Oleh: Desmita*
Abstract
School today are facing the difficult challenges of ensuring success for all students and fostering an
empowered, enthusistic staff of lifelong. This article is about developing “resiliency”, a new paradigma
of student development that offers schools a coherent. The foundation for the resiliency paradgma is a
dramatic new perspective on how children and adolescence bounce back from stress, trauma, and risk
in their lives that is emerging from the fields of psychiatry, psychology, and sociology. An
understanding of resiliency, its importance, and the way schools can help students bounce back and
evolve into more competent and successful learners is needed now more than ever. In this article,
resiliency is defined and six-step plan of action for resiliency building is introduced.
R
esiliensi pada prinsipnya adalah
sebuah konsep yang relatif baru dan remaja yang lebih baik serta
dalam khasanah psikologi. Para- mengatasi stres sekolah yang banyak
digma resiliensi didasari oleh pandangan mereka alami. Apalagi disadari betapa
kontemporer yang muncul dari lapangan anak-anak dan remaja yang hidup dalam
psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang era modern sekarang ini semakin mem-
bagaimana anak, remaja dan orang de- butuhkan kemampuan resiliensi untuk
wasa dapat bangkit kembali dan bertahan menghadapi kondisi-kondisi kehidupan
dari kondisi stres, trauma dan resiko abad 21 yang penuh dengan perubahan-
dalam kehidupan mereka. Sejumlah studi perubahan yang sangat cepat. Perubah-
yang muncul dalam bidang resiliensi ini an-perubahan yang sangat cepat tersebut
menolak pandangan yang menganggap tidak jarang menimbulkan dampak-dam-
pak yang tidak menyenangkan bagi
bahwa stres dan resiko (termasuk pe-
nyimpangan, kerugian, kesalahan atau anak-anak dan remaja. Untuk meng-
tekanan-tekanan hidup lainnya) merupa- hadapi kondisi-kondisi yang tidak me-
kan petaka yang tak mungkin dielakkan, nyenangkan tersebut, sejumlah ilmuwan,
yang menyebabkan berkembangnya pisi- peneliti, dan praktisi di bidang sosial dan
kopatologi atau hidup abadi dalam ling- perilaku, memandang perlu untuk mem-
karan setan kemiskinan, penyimpangan, bangun resiliensi. Resiliensi dianggap
kekerasan atau kegagalan dalam pen- sebagai kekuatan dasar yang menjadi
didikan. fondasi dari semua karakter positif da-
Dewasa ini resiliensi telah diterima lam membangun kekuatan emosional
secara luas sebagai konsep psikologi dan psikologis seseorang. Tanpa adanya
* Penulis adalah Lektor dalam Mata Kuliah Psikologi Pendidikan pada STAIN Batusangkar
1
2 Desmita, Mengembangkan Resiliensi Remaja dalam Upaya Mengatasi Stres Sekolah
resiliensi, tidak akan ada keberanian, beberapa negara juga tidak memiliki
ketekunan, tidak ada rasionalitas, tidak padanan kata tentang resiliensi. Dalam
ada insight. Bahkan resiliensi diakui bahasa Spanyol misalnya, tidak ada kata
sangat menentukan gaya berpikir dan yang digunakan dalam literatur psikologi
keberhasilan seseorang dalam hidupnya, untuk resiliensi, sehingga sebagai ganti-
termasuk keberhasilan dalam belajar di nya digunakan istilah “la defensa ante la
sekolah. adversidad” (Grotberg, 1995). Literatur-
Untuk itu, sekolah sebagai institusi literatur psikologi yang ditulis dalam
pendidikan, perlu melakukan upaya- bahasa Indonesia juga sama sekali belum
upaya untuk membantu pengembangan menyinggung konsep resiliensi, sehingga
resiliensi di kalangan remaja, sehingga sulit untuk mencari padanan kata yang
mereka mampu menjadi sosok remaja cocok untuk menggambarkan konsep
yang resilien di tengah situasi dan tersebut. Kalau diterjemahkan ke dalam
lingkungan kehidupan yang penuh bahasa Indonesia, pengertian resiliency
godaan dan stressful. malah mungkin akan membingungkan,
seperti gaya pegas, daya kenyal, ke-
gembiraan, keuletan (Echols & Shadily,
RESILIENSI: BEBERAPA PENGER- 1997), ketahanan (Smet, 1994), dan daya
TIAN lentur (Siregar, 2001). Karena itu, agar
Istilah resiliensi diintrodusir oleh tidak menimbulkan kesalahpahaman,
Redl pada tahun 1969 dan digunakan maka dalam uraian ini penulis sengaja
untuk menggambarkan bagian positif menggunakan istilah aslinya dan me-
dari perbedaan individual dalam respon rubahnya ke dalam bahasa Indonesia
seseorang terhadap stres dan keadaan menjadi “resiliensi”.
