Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

DEMENSIA

Pembimbing:
dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.S

Disusun Oleh:
Arif Alva Edison (2019730119)
Yosava Shalsabila (2018730148)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
referat dengan judul “Demensia” sesuai dengan waktunya. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.S selaku
pembimbing dalam penyusunan laporan referat ini, sehingga penulis dapat
menyelesaikannya dengan baik. Semoga laporan referat ini dapat menambah
wawasan kita dalam ilmu Penyakit Saraf, khususnya pada topik Demensia
Penulis menyadari bahwa Laporan Referat ini masih memiliki banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya tugas
Laporan Referat ini dan agar dapat lebih baik lagi dalam pembuatan
selanjutnya. Demikian yang dapat penulis sampaikan. Semoga tugas Laporan
Referat ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap pembacanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, September 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. 2


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
BAB II ..................................................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 31

3
BAB I

PENDAHULUAN

Demensia berbeda dengan amnesia. Dimana amnesia merupakan kondisi


ketika ingatan/memori terganggu. Seringkali kondisi ini bersifat reversible sepertI
amnesia yang diakibatkan oleh alkohol/wine (alcohol-wine induce amnesia).
Amnesia dapat berkembang akibat dari masalah neurologi seperti stroke, multiple
serebri infark, trauma kepala, penyakit Alzheimer, konsumsi alkohol, penggunaan
obat-obatan kronik, dan penggunaan zat kimia. Gangguan memori/ingatan
yangterjadi pada amnesia biasanya umum, baik memori anterograde ataupun
retrograde. Dimana, anterograde amnesia adalah ketidakmampuan mengingat
memori baru, sedangankan retrograde amnesia adalah ketidakmampuan dalam
mengingat memori lama.
Demensia Adalah gangguan neurodegenerative yang ditandai dengan
hilangnya fungsi kognitif secara progresif dan terus menerus. Gejala neuropsikiatri
termasuk apatis, agitasi dan depresi. Selama gangguan berlangsung, pasien akan
tergantung pada orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Berbagai
penyakit aataupun gangguan yang mendasarinya merupakan faktor utama penyebab
demensia. Setiap kelainan ataupun penyakit ini ditandai dengan tanda dan gejala
spesifik yang dikombinasikan dengan dugaan neuropatologi yang mendasarinya.
Penyakit Alzheimer merupakan penyebab umum demensia, dimana penyebab
paling umum kedua adalah demensia vascular.

Faktor risiko terbesar demensia adalah usia, dimana prevalensinya sebanyak


2% penderita demensia adalah usia 65-69 tahun dan sebanyak 20% penderita
demensia adalah usia 85-89 tahun. Demensia diperkirakan menyerang 24,3 juta
jiwa di seluruh dunia. Sebanyak 4,6 juta jiwa merupakan kasus baru setiap
tahunnya, dan diperkirakan akan meningkat 2 kali lipat setiap 20 tahun, mencapai
angka 80 juta jiwa pada tahun 2040.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding


sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial dan
profesional yang tercermin dalam aktivitas hidup keseharian, biasanya
ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak disebabkan oleh delirium maupun
gangguan psikiatri mayor.

Diagnosis klinis demensia ditegakkan berdasarkan riwayat neurobehavior,


pemeriksaan fisik neurologis dan pola gangguan kognisi. Pemeriksaan
biomarka spesifik dari likuor serebrospinalis untuk penyakit neurodegeneratif
hanya untuk penelitian dan belum disarankan dipakai secara umum di praktik
klinik.

Secara umum gejala demensia dapat dibagi atas dua kelompok yaitu
gangguan kognisi dan gangguan non-kognisi. Keluhan kognisi terdiri dari
gangguan memori terutama kemampuan belajar materi baru yang sering
merupakan keluhan paling dini. Memori lama bisa terganggu pada demensia
tahap lanjut. Pasien biasanya mengalami disorientasi di sekitar rumah atau
lingkungan yang relatif baru. Kemampuan membuat keputusan dan pengertian
diri tentang penyakit juga sering ditemukan.

Keluhan non-kognisi meliputi keluhan neuropsikiatri atau kelompok


behavioral neuropsychological symptoms of dementia (BPSD). Komponen
perilaku meliputi agitasi, tindakan agresif dan nonagresif seperti wandering,
disihibisi, sundowning syndrome dan gejala lainnya. Keluhan tersering adalah
depresi, gangguan tidur dan gejala psikosa seperti delusi dan halusinasi.

5
Gangguan motorik berupa kesulitan berjalan, bicara cadel dan gangguan gerak
lainnya dapat ditemukan disamping keluhan kejang mioklonus.

2. Epidemiologi

Peningkatan pelayanan kesehatan abad sekarang yang disertai dengan


peningkatan standar hidup, telah meningkatkan umur harapan hidup di negara
maju dan negara berkembang. Perubahan demografis ini merupakan tantangan
terhadap sistem pelayanan kesehatan yang ada, terutama menyangkut
peningkatan jumlah orang dengan demensia. Konsensus Delphi
mempublikasikan bahwa terdapat peningkatan prevelansi demensia sebanyak
10% dibandingkan dengan publikasi sebelumnya.

