Anda di halaman 1dari 42

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

ASKEP KLIEN DENGAN ALZHEIMER DISEASE, DEMENSIA DAN DELIRIUM

KELOMPOK 5 RA

ADINDA TASYA PRATIWI R011201039

DITA ARISKA R011201003

TASYA OKTAVIA R011201035

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal
Bedah III yang berjudul “Askep Klien dengan Alzheimer Disease, Demensia dan Delirium”
dengan tepat waktu. Tak lupa kita senantiasa mengirimkan shalawat serta salam kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menjadi khuswatun bagi seluruh umat islam.

Makalah ini disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas dari dosen pengampu mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah III. Selain itu, kami sebagai penulis bertahap agar makalah
ini dapat menambah wawasan bagi pembaca maupun kami selaku penyusun makalah ini.

Kami tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyusunan makalah ini. Kami telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya, karena
keterbatasan kami tentunya makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kami mohon maaf sebesar-besarnya dan kami berharap pembaca dapat memberikan saran dan
kritik yang membangun terkait makalah ini.

Makassar, 17 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG.......................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................... 1
C. TUJUAN............................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
A. KONSEP ALZHEIMER DISEASE..................................................................... 2
B. KONSEP DEMENSIA......................................................................................... 9
C. KONSEP DELIRIUM.......................................................................................... 20
D. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ALZHEIMER,
DEMENSIA DAN DELIRIUM........................................................................... 28
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 38
A. KESIMPULAN.................................................................................................... 38
B. SARAN................................................................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 39

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit alzheimer ditemukan oleh seorang dokter ahli saraf dari jerman yang bernama
Dr. Alois Alzheimer pada tahun 1906. Penyakit ini 60% menyebabkan
kepikunan/dimensia dan diperkirakan akan lebih cepat meningkat. Pada umumnya,
angka kejadian Alzheimer sangat berkaitan dengan usia. Semakin tua populasinya,
semakin tinggi angka kejadiannya. Angka prevalensi akan meningkat dengan cepat
setiap pertambahan lima tahun setelah usia 65 tahun. 5% dari seluruh populasi usia 65
tahun di negara barat adalah penderita Alzheimer, 16% terdapat pada kelompok usia 85
tahun dan 32% terdapat pada kelompok usia 90 tahun (Nugroho, 2008).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep klien dengan Alzheimer disease, Demensia dan Delirium
2. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan Alzheimer disease, Demensia dan
Delirium
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep klien dengan Alzheimer disease, Demensia dan
Delirium.
2. Untuk mengetahu asuhan keperawatan Bagaimana asuhan keperawatan klien
dengan Alzheimer disease, Demensia dan Delirium

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP ALZHEIMER DISEASE


1. Pengertian
Menurut Brunner & Suddart, Alzheimer merupakan penyakit kronik, progresif,
dan merupakan gangguan degeneratif otak dan diketahui mempengaruhi memori,
kognitif dan kemampuan untuk merawat diri. Alzheimer merupakan penyakit
degeneratif yang ditandai dengan penurunan daya ingat, intelektual, dan
kepribadian. Tidak dapat disembuhkan, dan pengobatannya ditujukan untuk
menghentikan progresivitas penyakit serta meningkatkan kemandirian penderita.
Sedangkan (Dr. Sofi Kumala Dewi, dkk, 2008) berpendapat bahwa Alzheimer
adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama
menyerang orang berusia 65 tahun keatas.
Sehingga dengan demikian Alzheimer adalah penyakit kronik, degeneratif yang
ditandai dengan penurunan daya ingat, intelektual, kepribadian yang dapat
mengakibatkan berkurangnya kemampuan merawat diri. Penyakit ini menyerang
orang yang berusia 65 tahun keatas. Penyakit Alzheimer adalah jenis demensia
paling umum yang awalnya ditandai oleh melemahnya daya ingat, hingga gangguan
otak dalam melakukan perencanaan, penalaran, persepsi, dan berbahasa. Pada
penderita alzheimer, gejala berkembang secara perlahan-lahan seiring waktu.
Misalnya yang diawali dengan sebatas lupa soal isi percakapan yang baru saja
dibincangkan atau lupa dengan nama obyek dan tempat, bisa berkembang menjadi
disorientasi dan perubahan perilaku. Perubahan perilaku dalam hal ini seperti
menjadi agresif, penuntut, dan mudah curiga terhadap orang lain. Bahkan jika
penyakit Alzheimer sudah mencapai tingkat parah, penderita dapat mengalami
halusinasi, masalah dalam berbicara dan berbahasa, serta tidak mampu melakukan
aktivitas tanpa dibantu orang lain.
2. Etiologi
Meski penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, para ahli percaya bahwa
penyakit Alzheimer pada umumnya terjadi akibat meningkatnya produksi protein
dan khususnya penumpukan protein beta-amyloid di dalam otak yang menyebabkan
kematian sel saraf. Meskipun penyebab Alzheimer masih belum diketahui

2
penyebab pastinya, tetapi ada beberapa faktor risiko yang diperkirakan dan
berdasarkan hasil penelitian menunjukan bukti yang sejalan yaitu:
a. Usia
Semakin tua populasinya, semakin tinggi angka kejadiannya. Angka
prevalensi akan meningkat dengan cepat setiap pertambahan lima tahun
setelah usia 65 tahun. 5% dari seluruh populasi usia 65 tahun di negara barat
adalah penderita Alzheimer, 16% terdapat pada kelompok usia 85 tahun dan
32% terdapat pada kelompok usia 90 tahun (Nugroho, 2008).
b. Genetik
Faktor genetik merupakan faktor resiko penting kedua setelah faktor usia.
Individu yang memiliki hubungan keluarga yang dekat dengan penderita
beresikodua kali lipat untuk terkena Alzheimer. Pada penderita early onset
umumnya disebabkan oleh faktor turunan. Tetapi secara keseluruhan kasus
ini mungkin kurang dari 5% dari semua kasus Alzheimer. Sebagian besar
penderita Down’s Syndrome memiliki tanda-tanda neuropatholigic
Alzheimer pada usia 40 tahun.
c. Depresi
Depresi telah diidentifikasi sebagai faktor risiko dimensia Alzheimer dan
juga dimensia tipe lain. Menurut penelitian Framingham, selama 17 tahun
periode follow-up, 164 peserta mengalami dimensia dengan 136
diantaranya merupakan dimensia Alzheimer. Terdapat 21,6% peserta yang
mengalami depresi pada awal penelitian menderita dimensia dibandingkan
16,6% peserta yang tidak mengalami depresi. Depresi memiliki rentan
risiko dimensia lebih dari 50% (Nisa dan Lisiswanti , 2016)
d. Menopause
Transisi menopause dikaitkan dengan serangkaian gejala yang berbeda
seperti penambahan berat badan, kecemasan, depresi, disfungsi seksual,
gangguan tidur dan semua gangguan fungsi kognitif yang mungkin menjadi
faktor yang berkontribusi. Beberapa penelitian menunjukan gangguan
fungsi kognitif seperti kefasihan verbal, memori visual, memori semantic
dan episodic pada akhir kehidupan wanita dengan menopause dini. (Leszek,
et al. 2016)
e. Trauma kepala