yang merugikan (adversity) lainnya Meskipun belum ada kesamaan
(Smet, 1994). Tetapi, hingga tahun pendapat mengenai definisi resiliensi,
1980-an, istilah resiliensi belum diguna- namun untuk memahami konsep tersebut
kan secara konsisten (Grotberg, 1999). dapat dikutip beberapa definisi yang
Istilah resiliensi diadopsi sebagai ganti telah dirumuskan oleh sejumlah ahli.
dari istilah-istilah yang sebelumnya telah Grotberg (1999: 10) secara seder-
digunakan oleh para peneliti untuk hana mengartikan resiliensi sebagai “the
menggambarkan fenomena, seperti: human capacity to face, overcome, be
“invulnerable” (kekebalan), “invincible” strengthened by, and even be transfor-
(ketangguhan), dan “hady” (kekuatan), med by experiences of adversity.”.
karena dalam proses menjadi resilien Sedangkan Werner (2003: 7) men-
tercakup pengenalan perasaan sakit, per- definisikan resiliensi sebagai “the capa-
juangan dan penderitaan (Henderson & city to spring back, rebound, successfully
Milstein, 2003). adapt in the face of adversity, and
Dewasa ini, meskipun istilah resi- develop social, academic, and vocatio-
liensi telah diterima dan digunakan se- nal competence despite exposure to
cara luas, namun tidak berarti terdapat severe stress or simply to the stress that
kesesuaian dalam memberikan definisi is inherent in today’s world.” Sementara
tentang resiliensi itu. Hingga kini defi- itu, Ricahrdson, dkk., (1990: 7) men-
nisi tentang resiliensi masih terus di- definisikan resiliensi sebagai “the pro-
permasalahkan dan bahkan belum ada cess of coping with disruptive, stressful,
konsensus tentang cakupan wilayah dari or challenging life events in way that
konstruk resiliensi, seperti ciri-ciri dan provides the individual with additional
dinamikanya (Kaufman, dkk., 1994). Di protective and coping skills than prior to
samping itu, bahasa yang digunakan di
Ta’dib Vol. 12, No. 1 (Juni 2009) 3
the disruption that result from the peristiwa di sekitar perceraian orang tua
event.” mereka; dan (3) kesembuhan dari
Kemudian, Rirkin dan Hoopman, trauma, seperti ketakutan dari peristiwa
1991 (dalam Henderson & Milstein, perang saudara dan kamps konsentrasi.
2003: 7), merumuskan definisi tentang Meskipun resiliensi merupakan ka-
resiliensi yang secara khusus ditujukan pasitas individual untuk bertahan dalam
pada siswa dan pendidik, yang berisikan situasi yang stressful, namun tidak ber-
elemen-elemen pembangunan resiliensi arti bahwa resiliensi merupakan suatu
di sekolah, yaitu: “the capacity to spring sifat (traits), melainkan lebih merupakan
back, rebound, successfully adapt in the suatu proses (process). Kita memang
face of adversity, and develop social, tidak dapat menyangkal bahwa beberapa
academic, and vocational competence individu memiliki kecenderungan gene-
despite exposure to severe stress or tik yang memberi sumbangan bagi resi-
simply to the stress that is inherent in liensinya, seperti watak sosial, sifat
today's world.” ramah, dan kecantikan fisik, namun ke-
Dari beberapa defenisi di atas banyakan dari karakteristik yang di-
dapat dipahami bahwa resiliensi (daya hubungkan dengan resiliensi dapat di-
lentur, ketahanan) adalah kemampuan pelajari (Higgins, 1994; Werner &
atau kapasitas insani yang dimiliki se- Smith, 1992).