Diperkirakan terdapat 35,6 juta orang dengan demensia pada tahun 2010
dengan peningkatan dua kali lipat setiap 20 tahun, menjadi 65,7 juta di tahun
2030 dan 115,4 juta di tahun 2050. Di Asia Tenggara jumlah orang dengan
demensia diperkirakan meningkat dari 2,48 juta di tahun 2010 menjadi 5,3 juta
pada tahun 2030. Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di
Indonesia (lakilaki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-
2015 menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Hasil proyeksi juga
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun ke depan
akan mengalami peningkatan dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,8
juta pada tahun 2035. Jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas akan
meningkat dari 5,0 % menjadi 10,8 % pada tahun 2035.2 Belum ada data
penelitian nasional mengenai prevalensi demensia di Indonesia. Namun
demikian Indonesia dengan populasi lansia yang semakin meningkat, akan
ditemukan kasus demensia yang banyak. Demensia Vaskuler (DV)
diperkirakan cukup tinggi di negeri ini, data dari Indonesia Stroke Registry
2013 dilaporkan bahwa 60,59 % pasien stroke mengalami gangguan kognisi
saat pulang perawat dari rumah sakit. Tingginya prevalensi stroke usia muda

6
dan factor risiko stroke seperti hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskuler
mendukung asumsi di atas.

3. Faktor Risiko
Secara garis besar, faktor risiko demensia dibagi menjadi 2 yaitu :
• Dapat dimodifikasi :
o Faktor vascular : hipertensi usia pertengahan,
hiperkolesterolemia pada usia pertengahan, diabetes melitus
dan stroke semuanya telah terbukti berhubungan dengan
peningkatan resiko kejadian dementia.
§ Hipertensi : Pasien dengan hipertensi yang disertai
dengan penurunan kognisi, maka perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk mendeteksi
adanya silent infarct, microbleed atau white matter
lesion.
§ Asam volat dan Vitamin B
§ Statin
o Faktor pola hidup

• Tidak dapat dimodifikasi


o Usia : Risiko terjadinya PA meningkat secara nyata
dengan meningkatnya usia, meningkat dua kali lipat
setiap 5 tahun pada individu diatas 65 tahun dan 50%
individu diatas 85 tahun mengalami demensia.16,17
Dalam studi populasi, usia diatas 65 tahun risiko
untuk semua demensia.
o Jenis kelamin : Beberapa studi prevalensi
menunjukkan bahwa PA lebih tinggi pada wanita
dibanding pria.19 Angka harapan hidup yang lebih
tinggi dan tingginya prevalensi PA pada wanita yang

7
tua dan sangat tua dibanding pria. Kejadian DV lebih
tinggi pada pria secara umum walaupun menjadi
seimbang pada wanita yang lebih tua.
o Riwayat keluarga dan genetik : Penyakit Alzheimer
Awitan Dini (Early onset Alzheimer Disease/EOAD)
terjadi sebelum usia 60 tahun, kelompok ini
menyumbang 6-7% dari kasus PA. Sekitar 13% dari
EOAD ini memperlihatkan transmisi otosomal
dominan. Tiga mutasi gen yang teridentifkasi untuk
kelompok ini adalah amiloid ß protein precursor
(AßPP) pada kromosom 21 ditemukan pada 10-15%
kasus, presenelin 1 (PS1) pada kromosom 14
ditemukan pada 30-70% kasus dan presenilin 2 (PS)
pada kromosom 1 ditemukan kurang dari 5% kasus.
Sampai saat ini tidak ada mutasi genetik tunggal
yang teridentifikasi untuk PA Awitan Lambat.
Diduga faktor genetik dan lingkungan saling
berpengaruh. Di antara semua faktor genetik, gen
Apolipoprotein E yang paling banyak diteliti. Telaah
sistematik studi populasi menerangkan bahwa APOE
e4 signifikan meningkatkan risiko demensia PA
teruma pada wanita dan populasi antara 55-65 tahun,
pengaruh ini berkurang pada usia yang lebih tua.
Sampai saat ini tidak ada studi yang menyebutkan
perlunya tes genetik untuk pasien demensia atau
keluarganya. Apabila dicurigai autosomal dominan,
maka tes dapat dilakukan hanya setelah dengan
informed consent yang jelas atau untuk keperluan
penelitian.

4. Gejala Klinis

8
Gejala awal yang dialami demensia adalah kemunduran fungsi
kognitif ringan, kemudian terjadi kemunduran dalam mempelajari hal-hal
yang baru, menurunnya ingatan terhadap peristiwa jangka pendek, kesulitan
menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Pada tahap lanjut, gejala
yang dialami demensia antara lan sulit mengenali benda, tidak dapat
bertindak sesuai dengan rencana, tidak bisa mengenakan pakaian sendiri,
tidak bisa memperkirakan jarak dan sulit mengordinasikan anggota tubuh.
Gejala demensia selanjutnya yang muncul biasanya berupa depresi yang
dialami pada lansia, dimana orang yang mengalami demensia sering kali
menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitive. Kondisi seperti ini
dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan
memberat kondisi lansia. Pada saat ini mungkin saja lansia menjadi sangat
ketakutan bahkan hingga berhalusinasi. Disinilah peran keluarga sangat
penting untuk proses penyembuhan, karena lansia yang demensia
memerlukan perhatian lebih dari keluarganya.
Pada tahap lanjut demensia menimbulkan perubahan tingkah laku
yang semakin mengkhawatirkan, perubahan perilaku yang dialami lansia
pada penderita demensia bisa menimbulkan delusi, halusinasi, depresi,
kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi, ketidakmampuan melakukan
tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara
mandiri, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal.
Menurut Asrori dan Putri (2014), menyebutkan ada beberapa tanda dan
gejala yang dialami demensia antara lain:
· Kehilangan. Memori
Tanda awal yang dialami lansia yang menderita demensia adalah lupa
tentang informasi yang baru di dapat atau di pelajari, itu merupakan hal
biasa yang diamali lansia yang menderita demensia seperti lupa dengan
pentujuk yang diberikan, nama maupun nomer telepon, dan penderita
demensia akan sering lupa dengan benda dan tidak mengingatnya.
· Kesulitan dalam melakukan rutinitas pekerjaan

