Anda di halaman 1dari 74

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PASIEN


GANGGUAN JIWA : WAHAM, RISIKO PERILAKU KEKERASAN,
HARGA DIRI RENDAH KRONIS DAN MASALAH KEPERAWATAN
YANG LAIN

Mata Kuliah :
Keperawatan Psikiatri

Dosen Pembimbing :
Ns. Sri Wahyuni, M.Kep., Sp.Jiwa., PhD

Disusun oleh :
Kelompok 2 (A 2021 1)

Adelia Septia Nanda 2111112173 Karina Rahendra 2111113717


Aushaf Ulfah 2111113720 Melati sukma 2111111027
Azizah 2111112162 Miranda Putri 2111112825
Dora Fitriani 2111110363 Nurul Aulia 2111110095
Farahiyah Fathaniah 2111112162 Rizka Anggraini 2111134539
Gustianur efendi 2111123865 Rizki Tonggol Marito 2111111025

Vidi Mayumi Anggita 2111134543

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan
rahmat-Nya kami akhirnya bisa menyelesaikan tugas kelompok perkuliahan Mata kuliah
Keperawatan Psikiatri yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Jiwa : Waham,
Risiko Perilaku Kekerasan, Harga Diri Rendah Kronis dan Masalah Keperawatan Yang Lain”
ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih
kepada dosen pembimbing kami, Ibu Ns. Sri Wahyuni, M.Kep., Sp.Jiwa., PhD yang telah
memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam proses penyusunan
makalah perkuliahan ini. Rasa terima kasih juga hendak kami ucapkan kepada rekan-rekan
mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya baik secara langsung maupun tidak
langsung sehingga makalah perkuliahan ini dapat selesai pada waktu yang telah ditentukan.
Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang penyusunan
makalah perkuliahan ini, namun kami menyadari bahwa di dalam tugas kelompok yang telah
tersusun ini masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan. Sehingga kami
mengharapkan masukan, kritikan serta saran dari semua pihak agar makalah ini bisa menjadi
lebih sempurna dan bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, 18 September
2023

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2 Tujuan..........................................................................................................................2

1.3 Manfaat........................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................3

2.1 Konsep Teori...............................................................................................................3

2.1.1 Skizofrenia...........................................................................................................3

2.1.2 KDRT.................................................................................................................10

2.1.3 Gangguan Jiwa...................................................................................................25

2.1.4 Halusinasi...........................................................................................................34

2.2 Kasus Keperawatan...................................................................................................39

2.2.1 Konsep Asuhan Keperawatan............................................................................39

2.2.2 Skenario..............................................................................................................47

2.2.3 Hubungan Skizofrenia dan 7 Diagnosa..............................................................49

2.2.4 Asuhan Keperawatan Skenario..........................................................................50

BAB III PENUTUP..................................................................................................................67

3.1 Kesimpulan................................................................................................................67

3.2 Saran..........................................................................................................................67

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................68

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan kondisi yang dialami seseorang bahwa orang itu sehat
psikologis dan sosial dapat dilihat ketika menjalin hubungan interpersonal bisa
memuaskan, emosional yang positif, punya konseptual diri yang positif, serta koping
yang efektif (Videbeck, 2008). Gangguan jiwa merupakan merupakan suatu terjadinya
perubahan pada tubuh yaitu pada jiwa dimana dapat menyebabkan terganggunya fungsi
jiwa kemudian bisa menimbulkan sesuatu yang menyiksa pada seseorang saat
berinteraksi dengan sosial (Depkes RI, 2010) Menurut WHO memperkirakan dari
seluruh orang di dunia terdapat 450 juta yang mengalami gangguan mental. Dimana
perkiraan peluang penduduk yang akan mengalami gangguan jiwa pada usia-usia tertentu
yaitu 25 %. Saat ini presentasi pada orang dewasa yang mengalami gangguan jiwa yaitu
10 %/. Tahun 2010 Departemen Kesehatan dan WHO memperkirakan masalah gangguan
jiwa yang ditemukan di dunia 450 juta. 2,5 juta atau 60% terjadi di Indonesia terdiri dari
pasien resiko perilaku kekerasan, terutama pada laki-laki usia 15-44 tahun. (Hawari
2012). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018), Pada penduduk Indonesia orang yang
menderita gangguan jiwa berat prevalensinya 7% permil, prevalensi 9% gangguan
mental emosional penduduk Indonesia. Di Pulau Bali terdapat pasien gangguan jiwa
berat dengan presentase 10,5%, itu menjadi kasus gangguan jiwa berat terbanyak yang
ada di Indonesia. Terjadi peningkatan prevevalensi pada pasien gangguan jiwa,
dibuktikan dengan data Riskesdas tahun 2013 yaitu 1,7 % per mil, gangguan mental
emosional 6%. Dan sekarang, gangguan jiwa berat naik menjadi 7% per mil. (Kemenkes
RI, 2018) Dalam gannguan jiwa ada berbagai macam kasus, salah satunya yaitu Resiko
Perilaku Kekerasan (RPK). Resiko Perilaku Kekerasan bisa diartikan sebagai seseorang
yang memiliki perilaku menunjukkan bahwa orang itu bisa membahayakan dirinya,
orang disekitar lingkungan, secara fisik, emosional, seksual, verbal (Sutejo, 2017).
Perilaku kekerasan adalah keadaan berbahaya untuk diri klien itu sendiri ataupun orang
disekitarnya (Maramis,2009). Perilaku kekerasan adalah respon terhadap marah , sering
diekspresikan dengan berbagai perbutatan seperti mengancam, mencederai orang lain,
merusak lingkungan sekitar, akibat dari tindakan ini akan timbul berbagai kerugian bagi
dirinya , orang lain, dan lingkungan sekitar (Keliat,dkk, 2011). Resiko Perilaku
kekerasan yaitu bentuk perilaku tujuannya untuk melukai seseorang secara psikologis

1
ataupun fisik. Perilaku kekerasan yaitu respon maladaptif dari kemarahan seseorang
akibat tidak mampunya klien mengatasi stressor yang sedang dialami di lingkungan
(Wulansari & Sholihah, 2021). Menurut Direja (2011) Perilaku kekerasan (RPK) adalah
rentang emosi berupa ungkapan kemarahan, diperlihatkan secara verbal, fisik di
lingkungan sekitar. Perilaku kekerasan adalah respon terhadap streesor yang dialami
seseorang, respon ini menimbulkan kerugian kepada diri sendiri, orang lain. Seseorang
yang mengalami perilaku kekerasan menunjukan perubahan perilaku seperti mengancam,
tidak bisa diam, gelisah, intonasi suara keras, ekspresi tegang, agresif, nada suara tinggi ,
bergembira secara berlebih. Pada seseorang yang mengalami resiko perilaku kekerasan
mengalami perubahan penurunan kemampuan dalam memecahkan masalah, orientasi
terhadap waktu, tempat , orang , kegelisahan (Pardede, Siregar, & Halawa, 2020).
Berbagai gejala dan tanda perilaku kekerasan dapat diidentivikasi, diobservasi oleh
perawat yaitu : Raut muka memerah dan tegang, mengepalkan tangan, mata melotot ,
Berbicara kasar Suara meninggi, mengatupkan rahang dengan kuat , mengancam dengan
secara verbal ataupun fisik, merusak barang atau beda, melempar benda milik orang lain,
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan rendah Muhith (2015).

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi ganguan jiwa, KDRT, waham, dan skizofrenia
2. Untuk mengetahui klasifikasi gangguan jiwa, KDRT, waham, dan skizofrenia
3. Untuk mengetahui hubungan skizofrenia dengan 7 diagnosa
4. Untuk mengetahui bagan hubungan
5. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pasien gangguan jiwa : waham, resiko
perilaku kekerasan, harga diri rendah kronis, dan masalah keperawatan yang lain.

1.3 Manfaat
Memberikan manfaat secara teoritis kepada mahasiswa tentang gangguan jiwa,
waham, KDRT, dan juga skizofrenia serta asuhan keperawatan pada pasien gangguan
jiwa : waham, resiko perilaku kekerasan, harga diri rendah kronis, dan masalah
keperawatan yang lain.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori

2.1.1 Skizofrenia
A. Definisi

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Schizein” yang artinya retak atau pecah (split),
dan “phren” yang artinya pikiran, yang selalu dihubungkan dengan fungsi emosi. Dengan
demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan
jiwa atau keretakan kepribadian serta emosi (Sianturi, 2014). Sedangkan menurut Yosep
(2016), skizofrenia adalah penyakit neurologis yang mempengaruhi persepsi klien, cara
berfikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya
perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Maramis, 2018).

B. Tanda dan gejala

Mashudi (2021) menyatakan tanda dan gejala pada pasien skizofrenia dibedakan menjadi dua
gejala, yaitu :

a. Gejala positif

1) Delusi atau waham adalah keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan kenyataan,
dipertahankan, dan disampaikan berulang-ulang (waham kejar, waham curiga, waham
kebesaran).

2) Halusinasi adalah gangguan penerimaan panca indra tanpa ada stimulis eksternal
(halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, pembau, dan perabaan).

3) Perubahan arus pikir

a) Arus pikir terputus adalah pembicaraan tiba-tiba dan tidak dapat melanjutkan isi
pembicaraan.

b) Inkohoren adalah berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara kacau).

c) Neologisme adalah menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti oleh diri sendiri tetapi
tidak dimengerti oleh orang lain.

4) Perubahan perilaku seperti penampilan atau pakaian yang aneh, gerakan yang berulang
atau stereotipik, tampaknya tanpa tujuan, dan perilaku sosial atau seksual yang tidak biasa.

b. Gejala negatif

3
1) Alogia adalah kecenderungan untuk berbicara sedikit atau menyampaikan sedikit substansi
makna (poverty of content).

2) Anhedonia adalah merasa tidak ada kegembiraan atau kesenangan dari hidup atau aktivitas
atau hubungan apapun.

3) Apatis adalah perasaan acuh tak acuh terhadap orang, aktivitas, dan peristiwa

4) Asosialitas adalah penarikan sosial, sedikit atau tidak ada hubungan, dan kurangnya
kedekatan.

5) Efek tumpul adalah rentang perasaan, nada, atau suasana hati yang terbatas.

6) Katatonia adalah imobilitas yang diinduksi secara psikologis kadang-kadang ditandai


dengan periode agitasi atau kegembiraan, klien tampak tidak

bergerak, dan seolah-olah dalam keadaan kesurupan.

C. Patofisiologi

Patofisiologi skizofrenia disebabkan adanya ketidakseimbangan neurotransmitter di otak,


terutama norepinefrin, serotonin, dan dopamine. Namun, proses patofisiologi skizofrenia
masih belum diketahui secara pasti (Kaplan dan Sadock, 2014). Secara umum penelitian telah
mendapatkan bahwa skizofrenia dikaitkan dengan penurunan volume otak, terutama bagian
temporal (termasuk mediotemporal), bagian frontal, termasuk substansia alba dan grisea. Dari
sejumlah penelitian ini, daerah otak yang secara konsisten menunjukkan kelainan yaitu
daerah hipokampus dan parahipokampus (Abrams, DJ., Rojas, DC., Arciniegas, 2018)

D. Penatalaksanaan

Sesuai dengan etiologi yang sudah diketahui, penanganan klinis untuk pasien dengan
Skizofrenia termasuk pemberian obat-obatan antipsikotik dengan tambahan terapi
psikososial, termasuk terapi perilaku, keluarga, kelompok, individual dan keterampilan sosial
serta rehabilitasi baik di rumah sakit maupun rawat jalan. Indikasi untuk rawat inap di rumah
sakitdapat berupa pembahayaan terhadap orang lain, potensi bunuh diri, gejala-gejala parah
yang menuju pada perawatan diri yang buruk atau risiko untuk cedera sekunder karena
kekacauan perilaku, evaluasi diagnostik, respon yang gagal terhadap terapi, komorbiditas
yang memberi komplikasi, dan kebutuhan untuk mengubah pengobatan yang kompleks
(Sadock, B., Sadock, V., Ruiz, 2017). Selain obat-obatan psikotik, ada beberapa jenis
psikoterapi yang bisa diberikan pada pasien Skizofrenia antara lain:

a. Psikoanalisis

Tujuan terapi psikoanalisis ini menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya dan
mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk mengendalikan kecemasanya.

b. Terapi perilaku (Behavioristik)

4
Terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik dan operan, karena terapi ini
berkaitan dengan perilaku nyata.

c. Terapi humanistic

Terapi kelompok dan terapi keluarga (Kaplan dan Sadock, 2014).

E. Etiologi

Menurut Videbeck (2020) terdapat dua faktor penyebab skizofrenia, yaitu :

a. Faktor predisposisi

1) Faktor biologis

a) Faktor genetik

Faktor genetik adalah faktor utama pencetus dari skizofrenia. Anak yang memiliki satu orang
tua biologis penderita skizofrenia tetapi diadopsi pada saat lahir oleh keluarga tanpa riwayat
skizofrenia masih memiliki risiko genetik dari orang tua biologis mereka. Hal ini dibuktikan
dengan penelitian bahwa anak yang memiliki satu orang tua penderita skizofrenia memiliki
resiko 15%, angka ini meningkat sampai 35% jika kedua orang tua biologis menderita
skizofrenia.

b) Faktor Neuroanatomi

Penelitian menunjukkan bahwa individu penderita skizofrenia memiliki jaringan otak yang
relatif lebih sedikit. Hal ini dapat memperlihatkan suatu kegagalan perkembangan atau
kehilangan jaringan selanjutnya. Computerized Tomography (CT Scan) menunjukkan
pembesaran ventrikel otak dan atrofi korteks otak. Pemeriksaan Positron Emission
Tomography (PET) menunjukkan bahwa ada penurunan oksigen dan metabolisme glukosa
pada struktur korteks frontal otak. Riset secara konsisten menunjukkan penurunan volume
otak dan fungsi otak yang abnormal pada area temporal dan frontal individu penderita
skizofrenia.

Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan ganglia basalis.
Otak pada penderita skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang normal, ventrikel
terlihat melebar, penurunan massa abu-abu, dan beberapa area terjadi peningkatan maupun
penurunan aktivitas metabolik. Pemeriksaan mikroskopis dan jaringan otak ditemukan sedikit
perubahan dalam distribusi sel otak yang timbul pada massa prenatal karena tidak
ditemukannya sel glia, biasa timbul pada trauma otak setelah lahir.

c) Neurokimia

Penelitian neurokimia secara konsisten memperlihatkan adanya perubahan sistem


neurotransmitters otak pada individu penderita skizofrenia. Pada orang normal, sistem switch
pada otak bekerja dengan normal. Sinyal-sinyal persepsi yang datang dikirim kembali dengan
sempurna tanpa ada gangguan sehingga menghasilkan perasaan, pemikiran, dan akhirnya

5
melakukan tindakan sesuai kebutuhan saat itu. Pada otak penderita skizofrenia, sinyal-sinyal
yang dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil mencapai sambungan sel yang
dituju.

2) Faktor psikologis

Skizofrenia terjadi karena kegagalan dalam menyelesaikan perkembangan awal psikososial


sebagai contoh seorang anak yang tidak mampu membentuk hubungan saling percaya yang
dapat mengakibatkan konflik intrapsikis seumur hidup. Skizofrenia yang parah terlihat pada
ketidakmampuan mengatasi masalah ang ada. Gangguan identitas, ketidakmampuan untuk
mengatasi masalah pencitraan, dan ketidakmampuan untuk mengontrol diri sendiri juga
merupakan kunci dari teori ini.

3) Faktor sosiokultural dan lingkungan

Faktor sosiokultural dan lingkungan menunjukkan bahwa jumlah individu dari sosial
ekonomi kelas rendah mengalami gejala skizofrenia lebih besar dibandingkan dengan
individu dari sosial ekonomi yang lebih tinggi. Kejadian ini berhubungan dengan kemiskinan,
akomodasi perumahan padat, nutrisi tidak memadahi, tidak ada perawatan prenatal, sumber
daya untuk menghadapi stress, dan perasaan putus asa.

b. Faktor presipitasi

Faktor presipitasi dari skizofrenia antara lain sebagai berikut :

1) Biologis

Stressor biologis yang berbuhungan dengan respons neurobiologis maladaptif meliputi :


gangguan dalam komunikasi dan putaran umpan balik otak yang mengatur proses balik
informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus.

2) Lingkungan

Ambang toleransi terhadap stress yang ditentukan secara biologi berinteraksi dengan stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan pikiran.

3) Pemicu gejala

Pemicu merupakan prekursor dan stimuli yang sering menimbulkan episode baru suatu
penyakit. Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologis maladaptif yang
berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap, dan perilaku individu.