seorang, kelompok atau masyarakat yang
memungkinkannya untuk menghadapi,
mencegah, meminimalkan dan bahkan CIRI-CIRI DAN FAKTOR-FAKTOR
menghilangkan dampak-dampak yang RESILIENSI
merugikan dari kondisi yang tidak me- Seperti halnya dalam memberikan
nyenangkan, atau mengubah kondisi ke- definisi, para ahli juga berbeda pendapat
hidupan yang menyengsarakan menjadi dalam merumuskan ciri-ciri yang dapat
suatu hal yang wajar untuk diatasi. Bagi menggambarkan karakteristik seorang
mereka yang resilien, resiliensi membuat yang resilien. Bernard (1991) misalnya,
hidupnya menjadi lebih kuat. Artinya, seorang yang resilien biasanya memiliki
resiliensi akan membuat seseorang ber- empat sifat-sifat umum, yaitu:
hasil menyesuaikan diri dalam berhadap-
an dengan kondisi yang tidak me- 1. Social competence (kompetensi so-
nyenangkan, serta dapat mengembang- sial): kemampuan untuk memuncul-
kan kompetensi sosial, akademis dan kan respon yang positif dari orang
vikasional sekalipun berada di tengah lain, dalam artian mengadakan hu-
kondisi stress hebat yang inheren dalam bungan-hubungan yang positif de-
kehidupan dunia dewasa ini (Desmita, ngan orang dewasa dan teman sebaya.
2005). 2. Problem-solving kills/metacognition
Menurut Emmy E. Werner (2003), (keterampilan pemecahan masalah/
sejumlah ahli tingkah laku menggunakan metakognitif): perencanaan yang me-
istilah resiliensi untuk menggambarkan mudahkan untuk mengendalikan diri
tiga fenomena: (1) perkembangan positif sendiri dan memanfaatkan akal sehat-
yang dihasilkan oleh anak yang hidup nya untuk mencari bantuan dari orang
dalam konteks “beresiko tinggi” (high- lain.
risk), seperti anak yang hidup dalam 3. Autonomy (otonomi): suatu kesadaran
kemiskinan kronis atau perlakukan kasar tentang identitas diri sendiri dan
orang tua; (2) kompetensi yang di- kemampuan untuk bertindak secara
mungkinkan muncul di bawah tekanan independen serta melakukan pe-
yang berkepanjangan, seperti peristiwa- ngontrolan terhadap lingkungan.
4 Desmita, Mengembangkan Resiliensi Remaja dalam Upaya Mengatasi Stres Sekolah
Dalam hal ini, guru harus mampu men- adanya kejelasan aturan-aturan dan
cari dengan seksama kekuatan-kekuatan harapan-harapan tingkah laku tersebut,
di dalam diri (inner strength) siswa, maka besar kemungkinan siswa akan
yang bisa digunakan untuk menemukan lebih memberikan perhatiannya pada
akar permasalahan dan lebih menge- norma-norma dan tingkah laku yang
depankan kekuatan-kekuatan tersebut bersumber dari teman sebaya daripada
kepada siswa. Ini bukan berarti meng- yang dikembangkan oleh sekolah. Bah-
abaikan perilaku-perilaku yang me- kan hasil penelitian Brand dan koleganya
nyimpang atau penuh resiko, melainkan (2003), menunjukkan bahwa ketidak-
hanya dimaksudkan untuk menjaga kese- jelasan dan ketidakkonsistenan (less
imbangan sedemikian rupa, sehingga consistency and clarity) dalam harapan-
siswa dapat menerima feedback atas ke- harapan sekolah, menjadi salah satu
kuatan-kekuatan yang dimilikinya untuk sebab terjadinya problem akademis (aca-
menjadi seorang yang resilien, atau demic problems) dan kesulitan penye-
paling tidak mereka tidak menimbulkan suaian diri (adjustment difficulties) pada
masalah atau menemui kesulitan di siswa.
