e
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
j
NIM : 030.08.263
I IDENTITAS PASIEN
a
Nama : An. T
Umur : 13 tahun
l
Alamat : Jl. Rorotan 9 Gang 4 RT 05 RW 10 Cakung Timur
a
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
MR : 01-23-92-35
i
Masuk RS : 1 April 2013
Orang tua/wali
Ayah
r
• Nama : Tn. S
• Agama : Islam
i
1
• Suku : Jawa
• Alamat Pekerjaan: -
• Penghasilan : -
Ibu
• Nama : Ny. S
• Agama : Islam
• Suku : Jawa
• Pekerjaan : Swasta
• Alamat Pekerjaan : -
• Penghasilan: ±1.000.000/bulan
II ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA
KELUHAN TAMBAHAN
OS datang ke IGD RSUD Koja dengan keluhan kedua kaki bengkak sejak 3 hari SMRS.
OS rujukan dari Puskesmas Kelurahan Cakung Timur. OS mengaku pada awalnya, OS tidak
2
menyadari kalau kedua kakinya bengkak. Namun, OS mengaku 3 hari SMRS OS bermain futsal,
setelah itu kedua kakinya terlihat bengkak. OS merasa saat memakai sepatu futsalnya seperti
kekecilan. Apabila bengkak ditekan terasa lunak dan meninggalkan bekas setelah ditekan. Perut
pasien membuncit tetapi tidak kembung. Pasien tidak pernah sakit kuning sebelumnya. Keluhan
bengkak tersebut tidak dirasakan sakit. Bengkak tersebut tidak disebabkan oleh gigitan serangga.
OS juga mengaku 3 hari SMRS pipi OS menjadi tembem, dan matanya seperti bengkak
saat bangun tidur di pagi hari sejak ± 1 minggu SMRS. OS mengaku matanya menjadi sipit.
Keluhan tidak disertai sesak napas dan batuk. OS mengaku ada demam 2 hari SMRS. BAK dan
BAB lancar dan normal. Warna air seni kuning tidak ada warna kemerahan. Ibu pasien
menyangkal pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan lain yang menyebabkan badannya
bengkak.
Saat ini OS telah menjalani perawatan di RS selama 6 hari, OS mengaku bengkak pada
kedua kakinya telah menghilang dan tidak ada bengkak pada kedua kelopak matanya lagi disaat
bangun tidur di pagi hari. OS mengaku BAB dan BAK tidak ada gangguan. Saat ini OS mengaku
batuk namun tidak berdahak.
Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat asma dan alergi
disangkal. Ibu OS mengaku tidak ada riwayat penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit
kuning sebelumnya.
RIWAYAT KEHAMILAN/KELAHIRAN :
3
Masa Gestasi Lebih bulan/Cukup Bulan/Kurang Bulan
Keadaan Bayi - Berat lahir: 3150 gr
- Panjang: 48 cm
- Ling.kepala: -
- Langsung Menangis
Pucat/Biru/Kuning/Kejang
- Nilai Apgar: tidak ada
- Kelainan Bawaan: tidak ada
Kesan : Lahir cukup bulan, tidak terdapat penyulit
● Psikomotor
● Perkembangan Pubertas
RIWAYAT MAKANAN
4
4-6 V
6-8 V
8-10 V V V
10-12 V V V V
2 tahun V V V V
Frekuensi / Hari : 2-3 kali sehari.
Jumlah / Hari : tidak tentu.
Kesan : pola makan cukup baik.
RIWAYAT IMUNISASI
5
HEPATITIS B 0 1 6
MMR X X
IPA
Kesan : Imunisasi dasar lengkap, imunisasi ulangan belum lengkap.
RIWAYAT KELUARGA
Pasien merupakan anak ke 3 dari tiga bersaudara berjenis kelamin laki-laki. Tidak ada keluarga
yang lahir mati maupun yang abortus. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki hal serupa.
Keadaan rumah : Rumah dengan ventilasi cukup baik dan cahaya matahari dapat masuk
melalui jendela. Satu rumah dihuni oleh 4 orang. Sumber air minum dan
air untuk kebutuhan rumah tangga lainnya berasal dari PAM (Perusahaan
Air Minum). Kamar mandi berada di dalam rumah.
Daerah / lingkungan : Lingkungan sekitar rumah cukup padat, saluran air lancar. Sampah-
sampah terkumpul pada tempat sampah dan dibersihkan oleh tukang
sampah 2-3 hari sekali secara teratur.