F. Patofisiologi

Patofisiologi skizofrenia disebabkan adanya ketidakseimbangan neurotransmitter di otak,


terutama norepinefrin, serotonin, dan dopamine. Namun, proses patofisiologi skizofrenia
masih belum diketahui secara pasti (Kaplan dan Sadock, 2014). Secara umum penelitian telah
mendapatkan bahwa skizofrenia dikaitkan dengan penurunan volume otak, terutama bagian

6
temporal (termasuk mediotemporal), bagian frontal, termasuk substansia alba dan grisea. Dari
sejumlah penelitian ini, daerah otak yang secara konsisten menunjukkan kelainan yaitu
daerah hipokampus dan parahipokampus (Abrams, DJ., Rojas, DC., Arciniegas, 2018)

G. Tanda dan Gejala

Mashudi (2021) menyatakan tanda dan gejala pada pasien skizofrenia dibedakan menjadi dua
gejala, yaitu :

1. Gejala positif

a. Delusi atau waham adalah keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan kenyataan,
dipertahankan, dan disampaikan berulang-ulang (waham kejar, waham curiga, waham
kebesaran).

b. Halusinasi adalah gangguan penerimaan panca indra tanpa ada stimulis eksternal
(halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, pembau, dan perabaan).

c. Perubahan arus pikir

1. Arus pikir terputus adalah pembicaraan tiba-tiba dan tidak dapat melanjutkan isi
pembicaraan.

2. Inkohoren adalah berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara kacau).

3. Neologisme adalah menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti oleh diri sendiri
tetapi tidak dimengerti oleh orang lain.

d. Perubahan perilaku seperti penampilan atau pakaian yang aneh, gerakan yang
berulang atau stereotipik, tampaknya tanpa tujuan, dan perilaku sosial atau seksual
yang tidak biasa.

2. Gejala negatif

a. Alogia adalah kecenderungan untuk berbicara sedikit atau menyampaikan sedikit


substansi makna (poverty of content).

b. Anhedonia adalah merasa tidak ada kegembiraan atau kesenangan dari hidup atau
aktivitas atau hubungan apapun.

c. Apatis adalah perasaan acuh tak acuh terhadap orang, aktivitas, dan peristiwa

d. Asosialitas adalah penarikan sosial, sedikit atau tidak ada hubungan, dan kurangnya
kedekatan.

e. Efek tumpul adalah rentang perasaan, nada, atau suasana hati yang terbatas.

f. Katatonia adalah imobilitas yang diinduksi secara psikologis kadang-kadang ditandai


dengan periode agitasi atau kegembiraan, klien tampak tidak bergerak, dan seolah-
olah dalam keadaan kesurupan.

7
H. Klasifikasi

Skizofrenia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe menurut Pedoman Penggolongan


dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III). Adapun pengklasifikasian skizofrenia sebagai
berikut : Maslim R. (2021)

a. Skizofrenia paranoid

Pedoman diagnostik skizofrenia paranoid antara lain :

1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

2. Halusinasi dan atau yang menonjol

3. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik relatif
tidak ada

b. Skizofrenia hebefrenik

Pedoman diagnostik skizofrenia hebefrenik antara lain :

1. Memenuhi kriteria umum skizofrenia

2. Diagnosis hebefrenik hanya ditegakkan pertama kali pada usia remaja atau dewasa
muda (15-25 tahun)

3. Gejala bertahan sampai 2-3 minggu

4. Afek dangkal dan tidak wajar, senyum sendiri, dan mengungkapkan sesuatu dengan di
ulang-ulang.

c. Skizofrenia katatonik

Pedoman diagnostik skizofrenia katatonik antara lain :

1. Memenuhi kriteria umum skizofrenia

2. Stupor (reaktifitas rendah dan tidak mau bicara)

3. Gaduh – gelisah (tampak aktifitas motorik yang tidak bertujuan untuk stimuli
eksternal)

4. Rigiditas (kaku tubuh)

5. Diagnosis katatonik bisa tertunda apabila diagnosis skizofrenia belum tegak


dikarenakan klien tidak komunikatif

d. Skizofrenia tak terinci

Pedoman diagnostik skizofrenia tak terinci antara lain :

1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

8
2. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, dan
katatonik

3. Tidak memenuhi diagnosis skizofrenia residual atau depresipasca1skizofrenia

e. Skizofrenia pasca skizofrenia

Pedoman diagnostik skizofrenia pasca-skizofrenia antara lain :

1. Klien menderita skizofrenia 12 bulan terakhir

2. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada namun tidakmendominasi

3. Gejala depresif menonjol dan mengganggu

f. Skizofrenia simpleks

Pedoman diagnostik skizofrenia simpleks antara lain :

1. Gejala negatif yang khas tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi
lain dari episode psikotik

2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna

g. Skizofrenia tak spesifik

Skizofrenia tak spesifik tidak dapat diklasifikasikan kedalamtipe yang telah disebutkan

I. Penatalaksanaan

Sesuai dengan etiologi yang sudah diketahui, penanganan klinis untuk pasien dengan
Skizofrenia termasuk pemberian obat-obatan antipsikotik dengan tambahan terapi
psikososial, termasuk terapi perilaku, keluarga, kelompok, individual dan keterampilan sosial
serta rehabilitasi baik di rumah sakit maupun rawat jalan. Indikasi untuk rawat inap di rumah
sakitdapat berupa pembahayaan terhadap orang lain, potensi bunuh diri, gejala-gejala parah
yang menuju pada perawatan diri yang buruk atau risiko untuk cedera sekunder karena
kekacauan perilaku, evaluasi diagnostik, respon yang gagal terhadap terapi, komorbiditas
yang memberi komplikasi, dan kebutuhan untuk mengubah pengobatan yang kompleks
(Sadock, B., Sadock, V., Ruiz, 2017). Selain obat-obatan psikotik, ada beberapa jenis
psikoterapi yang bisa diberikan pada pasien Skizofrenia antara lain:

a. Psikoanalisis

Tujuan terapi psikoanalisis ini menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya dan
mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk mengendalikan kecemasanya.

b. Terapi perilaku (Behavioristik)

Terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik dan operan, karena terapi ini
berkaitan dengan perilaku nyata.

9
c. Terapi humanistic

Terapi kelompok dan terapi keluarga (Kaplan dan Sadock, 2014).

2.1.2 KDRT
1. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Menurut World Health Organization (WHO, 2016), kekerasan adalah suatu perilaku
terhadap seorang atau sekelompok orang dengan menggunakan kekuatan atau
kekuasaan yang disengaja sehingga menyebabkan luka fisik, kerugian secara
psikologi, bahkan kematian. Kekerasan juga diartikan sebagai keadaan yang bisa
membahayakan fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap diri sendiri, orang lain,
atau lingkungan sekitar
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga. Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang telah mendapatkan
perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain
menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala
bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik
Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta
bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan,
hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan
d. atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan.
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c.
dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga.
2. Rentang respon marah
Menurut Stuart & Sundenen (1998) dalam Buku Saku Keperawatan Jiwa, rentang respon
perilaku kekerasan dapat digambarkan sebagai berikut:

Sumber :(Stuart & Sundenen, 1998 Buku Saku Keperawatan Jiwa)


Keterangan:

10
1. Asertif: Respon marah dimana individu mampu menyatakan atau mengungkapkan
rasa marah rasa tidak setuju, tanpa menyalahkan orang lain
2. Frustasi: Respon yang terjadi akibat individu gagal dalam mencapai tujuan, kepuasan,
atau rasa aman
3. Pasif: Keadaan dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sedang
di alaminya.
4. Agresif: Perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk menuntut
sesuatu tapi masih terkontrol.
5. Kekerasan atau amuk: Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya
kontrol

3. Penyebab terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)


Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi karena sebab-sebab tertentu yang terjadi dalam
suatu rumah tangga. Penyebab dari kekerasan dalam rumah tangga itu dibagi pula menjadi
dua faktor, antara lain yaitu:
Faktor internal
Faktor internal adalah intensitas untuk beradaptasi pada setiap anggota keluarga, sehingga hal
ini dapat menyebabkan perlakuan diskriminatif dan eksploitatif terhadap anggota keluarga
lainnya yang lemah
Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah intervensi ataupun campur tangan dari lingkungan di luar keluarga
inti baik secara langsung ataupun tidak, akan mempengaruhi sikap anggota keluarga, yang
terwujud dalam sikap eksploitatif terhadap anggota keluarga lain, khususnya terjadi terhadap
perempuan dan anak.
KDRT ternyata bukan sekedar masalah ketimpangan gender. Hal tersebut sering kali terjadi
karena kurangnya komunikasi, ketidakharmonisan, alasan ekonomi, ketidakmampuan
mengendalikan emosi, ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun, serta
kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba. Dalam banyak kasus KDRT kadang
terjadi karena suami merasa frustrasi terhadap istri yang tidak bisa melakukan sesuatu yang
semestinya menjadi tanggung jawabnya.
Hal ini disebabkan pasangan yang belum siap kawin (nikah muda), suami belum memiliki
pekerjaan dan penghasilan tetap untuk mencukupi kebutuhan, dan keterbatasan kebebasan
karena masih menumpang pada orang tua/mertua. Pada kondisi tersebut, sering sekali suami
mencari pelarian dengan hal-hal negatif (mabuk, judi, narkoba, seks) sehingga berujung pada
pelampiasan terhadap istri dengan berbagai bentuk, baik kekerasan fisik, psikis, seksual
bahkan penelantaran.

4. Faktor Predisposisi dan Faktor Prepitasi


A. Faktor Predisposisi
a. Faktor Psikologis
 Psycoanalytical Theory: Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku
manusia di pengaruhi oleh dua insting Pertama insting hidup yang dapat di
ekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang
diekspresikan dengan agresivitas.
 Frustation agression theory; teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini
berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada
gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau

11
objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang melakukan
tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
 Pandangan psikologi lainnya mengenai perilkau agresif, mendukung
pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau pengalaman hidup. Ini
menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping
yang sifatnya tidak merusak
b. Faktor biologis
Dorongan agresif mempunyai dasar biologis, faktor-faktor yang mendukung :
 Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan.
 Sering mengalami kegagalan.
 Kehidupan yang penuh tindakan agresif.
 Lingkungan yang tidak kondusif

B. Faktor Prepitasi
Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya teramcam.
Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya
ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia
tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik
perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasikannya. Ancaman dapat berupa
internal ataupun eksternal. Contoh stressor eksternal yaitu serangan secara psikis, kehilangan
hubungan yang di anggap bermakna dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan stressor
dari internal yaitu merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintainya,
dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.

5. Jenis- jenis Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)


Kekerasan dalam rumah tangga dapat dibedakan dalam beberapa jenis, sesuai dengan
bentuknya. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) antara lain:
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain
adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak),
menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka
lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
b. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak.
rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku
kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri,
mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau menakut-nakuti sebagai
sarana memaksakan kehendak
c. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan
batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual
sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
d. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau

12
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi
nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Selain itu, menurut Hayes (2018) terdapat enam jenis kekerasan dalam rumah tangga antara
lain:
1. Kekerasan fisik
kekerasan dengan penggunaan kekuatan fisik terhadap yang lain, seperti memukul,
mendorong, meraih, menggigit, menahan, gemetar, tersedak, membakar, memaksa
penggunaan obat-obatan alkohol, dan menyerang dengan senjata. Kekerasan fisik bisa
mungkin dan tidak mungkin mengakibatkan cedera yang memerlukan perhatian medis.
2. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual yaitu pelanggaran integritas tubuh seseorang (penyerangan seksual),
termasuk pemaksaan kontak seksual, pemerkosaan dan pelacuran, serta perilaku seksual yang
tidak diinginkan (pelecehan seksual) secara verbal atau non-verbal.
3. Kekerasan ekonomi
Kekerasan ekonomi membuat atau berusaha membuat korban secara finansial bergantung
pada pelaku, contohnya melarang bekerja dan mengendalikan keuangan.
4. Pelecehan psikologis
Pelecehan psikologis adalah kondisi yang meliputi intimidasi, ancaman bahaya dan isolasi,
contohnya menanamkan rasa takut pada pasangan intim melalui perilaku mengancam.
5. Pelecehan spiritual
pelecehan spiritual dapat dimasukkan sebagai jenis pelecehan psikologis. Ini melibatkan
penyalahgunaan kepercayaan spiritual atau agama untuk memanipulasi atau mengerahkan
kekuasaan dan kontrol terhadap pasangan.
6. Pelecehan emosional
pelecehan emosional, sepperti merusak rasa harga diri seseorang, dengan mengkritik secara
terus-menerus, mengejek dan mempermalukan.

6. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga memiliki dampak yang sangat mengkhawatirkan


bagikorbannya, dampak fisik serta psikis yang dialami oleh korban data membuat korban
menjadi pribadi yang berbeda dengan sebelumnya, serta tidak efektif bagi kehidupan korban.
Dampak fisik dari korban KDRT bisa berupa lebam, dan luka. Adapun dampak psikologis
dari KDRT ialah:

1. Tidak percaya diri

Korban KDRT akan mengalami hilangnya rasa percaya diri, hal itu disebabkan karena korban
merasa malu ketika bergaul dengan lingkungan yang ada di sekitarnya, karena korban
menganggap kejadian yang dialaminya merupakan aib.

2. Mengalami trauma yang mendalam

Kejadian KDRT meninggalkan bekas yang mendalam bagi korbannya, bahkan bisa
menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Trauma tersebut menyebabkan korban ketakutan
yang berlebih dan akan dapat merusak diri korban jika trauma tersebut terus menghinggapi
pikiran korban.

13
3. Mental yang terganggu

Korban KDRT akan merasakan mentalnya terguncang ketika menyadari dirinya telah
menjadi korban KDRT.

Akibat yang ditimbulkan dari KDRT menjadikan korbannya mersa terpukul, perubahan sikap
yang terjadi secara mendadak menjadikan penyimpangan kepribadian yang dialami oleh
korban, seperti menjadi pendiam, hilangnya rasa percaya diri, trauma mendalam, dll. Jika
KDRT dialami oleh anak, maka anak tersebut anak tersebut akan mengalami permasalahan
pada proses tumbuh kembangnya, perilaku yang lebih agresif biasanya timbul pada anak
ketika mengalami kejadian KDRT, tidak dapat bergaul dengan lingkungan sekitarnya dapat
menjadikan anak tersebut menjadi pendiam.

Selain berdampak terhadap korban, KDRT juga bisa memberikan dampak yang buruk
terhadap anak. Meski anak tidak merasakan secara langsung kekerasan dari sang pelaku.
Tapi, anak dapat merekam kejadian tersebut. Dalam artian secara tidak langsung anak
menjadi saksi terhadap kekerasan dalam lingkup keluarganya. Hal itu mempengaruhi mental
anak tersebut. Karena keluarga adalah hubungan interpersonal yang paling dekat dengan anak
sehingga menjadi tinjauan yang utama bagi kesehatan mental anak. Pengalaman melihat
KDRT merupakan sebuah kejadian traumatis dikarenakan kekerasan tersebut diperbuat oleh
seseorang yang dekat dengan anak dalam artian keluarga. Peran orang terdekat atau keluarga
seharusnya menjadi sebuah pelindung dan memberikan ketenangan bukan menjadi sebuah hal
yang membuat anak takut, cemas, dan marah akibat dari kekerasan dalam rumah tangga.
(Nurfaizah, 2023)

Dari penelitian Nurfaizah (2023), didapatkan bahwa dari kekerasan yang berada dalam
lingkup rumah tangga atau keluarga akan memberikan dampak negatif terhadap seorang anak
khususnya pada kesehatan mental anak itu sendiri, seperti akan membuat seorang anak
cemas, ketakutan, trauma, selalu terbayang-bayang akan kekerasan yang dilakukan oleh
pelaku terhadap korban, dan menyebabkan hilangnya kepercayaan diri seorang anak.

7. Tanda dan Gejala Pelaku KDRT


Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan pengrusakan, tetapi
ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala atau perubahan-perubahan yang
timbul pada klien dalam keadaan marah diantaranya adalah:
a. Perubahan fisiologi
Perubahan fisiologis berupa tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan
meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, mual, frekuensi buang air besar
meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks tendon tinggi.
b. Perubahan Emosional
Mudah tersinggung tidak sabar, frustasi, ekspresi wajah nampak tegang, bila mengamuk
kehilangan kontrol diri. Perubahan Perilaku Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan,
sinis, curiga, mengamuk, nada suara keras dan kasar.
c. Menyerang atau menghindar (fight of flight) Pada keadaan ini respon fisiologis timbul
karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang
menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar,
sekresi HC1 meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva
meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti
rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
d. Menyatakan Secara Asertif (Assertiveness)

14
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu
dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik
untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya
tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini
dapat juga untuk pengembangan diri klien.
e. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku "acting out" untuk
menarik perhatian orang lain.
f. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan

8. Tanda dan Gejala Korban KDRT

Adapun tanda dan gejala korban KDRT menurut Siti, dkk (2023), adalah sebagai berikut:

1. Menarik diri dari lingkungan

2. Merasa malu

3. Penurunan rasa percaya diri

4. luka fisik

5. Perubahan perilaku

6. Isolasi sosial

7. Kecemasan berlebihan

9. Penatalaksanaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pada pasien pelaku kekerasan, penatalaksanaan yang dapat diberikan antara lain:

1. Farmakoterapi

Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat. Adapun
pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi contohnya
Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Apabila tidak
ada, dapat digunakan dosis efektif rendah. Contohnya Trifiluoperasine estelasine, bila
tidak ada juga, maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat antipsikotik seperti
neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti
cemas dan anti agitasi.

