Anda di halaman 1dari 46

G STATUS ILMU KEPANITERAAN KLINIK

e
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

Nama Mahasiswa : Yunita Wulandari

j
NIM : 030.08.263

Dokter Pembimbing : dr. Riza Mansyoer, Sp. A

I IDENTITAS PASIEN

a
Nama : An. T

Umur : 13 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

l
Alamat : Jl. Rorotan 9 Gang 4 RT 05 RW 10 Cakung Timur

Pekerjaan : Belum Bekerja

Status perkawinan : Belum Menikah

a
Pendidikan : SMP

Agama : Islam

MR : 01-23-92-35

i
Masuk RS : 1 April 2013

Orang tua/wali

Ayah

r
• Nama : Tn. S

• Agama : Islam

i
1
• Suku : Jawa

• Pekerjaan: Tidak bekerja

• Alamat Pekerjaan: -

• Penghasilan : -

Ibu

• Nama : Ny. S

• Agama : Islam

• Suku : Jawa

• Pekerjaan : Swasta

• Alamat Pekerjaan : -

• Penghasilan: ±1.000.000/bulan

II ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan OS dan Ibu OS


pada tanggal 7 April 2013 pukul 13.00 wib

KELUHAN UTAMA

OS datang dengan keluhan kedua kaki bengkak.

KELUHAN TAMBAHAN

Mata bengkak pagi hari, Demam

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

OS datang ke IGD RSUD Koja dengan keluhan kedua kaki bengkak sejak 3 hari SMRS.
OS rujukan dari Puskesmas Kelurahan Cakung Timur. OS mengaku pada awalnya, OS tidak

2
menyadari kalau kedua kakinya bengkak. Namun, OS mengaku 3 hari SMRS OS bermain futsal,
setelah itu kedua kakinya terlihat bengkak. OS merasa saat memakai sepatu futsalnya seperti
kekecilan. Apabila bengkak ditekan terasa lunak dan meninggalkan bekas setelah ditekan. Perut
pasien membuncit tetapi tidak kembung. Pasien tidak pernah sakit kuning sebelumnya. Keluhan
bengkak tersebut tidak dirasakan sakit. Bengkak tersebut tidak disebabkan oleh gigitan serangga.

OS juga mengaku 3 hari SMRS pipi OS menjadi tembem, dan matanya seperti bengkak
saat bangun tidur di pagi hari sejak ± 1 minggu SMRS. OS mengaku matanya menjadi sipit.
Keluhan tidak disertai sesak napas dan batuk. OS mengaku ada demam 2 hari SMRS. BAK dan
BAB lancar dan normal. Warna air seni kuning tidak ada warna kemerahan. Ibu pasien
menyangkal pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan lain yang menyebabkan badannya
bengkak.

Saat ini OS telah menjalani perawatan di RS selama 6 hari, OS mengaku bengkak pada
kedua kakinya telah menghilang dan tidak ada bengkak pada kedua kelopak matanya lagi disaat
bangun tidur di pagi hari. OS mengaku BAB dan BAK tidak ada gangguan. Saat ini OS mengaku
batuk namun tidak berdahak.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :

Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat asma dan alergi
disangkal. Ibu OS mengaku tidak ada riwayat penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit
kuning sebelumnya.

RIWAYAT KEHAMILAN/KELAHIRAN :

KEHAMILAN Morbiditas Kehamilan Tidak ada


Perawatan Antenatal Teratur 1 bulan sekali
KELAHIRAN T empat Kelahiran Rumah Sakit/Rumah Bersalin/Rumah lain-lain…
Penolong Persalinan Dokter/Bidan/Dukun
Lainnya…
Cara Persalinan - Spontan
- Penyulit, kelainan…
- Tindakan…

3
Masa Gestasi Lebih bulan/Cukup Bulan/Kurang Bulan
Keadaan Bayi - Berat lahir: 3150 gr
- Panjang: 48 cm
- Ling.kepala: -
- Langsung Menangis
Pucat/Biru/Kuning/Kejang
- Nilai Apgar: tidak ada
- Kelainan Bawaan: tidak ada
Kesan : Lahir cukup bulan, tidak terdapat penyulit

RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

● Pertumbuhan gigi I : 8 bulan

● Psikomotor

- Tengkurap : 6 bulan - Berjalan : 12 bulan

- Duduk : 7 bulan - Bicara : 11 bulan

- Berdiri : 11 bulan - Membaca/Menulis : 6 tahun

● Perkembangan Pubertas

- Rambut Pubis : mulai berkembang

- Payudara : belum berkembang

- Menarche : belum berkembang

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan baik.

RIWAYAT MAKANAN

Umur (bulan) ASI/PASI Buah/Biskuit Bubur Susu Nasi Tim


0-2 V
2-4 V

4
4-6 V
6-8 V
8-10 V V V
10-12 V V V V
2 tahun V V V V
Frekuensi / Hari : 2-3 kali sehari.
Jumlah / Hari : tidak tentu.
Kesan : pola makan cukup baik.

Umur diatas 1 tahun

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah


Nasi/Pengganti 3x/hari, banyak
Sayur 3x/hari
Daging 2-3x/minggu
Telur 3x/minggu
Ikan 3x/minggu
Tahu 3x/minggu
Tempe Jarang (<1x/minggu)
Susu (merk/takaran) Jarang (<1x/minggu)
Lain-lain
Frekuensi / Hari : 2-3 kali sehari.
Jumlah / Hari : tidak tentu.
Kesan : Pola makan baik dan cukup bervariasi

RIWAYAT IMUNISASI

Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)


BCG 2 X X
DPT/DT 2 4 6
POLIO 0 2 4
CAMPAK 9 X X

5
HEPATITIS B 0 1 6
MMR X X
IPA
Kesan : Imunisasi dasar lengkap, imunisasi ulangan belum lengkap.

RIWAYAT KELUARGA

Pasien merupakan anak ke 3 dari tiga bersaudara berjenis kelamin laki-laki. Tidak ada keluarga
yang lahir mati maupun yang abortus. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki hal serupa.

RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN

Perumahan : Tinggal mengontrak di rumah kontrakan.

Keadaan rumah : Rumah dengan ventilasi cukup baik dan cahaya matahari dapat masuk
melalui jendela. Satu rumah dihuni oleh 4 orang. Sumber air minum dan
air untuk kebutuhan rumah tangga lainnya berasal dari PAM (Perusahaan
Air Minum). Kamar mandi berada di dalam rumah.

Daerah / lingkungan : Lingkungan sekitar rumah cukup padat, saluran air lancar. Sampah-
sampah terkumpul pada tempat sampah dan dibersihkan oleh tukang
sampah 2-3 hari sekali secara teratur.

Kesan : Perumahan dan lingkungan baik, namun cukup padat.

RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA

Penyakit Penyakit Penyakit


Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit ginjal (-)

Demam berdarah (-) Kejang (-) Penyakit darah (-)


Demam tifoid (-) Kecelakaan (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (+) Tuberculosis (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain, batuk, pilek (+)
Kesan : OS pernah menderita morbili saat berumur 5 tahun dan di rawat di Rumah Sakit.

