DEMENSIA
Pembimbing:
dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.S
Disusun Oleh:
Arif Alva Edison (2019730119)
Yosava Shalsabila (2018730148)
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
referat dengan judul “Demensia” sesuai dengan waktunya. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.S selaku
pembimbing dalam penyusunan laporan referat ini, sehingga penulis dapat
menyelesaikannya dengan baik. Semoga laporan referat ini dapat menambah
wawasan kita dalam ilmu Penyakit Saraf, khususnya pada topik Demensia
Penulis menyadari bahwa Laporan Referat ini masih memiliki banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya tugas
Laporan Referat ini dan agar dapat lebih baik lagi dalam pembuatan
selanjutnya. Demikian yang dapat penulis sampaikan. Semoga tugas Laporan
Referat ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap pembacanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Secara umum gejala demensia dapat dibagi atas dua kelompok yaitu
gangguan kognisi dan gangguan non-kognisi. Keluhan kognisi terdiri dari
gangguan memori terutama kemampuan belajar materi baru yang sering
merupakan keluhan paling dini. Memori lama bisa terganggu pada demensia
tahap lanjut. Pasien biasanya mengalami disorientasi di sekitar rumah atau
lingkungan yang relatif baru. Kemampuan membuat keputusan dan pengertian
diri tentang penyakit juga sering ditemukan.
5
Gangguan motorik berupa kesulitan berjalan, bicara cadel dan gangguan gerak
lainnya dapat ditemukan disamping keluhan kejang mioklonus.
2. Epidemiologi
Diperkirakan terdapat 35,6 juta orang dengan demensia pada tahun 2010
dengan peningkatan dua kali lipat setiap 20 tahun, menjadi 65,7 juta di tahun
2030 dan 115,4 juta di tahun 2050. Di Asia Tenggara jumlah orang dengan
demensia diperkirakan meningkat dari 2,48 juta di tahun 2010 menjadi 5,3 juta
pada tahun 2030. Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di
Indonesia (lakilaki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-
2015 menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Hasil proyeksi juga
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun ke depan
akan mengalami peningkatan dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,8
juta pada tahun 2035. Jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas akan
meningkat dari 5,0 % menjadi 10,8 % pada tahun 2035.2 Belum ada data
penelitian nasional mengenai prevalensi demensia di Indonesia. Namun
demikian Indonesia dengan populasi lansia yang semakin meningkat, akan
ditemukan kasus demensia yang banyak. Demensia Vaskuler (DV)
diperkirakan cukup tinggi di negeri ini, data dari Indonesia Stroke Registry
2013 dilaporkan bahwa 60,59 % pasien stroke mengalami gangguan kognisi
saat pulang perawat dari rumah sakit. Tingginya prevalensi stroke usia muda
6
dan factor risiko stroke seperti hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskuler
mendukung asumsi di atas.
3. Faktor Risiko
Secara garis besar, faktor risiko demensia dibagi menjadi 2 yaitu :
• Dapat dimodifikasi :
o Faktor vascular : hipertensi usia pertengahan,
hiperkolesterolemia pada usia pertengahan, diabetes melitus
dan stroke semuanya telah terbukti berhubungan dengan
peningkatan resiko kejadian dementia.
§ Hipertensi : Pasien dengan hipertensi yang disertai
dengan penurunan kognisi, maka perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk mendeteksi
adanya silent infarct, microbleed atau white matter
lesion.
§ Asam volat dan Vitamin B
§ Statin
o Faktor pola hidup
7
tua dan sangat tua dibanding pria. Kejadian DV lebih
tinggi pada pria secara umum walaupun menjadi
seimbang pada wanita yang lebih tua.
o Riwayat keluarga dan genetik : Penyakit Alzheimer
Awitan Dini (Early onset Alzheimer Disease/EOAD)
terjadi sebelum usia 60 tahun, kelompok ini
menyumbang 6-7% dari kasus PA. Sekitar 13% dari
EOAD ini memperlihatkan transmisi otosomal
dominan. Tiga mutasi gen yang teridentifkasi untuk
kelompok ini adalah amiloid ß protein precursor
(AßPP) pada kromosom 21 ditemukan pada 10-15%
kasus, presenelin 1 (PS1) pada kromosom 14
ditemukan pada 30-70% kasus dan presenilin 2 (PS)
pada kromosom 1 ditemukan kurang dari 5% kasus.