3
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara penyakit
Alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju
yangmenderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan
banyak neurofibrillary tangles (Dr. Iskandar Japardi, 2002). Terdapat
kesamaan formasi NFT yang ada pada DP dengan AD dan sulit untuk
dibedakan. Mekanismeformasi NFT yg terjadi stelah terjadi trauma kepala
atau akhir tingkatan DP dengan mekanisme formasi yang ada pada AD bisa
jadi memiliki kesamaan pula. ditandai dengan adanya plak amiloid
menyebabkan munculnya NFT pada kedua penyakit tersebut. Namun NFT
yg muncul pada daerah trtentu di otak justru lebih mengarahke DP karena
terdapat trauma pada daerah tersebut.Pada otak yang sehat ukuran cortex
dan hippokampus adalah normal danserat-serat saraf masih berfungsi
dengan baik. Namun pada otak penderita.
3. Patofisiologi
Pada penyakit Alzheimer ditemukan karakteristik seperti adanya plak neuritis
yang mengandung peptida Aβ dan neurofibrillary tangles (NFTs) yang membentuk
hiperfosforilasi dari protein tau. Deposisi Aβ pada otak merupakan salah satu
implikasi dari pathogenesis penyakit Alzheimer. Akumulasi Aβ pada otak
merupakan inisiasi terjadinya disfungsi neuron. Mutasi gen APP pada kromosom
21 mengarah pada early onset penyakit Alzheimer tipe familial yang terjadi dalam
produksi berlebihan dan/atau peningkatan agregasi dari Aβ.
Dalam pembentukan Aβ, APP dipecah oleh tiga enzim yaitu α- β- dan γ-
sekretase. Pemecahan APP oleh β-secretase kemudian oleh γ-secretase
menghasilkan Aβ sedangkan bila dipecah oleh α-secretase akan menghasilkan
peptide yang bersifat non-toxic. Pada penyakit Alzheimer terjadi neurodegenerasi
pada otak dan adanya stress oksidatif yang dihubungkan dengan adanya
peningkatan deposit Aβ. Walaupun sebenarnya mekanisme pastinya belum
sepertinya dimengerti.
Hipotesis alur amyloid diawali dengan terjadinya kegagalan cleareance
mechanisms dari Aβ atau over produksi dari Aβ, akibat kegagalan tersebut akan
terakumulasi dan jika berlangsung terus-menerus secara bertahap sebagai plak. Plak
yang terjadi mengaktivasi microglial dan atrosit sebagai respon inflamasi,
kemudian terjadi perubahan homeostatis neuron dan terjadi axidative injury yang
mengakibatkan perubahan aktivitas kinase ataupun phospat. Perubahan ini
4
menyebabkan terjadinya hiperfosforilasi dari protein tau yang akan membentuk
Neurofibrillary tangles.
4. woc

5. Klasifikasi dan manifestasi Alzheimer


Alzheimer disease dibagi menjadi beberapa stadium. Adapun stadium dimensia
Alzheimer
1) Tingkat I: (stadium amnesia berlangsung 2-4 tahun)

5
- Kesulitan dalam berbahasa
- Perubahan kepribadian dan perilaku
- Disorientasi waktu dan tempat
- Gangguan penerimaan informasi baru
- Kehilangan minat dalam hobi dan aktivitas
2) Tingkat II (stadium bingung berlangsung 2-10 tahun)
Klien mengalami kesulitan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
dengan gejala sebagai berikut:
- Kebingungan
- Kehilangan memori
- Kerusakan kognitif (anomia, agnosia, apraxia, aphasia)
- Kesulitan dalam pengambilan keputusan
- Dapat menunjukan halusinasi
3) Tingkat III
- Kerusakan beberapa fungsi kognitif (kerusakan intelektual, komplit
disorientasi waktu, tempat dan kejadian)
- Kerusakan fisik karena gangguan neurologic seperti kejang, tremor
- Ketidakmampuan melakukan perawatan diri
- Ketidakmampuan dalam berkomunikasi. (Tarwoto, dkk. 2007)
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut (Asosiasi Alzheimer Indonesia , 2003) pemeriksaan yang dapat
dilakukan adalah:
1) Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis
demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia
khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia
adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan
lab rutin sebaiknya dilakukan.
2) Computed Temography (CT) scan dan MRI telah menjadi pemeriksaan
rutin dalam pemeriksaan demensia, esensial pada pasien Alzheimer
pemeriksaan MRI yang paling banyak digunakan karena dapat
memberikan informasi tentang struktur otak yang terkena dan
korelasinya terhadap gangguan visus. Gambaran yang paling sering
ditemukanpada MRI penderita Alzheimer adalah atrofi lobus
6
temporomedial, pembesaran ventrikel, dan penurunan volume otak.
Walaupun hingga saat ini kerusakan struktral dan fungsional dari
keseluruan otak belum dapat terpetakan seluruhnya, terdapat pendapat
yang menyatakan bahwa proses neurodegeneratif juga terjadi di retina
karena retina merupakan cabang perifer dari sistem saraf pusat. Dalam hal
ini pemeriksaan SD-OCT berperan karena dapat menilai struktur retina
yang mengesankan keutuhan saraf mata dan mulai banyak dimanfaatkan
untuk menilai kerusakan saraf baik penyakit neurologis maupun
degeneratif.
3) Pemeriksaan EEG
Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus
dan kompleks periodik.
4) Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai dimensia akut.
5) Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik
yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3 dan epsilon 4. Setiap allel
mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4
diantaranya penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe
sporadic.
6) Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental,aktivitas
sehari-hari/fungsional dan aspek kognitif lainnya (Asosiasi Alzheimer
Indonesia, 2003).
7. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan. Untuk mengobati
demensia alzheimer digunakan obat-obatan anti koliesterase seperti
Donepezil, Rivastigmine, Galantamine, Memantine.Dementia vaskuler
membutuhkan obat -obatan anti platelet. perti Aspirin,Ticlopidine ,
Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke otak sehingga
memperbaiki gangguan kognitif.Demensia karena stroke yang berturut-
turut tidak dapat diobati, tetapi berkembangannya bisa diperlambat atau
bahkan dihentikan dengan mengobati tekanan darah tinggi atau kencing
7
manis yang berhubungan dengan stroke.Jika hilangnya ingatan
disebabakan oleh depresi, diberikan obat anti-depresi seperti Sertraline
dan Citalopram.
b. Terapi Simtomatik
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatik,
meliputi : Diet, latihan fisik yang sesuai, terapi rekreasional dan
aktifitas, penanganan terhadap masalah-masalah.