6
III. PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Frekuensi nadi : 88x per menit
Frekuensi napas : 20x per menit
Suhu tubuh : 37,4oC
Tekanan Darah :120/70 mmHg
64 kg – (30%) = 44,8 kg
Kepala :
1. Bentuk dan ukuran : Normocephali, ubun-ubun normal
2. Rambut dan kulit kepala : Hitam, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut
3. Mata : palpebra tidak cekung, oedem palpebra -/-, konjungtiva
tidak pucat, sclera tidak ikterik, reflek cahaya langsung +/+, reflek cahaya tidak langsung
+/+.
4. Telinga : Normotia, tidak tampak serumen dan tidak tampak sekret.
5. Hidung : Tidak ada deformitas, septum deviasi (-), sekret (-)
6. Bibir : Tidak kering, tidak sianosis
7
7. Mulut : Stomatitis (-), mukosa mulut tidak kering, gigi geligi
lengkap
8. Lidah : tidak kotor, tidak tremor
9. Faring : tidak hiperemis
Leher : KGB tidak teraba Trakea lurus di tengah
Toraks:
1. Dinding toraks : Bentuk normal, retraksi sela iga (+), iga vertikal, simetris dalam
keadaan statis dan dinamis
2. Paru
- Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
- Palpasi : Vokal fremitus simetris
- Perkusi : Sonor pada paru kedua lapang paru
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, ronkhi +/+, wheezing -/-
3. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V 1 cm medial garis midclavicularis sinistra,
tidak teraba thrill
- Auskultasi : BJ I normal, BJ II normal, regular, tidak ada splitting, tidak ada murmur,
tidak ada gallop
Abdomen:
- Inspeksi : buncit, tidak tampak distensi, tidak tampak vena collateral
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, undulasi (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor
kulit baik, lemas
- Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
Anus dan rectum : tidak ada kelainan
Kelenjar getah bening : Tidak teraba
Genitalia : Laki-laki
Anggota gerak : atas : akral hangat, deformitas (-), sianosis (-), oedem (-)
8
bawah : akral hangat, deformitas (-), sianosis (-), oedem (-)
Pemeriksaan neurologis
1. Refleks fisiologis : (+) Normal
2. Reflek patologis : (-)
3. Rangsang meningeal : (-)
Tulang belakang : tidak ada kelainan
Kulit : warna sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), turgor baik, kelainan kulit
lain(-)
9
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
139
Na 134-146 mmol/L
K 3,66 3,4-4,5 mmol/L
Cl 96-108 mmol/L
114
10
15100
Leukosit 38 4100-10900 /Ul
Hematokrit 4,56 36-46 %
Eritrosit 395000 4- 5 juta/Ul
Trombosit 82 140000-440000/Ul
MCV(VER) 80-100 fl
MCH (HER) 33 26-34 pg
MCHC (KHER) 31-36 g/dl
Hitung Jenis: 1
Basofil 1 0-2%
Eosinofil 0 0-5 %
Batang 69 2-6 %
Segmen 20 47-80 %
Limfosit 9 13-40 %
Monosit 80 2- 11 %
LED 14,3 <15 mm/jam
RDW 11,6- 14,8
Epitel 1+
Bakteri 1+
Kristal :
Ca Oksalat Negatif
Karbonat Negatif
Fosfat Negatif
Amorf Negatif
Negatif
Sel Ragi Negatif
Lain-lain
V. RESUME
Seorang anak laki-laki, usia 13 tahun dating ke IGD RSUD Koja dengan keluhan kedua
kaki bengkak sejak 3 hari SMRS. Apabila bengkak ditekan terasa lunak dan meninggalkan bekas
setelah ditekan. Perut pasien membuncit tetapi tidak kembung. Keluhan bengkak tersebut tidak
12
dirasakan sakit. Bengkak tersebut tidak disebabkan oleh gigitan serangga. OS juga mengaku 3
hari SMRS pipi OS menjadi tembem, dan matanya seperti bengkak saat bangun tidur di pagi hari
sejak 1 minggu SMRS. OS mengaku ada demam 2 hari SMRS. BAK dan BAB lancar dan
normal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi nadi 88x per menit, frekuensi napas 20x per
menit, suhu 37,4oC, tekanan darah 120/70 mmHg, status gizi obesitas (CDC). Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan leukosit 20.250/UL, LED 80 mm/jam, albumin 1.71 g/dl, globulin 3,10
g/dl, protein total 4,81 g/dl, kolesterol total 353 mg/dl. Pada pemeriksaan urinalisa didapatkan
warna urin kuning agak keruh, albumin 2+, keton 2+, darah samar 3+, sedimen eritrosit
10-15/LPB, sedimen leukosit 10-15/LPB, bakteri 1+.