Sampai saat ini tidak ada mutasi genetik tunggal
yang teridentifikasi untuk PA Awitan Lambat.
Diduga faktor genetik dan lingkungan saling
berpengaruh. Di antara semua faktor genetik, gen
Apolipoprotein E yang paling banyak diteliti. Telaah
sistematik studi populasi menerangkan bahwa APOE
e4 signifikan meningkatkan risiko demensia PA
teruma pada wanita dan populasi antara 55-65 tahun,
pengaruh ini berkurang pada usia yang lebih tua.
Sampai saat ini tidak ada studi yang menyebutkan
perlunya tes genetik untuk pasien demensia atau
keluarganya. Apabila dicurigai autosomal dominan,
maka tes dapat dilakukan hanya setelah dengan
informed consent yang jelas atau untuk keperluan
penelitian.
4. Gejala Klinis
8
Gejala awal yang dialami demensia adalah kemunduran fungsi
kognitif ringan, kemudian terjadi kemunduran dalam mempelajari hal-hal
yang baru, menurunnya ingatan terhadap peristiwa jangka pendek, kesulitan
menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Pada tahap lanjut, gejala
yang dialami demensia antara lan sulit mengenali benda, tidak dapat
bertindak sesuai dengan rencana, tidak bisa mengenakan pakaian sendiri,
tidak bisa memperkirakan jarak dan sulit mengordinasikan anggota tubuh.
Gejala demensia selanjutnya yang muncul biasanya berupa depresi yang
dialami pada lansia, dimana orang yang mengalami demensia sering kali
menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitive. Kondisi seperti ini
dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan
memberat kondisi lansia. Pada saat ini mungkin saja lansia menjadi sangat
ketakutan bahkan hingga berhalusinasi. Disinilah peran keluarga sangat
penting untuk proses penyembuhan, karena lansia yang demensia
memerlukan perhatian lebih dari keluarganya.
Pada tahap lanjut demensia menimbulkan perubahan tingkah laku
yang semakin mengkhawatirkan, perubahan perilaku yang dialami lansia
pada penderita demensia bisa menimbulkan delusi, halusinasi, depresi,
kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi, ketidakmampuan melakukan
tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara
mandiri, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal.
Menurut Asrori dan Putri (2014), menyebutkan ada beberapa tanda dan
gejala yang dialami demensia antara lain:
· Kehilangan. Memori
Tanda awal yang dialami lansia yang menderita demensia adalah lupa
tentang informasi yang baru di dapat atau di pelajari, itu merupakan hal
biasa yang diamali lansia yang menderita demensia seperti lupa dengan
pentujuk yang diberikan, nama maupun nomer telepon, dan penderita
demensia akan sering lupa dengan benda dan tidak mengingatnya.
· Kesulitan dalam melakukan rutinitas pekerjaan
9
Lansia yang menderita Demensia akan sering kesulitan untuk
menyelesaikan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Lansia yang
mengadalami Demensia terutama Alzheimer Disease mungkin tidak
mengerti tentang langkah- langkah dari mempersiapkan aktivitas sehari-
hari seperti menyiapkan makanan, menggunkan perlatan rumah tangga
dan melakukan hobi.
· Masalah dengan Bahasa
Lansia yang mengalami Demensia akan kesulitam dalam mengelolah
kata yang tepat, mengeluarkan kat-kata yang tidak biasa dan sering kali
membuat kalimat yang sulit untuk di mengerti orang lain
· Disorientasi waktu dan tempat
Mungkin hal biasa ketika orang yang tidak mempunyai penyakit
Demensia lupa dengan hari atau diaman dia berada, namun dengan
lansia yang mengalami Demensia akan lupa dengan jalan, lupa dengan
dimana mereka berada dan baimana mereka bisa sampai ditempat itu,
serta tidak mengetahui bagaimana kebali kerumah.
· Tidak dapat mengambil keputusan
Lansia yang mengalami Demensia tidak dapat mengambil keputusan
yang sempurna dalam setiap waktu seperti memakai pakaian tanpa
melihat cuaca atau salah memakai pakaian, tidak dapat mengelolah
keuangan.