6
III. PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Frekuensi nadi : 88x per menit
Frekuensi napas : 20x per menit
Suhu tubuh : 37,4oC
Tekanan Darah :120/70 mmHg

Data antropometri : - Berat badan : 64 kg


- Tinggi badan : 162cm
Berat Badan yang sebenarnya :
Pasien dengan asites, edema palpebra, edema tungkai → 30 %

64 kg – (30%) = 44,8 kg

Status Gizi (CDC) :


- BB/U : 44,8/52 x 100 % = 86%
- TB/U : 162/155 x 100 % = 104 %
- BB/TB : 44,8/43x 100 % = 104 %  Normal
Berdasarkan data di atas maka dapat disimpulkan bahwa status gizi pasien normal

Kepala :
1. Bentuk dan ukuran : Normocephali, ubun-ubun normal
2. Rambut dan kulit kepala : Hitam, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut
3. Mata : palpebra tidak cekung, oedem palpebra -/-, konjungtiva
tidak pucat, sclera tidak ikterik, reflek cahaya langsung +/+, reflek cahaya tidak langsung
+/+.
4. Telinga : Normotia, tidak tampak serumen dan tidak tampak sekret.
5. Hidung : Tidak ada deformitas, septum deviasi (-), sekret (-)
6. Bibir : Tidak kering, tidak sianosis

7
7. Mulut : Stomatitis (-), mukosa mulut tidak kering, gigi geligi
lengkap
8. Lidah : tidak kotor, tidak tremor
9. Faring : tidak hiperemis
Leher : KGB tidak teraba Trakea lurus di tengah
Toraks:
1. Dinding toraks : Bentuk normal, retraksi sela iga (+), iga vertikal, simetris dalam
keadaan statis dan dinamis
2. Paru
- Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
- Palpasi : Vokal fremitus simetris
- Perkusi : Sonor pada paru kedua lapang paru
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, ronkhi +/+, wheezing -/-

3. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V 1 cm medial garis midclavicularis sinistra,
tidak teraba thrill
- Auskultasi : BJ I normal, BJ II normal, regular, tidak ada splitting, tidak ada murmur,
tidak ada gallop

Abdomen:
- Inspeksi : buncit, tidak tampak distensi, tidak tampak vena collateral
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, undulasi (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor
kulit baik, lemas
- Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
Anus dan rectum : tidak ada kelainan
Kelenjar getah bening : Tidak teraba
Genitalia : Laki-laki
Anggota gerak : atas : akral hangat, deformitas (-), sianosis (-), oedem (-)

8
bawah : akral hangat, deformitas (-), sianosis (-), oedem (-)
Pemeriksaan neurologis
1. Refleks fisiologis : (+) Normal
2. Reflek patologis : (-)
3. Rangsang meningeal : (-)
Tulang belakang : tidak ada kelainan
Kulit : warna sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), turgor baik, kelainan kulit
lain(-)

*PEMERIKSAAN FISIK (Pada saat awal pasien datang ke IGD)


KU/Kes : TSS/CM
TD : 150/110 mmHg
N : 88 x/menit
RR : 22 x/menit
S : 37.2 0C
Kepala : normocefali, oedem palpebra -/-, konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik
Thorak : SN ves, rh-/-, wh-/-
BJ I dan II reg, murmur -, gallop -.
Abdomen : buncit, supel, nyeri tekan –
Ekstrimitas : oedem + pada ekstrimitas bawah

9
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (1 April 2013)

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal


Hemoglobin 12, 3 12, 0 -16, 0 g/dl
Leukosit
20.250
4100 – 10900/UL
Hematokrit 38 36-46 %
182000-369000/UL
506.000
Trombosit
SGOT 16 13-33U/L
SGPT 6-30U/L
19

Ureum 0,6 0,4-0,7mg/dl


Kreatinin 17-43 mg/dl
36

Glukosa Sewaktu 100 60-100 mg/dl

139
Na 134-146 mmol/L
K 3,66 3,4-4,5 mmol/L
Cl 96-108 mmol/L
114

Laboratorium (2 April 2013)

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal


Hemoglobin 12,4 12,0 -16,0 g/dl

10
15100
Leukosit 38 4100-10900 /Ul
Hematokrit 4,56 36-46 %
Eritrosit 395000 4- 5 juta/Ul
Trombosit 82 140000-440000/Ul
MCV(VER) 80-100 fl
MCH (HER) 33 26-34 pg
MCHC (KHER) 31-36 g/dl
Hitung Jenis: 1

Basofil 1 0-2%
Eosinofil 0 0-5 %
Batang 69 2-6 %
Segmen 20 47-80 %
Limfosit 9 13-40 %
Monosit 80 2- 11 %
LED 14,3 <15 mm/jam
RDW 11,6- 14,8

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal


Albumin 1,71 4,0 -5,2 g/l
Globulin 3,10 1,3-2,7 g/dl
Protein Total 4,81 6,0- 8,0 g/dl
Kolesterol Total 353 <200 mg/dl
Elektrolit :
Na 142 135-147 mmol/L
K 3,3 3,5-5,0 mmol/L
Cl 106 96-108 mmol/L

Urinalisa (4 April 2013)

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal


11
Warna Kuning agak keruh
Berat Jenis 1030 1,003-1030
PH 6,6 4,6 -8,5
Albumin 2+ Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton 2+ Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Darah Samar 3+ Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobilinogen 1,0 0,1-1,0 EU
Sedimen :
Leukosit 10-15 <10 /LPB

Eritrosit 10-15 <1 /LPB

Silinder Negatif Negatif/LPK

Epitel 1+
Bakteri 1+
Kristal :
Ca Oksalat Negatif

Karbonat Negatif

Fosfat Negatif

Asam Urat Negatif

Amorf Negatif
Negatif
Sel Ragi Negatif

Lain-lain

V. RESUME

Seorang anak laki-laki, usia 13 tahun dating ke IGD RSUD Koja dengan keluhan kedua
kaki bengkak sejak 3 hari SMRS. Apabila bengkak ditekan terasa lunak dan meninggalkan bekas
setelah ditekan. Perut pasien membuncit tetapi tidak kembung. Keluhan bengkak tersebut tidak

12
dirasakan sakit. Bengkak tersebut tidak disebabkan oleh gigitan serangga. OS juga mengaku 3
hari SMRS pipi OS menjadi tembem, dan matanya seperti bengkak saat bangun tidur di pagi hari
sejak 1 minggu SMRS. OS mengaku ada demam 2 hari SMRS. BAK dan BAB lancar dan
normal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi nadi 88x per menit, frekuensi napas 20x per
menit, suhu 37,4oC, tekanan darah 120/70 mmHg, status gizi obesitas (CDC). Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan leukosit 20.250/UL, LED 80 mm/jam, albumin 1.71 g/dl, globulin 3,10
g/dl, protein total 4,81 g/dl, kolesterol total 353 mg/dl. Pada pemeriksaan urinalisa didapatkan
warna urin kuning agak keruh, albumin 2+, keton 2+, darah samar 3+, sedimen eritrosit
10-15/LPB, sedimen leukosit 10-15/LPB, bakteri 1+.