Sindroma Nefrotik
ISK
Glomerulonefritis Akut
Pemeriksaan ASTO
Pemeriksan Komplemen C3
IX. PENATALAKSANAAN
13
- Inj. Ranitidin 2 x 20 mg IV
- Aspar K 3 x ½ tab P.O
- Captopril 2 x 12, 5 mg P.O
X. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad fungsionam: Dubia ad bonam
Ad sanasionam : Dubia ad bonam
XI. FOLLOW UP
Pemeriksaan Tanggal
7 April 2013 8 April 9 April
- Wajah sembab (-) - Wajah sembab (-) - Batuk (+)
S - Kelopak mata - Tangan dan kaki berkurang
Keluhan bengkak (-) bengkak (-) - Tadi malam
- Tangan dan kaki - Batuk (+) tidak demam (38,60C)
bengkak (-) berdahak
- Batuk (+), dahak
(-)
14
Keadaan ▪ Sakit Sedang ▪ Sakit Sedang ▪ Sakit Sedang
umum
Kesadaran ▪ Compos mentis ▪ Compos mentis ▪ Compos mentis
15
di semua di semua bawah
ekstrimitas ekstrimitas Sianosis (-)
Sianosis (-) Sianosis (-)
16
Keton Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Darah Samar 2+ Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobilinogen 0,2 0,1-1,0 EU
Sedimen :
Leukosit 1-3 <10 /LPB
Eritrosit 20-25 <1 /LPB
Silinder Negatif Negatif/LPK
Epitel 1+
Bakteri Negatif
Kristal :
Ca Oksalat Negatif
Karbonat Negatif
Fosfat Negatif
Amorf Negatif
Negatif
Sel Ragi Negatif
Lain-lain
BAB II
17
ANALISA KASUS
A. Pada pasien ini ditegakkan diagnosa Sindrom Nefrotik, karena dari hasil
I. Anamnesa: Pasien datang dengan keluhan utama muka bengkak terutama pada mata pada
saat bangun tidur pagi sejak 1 mgg SMRS, kaki bengkak sejak 3 hari SMRS, apabila
ditekan bengkak terasa lunak dan meninggalkan bekas pada lokasi penekanan.BAK warna
kuning agak keruh, darah (-).
II. Pemeriksaan fisik:
Tekanan darah 120/70 mmHg ( 150/110 mmHg pada saat di IGD). Mata : oedema palpebra
(+), ekstremitas : kaki kanan dan kiri :oedem (pitting oedem)pemeriksaan di IGD
Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema dapat menetap atau bertambah, baik
lambat atau cepat atau dapat menghilang dan timbul kembali. Lambat laun edema menjadi
menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya
menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orang tua sering mengeluh berat badan
anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan terjadinya
pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat. Timbulnya edema pada anak
dengan SN dapat bersifat perlahan-lahan, atau timbul secara lebih cepat dan progresif dalam
beberapa hari atau minggu. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di
kelopak mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi
berdiri. Edema pada anak pada awal perjalanan penyakit SN umumnya dinyatakan sebagai
lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang
menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara spontan dengan
keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan
asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai pada pasien ini
mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnutrisi sebagai tanda adanya
menyeluruh sebelumnya.
18
Laboratorium darah :
Leukosit 20.250/UL
LED 80 mm/jam
Albumin 1.71 g/dl
Globulin 3,10 g/dl
Protein total 4,81 g/dl
Kolesterol total 353 mg/dl
Urinalisa :
warna urin kuning agak keruh
Albumin 2+
Keton 2+,
Darah samar 3+
Sedimen eritrosit 10-15/LPB
Sedimen leukosit 10-15/LPB
Bakteri 1+.
Hal tersebut sesuai dengan definisi Sindrom nefrotik,yaitu suatu sindrom klinis dengan gejala :
1. Proteinuria masif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
>2mg/mg atau ≥2+)
2. Hipoalbuminemia ≤2.5 g/dl
3. Edema
4. Hiperkolesterolemia (>250 mg/dL)
Walaupun jarang, SN sering disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal.
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari
albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar
albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Sehingga pada pagi hari pasien akan mengeluhkan
ketika bangun tidur pada pagi hari sulit membuka mata dan pada siang hari kaki semakin
membengkak karena pada pagi hari cairan tertimbun di kelopak mata dan setelah berjalan cairan
akan tertimbun di pergelangan kaki.
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun
dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume
19
intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan
system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan
mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan merangsang peningkatan
aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan
hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini
mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan
air yang direabsorbsi akan memperberat edema.