9
Lansia yang menderita Demensia akan sering kesulitan untuk
menyelesaikan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Lansia yang
mengadalami Demensia terutama Alzheimer Disease mungkin tidak
mengerti tentang langkah- langkah dari mempersiapkan aktivitas sehari-
hari seperti menyiapkan makanan, menggunkan perlatan rumah tangga
dan melakukan hobi.
· Masalah dengan Bahasa
Lansia yang mengalami Demensia akan kesulitam dalam mengelolah
kata yang tepat, mengeluarkan kat-kata yang tidak biasa dan sering kali
membuat kalimat yang sulit untuk di mengerti orang lain
· Disorientasi waktu dan tempat
Mungkin hal biasa ketika orang yang tidak mempunyai penyakit
Demensia lupa dengan hari atau diaman dia berada, namun dengan
lansia yang mengalami Demensia akan lupa dengan jalan, lupa dengan
dimana mereka berada dan baimana mereka bisa sampai ditempat itu,
serta tidak mengetahui bagaimana kebali kerumah.
· Tidak dapat mengambil keputusan
Lansia yang mengalami Demensia tidak dapat mengambil keputusan
yang sempurna dalam setiap waktu seperti memakai pakaian tanpa
melihat cuaca atau salah memakai pakaian, tidak dapat mengelolah
keuangan.
· Perubahan suasana hati dan keperibadian
Setiap orang dapat mengalami perubahan suasan hati menjadi sedih
maupun senang atau mengalami perubahan perasaann dari waktu ke
waktu, tetapi dengan lansia yang mengalami demensia dapat
menunjukan perubahan perasaan dengan sangat cepat, misalnya
menangis dan marah tanpa alasan yang jelas. Kepribadian seseorang
akan berubah sesuai dengan usia, namun dengan yang dialami lansia
dengan demensia dapat mengalami banyak perubahan kepribadian,
misalnya ketakutan, curiga yang berlebihan, menjadi sangat bingung,
dan ketergantungan pada anggota keluarga.

10
5. Sub Tipe Demenia

1. Demensia Alzheimer

Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit neurodegeneratif yang


tersering ditemukan (60-80%). Karateristik klinik berupa berupa penurunan
progresif memori episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak
ditemukan kecuali pada tahap akhir penyakit. Gangguan perilaku dan
ketergantungan dalam aktivitas hidup keseharian menyusul gangguan
memori episodik mendukung diagnosis penyakit ini. Penyakit ini mengenai
terutama lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih
muda. Diagnosis klinis dapat dibuat dengan akurat pada sebagian besar
kasus (90%) walaupun diagnosis pasti tetap membutuhkan biopsi otak yang
menunjukkan adanya plak neuritik (deposit βamiloid40 dan β-amiloid42)
serta neurofibrilary tangle (hypertphosphorylated protein tau). Saat ini
terdapat kecenderungan melibatkan pemeriksaan biomarka neuroimaging
(MRI struktural dan fungsional) dan cairan otak (β-amiloid dan protein tau)
untuk menambah akurasi diagnosis.

Patofisiologi

Neuropatologinya terutama berhubungan dengan peptida beta-amiloid


(A~), serta neurofibrillary tangles (NFTs) yang berasal dari hiperfosforilasi
protein tau. Karakteristik neuropatologi DA adalah berupa hilangnya
neuronal selektif dan sinaps, adanya plak neuritik yang mengandung peptida
beta-amiloid (A~), serta neurofi- brillary tangles (NFTs) yang berasal dari
hiperfosforilasi protein tau Plak neuritik yang terjadi merupakan lesi
ekstraseluler yang tersusun atas inti sentral dari agregasi A~ peptida yang
dikelilingi oleh distrofi neuritik, aktiva- si mikroglial, dan astrosit reaktif.

11
NFTs sendiri merupakan buntalan filamen dalam sitoplasma sel saraf yang
menge- lilingi sel saraf.

Deposisi A~ pada otak merupakan salah satu implikasi dari patogenesis DA.
Pada proses neurodegenerasi demensia, aku- mulasi A~ (khususnya A~42
peptida) pada otak merupakan inisiasi terjadinya dis- fungsi neuron. Adanya
mutasi gen amy- loid precursor protein (APP) pada kromosom 21,
presenilin (PS)1 pada kromosom 14, dan PS2 pada kromosom 1 mengarah
pada early-onset DA tipe familial. Pada tipe ini terjadi produksi berlebihan
danfatau peningkatan agregasi A~. Beta-amiloid merupakan produk
fisiologi normal dari APP dan merupakan komponen solubel
dariplasmadancairanserebrospinal. Terdapat dua varian terminal karboksil
dari A~,yaitu A~40 yang merupakan sekret spesies utama dari sel kultur dan
terdapat pada cairan serebrospinal. Varian kedua adalah A~42 yang
merupakan komponen utama amiloid yang berdeposit di otak pada DA.
Peningkatan A~42 lebih sering mengalami agregasi dan membentuk fibril.
Neurotoksin yang dihasilkan oleh agregasi A~ akan menyebabkan beberapa

12
mekanisme, seperti akumulasi radikal bebas, disregulasi dari homeostasis
kalsium, respons inflamasi, dan adanya aktivasi dari beberapa signaling
pathway. Dapat disimpulkan bahwa neuropatologi DA kompleks,
multifaktorial, dan melibatkan berbagai mediator kimiawi yang berkaitan
dengan proses degeneratif di otak.

Tatalaksana

Medikamentosa

a. Inhibitor asetilkolinesterase (acetylcholinestease inhibitor/AChE-l)

AChE- bekerja sebagai penguat kognisi dengan meningkatkan kadar


asetilkolin diotak untuk mengkompensasi hilangnya fungsi kolinergik. Ada
beberapa pilihan, yaitu:

- Donepezil

Donepezil efektif dalam terapi penurunan kognisi DA ringan-sedang dan


DA sedang-berat. Dosis 10mg/hari memberikan manfaatlebih besar
dibandingkan 5mg/hari. Insidens efek samping donepezil dibandingkan
dengan plasebo tidak jauh berbeda, efek itupun hanya bersifat sementara,
denganderajat ringan atau sedang.

