن ٱ ل‬ ‫َ ِذين ُي َرآ ءو‬7ّ‫ٱل‬
‫و َما‬7ُ‫ع‬7‫ۡم َن‬ ‫ه ۡم ن‬
“…Orang-orang yang berbuat riya dan enggan menolong dengan barang
berguna.” (QS. Al-Maa’uun : 6-7)
Sedangkan pengertian riya secara istilah/ terminologi adalah sikap seorang
muslim yang menampakkan amal shalihnya kepada manusia lain secara langsung
agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau
mengharapkan keuntungan materi.
Kata lain yang mempunyai arti serupa dengan riya ialah Sum`ah.Kata sum`ah
berasal dari bahasa Arab َ‫ عةُ ْم‬7˚‫ْم عة‬ yang berarti kemasyhuran nama, baik
َ
‫س‬ ‫ل س‬7َ‫ ا‬atau
sebutannya. Orang yang sum`ah dengan perbuatan baiknya, berarti ingin mendengar
pujian orang lain terhadap kebaikan yang ia lakukan.dengan danya pujian tersebut,
akhirnya masyhurlah nama baiknya dilingkungan masyarakat. Jadi, sum’ah
mempunyai arti yang sama dengan riya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’
ialah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji
pelaku amalan itu”. Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati
manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Sementara Imam
Habib Abdullah Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan
atau meminta dihormati daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk
akhirat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan

3
bukan karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara

4
memperlihatkan amal kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau
penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan padanya
Oleh itu, Syeikh Ahmad Rifa’i berpesan bahwa riya’ merupakan
perbuatan haram dan satu diantara dosa besar yang harus dijauhi serta di tinggalkan
supaya selamat dan amalnya manfaat sampai di negeri akhirat

B. Dalil Naqli Riya

1. Al-Qur’an

‫ء و ََل‬ ‫ ْن مال رئ‬7‫ْْلََذ كاَّل ِذي ُي‬ ْ ْ ‫صد‬ ‫ن ُتبْ طل‬ ‫ ها‬7‫ ُي‬7َ‫ا أ‬7َ‫ي‬
‫َاس‬7ّ‫ِفق ه ا الن‬ ’ ‫َقا ت ل‬ ‫وا َل وا‬7ُ‫َ ِذي آمن‬7ّ‫ال‬
‫ى وا‬ ‫ِ م‬
‫ن‬
‫كا‬
‫م‬
ۖ ‫ا‬7ً‫ ص ْلد‬7ُ‫ْف ع ُت َرا ب صا ِ َفَت َر كه‬ ‫خ ِر ۖ ف كمث‬ ‫ُي ْؤ ِاَّلل والَْي ْو ِم‬
‫ه ب ل‬7َ‫أ ب‬7َ‫َوان َل ه ف‬ ‫ه ل‬7ُ‫ل‬7َ‫َمث‬ ‫ا ْْل‬ ‫ِمن‬
‫ص ْي‬
‫وا‬
‫ْو كا ِف ِرين‬ ‫وا ۗ و َ ِدي ا َْلق‬7‫َل َي رو عل شي م كس ُب‬
‫ْه‬ ‫َم ا ْل َل َي‬ ‫ْق ِد ن ى ٍء ما‬
‫ل‬
‫ُا‬
Artinya :” Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima),seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan
dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang
itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa
hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak
menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk
5
kepada orang-orang yang kafir.” (QS.Al – Baqarah ayat 264)

6
2. Hadits

‫ال‬ ‫وما ا ْ ك‬ ‫ْو‬ ‫ ْوا‬7ُ‫ال‬7َ‫ص ر ق‬ َ‫ْم ْ ا َْل‬ ‫ف خا ع‬ ‫ن َاخ‬


‫ا‬7َ‫ري‬7’ِ ‫ا‬7َ‫ل ر ق‬ ‫غ‬ ‫ال ر ك‬ ‫ما ا ف َل‬
‫ل‬ ‫ا‬7َ‫ي‬
‫ل‬ ’ ‫رس‬ ’ ‫ك‬ ‫ْي‬
‫ش‬ ‫ش‬
ُ) ‫( روه احمد‬
Artinya :”Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatirkan dari beberapa

hal yang aku khawatirkan adalah syirik kecil. Sahabat bertanya,”Apa syirik kecil
itu, ya Rasulallah ?” Beliau menjawab,”Riya.” (HR Ahmad nomor 225828 dari
Mahmud bin Labidin)

C. Hukum Riya

Riya’ ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar. Hal ini terjadi jika
sesorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia, dan tidak sedikit pun
mengharap wajah Allah. Dia bermaksud bisa bebas hidup bersama kaum muslimin,
menjaga darah dan hartanya. Inilah riya’ yang dimiliki oleh orang-orang munafik.
Allah berfirman tentang keadaan mereka (yang artinya), “Sesungguhnya orang-
orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan
apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’:142).