1. Anamnesis : pasien mengeluh demam, dimana pada ISK sebagian besar gejala
klinisnya didapatkan demam, disamping didapatkan keluhan nyeri saat berkemih.
Namun, pada pasien tidak didapatkan keluhan nyeri BAK, BAK normal, warna
urin tidak ada keruh, atau pun warna merah seperti darah.
ISK bawah frekuensi,disuria terminal,polakisuria,nyeri suprapubik.ISK atas :nyeri
pinggang,demam,menggigil,mual dan muntah,hematuria
2. Pemeriksaan Fisik : pada pasien tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan
fisik. Pada ISK biasanya didapatkan febris,nyeri tekan suprapubik,nyeri ketok
sudut kostovertebra
3. Laboratorium : lekositosis,lekosituria,kultur urin (+): bakteriuria > 105/ml urin.
Pada pasien ini didapatkan leukositosis, leukosituria dan bakteri + 1 pada urin.
Injeksi Ceftizoxim 2 x 1 gr IV
Merupakan antibiotic golongan sefalosporin generasi ke 3 indikasi pada os untuk
penyakit infeksi sekunder saluran pernafasan. Dosis: 40-80mgxkgbb/hari dibagi
dalam 2-4 dosis 1 x 1,5 g iv . Efek samping: Reaksi hipersensitif, gangguan GI
tract, sakit kepala. Pada pasien ini diberikan karena terdapat ISK, didaptkan tanda-
tanda infeksi, yaitu dari hasil leukosit : 20. 250 /UL, sedimen leukosit 10- 15 /LPB,
bakteri 1+ pada urin. Pemberian antibiotic pada kasus ini bertujuan untuk mencegah
adanya komplikasi infeksi oleh karena hipoalbuminemia maupun karena paemberian
steroid yang dapat menurunkan daya tahan tubuh.
20
Injeksi Ranitidine 2 x 20 mg IV
Golongan AH2. Melindungi mukosa lambung dengan menghambat perangsangan
sekresi asam lambung. Dosis: 2 x 20mg. Efek samping:sakit kepala, pusing, gang-
guan GI, ruam kulit.
Injeksi Lasix 2 x 15 mg IV
Diberikan pada pasien untuk menghilangkan oedemnya.
Aspar K 3 x 1/2 tb
Diberikan pasien untuk koreksi kehilangan kalium akibat pemberian diuretic ( Lasix).
Injeksi Albapur 20% 100 cc IV
Merupakan albumin manusia. Pada kasus ini OS mengalami hipoalbuminemia yang
menjadi indikasi pemberian Albapur ini.
Dosis:
Hanya digunakan melalui infus intravena.
Hipoproteinemia :
21
Rumus Kebutuhan Albumin : 0,8 x BB x ( Albumin Normal – Albumin Pasien )
Inj. Somerol 2 x 20 mg IV
Merupakan metilprednisolon. Pengobatan kortistreroid (prednison) dimulai dengan
dosis 60 mg/m2/24jam (maksimum dosis 60 mg/ hari), dibagi menjadi tiga atau empat
dosis. Waktu yang dibutuhkan untuk berespon dengan prednison sekitar 2 minggu,
responnya ditetapkan pada saat urin bebas protein 3 hari berturut-turut. Jika anak
berlanjut menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah satu bulan pemberian
prednison dosis terbagi secara terus-menerus setiap hari, maka disebut resisten steroid
dan terindikasi melakukan biopsi ginjal untuk menentukan penyebab penyakit yang
tepat.
Lima hari setelah urin bebas protein (negatif, sedikit sekali atau +1 pada dipstick),
dosis prednison diubah menjadi 60mg/m2 (maksimal 60mg) diberikan selang sehari
sebagai dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Setelah periode selang sehari
tersebut, prednison dapat dihentikan secara mendadak.
Pada kasus ini pasien diberikan prednison, karena merupakan kortikosteroid pilihan
pertama untuk kasus yang pertama kali terjadi. Dosis prednison yang diberikan pada
pasien ini masih kurang efektif. Seharusnya dosis yang diberikan adalah 45 mg
(2mg/kgBB/hr). Pengobatan imunosupresif diberikan dalam jangka panjang oleh
karena itu harus diperhatikan efek samping dari pemberian kortikosteroid.
Efek samping :
gastritis
ulkus peptikum
hipotrofi otot skelet
osteoporosis
penurunan daya tahan tubuh
hipotrofi korteks kelenjar adrenal
22
gangguan elektrolit : retensi Na dan kehilangan K
efek katabolik : kehilangan protein
edema
gangguan pertumbuhan
kulit :pioderma, dermatosis akneformis, hipotrofi, purpura, telangiektasi,
hiperpigmentasi
moon face
hipertrikosis
sindrom chusing
23
Bila setelah 2 minggu lagi, tekanan darah masih belum terkontrol sebaiknya ditam-
bahkan obat diuretik golongan tiazida misal hidroklorotiazida 25 mg setiap
hari.