- Galantamin

Galantamin member manfaat, namun hanyasedikit perbaikan pada DA


ringan-sedang, demikian pula pada DA sedang-berat.Meskipun galantamin
dapat memperbaikifungsi kognitif, namun tidak menunjukkan perbaikan
dalam aktivitas global sehari-hari.

- Rivastigmin

Bermanfaat untuk DA dengan doss lebih tinggi (6-12mg/hari). Patch


rivastigmine 17,4mg dan 9,5mg menunjukkan efikasi vang sama dengan
kapsul (6mg dua kali sehari). Terdapat sedikit keuntungan penggunaan

13
rivastigmin pada DA sedang-berat, namun tidak ada bukti vang mendukung
pada DA berat. Bila dibandingkan dengan kapsul, patch 9,5mg hanya
menghasilkan efek samping 2/3 lebih sedikit, berupa mual dan muntah.

- Antagonis reseptor NMDA (memantin)

Penggunaan memantin 20mg/hari memberikan sedikit perbaikan untuk


pasien dengan DA ringan-sedang setelah 24 minggu. Memantin disetujui
untuk demensia sedang hingga berat dengan memberikan manfaat pada
fungsi kognisi, mood, dan perilaku.

- Kombinasi obat golongan AChE- dengan memantine.

Pada penelitian uji klinis terhadap 404 subjek dengan demensia sedang
sampai berat yang sedang menggunakan donepezil, kemudian subjek dibagi
menjadi dua kelompok, masing-masing ditambahkan memantin atau
plasebo. Kelompok yang memperoleh donepezil plus memantin
menunjukkan hasil sedikit lebih baik pada fungsi global, fungsi kognitif,
ADL, dan behavioral and psychological symptoms of dementia (BPSD).

Nonmedikamentosa

Tujuan terapi nonmedikamentosa atau intervensi psikososial adalah


meningkatkan kualitas hidup orang dengan demensia. Apabila pendekatan
psikososial tunggal tidak optimal, diperlukan pendekatan multidimensial
untuk intervensi yang lebih efektif. Pendekatan sebaiknya terfokus pada
individu dan disesuaikan dengan kebutuhan, kepribadian, kekuatan dan
preferensi. bererapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu mesalah
aktivitas seharihari agar mandiri, meningkatkan fungsi, beradaptasi dan
belajarketerampilan, serla meminimalkan bantuan. Oleh karena itu,
intervensi dibagi menjadi 3 kelompok:

- Mempertahankan fungsi

o Mengadopsi strategi untuk meningkatkan kemandirian

14
o Memelihara fungsi kognitif

- Manajemen perilaku sulit: agitasi, agresi, dan psikosis

- Mengurangi gangguan emosional komorbid

2. Demensia Vaskular

Demensia vaskular (DVa) adalah gangguan neurokognitif yang ditandai


oleh adanya penurunan kognitif yang signifikan dan secara langsung
diakibatkan oleh gangguan vaskularisasi otak dengan faktor potensial yang
telah diketahui. Patologi dasar gangguan vaskularisasi otak yang berperan
termasuk riwayat stroke baik hemoragik maupun iskemik, kejadian cerebral
small vessel disease (CSVD), ataupun sekuele dari kejadian hipoksia atau
hipotensi.

Patofisiologi

Secara umum patofisiologi terjadinya DVa melibatkan kelainan pembuluh


darah dengan manifestasi perdarahan (termasuk perdarahan mikro) ataupun
iskemia (hipoksemia). Hipoksemia yang terjadi dapat bersifat akut dan
kronik. Hipoksemia akut dengan lesi lokal. biasanya berupa infark,
sedangkan hipoksemia global berbentuk nekrosis korteks laminer, sklerosis
hipokampus, dan infark watershed. Pada hipoksemia kronik, manifestasinya
berupa lesi pada substansia alba (leukoaraiosis). Manifestasi klinis tampak
lebih jelas pada keterlibatan pembuluh darah besar, sedangkan pada
pembuluh darah otak yang lebih kecil (perdarahan mikro dan leukoaraiosis),
manifestasinya minimal tau bahkan asimtomatik (silent infarct). Berikut
beberapa jenis demensia vaskular beserta penyebabnya :

- Demensia Pascastroke

Demensia pascastroke atau post-stroke dementia(PSD) didefinisikan


sebagai demensia yang teriadi setelah stroke dan disebabkan oleh penyakit
vaskular, degeneratif, atau keduanya. Pasien dengan riwayat stroke akan

15
lebih berisiko mengalami demensia 3-5 kali lebih bear dibandingkan dengan
pasien tapa riwayat stroke sebelumnya. Terdapat sekitar 20% pasien yang
kemudian akan mengalami kejadian DVa dalam 6 bulan setelah serangan
stroke pertama (single- infarct dementia). Kejadian timbulnya gejala DVa
meningkat seiring dengan besar lesi yang dihasilkan pascastroke dan
banyaknya riwayat kejadian stroke (stroke berulang) yang memungkinkan
terjadi lesi yang lebih banyak.

o Single strategic-infarct dementia

DVa pascastroke dapat teriadi akibat lesi pada regio kortikal maupun
subkortikal dan dapat berupa suatu proses iskemik maupun hemoragik. Pada
lesi di regio kortikal, demensia akan terjadi jika daerah fungsi heteromodal
otak ikut terlibat, termasuk sistem limbik atau area asosiasi kortikal.
Terdapat 3 lokasi utama infark terisolasi di area korteks yang rawan
menyebabkan Dva, yaitu girus angularis pada regio arteri serebri media,
inferomesial lobus temporal pada regio arteri serebri posterior, dan mesial
lobus frontal pada regio arteri serebri anterior. Adapun lesi subkortikal
terutama subcortical-cortical loops aka memberikan manifestasi demensia.
Area subkortikal yang juga rawan terjadi DVa adalah talamus, genu kapsula
interna, dan nucleus kaudatus.

o Demensia multi-infark

Merupakan akumulasi infark berulang pada bagian kortikal maupun


subkortikal, kejadian demensia meningkat seiring dengan kejadian infark
berulang yang terlihat dengan jelas.