2. Terapi okupasi

Terapi ini bukan pemberian pekerjaan melainkan kegiatan itu sebagai media untuk
melakukan kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi. Oleh karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti
membaca koran, main catur, berdialog, berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan

15
bagi dirinya. Terapi ini merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas
terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program kegiatan.

3. Terapi kelompok

Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk
memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal. Terapi aktivitas
kelompok adalah salah satu upaya untuk memfasilitasi psikoterapi terhadap sejumlah
pasien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan hubungan antar
anggota.

4. Peran serta keluarga

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada
setiap keadaan (sehat-sakit) pasin. Perawat membantu keluarga agar dapat melakukan
lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan
kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga
yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang
mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptif
(pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan sekunder), dan
memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga
derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal.

5. Terapi somatik

Terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa denga tujuan mengubah perilaku
yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan
pada kondisi fisik pasien, tetapi target terapi adalah perilaku pasien

6. Terapi kejang listrik

Terapi kejang listrik atau electro convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi kepada
pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis pasien. Terapi ini awalnya untuk menangani
skozofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi, biasanya dilaksanakan setiap 2-3 hari sekali.

10. Asuhan Keperawatan pada Pelaku KDRT


A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a. Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat,
tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat.
Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya
kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal,
tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang
dikeluarkan saat marah bertambah.
b. Aspek emosional

16
Salah satu anggota yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak
berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul anggota yang lain,
mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
c. Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai
suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah,
mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses,
diklarifikasi, dan diintegrasikan.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan.
Emosi marah sering merangsang kemarahan anggota keluarga yang
lain lain. Individu seringkali menyalurkan kemarahan dengan
mengkritik tingkah laku yang lain sehingga anggota keluarga yang lain
merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan
disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu
sendiri, menjauhkan diri dari orang lain.
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan
rasa tidak berdosa. Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat
perlu mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik,
emosi, intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat
dilukiskan sebagai berikut Aspek fisik terdiri dari muka merah,
pandangan tajam, napas pendek dan cepat, berkeringat, sakit fisik,
penyalahgunaan zat. tekanan darah meningkat. Aspek emosi tidak
adekuat, tidak aman. dendam, jengkel. aspek intelektual: mendominasi,
bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial menarik diri,
penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
2. Klasifikasi Data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu data
subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang disampaikan secara lisan
oleh klien dan keluarga. Data ini didapatkan melalui wawancara perawat dengan klien
dan keluarga. Sedangkan data obyektif yang ditemukan secara nyata. Data ini
didapatkan melalui obsevasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.
3. Analisa Data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan yang
dihadapi keluarga dan dengan memperhatikan pohon masalah dapat diketahui
penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut. Dari hasil analisa data inilah dapat
ditentukan diagnosa keperawatan.
4. Aspek Fisik
Aspek fisik terdiri dari muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat,
berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi
tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel. aspek intelektual: mendominasi, bawel,
sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial: menarik diri,

B. Diagnosa Keperawatan

17
Diagnosa keperawatan yang timbul dari Pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga
adalah Resiko perilaku kekerasan

C. Intervensi keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi


. Keperawatan

1. Resiko a. Tujuan Umum


Perilaku Klien dapat 1.Bina hubungan saling percaya. Salam
Kekerasan mengontrol terapeutik, perkenalkan diri, beritahu
perilaku tujuan interaksi, kontrak waktu yang
kekerasan pada tepat, ciptakan waktu yang aman dan
saat berhubungan tenang, observasi respon verbal dan non
dengan orang lain verbal, bersikap empati.
b. Tujuan khusus :
2.Klien dapat mengidentifikasi penyebab
1) Klien dapat membina perilaku kekerasan. Beri kesempatan
hubungan saling pada klien untuk mengungkpkan
percaya perasaannya. Bantu untuk
mengungkapkan penyebab perasaan
2) Klien dapat jengkel kesal
mengidentifikasi
penyebab perilaku 3.Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda
kekerasan perilaku kekerasan. Anjurkan klien
mengungkapkan dilema yang dirasakan
3) Klien dapat saat jengkel.
mengdentifikasi
tanda-tanda perilaku Observasi tanda perilaku kekerasan pada
kekerasan klien.

4) Klien dapat Simpulkan bersama tanda-tanda


mengidentifikasi jengkel/kesal yang dialami klien.
perilaku kekeerasan
yang biasa dilakukan 4.Klien dapat mengidentifikasi perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan.
5) Klien dapat Anjurkan klien untuk mengungkapkan
mengidentifikasi perilaku kekrasan yang biasa dilakukan.
akibat perilaku Bantu klien bermain peran sesuai dengan
kekerasan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Bicarakan dengan klien apakah dengan
6) Klien dapat cara yang klien lakukan masalahnya
melakukan cara selesai.
berespon terhadap
kemarahan secara 5.Klien dapat mengidetifikasi perilaku
konstruktif kekerasan. Bicarakan akibat/kerugian dari
perilaku kekekrasan yang dilakukan
7) Klien dapat klien. Bersama klien menyimpulkan
mendemonstrasikan akibat dari perilaku kekerasanyang
sikap perilaku

18
kekerasan dilakukan

8) Klien mendapat 6.Klien dapat melakukan caraberespon


dukungan keluarga terhadap kemarahan secara kondtruktif.
dalam mengontrol Tanyakan pada klien apakah ingin
perilaku kekerasan mempelajari cara baru yang sehat.
Berikan pujian jika klien mengetahui cara
9) Klien dapat yang sehat. Diskusikan dengan klien
menggunakan obat caralain yang sehat.
yang benar
– secara fisik : tarik nafas dalam/memukul
kasur/memukul botol/olahraga yang
memerlukan tenaga

- Secara verbal : katakan bahwa Anda sering


kesal/jengkel

- Secara sosial : lakukan dalam kelompok


cara-cara marah yang sehat, latihan
asertif, latihan manajemen perilaku
kekerasan

- Secara spiritual: anjurkan klien berdoa,


sembahyang, meminta pada Tuhan agar
diberi kesababran

7. Klien dapat mendemonstrasikan sikap


perilaku kekerasan. Bantu klien memilih
cara yang paling tepat untuk klien. Bantu
klien mengidentifikasi manfaat yang telah
dipilih. Bantu klien untuk menstimulasikan
cara tersebut. Beri reinforcement positif
atas keberhasilan klien menstimulasi cara
tersebut. Anjurkan klien untuk
menggunakan cara yang telah dipelajari
saat jengkel/marah.

8. Klien dapat dukunga keluarga dalama


mengontrol perilaku kekerasan.
Identifikasi kemampuan keluarga dalam
merawat klien dan sikap apa yang telah
dilakukan keluarga terhadap klien selama
ini. Jelaskan peran serta keluarga dalam
merawat klien. Jelaskan cara-cara merawat
klien:

-terkait cara-cara merawat klien

-terkait dengan car mengontrol perilaku

19
kekekrasan secara konstruktif

-sikap tenan, bicara tenang dan jelas

-bantu keluarga mengenal penyebab marah

-bantu keluarga mendemonstrasikan cara


merawat klien

-bantu keluarga mengungkapkan persaannya


setelah melakukan demonstrasi.

9. Klien dapat meggunakan obat yang benar

Jelaskan pada klien dan kelaurga jenis-jenis


obat yang diminum klien

Diskusikan manfaat minum obat dan


kerugian berhenti minum obat tanpa seizin
dokter

11. Asuhan Keperawatan pada Korban KDRT

DIAGNOSIS LUARAN INTERVENSI KEPERAWATAN


KEPERAWATAN KEPERAWATAN

20
Risiko Tingkat Pencegahan Perilaku Kekerasan
PerilakuKekerasan(D.0146) Depresi(L.09097) (1.14544)

Setelah dilakukan Observasi


tindakan keperawatan
selama 3×24 jam 1. Monitor adanya benda yang
diharapkan Tingkat berpotensimembahayakan
depresi menurun (mis. benda tajam, tali)

2. Monitor keamanan barang


yang dibawaoleh
pengunjung

3. Monitor selama
penggunaan barang
yangdapat membahayakan
(mis. Pisau cukur)

Terapeutik

1. Pertahankan lingkungan
bebas dari bahayasecara
rutin

2. Libatkan keluarga dalam


perawatan

Edukasi

1. Anjurkan pengunjung dan


keluarga untuk mendukung
keselamatan pasien

2. Latih cara mengungkapkan


perasaan secaraasertif

3. Latih mengurangi
kemarahan secara verbal
dan nonverbal (mis.
relaksasi, bercerita)

21
Gangguan Identitas Diri Identitas Diri (L.09070) Promosi Koping (1.09312)
(D.0084)
Setelah dilakukan Observasi
tindakan keperawatan
selama3×24 jam 1. Identifikasi kegiatan jangka
diharapkan identitas diri pendek danpanjang sesuai
membaik tujuan

2. Identifikasi
kemampuan yang
dimilikiIdentifikasi
sumber daya yang
tersedia untuk
memenuhi tujuan

3. Identifikasi
pemahaman proses
penyakit

4. Identifikasi dampak
situasi terhadap
perandan hubungan
Identifikasi metode
penyelesaian masalah

5. Identifikasi kebutuhan
dan keinginan
terhadap dukungan
sosial
Terapeutik

1. Diskusikan perubahan
peran yang dialami

2. Gunakan pendekatan
yang tenang dan
meyakinkan

3. Diskusikan alasan
mengkritik diri sendiri

4. Diskusikan untuk
mengklanfikasi
kesalahpahaman dan
mengevaluasi perilaku
sendii

5. Diskusikan
konsekuensi
tidakmenggunakan
rasa bersalah dan rasa

22
malu

6. Diskusikan risiko
yang menimbulkan
bahaya pada diri
sendiri Fasilitasi
dalam memperoleh
informasi yang
dibutuhkan

7. Berikan pilihan
realistis mengenai
aspek-aspek tertentu
dalam perawatan

8. Motivasi untuk
menentukan harapan
yang realistis Tinjau
kembali kemampuan
dalam pengambilan
keputusan

9. Hindari mengambil
keputusan saat pasien
berada di bawah
tekanan

10. Motivasi terlibat


dalam kegiatan sosial

11. Motivasi
mengidentifikasi
system pendukung
yang tersedia

12. Dampingi saat


berduka (mis penyakit
kronis, kecacatan)

13. Perkenalkan dengan


orang atau kelompok
yang berhasil
mengalami
pengalaman sama

14. Dukung penggunaan


mekanisme
pertahanan yang tepat

15. Kurangi rangsangan

23
lingkungan yang
mengancaman
Edukasi

1. Anjurkan menjalin
hubungan yang
memiliki kepentingan
dan tujuan sama

2. Anjurkan penggunaan
sumber spiritual,jika
perlu

3. Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan persepsi

4. Anjurkan keluarga
terlibat

5. Anjurkan membuat
tujuan yang lebih
spesifik

6. Ajarkan cara
memecahkan masalah
secara konstruktif

Pemeliharaan Kesehatan Pemeliharaan Kesehatan Kontrak Perilaku Positif (1.09282)


Tidak Efektif (D.0117) (L12106) Setelah
dilakukan tindakan Observasi
keperawatan
selama3×24 jam 1. Identifikasi
diharapkan kemampuan mental
Pemeliharaan kesehatan dan kognitif untuk
meningkat membuat kontrak
Identifikasi cara dan
sumber daya terbaik
untuk mencapai tujuan

2. Identifikasi hambatan
dalam menerapkan
perilaku positif

3. Monitor pelaksanaan
perilaku
ketidaksesuaian dan

24
kurang komitmen
untuk memenuhi
kontrak

Terapeutik

1. Ciptakan lingkungan
yang terbuka untuk
membuat kontrak
perilaku

2. Fasilitasi pembuatan
kontrak tertulis

3. Diskusikan perilaku
kesehatan yang ingin
diubah

4. Diskusikan tujuan
positif jangka pendek
dan jangka Panjang
yang realistis dan
dicapai

5. Diskusikan
pengembangan
rencana perilaku
positif Diskusikan
cara mengamati
perilaku (mis table
kemajuan perlaku)

6. Diskusikan
penghargaan yang
diinginkan ketika
tujuan tercapai, jika
pertu

7. Diskusikan
konsekuensi atau
sanksi tidak
memenuhi kontrak

8. Tetapkan batas waktu


yang dibutuhkan
untuk pelaksanaan
tindakan yang realistis

9. Fasilitasi meninjau
ulang kontrak dan

25
tujuan, jika perlu

10. Pastikan kontrak


ditandatangani oleh
semua pihak yang
terlibat jika perlu

11. Libatkan keluarga


dalam proses kontrak,
jika perlu
Edukasi

1. Anjurkan menuliskan
tujuan sendiri, jika
perlu
2.1.3 Gangguan Jiwa
A. Definisi Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa merupakan psikologik atau pola perilaku yang ditunjukkan pada individu
yang menyebabkan distress, menurunkan kualitas kehidupan dan disfungsi. Hal tersebut
mencerminkan disfungsi psikologis, bukan sebagai akibat dari penyimpangan sosial maupun
konflik dengan masyarakat (Stuart, 2013). Sedangkan menurut Keliat, (2011) gangguan jiwa
merupakan pola perilaku, sindrom yang secara klinis bermakna berhubungan dengan
penderitaan, distress dan menimbulkan hendaya pada lebih atau satu fungsi kehidupan
manusia.

Menurut American Psychiatric Association atau APA mendefinisikan gangguan jiwa pola
perilaku/ sindrom, psikologis secara klinik terjadi pada individu berkaitan dengan distres
yang dialami, misalnya gejala menyakitkan, ketunadayaan dalam hambatan arah fungsi lebih
penting dengan peningkatan resiko kematian, penderitaan, nyeri, kehilangan kebebasan yang
penting dan ketunadayaan (O’Brien, 2013).

Gangguan jiwa adalah bentuk dari manifestasi penyimpangan perilaku akibat distorsi emosi
sehingga ditemukan tingkah laku dalam ketidak wajaran. Hal tersebut dapat terjadi karena
semua fungsi kejiwaan menurun (Nasir, Abdul & Muhith, 2011).

Menurut Videbeck dalam Nasir, (2011) mengatakan bahwa kriteria umum gangguan adalah
sebagai berikut:

1. Tidak puas hidup di dunia.


2. Ketidak puasan dengan karakteristik, kemampuan dan prestasi diri.
3. Koping yang tidak afektif dengan peristiwa kehidupan.
4. Tidak terjadi pertumbuhan personal.
5. Menurut Keliat dkk dalam Prabowo, (2014) mengatakan ada juga ciri dari gangguan
jiwa yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
6. Mengurung diri.
7. Tidak kenal orang lain.

26
8. Marah tanpa sebab.
9. Bicara kacau.
10. Tidak mampu merawat diri.

B. Tanda dan gejala gangguan jiwa.

Tanda dan gejala gangguan jiwa adalah sebagai berikut

Ketegangan (Tension) merupakan murung atau rasa putus asa, cemas, gelisah, rasa lemah,
histeris, perbuatan yang terpaksa (Convulsive), takut dan tidak mampu mencapai tujuan
pikiranpikiran buruk (Yosep, H. Iyus & Sutini, 2014).

Gangguan kognisi. Merupakan proses mental dimana seorang menyadari, mempertahankan


hubungan lingkungan baik, lingkungan dalam maupun lingkungan luarnya (Fungsi mengenal)
(Kusumawati, Farida & Hartono, 2010)

Proses kognisi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Gangguan persepsi.

Persepsi merupakan kesadaran dalam suatu rangsangan yang dimengerti. Sensasi yang
didapat dari proses asosiasi dan interaksi macam-macam rangsangan yang masuk. Yang
termasuk pada persepsi adalah:

Halusinasi Halusinasi merupakan seseorang memersepsikan sesuatu dan kenyataan tersebut


tidak ada atau tidak berwujud. Halusinasi terbagi dalam halusinasi penglihatan, halusinasi
pendengaran, halusinasi raba, halusinasi penciuman, halusinasi sinestetik, halusinasi kinetic.