· Perubahan suasana hati dan keperibadian
Setiap orang dapat mengalami perubahan suasan hati menjadi sedih
maupun senang atau mengalami perubahan perasaann dari waktu ke
waktu, tetapi dengan lansia yang mengalami demensia dapat
menunjukan perubahan perasaan dengan sangat cepat, misalnya
menangis dan marah tanpa alasan yang jelas. Kepribadian seseorang
akan berubah sesuai dengan usia, namun dengan yang dialami lansia
dengan demensia dapat mengalami banyak perubahan kepribadian,
misalnya ketakutan, curiga yang berlebihan, menjadi sangat bingung,
dan ketergantungan pada anggota keluarga.
10
5. Sub Tipe Demenia
1. Demensia Alzheimer
Patofisiologi
11
NFTs sendiri merupakan buntalan filamen dalam sitoplasma sel saraf yang
menge- lilingi sel saraf.
Deposisi A~ pada otak merupakan salah satu implikasi dari patogenesis DA.
Pada proses neurodegenerasi demensia, aku- mulasi A~ (khususnya A~42
peptida) pada otak merupakan inisiasi terjadinya dis- fungsi neuron. Adanya
mutasi gen amy- loid precursor protein (APP) pada kromosom 21,
presenilin (PS)1 pada kromosom 14, dan PS2 pada kromosom 1 mengarah
pada early-onset DA tipe familial. Pada tipe ini terjadi produksi berlebihan
danfatau peningkatan agregasi A~. Beta-amiloid merupakan produk
fisiologi normal dari APP dan merupakan komponen solubel
dariplasmadancairanserebrospinal. Terdapat dua varian terminal karboksil
dari A~,yaitu A~40 yang merupakan sekret spesies utama dari sel kultur dan
terdapat pada cairan serebrospinal. Varian kedua adalah A~42 yang
merupakan komponen utama amiloid yang berdeposit di otak pada DA.
Peningkatan A~42 lebih sering mengalami agregasi dan membentuk fibril.
Neurotoksin yang dihasilkan oleh agregasi A~ akan menyebabkan beberapa
12
mekanisme, seperti akumulasi radikal bebas, disregulasi dari homeostasis
kalsium, respons inflamasi, dan adanya aktivasi dari beberapa signaling
pathway. Dapat disimpulkan bahwa neuropatologi DA kompleks,
multifaktorial, dan melibatkan berbagai mediator kimiawi yang berkaitan
dengan proses degeneratif di otak.
Tatalaksana
Medikamentosa
- Donepezil
- Galantamin
- Rivastigmin
13
rivastigmin pada DA sedang-berat, namun tidak ada bukti vang mendukung
pada DA berat. Bila dibandingkan dengan kapsul, patch 9,5mg hanya
menghasilkan efek samping 2/3 lebih sedikit, berupa mual dan muntah.
Pada penelitian uji klinis terhadap 404 subjek dengan demensia sedang
sampai berat yang sedang menggunakan donepezil, kemudian subjek dibagi
menjadi dua kelompok, masing-masing ditambahkan memantin atau
plasebo. Kelompok yang memperoleh donepezil plus memantin
menunjukkan hasil sedikit lebih baik pada fungsi global, fungsi kognitif,
ADL, dan behavioral and psychological symptoms of dementia (BPSD).
Nonmedikamentosa
- Mempertahankan fungsi
14
o Memelihara fungsi kognitif
2. Demensia Vaskular
Patofisiologi
- Demensia Pascastroke
15
lebih berisiko mengalami demensia 3-5 kali lebih bear dibandingkan dengan
pasien tapa riwayat stroke sebelumnya. Terdapat sekitar 20% pasien yang
kemudian akan mengalami kejadian DVa dalam 6 bulan setelah serangan
stroke pertama (single- infarct dementia). Kejadian timbulnya gejala DVa
meningkat seiring dengan besar lesi yang dihasilkan pascastroke dan
banyaknya riwayat kejadian stroke (stroke berulang) yang memungkinkan
terjadi lesi yang lebih banyak.
DVa pascastroke dapat teriadi akibat lesi pada regio kortikal maupun
subkortikal dan dapat berupa suatu proses iskemik maupun hemoragik. Pada
lesi di regio kortikal, demensia akan terjadi jika daerah fungsi heteromodal
otak ikut terlibat, termasuk sistem limbik atau area asosiasi kortikal.
Terdapat 3 lokasi utama infark terisolasi di area korteks yang rawan
menyebabkan Dva, yaitu girus angularis pada regio arteri serebri media,
inferomesial lobus temporal pada regio arteri serebri posterior, dan mesial
lobus frontal pada regio arteri serebri anterior. Adapun lesi subkortikal
terutama subcortical-cortical loops aka memberikan manifestasi demensia.