8
B. KONSEP DEMENSIA

1. Definisi

Demensia adalah sindrom klinis yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan
memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.
Penurunan fungsi kognitif yang berujung pada demensia menyebabkan lansia
menjadi tidak produktif sehingga memunculkan problem dalam kesehatan
masyarakat dan tentunya berdampak pada bertambahnya pembiayaan keluarga,
masyarakat dan pemerintah (Moeloek, 2016) dalam (Paulus, F. I., 2022).

2. Etiologi
Menurut (Aspiani, 2014) dalam (Paulus, F. I., 2022) penyebab demensia
dibedakan menjadi dua, antara lain :
1) Penyebab reversible
a) Drugs (obat)
Misalnya obat sedative, obat penenang, obat antikonvulsan, obat anti
hipertensi, obat antiaritmia. Semua obat memiliki efek samping yang
potensial misalnya depresi, disorientasi, dan demensia, termasuk obat yang
kita kira tidak berbahaya seperti penghilang rasa sakit, obat batuk dan obat
pencahar. Sirkulasi darah yang buruk, metabolisme umum yang menurun,
sembelit dan penurunan fungsi detoksifikasi (menetralisirkan racun) hati
dapat menjadi penyebab keracunan obat pada segala usia.
b) Emotional (emosi)
Gangguan emosional misalnya depresi. Riwayat pasien yang mendukung
demensia adalah kerusakan bertahap seperti tangga (stepwise) misalnya
depresi yang menyebabkan kehilangan memori dan kesukaran membuat
keputusan diikuti oleh periode yang stabil dan kemudian akan menurun lagi.
c) Metabolik dan Endokrin
Misalnya adalah diabetes melitus, hipoglikemia, gangguan tiroid, gangguan
elektrolit. Keadaan hiperglikemi dan resistensi insulin dapat mengakibatkan
komplikasi kronis pada penderita dengan pengobatan jangka panjang yaitu
komplikasi makrovaskular, mikrovaskular dan komplikasi neuropati.

9
Komplikasi diabetes mellitus tipe 2 menyebabkan terjadinya perubahan dan
gangguan di berbagai sistem, termasuk sistem saraf pusat, dan hal ini
berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif.
d) Nutritional (nutrisi)
Kekurangan vitamin B6 (pellagra), vit B1 (sindrom wernicke), vitamin B12
(anemia pernisiosa), asam folat dan asam lemak omega-3. Asam lemak
omega-3 merupakan komponen penting dari membran sel dari semua sel di
dalam tubuh. Kekurangan asam lemak omega-3 dapat meningkatkan
risiko penurunan kognitif yang berkaitan dengan usia atau demensia. Para
ilmuan percaya bahwa asam lemak omega-3 DHA adalah perlindungan
terhadap penyakit demensia.
e) Tumor dan trauma
Tumor otak terutama tumor metastatik (dari payudara dan paru) dan
meningioma akan mengganggu keseimbangan antara neurotransmitter di
otak.
f) Infeksi
Ensefalitis oleh virus misalnya herpes simplek, bakteri misalnya
pneumococcus, TBC, parasit, fungus, abses otak, neurosifilis. Penyebab
demensia terkait infeksi adalah semua agen penyebab infeksi pada SSP
dapat secara tunggal atau bersama-sama menyebabkan terjadinya infeksi
dengan
memanfaatkan faktor virulensi yang dimilikinya. Dengan faktor virulensi
tersebut, agen infeksi mampu menginduksi respon inflamasi di otak dengan
akibat terjadinya proses neurodegenerasi, suatu proses yang mengakibatkan
terjadinya demensia.
g) Arterosklerosis
Komplikasi penyakit arterosklerosis adalah infark miokard dan gagal
jantung. Jantung dan paru-paru berhubungan dengan berat ringannya
kekurangan oksigen di otak. Kekurangan oksigen ini pada gilirannya dapat
menyebabkan
episode akut kebingungan dan dapat menyebabkan demensia kronis.
2) Penyebab non reversible
a) Penyakit degeneratif

10
Misalnya penyakit alzheimer, penyakit huntington, kelumpuhan
supranuklear progresif, penyakit parkinson.
b) Penyakit vaskuler
Misalnya penyakit serebrovaskuler oklusif (demensia multi-infark),
embolisme serebral, arteritis, anoksia sekunder akibat henti jantung, gagal
jantung.

3. Patofisiologi

Penyakit degenerative pada otak, gangguan vaskular dan penyakit lainnya, serta
gangguan nutrisi, metabolic dan toksisitas secara langsung maupun tak langsung
dapat menyebabkan sel neuron mengalami kerusakan melalui mekanisme iskema,
infark, inflamasi, deposisi protein abnormal sehingga jumlah neuron menurun dan
mengganggu fungsi dari area kortikal ataupun subkortikal. Di samping itu, kadar
neurotransmitter di otak yang di perlukan untuk proses konduksi saraf juga akan
berkurang. Hal ini akan menimbulkan gangguan fungsi kognitif (daya ingat, daya
pikir dan belajar), gangguan sensorium (perhatian, kesadaran), persepsi, isi pikir,
emosi dan mood. Fungsi yang mengalami gangguan tergantung lokasi area yang
terkena (kortikal atau subkortikal) atau penyebabnya, karena manifestasinya
dapat berbeda. Keadaan patologis dari hal tersebut akan memicu keadaan konfusio
akut demensia (Darmojo, 2009) dalam (Paulus, F. I., 2022).
4. woc

11
5. Tanda & Gejala
1) Stadium awal
Menurut (Nugroho, 2008) dalam (Damara, D., 2018), gejala stadium awal sering
diabaikan dan disalahartikan sebagai usia lanjut atau sebagai bagian normal dari
proses otak menua, oleh para profesional, anggota keluarga, dan orang terdekat
penyandang demensia. Karena proses penyakit berjalan sangat lambat, sulit sekali
untuk menentukan kapan proses ini dimulai. Klien menunjukan gejala sebagai
berikut :
a) Kesulitan dalam berbahasa
b) Mengalami kemunduran daya ingat secara bermakna
c) Disorientasi waktu dan tempat

12
d) Sering tersesat ditempat yang biasa dikenal
e) Kesulitan membuat keputusan
f) Kehilangan inisiatif dan motivasi
g) Menunjukkan gejala depresi dan agitasi
h) Kehilangan minat dalam hobi dan aktivitas.
2) Stadium menengah
Proses penyakit berlanjut dan masalah menjadi semakin nyata. Pada stadium
ini, klien mengalami kesulitan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan
menunjukkan gejala sebagai berikut :
a) Sangat mudah lupa, terutama untuk peristiwa yang baru dan nama orang
b) Tidak dapat mengelola kehidupan sendiri tanpa timbul masalah
c) Tidak dapat memasak, membersihkan rumah, ataupun berbelanja
d) Sangat bergantung pada orang lain
e) Semakin sulit berbicara
f) Membutuhkan bantuan untuk kebersihan diri (ke toilet, mandi, dan
berpakaian)
g) Senang mengembara/”ngeluyur” tanpa tujuan. Ngeluyur ini bisa berupa :
- Checking = berulang kali mencari pemberi asuhan
- Trailing = terus membuntuti pemberi asuhan
- Pottering = terus berkeliling rumah
h) Terjadi perubahan perilaku
i) Adanya gangguan kepribadian
j) Sering tersesat, walaupun jalan tersebut telah dikenal (tersesat dirumah
sendiri)
k) Dapat juga menunjukkan adanya halusinasi.
3) Stadium lanjut
Pada stadium ini, terjadi :
a) Ketidakmandirian dan inaktif yang total
b) Tidak mengenali lagi anggota keluarga (disorientasi personal)
c) Sukar memahami dan menilai peristiwa
d) Tidak mampu menemukan jalan disekitar rumah sendiri
e) Kesulitan berjalan
f) Mengalami inkontinensia (berkemih atau defekasi)
g) Menunjukkan perilaku tidak wajar di masyarakat
13
h) Akhirnya bergantung pada kursi roda/tempat tidur.