- Demensia Terkait Small Vessel Disease

o Subcortical ischemic vascular disease (penyakit Binswanger)


Penyakit ini merupakan stadium final dari riwayat panjang
penyakit arteri kecil Ismall vessel disease) terkait hipertensi
Seiak awal 1990, studi longitudinal menunjukkan gambaran
abnormalitas pada substansia alba (white matter) pada 95%

16
subjek berusia di atas 65 tahun. Keadaan ini sangat kuat terkait
hipertensi dan berkaitan dengan fungsi eksekutif

o Cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical


infarcts and leukoencephalopathy (CADASIL)

CADASIL mulai dikenal pada tahun 1993 sebagai penyebab


baru DVa murni, Penvakit ini merupakan penyakit bawaan
langka akibat adanya mutasi NOTCH3 kromosom. Pada
pemeriksaan histopatologisnya, didapatkan deposisi materi
granular dalam dinding arteri kecil dan arteriol, sehingga
menyebabkan penyempitan lumen dan destruksi sel otot polos
dinding pembuluh. Gambaran umumnya berupa infark lakunar
multiple dan substansia alba pucat yang luas.

o Demensia Terkait Angiopati Amilia

Hal ini disebabkan oleh cerebral amyloid Angiopaty atibat


deposisi amiloid di dinding pembuluh darah korteks dan
leptomeningen. Appolipoproteinalel-E2 berkontribusi dalam
Deposisi B-amiloid ini yang menyebabkan angiopati amiloid
dan perdarahan mikro. lokasi perdarahan serebral akan
menentukan terjadinya gangguan kognitif.

o Demensia Terkait Mekanisme Hemodinamik

Terjadi kegagalan hemodinamik pada area perbatasan frontal yang


diperdarahi olen cabang distal dan cabang piamater arteri serebri anterior
dan media. menyebabkan lesi iskemik reversibele di lokasi yang berdekatan
dengan area Sylvii. Proses ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan
sistemik, seperti henti jantung, aritmia, gagal jantung, atau hipotensi.

Tatalaksana

Medikamentosa

17
- Tata laksana utama DVa juga mencakup mengontrol factor risiko
penyakit serebrovaskular. Pemberian antihipertensi,
antiplatelet/antikoagulan, dst tetap harus diperhatikan dalam
menatalaksana DVa.

- Inhibitor asetilkolinesterase (AChE-1) AChE-l bekerja sebagai penguat


kognisi dengan meningkatkan kadar asetilkolin di otak untuk
mengkompensasi hilangnya fungsi kolinergik. Secara mum penggunaan
ACHE- (donepezil, galantamin, rivastigmin) direkomendasikan untuk
demensia ringan hingga sedang, tetapimhanya donepezil yang disetujui
untuk demensia berat.

- Antagonis reseptor NMDA (memantin). Selain AchE-l, memantin juga


disebutkan sebagai salah satu penguat kognisi yang direkomendasikan
untuk DVa, Penggunaan memantin 20 mg/hari memberikan sedikit
perbaikan untuk pasien dengan AD ringan-sedang setelah 24 minggu.
Memantin disetujui untuk demensia sedang hingga berat, dengan
memberikan manfaat pada fungsi kognisi, mood, dan perilaku.

- Selain penggunaan obat-obatan penguat kognisi di atas, medikamentosa


pengontrol faktor risiko vaskular juga harus tetap diberikan. Hal ini
diasumsikan dapat menurunkan risiko perburukan, walaupun belum
terbukti memiliki efek langsung terhadap fungsi kognitif.

- Pertimbangan terapi lainnya: propentofilin, nimodipin, dan selective


serotonin reuptake inhib-itors (SSRI).

- Kombinasi obat golongan AChE dengan memantin Pada penelitian uji


klinis terhadap 404 subjek dengan demensia sedang sampai berat yang
sedang menggunakan donepezil, kemudian subjek dibagi menjadi dua
kelompok, masing-masing ditambahkan memantin atau plasebo.
Kelompok yang memperoleh donepezil plus memantine menunjukkan
hasil sedikit lebih baik pada fungsi global, fungsi kognitif, ADL, dan
BPSD.

18
Nonmedikamentosa

Seperti halnya DA, tujuan terapi nonmedikamentosa pada DV adalah


meningkatkan kualitas hidup orang dengan demensia. Apabila
pendekatan psikososial tunggal tidak optimal, diperlukan pendekatan
multidimensional untuk intervensi yang lebih efektif.