VI. DIAGNOSIS KERJA :

Sindroma Nefrotik

ISK

VII. DIAGNOSI BANDING :

Glomerulonefritis Akut

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN :

Pemeriksaan ASTO

Pemeriksan Komplemen C3

IX. PENATALAKSANAAN

- Infuse KaEN 1B 120 cc/hari


- Inj. Albapur 20% 100 cc
- Inj. Ceftizoxim 2 x 1 gr IV

13
- Inj. Ranitidin 2 x 20 mg IV
- Aspar K 3 x ½ tab P.O
- Captopril 2 x 12, 5 mg P.O

Terapi awal masuk RS :

- Infuse KaEN 1B 120 cc/hari


- Inj. Lasix 2 x 15 mg IV
- Inj. Ceftizoxim 2 x 1 gr IV
- Inj. Ranitidine 2 x 20 mg IV
- Inj. Somerol 2 x 20 mg IV
- Aspar K 3 X ½ tb P. O

X. PROGNOSIS

 Ad vitam : Bonam
 Ad fungsionam: Dubia ad bonam
 Ad sanasionam : Dubia ad bonam

XI. FOLLOW UP

Pemeriksaan Tanggal
7 April 2013 8 April 9 April
- Wajah sembab (-) - Wajah sembab (-) - Batuk (+)
S - Kelopak mata - Tangan dan kaki berkurang
Keluhan bengkak (-) bengkak (-) - Tadi malam
- Tangan dan kaki - Batuk (+) tidak demam (38,60C)
bengkak (-) berdahak
- Batuk (+), dahak
(-)

14
Keadaan ▪ Sakit Sedang ▪ Sakit Sedang ▪ Sakit Sedang
umum
Kesadaran ▪ Compos mentis ▪ Compos mentis ▪ Compos mentis

Tanda vital BB : 64 kg BB : 64kg BB : 64 kg


TD : 120/70 TD : 140/90 TD : 130/90
Nadi: 90 x /menit Nadi : 96 x /menit Nadi : 90 x /menit
RR : 18 x /menit RR : 20 x /menit RR : 20 x /menit
Suhu : 36,8 ºC Suhu : 36,5 ºC Suhu : 36,2 ºC
O
Kepala ▪ Normocephali ▪ Normocephali ▪ Normocephali
Wajah ▪ sembab(-) ▪ kurang sembab ▪ tidak sembab
Mata ▪ oedem palpebra ▪ oedem palpebra ▪ oedem palpebra -/-
-/- -/-
Leher ▪ KGB & tiroid ttm
▪ KGB & tiroid ttm ▪ KGB & tiroid ttm
Paru ▪ Suara napas
▪ Suara napas ▪ Suara napas vesikuler
vesikuler vesikuler Rh -/-, Wh -/-
Rh -/-, Wh -/- Rh -/-, Wh -/-
Jantung ▪ S1 & S2 reguler
▪ S1 & S2 reguler ▪ S1 & S2 reguler Murmur (-)
Murmur (-) Murmur (-) Gallop (-)
Gallop (-) Gallop (-)
Abdomen ▪ Datar, supel
▪ Buncit, supel, ▪ Buncit, supel NT (-)
NT (-) NT (-)

Extremitas ▪ Akral hangat


▪ Akral hangat ▪ Akral hangat Oedem pitting (-)
Oedem pitting (-) Oedem pitting (-) di kedua tungkai

15
di semua di semua bawah
ekstrimitas ekstrimitas Sianosis (-)
Sianosis (-) Sianosis (-)

A Diagnosa Sindroma Nefrotik Sindroma Nefrotik Sindroma Nefrotik

- Bed rest - Bed rest - Bed rest


- IVFD KaEN 1B - IVFD KaEN 1B - IVFD KaEN 1B
P Pengobatan
120 cc/hari 120 cc/hari 120 cc/hari
- Albapur 20% 100
- Albapur 20% 100 - Albapur 20% 100
cc IV
cc IV cc IV
- Ceftizoxime 2 x 1
- Ceftizoxime 2 x 1 - Ceftizoxime 2 x 1
gr IV (H6)
gr IV (H6) gr IV (H6)
-Ranitidin 2 x 20
-Ranitidin 2 x 20 -Ranitidin 2 x 20 mg
mg IV
mg IV IV
- Aspar K 3 X ½ tb
- Aspar K 3 X ½ tb - Aspar K 3 X ½ tb
P.O
P.O P.O
- Captopril 2 x 12,5
- Captopril 2 x 12,5 - Captopril 2 x 12,5
mg P.O
mg P.O mg P.O
Cek UL, Albumin,
- Vectrin syr 3 x ½ - Vectrin syr 3 x ½
Globulin, Elektrolit
cth cth

Pemeriksaan Laboratorium (8 April 2013)

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal


Warna Kuning keruh
Berat Jenis 1010 1,003-1030
PH 7,0 4,6 -8,5
Albumin 3+ Negatif
Glukosa Negatif Negatif

16
Keton Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Darah Samar 2+ Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobilinogen 0,2 0,1-1,0 EU
Sedimen :
Leukosit 1-3 <10 /LPB
Eritrosit 20-25 <1 /LPB
Silinder Negatif Negatif/LPK
Epitel 1+
Bakteri Negatif
Kristal :
Ca Oksalat Negatif

Karbonat Negatif

Fosfat Negatif

Asam Urat Negatif

Amorf Negatif
Negatif
Sel Ragi Negatif

Lain-lain

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal


Albumin 1,58 4,0 -5,2 g/l
Globulin 2,79 1,3-2,7 g/dl
Protein Total 4,37 6,0- 8,0 g/dl
Elektrolit :
Na 135 135-147 mmol/L
K 3,67 3,5-5,0 mmol/L
Cl 103 96-108 mmol/L

BAB II

17
ANALISA KASUS

A. Pada pasien ini ditegakkan diagnosa Sindrom Nefrotik, karena dari hasil

I. Anamnesa: Pasien datang dengan keluhan utama muka bengkak terutama pada mata pada
saat bangun tidur pagi sejak 1 mgg SMRS, kaki bengkak sejak 3 hari SMRS, apabila
ditekan bengkak terasa lunak dan meninggalkan bekas pada lokasi penekanan.BAK warna
kuning agak keruh, darah (-).
II. Pemeriksaan fisik:

Tekanan darah 120/70 mmHg ( 150/110 mmHg pada saat di IGD). Mata : oedema palpebra
(+), ekstremitas : kaki kanan dan kiri :oedem (pitting oedem)pemeriksaan di IGD

III. Pemeriksaan penunjang

Hal ini sesuai dengan gejala klinis sindrom nefrotik :

Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema dapat menetap atau bertambah, baik
lambat atau cepat atau dapat menghilang dan timbul kembali. Lambat laun edema menjadi
menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya
menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orang tua sering mengeluh berat badan
anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan terjadinya
pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat. Timbulnya edema pada anak
dengan SN dapat bersifat perlahan-lahan, atau timbul secara lebih cepat dan progresif dalam
beberapa hari atau minggu. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di
kelopak mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi
berdiri. Edema pada anak pada awal perjalanan penyakit SN umumnya dinyatakan sebagai
lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang
menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara spontan dengan
keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan
asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai pada pasien ini
mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnutrisi sebagai tanda adanya
menyeluruh sebelumnya.

18
Laboratorium darah :
Leukosit 20.250/UL
LED 80 mm/jam
Albumin 1.71 g/dl
Globulin 3,10 g/dl
Protein total 4,81 g/dl
Kolesterol total 353 mg/dl
Urinalisa :
warna urin kuning agak keruh
Albumin 2+
Keton 2+,
Darah samar 3+
Sedimen eritrosit 10-15/LPB
Sedimen leukosit 10-15/LPB
Bakteri 1+.
Hal tersebut sesuai dengan definisi Sindrom nefrotik,yaitu suatu sindrom klinis dengan gejala :

1. Proteinuria masif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
>2mg/mg atau ≥2+)
2. Hipoalbuminemia ≤2.5 g/dl
3. Edema
4. Hiperkolesterolemia (>250 mg/dL)
Walaupun jarang, SN sering disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal.

Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari
albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar
albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Sehingga pada pagi hari pasien akan mengeluhkan
ketika bangun tidur pada pagi hari sulit membuka mata dan pada siang hari kaki semakin
membengkak karena pada pagi hari cairan tertimbun di kelopak mata dan setelah berjalan cairan
akan tertimbun di pergelangan kaki.

Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun
dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume

19
intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan
system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan
mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan merangsang peningkatan
aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan
hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini
mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan
air yang direabsorbsi akan memperberat edema.

Diagnosis ISK didasarkan dari :

1. Anamnesis : pasien mengeluh demam, dimana pada ISK sebagian besar gejala
klinisnya didapatkan demam, disamping didapatkan keluhan nyeri saat berkemih.
Namun, pada pasien tidak didapatkan keluhan nyeri BAK, BAK normal, warna
urin tidak ada keruh, atau pun warna merah seperti darah.
ISK bawah frekuensi,disuria terminal,polakisuria,nyeri suprapubik.ISK atas :nyeri
pinggang,demam,menggigil,mual dan muntah,hematuria
2. Pemeriksaan Fisik : pada pasien tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan
fisik. Pada ISK biasanya didapatkan febris,nyeri tekan suprapubik,nyeri ketok
sudut kostovertebra
3. Laboratorium : lekositosis,lekosituria,kultur urin (+): bakteriuria > 105/ml urin.
Pada pasien ini didapatkan leukositosis, leukosituria dan bakteri + 1 pada urin.

Pada pasien ini mendapat terapi :

 Injeksi Ceftizoxim 2 x 1 gr IV
Merupakan antibiotic golongan sefalosporin generasi ke 3 indikasi pada os untuk
penyakit infeksi sekunder saluran pernafasan. Dosis: 40-80mgxkgbb/hari dibagi
dalam 2-4 dosis  1 x 1,5 g iv . Efek samping: Reaksi hipersensitif, gangguan GI
tract, sakit kepala. Pada pasien ini diberikan karena terdapat ISK, didaptkan tanda-
tanda infeksi, yaitu dari hasil leukosit : 20. 250 /UL, sedimen leukosit 10- 15 /LPB,
bakteri 1+ pada urin. Pemberian antibiotic pada kasus ini bertujuan untuk mencegah
adanya komplikasi infeksi oleh karena hipoalbuminemia maupun karena paemberian
steroid yang dapat menurunkan daya tahan tubuh.

20
 Injeksi Ranitidine 2 x 20 mg IV
Golongan AH2. Melindungi mukosa lambung dengan menghambat perangsangan
sekresi asam lambung. Dosis: 2 x 20mg. Efek samping:sakit kepala, pusing, gang-
guan GI, ruam kulit.
 Injeksi Lasix 2 x 15 mg IV
Diberikan pada pasien untuk menghilangkan oedemnya.
 Aspar K 3 x 1/2 tb
Diberikan pasien untuk koreksi kehilangan kalium akibat pemberian diuretic ( Lasix).
 Injeksi Albapur 20% 100 cc IV
Merupakan albumin manusia. Pada kasus ini OS mengalami hipoalbuminemia yang
menjadi indikasi pemberian Albapur ini.

Dosis:
Hanya digunakan melalui infus intravena.
Hipoproteinemia :

dewasa : 250-375 ml.

anak-anak : 125 ml.

Kecepatan penggunaan tidak boleh melebihi 2 ml/menit.


Syok : dosis awal 100 ml dengan kecepatan 2-4 ml/menit.
Dosis total tidak boleh melebihi 2 gram/kg berat badan jika tidak terjadi perdarahan
aktif.
Luka bakar : pada 24 jam pertama 100-400 ml dengan kecepatan sekitar 1 ml/menit.
lewat dari 24 jam : konsentrasi Albumin dalam plasma dijaga pada 25 gram/liter.
sindroma gangguan pernapasan pada orang dewasa : 250 ml selama 24 jam pertama
bersama dengan terapi diuretika.
Selanjutnya dosis disesuaikan untuk memelihara tanda-tanda vital.
Hemodialisis : 100-200 ml pada akhir prosedur dialisis.
Pertukaran plasma terapeutika : ganti derajat Albumin pada basis g-for-g, seperti
penghilangan 2,5 Liter plasma harus digantikan oleh 625 ml Albapure.

21
Rumus Kebutuhan Albumin : 0,8 x BB x ( Albumin Normal – Albumin Pasien )

Pada pasien : 0,8 x 44,8 kg x ( 4,0- 1,71 ) = 82, 07

Albumin 20 % = (82, 07 : 20 ) x 100 = 410. 368 cc

 Inj. Somerol 2 x 20 mg IV
Merupakan metilprednisolon. Pengobatan kortistreroid (prednison) dimulai dengan
dosis 60 mg/m2/24jam (maksimum dosis 60 mg/ hari), dibagi menjadi tiga atau empat
dosis. Waktu yang dibutuhkan untuk berespon dengan prednison sekitar 2 minggu,
responnya ditetapkan pada saat urin bebas protein 3 hari berturut-turut. Jika anak
berlanjut menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah satu bulan pemberian
prednison dosis terbagi secara terus-menerus setiap hari, maka disebut resisten steroid
dan terindikasi melakukan biopsi ginjal untuk menentukan penyebab penyakit yang
tepat.
Lima hari setelah urin bebas protein (negatif, sedikit sekali atau +1 pada dipstick),
dosis prednison diubah menjadi 60mg/m2 (maksimal 60mg) diberikan selang sehari
sebagai dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Setelah periode selang sehari
tersebut, prednison dapat dihentikan secara mendadak.

Pada kasus ini pasien diberikan prednison, karena merupakan kortikosteroid pilihan
pertama untuk kasus yang pertama kali terjadi. Dosis prednison yang diberikan pada
pasien ini masih kurang efektif. Seharusnya dosis yang diberikan adalah 45 mg
(2mg/kgBB/hr). Pengobatan imunosupresif diberikan dalam jangka panjang oleh
karena itu harus diperhatikan efek samping dari pemberian kortikosteroid.

Efek samping :

 gastritis
 ulkus peptikum
 hipotrofi otot skelet
 osteoporosis
 penurunan daya tahan tubuh
 hipotrofi korteks kelenjar adrenal

22
 gangguan elektrolit : retensi Na dan kehilangan K
 efek katabolik : kehilangan protein
 edema
 gangguan pertumbuhan
 kulit :pioderma, dermatosis akneformis, hipotrofi, purpura, telangiektasi,
hiperpigmentasi
 moon face
 hipertrikosis
 sindrom chusing

 Captopril 3 x 12, 5 mg P.O


Captopril merupakan obat antihipertensi dan efekif dalam penanganan gagal jantung
dengan cara supresi sistem renin angiotensin aldosteron. Renin adalah enzim yang di-
hasilkan ginjal dan bekerja pada globulin plasma untuk memproduksi
angiotensin I yang besifat inaktif. "Angiotensin Converting Enzyme" (ACE), akan
merubah angiotensin I menjadi angiotensin Il yang besifat aktif dan merupakan va-
sokonstriktor endogen serta dapat menstimulasi sintesa dan sekresi aldosteron dalam
korteks adrenal. Peningkatan sekresi aldosteron akan mengakibatkan ginjal meretensi
natrium dan cairan, serta meretensi kalium.
Dalam kerjanya, kaptopril akan menghambat kerja ACE, akibatnya pembentukan an-
giotensin ll terhambat, timbul vasodilatasi, penurunan sekresi aldosteron sehingga
ginjal mensekresi natrium dan cairan serta mensekresi kalium.
Keadaan ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah dan mengurangi beban jan-
tung, baik 'afterload' maupun 'pre-load', sehingga terjadi peningkatan kerja jantung.
Vasodilatasi yang timbul tidak menimbulkan reflek takikardia
Dosis:
Dewasa: Hipertensi,dosis awal: 12,5 mg tiga kali sehari.
Bila setelah 2 minggu, penurunan tekanan darah masih belum memuaskan maka dosis
dapat ditingkatkan menjadi 25 mg tiga kali sehari.