24
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi
Secara keseluruhan prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasus per
100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar15,5/100.000. 3 Sindrom nefrotik
primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakan sindrom nefrotik
sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per 100.000 anak. Prevalensi di
indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan
berkisar 2:1. dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5 tahun.2
Di Amerika insidens nefrotik sindrom dilaporkan 2-7 kasus pada anak per 100.000 anak
per tahun. Pada dewasa biasanya menderita glomerulopaty yang bersifat sekunder dari penyakit
sistemik yang dideritanya, dan jarang merupakan sindrom nefrotik primer atau idiopatik 1. Pada
pasien sindrom nefrotik angka mortalitas berhubungan langsung dengan proses penyakit
primernya, tapi bagaimanapun sekali menderita sindrom nefrotik, prognosisnya kurang baik
karena1:
1. sindrom nefrotik meningkatkan insiden terjadinya gagal ginjal dan komplikasi sekunder
(trombosis, hiperlipidemia, hypoalbuminemia).
2. pengobatan berkaitan dengan kondisi; peningkatan insidens infeksi karena pemakaian
steroid, dan dyscaria darah karena obat imunosupresif lain.
Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering pada anak dibanding dewasa, dan kebanyakan kasus
nefrotik sindrom primer pada anak merupakan penyakit lesi minimal1,3.Prevalensi penyakit lesi
minimal berkurang secara proprosional sesuai dengan umur onset terjadinya penyakit. Fokal
segmental glomerosclerosis (FSGS) merupakan sub kategori nefrotik sindrom kedua tersering
pada anak dan frekuensi kejadiannya cenderung meningkat. Membrano proloferatif
glomerulonephritis (MPGN) merupakan sub kategori sindrom nefrotik yang biasanya terjadi
pada anak yang lebih besar dan adolescent. Kurang lebih 1 % dari sindrom nefrotik pada anak
dan adolescent dan kelainan ini dihubungkan dengan hepatitis dan penyakit virus lain.3
25
Etiologi
Nefrotik sindrom dapat bersifat primer, sebagai bagian dari penyakit sistemik, atau
sekunder karena beberapa penyebab.
1. post infeksi
2. Colagen vaskular disease (SLE, rheumatoid arthritis, polyarteritis nodosa)
3. Henoch-Schönlein purpura
4. Hereditary nephritis
5. Sickle cell disease
6. Diabetes melitus
7. Amyloidosis
8. Malignancy (leukemia, lymphoma, Wilms tumar, pheochromocytoma)
9. Toxin (sengatan lebah, racun ular)4
10. obat-obatan (probenecid, fenoprofen, catopril, lithium, wafarin, penicilamine, mercury,
gold, trimethadione, para metadione, AINS) 4
11. Penggunaan Heroin
Penyebab sekunder berhubungan dengan keadaan post infeksi mencakup1:
26
Klasifikasi Histopatologis
Glomerulosklerosis (GS)
Sindrom nefrotik yang terjadi sebelum bayi berumur 3 bulan disebut sindrom nefrotik
kongenital (SNK), sedang SN yang menunjukkan gejala dalam tahun pertama kehidupan (3-12
27
bulan) disebut sindrom nefrotik infantil (SNI). SNK adalah sindrom nefrotik yang terdapat pada
bayi pada saat lahir ataupun sebelum lahir. Namun gejala proteinuria berat, edema dan
hipoalbuminemia ditemukan beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan kemudian.
Klasifikasi SN dengan awitan dini haruslah memenuhi beberapa kriteria, termasuk riwayat
keluarga, perjalanan penyakit, pemeriksaan laboratorium dan histopatologi ginjal. Klasifikasi
sindrom nefrotik kongenital dan infantil.
Idiopatik
Sekunder
Sifilis kongenital
Intoksikasi merkuri
Sindromatik
Sindrom Drash
PATOFISIOLOGI
Proteinuria
28
Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN, sedangkan gejala klinis
lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan “berat” untuk
membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik.
Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap
proteinuria berat.
Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan
dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan
disebut sebagai proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan glomerulus yang lain, keluarnya
protein terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul besar, dan jenis
proteinuria ini disebut proteinuria non selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan
secara sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio
urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0,2 menunjukkan adanya proteinuria
selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap
steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk
membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan pemeriksaan ini sehingga
pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.