Ilusi adalah persepsi salah atau palsu (interprestasi) yang salah dengan suatu benda.

Derealisi yaitu perasaan yang aneh tentang lingkungan yang tidak sesuai kenyataan.

Depersonalisasi merupakan perasaan yang aneh pada diri sendiri, kepribadiannya terasa
sudah tidak seperti biasanya dan tidak sesuai kenyataan (Kusumawati, Farida & Hartono,
2010).

2. Gangguan sensasi.

Seorang mengalami gangguan kesadaran akan rangsangan yaitu rasa raba, rasa kecap, rasa
penglihatan, rasa cium, rasa pendengaran dan kesehatan (Kusumawati, Farida & Hartono,
2010).

3. Gangguan kepribadian.

Kepribadian merupakan pola pikiran keseluruhan, perilaku dan perasaan yang sering
digunakan oleh seseorang sebagai usaha adaptasi terus menerus dalam hidupnya. Gangguan
kepribadian misalnya gangguan kepribadian paranoid, disosial, emosional tak stabil.
Gangguan kepribadian masuk dalam klasifikasi diagnosa gangguan jiwa (Maramis, 2009).

27
4. Gangguan pola hidup

Mencakup gangguan dalam hubungan manusia dan sifat dalam keluarga, rekreasi, pekerjaan
dan masyarakat. Gangguan jiwa tersebut bisa masuk dalam klasifikasi gangguan jiwa kode V,
dalam hubungan sosial lain misalnya merasa dirinya dirugikan atau dialang-alangi secara
terus menerus. Misalnya dalam pekerjaan harapan yang tidak realistik dalam pekerjaan untuk
rencana masa depan, pasien tidak mempunyai rencana apapun (Maramis, 2009).

5. Gangguan perhatian.

Perhatian ialah konsentrasi energi dan pemusatan, menilai suatu proses kognitif yang timbul
pada suatu rangsangan dari luar (Direja, 2011).

6. Gangguan kemauan.

Kemauan merupakan dimana proses keinginan dipertimbangkan lalu diputuskan sampai


dilaksanakan mencapai tujuan. Bentuk gangguan kemauan sebagai berikut :

Kemauan yang lemah (abulia) adalah keadaan ini aktivitas akibat ketidak sangupan membuat
keputusan memulai satu tingkah laku.

Kekuatan adalah ketidak mampuan keleluasaan dalam memutuskan dalam mengubah tingkah
laku.

Negativisme adalah ketidak sangupan bertindak dalam sugesti dan jarang terjadi
melaksanakan sugesti yang bertentangan.

Kompulasi merupakan dimana keadaan terasa terdorong agar melakukan suatu tindakan yang
tidak rasional (Yosep, H. Iyus & Sutini, 2014).

7. Gangguan perasaan atau emosi (Afek dan mood)

Perasaan dan emosi merupakan spontan reaksi manusia yang bila tidak diikuti perilaku maka
tidak menetap mewarnai persepsi seorang terhadap disekelilingnya atau dunianya. Perasaan
berupa perasaan emosi normal (adekuat) berupa perasaan positif (gembira, bangga, cinta,
kagum dan senang). Perasaan emosi negatif berupa cemas, marah, curiga, sedih, takut,
depresi, kecewa, kehilangan rasa senang dan tidak dapat merasakan kesenangan (Maramis,
2009). Bentuk gangguan afek dan emosi menurut Yosep, (2007) dapat berupa:

1) Euforia yaitu emosi yang menyenangkan bahagia yang berlebihan dan tidak sesuai
keadaan, senang gembira hal tersebut dapat menunjukkan gangguan jiwa. Biasanya orang
yang euforia percaya diri, tegas dalam sikapnya dan optimis.

2) Elasi ialah efosi yang disertai motorik sering menjadi berubah mudah tersinggung.

3) Kegairahan atau eklasi adalah gairah berlebihan disertai rasa damai, aman dan tenang
dengan perasaan keagamaan yang kuat.

28
4) Eksaltasi yaitu berlebihan dan biasanya disertai dengan sikap kebesaran atau waham
kebesaran.

5) Depresi dan cemas ialah gejala dari ekpresi muka dan tingkah laku yang sedih.

6) Emosi yang tumpul dan datar ialah pengurangan atau tidak ada sama sekali tanda-tanda
ekspresi afektif.

8. Gangguan pikiran atau proses pikiran (berfikir).

Pikiran merupakan hubungan antara berbagai bagian dari pengetahuan seseorang. Berfikir
ialah proses menghubungkan ide, membentuk ide baru, dan membentuk pengertian untuk
menarik kesimpulan. Proses pikir normal ialah mengandung ide, simbol dan tujuan asosiasi
terarah atau koheren (Kusumawati, Farida & Hartono, 2010).

9. Gangguan psikomotor

Gangguan merupakan gerakan badan dipengaruhi oleh keadaan jiwa sehinggga afek
bersamaan yang megenai badan dan jiwa, juga meliputi perilaku motorik yang meliputi
kondisi atau aspek motorik dari suatu perilaku. Gangguan psikomotor berupa, aktivitas yang
menurun, aktivitas yang meningkat, kemudian yang tidak dikuasai, berulang-ulang dalam
aktivitas. Gerakan salah satu badan berupa gerakan salah satu badan berulang-ulang atau
tidak bertujuan dan melawan atau menentang terhadap apa yang disuruh (Yosep, H. Iyus &
Sutini, 2014).

10. Gangguan ingatan.

Ingatan merupakan kesangupan dalam menyimpan, mencatat atau memproduksi isi dan
tanda-tanda kesadaran. Proses ini terdiri dari pencatatan, pemangilan data dan penyimpanan
data (Kusumawati, Farida & Hartono, 2010).

11. Gangguan asosiasi.

Asosiasi merupakan proses mental dalam perasaan, kesan atau gambaran ingatan cenderung
menimbulkan kesan atau ingatan respon atau konsep lain yang memang sebelumnya
berkaitan dengannya. Kejadian yang terjadi, keadaan lingkungan pada saat itu, pelangaran
atau pengalaman sebelumnya dan kebutuhan riwayat emosionalnya (Yosep, 2007).

12. Gangguan pertimbangan.

Gangguan pertimbangan merupakan proses mental dalam membandingkan dan menilai


beberapa pilihan dalam suatu kerangka kerja memberikan nilai dalam memutuskan aktivitas
(Yosep, 2007).

C. Patofisiologi

Penyebab ganggua jiwa yang terdapat pada unsur kejiwaan, akan tetapi ada penyebab utama
mungkin pada badan (Somatogenik), di Psike (Psikologenik), kultural (tekanan kebudayaan)
atau dilingkungan sosial (Sosiogenik) dan tekanan keagamaan (Spiritual). Dari salah satu

29
unsur tersebut ada satu penyebab menonjol, biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan
tetapi ada beberapa penyebab pada badan, jiwa dan lingkungan kultural-Spiritual sekaligus
timbul dan kebetulan terjadi bersamaan. Lalu timbul gangguan badan atau jiwa (Maramis,
2009).

Menurut Yusuf, (2015) penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling
mempengaruhi yaitu sebagai berikut:

a. Faktor somatic organobiologis atau somatogenik.

1) Nerofisiologis.
2) Neroanatomi.
3) Nerokimia.
4) Faktor pre dan peri-natal.
5) Tingkat kematangan dan perkembangan organik.

b. Faktor psikologik (Psikogenik).

1) Peran ayah.
2) Interaksi ibu dan anak.
3) Normal rasa aman dan rasa percaya abnormal berdasarkan keadaan yang terputus
(perasaan tak percaya dan kebimbangan), kekurangan.
4) Inteligensi.
5) Saudara kandung yang mengalami persaingan.
6) Hubungan pekerjaan, permainan, masyarakat dan keluarga.
7) Depresi, kecemasan, rasa malu atau rasa salah mengakibatkan kehilangan.
8) Keterampilan, kreativitas dan bakat.
9) Perkembangan dan pola adaptasi sebagai reaksi terhadap bahaya.

c. Faktor sosio-budaya (Sosiogenik).

1) Pola dalam mengasuh anak.


2) Kestabilan keluarga.
3) Perumahan kota lawan pedesaan.
4) Tingkat ekonomi.
5) Pengaruh keagamaan dan pengaruh sosial.
6) Masalah kelompok minoritas, meliputi fasilitas kesehatan dan prasangka,
kesejahteraan yang tidak memadai dan pendidikan.
D. Nilai-nilai.

Dari faktor-faktor ketiga diatas, terdapat beberapa penyebab lain dari penyebab gangguan
jiwa diantaranya adalah sebagai berikut :

a) Genetika.

30
Individu atau angota keluarga yang memiliki atau yang mengalami gangguan jiwa akan
kecenderungan memiliki keluarga yang mengalami gangguan jiwa, akan cenderung lebih
tinggi dengan orang yang tidak memiliki faktor genetik (Yosep, 2013).

b) Sebab biologik.
 Keturunan.

Peran penyebab belum jelas yang mengalami gangguan jiwa, tetapi tersebut sangat ditunjang
dengan faktor lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.

 Temperamen.

Seseorang terlalu peka atau sensitif biasanya mempunyai masalah pada ketegangan dan
kejiwaan yang memiliki kecenderungan akan mengalami gangguan jiwa.

 Jasmaniah.

Pendapat beberapa penyidik, bentuk tubuh seorang bisa berhubungan dengan gangguan jiwa,
seperti bertubuh gemuk cenderung menderita psikosa manik defresif, sedangkan yang kurus
cenderung menjadi skizofrenia.

 Penyakit atau cedera pada tubuh.

Penyakit jantung, kanker dan sebagainya bisa menyebabkan murung dan sedih. Serta, cedera
atau cacat tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa rendah diri (Yosep, 2013).

c) Sebab psikologik.

Dari pengalaman frustasi, keberhasilan dan kegagalan yang dialami akan mewarnai sikap,
kebiasaan dan sifatnya di kemudian hari (Yosep, 2013).

 Stress.

Stress perkembangan, psikososial terjadi secara terus menerus akan mendukung timbulnya
gejala manifestasi kemiskinan, pegangguran perasaan kehilangan, kebodohan dan isolasi
sosial (Yosep, 2013).

 Sebab sosio kultural.

Cara membesarkan anak yang kaku, hubungan orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat.
Anak setelah akan sangat bersifat agresif, pendiam dan tidak akan suka bergaul atau bahkan
akan menjadi anak yang penurut.

Sistem nilai, perbedaan etika kebudayaan dan perbedaan sistem nilai moral antara masa lalu
dan sekarang akan sering menimbulkan masalah kejiwaan.

Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi, dalam masyarakat kebutuhan
akan semakin meningkat dan persaingan semakin meningkat. Memacu orang bekerja lebih

31
keras agar memilikinya, jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar sehingga pegangguran
meningkat (Yosep, 2013).

Perkembangan psikologik yang salah.

Ketidak matangan individu gagal dalam berkembang lebih lanjut. Tempat yang lemah dan
disorsi ialah bila individu mengembangkan sikap atau pola reaksi yang tidak sesuai, gagal
dalam mencapai integrasi kepribadian yang normal (Yosep, 2013).

E. Klasifikasi Gangguan Jiwa

Secara singkat, klasifikasi gangguan jiwa menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosa
Gangguan Jiwa (PPDGJ) III meliputi:

1. Gangguan mental organik (termasuk gangguan mental simtomatik)

Gangguan mental organik merupakan gangguan mental yang berkaitan dengan


penyakit/gangguan sistemik atau otak. Gangguan mental ini timbul sebagai efek sekunder
dari penyakit fisik yang diderita oleh seseorang, misalnya gangguan metabolik, gangguan
vaskuler ataupun trauma kepala. Gangguan mental ini biasanya dapat membaik seiring
penyakit fisiknya disembuhkan, namun tidak jarang dapat menjadi menetap. Gangguan
memori pada lansia atau disebut juga dengan Dementia juga termasuk dalam kelompok
gangguan ini.

2. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif

Gangguan mental ini disebabkan karena pengaruh dari penggunaan zat psikoaktif atau
dikenal juga NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya). Secara umum zat ini
dibagi 3, yaitu golongan uppers, downers dan hallucinogens. Sehingga gejala klinis yang
ditimbulkan sangat bervariasi bergantung dari jenis zat yang digunakan. Pada umumnya
gejala klinis dapat berupa intoksikasi, adiksi (ketergantungan), withdrawal (putus zat),
delirium bahkan sampai mengalami psikotik.

3. Skizofrenia , gangguan skizotipal, dan gangguan waham

Skizofrenia merupakan penyakit kronik dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit
yang luas. Sehingga tidak didapatkan adanya gejala patognomonis (khas) pada penderita
skizofrenia. Diagnois skizofrenia ditegakkan jika didapatkan adanya klinis yang bermakan
pada gangguan berfikir, perasaan, persepsi dan perilaku yang telah berlangsung selama 1
bulan.

Gangguan skizotipal termasuk dalam gangguan kepribadian yang ditandai dengan kesulitan
seseorang dalam menjalin hubungan dekat dengan orang lain karena merasa sangat tidak
nyaman. Seorang skizotipal juga menunjukkan perilaku eksentrik dengan cara berfikir
abnormal.

32
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan, yang tetap
dipertahankan dan tidak dapat dirubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari
pemikiran yang tidak terkontrol.

4. Gangguan suasana perasaan (mood/afektif)

Secara umum gangguan suasana perasaan terbagi 2, yaitu suasana perasaan yang meningkat
disebut dengan mania dan suasana perasaan yang menurun disebut depresi. Ada juga kondisi
campuran dari

keduanya, yaitu gangguan bipolar.Mania ditandai dengan suasana perasaan yang sangat
bersemangat baik secara fisik maupun mental. Terkadang penderita mania sulit membuat
keputusan yang rasional dan seringkali berperilaku tidak bijak.

Sebaliknya depresi ditandai dengan suasana hati yang terus-menerus merasa sedih dan
tertekan serta kehilangan minat dalam beraktivitas, sehingga mengakibatkan penurunan
kualitas hidup sehari-hari.

Gangguan bipolar ditandai dengan adanya perubahan suasana perasaan dari depresi ke mania
ataupun sebaliknya. Penderita bipolar kerap kali membutuhkan pengobatan jangka panjang
dan disertai dengan psikoterapi yang adekuat.

5. Gangguan neurotik, gangguan somaoform, dan gangguan terkait stress

Obsesif kompulsif merupakan kelompok diagnosis neurosa yang ditandai dengan adanya
pikiran yang tidak wajar terkait ketakutan yang berlebihan sehingga bermanifestasi dalam
bentuk perilaku. Manifestasi klinis berupa adanya pikiran dan perilaku yang berulang terkait
sesuatu hal. Akibat kondisi ini penderitanya mengalami distress sehingga menyebabkan
timbulnya gangguan dalam fungsi kesehariannya.

Reaksi Stres terdiri dari reaksi stress akut (disebabkan karena adanya kondisi stress
psikososial yang sangat bermakna), gangguan post traumatic stress disorder/ PTSD (ditandai
dengan trias ; avoidance, flashback dan hiperaurosal, yang terjadi setelah 3 bulan dari
kejadian yang bermakna) dan gangguan penyesuaian.

Gangguan konversi atau disebut juga disosiatif dapat dijumpai dengan adanya gejala utama
berupa kehilangan sebagian atau seluruh dari integrasi normal baik terkait memori, kesadaran
identitasmaupun control terhadap gerakan tubuh.

Gangguan somatoform dicirikan dengan adanya gejala-gejala somatik yang tidak dapat
dijelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang baik laboratorium,
roentgen maupun CT-Scan.

6. Sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik

Secara umum, kelompok diagnosis ini berkaitan dengan adanya perilaku yang tidak lazim,
baik terkait pola makan, pola tidur, interaksi seksual, maupun penggunaan zat yang tidak
menyebabkan ketergantungan.

33
7. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa

Kepribadian adalah totalitas dari karakteristik seseorang dalam kesehariannya sehingga


seseorang dapat dikenali dengan kepribadiannya tersebut. Sedangkan gangguan kepribadian
adalah ciri kepribadian yang tidak fleksibel dan maladaptif sehingga menyebabkan gangguan
bermakna dalam kesehariannya, baik pekerjaan, keluarga maupun fungsi sosial. Gangguan
kepribadian ini dapat dirasakan oleh individu tersebut ataupun orang sekitarnya.

8. Retardasi mental

Retardasi Mental adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
terutama ditandai dengan adanya hendaya dalam keterampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, termasuk didalamnya
kognitif, berbahasa, motorik dan sosial.

9. Gangguan perkembangan psikologis

Gangguan yang termasuk dalam kelompok ini secara umum memenuhi kriteria diagnosis
berikut:

a. Onset bervariasi pada masa bayi dan kanak- kanak

b. Didapatkan adanya hendaya atau kelambatan perkembangan fungsi-fungsi yang


berhubungan erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat.

c. Berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas bagi
banyak gangguan jiwa.

10. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada anak dan remaja

Gangguan tingkah laku berciri khas adanya pola tingkah laku dissosial, agresif atau
menentang yang gelah berulang dan menetap setidaknya selama 6 bulan.

Diagnosis gangguan emosional dengan onset pada masa kanak dan remaja seringkali kita
jumpai terutama pada anak usia dini, seperti gangguan cemas perpisahan yang didapatkan
pada anak-anak yang memasuki usia prasekolah, sibling Rivalry berupa adanya perasaan
persaingan antara saudara kandung dan gangguan kecemasan social masa kanak yang
dijumpai pada anak-anak berupa kekhawatiran yang berlebihan jika harus berinteraksi dengan
kelompok usia tertentu.

F. Terapi Pengobatan

Mengutip dari beberapa jurnal penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa terapi yang
dapat diterapkan pada pasien dengan gangguan jiwa, yaitu :

1. Terapi Relaksasi Nafas Dalam

Terapi relaksasi nafas dalam dapat mengontrol amarah pada orang gangguan jiwa dengan
resiko perilaku kekerasan. Ada respon positif yang menunjukkan klien mampu mengikuti

34
terapi relaksasi nafas dalam sesuai program dan hasilnya efektif untuk mengontrol marah
pada klien(Sudia, 2021)

2. Terapi elektro konvulsif (Electroconvulsive Therapy = ECT)

Terapi elektro konvulsif (Electroconvulsive Therapy = ECT) merupakan suatu jenis


pengobatan somatik di mana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang
ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup untuk menimbulkan kejang grand mal, yang
darinya diharapkan efek terapeutik tercapai. ECT konvensional adalah perlakuan atau
prosedur ECT tanpa dilakukan anestesi, minimalisasi risiko dengan fiksasi stimulus elektrik
umumnya disesuaikan pada tingkat energi minimum yang dapat menghasilkan kejang.
Jumlah terapi dalam satu seri bervariasi tergantung pada respons klien.Umumnya terapi
dilakukan 6-12 kali yang diberikan 2-3 kali seminggu. Indikasi pemberian ECT pada pasien
dengan gangguan bipolar berjumlah 70%; pasien dengan skizofrenia berjumlah 17%. Tiga
indikasi terjelas untuk ECT adalah gangguan depresif berat, episode manik dan pada
beberapa kasus skizofrenia(Agustina,2018)

Dan juga beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perawat, yaitu :

1. Pemberian Obat: Perawat sering diberdayakan untuk memberikan obat-obatan yang


diresepkan oleh dokter, terutama dalam pengaturan rumah sakit atau klinik. Mereka
memastikan bahwa pasien menerima dosis yang tepat dan memahami efek samping
potensial.

2. Terapi Kognitif Perilaku (CBT): Perawat dengan pelatihan khusus dapat memberikan
terapi CBT dengan mengajar pasien teknik pengelolaan stres, pemecahan masalah,
dan perubahan pola pikir yang merugikan.

3. Terapi Keluarga: Perawat dapat memberikan dukungan kepada keluarga pasien


dengan gangguan jiwa dan membantu mereka memahami gangguan tersebut serta
cara terbaik untuk memberikan dukungan.

4. Terapi Grup: Perawat dapat memfasilitasi sesi terapi grup di mana beberapa individu
dengan masalah serupa dapat berbagi pengalaman mereka dan belajar satu sama lain.

5. Edukasi Pasien: Perawat dapat memberikan edukasi kepada pasien tentang gangguan
jiwa, pengobatan, dan strategi pengelolaan yang dapat membantu pasien memahami
dan mengatasi gangguan tersebut.

6. Pengawasan dan Pemantauan: Perawat dapat melakukan pemantauan berkala terhadap


pasien untuk memeriksa perubahan gejala atau tanda-tanda bahaya potensial, seperti
peningkatan risiko bunuh diri.

Dukungan Emosional: Salah satu peran penting perawat adalah memberikan dukungan
emosional kepada pasien dengan gangguan jiwa, mendengarkan mereka, dan membantu
mereka mengatasi perasaan mereka.

35
2.1.4 Halusinasi
A. Definisi Halusinasi
Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa dimana klien
merasakan stimulus seperti merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan,pengecapan perabaan atau penciuman yang sebenarnya tidak ada
atau tidak nyata halusinasi merupakan salah satu dari sekian bentuk
psikopatologi yang paling parahdan membingunkan. Secara fenomenologis
halusinasi adalah gangguan yang paling umum dan yang paling penting, selain
itu halusinasi dapat dianggap sebagai karakteristik psikosis (Sutejo, 2017)
Halusinasi adalah gangguan yang terjadi pada presepsi sensori dari satu
objek tanpa adanya suatu rangsangan yang nyata dari luar, gangguan presepsi
sensori ini meliputi seluruh pancaindra seperti merasakan sensasi palsu berupa
pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan. Pasien
biasanya merasakan suatu stimulus khusus yang sebenarnya tidak ada (Yusuf ,
Fitryasari, & Nihayati, 2015).
Halusinasi pendengaran adalah dimana seseorang mendengar suara atau
kebisingan, suara terdengar seperti suara yang mengejek, menertawakan,
mengancam, memerintahkan untuk melakukan. Perilaku yang muncul seperti
mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara atau tertawa sendiri, marah-
marah tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat-kamit, dan ada gerakan tangan
(Nurarif & Kusuma, 2015).
B. Rentang Respon Halusinasi

Keterangan :
a. Respon Adaptif
Respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial budaya yang berlaku.
Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah
dan akan dapat memecahkan masalah tersebut.
Adapun respon adaptif yakni :

36
1. Pikiran Logis merupakan pandangan yang mengarah pada kenyataan yang dapat
diterima akal.
2. Persepsi Akurat merupakan pandangan dari seseorang tentang suatu peristiwa secara
cermat dan tepat sesuai perhitungan.
3. Emosi Konsisten dengan Pengalaman merupakan perasaan jiwa yang timbul sesuai
dengan peristiwa yang pernah dialami.
4. Perilaku Sosial dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan dengan individu
tersebut yang diwujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan yang tidak bertentangan
dengan moral.
5. Hubungan Sosial merupakan proses suatu interaksi dengan orang lain dalam
pergaulan ditengah masyarakat dan lingkungan.
b. Respon Psikososial
Adapun respon psikososial yakni:
1. Pikiran terkadang menyimpang berupa kegagalan dalam mengabstrakan dan
mengambil kesimpulan.
2. Ilusi merupakan pemikiran atau penilaian yang salah tentang penerapan yang benar-
benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
3. Emosi berlebihan dengan kurang pengalaman berupa reaksi emosi yang diekspresikan
dengan sikap yang tidak sesuai.
4. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran
5. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindar interaksi dengan orang lain,
baik dalam berkomunikasi maupun berhubungan sosial dengan orang-orang di
sekitarnya.
c. Respon Maladaptif
Respon maladaptif merupakan respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan.
Adapun respon maladaptif yakni:
1. Kelainan pikiran (waham) merupakan keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan keyakinan sosial.
2. Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi yang salah terhadap
rangsangan.
3. Kerusakan proses emosi merupakan ketidakmampuan mengontrol emosi seperti
menurunnya kemampuan untuk mengalami kesenangan, kebahagiaan, dan kedekatan.
4. Perilaku tidak terorganisir merupakan ketidakteraturan perilaku berupa
ketidakselarasan antara perilaku dan gerakan yang di timbulkan.
5. Isolasi sosial merupakan kondisi dimana seseorang merasa kesepian tidak mau
berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. (Stuart, 2017).
C. Jenis Halusinasi
Jenis halusinasi dapat dibagi menjadi 5 menurut (Nurhalimah, 2016) yaitu :
a. Halusinasi pendengaran (Auditory- hearing voices or sounds Hallucinations) adalah
halusinasi pendengaran yang dimana pasien merasa ketakutan ataupun senang saat
pasien mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar suara yang mengajak
bercakap-cakap, mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Halusinasi penglihatan (Visual Hallucinations) adalah halusinasi penglihatan yang
dimana pasien merasa ketakutan ataupun senang saat melihat bayangan, sinar, bentuk
geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster.

37
c. Halusinasi pengecapan (Gustatory Hallucinations) adalah halusinasi pengecapan yang
dimana pasien merasakan makanan atau rasa tertentu yang tidak nyata.
d. Halusinasi penghidu (Olfactory Hallucinations) adalah halusinasi penghirupan yang
dimana pasien seperti mencium bau tertentu seperti bau busuk, mayat, anyir darah,
feses, atau hal menyenangkan seperti harum parfum atau masakan.
e. Halusinasi perabaan (Tactile Hallucinations) adalah halusinasi perabaan yang dimana
pasien merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya seperti yang mengerayap seperti
serangga, makhluk halus atau tangan. klien merasakan sensasi panas atau dingin
bahkan tersengat aliran listrik.
D. Penyebab Halusinasi
Faktor yang dapat menyebabkan halusinasi dibagi menjadi 2 yaitu predisposisi
dan presipitasi menurut (Videbeck & Sheila, 2020) yaitu:
a. Predisposisi
1. Faktor genetic
Faktor genetik merupakan salah satu faktor utama yang dapat menyebabkan halusinasi
dikarenakan anak yang memiliki satu orang tua penderita halusinasi memiliki resiko
15%, angka ini meningkat sampai 35% jika kedua orang tua biologis menderita
halusinasi.
2. Faktor psikologis
Faktor psikologis terjadi karena kegagalan berulang dalam menyelesaikan perkembangan
awal psikososial, korban kekerasan, kurang kasih sayang. Sebagai contoh seorang
anak yang tidak mampu membentuk hubungan saling percaya yang dapat
mengakibatkan konflik intrapsikis seumur hidup.
3. Faktor sosiokultural dan lingkungan
Seseorang yang berada dalam sosial ekonomi kelas rendah mengalami gejala halusinasi
lebih besar dibandingkan dengan individu dari sosial ekonomi yang lebih tinggi.
Kejadian ini berhubungan dengan kemiskinan, akomodasi perumahan padat, nutrisi
tidak memadahi. Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi
(unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
4. Faktor biologis
Adanya riwayat penyakit herediter gangguan jiwa, riwayat penyakit, trauma kepala dan
riwayat penggunaan NAPZA mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan
jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
Dimetytranferase (DMP).

E. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala halusinasi menurut Sutejo (2017), dapat dinila dari hasil
observasi terhadap klien serta ungkapan klien. Adapun tanda dan gejala pada
pasien halusinasi adalah:
a. Data subjektif adalah data yang didapatkan dari pasien atau keluarga dengan
gangguan sensori halusinasi mengatakan bahwa dirinya:
1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan.
2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
3. Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.

38
4. Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau
monster.
5. Mencium bau-bauan busuk ataupun wangi seperti bau darah, urine, feses, kadang-
kadang bau itu menyenangkan.
6. Merasakan rasa seperti merasakan makanan atau rasa tertentu yang tidak nyata
7. Merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya seperti yang mengerayap seperti
serangga, makhluk halus
8. Merasa takut atau senang dengan halusinasinya

b. Data objektif adalah data yang didapatkan pada pasien yang tampak secara langsung.
Pasien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi melakukan hal-hal berikut:
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Mengarahkan telinga menjadiarah tertentu
4. Menutup telinga
5. Menunjuk-nunjuk menjadiarah tertentu
6. Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
F. Fase Terjadinya Halusinasi
Halusinasi yang di alami oleh seseorang dapat berbeda-beda tergantung
tingkat keparahan dari pasien. Berikut tingkat halusinasi menurut (Sutejo, 2017)
a. Fase I Comforting (Halusinasi menyenangkan)
Pasien mengalami perasaan yang mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah, takut sehingga mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk
meredakan ansietas. Pasien menganali bahwa jika ansietas dapat ditangani. Gejala yang
dapat terlihat seperti tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakan bibir tanpa
suara, pergerakan mata cepat, respon verbal lambat jika sedang asyik dan diam serta asyik
sendiri (non psikotik).
b. Fase II Condeming (Halusinasi menjadi menjijikkan)
Pengalaman sensori yang menjijikan, menyalahkan yang pasien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan, menarik diri dari orang lain, merasa kehilangan kontrol, tingkat kecemasan
berat. Gejala yang dapat terlihat seperti meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom
akibat ansietas, rentang perhatian menyempit, asyik dengan pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan membedakan halusiansi dan realita, menyalahkan, menarik diri
dengan orang lain dan konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja (non psikotik).
c. Fase III Controling (Pengalaman sensori jadi berkuasa)
Pasien berhenti melakukan perlawanan dan menyerah pada halusinasi tersebut, isi
halusinasi menjadi menarik, pasien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika
sensori halusiansi berhenti. Gejala yang dapat terlihat seperti kemauan yang dikendalikan
halusinasi akan diikuti, kesukaran berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian
hanya beberapa detik atau menit, adanya tanda-tanda fisik ansietas berat, berkeringat,
tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah, dan isi halusinasi menjadi atraktif
(psikotik).
d. Fase IV Conquering (Umumnya menjadi melebur dalam halusinasinya)

39
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah
halusinasinya, halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi
terapeutik. Gejala yang dapat terlihat seperti perilaku eror akibat panik, potensi kuat
suicide atau homicide aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku.
G. Penatalaksanaan Halusinasi
Penatalaksanaan menurut Iyan (2021), penatalaksanaa halusinasi ada
beberapa seperti psikofarmakoterapi, psikoterapi dan rehabilitas yang
diantaranya terapi aktivitas (TAK) dan rehabilitasi.
a. Psikofarmakoterapi
Salah satu dari gejala halusinasi adalah skizoprenia. Dengan
menggunakan obat-obatan anti psikotik dapat mengurangi dan menurunkan
halusinasi. Adapun di antaranya adalah
1. Antipsikoti
Indikasi utama dari obat golongan ini yaitu untuk penderita gangguan
psikotik (Skizofrenia atau psikotik lainnya). Seperti obat antipsikotik yaitu:
Chlorpromazine, Trifluoperazin. Thioridazin, Haloperidol, Klorprotixen,
Lokaspin dan Pimozide. Efek utama dari obat antipskotik menyerupai gejala
psikotik seperti gangguan proses pikir (waham), gangguan persepsi (halusinasi),
aktivitas psikomotor yang berlebihan (agresivitas), dan juga memiliki efek
sedatif serta efek samping ekstrapiramidal. Efek samping yang dapat terjadi
yaitukegelisahan motorik, tremor, kasar, febris tinggi, kejang-kejang, penurunan
tekanan darah, mulut kering, inkontinensia urin.
2. Antidepresan
Golongan obat-obatan yang mempunyai khasiat mengurangi atau
menghilangkan gejala depresif. Contoh obat antidepresan yaitu: Imiparamin,
Maprotilin, Setralin dan paroxetine. Efek samping yang dapat terjadi adalah
hipotensi, hipertensi, perubahan pada gambaran EKG, obtipasi, mulut dan
tenggorokan kering, mual dan sakit kepala.
3. Antiansictas
Golongan obat yang dipakai untuk mengurangi ansietas/kecemasan yang
patologis tanpa banyak berpengaruh pada fungsi kognitif.
2.2 Kasus Keperawatan
2.2.1 Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas Sering ditemukan pada usia dini atau muncul pertama kali pada masa
pubertas.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa ke rumah sakit biasanya akibat adanya
kumunduran kemauan dan kedangkalan emosi.
3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi sangat erat terkait dengan faktor etiologi yakni keturunan, endokrin,
metabolisme, susunan syaraf pusat, kelemahan ego.
4. Psikososial

40
a. Genogram
Orang tua penderita skizofrenia, salah satu skizofrenia, bila keduanya 
kemungkinan anaknya 7-16 , saudara tiri kemungkinan 0,9-1,8 menderita 40-
68 , saudara kandung 7-15  saudara kembar 2-15 %.
b. Konsep Diri
Kemunduran kemauan dan kedangkalan emosi yang mengenai pasien akan
mempengaruhi konsep diri pasien.
c. Hubungan Sosial
Klien cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan, suka melamun, berdiam diri.
d. Spiritual
Aktifitas spiritual menurun seiring dengan kemunduran kemauan.
5. Status Mental
a. Penampilan Diri
Pasien tampak lesu, tak bergairah, rambut acakacakan, kancing baju tidak tepat,
resliting tak terkunci, baju tak diganti, baju terbalik sebagai manifestasi
kemunduran kemauan pasien.
b. Pembicaraan
Nada suara rendah, lambat, kurang bicara, apatis.
c. Aktivitas Motorik
Kegiatan yang dilakukan tidak berfariatif, kecenderungan mempertahankan pada satu
posisi yang dibuatnya sendiri (katalepsia).
d. Emosi
Emosi dangkal
e. Afek
Dangkal, tak ada ekspresi roman muka.
f. Interaksi Selama Wawancara
Cenderung tidak kooperatif, kontak mata kurang, tidak mau menatap lawan bicara,
diam.
g. Persepsi
Tidak terdapat halusinasi atau waham.
h. Proses Berfikir
Gangguan proses berfikir jarang ditemukan.
i. Kesadaran
Kesadaran berubah, kemampuan mengadakan hubungan dengan dan pembatasan
dengan dunia luar dan dirinya sendiri sudah terganggu pada taraf tidak sesuai
dengan kenyataan (secara kualitatif)
j. Memori
Tidak ditemukan gangguan spesifik, orientasi tempat, waktu, orang baik.
k. Kemampuan Penilaian
Tidak dapat mengambil keputusan, tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan, selalu
memberikan alasan meskipun alasan tidak jelas atau tidak tepat.
l. Tilik Diri
Tidak ada yang khas.
6. Kebutuhan Sehari-hari
Pada permulaan penderita kurang memperlihatkan diri dan keluarganya, makin mundur
dalam pekerjaan akibat kemunduran kamauan. Minat untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri sangat menurun dalam hal makan, BAB/BAK, mandi, berpakaian, istirahat
tidur.