Adapun yang kedua adalah riya’ yang terkadang menimpa orang yang beriman.
Sikap riya’ ini terjadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang beramal karena
Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah. Riya’ jenis seperti ini merupakan
perbuatan syirik asghar.1

7
1
I’aanatul Mustafiid bi Syarhi Kitaabi at Tauhiid II/84. Syaikh Shalih Fauzan. Penerbit Markaz Fajr

8
Jadi, hukum asal riya’ adalah syirik asghar (syirik kecil). Namun, riya’ bisa berubah
hukumnya menjadi syirik akbar (syirik besar) dalam tiga keadaan berikut :

1. Jika seseorang riya’ kepada manusia dalam pokok keimanan. Misalnya


seseorang yang menampakkan dirinya di hadapan manusia bahwa dia seorang
mukmin demi menjaga harta dan darahnya.

2. Jika riya’ dan sum’ah mendominasi dalam seluruh jenis amalan seseorang.

3. Jika seseorang dalam amalannya lebih dominan menginginkan tujuan dunia,


dan tidak mengharapkan wajah Allah.2

D. Sebab Timbulnya Riya

Riya ditimbulkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Senang karena lezatnya pujian dari orang lain

2. Lari dari celaan

3. Rakus akan apa yang diperoleh/ terdapat pada orang lain

2
Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid 183. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf.
Cetakan pertama 1428/2007

9
E. Ciri-ciri Riya

Terdapat sebuah ungkapan yang dikemukakan oleh seorang sahabat Rasulullah


SAW yang sangat zuhud kehidupannya, beliau juga termasuk salah seorang dari
empat khulafa’ rasydin, yang juga mendapatkan berita gembira untuk masuk dalam
surga Allah kelak. Beliau adalah Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib
mengemukakan, tentang ciri-ciri riya’ yang terdapat dalam jiwa seseorang:

‫وي ط كان ي‬ ُ‫وحده‬


َ ‫ سل كان‬،‫َم وجه ُه ل را عالَ ت‬ ‫ال ع‬7َ‫ق‬
‫ْنش ذَا‬ ، ‫ا‬7َ‫ك ذ‬7َ‫ ْلم ِئي َما ي‬، ‫ِلي ه ُلال كر‬
ُ‫ا وي ص ِإذَا ذ‬7َ‫ل ِإذ‬ ‫ ِفي ا‬7ُ‫وَي ِز ْيد‬ ،‫َاس‬7ّ‫الن‬
ّ ‫ ْنق‬،‫ى‬7َ‫ن‬7ْ‫أُ ث‬ ‫ َم‬7َ‫ْلع‬
‫َم‬
“Orang yang riya, terdapat beberapa ciri, (1) malas, jika seorang diri, (2) giat jika
di tengah-tengah orang banyak, (3) bertambah semangat beramal jika mendapatkan
pujian, (4) berkurang frekwensi amalnya jika mendapatkan celaan.”

F. Bentuk dan Contoh Sikap Riya

1. Riya dalam iman, dan inilah keadaan orang-orang munafik.

‫ا‬7‫ا آمن‬7‫لو‬7‫ا قا‬7‫ا الذين ءامنو‬7‫و‬7‫ا لق‬7‫و إذ‬

“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka


mengatakan, ‘Kami telah beriman’.” (QS. Al-Baqarah: 14).

Dan akibatnya adalah neraka.

2. Riya’ dengan (ibadah) wajib atau sunnah, maka dia menampakkannya


ketika ia sendiri.
3. Riya’ dengan bentuk ibadah, seperti membaguskannya dan memperhatikan
bentuk dhahirnya saja
10
4. Riya’ dengan ucapan, dan ini khusus bagi para pemberi nasihat, maka dia
menghafal agar dia pandai berbicara, berdebat, dan berdiskusi atau untuk
memuji dirinya sendiri dan mempersiapkan proyek-proyeknya.