sekolah. “A student’s strengths are what
will propel him or her from “risk” Tahap 3. Teach Life Skills
behavior to resiliency”, demikian kata Tahap ketiga pembangunan resi-
Henderson dan Milstein (2003). liensi remaja di sekolah adalah meng-
ajarkan keterampilan-keterampilan hidup
Tahap 2. Set Clear and Consistent (teach life skills), yang meliputi: kerja
Boundaries sama, resolusi konflik secara sehat,
Tahap kedua dalam membangun resistensi, keterampilan berkomunikasi,
resiliensi remaja di sekolah adalah men- keterampilan memecahkan masalah dan
jelaskan dan menjaga konsistensi dari pengambilan keputusan, serta mana-
batasan-batasan atau peraturan-peraturan jemen stres yang sehat. Apabila ke-
yang berlaku di sekolah. Tahap ini terampilan-keterampilan ini diajarkan
meliputi pengembangan dan implemen- dan diperkuat secara memadai, ia akan
tasi kebijakan sekolah dan prosedur pe- membantu para siswa sukses mengen-
laksanaannya secara konsisten, serta me- dalikan resiko-resiko atau bahaya-
nyampaikannya kepada siswa, sehingga bahaya dari masa remaja, terutama peng-
mereka mendapat gambaran yang jelas gunaan tembakau, alkohol, dan obat-
tentang harapan-harapan tingkah laku obatan lainnya (Botvin & Botvin, 1992).
yang harus mereka penuhi. Harapan- Keterampilan-keterampilan ini juga pen-
harapan tingkah laku ini disertai dengan ting dalam menciptakan suatu lingkung-
penjelasan tentang tingkah laku beresiko an belajar yang kondusif bagi peserta
dan konsekuensinya, serta harus ditulis didik dan membantu orang dewasa untuk
dan dikomunikasikan kepada siswa dapat terlibat dalam interaksi yang
dengan jelas, dan kemudian dilaksana- efektif di sekolah.
kan secara konsisten. Keterampilan-keterampilan hidup
Oleh sebab itu, dalam upaya ini dapat diajarkan di sekolah melalui
membantu perkembangan resiliensi banyak cara. Salah satunya adalah de-
siswa serta menjauhkannya dari perasaan ngan menggunakan pendekatan coopera-
tertekan dan adversitas, maka sejumlah tive learning, yakni suatu model pem-
norma, nilai, peraturan, dan harapan belajaran yang lebih menekankan pada
peran atau tingkah laku tersebut perlu kerja sama. Mengajarkan life skills de-
dikomunikasikan secara jelas dan di- ngan menggunakan pendekatan coopera-
laksanakan secara konsisten. Tanpa tive learning dapat dilakukan melalui
Ta’dib Vol. 12, No. 1 (Juni 2009) 7
pengintegrasian secara alami dalam pro- harus memberikan perhatian kepada se-
ses pembelajaran biasa, tanpa harus mua siswa, mengetahui nama-nama me-
mengubah kurikulum dan memakan reka, menarik mereka yang tidak mudah
banyak waktu. Melalui pengintegrasian berpartisipasi, serta melakukan invest-
ini, diberikan keterampilan-ketrampilan tigasi dan intervensi ketika mereka
menjalin hubungan dengan baik, bekerja menghadapi situasi yang sulit. Hal ini
dalam kelompok, menyatakan suatu pen- dapat dilakukan dengan meluangkan
dapat, serta menentukan tujuan dan waktu di dalam kelas untuk membangun
mengambil keputusan. Temuan peneliti- hubungan, mengembangkan suatu model
an menunjukkan bahwa pembelajaran intervensi yang efektif bagi siswa-siswa
dengan model cooperative learning ini yang menghadapi masalah dan secara
lebih dapat meningkatkan prestasi be- aktif mengidentifikasi kekuatan-kekuat-
lajar belajar peserta didik, menghasilkan an siswa dan kemudian mengembangkan
hubungan yang lebih positif, dan penye- kekuatan-kekuatan siswa ini melalui
suaian psikologis yang lebih baik, di- perencaan intervensi dan penilaian.
