Anda di halaman 1dari 2

Gembala punya cerita

Oleh : Andreas Hutomo

ROKOK PANAS DINGIN

Sore itu cuaca betul-betul cerah sementara dedaunan masih basah karena siangnya habis
hujan yang lumayan lebat. Situasi seperti itulah yang biasanya menarik bagi teman-teman
untuk mancing ke kedung (lubuk) karena biasanya kalau habis hujan ikan-ikan di kedung
itu mudah dipancing. Hal itu sudah sering kami lakukan bersama teman-teman sehabis
angon atau menyabit rumput. Dan mancing sambil jeguran (berenang dan terjun dari
ketinggian) merupakan hiburan yang sungguh enak untuk dinikmati di daerah pedesaan.

Wakimin adalah salah satu teman kami dan merupakan anak yang paling tua diantara
kami dan terkenal “nggathok” terhadap rokok. Kalau tidak punya duit buat beli rokok,
dia “nglinting” sendiri rokoknya dari daun tembakau yang dibumbui “uwur” dengan
klobot (daun jagung) sebagai pengganti kertas. Saking nggathoknya katanya lebih baik
tidak makan daripada tidak merokok. Dan karena nggathoknya itu pula maka dia bahkan
mendapat julukan Wakimin klobot.

Badannya yang kekar berkulit hitam legam menyebabkan dia diangkat sebagai “ketua”
kelompok oleh anak-anak di kampung itu. Tidak salah anak-anak mengangkat Wakimin
menjadi ketua karena Wakimin terkenal sebagai anak yang pemberani. Berani terhadap
penjahat, karena penah “gelut” sama maling yang mau mencuri kambingnya, walau
akhirnya maling itu bisa lari karena dibantu temannya.

Dia juga terkenal anak yang berani merambah ke tempat-tempat yang dianggap angker.
Pohon beringin besar yang di kampung kami disebut “dhanyangan” pun dia panjat hanya
karena ingin mengambil anak burung, sementara orang-orang kampung lewat dekat situ
saja masih takut-takut. Dhanyangan dulu merupakan tempat “pemujaan” dimana sesepuh
(orang yang dituakan) di desa itu sering memberikan sesaji dan membakar kemenyan
untuk minta keselamatan dalam hal apa saja, misalnya ada orang yang mau punya hajat
mantu, sunatan dsb.
Bahkan rombongan “tayub” yang suka ngamen dari desa ke desa kalau lewat dhanyangan
itu harus berhenti dulu dan menari dengan iringan gendhing tertentu. Itulah “kang”
Wakimin biasa kami memanggilnya. Berjalan pada malam hari untuk nonton wayang ke
desa tetangga yang harus melewati hutan jati bisa batal kalau tidak ada kang Wakimin.

Sore itu ketika rame-rame berangkat mancing rupanya kang Wakimin ketinggalan slepen
(wadah rokok) padahal sudah kepingin ngrokok dan sialnya lupa pula dia membawa duit.
Ketika melewati warung mbah Joyo yang terkenal galak dan pelit itu kang Wakimin
mampir untuk mencari rokok.

“ Mbah, utang rokoke sak eler wae.” (ngutang rokoknya sebatang saja)
“ Tidak ada utang-utangan ! Kalau nggak punya duit nggak usah ngrokok, utang nanti
malah nggak bayar !” sahut mbah Joyo dengan mimik muka tak senang.
Merah padam muka kang Wakimin karena ditolak utangnya. Bukan itu saja yang bikin
dia gusar, karena kebetulan banyak anak gadis yang sedang belanja di warung mbah Joyo
waktu itu. Harga diri kang Wakimin merasa sangat direndahkan. Tanpa pamit segera dia
pergi dengan menahan amarah, ternyata dia menuju ke rumah Pak Karto “tempe” karena
dia juragan tempe, untuk pinjam uang sebentar dengan dalih nanti segera dikembalikan.
Segera dia kembali ke warung mbah Joyo dengan langkah-langkah panjang.

“Ini mbah duitnya, belum pernah saya utang nggak bayar. Buktinya saya utang duit pak
Karto dikasih seratus ribu !” sambil melempar uang seratus ribuan.
Mbah Joyo kaget juga dibentak Wakimin lalu dengan senyum dipaksa dia jawab.
“Wah nggak ada kembaliannya, Min. Aku tadi kan cuma bercanda.”
“Tidak ada bercanda-bercandaan, pokoknya beli rokok sebatang minta kembaliannya!”

Dengan sangat terpaksa mbah Joyo membuka laci mejanya dan menghitung uang yang
cukup banyak, karena isinya nyaris uang ribuan semua sementara harga sebatang rokok
cuma seribu perak.
Keringat mulai membasahi kening dan tubuhnya yang sudah tua karena ngitung duitnya
bolak-balik salah melulu. Kami semua sebenarnya merasa kasihan juga tapi ya biarlah
wong mbah Joyo itu galak dan pelit. Akhirnya uang sembilan puluh sembilan ribu rupiah
terkumpul sudah untuk kembalian dan diberikannya pada Wakimin.

“Wo alaah . . . sebatang rokok saja kok bikin badan jadi panas dingin.” keluh mbah Joyo.

Anda mungkin juga menyukai