19
3. Demensia Lewy-Body
Demensia Lewy-Body (DLB) merupakan dimensia ketiga
yang paling sering ditemukan setelah demensia Alzheimer (DA) dan
demensia vaskular (DVa). Demensia ini didominasi adanya
fluktuasi kognitif, halusinasi visual yang seperti nyata, dan gejala
parkinsonisme di awal awitan. Demensia DLB sulit dibedakan
dengan demensia penyakit parkinson (DPP). Adapun perbedaannya
terdapat pada awitan terjadinya gangguan fungsi kognitif dan klinis
parkinson. Pada DLB gejala klinis parkinsonisme muncul setelah
adanya demensia atau awitan demensia dan parkinsonisme terjadi
dalam satu tahun secara bersamaan. Gejala klinis DLB terbagi
menjadi dua jenis yaitu, gejala klinis inti dan suportif:
• Gejala Klinis Inti
1. Fluktuasi kognitif, atensi, dan minat. Fluktuasi ini
mencakup episode waxing dan waning dari
inkonsistensi perilaku, kemampuan berbicara yang
inkoheren, gangguan atensi, atau adanya perubahan
kesadaran.
2. Halusinasi visual pada DLB terjadi berulang. Berupa
halusinasi kompleks dan terjadi pada 80% kasus.
3. Parkinsonisme. Gejala pasrkinsonisme spontan yang
tidak berhubungan dengan penggunaan
antidopaminergik ataupun stroke terjadi pada 85%
kasus.
4. Gangguan perilaku tidur fase REM. Gangguan ini
ditandai oleh parasomnia berupa perilaku menirukan
isi mimpi saat tidur dan berhubungan dengan tidak
adanya atonia dari fase tidur REM.
• Gejala Klinis Suportif
Gejala klinis suportif adalah gejala yang biasanya
timbul dini, tetapi kurang spesifik dalam penegakan

20
diagnosis DLB. Hipersomnia, hiposmia, episode tidak
responsif sesaat yang sulit dibedakan dengan sinkop, dan
sensitivitas terhadap penggunaan obat-obatan antipsikotik
merupakan gejala klinis suportif pada DLB.
• Tata Laksana
Medikamentosa
a. Golongan Inhibitor asetilkolinesterase (AChE-I) merupakan obat
yang penting dalam mengendalikan demensia pada seluruh stadium
DLB. Contoh obat seperti rivastigmin, galantamin, dan donepezile
dapat diberikan.
b. Antagonis reseptor NMDA (memantine
c. Antipsikotik atipikal (dopamin antagonis) seperti quetiapin dapat
dipertimbangkan bila pasien sudah menunjukkan gejala psikotik
yang membahayakan.
d. Antiparkinsonisme seperti levodopa dapat diberikan dengan dosis
rendah untuk mencegah perburukan gejala halusinasi visual,
gangguan perilaku, atau EDS.
e. Zonisamide dapat memberikan manfaat terhadap gejala motorik.
Non Medikamentosa
Intervensi non medikamentosa pada DLB bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Adapun yang dapat dilakukan
adalah seperti aktivitas fisik, terapi okupasi, terapi musik, ataupun
cognitive behavioral therapy (CBT).

21
4. Demensia Frontotemporal
Patofisiologi

Proses patologi pada DFT sifatnya heterogen, ditandai dengan gliosis,


hilangnya neuron, dan degenerasi superfisial spongiform di korteks frontal dan/atau
temporal. Neuron yang berbalon (pick cells), jumlahnya bervariasi dalam semua
subtipe. Terdapat bukti beberapa tipe proteinopati abnormal berupa inklusi protein
ubiquitin pada sitoplasma atau inti sel glia dan neuronal. Secara garis besar
neuropatologi DFT dibagi menjadi variasi tau positif dan tau negatif. Sekitar 80-
95% pasien DFT dengan tau negatif mengandung inklusi transactive response
(TAR) DNA-binding protein 43 kDa (TDP- 43). Menariknya, terdapat inklusi TDP
43 dalam jumlah lebih besar di neuron Von Economo terkonsentrasi pada insula
anterior.

Klasifikasi perubahan patologis pada DFT didasari pada pola endapan


protein dan terlihat sebagai degenerasi lobus frontotemporal (DLFT). Perubahan
patologis yang terlihat secara mikroskopik adalah atrofi lobus frontal dan temporal

22
berupa hilangnya neuron dengan gambaran mikro vakuolisasi (seperti spons) atau
gliosis transkortikal. Atrofi biasa terlihat pada neokorteks prefrontal dan anterior.
Distribusi topografik atrofi yang berbeda menentukan sindrom klinis dari DFT,
yaitu varian behavioral atau varian frontal (bvDFT/fvDFT), demensia semantik,
dan primary progressive aphasia (PPA)

Gejala dan Tanda Klinis

DFT dapat dibedakan menjadi beberapa tipe berdasarkan gejala awal yang
mun- cul dalam perjalanan penyakitnya, yaitu:

1. Demensia frontotemporal varian behavior (DFTvb): berupa gangguan


kepribadian/perilaku secara progresif. Tipe ini memiliki karakteristik gejala
awal berupa perubahan kepribadian, tingkah laku, emosi, dan perubahan
dalam mengambil keputusan.
2. Afasia progresif primer: tipe penurunan bahasa secara progresif, seperti
kelancaran berbicara (fluency), kemampuan mengerti sesuatu, membaca,
dan menulis.
3. Penurunan fungsi motorik secara progresif dengan karakteristik kesulitan
gerakan fisik, seperti berjabat tangan, kesulitan berjalan, sering terjatuh, dan
koordinasi yang buruk.
4. Gejala Perilaku

Pasien dengan kelainan frontotemporal dapat mengalami gejala gangguan


perilaku sebagai berikut:

a. Gangguan funsi eksekutif

Pasien biasanya mengalami kesulitan dalam perencanaan, pola pikir,


memprioritaskan sesuatu, pengerjaan tugas jamak (multitasking), pemantauan diri,
dan perbaikan perilaku.

b. Perseverasi

Pasien biasanya memiliki kebiasaan mengulang aktivitas atau kata-kata yang sama
(tidak dapat/kesulitan mengubah aktivitas atau kata-kata dari yang sebelumnya baru
dilakukan)

23
c. Disinhibisi

Pasien biasanya bertindak impulsif tanpa memedulikan bagaimana orang lain


melihat/menilai tindakannya tersebut (tidak ada rasa malu sosial).

d. Perubahan perilaku makan

Sering meraih makanan termasuk mengambil makanan dari piring milik orang lain,
terutama makanan yang mengandung banyak karbohidrat, seperti roti dan kue
kering.