23
Bila setelah 2 minggu lagi, tekanan darah masih belum terkontrol sebaiknya ditam-
bahkan obat diuretik golongan tiazida misal hidroklorotiazida 25 mg setiap
hari.

24
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Epidemiologi

Secara keseluruhan prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasus per
100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar15,5/100.000. 3 Sindrom nefrotik
primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakan sindrom nefrotik
sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per 100.000 anak. Prevalensi di
indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan
berkisar 2:1. dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5 tahun.2

Di Amerika insidens nefrotik sindrom dilaporkan 2-7 kasus pada anak per 100.000 anak
per tahun. Pada dewasa biasanya menderita glomerulopaty yang bersifat sekunder dari penyakit
sistemik yang dideritanya, dan jarang merupakan sindrom nefrotik primer atau idiopatik 1. Pada
pasien sindrom nefrotik angka mortalitas berhubungan langsung dengan proses penyakit
primernya, tapi bagaimanapun sekali menderita sindrom nefrotik, prognosisnya kurang baik
karena1:

1. sindrom nefrotik meningkatkan insiden terjadinya gagal ginjal dan komplikasi sekunder
(trombosis, hiperlipidemia, hypoalbuminemia).
2. pengobatan berkaitan dengan kondisi; peningkatan insidens infeksi karena pemakaian
steroid, dan dyscaria darah karena obat imunosupresif lain.
Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering pada anak dibanding dewasa, dan kebanyakan kasus
nefrotik sindrom primer pada anak merupakan penyakit lesi minimal1,3.Prevalensi penyakit lesi
minimal berkurang secara proprosional sesuai dengan umur onset terjadinya penyakit. Fokal
segmental glomerosclerosis (FSGS) merupakan sub kategori nefrotik sindrom kedua tersering
pada anak dan frekuensi kejadiannya cenderung meningkat. Membrano proloferatif
glomerulonephritis (MPGN) merupakan sub kategori sindrom nefrotik yang biasanya terjadi
pada anak yang lebih besar dan adolescent. Kurang lebih 1 % dari sindrom nefrotik pada anak
dan adolescent dan kelainan ini dihubungkan dengan hepatitis dan penyakit virus lain.3

25
Etiologi

Nefrotik sindrom dapat bersifat primer, sebagai bagian dari penyakit sistemik, atau
sekunder karena beberapa penyebab.

Penyebab primer diantaranya1:

1. post infeksi
2. Colagen vaskular disease (SLE, rheumatoid arthritis, polyarteritis nodosa)
3. Henoch-Schönlein purpura
4. Hereditary nephritis
5. Sickle cell disease
6. Diabetes melitus
7. Amyloidosis
8. Malignancy (leukemia, lymphoma, Wilms tumar, pheochromocytoma)
9. Toxin (sengatan lebah, racun ular)4
10. obat-obatan (probenecid, fenoprofen, catopril, lithium, wafarin, penicilamine, mercury,
gold, trimethadione, para metadione, AINS) 4
11. Penggunaan Heroin
Penyebab sekunder berhubungan dengan keadaan post infeksi mencakup1:

1. Group A beta-hemolytic streptococcus


2. syphilis
3. Malaria
4. Tuberkulosis
5. infeksi virus (varicella, hepatitisB, HIV tipe1, infeksi mononukleosis)
Kebanyakan (90%) anak yang menderita sindrom nefrotik mempunyai beberapa bentuk
sindrom nefrotik idiopatik, diantaranya ; penyakit lesi minimal sekitar 85%, proliferasi
mesangium 5%, dan sklerosis setempat 10%. Pada 10% anak sisanya menderita nefrosis.
Sindrom nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis dan yang
tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif.5

26
Klasifikasi Histopatologis

Klasifikasi kelainan histopatologis pada SN yang digunakan sesuai dengan rekomendasi


Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan dengan
pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi. Pada tabel di bawah ini dipakai istilah/terminologi yang sesuai dengan laporan
ISKDC (1970) dan Habib dan Kleinknecht (1971).

Tabel Klasifikasi Kelainan Glomerulus Pada SN Primer

Kelainan minimal (KM)

Glomerulosklerosis (GS)

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)

Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif

Glomerulonefritis kresentik (GNK)

Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

GNMP tipe I dengan deposit subendotelial

GNMP tipe II dengan deposit intramembran

GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial

Glomerulopati membranosa (GM)

Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sindrom nefrotik yang terjadi sebelum bayi berumur 3 bulan disebut sindrom nefrotik
kongenital (SNK), sedang SN yang menunjukkan gejala dalam tahun pertama kehidupan (3-12

27
bulan) disebut sindrom nefrotik infantil (SNI). SNK adalah sindrom nefrotik yang terdapat pada
bayi pada saat lahir ataupun sebelum lahir. Namun gejala proteinuria berat, edema dan
hipoalbuminemia ditemukan beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan kemudian.
Klasifikasi SN dengan awitan dini haruslah memenuhi beberapa kriteria, termasuk riwayat
keluarga, perjalanan penyakit, pemeriksaan laboratorium dan histopatologi ginjal. Klasifikasi
sindrom nefrotik kongenital dan infantil.

Tabel Klasifikasi SN Kongenital dan Infantil

Idiopatik

Sindrom nefrotik kongenital tipe Finlandia

Sklerosis mesangial difus

Kelainan glomerulus lainnya

Sekunder

Sifilis kongenital

Infeksi perinatal lainnya

Intoksikasi merkuri

Sindromatik

Sindrom Drash

Sindrom malformasi lainnya

PATOFISIOLOGI

Proteinuria

28
Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN, sedangkan gejala klinis
lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan “berat” untuk
membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik.
Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap
proteinuria berat.

Selektivitas protein

Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan
dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan
disebut sebagai proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan glomerulus yang lain, keluarnya
protein terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul besar, dan jenis
proteinuria ini disebut proteinuria non selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan
secara sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio
urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0,2 menunjukkan adanya proteinuria
selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap
steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk
membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan pemeriksaan ini sehingga
pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.

Perubahan pada filter kapiler glomerulus

Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal tergantung pada tipe


kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral dengan
semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti
albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelainan utama pada SNKM ini ialah hilangnya
sawar muatan negatif selektif. Namun pada SN dengan glomerulonefritis proliferatif klirens
molekul kecil menurun dan yang bermolekul besar meningkat. Keadaaan ini menunjukkan
bahwa di samping hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran
celah pori atau kelainan pada kedua-duanya.

29
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna
dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan negatif, seperti
albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan heparitinase mengakibatkan
timbulnya albuminuria.

Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu suatu polianion yang terdapat pada tonjolan
kaki (foot procesus) sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini yang
penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Suatu
protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung
asam sialat ditemukan terbanyak pada daerah ini. Sialoprotein menurun ditemukan pada berbagai
kelainan glomerulus termasuk kelainan pada model eksperimental nefrosis aminonukleosid. Pada
SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang
menyebabkan hilangnya proteinuria.

Hipoalbuminemia

Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan
seimbang, laju sintesis albumin, degradasi dan hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak
dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin dan derajat
hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak merupakan korelasi yang ketat, terutama pada anak
dengan proteinuria yang menetap lama dan tidak responsif steroid, albumin serumnya dapat
kembali normal atau hampir normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein.
Laju sintesis albumin pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan
meningkat atau normal. Satu penelitian pada anak ditemukan kenaikan laju sintesis dua kali pada
SN (dan pada anak dengan hipoalbuminemia dengan penyebab non hepatik lainnya)
menunjukkan bahwa kapasitas meningkatkan sintesis hati terhadap albumin tidak cukup untuk
mengkompensasi laju kehilangan albumin yang abnormal.

Jumlah albumin absolut yang didegradasi masih normal atau di bawah normal, walaupun
apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif, maka katabolisme pool
fraksional yang menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya katabolisme albumin di

30
tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju
katabolisme absolut yang normal atau menurun. Jadi pada keadaan hipoalbuminemia yang
menetap, konsentrasi albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya
ekskresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama
disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya
sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya α globulin, α-1
globulin (normal atau rendah), dan α-2 globulin, β globulin dan fibrinogen meningkat secara
relatif atau absolut. Meningkatnya α-2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein berberat
molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa pasien,
terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.

Kelainan metabolisme lipid

Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan kenaikan ini
tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara
konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat
normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien dengan analbuminemia
kongenital dapat juga timbul hiperlipidemia yang menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak
hanya disebabkan oleh penyakit ginjalnya sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein
densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-
kadang sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat
pada anak-anak dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap
rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang
meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal.
Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan
sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid
dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya degradasi ini rupanya
berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas lipase lipoprotein.
Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya α-glikoprotein asam sebagai
perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan
pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini
mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya, karena efek yang sama dapat ditimbulkan

31
dengan pemberian infus polivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada
beberapa pasien, HDL tetap meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain
VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuen yang menetap bahkan selama remisi.
Lipid dapat juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltese cross. Titik
lemak itu merupakan tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross
tersebut adalah ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apabila dilihat
dengan cahaya polarisasi.

Edema

Keterangan klinik pembentukan edema pada sindrom nefrotik sudah dianggap jelas dan
secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa mekanisme hipotesis
ini tidak dapat memberikan penjelasan yang lengkap. Teori klasik mengenai pembentukan edema
ini (underfilled theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan
cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus,
albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia (lihat gambar 16-1).
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular.
Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema.

Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik koloid plasma ↓

Volume plasma ↑

32
Retensi Na renal sekunder ↑

Edema

Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri dalam
peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau
volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular
agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan,
yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat
gerak cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat
keseimbangan hingga edema stabil.

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron
sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN.
Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas
renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini
retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung
pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume
plasma dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam ruang interstitial. Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang
tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron menurun sekunder terhadap hipovolemia.

Kelainan glomerulus

33
Retensi Na renal primer

Albuminuria

Volume plasma ↑ Hipoalbuminemia

Edema

Meltzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik.
Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer dengan kadar
renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan kadar
albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik patofisiologis kelompok
ini sesuai dengan teori tradisional underfilled yaitu retensi natrium dan air merupakan fenomena
sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai dengan volume plasma
tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan aldosteron rendah yang meningkat
sesudah persediaan natrium habis. Kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik
dengan LFG yang relatif rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok pertama.
Karakteristik patofisiologi kelompok kedua ini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan
retensi air dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal.

Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin saja
kedua proses underfilled dan overfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada
individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis.
Akibat mengecilnya volume intravaskular akan merangsang keluarnya renin dan menimbulkan
rangsangan nonosmotik untuk keluarnya hormon antidiuretik. Dengan meningkatnya produksi
renin terjadi rentetan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron. Akibat akhir ialah terjadinya
retensi natrium dan air dengan keluarnya volume urin yang sedikit dan pekat dengan sedikit
natrium. Berkaitan dengan teori ini masih merupakan teka-teki bahwa pada pasien
analbuminemia kongenital terdapat sedikit atau tanpa edema dan umumnya diagnosis tidak
dibuat sampai anak menjadi dewasa.

34
Terjadinya edema pada pasien-pasien ini rupanya dapat dicegah dengan menurunkan
tekanan hidrostatik kapiler yang bersamaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan kenapa tidak
terjadi mekanisme kompensasi yang sama pada SN? Apabila volume plasma pada pasien diukur
ternyata tidak menurun semua. Meltzer dkk melaporkan pada dua kelompok pasien dewasa, yang
pada satu kelompok keadaannya sesuai dengan teori klasik dengan SNKM, hipovolemia,
konsentrasi plasma renin dan aldosteron tinggi dan responsif steroid. Kelompok kedua, volume
darah meningkat dengan renin dan aldosteron rendah dan pasien ini resisten steroid dengan
kelainan BKM. Penelitian lain memperkuat edema nefrotik dengan volume plasma renin dan
aldosteron yang meningkat normal atau rendah. Apabila diteliti selama retensi natrium dan
peningkatan berat badan yang progresif maka banyak pasien mempunyai konsentrasi renin dan
aldosteron yang normal atau rendah menunjukkan bahwa retensi natrium tidak bergantung pada
rangsangan sistem renin angiotensin aldosteron. Bahkan pada mereka dengan renin dan
aldosteron yang tinggi reabsorpsi natrium terus berlangsung walaupun dilakukan supresi renin
baik dengan infus albumin atau kaptopril. Bila reabsorpsi natrium pada tubulus proksimal
menurun maka seharusnya retensi natrium terjadi pada nefron distal. Observasi ini menyokong
observasi klinik yang menunjukkan bahwa retensi natrium pada SN disebabkan oleh faktor-
faktor intrarenal.

Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi umumnya
menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan volume darah
normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya menderita kelainan BKM
dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang berguna
untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid atau tidak di samping adanya
SNKM. Namun derajat tumpang tindihnya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan
pasien antara kedua kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida
natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti. Anak-anak
dengan SN responsif steroid dalam keadaan relaps dilaporkan mempunyai konsentrasi ANP yang
tidak berbeda dengan kontrol. Namun, dengan pemberian infus albumin atau imersi air untuk
ekspansi volume intravaskular akan terjadi diuresis yang diikuti dengan peningkatan ANP
sebanyak lima kali, yang menunjukkan bahwa ANP berperan pada diuresis sesudah ekspansi
volume.

35
Manifestasi Klinik

Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi;menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak
pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan urin berbusa. Abdomen mungkin
membesar karena adanya akumulasi cairan di intraperitoneal (Asites), dan sesak napas dapat
terjadi karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal
yang meningkat akibat asites. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki,
scrotum ataupun labia mayor. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis dan
prolaps ani.2

Seringkali cairan yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi sehingga bengkak
dapat berpindah-pindah. Saat malam cairan terakumulasi di tubuh bagian atas seperti kelopak
mata. Disaat siang hari cairan terakumulasi dibagian bawah tubuh seperti ankles, pada saat
duduk atau berdiri.