5. Riya’ dengan keadaan orang yang berbuat riya’, seperti (menampakkan)


kurus dan pucatnya badan, agar disangka bersungguh-sungguh dalam
beribadah, dan juga seperti menampakkan suara yang lemah dan keringnya
bibir agar disangka berpuasa. Ini adalah masalah yang besar dan samudra
yang bergelombang, termasuk ke dalamnya riya’ dengan pakaian, cara
berjalan dan kewibawaan.

6. Riya’ dengan (akibat) yang terjadi setelah perbuatan, seperti orang yang
menyukai agar diberi ucapan salam terlebih dulu, diberi sambutan dengan
wajah yang ceria, dicukupi keperluan-keperluannya dan diberi kelapangan
dalam majelis.

7. Riya’ dengan mencela diri, Mutharrif berkata, “Cukuplah seseorang


dianggap sebagai ithara’ (melampaui batas dalam memuji), jika dia mencela
dirinya di hadapan orang-orang seolah-olah engkau ingin memujinya dengan
celaan tersebut, dan hal ini buruk menurutku.”

8. Mengharapkan dunia dengan mengikhlaskan amal. Syaikhul Islam berkata,


“Seperti orang yang tujuannya adalah pengagungan dan pujian dari manusia
–misalnya-, dan dia mengetahui bahwasanya hal itu bisa didapat dengan

11
ikhlas, maka dia di sini tidak mengaharapkan Allah, akan tetapi dia
menjadikan Allah sebagai perantara (untuk mewujudkan) keinginannya yang
rendah itu.”

9. Seorang hamba dalam beribadah menginginkan selain Allah. Dia senang


orang lain tahu/melihat apa yang diperbuatnya. Dia tidak menunjukkan
keikhlasan dalam beribadah kepada Allah dan ini termasuk jenis nifaq.

10. Seorang hamba beribadah dengan tujuan dan keinginannya ikhlas karena
Allah, namun ketika manusia melihat ibadahnya maka ia bertambah giat
dalam beribadah serta membaguskan ibadahnya. Ini termasuk perbuatan
syirik tersembunyi.

11. Seorang hamba beribadah pada awalnya ikhlas karena Allah dan sampai
selesai keadaannya masih demikian, namun pada akhir ibadahnya dipuji
oleh manusia dan ia merasa bangga dengan pujian manusia tersebut serta ia
mendapatkan apa yang diinginkannya (dunia, missal: dengan memperoleh
kedudukan di masyarakat dan lainnya).

12. Riya’ badaniyah, yaitu perbuatan riya’ dengan menampakkan badan/jasadnya


kurus karena banyaknya ibadah sehingga ia disebut sebagai orang ABID
(Ahli Ibadah)

Ibnu Taimiyyah berkata, “Hal ini karena terkadang tujuan manusia itu adalah
mendapatkan ilmu dan hikmah, atau mendapatkan mukasyafah dan ta’tsirat, atau
mendapatkan penghormatan dan pujian dari manusia, atau tujuan-tujuan lainnya,
dan dia mengetahui bahwasanya hal itu bisa didapatkan dengan ikhlas dan
mengharap wajah-Nya, maka jika dia bertujuan untuk mendapatkan hal tersebut
dengan ikhlas kepada Allah dan mengarapkan Wajah-Nya, maka ini saling
bertentangan; karena orang yang menginginkan sesuatu karena sesuatu yang lain,

12
maka yang kedua itulah yang dituju secara dzatnya, sedangkan yang pertama
digunakan karena ia adalah perantara kepadanya, maka jika dia ikhlas kepada Allah,
dengan tujuan agar menjadi seorang alim, orang pintar, orang yang memiliki
hikmah, mukasyafah, tasharrufat, dan yang semisalnya, maka dia berarti tidak
menginginkan Allah, akan tetapi dia menjadikan Allah sebagai perantara untuk
mendapatkan tujuannya yang rendah tersebut.” (Dar’u Ta’arudh an-Naql wa al-Aql,
6/66-67).