Area subkortikal yang juga rawan terjadi DVa adalah talamus, genu kapsula
interna, dan nucleus kaudatus.
o Demensia multi-infark
16
subjek berusia di atas 65 tahun. Keadaan ini sangat kuat terkait
hipertensi dan berkaitan dengan fungsi eksekutif
Tatalaksana
Medikamentosa
17
- Tata laksana utama DVa juga mencakup mengontrol factor risiko
penyakit serebrovaskular. Pemberian antihipertensi,
antiplatelet/antikoagulan, dst tetap harus diperhatikan dalam
menatalaksana DVa.
18
Nonmedikamentosa
19
3. Demensia Lewy-Body
Demensia Lewy-Body (DLB) merupakan dimensia ketiga
yang paling sering ditemukan setelah demensia Alzheimer (DA) dan
demensia vaskular (DVa). Demensia ini didominasi adanya
fluktuasi kognitif, halusinasi visual yang seperti nyata, dan gejala
parkinsonisme di awal awitan. Demensia DLB sulit dibedakan
dengan demensia penyakit parkinson (DPP). Adapun perbedaannya
terdapat pada awitan terjadinya gangguan fungsi kognitif dan klinis
parkinson. Pada DLB gejala klinis parkinsonisme muncul setelah
adanya demensia atau awitan demensia dan parkinsonisme terjadi
dalam satu tahun secara bersamaan. Gejala klinis DLB terbagi
menjadi dua jenis yaitu, gejala klinis inti dan suportif:
• Gejala Klinis Inti
1. Fluktuasi kognitif, atensi, dan minat. Fluktuasi ini
mencakup episode waxing dan waning dari
inkonsistensi perilaku, kemampuan berbicara yang
inkoheren, gangguan atensi, atau adanya perubahan
kesadaran.
2. Halusinasi visual pada DLB terjadi berulang. Berupa
halusinasi kompleks dan terjadi pada 80% kasus.
3. Parkinsonisme. Gejala pasrkinsonisme spontan yang
tidak berhubungan dengan penggunaan
antidopaminergik ataupun stroke terjadi pada 85%
kasus.
4. Gangguan perilaku tidur fase REM. Gangguan ini
ditandai oleh parasomnia berupa perilaku menirukan
isi mimpi saat tidur dan berhubungan dengan tidak
adanya atonia dari fase tidur REM.
• Gejala Klinis Suportif
Gejala klinis suportif adalah gejala yang biasanya
timbul dini, tetapi kurang spesifik dalam penegakan
20
diagnosis DLB. Hipersomnia, hiposmia, episode tidak
responsif sesaat yang sulit dibedakan dengan sinkop, dan
sensitivitas terhadap penggunaan obat-obatan antipsikotik
merupakan gejala klinis suportif pada DLB.
• Tata Laksana
Medikamentosa
a. Golongan Inhibitor asetilkolinesterase (AChE-I) merupakan obat
yang penting dalam mengendalikan demensia pada seluruh stadium
DLB. Contoh obat seperti rivastigmin, galantamin, dan donepezile
dapat diberikan.
b. Antagonis reseptor NMDA (memantine
c. Antipsikotik atipikal (dopamin antagonis) seperti quetiapin dapat
dipertimbangkan bila pasien sudah menunjukkan gejala psikotik
yang membahayakan.
d. Antiparkinsonisme seperti levodopa dapat diberikan dengan dosis
rendah untuk mencegah perburukan gejala halusinasi visual,
gangguan perilaku, atau EDS.
e. Zonisamide dapat memberikan manfaat terhadap gejala motorik.
Non Medikamentosa
Intervensi non medikamentosa pada DLB bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Adapun yang dapat dilakukan
adalah seperti aktivitas fisik, terapi okupasi, terapi musik, ataupun
cognitive behavioral therapy (CBT).
21
4. Demensia Frontotemporal
Patofisiologi
22
berupa hilangnya neuron dengan gambaran mikro vakuolisasi (seperti spons) atau
gliosis transkortikal. Atrofi biasa terlihat pada neokorteks prefrontal dan anterior.