Pada anak tekanan darah umumnya rendah dan tekanan darah dapat turun sekali saat
berdiri (orthostatic hypotension), dan shock mungkin dapat terjadi. Produksi urin dapat menurun
dan renal faillure dapat terjadi jika terjadi kebocoran cairan dari dalam pembuluh darah
kejaringan sehingga suplai darah ke ginjal berkurang. Biasanya renal failure dengan kurangnya
produksi urin terjadi tiba-tiba.

Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta anoreksia,
dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering dialami oleh pasien
dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitang dengan adanya infeksi, namun
diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat di temukan, hal ini
dikaitkan dengan sinteis protein yang meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat
nyeri perut kuadran kanan atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut. 2

Pada anak dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi psikososial yang
merupakan akibat stess nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang.

Komplikasi

1. Infeksi

36
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat dari
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Peningkatan
kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh5:

- penurunan kadar imunoglobulin


kadar IgG pada anak dengan sindrom nefrotik sering sangat menurun, dimana
pada suatu penelitian didapkan rata-rata 18% dari normal. Sedangkan kadar IgM
meningkat. Hal ini menunjukan kemungkinan ada kelainan pada konversi yang
diperantarai sel T pada sintesis IgG dan IgM

- cairan edema yang berperan sebagai media biakan.2


- defisiensi protein,
- penurunan aktivitas bakterisid leukosit,
- imunosupresif karena pengobatan,
- penurunan perfusi limpa karena hipovolemia,
- kehilangan faktor komplemen (Faktor properdin B) dalam urin yang meng
oponisasi bakteria tertentu.
Pada Sindrom nefrotik terdapat peningkatan kerentanan terhadap bakteria tertentu seperti 1
:

- Streptococcus pneumoniae,
- Haemophilus influenzae,
- Escherichia coli,
- Dan bakteri gram negatif lain
Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelas sebabnya.
Jenis infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain; sepsis, pnemonia, selulitis dan ISK.
Terapi profilaksis yang mencakup gram positif dan gram negatif dianggap penting untuk
mencegah terjadinya peritonitis. 5

2. Kelainan koagulasi dan trombosis


Kelainan hemostatic ini bergantung dari etiologi nefrotik sindrom, pada kelainan
glomerulopati membranosa sering terjadi komplikasi ini, sedang pada kelainan minimal
jarang menimbulkan komplikasi tromboembolism1,2. Pada sindrom nefrotik terdapat

37
peningkatan faktor-faktor I, II, VII, VII, dan X yang disebabkan oleh meningkatnya
sintesis oleh hati dan dikuti dengan peningkatan sintesis albumin serta lipoprotein.
Terjadi kehilangan anti trombin II, menurunya kadar plasminogen, fibrinogen plasma
meningkat dan konsentrasi anti koagulan protein C dan protein S meningkat dalam
plasma4. Secara ringkas kelainan hemostatik pada Sindrom nefrotik dapat timbul dari dua
mekanisme yang berbeda2:

- peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:


 meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti anti
trombin III, protein S bebas, plasminogen dan α antiplasmin
 hipoalbuminuria mengakibatkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2,
meningkatkan sintesis protein pro koagulan karena hiporikia dan tekanan
fibrinolisis.
- Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan
monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang
selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
3. Pertumbuhan abnormal
Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan pertumbuhan (failure to
thrive), hal ini dapat disebabkan anoreksia hypoproteinemia, peningkatan katabolisme
protein, atau akibat komplikasi penyakit infeksi, mal absorbsi karena edem saluran
gastrointestinal.1,2

Dengan pemberian kortikosteroid pada sindrom nefrotik dapat pula menyebabkan


gangguan pertumbuhan. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan dalam jangka waktu
yang lama, dapat menghambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan linier;
terutama apabila dosis melampaui 5mg/m2/hari. Walau selama pengobatan kortikosteroid
tidak terdapat pengurangan produksi atau sekresi hormon pertumbuhan, tapi telah
diketahui bahwa kortikosteroid mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau
eksogen pada tingkat jaringan perifer , melalui efeknya terhadap somatomedin.

4. Perubahan hormon dan mineral


Pada pasien Sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat
hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada

38
beberapa pasien Sindrom nefrotik dan laju eksresi globulin umumnya berkaitan dengan
beratnya proteinemia. Hipo kalsemia pada sindrom nefrotik berkaitan dengan disebabkan
oleh albumin serum yang rendah dan berakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi
trionisasi tetap normal dan menetap.2

5. Anemia
Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik.
Anemianya hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten
terhadap prefarat besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah anemia nya
terjadi karena pengenceran. Pada beberapa pasien terdapat transferin serum yang sangat
menurun, karena hilangnya protein ini dalam urin dalam jumlah besar.

Diagnosis

Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan


laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis 3. Anak
dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1-8 tahun agaknya menderita penyakit lesi minimal
yang responsif terhadapt kortikosteroid. Penyalit lesi minimal tetap lazim pada anak usia diatas 8
tahun, tetapi glomerulonefritis membranosa dan membranoploriferatif frekuensinya menjadi
semakin sering. Pada kelompok ini biopsi ginjal dianjurkan biopsi ginjal untuk menegakan
diagnostik sebelum pertimbangan terapi.

Pada analisa urin didapatkan proteinuria +3 atau +4; mungkin ada hemeturia
mikroskopis, tapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau
menurun. Klirens protein melebihi 2 gr/24 jam. Kadar kolesterol dan trigliserid serum naik,
kadar albumin serum biasanya kurang dari 2 g/dl (20g/L). Dan kadar kalsium serum total
menurun, karena penurunan fraksi terikat albumin. Kadar C3 biasanya normal.5

Penatalaksanaan

1. Terapeutik

39
Obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup kortikosteroid,
levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine. Respon terhadap pengobatan dengan
kortikosteroid berhubungan dengan tipe histopatologi sindrom nefrotik.

ISKDC melaporkan sekitar 91,8% pasien yang bererpon terhadap kotikosteroid


mempunyai kelainan minimal glomeruloneprithis, dibandingkan dengan 25% pasien yang
tidak respon. Pada pasien yang tidak berespon terhadap kortikosteroid dan berusia
dibawah 6 tahun, 50 % merupakan kelainan minimal glomerulonepritis. Dan pada usia
lebuh dari 6 tahun hanya 3,6% yang mempunyai kelainan minimal glomerulonepritis.
The Southwest Pediatric Nephrology Study Group melaporkan sekitar 63% pasien
dengan diffuse membranous hypercellularity, dan 30% pasien dengan focal
glomeruralscerosis berespon terhadap kortikosteroid. 1

Pengobatan kortistreroid (prednison) dimulai dengan dosis 60 mg/m 2/24jam (maksimum


dosis 60 mg/ hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis. Waktu yang dibutuhkan untuk
berespon dengan prednison sekitar 2 minggu, responnya ditetapkan pada saat urin bebas
protein 3 hari berturut-turut. Jika anak berlanjut menderita proteinuria (+2 atau lebih)
setelah satu bulan pemberian prednison dosis terbagi secara terus-menerus setiap hari,
maka disebut resisten steroid dan terindikasi melakukan biopsi ginjal untuk menentukan
penyebab penyakit yang tepat.