6. Sub Tipe Dimensia

1) Penyakit Alzheimer (PA)


Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit neurodegeneratif yang
tersering ditemukan (60-80%). Karateristik klinik berupa berupa penurunan
progresif memori episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak
ditemukan kecuali pada tahap akhir penyakit. Gangguan perilaku dan
ketergantungan dalam aktivitas hidup keseharian menyusul gangguan memori
episodik mendukung diagnosis penyakit ini. Penyakit ini mengenai terutama
lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih muda.
Diagnosis klinis dapat dibuat dengan akurat pada sebagian besar kasus (90%)
walaupun diagnosis pasti tetap membutuhkan biopsi otak yang menunjukkan
adanya plak neuritik (deposit β-amiloid40 dan β-amiloid42) serta neurofibrilary
tangle (hypertphosphorylated protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan
melibatkan pemeriksaan biomarka neuroimaging (MRI struktural dan
fungsional)
dan cairan otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah akurasi diagnosis.
2) Demensia Vaskuler
Vascular Cognitive Impairment (VCI) merupakan terminologi yang memuat
defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan sampai demensia
yang dihubungkan dengan faktor risiko vaskuler. Penuntun praktik klinik ini
hanya fokus pada demensia vaskuler (DV). DV adalah penyakit heterogen
dengan patologi vaskuler yang luas termasuk infark tunggal strategi, demensia
multi-infark, lesi kortikal iskemik, stroke perdarahan, gangguan hipoperfusi,
gangguan hipoksik dan demensia tipe campuran (PA dan stroke / lesi vaskuler).
Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan dengan kejadian ateroskerosis
dan DV. Faktor risiko vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke akut yang
merupakan faktor risiko untuk terjadinya DV. CADASIL (cerebral autosomal
dominant arteriopathy with subcortical infarcts and leucoensefalopathy), adalah
bentuk small vessel disease usia dini dengan lesi iskemik luas white matter dan
stroke lakuner yang bersifat herediter.
3) Demensia Lewy Body dan Demensia Penyakit Parkinson

14
Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan.
Sekitar 15-25% dari kasus otopsi demensia menemui kriteria demensia ini.
Gejala inti demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi
visual yang nyata (vivid) dan terjadi pada awal perjalanan penyakit orang
dengan Parkinsonism. Gejala yang mendukung diagnosis berupa kejadian jatuh
berulang dan sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi dan atau halusinasi
modalitas lain yang sistematik. Juga terdapat tumpang tindih temuan patologi
antara DLB dan PA. Namun secara klinis orang dengan DLB cenderung
mengalami gangguan fungsi eksekutif dan visuospasial sedangkan performa
memori verbalnya relatif baik jika dibanding dengan PA yang terutama
mengenai memori verbal.
Demensia Penyakit Parkinson (DPP) adalah bentuk demensia yang juga sering
ditemukan. Prevalensi DPP 23-32%, enam kali lipat dibanding populasi umum
(3-4%). Secara klinis, sulit membedakan antara DLB dan DPP. Pada DLB,
awitan demensia dan Parkinsonism harus terjadi dalam satu tahun sedangkan
pada DPP gangguan fungsi motorik terjadi bertahun-tahun sebelum demensia
(10-15 tahun).
4) Demensia Frontotemporal
Demensia Frontotemporal (DFT) adalah jenis tersering dari Demensia Lobus
Frontotemporal (DLFT). Terjadi pada usia muda (early onset dementia/EOD)
sebelum umur 65 tahun dengan rerata usia adalah 52,8 - 56 tahun. Karakteristik
klinis berupa perburukan progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi
atau riwayat penyakit. Gejala yang menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun
pertama) terjadi perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan
simpati/empati, perseverasi, steriotipi atau perlaku
kompulsif/ritual,hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif
tanpa gangguan memori dan visuospasial pada pemeriksaan neuropsikologi.
Pada pemeriksaan CT/MRI ditemukan atrofi lobus frontal dan atau anterior
temporal dan hipoperfusi frontal atau hipometabolism pada SPECT atau PET.
Dua jenis DLFT lain yaitu Demensia Semantik (DS) dan Primary Non-Fluent
Aphasia (PNFA), dimana gambaran disfungsi bahasa adalah dominan disertai
gangguan perilaku lainnya. Kejadian DFT dan Demensia Semantik (DS)
masing-masing adalah 40% dan kejadian PNFA sebanyak 20% dari total DLFT.
5) Demensia Tipe Campuran
15
Koeksistensi patologi vaskuler pada PA sering terjadi. Dilaporkan sekitar 24-
28% orang dengan PA dari klinik demensia yang diotopsi. Pada umumnya klien
demensia tipe campuran ini lebih tua dengan penyakit komorbid yang lebih
sering. Patologi Penyakit Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan PA dan
50% orang dengan DLB memiliki patologi PA (Ong, 2015) dalam (Damara, D.,
2018).

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut (Untari, Novijayanti, & Sugihartiningsih, 2019) dalam (Paulus, F. I.,


2022) pemeriksaaan pada lansia dapat dimulai dengan pemeriksaan sederhana
hingga yang paling seksama sebagaimana berikut: :
1) Lansia mengeluh mengalami gangguan ingatan, daya pikir. Misalnya kurang
lancarnya bicara, sulit menentukan kata-kata yang tepat (fungsi eksekutif
yang terganggu).
2) Menanyakan riwayat keluhan dari keluarga atau relasi yang terdekat
maupun yang terpercaya.
3) Pemeriksaan skrining neuropsikologis/ kognitif MMSE (Mini Mental State
Examination), skrining 7 menit. Tes ini yang paling sering dipakai mencakup
tes orientasi, perhatian, bahasa, memori, dan keterampilan visualspasial.
Pemeriksaan ini mempunyai skor maksimal 30. Jika mempunyai skor di
bawah 24, pasien patut dicurigai mengalami demensia. Meskipun nilai skor
ini sangat subjektif karena pengaruh pendidikan juga berperan pada tingginya
nilai skor, apalagi jika seseorang dengan pendidikan tinggi dengan gejala di
alzheimer, pasien tersebut masih mungkin mempunyai nilai skor yang lebih
tinggi dari 24. Sebaliknya, pasien yang berpendidikan rendah dapat
menunjukkan nilai skornya kurang dari 24, tetapi pasien tidak menderita
demensia alzheimer.
4) Pemeriksaan status mental dengan Short Portable Mental Status Questionaire
(SPMSQ). Short Portable Mental Status Questionaire (SPMSQ) adalah suatu
instrumen yang saling menunjang, mudah dipergunakan, dan tidak
memerlukan bahan-bahan yang bersifat kusus.
5) Diagnosti Medis lainnya, meliputi:
- CT scan
- MRI