Distribusi topografik atrofi yang berbeda menentukan sindrom klinis dari DFT,
yaitu varian behavioral atau varian frontal (bvDFT/fvDFT), demensia semantik,
dan primary progressive aphasia (PPA)
DFT dapat dibedakan menjadi beberapa tipe berdasarkan gejala awal yang
mun- cul dalam perjalanan penyakitnya, yaitu:
b. Perseverasi
Pasien biasanya memiliki kebiasaan mengulang aktivitas atau kata-kata yang sama
(tidak dapat/kesulitan mengubah aktivitas atau kata-kata dari yang sebelumnya baru
dilakukan)
23
c. Disinhibisi
Sering meraih makanan termasuk mengambil makanan dari piring milik orang lain,
terutama makanan yang mengandung banyak karbohidrat, seperti roti dan kue
kering.
f. Gejala Bahasa
- Afasia
- Disartria
- Gejala Emosional
- Apatis
- Perubahan emosional
- Perubahan sosial-interpersonal
- Perubahan insight
- Gejala Motorik
- Distonia
- Kelainan berjalan
- Tremor
Tata Laksana
Medikamentosa
24
a. Simptomatik
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat memodifikasi atau menghambat
progresivitas degenerasi lobus frontotemporal.
2. Nonmedikamentosa
- Manajemen masalah perilaku
25
Anamnesis dilakukan pada penderita, keluarga atau pengasuh yang
mengetahui perjalanan penyakit pada pasien. Hal yang penting untuk diperhatikan
pada saat melakukan anamnesis adalah riwayat penurunan fungsi terutama fungsi
kognitif pada pasien dibandingkan sebelumnya, mendadak atau progresif lama dan
adanya perubahan perilaku kepribadian.
• Riwayat medis umum
Ditanyakan faktor resiko demensia, riwayat infeksi
kronis (misalnya HIV dan sifilis), gangguan endokrin
(hiper/hipotiroid), diabetes melitus, neoplasma/tumor,
penyakit jantung, penyakit kolagen, hipertensi,
hiperlipidemia dan aterosklerosis perifer mengarah ke
demensia vaskular.
• Riwayat neurologis
Bertujuan untuk mengetahui etiologi demensia
seperti riwayat gangguan serebrovaskular, trauma kapitis,
infeksi sistem saraf pusat , epilepsi, stroke, tumor serebri dan
hidrosefalus.
• Riwayat gangguan kognitif
Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka
panjang yang meliputi :
• Gangguan orientasi, waktu dan tempat
• Gangguan berbahasa/komunikasi (kelancaran,
menyebut maupun gangguan komprehensif)
• Gangguan fungsi eksekutif (pengorganisasian,
perencanaan dan pelaksanaan suatu aktifitas)
• Gangguan praksis dan visuospasial.
Hal lain yang perlu untuk diketahui mengenai aktifitas harian
yang dilakukan pasien diantaranya melakukan pekerjaan,
mengatur keuangan, mempersiapkan keperluan harian,
melaksanakan hobi serta mengikuti aktifitas sosial.
• Riwayat gangguan perilaku kepribadian
26
Pada penderita demensia dapat ditemukan gejala-
gejala neuropsikologis berupa waham, halusinasi, miss
identifikasi, depresi, delusi, pikiran paranoid, apatis dan
cemas. Gejala perilaku salah satu contohnya dapat berupa
bepergian tanpa tujuan, agitasi, agresivitas fisik maupun
verbal, kegelisahan dan disinhibisi (rasa malu).
• Riwayat keracuanan, nutrisi dan obat-obatan
Adanya riwayat intoksikasi aluminium, air raksa,
pestisida, insektisida, lem, alkoholisme dan merokok.
Riwayat pengobatan terutama pemakaian kronis obat anti
depresan dan narkotika perlu diketahui.
• Riwayat keluarga
Mencari riwayat terhadap keluarga, apakah keluarga
mengalami demensia atau riwayat penyakit serebrovaskular,
depresi, penyakit parkinson, retardasi mental, dan gangguan
psikiatri
Pemeriksaan Fisik
Pada demensia, daerah motorik, piramidal dan ekstrapiramidal ikut terlibat
secara difus maka hemiparesis atau monoparesis dan diplegia dapat melengkapkan
sindrom demensia. Apabila manifestasi gangguan korteks piramidal dan
ekstrapiramidal tidak nyata, tanda-tanda lesi organik yang mencerminkan gangguan
pada korteks premotorik atau prefrontal dapat membangkitkan refleks-refleks.
Refleks tersebut merupakan petanda keadaan regresi atau kemunduran kualitas
fungsi.