e. Perubahan perilaku untuk menggunakan suatu benda

Pasien memiliki kesulitan untuk menahan perasaan untuk menyentuh atau


menggunakan benda yang ia dapat gapai atau lihat.

f. Gejala Bahasa

Terjadi perburukan kemampuan berbahasa secara kronik progresif


setidaknya dalam dua tahun setelah gejala pertama muncul. Kemampuan berpikir
dan bersosialisasi biasanya bertahan lebih lama sebelum akhirnya berkurang.
Pasien dengan kelainan frontotemporal dapat mengalami gejala gangguan
kemampuan bahasa sebagai berikut:

- Afasia
- Disartria
- Gejala Emosional
- Apatis
- Perubahan emosional
- Perubahan sosial-interpersonal
- Perubahan insight
- Gejala Motorik
- Distonia
- Kelainan berjalan
- Tremor
Tata Laksana
Medikamentosa

24
a. Simptomatik

Beberapa obat dapat digunakan untuk mengurangi masalah perilaku. Obat


antidepresan golongan SSRI dpat diberikan untuk mengatasi masalah kognitif,
sosial, dan perilaku impulsif. Gejala agresi (sikap menyerang) atau waham dapat
diberikan antipsikotik dosis rendah.

b. Disease modifying therapy

Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat memodifikasi atau menghambat
progresivitas degenerasi lobus frontotemporal.

2. Nonmedikamentosa
- Manajemen masalah perilaku

Pengertian terhadap perubahan kepribadian, perilaku dan mengetahui cara untuk


memberikan respons yang baik dapat mengurangi rasa frustasi yang pengasuh
alami.
Bila pasien apatis, sebaiknya berikan pilihan yang spesifik (berikan pertanyaan
tertutup), hindari memberikan pilihan. Selain itu mempertahankan jadwal yang
biasa pasien lakukan dan memodifikasi lingkungan dapat membantu.
- Manajemen masalah bahasa
Tujuannya yaitu memelihara kemampuan bahasa serta penggunaan cara lain untuk
berkomunikasi. Ketidakmampuan berkomunikasi secara verbal dapat diatasi
dengan berkomunikasi melalui bahasa tulisan, gerak tubuh, dan gambar.
- Manajemen masalah gerak
Terapi fisik dan okupasi dapat membantu pasien dengan sindrom kortikobasal
bergerak lebih mudah. Pada tipe PSP, latihn fisik dengan cara berjalan
menggunakan karung pasir di atas anak tangga yang lebih rendah, dapat membuat
sendi menjadi lebih lentur dan memelihara keseimbangan.Pada tipe FTD-ALS,
pergerakan akan berkurang setelah 2-3 tahun mengalami penyakit ini. Terapi fisik
dapat membantu mengurangi gejala pada otot, dan penggunaan alat bantu berjalan
dapat bermanfaat.
6. Diagnosis
Anamesis

25
Anamnesis dilakukan pada penderita, keluarga atau pengasuh yang
mengetahui perjalanan penyakit pada pasien. Hal yang penting untuk diperhatikan
pada saat melakukan anamnesis adalah riwayat penurunan fungsi terutama fungsi
kognitif pada pasien dibandingkan sebelumnya, mendadak atau progresif lama dan
adanya perubahan perilaku kepribadian.
• Riwayat medis umum
Ditanyakan faktor resiko demensia, riwayat infeksi
kronis (misalnya HIV dan sifilis), gangguan endokrin
(hiper/hipotiroid), diabetes melitus, neoplasma/tumor,
penyakit jantung, penyakit kolagen, hipertensi,
hiperlipidemia dan aterosklerosis perifer mengarah ke
demensia vaskular.
• Riwayat neurologis
Bertujuan untuk mengetahui etiologi demensia
seperti riwayat gangguan serebrovaskular, trauma kapitis,
infeksi sistem saraf pusat , epilepsi, stroke, tumor serebri dan
hidrosefalus.
• Riwayat gangguan kognitif
Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka
panjang yang meliputi :
• Gangguan orientasi, waktu dan tempat
• Gangguan berbahasa/komunikasi (kelancaran,
menyebut maupun gangguan komprehensif)
• Gangguan fungsi eksekutif (pengorganisasian,
perencanaan dan pelaksanaan suatu aktifitas)
• Gangguan praksis dan visuospasial.
Hal lain yang perlu untuk diketahui mengenai aktifitas harian
yang dilakukan pasien diantaranya melakukan pekerjaan,
mengatur keuangan, mempersiapkan keperluan harian,
melaksanakan hobi serta mengikuti aktifitas sosial.
• Riwayat gangguan perilaku kepribadian

26
Pada penderita demensia dapat ditemukan gejala-
gejala neuropsikologis berupa waham, halusinasi, miss
identifikasi, depresi, delusi, pikiran paranoid, apatis dan
cemas. Gejala perilaku salah satu contohnya dapat berupa
bepergian tanpa tujuan, agitasi, agresivitas fisik maupun
verbal, kegelisahan dan disinhibisi (rasa malu).
• Riwayat keracuanan, nutrisi dan obat-obatan
Adanya riwayat intoksikasi aluminium, air raksa,
pestisida, insektisida, lem, alkoholisme dan merokok.
Riwayat pengobatan terutama pemakaian kronis obat anti
depresan dan narkotika perlu diketahui.
• Riwayat keluarga
Mencari riwayat terhadap keluarga, apakah keluarga
mengalami demensia atau riwayat penyakit serebrovaskular,
depresi, penyakit parkinson, retardasi mental, dan gangguan
psikiatri
Pemeriksaan Fisik
Pada demensia, daerah motorik, piramidal dan ekstrapiramidal ikut terlibat
secara difus maka hemiparesis atau monoparesis dan diplegia dapat melengkapkan
sindrom demensia. Apabila manifestasi gangguan korteks piramidal dan
ekstrapiramidal tidak nyata, tanda-tanda lesi organik yang mencerminkan gangguan
pada korteks premotorik atau prefrontal dapat membangkitkan refleks-refleks.
Refleks tersebut merupakan petanda keadaan regresi atau kemunduran kualitas
fungsi.
• Refleks memegang (grasp reflex). Jari telunjuk dan tengah si
pemeriksa diletakkan pada telapak tangan si penderita.
Refleks memegang adalah positif apabila jari si pemeriksa
dipegang oleh tangan penderita.
• Refleks glabela. Orang dengan demensia akan memejamkan
matanya tiap kali glabelanya diketuk. Pada orang sehat,
pemejaman mata pada ketukan berkali-kali pada glabela