16
- Positron Emission Tomography (PET)
- Single Photo Emission Computed Tomography (SPELT)
6) Pemeriksaan neurologic lengkap
7) Pemeriksaan laboratorium darah dan radiologi
8) Pemeriksaan EEG, walaupun tidak memberi gambaran spesifik demensia
alzheimer.
9) Pemeriksaan DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder)
10) Pemeriksaan kriteria NINCDS-ADRDA (National Institute of Neurological
and Communicative Disorder and Alzheimer Disease and Related Disorder
Association).

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien demensia menurut (Aspiani, 2014) dalam (Paulus,


F. I., 2022) sebagai berikut :

1) Farmakoterapi
a) Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat-obatan
antikoliesterase seperti Donepezil, Rivastigmine, Glantamine, Memantine.
b) Demensia vaskuler membutuhkan obat-obatan anti platelet seperti Aspirin,
Ticlopidine, Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke otak sehingga
memperbaiki gagguan kognitif.
c) Demensia karena stroke yang berturut-urut tidak dapat diobati, tetapi
perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan dengan
mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang berhubungan
dengan stroke.
d) Jika hilangnya ingatan disebabkan oleh depresi, diberikan obat anti depresi
seperti Sertraline dan Citalopram.
e) Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang bisa
menyertai demensia stadium lanjut, sering digunakan antipsikotik (misalnya
Haloperidol, Quetiaoine dan Risperidone).
2) Dukungan atau peran keluarga
Mempertahankan lingkungan yang familiar akam membantu penderita tetap
memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam dinding
dengan angka angka.

17
3) Terapi simtomatik
Menurut (Erwanto & Kurniasih, 2018) dalam (Paulus, F. I., 2022), penderita
penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatika yaitu terapi rekreasional
dan aktifitas dimana upaya yang dapat dilakukan dengan memberikan terapi
brain gym. Brain gym ini berupa senam otak dengan melibatkan petugas untuk
mengajarkan gerakan-gerakan mudah pada pasien demensia.
4) Pencegahan Dimensia
Menurut (Untari, Novijayanti, & Sugihartiningsih, 2019) dalam (Paulus, F. I.,
2022), perawatan yang dapat dilakukan di tatanan komunitas terbagi dalam tiga
tahap, antara lain :
a) Pencegahan primer, yaitu tahap pencegahan pertama yang dilakukan
sebelum timbul masalah, yang terdiri atas peningkatan derajat kesehatan
(health promotion) dan perlindungan khusus (specific protection). Contoh
kegiatannya, yaitu : berolahraga, makan makanan yang sehat, selalu
berpikir, tidur teratur dan cukup, selalu melindungi kepala dari ancaman
cendera.
b) Pencegahan sekunder, yaitu tahap pencegahan kedua yang dilakukan, baik
pada awal timbul masalah maupun pada saat masalah berlangsung, yang
terdiri atas diagnosis dini dan pengobatan yang cepat dan tepat.
c) Pencegahan tersier, yaitu tahap pencegahan ketiga yang dilakukan pada saat
masalah kesehatan telah selesai, yang terdiri atas memperbaiki keterbatasan
(disability limitation) dan pemulihan (rehabilitation).

18
9. Faktor Predisposisi

Menurut (Nugroho, 2008) dalam (Damara, D., 2018), faktor predisposisi dan
risiko penyakit ini, antara lain :
1) Lanjut usia (usia di atas 65 tahun)
2) Genetik/keturunan, riwayat keluarga mempunyai peran 40%, mutasi
kromosom 1, 14, 19, dan 21
3) Trauma kepala
4) Kurang pendidikan
5) Hipertensi sistolik
6) Sindrom Down
7) Lingkungan, keracunan aluminium
8) Depresi
9) Gangguan imunitas
10) Stroke
11) Diabetes mellitus
12) Penyakit parkinson stadium lanjut
13) Infeksi otak

10. Komplikasi

Menurut (Untari, Novijayanti, & Sugihartiningsih, 2019) dalam (Paulus, F. I.,


2022), apabila demensia tidak ditangani dengan baik maka gejala yang ditimbulkan
akan memberat, sebagai berikut :
1) Ketidakmandirian dan inaktif yang total.
2) Tidak mengenali lagi anggota keluarga (disorientasi personal).
3) Sukar memahami dan menilai peristiwa.
4) Tidak mampu menemukan jalan di sekitar rumah sendiri.
5) Kesulitan berjalan.
6) Mengalami inkontinensia (berkemih atau defekasi).
7) Menunjukkan perilaku tidak wajar di masyarakat.
8) Akhirnya bergantung pada kursi roda/ tempat tidur. Gangguan psikologis yang
sering terlihat adalah depresi, ansietas, tidak dapat diam, apatis, dan paranoid.

19
C. KONSEP DELIRIUM
1. Definisi
Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan
kesadaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif.
Delirium merupakan sindrom klinis akut dan sejenak dengan ciri penurunan taraf
kesadaran, gangguan kognitif, gangguan persepsi, termasuk halusinasi dan ilusi,
khas adalah visual juga di pancaindera lain, dan gangguan perilaku, seperti agitasi.
Gangguan ini berlangsung pendek dan berjam-jam hingga berhari-hari, taraf
hebatnya berfluktuasi, hebat dimalam hari, kegelapan membuat halusinasi visual
dan gangguan perilaku meningkat dan biasanya bersifat reversibel.
Delirium bisa timbul pada segala umur, tetapi sering pada usia lanjut. Sedikitnya
10% dari pasien lanjut usia yang di rawat inap menderita delirium 15-50%
mengalami delirium sesaat pada masa perawatan rumah sakit. Delirium juga sering
dijumpai pada panti asuhan. Bila delirium terjadi pada orang muda biasanya karena
penggunaan obat atau penyakit yang berbahaya mengancam jiwanya.

2. Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola
gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien.
Penyebab utama dapat berasal dari penyakit susunan saraf pusat seperti (sebagai
contoh epilepsi), penyakit sistemik, dan intoksikasi atau reaksi putus obat maupun
zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak diluar sistem pusat, misalnya gagal
ginjal, dan hati. Neurotransmiter yang dianggap berperan adalah asetilkolin,
serotonin, serta glutamat area yang terutama terkena adalah formasio retukalaris.