41
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien schizophrenia
adalah sebagai berikut:
1. Koping tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatnya strategi koping.
2. Harga diri rendah kronis berhubungan dengan Kurangnya pengakuan dari orang lain,
gangguan psikiatri.
3. Isolasi sosial Ketidakmampuan menjalin hub. yang memuaskan, perubahan status
mental.
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan psikologis/psikotik.
5. Waham berhubungan dengan faktor biologis: kelainan genetik/ keturunan, kelainan
neurologis.
6. Gangguan persepsi sensori: Halunisasi berhubungan dengan gangguan penglihatan,
pendengaran, penghiduan, perabaan. 7. Risiko perilaku kekerasan berhubungan
dengan waham. 8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan
pendengaran, hambatan psikologis (misal gangguan psikotik, gangguan konsep
psikotik, gangguan konsep diri, harga diri rendah, gangguan emosi).

C. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Luaran dan Kriteria Intervensi Keperawatan (SIKI)
(SDKI) Hasil (SLKI)
1. D. 0096 L. 09086 Intervensi utama : I.09265
Koping tidak efektif Luaran utama : - Dukungan pengambilan
berhubungan dengan - Status koping keputusan
ketidakadekuat nya Luaran tambahan : Tindakan :
strategi koping. - Dukungan social Observasi
- Hargadiri - Identifikasi presepsi mengenai
- Interaksi social masalah dan informasi yang
- Kesadaran diri memicu konflik
- Ketahanan personal Terapeutik
- Penerimaan - Fasilitasi mengklarifikasi nilai
Setelah dilakukan dan harapan yang membantu
tindakan keperawatan membuat pilihan
selama …x 24 jam di - Diskusikan kelebihan dan
harapkan status koping kekurangan dari setiap solusi
membaik dengan - Fasilitasi melihat situasi secara
criteria hasil : realistic
- Kemampuan - Motivasi mengungkapkan
memenuhi peran sesuai tujuan perawatan yang
usia meningkat diharapkan
- Perilaku koping - Fasilitasi pengambilan
adaptif meningkat keputusan secara kolaboratif
- Verbalisasi Edukasi
kemampuan mengatasi - Informasikan alternative solusi
masalah meningkat secara jelas
- Verbalisasi - Berikan informasi yang
pengakuan masalah dibutuhkan pasien
meningkat Kolaborasi
- Verbalisasi - Kolaborasi dengan tenaga
menyalahkan orang kesehatan yang lain dalam

42
lain menurun memfasilitasi pengambilan
keputusan
2. D.0086 L.09069 Intervensi utama
Harga diri rendah kronis Luaran utama : I.12463
berhubungan dengan - Harga diri Luaran - Menejemen perilaku
Kurangnya pengakuan tambahan Tindakan :
dari orang lain, gangguan - Adaptasi disabilitas Observsi
psikiatri. - Fungsi keluarga - Identifikasi dan mengelola
- Identitas seksual perilaku negative
- Kesadaran diri Terapeutik
- Tingkat depresi - Diskusikan tanggungjawab
Setelah dilakukan terhadap perilaku
tindakan keperawatan - Jadwalkan kegiatan terstruktur
selama …x 24 jam di - Ciptakan dan pertahankan
harapkan Harga diri lingkungan dan kegiatan
meningkat dengan perawatan konsisten setiap dinas
criteria hasil - Tingkatkan aktivitas fisik
- Penilaian diri positif sesuai kemampuan
meningkat - Batasi jumlah pengunjung
- Perasaan memiliki - Bicara dengan nada rendah
kelebihan atau Edukasi
kemampuan positif - Informasikan keluarga bahwa
meningkat keluarga sebagai dasar
- Penerimaan penilaian pembentukan kognitif.
positif terhadap diri
sendiri meningkat
- Minat mencoba hal
baru meningkat
- Perasaan malu
menurun
- Perasaan bersalah
menurun
- Perasaan tidak
mampu melakukan
apapun menurun
3. D.0121 L.13116 Intervensi utama
Isolasi sosial berubungan Luaran utama : I.13498
dengan Ketidakmamp - Keterlibatan social - promosi sosialisasi
uan menjalin hub. yang Luaran tambahan Tindakan :
memuaskan, perubahan - Adaptasi disabilitas Observasi
status mental. - Citra tubuh - Identifikasi kemampuan
- Dukungan social melakukan interaksi dengan
- Harga diri orang lain
Setelah dilakukan - Identifikasi hambatan
tindakan keperawatan melakukan interaksi dengan
selama …x 24 jam di orang lain
harapkan keterlibatan Terapeutik
social meningkat - Motivasi meningkatkan
dengan criteria hasil keterlibatan dalam suatu
- Minat interaksi hubungan

43
meningkat - Motivasi kesabaran dalam
- Verbalisasi tujuan mengembangkan suatu hubungan
yang jelas meningkat - Motivasi berpartisipasi dalam
- Minat terhadap aktivitas baru dan kegiatan
aktivitas meningkat kelompok
- Verbalisasi isolasi - Motivasi berinteraksi diluar
menurun linkungan
- Verbalisasi - Berikan umpan balik positif
ketidakaman an di dalam perawatan diri
tempat umum menurun Edukasi
- Perilaku menarik diri - Anjurkan beinteraksi dengn
menurun orang lain secara bertahap
- Anjurkan ikut serta kegiatan
social dan kemasyarakatan
- Anjurkan barbagai pengalaman
dengan orang lain
- Latih mengeksperikan marah
dengan tepat
4. D.0109 L. 11103 Intervensi utama
Defisit perawatan diri Luaran utama : I.11348
berhubungan dengan - Perawatan diri Luaran – Dukungan perawatan diri
gangguan psikologis/psik tambahan : Tindakan :
otik - Fungsi sensori Observasi
- Koordinasi - Identifiasi kebiasaan aktivitas
pergerakan perawatan diri sesuai usia
- Mobilitas fisik - Monitor tingkat kemandirian
- Motivasi - Identifikasi kebutuhan alat
Setelah dilakukan bantu kebersihan
tindakan keperawatan diri ,berpakaian, berhias, makan.
selama …x 24 jam di Terapeutik
harapkan perawatan - Sediakan lingkungan yang
diri meningkat dengan terapeutik
criteria hasil - - Siapkan keperluan pribadi
Kemampuan mandi - Dampingi dalam melakukan
meningkat - perawatan diri sampai mandiri
Kemampuan - Jadwalkan rutinitas perawatan
mengenakan pakaian diri
meningkat Edukasi
- Kemampuan makan - Anjurkan melakukan perawaan
meningkat - diri secara konsisten sesuai
Kemampuan ke toilet kemampuan
(BAB/BAK)
meningkat
- Minat melakukan
perawatan diri
meningkat
5. D.0105 L.09090 Intervensi utama
Waham berhubungan Luaran utama : I.09296
dengan faktor biologis : - Status orientasi - Manajemen waham
kelainan genetik/ Luaran tambahan : Tindakan :

44
keturunan, kelainan - Control pikir Observasi
neurologis - Orientasi kongnitif - Monitor waham yang isinya
- Psikospiritua l membahayakan diri sendiri,
- Status kongnitif orang lain dan lingkungan
- Tingkat berduka - Monitor efek samping obat
- Tingkat depresi Terapeutik
Setelah dilakukan - Bina hubungan interpersonal
tindakan keperawatan saling percaya
selama …x 24 jam di - Tunjukkan sikap tidak
harapkan status menghakimi secara konsisten
orientasi membaik - Hindari perdebatan tentang
dengan criteria hasil keyakinan yang keliru, nyatakan
- Produktifitas keraguan sesuai fakta
meningkat - Hindari memperkuat gagasan
- Verbalisasi waham waham
menurun - Sediakan lingkungan yang
- Perilaaku waham aman dan nyaman
menurun Edukasi
- Khawatir menurun - Anjurkan mengungkapkan dan
- Tegang menurun memvalidasi waham dengan
- Curiga menurun orang yang dipercaya
- Perilaku sesuai realita - Anjurkan melakukan rutinitas
membaik harian secara konsisten
- Isi piker sesuai realita - Latihan menenejemen stress
membaik - Jelaskan tentang waham serta
- Konsentrasi membaik penyakit terkait
- Pola tidur membaik Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat,
sesuai indikasi
6. D.0085 L.09083 Intervensi utama
Gangguan persepsi Luaran utama : I.09288
sensori : Halunisasi - Presepsi sensori - Menejemen halusinasi
berhubungan dengan Luaran tambahan : Tindakan :
gangguan penglihatan, - Fungsi sensori Observasi
pendengaran, - Orientasi kongnitif - Monitor perilaku yang
penghiduan, perabaan - Proses informasi mengindikasi halusinasi
- Status neurologis - Monitor dan seuaikan tingkat
- Status orientasi aktivitas dan stimulasi
Setelah dilakukan lingkungan - Monitor isi
tindakan keperawatan halusinasi
selama …x 24 jam di Terapeutik
harapkan presepsi - Pertahankan lingkungan aman
sensori membaik - Lakukan tindakan keselamatan
dengan criteria hasil ketika tidak dapat mengontrol
- Verbalisasi perilaku
mendengar bisikan - Diskusikan perasaan dan
meningkat respons terhadap halusinasi
- Verbalisasi melihat - Hindari perdebatan tentang
bayangan meningkat validitas halusinasi
- Verbalisasi mersakan Edukasi

45
meingkat sesuatu - Anjurkan memonitor sendiri
melalui indra perabaan situasi terjadinya halusinasi
meningkat - Anjurkan berbicara kepada
- Verbalisasi orang yang dipercaya untuk
merasakan sesuatu memberikan dukungan dan
melalui indra umpan balik korektif terhadap
penciuman meningkat halusinasi Kolaborasi
- Verbalisasi - Kolaborasi pemberian obat anti
merasakan sesuatu psikotik dan anti ansietas, jika
melalui indra perlu.
pengecapan meningkat
- Distorsi sensori
meningkat
- Konsentrasi membaik
7. D.0146 L.09076 Intervensi utama
Risiko perilaku kekerasan Luaran utama : I.14544
berhubungan dengan - Control diri - Pencegahan perilaku kekerasan
waham. Luaran tambahan : Tindakan :
- Harga diri Observasi
- Orientasi kongnitif - Monitor adanya benda yang
- Status orientasi berpotensi membahayakan
Setelah dilakukan - Monitor keamanan barang yang
tindakan keperawatan dibawa oleh pengunjung
selama …x2 4 jam di - Monitor selama penggunaan
harapkan control diri barang yang dapat
meningkat dengan membahayakan
criteria hasil -Terapeutik
Verbalisasi ancaman - Pertahankan lingkungan bebas
kepada orang lain dari bahaya secara rutin
meningkat - Libatkan keluarga dalam
- Verbalisasi umpatan perawatan
meningkat Edukasi
- Anjurkan pengunjung dan
keluarga untuk mendukung
keselamatan pasien
- Latihan mengungkapkan
perasaan
- Latih mengurangi kemarahan
secara verbal dan non verbal.
8. D.0119 L.13118 Intervensi utama
Gangguan komunikasi Luaran utama : I.13492
verbal berhubungan - Komunikasi Verbal - Promosi komunikasi defisit
dengan gangguan Luaran tambahan : bicara
pendengaran, hambatan - Dukungan sosial Tindakan :
psikologis (misal - Harga diri Observasi
gangguan psikotik, - Kesadaran diri - Monitor kecepatan, tekanan,
gangguan konsep - Orientasi kognitif kuantitas, volume dan diksi
psikotik, gangguan Setelah dilakukan bicara. - Monitor proses kognitif,
konsep diri, harga diri tindakan keperawatan anatomis, dan fisiologis yang
rendah, gangguan emosi). selama …x 24 jam di berkaitann dengan bicara (misal

46
harapkan komunikasi memori, pendengaran, dan
verbal meningkat bahasa)
dengan kriteria hasil : - monitor frustasi, marah,
- Kemampuan depresi, atau hal lain yang
berbicara meningkat. mengganggu bicara.
- Kemampuan - Identifikasi perilaku emosional
mendengar meningkat dan fisik sebagai bentuk
- Kesesuaian ekspresi komunikasi.
wajah/ tubuh Terapeutik
meningkat - Gunakan metode komunikasi
- Kontak mata alternatif (misal menulis, mata
meningkat berkedip, papan komunikasi
- Respon perilaku dengan gambar dan huruf, isyarat
membaik tangan dan komputer)
- Pemahaman - Sesuaikan gaya komunikasi
komunikasi membaik dengan kebutuhan (misal berdiri
didepan pasien, dengarkan
dengan seksama, tunjukkan satu
gagasan atau pemikiran
sekaligus, bicaralah dengan
perlahan sambil menghindari
teriakan, gunakan komunikasi
tertulis, atau meminta bantuan
keluarga untuk memahami
ucapan pasien).
- Modifikasi lingkungan untuk
meminimalkan bantuan
- Ulangi apa yang disampaikan
pasien.
- Berikan dukungan psikologis.
- Gunakan juru bicara, jika perlu.
Edukasi
- Anjurkan berbicara perlahan
- Ajarkan pasien dari keluarga
proses kognitif, anatomis, dan
fisiologis yang berhubungan
dengan kemampuan berbicara.
Kolaborasi
- Rujuk ke ahli patologi bicara
atau terapis.

D. Evaluasi
Standart utama luaran pada masalah waham adalah status orientasi,
sedangkan luaran tambahan diantaranya adalah: 1) control piker, orientasi
kognitif, psikospiritual, status kognitif, status spiritual, tingkat agitasi, tingkat
berduka dan tingkat depresi (SLKI, 2019). Status orientasi merupakan keyakinan
yang sesuai dengan kenyataan (SLKI, 2019).. Berdasarkan luaran utama pada
masalah waham, status orientasi memiliki 15 indikator. Perawat yang akan
melakukan evaluasi perlu mempertimbangkan 15 indikator sebagai bagian dari

47
system evaluasi yang dilakukan. Observasi indikator yang terdapat pada SLKI
akan menghasilkan evaluasi yang komperhensive. Penerapan luaran keperawatan
dengan metode dokumentasi manual atau tertulis bias menjadi alternative utama
dalam melaksanakan pencatatan.
Misalnya:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama tiga hari maka status
orientasi membaik dengan kriteria :
1. Verbalisasi waham menurun
2. Perilaku waham menurun
3. Khawatir menurun
4. Curiga menurun
5. Sikap bermusuhan menurun
6. Tegang menurun
7. Menarik diri menurun
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama tiga hari maka status
orientasi membaik dengan kriteria :
1. Perilaku sesuai realita membaik
2. Isi piker sesuai realita membaik
3. Pembicaraan membaik
4. Pola tidur membaik
5. Kemampuan mengambil keputusan membaik
6. Proses piker membaik
7. Perawatan diri membaik
Pemahaman standart luaran pada proses keperawatan akan membawa
perawat melakukan evaluasi secara terukur. Berbagai macam system evaluasi
bias digunakan oleh perawat, salah satu yang popular digunakan adalah system
evaluasi SOAP.
Diagnosis keperawatan:………………….
Evaluasi TTD
S: tulis sesuai dengan apa yang dikatakan klien berdasarkan kriteria
hasil

O: tulis sesuai dengan apa observasi perawat terhadap klien


berdasarkan kriteria hasil (paraf perawat dan
nama terang)
A: Tulis diagnosis keperawatan

P: tulis intervensi nomor berapa yang tetap di


pertahankan/penghentian intervensi/modifikasi intervensi

2.2.2 Skenario
Ny. B, usia 46 tahun dirawat di RSJ Tampan Provinsi Riau dengan diagnosa medis Severe
Depressive Episode with Psychotic Symptoms yang merupakan gejala awal dari skizofrenia.
Gejala positif pasien saat itu berupa waham, halusinasi, dan perilaku yang tidak teratur.
Sedangkan gejala negative yang muncul berupa afek datar, tidak berminat dalam beraktivitas
serta menarik diri dari orang lain/masyarakat. Pasien di diagnosa sejak tahun 2023 tepatnya
pada bulan Mei 2023. Pasien sebelumnya telah menjalani pengobatan rawat jalan di RSJ
Tampan namun kurang berhasil karena tidak mengkonsumsi obat secara teratur, pasien juga

48
memiliki riwayat gangguan jiwa genetik dari ibu kandung. Riwayat pasien sebelum masuk
RSJ yaitu terjadi perubahan perilaku ±1 bulan terakhir, pasien bicara-bicara sendiri, tiba-tiba
menangis, keluyuran, gelisah, sering mengatakan ingin mati. Pasien mengatakan sering
mengalami KDRT dari suami sejak dirinya mengetahui suaminya menikah lagi 2 tahun yang
lalu. Pasien mengatakan dirinya dahulu memiliki keinginan untuk kuliah namun tidak
terwujud karena masalah ekonomi.