29
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna
dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan negatif, seperti
albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan heparitinase mengakibatkan
timbulnya albuminuria.
Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu suatu polianion yang terdapat pada tonjolan
kaki (foot procesus) sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini yang
penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Suatu
protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung
asam sialat ditemukan terbanyak pada daerah ini. Sialoprotein menurun ditemukan pada berbagai
kelainan glomerulus termasuk kelainan pada model eksperimental nefrosis aminonukleosid. Pada
SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang
menyebabkan hilangnya proteinuria.
Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan
seimbang, laju sintesis albumin, degradasi dan hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak
dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin dan derajat
hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak merupakan korelasi yang ketat, terutama pada anak
dengan proteinuria yang menetap lama dan tidak responsif steroid, albumin serumnya dapat
kembali normal atau hampir normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein.
Laju sintesis albumin pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan
meningkat atau normal. Satu penelitian pada anak ditemukan kenaikan laju sintesis dua kali pada
SN (dan pada anak dengan hipoalbuminemia dengan penyebab non hepatik lainnya)
menunjukkan bahwa kapasitas meningkatkan sintesis hati terhadap albumin tidak cukup untuk
mengkompensasi laju kehilangan albumin yang abnormal.
Jumlah albumin absolut yang didegradasi masih normal atau di bawah normal, walaupun
apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif, maka katabolisme pool
fraksional yang menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya katabolisme albumin di
30
tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju
katabolisme absolut yang normal atau menurun. Jadi pada keadaan hipoalbuminemia yang
menetap, konsentrasi albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya
ekskresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama
disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya
sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya α globulin, α-1
globulin (normal atau rendah), dan α-2 globulin, β globulin dan fibrinogen meningkat secara
relatif atau absolut. Meningkatnya α-2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein berberat
molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa pasien,
terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan kenaikan ini
tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara
konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat
normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien dengan analbuminemia
kongenital dapat juga timbul hiperlipidemia yang menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak
hanya disebabkan oleh penyakit ginjalnya sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein
densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-
kadang sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat
pada anak-anak dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap
rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang
meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal.
Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan
sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid
dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya degradasi ini rupanya
berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas lipase lipoprotein.
Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya α-glikoprotein asam sebagai
perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan
pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini
mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya, karena efek yang sama dapat ditimbulkan
31
dengan pemberian infus polivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada
beberapa pasien, HDL tetap meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain
VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuen yang menetap bahkan selama remisi.
Lipid dapat juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltese cross. Titik
lemak itu merupakan tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross
tersebut adalah ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apabila dilihat
dengan cahaya polarisasi.
Edema
Keterangan klinik pembentukan edema pada sindrom nefrotik sudah dianggap jelas dan
secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa mekanisme hipotesis
ini tidak dapat memberikan penjelasan yang lengkap. Teori klasik mengenai pembentukan edema
ini (underfilled theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan
cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus,
albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia (lihat gambar 16-1).
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular.
Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema.
Kelainan glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminemia
Volume plasma ↑
32
Retensi Na renal sekunder ↑
Edema
Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri dalam
peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau
volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular
agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan,
yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat
gerak cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat
keseimbangan hingga edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron
sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN.
Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas
renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini
retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung
pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume
plasma dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam ruang interstitial. Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang
tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron menurun sekunder terhadap hipovolemia.
Kelainan glomerulus
33
Retensi Na renal primer
Albuminuria
Edema
Meltzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik.
Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer dengan kadar
renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan kadar
albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik patofisiologis kelompok
ini sesuai dengan teori tradisional underfilled yaitu retensi natrium dan air merupakan fenomena
sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai dengan volume plasma
tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan aldosteron rendah yang meningkat
sesudah persediaan natrium habis. Kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik
dengan LFG yang relatif rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok pertama.
Karakteristik patofisiologi kelompok kedua ini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan
retensi air dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal.
Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin saja
kedua proses underfilled dan overfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada
individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis.
Akibat mengecilnya volume intravaskular akan merangsang keluarnya renin dan menimbulkan
rangsangan nonosmotik untuk keluarnya hormon antidiuretik. Dengan meningkatnya produksi
renin terjadi rentetan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron. Akibat akhir ialah terjadinya
retensi natrium dan air dengan keluarnya volume urin yang sedikit dan pekat dengan sedikit
natrium. Berkaitan dengan teori ini masih merupakan teka-teki bahwa pada pasien
analbuminemia kongenital terdapat sedikit atau tanpa edema dan umumnya diagnosis tidak
dibuat sampai anak menjadi dewasa.