bandingkan dengan pembelajaran model
lain (Johnson & Johnson, 1989). Hal ini Tahap 5. Set and Communicate High
dimungkinkan, karena temuan penelitian Expectations
juga menunjukkan bahwa teman Tahap kelima dalam membantu
merupakan penyampai yang baik dari perkembangan resiliensi remaja di
strategi intervensi dan preventif, se- sekolah adalah memberikan atau me-
hingga cara-cara yang digunakan peserta nyampaikan harapan yang tinggi. Tahap
didik dapat membantu mengajarkan life ini secara konsisten ditemui dalam
skills kepada peserta didik lainnya literatur resiliensi dan riset tentang ke-
(Henderson & Milstein, 2003). berhasilan akademis. Hal ini adalah
penting, karena harapan yang tinggi dan
Tahap 4. Provide Caring and Support realistis merupakan motivator yang efek-
Tahap 4 sampai tahap 6 merupa- tif bagi siswa. Sejumlah studi tentang
kan tahap pengembangan resiliensi da- harapan, menunjukkan bahwa harapan
lam “the resiliency wheel” yang ter- yang tinggi berhubungan positif dengan
masuk dalam kelompok building resi- motivasi dan prestasi yang tinggi (Hoy
liency. Tahap 4 ini meliputi pemberian & Miskel, 2001). Siswa yang tidak me-
penghargaan, perhatian dan dorongan miliki harapan, secara tipikal menunjuk-
yang positif. Tahap ini merupakan tahap kan aspirasi yang rendah untuk melanjut-
yang sangat kritis dari semua tahap kan pendidikan ke perguruan tinggi atau
pengembangan resiliensi yang ada dalam terhadap kemungkinan karir (Knapp &
the resiliency wheel. Kenyataan memang Woolverton, 1995). Guru yang memiliki
menunjukkan bahwa remaja mustahil harapan tinggi, dapat mengatur dan
dapat berhasil mengatasi adversitas mengendalikan tingkah laku serta mem-
tanpa adanya perlindungan dan perhatian berikan tantangan yang lebih berat untuk
dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, menguji siswa apakah mereka percaya
semua pihak yang terlibat dalam penye- bahwa mereka dapat menghadapinya
lenggaraan sekolah, harus berperan aktif (Delpit, 1996).
dalam dalam memberikan caring dan Menurut Hoy dan Miskel (2001),
support kepada siswa guna membantu harapan adalah tingkat di mana individu
pengembangan resiliensinya. percaya bahwa kerja keras akan mem-
Untuk itu, dalam upaya me- buahkan pencapaian atau prestasi yang
ngembangkan resiliensi remaja, guru tinggi. “jika saya bekerja keras, saya
akan sukses”. Jika guru berpikir bahwa
8 Desmita, Mengembangkan Resiliensi Remaja dalam Upaya Mengatasi Stres Sekolah
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R.I., (1998), Learning to Teach, Haag: Bernad van Leer
Singapore: McGraw-Hill. Foundation,
Burns, T., & Lofquist, B. (1996). The _____, (1997), The international resi-
Next Step: Integrating Resiliency lience project: Research, appli-
and Community Development in cation, and policy, Makalah
the School, Tucson: Development dipresentasikan pada The Sympo-
Publications. sio Internacional: Stress e
Violencia, Lisboa, Portugal.
Desmita, (2005), Psikologi Perkembang-
an, Bandung: Rosdakarya. Henderson, V.L., & Dwesk, C.S. (1990),
Motivation and achievement,
Grotberg, E.H., (1999). Taping Your dalam: S.S. Feldman & G.R.
Inner Strength: How to Find the Elliott (Eds.), At the Threshold:
Resilience to Deal with Anything, The Developing Adolescent,
Oakland, CA.: New Harbinger Cambridge, MA: Harvard
Publications, Inc. University Press.
_____, (1995). A Guide to Promoting Higgins, G.O. (1994). Resilient Adults:
Resilience in Children: Strengt- Overcoming a Cruel Past, San
hening the Human Spirit, Den Francisco: Jossey-Bass.
10 Desmita, Mengembangkan Resiliensi Remaja dalam Upaya Mengatasi Stres Sekolah
Kaufman, J., Cook, A., Arny, L., Jones, Richardson, G.E., Neiger, B.L., Jenson,
B., & Pittinsky, T. (1994). S., & Kumpfer, K.L. (1990), The
Problems defining resilience: resiliency model, Health
Illustrations from the study of Education, 21 (6), 33-39.
maltreated children, Development Rutter, M., (1984). Resilient Children,
and Psychopathology, 6, 115-147. Psychology Today, March, 57-65
Krovetz, M.L. (1999). Fostering Wolin, S.J., & Wolin, S. (1993). The
Resiliency: Expecting all Students Resiliency Self: How Survivors of
to Use their Minds and Hearts Troubled Families Rise Above
well, ME: KIDS Consortium. Adversity, New York: Villard.