Oleh karena itu, asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelaku sebab


mengetahui bahwasanya akibat itu tidak dinisbatkan kepadanya (tetapi dinisbatkan
kepada Allah). Apabila dia menyerahkannya kepada Allah subhaanahu wa
ta’ala dan dia memalingkan pandangannya dari akibat, maka dia lebih dekat kepada
ikhlas. Maka seorang mukallaf, apabila melaksanakan perintah dan larangan dengan
sebab tanpa memikirkan hal lain selain perintah dan larangan tersebut, maka berarti
dia telah keluar dari bagian (dunia)nya, melaksanakan hak-hak Rabb-nya, dan
melaksanakan tugas ‘ubudiyyah. Berbeda halnya apabila pelaku melihat dan
memperhatikan akibat, maka sesungguhnya ketika dia berpaling kepadanya, berarti
dia menghadap setengahnya saja, sehingga menghadapnya dia kepada Rabb-nya
dengan melakukan sebab adalah dikarenakan menghadapnya dia kepada akibat, dan
tidak diragukan lagi perbedaan antara dua tingkatan ini dalam masalah ikhlas.” (Al-
Muwafaqat, 1/219-220).

Dan setelah asy-Syatibi menceritakan riwayat,

7‫ن‬7‫ م‬7‫لص‬7‫ا أربعين هلل أخ‬7777‫يوم‬..

Beliau rahimahullah berkata, “ini sering terjadi dikarenakan seseorang


memperhatikan akibat (hasil) dari sebab-sebab tersebut, dan bisa jadi perhatiannya
(terhadap akibat ini) menutupi, sehingga akan menghalangi antara pelaku sebab dan
perhatiannya kepada sebab. Dan dengan hal tersebut, seorang ahli ibadah akan

13
memperbanyak ibadahnya, dan seorang alim tertipu dengan ilmunya, dan lain
sebagainya.” (Al-Muwafawat, 1/220).

9. Meninggalkan amal karena takut riya’. Al-Fudhail bin Iyadh berkata,


“Beramal untuk manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia
adalah riya’ , dan ikhlas itu adalah disucikannya dirimu oleh Allah dari
keduanya.”

Syaikhul Islam sangat keras sekali terhadap orang-orang yang melarang untuk
melakukan amal yang disyariatkan karena takut riya’, dan beliau menjelaskan
bahwasanya ini adalah termasuk di antara tanda-tanda orang-orang munafik yang
senantiasai mencela kaum mukminin yang taat beribadah

Bentuk-bentuk (contoh) perbuatan riya’ antara lain sebagai berikut:

a) Seorang siswa mau melaksanakan tugas piketnya dengan baik sesudah guru
masuk ke kelas, dengan harapan guru menilai bahwa siswa tersebut tergolong siswa
yang rajin melaksanakan tugas

b) Seseorang menyantuni anak yatim dihadapan banyak orang agar orang banyak
menilai dirinya sebagai orang dermawan dan baik hati.
Selain contoh diatas, perbuatan riya itu bisa timbul dalam berbagai kegiatan antara
lain:

a. Riya’dalamberibadah

Apabila ada diantara jama’ah atau karena dilihat orang biasanya memperlihatkan
kekhusu’an, ruku’, sujud dipanjangkan begitu juga dengan wirid dan do’anya, dengan
harapan ingin mendapatkan pujian sebagai orang yang tekun beribadah.

14
b. Riya’ dalam bersedekah

Memberikan sedekah bukan karena ingin menolong orang dengan ikhlas, akan tetapi
karena ingin dicap sebagai dermawan dan pemurah.

c. Riya’ dalam berpakaian

Memakai pakaian yang bagus, perhiasan yang mahal dan beraneka ragam, dengan
harapan ingin disebut dengan orang yang kaya, mampu, melebihi orang lain.

d. Riya’ dalam berbagai kegiatan

Bekerja seolah-olah bersemangat, padahal dalam hatinya tidak demikian. Rajin


bekerja apabila ada pujian tetapi apabila tidak ada yang memuji, semangatnya
menjadi turun. Orang yang riya’ biasanya bersifat sombong, angkuh, seolah-olah
dirinya yang paling mampu, paling kaya, paling baik, paling pandai dan sebagainya

G. Cara Menghindari Riya

Perbuatan riya adalah sifat tercela yang dapat menghapuskan pahala amal
ibadah seseorang. Riya berasal dari kata ru’yah, Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul
Bari bahwa sifat riya adalah menampakkan ibadah dengan tujuan ingin dilihat
manusia.