27
hanya timbul dua tiga kali saja dan selanjutnya tidak akan
memejam lagi.
• Refleks palmomental. Goresan pada kulit tenar
membangkitkan kontraksi otot mentalis ipsilateral pada
penderita dengan demensia.
• Refleks korneomandibular. Goresan kornea pada pasien
dengan demensia membangkitkan pemejaman mata
ipsilateral yang disertai oleh gerakan mandibula ke sisi
kontralateral.
• Snout reflex. Pada penderita dengan demensia setiap kali
bibir atas atau bawah diketuk m. orbikularis oris
berkontraksi
• Refleks menetek (suck reflex). Refleks menetek adalah
positif apabila bibir penderita dicucurkan secara reflektorik
seolah-olah mau menetek jika bibirnya tersentuh oleh
sesuatu misalnya sebatang pensil
• Refleks kaki tonik. Pada demensia, penggoresan pada
telapak kaki membangkitkan kontraksi tonik dari kaki
berikut jari-jarinya
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penegakkan demensia meliputi
pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak, elektro ensefalografi
dan pemeriksaan genetika.
- Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal,
fungsi hati, hormon tiroid dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan
HIV dan neurosifilis pada penderita dengan resiko tinggi.
Pemeriksaan cairan otak bila terdapat indikasi.
- Pemeriksaan pencitraan otak
Pemeriksaan ini berperan untuk menunjang diagnosis,
menentukan beratnya penyakit serta prognosis. Computed
Tomography (CT) – Scan atau Metabolic Resonance Imaging

28
(MRI) dapat mendeteksi adanya kelainan struktural sedangkan
Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon
Emission Tomography (SPECT) digunakan untuk mendeteksi
pemeriksaan fungsional. MRI menunjukkan kelainan struktur
hipokampus secara jelas dan berguna untuk membedakan
demensia alzheimer dengan demensia vaskular pada stadium
awal.
- Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak menunjukkan adanya kelainan yang
spesifik. Pada stadium lanjut ditemukan adanya perlambatan
umum dan kompleks secara periodik.
- Pemeriksaan Genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid
polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan
epsilon 4. Setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda.
Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang
demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik
menjadikan genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda untuk
demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
- Mini Mental State Examination (MMSE)
Pemeriksaan demensia dapat menggunakan Mini Mental State
Examination (MMSE) yang merupakan gold standar untuk
diagnosis demensia. Pemeriksaan neuropsikologi ini pertama kali
diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975. Pemeriksaan ini
mudah dikerjakan dan membutuhkan waktu yang relatif singkat
yaitu antara lima sampai sepuluh menit yang mencakup penilaian
orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali
serta bahasa.
Pasien dinilai secara kuantitatif pada fungsi- fungsi tersebut dengan
nilai sempurna adalah 30. Pemeriksaan MMSE dapat digunakan
secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk

29
mencari kemungkinan munculnya defisit kognitif sebagai tanda
demensia (Kaplan & Sadock, 2007).
Pemeriksaan ini juga digunakan secara luas pada praktik klinis
sebagai instrumen skrining kognitif yang telah dibuktikan dalam
studi National Institute of Mental Health yang menyebutkan bahwa
MMSE sebagai penilai fungsi kognitif yang direkomendasikan
untuk kriteria diagnosis penyakit Alzheimer dan dikembangkan oleh
National Institute of Neurological and Communication Disorders &
Stroke and the Alzheimer’s Disease & Related Disordes Association
(Zulsita, Arni, 2011 cit McKhann et al, 1984).
Menurut Folstein (1990), interpretasi MMSE didasarkan pada skor
yang diperoleh pada saat pemeriksaan:
- Skor 27-30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal,
- Skor 21-26 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif ringan
- Skor 10-20 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif sedang
- Skor < 10 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif berat.

30
DAFTAR PUSTAKA

• American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical


Manual of Mental Disorder Edition (DSM-V). Washington : American
Psychiatric Publishing.
• Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi, Jilid 1. Edisi Pertama.
Jakarta: Departemen Neurologi FK UI; 2022.
• Goodman RA, Lochner KA, Thambisetty M, Wingo TS, Posner SF, Ling
SM. Prevalence of dementia subtypes in United States Medicare fee-for-
service beneficiaries, 2011-2013. Alzheimers Dement. 2017 Jan;13(1):28-
37. doi: 10.1016/j.jalz.2016.04.002. Epub 2016 May 10. PMID: 27172148;
PMCID: PMC5104686.
• Kemenkes RI, 2018, Hasil Utama RISKESDAS 2018, Kemenkes RI: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
• Kemenkes RI, 2019, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018
• Kumar A, Sidhu J, Goyal A, et al. Alzheimer Disease. [Updated 2022 Jun
5]. In: StatPearls Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.

• Panduan Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. (2015).


Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
• Suriastini, Ni W., et al. "Angka Prevalensi Demensia, Perlu Perhatian Kita
Semua." SurveyMETER, 2016

31

Anda mungkin juga menyukai