Lima hari setelah urin bebas protein (negatif, sedikit sekali atau +1 pada dipstick), dosis
prednison diubah menjadi 60mg/m2 (maksimal 60mg) diberikan selang sehari sebagai
dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Setelah periode selang sehari tersebut,
prednison dapat dihentikan secara mendadak.

Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan sebagai
berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria. Karena pada anak dengan keadaan ini
menderita proteinuria intermiten yang menyembuh spontan. Sejumlah kecil pasien yang
berespon terhadap terapi dosis terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan segera
setelah perubahan ke atau setelah penghentian terapi selang sehari, penderita demikian
disebut tergantung steroid.

40
Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas steroid (muka
cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh) harus dipikirkan terapi imuno supresif lain.

- Siklofosfamid, Dosis siklofosfamid 3 mg/kg/24jam sebagai dosis tunggal, selama


total pemberian 12 minggu (8 minggu 1). Terapi prednison tetap diteruskan selama
pemberian siklosfosfamid. Selama terapi dengan siklofosfamid, leukosit harus
dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah leukosit menurun
dibawah 5000/mm3. komplikasi lain berupa supresi sumsum tulang,hair loss,
azoospremia, hemorrhagic cystitis, keganasan, mutasi dan infertilitas.
- Levamison, adalah imunosimultan dengan efek steroid-sparing yang lemah
sehingga perlu penghentian terapi prednison. Dosis yang dipakai adalah 2,5 mg/kg
selama 4-12 bulan. Efek samping jarang ditemukan, tetapi dilaporkan dapat terjadi
neutropenia dan encelopathy. Obat ini tidak umum digunakan.
- Cyclosporin, adalah inhibitor fungsi limfosit T dan diindikasikan bila terjadi relaps
setelah terapi dengan cyclosfosfamid. Cyclosporin lebih disukai digunakan pada
anak laki-laki dalam masa pubertas yang beresiko menjadi azoospermia akibat
induksi siklosfosfamid. Cyclosporin dapat bersifat nefrotoksik, dan dapat
menyebabkan hisurtism, hipertensi dan hipertropi ginggiva.
2. Pengobatan supotif
Dalam penanganan pasien sindrom nefrotik harus diperhatikan tidak saja pendekatan
farmakologis terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya. Tapi juga ditujukan
terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele yang menyertainya. Pengobatan suportif
sangat penting bagi pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan
imunosupresif dan karena itu mudah mendapat komplikasi Sindrom nefrotik yang
berkepanjangan.

- terapi dietetik 1,2


 masukan garam dibatasi ± 2gram/hari untuk mengurangi keseimbangan natrium
yang positif
 diet tinggi kalori, protein dibatasi ± 2 gram/kgBB/hari.
 Diet vegetarian yang mengandung kedelai lebih efektif menurunkan
hiperlipidemia.

41
- Pengobatan terhadap edema.
Dengan pemberian diuretik tiazid ditambah dengan obat penahan kalium
(spirinolakton, triamteren). Bila tidak ada respon dapat digunakan furesemid, asam
etekrinat atau bumetamid. Dosis furosemid 25-1000mg/ hari dan paling sering
dipakai karena toleransinya baik walau dengan dosis tinggi.

- Proteinuria dan hipoalbuminemia


 ACE inhibitor mempunyai efek antiproteinuria, efek bergantung pada dosis, lama
pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan ACE inhibitor dimulai dengan
dosis rendah dan secara progresif ditingkatkan sampai dosis toleransi maksimal.

 Obat-obat anti inflamasi nonsteroid dapat menurunkan protreinuia sampai 50%,


efek ini disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler terhadap protein,
nenurunnya tekanan kapiler intraglomerural dan atau karena menurunnya luas
permukaan filtrasi. Indometasin (150mg/hari) dan meklofenamat
(200-300mg/hari) merupakan obat yang sering dipakai.

 n-3 asam lemak takjenuh (polyunsaturated fatty acid) dapat mengurangi


proteinuria sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti.

- Hiperlipidemia
Pada saat ini penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan simvastatin
merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada sindrom nefrotik.

- Hiperkoagulabilitas
Pemakaian obat anti koaagulan terbatas pada keadaan terjadinya resiko
tromboemboli seperti; tirah baring lama, pembedahan, saat dehidrasi, atau saat
pemberian kortikosteroid iv dosis tinggi.

Prognosis

Pronosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi.


Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak kasus dalam 2-18 bulan

42
akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan
minimal glomerulus sangat baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid;
sekitar 50% mengalami 1-2 kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu
10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode.
Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif
renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien, dan kematian pada pasien kelainan minimal
biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi ekstra renal.

Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental glomerulonefritis
sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien yang mengalamai relaps
menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit renal stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien
dalam lima tahun, dan 30-40% dalam sepuluh tahun.

Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation mengalami remisi
komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed remisi. Dua puluh
persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6% menjadi renal isufisiensi yang
progresif. Prognosis pada pasien dengan membranoproliferatif glomerulonephropaty umumnya
kurang baik, dan keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan,
tidak ada perbedaan evidence hasil antara pemberian pengobatan dengan tampa pengobatan pada
pasien ini, karena sekitar 30% pasien akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun. 1

43
BAB IV

KESIMPULAN

Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh
Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat,
hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal1

Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang
dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Prevalensi nefrotik syndrome pada anak
berkisar 2-5 kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar
15,5/100.000.3

Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled dan
teori overfille. Gejala awal pada sindroma nefrotik meliputi; menurunnya nafsu makan, malaise,
bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropi dan urin berbusa.

Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan pada deskripsi histologi
dan dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah diketahui.3

Komplikasi pada sindromnrfrotik antara lain :

1. Infeksi
2. Kelainan koagulasi dan trombosis
3. Pertumbuhan abnormal
4. Perubahan hormon dan mineral
5. Anemia
Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan
laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis3

Penatalaksanaan

44
1. Terapeutik, obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup
kortikosteroid, levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine.

2. Pengobatan supotif (Hiperlipidemia, Hiperkoagulabilitas, edema, Proteinuria dan


hipoalbuminemi) serta terapi dietetik 1,2
Prognosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi.
Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk Sedangkan prognosis untuk anak
dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Agraharkar Mahendra, Nefrotik Syndrome. www.emedicine.com Last Update: september


2, 2006
2. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO : Sindrom Nefrotik, Buku Ajar
Nefrologi Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2007
3. Travis Luther, Nephrotic Syndrome. www.emedicine.com. Last Update: april14, 2006.
4. Nephrotic Syndrome, The Merck Manual Diagnosis and Therapy.
www.Merckmanual.com.
5. Behram, Kleigman, Arvin. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15. EGC Jakarta 2008
6. Wiguna P., 2009. Dalam Ilmu penyakit dalam: Interna publishing. Jakarta.
7. Ahmed M.S.& Wong C.F., 2007. Rituximab and nephrotic syndrome: a new therapeutic
hope? Nephrol Dial Transplant (2008) 23: 17–19
8. Cohen E.P., 2009. Nephrotic Syndrome. www.emidicine.com.
9. Effendi I.& Pasaribu R., 2006.Edema Patofisiologi dan Penanganan dalam Aru W.S.,
Bambang S., Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal.513-15
10. Hartoko B., 2008. Art of Therapy. Yogyakarta. Pustaka Cendikia Press Yogyakarta. Hal.
69-70

46

Anda mungkin juga menyukai