Pasien mengatakan dirinya diantar ke RSJ oleh keluarga. Pasien adalah anak ke 4 dari 4
orang bersaudara, pasien tinggal serumah bersama dengan 2 orang anak perempuannya, anak
laki-lakinya tinggal ngekost di luar kota tempat kuliah dan suaminya tinggal di luar kota
(tempat dinasnya). Pasien mengatakan selama ini ia mengurus rumah tangga selain itu juga
aktif mengikuti kegiatan perkumpulan seperti arisan persit, koramil, dan kodim. Pasien
mengatakan suaminya menikah lagi sejak 3 tahun yang lalu dan dirinya mengetahui itu sejak
tahun 2022 lalu. pasien mengatakan dirinya merasa tidak berharga karena suaminya memiliki
wanita lain. Pasien tampak banyak melamun.

Keluhan utama pasien saat ini adanya suara-suara tanpa wujud yang berkata-kata kasar
kepadanya dan menyuruhnya untuk bunuh diri. Suara yang didengar pasien adalah suara
perempuan dan laki-laki dalam jumlah yang banyak. Suara yang didengar pasien tidak bisa
dikendalikan dan rasanya menekan. durasi dari suara-suara itu tidak menentu terkadang bisa
berlangsung selama 10-30 menit. Kemudian, suara-suara itu muncul saat pasien sedang
sendiri, suara sering muncul pada sore dan malam hari, dalam sehari pasien bisa mendengar
suara itu sebanyak 5-6 kali. Pasien mengatakan takut saat mendengar suara-suara itu muncul,
sehingga membuat pasien mengikuti isi suara tersebut. Pasien mengatakan pernah melakukan
percobaan bunuh diri dengan cara membenturkan kepala ke dinding, melompat dari sepede
motor saat sedang di bonceng dan melompat dari jembatan dikarenakan suara halusinasi yang
menyuruhnya untuk bunuh diri. Pasien mengatakan masih ada keinginan bunuh diri karena
suara itu selalu mengatakan dirinya bodoh, jelek, dan tidak berguna.

Saat dilakukan wawancara pasien tampak banyak menunduk, suara lemah, kontak mata
kurang, ekspresi tumpul, emosi labil, serta tidak mampu untuk memulai pembicaraan. Pasien
sadar dirinya sedang berada di RSJ, pasien mengetahui tentang dirinya dan keluarganya. TTV
pasien TD : 125/79 mmHg, HR : 82 kali/menit RR : 20 kali/menit S : 36,0oC pasien
mendapatkan terapi farmakologis Trihexyphenidil 2 mg 2x1 tab, Risperidone 1 mg 2 x 1 tab,
Lorazepam 2 mg 1 x 1 tab, Sertralin 50 mg 1 x ½ tab.

Ners Mita yang merawat Ny.B menegakkan masalah keperawatan Halusinasi pendengaran,
Harga diri rendah, dan Risiko bunuh diri dan Masalah keperawatan yang lain (7 diagnosis).

49
2.2.3 Hubungan Skizofrenia dan 7 Diagnosa

50
2.2.4 Asuhan Keperawatan Skenario
A. Pengkajian
a) Identitas Klien
Pasien bernama Ny. B, usia 46 tahun dirawat di RSJ Tampan, Provinsi Riau.
b) Alasan masuk
Pasien mengatakan adanya suara-suara tanpa wujud yang berkata-kata kasar
kepadanya dan menyuruhnya untuk bunuh diri. Suara yang didengar pasien adalah
suara perempuan dan laki-laki dalam jumlah yang banyak. Suara yang didengar
pasien tidak bisa dikendalikan dan rasanya menekan.durasi dari suara-suara itu tidak
menentu terkadang bisa berlangsung selama 10-30 menit. Kemudian,suara-suara itu
muncul saat pasien sedang sendiri, suara sering muncul pada sore dan malam hari,
dalam sehari pasien bisa mendengar suara itu sebanyak 5-6 kali. Pasien mengatakan
takut saat mendengar suara-suara itu muncul, sehingga membuat pasien mengikuti isi
suara tersebut. Pasien mengatakan pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan
cara membenturkan kepala ke dinding, melompat dari sepede motor saat sedang di
bonceng dan melompat dari jembatan dikarenakan suara halusinasi yang
menyuruhnya untuk bunuh diri. Pasien mengatakan masih ada keinginan bunuh diri
karena suara itu selalu mengatakan dirinya bodoh, jelek, dan tidak berguna.
c) Faktor predisposisi dan faktor presipitasi
a) Faktor predisposisi
Faktor predisposisi dari pasien adalah pasien pernah mengalami gangguan jiwa
sebelumnya yang diagnosa medis Severe Depressive Episode with Psychotic
Symptoms yang merupakan gejala awal dari skizofrenia. Pasien didiagnosa
sejak tahun 2023 tepatnya pada bulan Mei 2023. Pasien sebelumnya telah
menjalani pengobatan rawat jalan di RSJ Tampan namun kurang berhasil
karena tidak mengkonsumsi obat secara teratur, pasien juga memiliki riwayat
gangguan jiwa genetik dari ibu kandung.
b) Faktor presipitasi
Faktor presipitasi klien 2 adalah pasien sering mengalami KDRT dari suami sejak
dirinya mengetahui suaminya menikah lagi 2 tahun yang lalu. Pasien
mengatakan dirinya dahulu memiliki keinginan untuk kuliah namun tidak
terwujud karena masalah ekonomi. Pasien mengatakan suaminya menikah lagi
sejak 3 tahun yang lalu dan dirinya mengetahui itu sejak tahun 2022 lalu.

51
Pasien mengatakan dirinya merasa tidak berharga karena suaminya memiliki
wanita lain. Pasien tampak banyak melamun.
1) Mekanisme koping
Ketika klien memiliki masalah yang sedang dialaminya, klien lebih tidak
berminat dalam beraktivitas serta menarik diri dari orang
lain/masyarakat.
2) Penilaian terhadap stressor
Respon pasien terhadap stressor adalah dengan merasa frustasi karena
merasa dirinya tidak berharga karena suaminya memiliki wanita lain.
3) Sumber koping
sumber koping pasien tidak adekuat karena mengalami KDRT dari suami
sejak dirinya setelah mengetahui suaminya menikah lagi 2 tahun yang
lalu. Selain itu, pasien mengatakan dirinya dahulu memiliki keinginan
untuk kuliah namun tidak terwujud karena masalah ekonomi.
d) Pemeriksaan fisik
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum pasien yakni
tampak banyak menunduk, suara lemah, kontak mata kurang, ekspresi tumpul, emosi
labil, serta tidak mampu untuk memulai pembicaraan. Pasien sadar dirinya sedang
berada di RSJ, pasien mengetahui tentang dirinya dan keluarganya. TTV pasien TD :
125/79 mmHg, HR : 82 kali/menit RR : 20 kali/menit S : 36,0oC pasien mendapatkan
terapi farmakologis Trihexyphenidil2 mg 2x1 tab, Risperidone 1 mg 2 x 1 tab,
Lorazepam 2 mg 1 x 1 tab, Sertralin 50 mg 1 x ½ tab.
e) Pemeriksaan penunjang
Tidak ditemukan data tentang pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan dan yang
belum dilakukan terhadap pasien.
f) Psikososial
1) Genogram

52
Pasien adalah anak ke 4 dari 4 orang bersaudara, pasien tinggal serumah bersama
dengan 2 orang anak perempuannya, anak laki-lakinya tinggal ngekost di luar kota
tempat kuliah dan suaminya tinggal di luar kota (tempat dinasnya).

2) Konsep diri
Data yang didapat saat penulis melakukan pengkajian dengan pasien yaitu klien
merasa dirinya merasa tidak berharga. Pasien mengatakan bahwa masih ada keinginan
bunuh diri karena suara itu selalu mengatakan dirinya bodoh, jelek, dan tidak berguna.
3) Hubungan sosial
Pasien mengatakan bahwa cenderung menarik diri dari orang lain/masyarakat.
4) Status mental
Saat dilakukan pengkajian status mental pada pasien ditemukan beberapa data
diantaranya adalah pasien mengatakan masih ada keinginan bunuh diri. Hal ini
dikarenakan takut saat mendengar suara-suara tanpa wujud yang berkata-kata kasar
kepadanya dan menyuruhnya untuk bunuh diri. Pasien mengatakan pernah melakukan
percobaan bunuh diri dengan cara membenturkan kepala ke dinding, melompat dari
sepede motor saat sedang di bonceng dan melompat dari jembatan dikarenakan suara
halusinasi yang menyuruhnya untuk bunuh diri.
Saat dilakukan wawancara pasien tampak banyak menunduk, suara lemah, kontak
mata kurang, ekspresi tumpul, emosi labil, serta tidak mampu untuk memulai
pembicaraan.

Analisis Data

No Hari/Tgl Data Etiologi Masalah


1. DS : Gangguan penilaian Gangguan Persepsi
- pasien mengatakan individu, mekanisme Sensori : Halusinasi
mendengar suara- coping tidak efektif Pendengaran
suara tanpa wujud
yang berkata-kata

53
kasar kepadanya Isolasi sosial : menarik
dan menyuruhnya diri dari orang
untuk bunuh diri. lain/masyarakat
Suara yang
didengar pasien
adalah suara Respone maladaptive
perempuan dan
laki-laki dalam
jumlah yang Gangguan Persepsi
banyak. Suara Sensori : Halusinasi
yang didengar pendengaran
pasien tidak bisa
dikendalikan dan
Resiko tinggi
rasanya
mencederai diri sendiri
menekan.durasi
dari suara-suara
itu tidak menentu
terkadang bisa
berlangsung
selama 10-30
menit. Suara-suara
itu muncul saat
pasien sedang
sendiri, suara
sering muncul
pada sore dan
malam hari, dalam
sehari pasien bisa
mendengar suara
itu sebanyak 5-6
kali, kemudian
pasien mengikuti
bisikan tersebut.
- Pasien mengatakan
pernah melakukan
percobaan bunuh
diri dengan cara
membenturkan
kepala ke dinding,
melompat dari
sepede motor saat
sedang di bonceng
dan melompat dari
jembatan
dikarenakan suara
halusinasi yang
menyuruhnya
untuk bunuh diri.
DO :
- Pasien lebih sering

54
menyendiri
- Pasien tampak
banyak menunduk
- Pasien tampak
memiliki ekspresi
tumpul
- Kontak mata
kurang
2. DS : Apatis, blocking, Harga Diri Rendah
- Pasien mengatakan menurunnya aktivitas
dirinya merasa
tidak berharga
karena suaminya Isolasi sosial : menarik
memiliki wanita diri dari orang
lain. lain/masyarakat

DO :
- Pasien terlihat Gangguan Konsep Diri
masik belum : Harga Diri Rendah
terima dengan
kodisinya saat ini
- Pasien tampak
banyak melamun
- Pasien tidak
berminat dalam
beraktivitas serta
menarik diri dari
orang
lain/masyarakat.
3. DS : Gangguan penilaian Resiko Bunuh Diri
- Pasien mengatakan individu, mekanisme
takut saat coping tidak efektif
mendengar suara-
suara yang
muncul, sehingga Gangguan Persepsi
membuat pasien Sensori : Halusinasi
mengikuti isi suara pendengaran
tersebut untuk
bunuh diri.
- Pasien mengatakan Resiko Bunuh Diri
masih ada
keinginan bunuh
diri karena suara
itu selalu
mengatakan
dirinya bodoh,
jelek, dan tidak
berguna.
- Pasien mengatakan
pernah melakukan

55
percobaan bunuh
diri dengan cara
membenturkan
kepala ke dinding,
melompat dari
sepede motor saat
sedang di bonceng
dan melompat dari
jembatan
dikarenakan suara
halusinasi yang
menyuruhnya
untuk bunuh diri.

DO :
- Pasien tampak
tidak bersemangat
dalam menjalani
aktifitasnya
- Pasien terlihat
lebih sering
melamun.
4. DS : Pemicu gejala berupa Resiko Perilaku
- Pasien mengatakan KDRT dari suami Kekerasan
sering mengalami sejak dirinya
KDRT dari suami mengetahui suaminya
sejak dirinya menikah lagi 2 tahun
mengetahui yang lalu
suaminya menikah
lagi 2 tahun yang
lalu. Perubahan perilaku

DO :
- Pasien tampak Resiko Perilaku
banyak menunduk Kekerasan
- Suara lemah
- Kontak mata
kurang
- Pasien memiliki
ekspresi tumpul
- Emosi labil
- Pasien tidak
mampu untuk
memulai
pembicaraan.
5. DS : Gangguan penilaian Isolasi Sosial
- Pasien mengatakan individu yakni merasa
tidak berminat tidak berharga
dalam beraktivitas
serta menarik diri

56
dari orang Menarik diri dari orang
lain/masyarakat lain/masyarakat

DO :
- Perilaku pasien Kurang aktivitas
yang tidak teratur sosial, menarik diri
- Pasien tampak dari pergaulan sosial,
banyak menunduk penurunan dalam
- Suara lemah bicara, kurang kontak
- Kontak mata mata
kurang
- Pasien memiliki
ekspresi tumpul Isolasi Sosial
- Emosi labil
- Pasien tidak
mampu untuk
memulai
pembicaraan.
- Afek pasien
tumpul
6. DS : Faktor biologis : Ketidakefektifan Koping
- Pasien mengatakan riwayat gangguan jiwa Individual
tidak berminat genetik dari ibu
dalam beraktivitas kandung.
serta menarik diri
dari orang
lain/masyarakat Pemicu gejala berupa
mengalami KDRT dari
DO : suami
- Pasien tampak
sering diam dan
menyendiri Menarik diri dari orang
- Pasien tampak lain/masyarakat
banyak menunduk
- Kontak mata
kurang Respone maladaptive
- Pasien memiliki
ekspresi tumpul
- Emosi labil
- Pasien tidak
mampu untuk
memulai
pembicaraan.
7. DS : - Faktor biologis, Waham
kelainan
DO : genetik/keturunan :
- Pasien tampak riwayat gangguan jiwa
memiliki genetik dari ibu
gejala waham kandung.
- Perilaku

57
pasien yang
tidak teratur Waham

B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data di atas dapat ditegakkan diagnosis keperawatan dengan :
1. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran
2. Harga Diri Rendah
3. Resiko Bunuh Diri
4. Resiko Perilaku Kekerasan
5. Isolasi Sosial
6. Ketidakefektifan Koping Individual
7. Waham

C. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI
HASIL

1. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Halusinasi


Persepsi Sensori: keperawatan gejala halusinasi (I.09288)
Halusinasi klien dapat teratasi dengan
Pendengaran kriteria hasil klien mampu: 1. Observasi

1. Menyebutkan penyebab  Monitor perilaku yang


halusinasi mengindikasi
2. Menyebutkan yang halusinasi
ditimbulkan dari  Monitor dan sesuaikan
halusinasi tingkat aktivitas dan
3. Menyebutkan cara stimulasi lingkungan
menegedalikan  Monitor isi halusinasi
halusinasi yang tepat (mis. kekerasaan atau
4. Merasakan manfaat membahayakan diri)
cara-cara mengatasi 2. Terapeutik
halusinasi
 Pertahankan
lingkungan yang aman
 Lakukan tindakan
keselamatan ketika
tidak dapat mengontrol
perilaku (mis. limit
setting, pembatasan
wilayah, pengekangan
fisik, seklusi)
 Diskusikan perasaan
dan respon terhadap
halusinasi