34
Terjadinya edema pada pasien-pasien ini rupanya dapat dicegah dengan menurunkan
tekanan hidrostatik kapiler yang bersamaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan kenapa tidak
terjadi mekanisme kompensasi yang sama pada SN? Apabila volume plasma pada pasien diukur
ternyata tidak menurun semua. Meltzer dkk melaporkan pada dua kelompok pasien dewasa, yang
pada satu kelompok keadaannya sesuai dengan teori klasik dengan SNKM, hipovolemia,
konsentrasi plasma renin dan aldosteron tinggi dan responsif steroid. Kelompok kedua, volume
darah meningkat dengan renin dan aldosteron rendah dan pasien ini resisten steroid dengan
kelainan BKM. Penelitian lain memperkuat edema nefrotik dengan volume plasma renin dan
aldosteron yang meningkat normal atau rendah. Apabila diteliti selama retensi natrium dan
peningkatan berat badan yang progresif maka banyak pasien mempunyai konsentrasi renin dan
aldosteron yang normal atau rendah menunjukkan bahwa retensi natrium tidak bergantung pada
rangsangan sistem renin angiotensin aldosteron. Bahkan pada mereka dengan renin dan
aldosteron yang tinggi reabsorpsi natrium terus berlangsung walaupun dilakukan supresi renin
baik dengan infus albumin atau kaptopril. Bila reabsorpsi natrium pada tubulus proksimal
menurun maka seharusnya retensi natrium terjadi pada nefron distal. Observasi ini menyokong
observasi klinik yang menunjukkan bahwa retensi natrium pada SN disebabkan oleh faktor-
faktor intrarenal.
Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi umumnya
menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan volume darah
normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya menderita kelainan BKM
dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang berguna
untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid atau tidak di samping adanya
SNKM. Namun derajat tumpang tindihnya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan
pasien antara kedua kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida
natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti. Anak-anak
dengan SN responsif steroid dalam keadaan relaps dilaporkan mempunyai konsentrasi ANP yang
tidak berbeda dengan kontrol. Namun, dengan pemberian infus albumin atau imersi air untuk
ekspansi volume intravaskular akan terjadi diuresis yang diikuti dengan peningkatan ANP
sebanyak lima kali, yang menunjukkan bahwa ANP berperan pada diuresis sesudah ekspansi
volume.
35
Manifestasi Klinik
Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi;menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak
pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan urin berbusa. Abdomen mungkin
membesar karena adanya akumulasi cairan di intraperitoneal (Asites), dan sesak napas dapat
terjadi karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal
yang meningkat akibat asites. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki,
scrotum ataupun labia mayor. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis dan
prolaps ani.2
Seringkali cairan yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi sehingga bengkak
dapat berpindah-pindah. Saat malam cairan terakumulasi di tubuh bagian atas seperti kelopak
mata. Disaat siang hari cairan terakumulasi dibagian bawah tubuh seperti ankles, pada saat
duduk atau berdiri.
Pada anak tekanan darah umumnya rendah dan tekanan darah dapat turun sekali saat
berdiri (orthostatic hypotension), dan shock mungkin dapat terjadi. Produksi urin dapat menurun
dan renal faillure dapat terjadi jika terjadi kebocoran cairan dari dalam pembuluh darah
kejaringan sehingga suplai darah ke ginjal berkurang. Biasanya renal failure dengan kurangnya
produksi urin terjadi tiba-tiba.
Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta anoreksia,
dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering dialami oleh pasien
dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitang dengan adanya infeksi, namun
diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat di temukan, hal ini
dikaitkan dengan sinteis protein yang meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat
nyeri perut kuadran kanan atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut. 2
Pada anak dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi psikososial yang
merupakan akibat stess nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang.
Komplikasi
1. Infeksi
36
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat dari
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Peningkatan
kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh5:
- Streptococcus pneumoniae,
- Haemophilus influenzae,
- Escherichia coli,
- Dan bakteri gram negatif lain
Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelas sebabnya.
Jenis infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain; sepsis, pnemonia, selulitis dan ISK.
Terapi profilaksis yang mencakup gram positif dan gram negatif dianggap penting untuk
mencegah terjadinya peritonitis. 5
37
peningkatan faktor-faktor I, II, VII, VII, dan X yang disebabkan oleh meningkatnya
sintesis oleh hati dan dikuti dengan peningkatan sintesis albumin serta lipoprotein.