3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:
● Usia
● Kerusakan otak
● Riwayat delirium
● Ketergantungan alcohol
● Diabetes
● Kanker

20
● Gangguan panca indera
● Malnutrisi
● Alkohol, obat-obatan dan bahan beracun
● Efek toksik dari pengobatan
● Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau
magnesium) yang tidak normal akibat pengobatan, dehidrasi atau penyakit
tertentu
● Infeksi akut disertai demam
● Hidrosefalus bertekanan normal, yaitu suatu keadaan dimana cairan yang
membantali otak tidak diserap sebagaimana mestinya dan menekan otak
● Hematoma subdural, yaitu pengumpulan darah di bawah tengkorak yang
dapat menekan otak.
● Meningitis, ensefalitis, sifilis (penyakit infeksi yang menyerang otak)
● Kekurangan tiamin dan vitamin B12
● Hipotiroidisme maupun hipotiroidisme
● Tumor otak (beberapa diantaranya kadang menyebabkan linglung dan
gangguan ingatan)
● Patah tulang panggul dan tulang-tulang panjang
● Fungsi jantung atau paru-paru yang buruk dan menyebabkan rendahnya
kadar oksigen atau tingginya kadar karbon dioksida di dalam darah
● Stroke

4. Patofisiologi
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi
berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur
kolinergik dapat merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang
diakibatkan oleh penghentian substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin
dapat dibedakan dengan delirium karena penyebab lain. Pada delirium akibat
penghentian alkohol terjadi ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi
pada sistem neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara reguler dapat menyebabkan
inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi reseptor GABA-A
(gammaaminobutyric acid-A). Disinhibisi serebral berhubungan dengan perubahan
neurotransmitter yang memperkuat transmisi dopaminergik dan noradrenergik,

21
adapun perubahan ini memberikan manifestasi karakteristik delirium, termasuk
aktivasi simpatis dan kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain,
penghentian benzodiazepine menyebabkan delirium melalui jalur penurunan
transmisi GABA-ergik dan dapat timbul kejang epileptik. Delirium yang tidak
diakibatkan karena penghentian substansi timbul melalui berbagai mekanisme, jalur
akhir biasanya melibatkan defisit kolinergik dikombinasikan dengan hiperaktivitas
dopaminergik.
Perubahan transmisi neuronal yang dijumpai pada delirium melibatkan berbagai
mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:
1) Efek Langsung
Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem
neurotransmiter, khususnya agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih
lanjut, gangguan metabolik seperti hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia
dapat langsung mengganggu fungsi neuronal dan mengurangi pembentukan
atau pelepasan neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada wanita dengan
kanker payudara merupakan penyebab utama delirium.
2) Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti
penyakit inflamasi, trauma, atau prosedur bedah. Pada beberapa kasus,
respons inflamasi sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin,
yang dapat mengaktivasi mikroglia untuk memproduksi reaksi inflamasi
pada otak. Sejalan dengan efeknya yang merusak neuron, sitokin juga
mengganggu pembentukan dan pelepasan neurotransmiter. Proses inflamasi
berperan menyebabkan delirium pada pasien dengan penyakit utama di otak
(terutama penyakit neurodegeneratif).
3) Stres
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih
banyak noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitari- adrenokortikal untuk
melepaskan lebih banyak glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia
dan menyebabkan kerusakan neuron.

5. woc

22
6. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis
Delirium merupakan suatu diagnosis yang dapat ditegakkan secara bedside,
sehingga sangat diperlukan pemahaman gambaran klinisnya. Tampilan klinis
delirium dapat bervariasi, namun secara umum delirium diklasifikasi berdasarkan
sifat psikomotorik dalam tiga subtipe, yaitu:
1) Delirium Hipoaktif (25%).
Pasien bersikap tenang dan menarik diri, dengan tampilan klinis letargi
dan sedasi, berespons lambat terhadap rangsangan, dan pergerakan spontan
minimal. Tipe ini cenderung tidak terdeteksi pada rawat inap dan
menyebabkan peningkatan lama rawat dan komplikasi yang lebih berat.
2) Delirium Hiperaktif (30%).
Pasien memiliki gambaran agitasi, hipervigilansi, dan sering disertai
halusinasi dan delusi, yang walaupun lebih awal dapat terdeteksi,
berhubungan dengan peningkatan penggunaan benzodiazepin, sedasi
berlebihan, dan risiko jatuh.
3) Delirium Campuran (Mixed) (45%).
Pasien menunjukkan gambaran klinis baik hiperaktif maupun hipoaktif.

23
Kriteria DSM V tahun 2013 tidak berbeda dengan pada DSM IV-TR tahun
2000. DSM V mengklasifikasi delirium menurut etiologi sebagai berikut:
1) Delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum
2) Delirium intoksikasi substansi (penyalahgunaan obat)
3) Delirium penghentian substansi
4) Delirium diinduksi substansi (pengobatan atau toksin)
5) Delirium yang berhubungan dengan etiologi multipel
6) Delirium tidak terklasifikasi.

Diagnosis delirium memerlukan 5 kriteria (A-E) dari DSM V, yaitu:


a. Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan kesadaran terhadap
lingkungan) dengan penurunan kemampuan fokus, mempertahankan atau
mengubah perhatian
b. Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa jam
hingga hari) dan cenderung berfl uktuasi dalam perjalanannya.
c. Perubahan kognitif (seperti defi sit memori, disorientasi, gangguan bahasa)
atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke
dalam kondisi demensia.
d. Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh gangguan
neurokognitif lain yang telah ada, terbentuk ataupun sedang berkembang
dan tidak timbul pada kondisi penurunan tingkat kesadaran berat, seperti
koma.
e. Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium yang
mengindikasikan gangguan terjadi akibat konsekuensi fisiologik langsung
suatu kondisi medik umum, intoksikasi atau penghentian substansi (seperti
penyalahgunaan obat atau pengobatan), pemaparan terhadap toksin, atau
karena etiologi multipel.