Para ulama berupaya memberikan berbagai jalan guna menemukan kiat-kiat agar
terhindar dari keriyaan serta mampu menghadirkan keikhlasan dalam jiwa. Diantara
cara yang mereka tawarkan adalah:

15
a) Menghadirkan sikap muraqabatullah, yaitu sikap yang menghayati bahwa Allah
senantiasa mengetahui segala gerak-gerik kita hingga yang sekecil-kecilnya, bahkan
yang tergores dan terlintas dalam hati sekalipun yang tidak pernah diketahui oleh
siapapun. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengungkapkan, “..dan
sempurnakanlah amal, karena Sang Pengawas (Allah) Maha Melihat.,

‫ص ْي ˚ر‬
7‫ ِق ن ا ْل َع َم َل َف ِإ‬7ْ‫ت‬7َ‫وأ‬
‫َّن ال َّنا ِقد‬
b) Seseorang perlu menyadari dan meyakini, bahwa dengan riya, seluruh amalannya
akan tidak memiliki arti sama sekali. Amalannya akan hilang sia-sia dan akan
musnah. Serta dirinya tidak akan pernah mendapatkan apapun dari usahanya sendiri.

c) Dirinya pun perlu menyadari, bahwa lambat launpun manusia akan mengetahui
apa yang terdapat di balik amalan-amalan baik yang dilakukannya, baik di dunia
apalagi di akhirat kelak.

d) Dirinya juga perlu meyadari pula bahwa dengan riya, seseorang dapat
diharamkan dari surga Allah. Dalam hadits digambarkan, bahwa Rasulullah SAW
menangis, karena takut umatnya berbuat riya’. Kemudian beliau berkata, “Barang
siapa yang belajar ilmu pengetahuan bukan kerena mencari keridhoan Allah tapi
karena keinginan duniawi, maka dia tidak akan mencium baunya surga.”

e) Banyak berdzikir kapada Allah SWT, terutama manakala sedang menjalankan


suatu amalan, yang tiba-tiba muncul pula niatan riya. Hal ini sebaiknya segera
diterapi dengan dzikir.

Perbuatan riya adalah sifat tercela yang dapat menghapuskan pahala amal
ibadah seseorang. Riya berasal dari kata ru’yah, Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul
Bari bahwa sifat riya adalah menampakkan ibadah dengan tujuan ingin dilihat
manusia.
16
Abu Layyist Samarqandi dalam Tanbihul Ghafilin mengutip kalam hikmah dari
Sayyidina Ali bin Abi Thalib tentang ciri-ciri orang riya sebagaimana berikut ini.

‫عن علي بن ابي طالب رضي اهلال عنهانه قال لمراءي اربع عالمات يكسل اذا كان وحده وينشط اذا كان مع‬
‫الناس ويزيد في العمل اذا اثني عليه وينقص اذا ذم به‬

Dari Ali bin Abu Thalib berkata, ” Orang yang riya memiliki empat pertanda. Dia
malas (beramal saleh) jika sedang seorang diri, semangat jika melakukannya bersama
orang-orang, bertambah rajin jika dipuji perbuatannya, dan tambah malas jika
dihina.”

Setidaknya dengan mengetahui keempat pertanda ini, kita bisa mawas diri agar
jangan sampai termasuk dari orang-orang yang riya. Jika menemukan pertanda-
pertanda tersebut dalam diri hendaknya segera memperbaiki kembali hati dan niat.

Menurut Abu Layyist Samarqandi setidaknya kita bisa melakukan tiga hal berikut ini
agar jangan sampai kita terjatuh ke dalam sifat riya, sebagaimana berikut.

Pertama, meminta izin dari Allah dalam setiap amal saleh yang kita lakukan.
Maksudnya setiap amal perbuatan tidak akan terjadi kecuali atas izin dan
kehendaknya, dengan demikian kita akan selalu bersyukur karena diberi kesempatan
untuk beribadah dan bukannya merasa kagum bangga atas amal ibadah yang
dikerjakan.

Kedua, memulai ibadah dengan berharap keridhaan-Nya. Yakni dengan menyadari


bahwa seorang hamba bisa tetap istiqamah dalam beribadah adalah atas keridhaan-
Nya. Perlu diketahui keistiqamahan dalam beribadah merupakan bukti keridhaan
Allah Swt. akan apa yang hamba-Nya lakukan.