58
 Hindari perdebatan
tentang validasi
halusinasi
3. Edukasi
 Anjurkan memonitor
sendiri situasi
terjadinya halusinasi
 Anjurkan bicara pada
orang yang dipercaya
untuk memberi
dukungan dan umpan
balik korektif terhadap
halusinasi
 Anjurkan melakukan
distraksi (mis.
mendengarkan musik
melakukan aktivitas
dan teknik relaksasi)
 Ajarkan pasien dan
keluarga cara
mengontrol halusinasi
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
obat antipsikotik dan
anti ansietas Jika perlu

2. Harga Diri Setelah dilakukan tindakan Manajemen Perilaku (I.12463)


Rendah keperawatan harga diri rendah
pada klien dapat teratasi 1. Observasi
dengan kriteria klien mampu:
 Identifikasi harapan
1. Mengenal aspek positif untuk mengendalikan
dan kemampuan yang perilaku
dimiliki 2. Terapeutik
2. Menilai aspek positif
 Diskusikan tanggung
dan kemampuan yang
jawab terhadap
dapat dilakukan
perilaku
3. Memilih aspek positif
 Jadwalkan kegiatan
dan kemampuan yang
terstruktur
ingin dilakukan
 Ciptakan dan
4. Meningkatkan harga
pertahankan
diri
lingkungan dan
kegiatan perawatan
konsisten setiap dinas
 Tingkatkan aktivitas
fisik sesuai
kemampuan
 Batasi jumlah
pengunjung

59
 Bicara dengan nada
rendah dan tenang
 Lakukan kegiatan
pengalihan terhadap
sumber agitasi
 Cegah perilaku pasif
dan agresif
 Beri penguatan positif
terhadap kebersihan
mengendalikan
perilaku
 Lakukan pengekangan
fisik sesuai indikasi
 Hindari sikap
menyudutkan dan
menghentikan
pembicaraan
 Hindari sikap
mengancam dan
berdebat
 Hindari berdebat atau
menawar batas
perilaku yang telah
ditetapkan
3. Edukasi
 Informasikan keluarga
bahwa keluarga
sebagai dasar
pembentukan kognitif

3. Risiko Bunuh Diri Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Bunuh Diri


keperawatan risiko bunuh diri (I.14538)
pada klien dapat teratasi
dengan kriteria hasil klien 1. Observasi
mampu:
 Identifikasi gejala
1. Menyebutkan penyebab resiko bunuh diri (mis.
risiko bunuh diri gangguan mood,
2. Menyebutkan tanda dan halusinasi, delusi,
gejala risiko bunuh diri panik, penyalahgunaan
3. Menyebutkan akibat zat, kesedihan,
yang di timbulkan gangguan kepribadian)
bunuh diri  Identifikasi keinginan
4. Menetapkan harapan dan pikiran rencana
dan masa depan bunuh diri
5. Menyebutkan aspek  Monitor lingkungan
positif dan kemampuan bebas bahaya secara
diri sendiri, keluarga, rutin (mis. barang
dan kelompok pribadi, pisau cukur,
jendela)

60
 Monitor adanya
perubahan mood atau
perilaku
2. Terapeutik
 Libatkan dalam
perencanaan perawatan
mandiri
 Libatkan keluarga
dalam perencanaan
perawatan
 Lakukan pendekatan
langsung dan tidak
menghakimi saat
membahas bunuh diri
 Berikan lingkungan
dengan pengamanan
ketat dan mudah
dipantau (mis. tempat
tidur dekat ruang
perawat)
 Tingkatkan
pengawasan pada
kondisi tertentu (mis.
rapat staf, penggantian
shift)
 Lakukan intervensi
perlindungan (mis.
pembatasan area,
pengekangan fisik),
jika diperlukan
 Hindari diskusi
berulang tentang
bunuh diri
sebelumnya, diskusi
berorientasi pada masa
sekarang dan masa
depan
 Diskusikan rencana
menghadapi ide bunuh
diri di masa depan
(mis. orang yang
dihubungi, ke mana
mencari bantuan)
 Pastikan obat ditelan
3. Edukasi
 Ajarkan
mendiskusikan
perasaan yang dialami
kepada orang lain

61
 Anjurkan
menggunakan sumber
pendukung (mis.
layanan spiritual,
penyedia layanan)
 Jelaskan tindakan
pencegahan bunuh diri
kepada keluarga atau
orang terdekat
 Informasikan sumber
daya masyarakat dan
program yang bersedia
 Latih pencegahan
risiko bunuh diri (mis.
latihan asertif,
relaksasi otot
progresif)
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
obat antiansietas, atau
antipsikotik, sesuai
indikasi
 Kolaborasi tindakan
keselamatan kepada
PPA
 Rujuk ke pelayanan
kesehatan mental, jika
perlu.

4. Risiko Perilaku Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Perilaku


Kekerasan keperawatan risiko perilaku Kekerasan (I.14544)
kekerasan pada klien dapat
teratasi dengan kriteria klien 1. Observasi
mampu:
 Monitor adanya benda
yang berpotensi
membahayakan (mis.
benda tajam, tali)
1. Menyebutkan risiko  Monitor keamanan
perilaku kekerasan barang yang dibawa
2. Menyebutkan cara oleh pengunjung
mengatasi risiko  Monitor selama
perilaku kekerasan penggunaan barang
3. Menyebutkan akibat yang dapat
yang ditimbulkan membahayakan (mis.
pisau cukur)
2. Terapeutik
 Pertahankan
lingkungan bebas dari

62
bahaya secara rutin
 Libatkan keluarga
dalam perawatan
3. Edukasi
 Anjurkan pengunjung
dan keluarga untuk
mendukung
keselamatan pasien
 Latih cara
mengungkapkan
perasaan secara asertif
 Latih mengurangi
kemarahan secara
verbal dan nonverbal
(mis. relaksasi,
bercerita).

5. Isolasi Sosial Setelah dilakukan tindakan Promosi Sosialisasi (I.13498)


keperawatan isolasi sosial pada
klien dapat teratasi dengan 1. Observasi
kriteria hasil klien mampu:
 Identifikasi
1. Memiliki keberanian kemampuan
berinteraksi melakukan interaksi
2. Memiliki motivasi dengan orang lain
berinteraksi  Identifikasi hambatan
3. Melakukan kegiatan melakukan interaksi
bersama dengan orang dengan orang lain
lain 2. Terapeutik
4. Merasa nyaman
 Motivasi
berinteraksi dengan
meningkatkan
orang lain
keterlibatan dalam
suatu hubungan
 Motivasi kesabaran
dalam
mengembangkan suatu
hubungan
 Motivasi berpartisipasi
dalam aktivitas baru
dan kegiatan kelompok
 Motivasi berinteraksi
di luar lingkungan
(mis. jalan-jalan, ke
toko buku)
 Diskusikan kekuatan
dan keterbatasan
dalam berkomunikasi
dengan orang lain
 Diskusikan

63
perencanaan kegiatan
di masa depan
 Berikan umpan balik
positif dalam
perawatan diri
 Berikan Umpan balik
positif pada setiap
peningkatan
kemampuan
3. Edukasi
 Anjurkan berinteraksi
dengan orang lain
secara bertahap
 Anjurkan ikut serta
kegiatan sosial dan
kemasyarakatan
 Anjurkan berbagi
pengalaman dengan
orang lain
 Anjurkan
meningkatkan
kejujuran diri dan
menghormati hak
orang lain
 Anjurkan penggunaan
alat bantu (mis.
kacamata dan alat
bantu dengar)
 Anjurkan membuat
perencanaan kelompok
kecil untuk kegiatan
khusus
 Latih bermain peran
untuk meningkatkan
keterampilan
komunikasi
 Latih mengekspresikan
marah dengan tepat

6. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Pengambilan


Koping Individual keperawatan selama proses Keputusan (D.0096)
keperawatan diharapkan klien
mampu menunjukan koping 1. Observasi
yang efektif dengan kriteria
 Identifikasi persepsi
klien mampu:
mengenai masalah saat
1. Mampu pembuatan keputusan
mengidentifikasi pola kesehatan.
koping yang efektif dan 2. Terapeutik
tidak efektif

64
2. Mampu  Fasilitas
mengidentifikasi mengklarifikasikan
beberapa strategi nilai dan harapan yang
koping membantu membuat
pilihan.
3. Mampu menggunakan  Diskusikan kelebihan
strategi koping yang dan kekurangan dari
efektif. setiap solusi.
 Fasilitasi melihat
Skala :
situasi secara realistic.
1) Tidak pernah  Fasilitasi pengambilan
2) Jarang keputusan secara
3) Kadang-kadang kolaboratif.
4) Sering 3. Edukasi
5) Selalu
 Informasikan
alternative solusi
secara jelas.
 Berikan informasi
yang diminta pasien.
7. Waham Setelah dilakukan tindakan Manajemen Waham (I.09295)
keperawatan gejala waham
pada klien dapat teratasi 2. Observasi
dengan kriteria klien mampu:
 Monitor waham yang
1. Menyebutkan orientasi isinya membahayakan
terhadap realitas diri sendiri, orang lain
2. Menyebutkan dan lingkungan
kenutuhan yang belum  Monitor efek
terpenuhi terapeutik dan efek
3. Menyebutkan aspek samping obat
positif ysng dimiliki 3. Terapeutik
serta merasa nyaman
 Bina hubungan
dan tenang.
interpersonal saling
percaya
 Tunjukkan sikap tidak
menghakimi secara
konsisten
 Diskusikan waham
dengan berfokus pada
perasaan yang
mendasari waham
("Anda terlihat seperti
sedang merasa
ketakutan")
 Hindari perdebatan
tentang keyakinan
yang keliru, nyatakan
keraguan sesuai fakta
 Hindari memperkuat

65
gagasan waham
 Sediakan lingkungan
aman dan nyaman
 Berikan aktivitas
rekreasi dan
pengalihan sesuai
kebutuhan
 Lakukan intervensi
pengontrolan perilaku
waham (mis. limit
setting, pembatasan
wilayah, pengekangan
fisik, atauseklusi)
4. Edukasi
 Anjurkan
mengungkapkan dan
memvalidasi waham
(uji realitas) dengan
orang yang dipercaya
(pemberi asuhan atau
keluarga)
 Anjurkan melakukan
rutinitas harian secara
konsisten
 Latihan manajemen
stres
 Jelaskan tentang
waham serta penyakit
terkait (mis. delirium,
skizofrenia, atau
depresi) cara
mengatasi dan obat
yang diberikan
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
obat, sesuai indikasi

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahapan ketika perawat mengaplikasikan ke dalam
bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah
di tetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki oleh perawat pada tahap
implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan untuk
menciptakan saling percaya dan saling membantu, kemampuan melakukan
teknik, psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistemis, kemampuan

66
memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi dan kemampuan
evaluasi.

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi Keperawatan merupakan proses yang berkelanjutan untuk
menilai efek dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi dilakukan dengan
pendekatan SOAP sebagai berikut, S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan, O : Respon objektif pasien terhadap
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan, A:Analisis terhadap data
subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap ada,
muncul masalah baru, atau ada data yang kontradiksi terhadap masalah yang ada,
dan P : Tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respon pasien rencana tindak
lanjut dapat berupa hal rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah) atau
rencana dimodifikasi (jika masalah tetap, sudah dilaksanakan semua tindakan
tetapi hasil belum memuaskan).

67
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Skizofrenia merupakan penyakit kronik dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit
yang luas. Sehingga tidak didapatkan adanya gejala patognomonis (khas) pada penderita
skizofrenia. Diagnois skizofrenia ditegakkan jika didapatkan adanya klinis yang bermakan
pada gangguan berfikir, perasaan, persepsi dan perilaku yang telah berlangsung selama 1
bulan.

Gangguan skizotipal termasuk dalam gangguan kepribadian yang ditandai dengan kesulitan
seseorang dalam menjalin hubungan dekat dengan orang lain karena merasa sangat tidak
nyaman. Seorang skizotipal juga menunjukkan perilaku eksentrik dengan cara berfikir
abnormal.

Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan, yang tetap
dipertahankan dan tidak dapat dirubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari
pemikiran yang tidak terkontrol.

3.2 Saran
Sebagai perawat kita harus dapat melakukan tindakan asuhan keperawatan sesuai
dengan yang telah ditentukan. Berikan edukasi dini pada pasien dalam pencegahan serta
penanganan pada pasien. Komunikasi dalam setiap tindakan juga sangat penting.

68
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, M. (2018). Terapi Elektrokonvulsif (ECT) Pemberian Terapi Elektrokonvulsif


(ECT) Terhadap Peningkatan Fungsi Kognitif Klien Gangguan Jiwa. Jurnal
Ilmiah Ilmu Keperawatan Indonesia, 8(03), 443-449.

Sudia, B. T. (2021). Aplikasi Terapi Relaksasi Nafas Dalam terhadap Pengontrolan Marah
dengan Pasien Gangguan Jiwa Resiko Perilaku Kekerasan di Wilayah Desa
Maleber Kabupaten Cianjur. Lentera: Jurnal Ilmiah Kesehatan dan
Keperawatan, 4(1), 1-5.

Zahra, Z., & KJ, S. (2022). Penggolongan Gangguan Jiwa di Indonesia. Ilmu Keperawatan
Jiwa dan Komunitas, 19.

Sudarmana, L., & Lestari, F. (2018). Sistem Pakar Untuk mendiagnosis Gangguan Jiwa
Schizophrenia. Jurnal Informatika: Jurnal Pengembangan IT, 3(1), 40-44.

Irwandi, R., Erfahmi, M. S., & Sami, Y. (2017). Manifestasi Gejala Kejiwaan Dalam Karya
Lukis. Serupa The Journal of Art Education, 4(2).

TENDAGE, M. K., & Yauri, I. (2020). EKSPLORASI PERSEPSI WANITA YANG


MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Doctoral
dissertation, UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE).

Dewi, N. K. W. W. (2020). GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PEMBERIAN


TERAPI RELAKSASI NAFAS DALAMUNTUK MENGATASI RISIKO
PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA (Doctoral
dissertation, Poltekkes Denpasar Jurusan Keperawatan).

Gunawan, A. Literasi Kesehatan Mental Dalam Pencarian Pertolongan Formal Pada Korban
KDRT Penyandang Gangguan Kesehatan Mental (Studi Kasus Pengalaman 3
Informan Korban KDRT) (Bachelor's thesis, Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).

Nurfaizah, I. (2023, February). Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Terhadap
Kesehatan Mental Anak. In Gunung Djati Conference Series (Vol. 19, pp. 95-
103).

69
Siti Maizul Habibah, O., Nur Fauzan, H., & Sundawa, D. (2023). Pelatihan Deteksi Dini
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Sebagai Wujud Aktualisasi Warga
Negara Dalam Perlindungan Hukum. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat,
3(1).

Konseling Keluarga : Buku Ajar. (2023). (n.p.): CV Jejak (Jejak Publisher). Keperawatan
Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. (n.d.). (n.p.):
Ferry Efendi.

Mashudi, S. (2021). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Skizofrenia. Jawa Timur : CV. Global
Aksara Pres.

Hayes, N.L. (2018). Types of Domestic Violence.

WHO. Improving health systems and services for mental health [Internet]. 2009. Available
from: https://apps.who.int/iris/handle/10665/44219-diakses Juli 2019.

Kementerian Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2018
[Internet]. Balitbangkes. 2018. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-riskesdas-
2018.pdf-diakses Juli 2019.

Kementerian Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2013
[Internet]. Balitbangkes. 2013. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil Riskesdas
2013.pdf-diakses Juli 2019

Jalil, A. (2018). Studi Kasus Respon Pasien Halusinasi Pendengaran Setelah Diberikan Obat
Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Surabaya).

Irwandi, R., Erfahmi, M. S., & Sami, Y. (2017). MANIFESTASI GEJALA KEJIWAAN
DALAM KARYA LUKIS. Serupa The Journal of Art Education, 4(2).

Darmaja, I Kade. (2014). Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Tn. “S”
Dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi PendengaranDiruang Kenari
Rsj Dr. Radjiman Wedioningrat Lawang Malang. Program Studi Profesi (Ners)
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi

70
Manao, B. M., & Pardede, J. A. (2019). Correlation of Family Burden of The Prevention of
Recurrence of Schizophrenia Patients. Mental Health, 4(1), 31-42.

Nyumirah, S. (2013). Peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan perilaku)
melalui penerapan terapi perilaku kognitif di rsj dr amino gondohutomo
semarang. Jurnal keperawatan jiwa, 1(2).

Pambayun, Ahlul H. (2015). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. S Dengan Gangguan
Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran Ruang 11 (Larasati) RSJD Dr.
Amino Gondohutomo Semarang. Widya Husada Semarang.

Pardede, J. A. (2020). Family Knowledge about Hallucination Related to Drinking


Medication Adherence on Schizophrenia Patient. Jurnal Penelitian Perawat
Profesional, 2(4), 399-408.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

71

Anda mungkin juga menyukai