7. Gejala Klinis
a) Kesadaran (Arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan
delirium, satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan
peningkatan kesiagaan. Pasien dengan delirium yang berhubungan dengan
putus zat seringkali mempunyai delirium hiperaktif, yang juga dapat disertai
24
dengan tanda otonomik, seperti kemerahan kulit, pucat berkeringat,
takikardi, pupil berdilatasi, mual, muntah dan hipertermia. Pasien dengan
gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai depresi, katatonik
atau mengalami demensia.
b) Orientasi
Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang harus diuji pada seorang
pasien dengan delirium. Orientasi terhadap waktu seringkali hilang bahkan
pada kasus delirium yang ringan. Orientasi terhadap tempat dan kemampuan
untuk mengenali orang lain (sebagai contohnya dokter, anggota keluarga)
mungkin juga terganggu pada kasus yang berat pasien delirium jarang
kehilangan orientasi terhadap dirinya sendiri.
c) Bahasa dan Kognisi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai kelainan dalam bahasa.
Kelainan dapat berupa bicara yang melantur, tidak relevan, atau
membingungkan (inkoheren) dan ganggun kemampuan untuk mengerti
pembicaraan fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien
delirium adalah fungsi ingatan dan kognitif umum kemampuan untuk
menyusun, mempertahankan dan mengingat kenangan mungkin terganggu,
walaupun ingatan kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Disamping
penurunan perhatian, paien mungkin mempunyai penurunan kognitif yang
dramatis suatu gejala hipoaktif delirium yang karakteristik. Pasien delirium
juga mempunyai gangguan kemampuan memecahkan masalah dan mungkin
mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang-kadang paranoid.
d) Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum
untuk membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi
sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka. Halusinasi relatif sering
pada pasien delirium. Halusinasi paling sering adalah visual atau auditoris
walaupun halusinasi dapat taktil atau olfaktoris. Ilusi visual atau auditoris
adalah sering pada delirum.
e) Suasana perasaan
Pasien dengan delirium mempunyai kelainan dalam pengaturan suasana
gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran dan rasa takut yang

25
tidak beralasan. Kelainan suasana perasaan lain adalah apatis, depresi, dan
euforia.
f) Gejala Penyerta : gangguan tidur bangun
Tidur pada pasien delirium secara karakteristik adalah terganggu adalah
sedikit mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tidur sekejap
ditempat tidurnya atau di ruang keluarga. Seringkali keseluruhan siklus
tidur-bangun pasien dengan delirium semata-mata terbalik. Pasien
seringkali mengalami eksaserbasi gejala delirum tepat sebelum tidur, situasi
klinis yang dikenal luas sebagai sundowing.
g) Gejala Neurologis
Gejala neurologis yang menyertai, termasuk disfagia, tremor, asteriksis,
inkoordinasi, dan inkontinensia urin.

8. Pencegahan
Pencegahan delirium merupakan strategi paling efektif untuk mengurangi
frekuensi dan komplikasi. Obat-obatan seperti benzodiazepin atau antikolinergik
dan pencetus lain yang dikenal dapat menyebabkan delirium secara umum
hendaknya dihindari. Pencegahan yang sukses termasuk pendekatan
multikomponen juga dapat dilakukan untuk mengurangi faktor risiko karena
delirium memiliki banyak penyebab, maka pendekatan multikomponen merupakan
yang paling efektif dan relevan secara klinis. Yale Delirium Prevention Trial
menunjukkan efektivitas protokol intervensi yang menargetkan kepada 6 faktor
risiko: reorientasi dan terapi untuk gangguan kognitif, mobilisasi dini untuk
mengatasi imobilisasi, pendekatan nonfarmakologik untuk meminimalisir
penggunaan obatobat psikoaktif, intervensi untuk mencegah gangguan siklus tidur,
metode komunikasi dan perlengkapan adaptif (seperti kacamata dan alat bantu
dengar) untuk gangguan penglihatan dan pendengaran, dan intervensi dini untuk
kekurangan cairan.

9. Penatalaksanaan
Strategi penatalaksanaan delirium dapat dibagi dalam strategi nonfarmakologis
dan farmakologis. Strategi penatalaksanaan nonfarmakologis merupakan
pengobatan utama seluruh pasien delirium; meliputi reorientasi dan intervensi
tingkah laku. Tenaga kesehatan memberi instruksi yang jelas dan sering membuat
26
kontak mata dengan pasien. Gangguan sensorik seperti kehilangan penglihatan dan
pendengaran, dapat diminimalisir dengan menggunakan peralatan seperti kacamata
dan alat bantu dengar. Imobilisasi harus dicegah karena dapat meningkatkan agitasi,
peningkatan risiko luka, dan pemanjangan lamanya delirium. Intervensi lain
termasuk membatasi perubahan ruangan dan staf serta menyediakan kondisi
perawatan pasien yang tenang, dengan pencahayaan rendah pada malam hari.
Kondisi lingkungan yang tenang memberikan periode tidur yang tidak terganggu,
cukup penting dalam penanganan delirium. Meminimalisir penggunaan obat-obat
psikoaktif dengan protokol tidur nonfarmakologis yang meliputi 3 komponen,
antara lain segelas susu hangat atau teh herbal, musik relaksasi, dan pijat punggung.
Protokol ini dapat dilakukan sebagai bagian dari strategi pencegahan
multikomponen yang efektif.
Strategi penatalaksanaan delirium secara farmakologi lebih jarang dilakukan.
Terapi farmakologi biasanya diberikan pada pasien delirium yang sesuai indikasi
atau diperlukan untuk mencegah pengobatan medis lanjutan (pada delirium
hiperaktif ). Terapi farmakologi pada kondisi hipoaktif hingga saat ini masih
kontroversial. Obat-obat yang mempengaruhi perubahan tingkah laku dapat
mengaburkan status mental pasien dan menyulitkan pemantauan, oleh karena itu
hendaknya dihindari apabila memungkinkan. Haloperidol telah luas digunakan
sebagai obat pilihan untuk pengobatan agitasi akut dan memiliki kelebihan, karena
tersedia dalam bentuk parenteral, namun penggunaannya dihubungkan dengan efek
samping ekstrapiramidal dan distonia akut yang lebih tinggi dibandingkan
antipsikotik atipikal. Beberapa antipsikotik atipikal (seperti risperidon, olanzapine,
dan quetiapine) digunakan untuk mengatasi agitasi pasien delirium, namun tidak
ada data yang menunjukkan keunggulan satu antipsikotik dibandingkan lainnya.
Antipsikotik meningkatkan risiko stroke pada pasien geriatri dengan demensia dan
menyebabkan pemanjangan interval QT. Golongan benzodiazepin, seperti
lorazepam, tidak direkomendasikan sebagai terapi lini utama pengobatan delirium,
karena dapat memperberat perubahan status mental dan menyebabkan sedasi
berlebihan.