17
Ketiga, saat beribadah hendaknya mengharapkan pahala dan kebaikan amal ibadah
dari Allah Swt. semata bukan karena ingin dilihat baik oleh manusia. Dengan
demikian maka kita akan melakukan ibadah dengan hati ikhlas karena Allah Ta’ala
dan terhindar dari sifat riya. Sebab ujung dari pada sifat ikhlas adalah tidak senang
ketika ada seseorang yang memuji perbuatannya. Wallahu’alam.

H. Bahaya Terhadap Riya’

Riya’ kini sudah begitu merajalela. Meskipun dari setiap orang memiliki kadar yang
berbeda, tetap saja tujuannya adalah sama-sama ingin mendapat pujian dari manusia
dan tidak ikhlas. Riya’ berbahaya karena merupakan salah satu daripada penyakit hati
yang menjadikan seseorang masuk dalam golongan orang munafik.

Riya’ juga merupakan dosa besar karena tergolong dalam perbuatan syirik yang
mendatangkan murka Allah SWT. Balasannya tidak lain adalah siksa api neraka.

Riya’ dapat menimpa siapa saja bahkan termasuk orang mukmin yang shaleh dan
shalehah sekalipun. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah RA, dan diriwayatkan
oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW mengabarkan bahwa golongan yang pertama
kali dihisab adalah yang mati syahid, mempelajari dan mengajarkan ilmu, dan
bersedekah.

Akan Allah SWT justru melempar ketiganya ke dalam api neraka karena amal ibadah
yang mereka lakukan tidak dengan niat kepada Allah SWT. Firman Allah SWT yang
artinya;

“Dan apabila mereka (kaum munafikin) berdiri mengerjakan shalat, maka mereka
berdiri dalam keadaan malas dan riya’ di hadapan manusia dan tidaklah mereka
mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (Q. S. An Nisa ayat 142).

18
Masih banyak lagi bahaya perbuatan riya’ yang tentu saja sangat merugikan, yakni:

 Menghapus amalan yang dikerjakan


 Pada hari kiamat akan dipermalukan dihadapan seluruh makhluk
 Menjadikan amal ibadah yang baik menjadi batal, berubah buruk, dan berbuah dosa
 Lebih berbahaya daripada fitnah
 Terhalang daripada taufik dan hidayah Allah SWT
 Menimbulkan kesempitan dalam hidup
 Menjadi penyebab jiwa yang tidak tenang dan gelisah
 Khilangnya wibawa dan kharisma diri di hadapan orang lain, Allah SWT berfirman
dalam Al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 18, yang artinya; “Barangsiapa yang dihinakan
Allah, niscaya tiada seorangpun yang akan memuliakannya.”
 Profesionalisme kerja tidak ada lagi
 Terjebak dalam sikap sombong yang hanya akan menyulitkan diri sendiri
 Menghilangkan keimanan
 Menimbulkan kesengsaraan
 Akan mendapat siksa di akhirat

Beberapa Perkara yang Disangka Riya dan Syirik

Pada dasarnya, perbuatan riya’ itulah adalah didasarkan daripada niatnya dalam
mengerjakan amal ibadah yang ditujukan kepada selain Allah SWT. Oleh karena niat,
orang lain tidak akan tahu bahwa apa yang dikerjakan itu tujuannya adalah untuk
mendapat pujian. Oleh sebab itu, baiknya mengenali beberapa perkara yang
kebanyakan dikira riya’ dan syirik, padahal bukan.

 Tidak dengan sengaja mendapat pujian dari orang lain atas perbuatan baik yang
dilakukan. Dari Abu Dzar: “Ditanyakan kepada Rasulullah SAW;

“Beritakan kepadaku tentang seseorang yang melakukan amalan kebaikan dan


orang-orang memujinya padanya!” Beliau bersabda: “itu adalah kabar gembira
yang segera bagi seorang mukmin.” (H. R. Muslim).

19
 Ibadah yang dilakukan dengan giat tidak hanya dihadapan orang lain tapi juga saat
sendirian.

 Membaguskan pakaian bukan untuk pamer atau ingin dipuji melainkan karena Allah
SWT menyukai keindahan. Dari Abdullah bin Mas’ud RA, Nabi Muhammada SAW
bersabda yang artinya;

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat
biji sawi”. Seorang laki-laki bertanya : “Ada seseorang suka bajunya bagus dan
sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?)”. Beliau menjawab :
“Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan kesombongan adalah
menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (H. R. Muslim).