Terjadi kehilangan anti trombin II, menurunya kadar plasminogen, fibrinogen plasma
meningkat dan konsentrasi anti koagulan protein C dan protein S meningkat dalam
plasma4. Secara ringkas kelainan hemostatik pada Sindrom nefrotik dapat timbul dari dua
mekanisme yang berbeda2:
38
beberapa pasien Sindrom nefrotik dan laju eksresi globulin umumnya berkaitan dengan
beratnya proteinemia. Hipo kalsemia pada sindrom nefrotik berkaitan dengan disebabkan
oleh albumin serum yang rendah dan berakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi
trionisasi tetap normal dan menetap.2
5. Anemia
Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik.
Anemianya hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten
terhadap prefarat besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah anemia nya
terjadi karena pengenceran. Pada beberapa pasien terdapat transferin serum yang sangat
menurun, karena hilangnya protein ini dalam urin dalam jumlah besar.
Diagnosis
Pada analisa urin didapatkan proteinuria +3 atau +4; mungkin ada hemeturia
mikroskopis, tapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau
menurun. Klirens protein melebihi 2 gr/24 jam. Kadar kolesterol dan trigliserid serum naik,
kadar albumin serum biasanya kurang dari 2 g/dl (20g/L). Dan kadar kalsium serum total
menurun, karena penurunan fraksi terikat albumin. Kadar C3 biasanya normal.5
Penatalaksanaan
1. Terapeutik
39
Obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup kortikosteroid,
levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine. Respon terhadap pengobatan dengan
kortikosteroid berhubungan dengan tipe histopatologi sindrom nefrotik.
Lima hari setelah urin bebas protein (negatif, sedikit sekali atau +1 pada dipstick), dosis
prednison diubah menjadi 60mg/m2 (maksimal 60mg) diberikan selang sehari sebagai
dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Setelah periode selang sehari tersebut,
prednison dapat dihentikan secara mendadak.
Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan sebagai
berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria. Karena pada anak dengan keadaan ini
menderita proteinuria intermiten yang menyembuh spontan. Sejumlah kecil pasien yang
berespon terhadap terapi dosis terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan segera
setelah perubahan ke atau setelah penghentian terapi selang sehari, penderita demikian
disebut tergantung steroid.
40
Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas steroid (muka
cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh) harus dipikirkan terapi imuno supresif lain.
41
- Pengobatan terhadap edema.
Dengan pemberian diuretik tiazid ditambah dengan obat penahan kalium
(spirinolakton, triamteren). Bila tidak ada respon dapat digunakan furesemid, asam
etekrinat atau bumetamid. Dosis furosemid 25-1000mg/ hari dan paling sering
dipakai karena toleransinya baik walau dengan dosis tinggi.
- Hiperlipidemia
Pada saat ini penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan simvastatin
merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada sindrom nefrotik.
- Hiperkoagulabilitas
Pemakaian obat anti koaagulan terbatas pada keadaan terjadinya resiko
tromboemboli seperti; tirah baring lama, pembedahan, saat dehidrasi, atau saat
pemberian kortikosteroid iv dosis tinggi.
Prognosis
42
akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan
minimal glomerulus sangat baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid;
sekitar 50% mengalami 1-2 kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu
10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode.
Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif
renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien, dan kematian pada pasien kelainan minimal
biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi ekstra renal.
Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental glomerulonefritis
sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien yang mengalamai relaps
menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit renal stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien
dalam lima tahun, dan 30-40% dalam sepuluh tahun.
Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation mengalami remisi
komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed remisi. Dua puluh
persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6% menjadi renal isufisiensi yang
progresif. Prognosis pada pasien dengan membranoproliferatif glomerulonephropaty umumnya
kurang baik, dan keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan,
tidak ada perbedaan evidence hasil antara pemberian pengobatan dengan tampa pengobatan pada
pasien ini, karena sekitar 30% pasien akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun. 1
43
BAB IV
KESIMPULAN
Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh
Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat,
hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal1
Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang
dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Prevalensi nefrotik syndrome pada anak
berkisar 2-5 kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar
15,5/100.000.3
Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled dan
teori overfille. Gejala awal pada sindroma nefrotik meliputi; menurunnya nafsu makan, malaise,
bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropi dan urin berbusa.
Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan pada deskripsi histologi
dan dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah diketahui.3
1. Infeksi
2. Kelainan koagulasi dan trombosis
3. Pertumbuhan abnormal
4. Perubahan hormon dan mineral
5. Anemia
Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan
laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis3
Penatalaksanaan
44
1. Terapeutik, obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup
kortikosteroid, levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine.
45
DAFTAR PUSTAKA
46