• Refleks memegang (grasp reflex). Jari telunjuk dan tengah si
pemeriksa diletakkan pada telapak tangan si penderita.
Refleks memegang adalah positif apabila jari si pemeriksa
dipegang oleh tangan penderita.
• Refleks glabela. Orang dengan demensia akan memejamkan
matanya tiap kali glabelanya diketuk. Pada orang sehat,
pemejaman mata pada ketukan berkali-kali pada glabela
27
hanya timbul dua tiga kali saja dan selanjutnya tidak akan
memejam lagi.
• Refleks palmomental. Goresan pada kulit tenar
membangkitkan kontraksi otot mentalis ipsilateral pada
penderita dengan demensia.
• Refleks korneomandibular. Goresan kornea pada pasien
dengan demensia membangkitkan pemejaman mata
ipsilateral yang disertai oleh gerakan mandibula ke sisi
kontralateral.
• Snout reflex. Pada penderita dengan demensia setiap kali
bibir atas atau bawah diketuk m. orbikularis oris
berkontraksi
• Refleks menetek (suck reflex). Refleks menetek adalah
positif apabila bibir penderita dicucurkan secara reflektorik
seolah-olah mau menetek jika bibirnya tersentuh oleh
sesuatu misalnya sebatang pensil
• Refleks kaki tonik. Pada demensia, penggoresan pada
telapak kaki membangkitkan kontraksi tonik dari kaki
berikut jari-jarinya
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penegakkan demensia meliputi
pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak, elektro ensefalografi
dan pemeriksaan genetika.
- Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal,
fungsi hati, hormon tiroid dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan
HIV dan neurosifilis pada penderita dengan resiko tinggi.
Pemeriksaan cairan otak bila terdapat indikasi.
- Pemeriksaan pencitraan otak
Pemeriksaan ini berperan untuk menunjang diagnosis,
menentukan beratnya penyakit serta prognosis. Computed
Tomography (CT) – Scan atau Metabolic Resonance Imaging
28
(MRI) dapat mendeteksi adanya kelainan struktural sedangkan
Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon
Emission Tomography (SPECT) digunakan untuk mendeteksi
pemeriksaan fungsional. MRI menunjukkan kelainan struktur
hipokampus secara jelas dan berguna untuk membedakan
demensia alzheimer dengan demensia vaskular pada stadium
awal.
- Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak menunjukkan adanya kelainan yang
spesifik. Pada stadium lanjut ditemukan adanya perlambatan
umum dan kompleks secara periodik.
- Pemeriksaan Genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid
polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan
epsilon 4. Setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda.
Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang
demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik
menjadikan genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda untuk
demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
- Mini Mental State Examination (MMSE)
Pemeriksaan demensia dapat menggunakan Mini Mental State
Examination (MMSE) yang merupakan gold standar untuk
diagnosis demensia. Pemeriksaan neuropsikologi ini pertama kali
diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975. Pemeriksaan ini
mudah dikerjakan dan membutuhkan waktu yang relatif singkat
yaitu antara lima sampai sepuluh menit yang mencakup penilaian
orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali
serta bahasa.
Pasien dinilai secara kuantitatif pada fungsi- fungsi tersebut dengan
nilai sempurna adalah 30. Pemeriksaan MMSE dapat digunakan
secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk
29
mencari kemungkinan munculnya defisit kognitif sebagai tanda
demensia (Kaplan & Sadock, 2007).
Pemeriksaan ini juga digunakan secara luas pada praktik klinis
sebagai instrumen skrining kognitif yang telah dibuktikan dalam
studi National Institute of Mental Health yang menyebutkan bahwa
MMSE sebagai penilai fungsi kognitif yang direkomendasikan
untuk kriteria diagnosis penyakit Alzheimer dan dikembangkan oleh
National Institute of Neurological and Communication Disorders &
Stroke and the Alzheimer’s Disease & Related Disordes Association
(Zulsita, Arni, 2011 cit McKhann et al, 1984).
Menurut Folstein (1990), interpretasi MMSE didasarkan pada skor
yang diperoleh pada saat pemeriksaan:
- Skor 27-30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal,
- Skor 21-26 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif ringan
- Skor 10-20 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif sedang
- Skor < 10 diinterpretasikan sebagai gangguan fungsi kognitif berat.
30
DAFTAR PUSTAKA
31