 Tidak membeberkan atau menceritakan dosa sendiri, bukan maksud untuk menutupi
kekurangan agar hanya dilihat kebaikannya. Tapi berdasarkan sabda Rasulullah SAW
yang artinya;

“Semua umatku akan diampuni (atau : tidak boleh dighibah) kecuali orang yang
melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk
melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan, yaitu seseorang yang melakukan
perbuatan (kemaksiatan) pada waktu malam dan Allah telah menutupinya (yakni,
tidak ada orang yang mengetahuinya), lalu ketika pagi dia mengatakan : “Hai Fulan,
kemarin aku melakukan ini dan itu”, padahal pada waktu malam Allah telah
menutupinya, namun ketika masuk waktu pagi dia membuka tirai Allah terhadapnya.
” (H. R Bukhari dan Muslim).

 Seorang hamba Allah yang memperoleh ketenaran di antara sesama manusia bukan
karena ia sendiri yang mencarinya sehingga tidak ada unsur ujub di dalamnya.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya;

“Maukah kalian aku beritakan tentang penghuni neraka ; yaitu setiap orang yang
berperangai jahat serta kasar, orang gemuk yang berlebih-lebihan dalam

20
berjalannya, dan orang-orang yang sombong,” (H. R Bukhari, At-Tirmidzi, dan Ibnu
Majah).

Agar Terbebas dari Riya’

1. Senjata paling ampuh adalah dengan berdoa kepada Allah SWT agar dihindarkan
daripada sifat riya’.
2. Sebisa mungkin menyembunyikan segala macam bentuk ibadah dan amalan.
3. Menumbuhkan semangat beribadah dengan cara memandang kecil kepada amalan-
amalan yang sering kita lakukan.
4. Tumbuhkan rasa takut bahwasanya ibadah akan ditolak jika tidak dikerjakan dengan
ikhlas hanya kepada Allah SWT.
5. Jangan terpengaruh orang lain.
6. Sadar bahwa sebaik-baiknya pujian adalah kebaikan di hadapan Allah SWT.
7. Sadar bahwa yang menentukan baik atau buruk, surga atau neraka, hanyalah Allah
SWT.
8. Ingatkan diri bahwa saat meninggal pun, kita akan sendirian di dalam kubur dan yang
bisa menemani kita hanya amal ibadah yang kita lakukan secara ikhlas semasa hidup.

21
22
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pada intinya, keikhlasan menginginkan bagaimana seorang hamba mampu
memberikan porsi ketawazunan (baca; keseimbangan) dalam amalannya antara yang
dzahir dan bathin. Karena yang diinginkan dari ikhlas adalah adanya kesamaan dalam
kedua amalan ini, baik yang dzhir (amalan yang terlihat oleh orang lain), maupun
yang bathin (yang hanya diketahui sendiri oleh dirinya). Jika amalan dzahirnya
melebihi amalan bathinnya, berarti terdapat indikasi keriyaan. Contoh amalan yang
dilakukan secara bathin adalah senantiasa hati seseorang “basah” dengan dzikir
kepada Allah, dimanapun dan kapanpun dia berada. Demikian juga dalam
kesendirian-kesendiriannya, ia justru memperbanyak dzikir dan melakukan aktivitas
ibadah, bukan malah merupakan kesempatan untuk berlaku maksiat.

B. SARAN
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita hati yang ikhlas. karena betapapun kita
melakukan sesuatu hingga bersimbah peluh berkuah keringat, habis tenaga dan
terkuras pikiran, kalau tidak ikhlas melakukannya, tidak akan ada nilainya di hadapan
Allah. Bertempur melawan musuh, tapi kalau hanya ingin disebut sebagai pahlawan,
ia tidak memiliki nilai apapun.

23
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim
http://danil-ardika01.blogspot.com/2016/09/makalah-tentang-sifat-riya.html
https://muslimah.or.id/9937-jenis-jenis-riya-rincian-dan-macam-macam-pelakunya.html
https://muslim.or.id/5470-riya-penghapus-amal.html
https://dalamislam.com/akhlaq/larangan/riya-dalam-islam
https://www.islampos.com/hati-hati-ini-11-macam-riya-yang-mungkin-tidak-kita-sadari-
108533/
https://bincangsyariah.com/ubudiyah/lakukan-tiga-hal-ini-agar-terhindar-dari-sifat-riya-dalam-
beribadah/

24

Anda mungkin juga menyukai