27
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ALZHEIMER, DEMENSIA DAN
DELIRIUM

1. Pengkajian
a) Identitas Klien
Demensia lebih sering terjadi pada kelompok usia lanjut, 50% populasi berusia
lebih dari 85 tahun (Muttaqin, 2011) dalam (Damara, D., 2018).
b) Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dan keluarga untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah penurunan daya ingat, perubahan kognitif, dan
kelumpuhan gerak ekstremitas (Muttaqin, 2011) dalam (Damara, D., 2018).
c) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada anamnesis, klien mengeluhkan sering lupa dan hilangnya ingatan yang baru.
Pada beberapa kasus, keluarga atau caregiver sering mengeluhkan bahwa klien
sering mengalami tingkah laku aneh dan kacau serta sering keluar rumah sendiri
tanpa meminta izin pada anggota keluarga yang lain atau caregiver sehingga sangat
meresahkan anggota atau caregiver yang menjaga klien. Pada tahap lanjut dari
penyakit, keluarga atau caregiver sering mengeluhkan bahwa klien menjadi tidak
dapat mengatur buang air, tidak dapat mengurus keperluan dasar sehari-hari, atau
mengenali anggota keluarga/caregiver (Muttaqin, 2011) dalam (Damara, D.,
2018).
d) Riwayat Kesehatan Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, diabetes
melitus, penyakit jantung, penggunaan obat-obatan anti ansietas (benzodiazepin),
penggunaan obat-obatan antikolinergik dalam jangka waktu yang lama, dan
riwayat sindrom Down yang pada suatu saat kemudian menderita penyakit
Alzheimer pada usia empat puluhan (Muttaqin, 2011) dalam (Damara, D., 2018).
e) Riwayat Kesehatan Keluarga
Yang perlu di kaji apakah dalam keluarga ada yang mengalami gangguan psikologi
seperti yang dialami oleh klien, atau adanya penyakit genetik yang mempengaruhi
psikososial (Aspiani, 2014) dalam (Damara, D., 2018). Pengkajian adanya anggota
generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus diperlukan
untuk melihat adanya komplikasi penyakit lain yang dapat mempercepat
progresifnya penyakit (Muttaqin, 2011) dalam (Damara, D., 2018).

28
f) Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Keadaan umum klien lansia yang mengalami masalah psikososial demensia
biasanya lemah (Aspiani, 2014) dalam (Damara, D., 2018).
2) Kesadaran
Kesadaran klien biasanya composmentis.
3) Tanda-tanda vital
- Suhu
Hipotermia dapat mempengaruhi sistem saraf pusat. Hipotermia ringan
mendepresikan otak dan menyebabkan confusi, apatis, psikomotor
menurun. Hipotermia moderat menurunkan kesadaran dan
menyebabkan halusinasi. Hipotermia berat dapat menyebabkan koma
(Sunaryo, 2016) dalam (Damara, D., 2018).
- Nadi
Klien dengan demensia alzheimer dapat mengalami bradikardi
(Muttaqin,
2011) dalam (Damara, D., 2018).
- Pernafasan
Pernapasan pada klien dengan demensia alzheimer akan mengalami
penurunan frekuensi pernapasan (Muttaqin, 2011) dalam (Damara, D.,
2018).
- Tekanan darah
Tekanan darah yang meningkat dapat mengalami dimensia pada lansia
(Maulidia, Rosalina, & Yunita, 2016) dalam (Damara, D., 2018).
- Pemeriksaan Review Of System (ROS) (Aspiani, 2014) dalam
(Damara, D., 2018)
· Sistem pernafasan (B1 : Breathing)
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi napas atau masih dalam
batas normal.
· Sistem sirkulasi (B2 : Bleeding)
Tidak ditemukan adanya kelainan, frekuensi nadi masih dalam
batas normal.
· Sistem persyarafan (B3 : Brain)

29
Klien mengalami gangguan memori, kehilangan ingatan,
gangguan konsentrasi, kurang perhatian, gangguan persepsi
sensori, insomnia.
· Sistem perkemihan (B4 : Bleder)
Tidak ada keluhan terkait dengan pola berkemih.
· Sistem pencernaan (B5 : Bowel)
Klien makan berkurang atau berlebih karena kadang lupa apakah
sudah makan atau belum, penurunan berat badan, kadang
konstipasi.
· Sistem muskuloskeletal (B6 : Bone)
Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan aktivitas.
g) Pola Fungsi Kesehatan
Yang perlu dikaji adalah aktifitas apa saja yang biasa dilakukan sehubungan
dengan adanya masalah psikososial demensia (Aspiani, 2014) dalam (Damara, D.,
2018) :
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Klien mengalami gangguan persepsi, klien mengalami gangguan dalam
memelihara dan menangani masalah kesehatannya.
2. Pola eliminasi : Tidak ada masalah terkait dengan pola eliminasi.
3. Pola tidur dan istirahat : Klien mengalami insomnia.
4. Pola aktifitas dan istirahat
Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan aktifitas sehari-hari karena
penurunan minat. Pengkajian kemampuan klien dalam memenuhi
kebutuhan aktivitas sehari-hari dapat menggunakan Indeks KATZ. Dari
hasil Indeks KATZ pada klien demensia pada stadium menengah bisa
sampai pada skor D serta untuk klien demensia dengan stadium lanjut
dengan skor Indeks KATZ: G karena hanya duduk di kursi roda dan
berbaring ditempat tidur.
5. Pola nutrisi
Klien dapat mengalami makan berlebih/berkurang karena kadang lupa
apakah sudah makan atau belum.
6. Pola eliminasi
Tidak ada masalah terkait dengan pola eliminasi.
7. Pola hubungan dan peran
30
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap
anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal, pekerjaan, tidak punya
rumah, dan masalah keuangan. Pengkajian APGAR keluarga. Pada APGAR
keluarga fungsi sosial klien dengan demensia terganggu dengan gejala-
gejala yang muncul pada demensia.
8. Pola sensori dan kognitif
Klien mengalami kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan minat dan motivasi, mudah lupa, gagal dalam melaksanakan
tugas, cepat marah, disorientasi. Untuk mengetahui status mental klien dapat
dilakukan pengkajian menggunakan tabel Short Portable Mental Status
Quesionare (SPMSQ) pada skor 3-10 kesalahan (kerusakan intelektual
ringan sampai berat) dan untuk mengetahui status kognitif klien demensia
bisa menggunakan tabel Digital MMSE (Mini Mental State Examination)
pada nilai 23-0 (gangguan kognitif ringan sampai berat).
9. Pola persepsi dan konsep diri
Klien dengan demensia umumnya mengalami gangguan persepsi, tidak
mengalami gangguan konsep diri. Untuk mengkaji tingkat depresi klien
dapat menggunakan tabel Inventaris Depresi Beck (IDB) atau Geriatric
Depresion Scale (GDS) dengan skor 5-10 (kemungkinan depresi sampai
menunjukkan depresi).
10. Pola seksual dan reproduksi
Klien dengan demensia umumnya berusia lanjut dengan masa menopause
pada perempuan dan masa andropause pada laki-laki.
11. Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping
Klien menggunakan mekanisme koping yang tidak efektif dalam menangani
stress yang dialaminya.
12. Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien tidak mengalami gangguan dalam spiritual.
h) Riwayat Keluarga & Faktor Genetik
Demensia Alzheimer Awitan Dini (Early onset Alzheimer Disease/EOAD) terjadi
sebelum usia 60 tahun, kelompok ini menyumbang 6-7% dari kasus PA. Sekitar
13% dari EOAD ini memperlihatkan transmisi otosomal dominan. Tiga mutasi gen
yang teridentifkasi untuk kelompok ini adalah amiloid ß protein precursor (AßPP)
pada kromosom 21 ditemukan pada 10-15% kasus, presenelin 1 (PS1) pada
31
kromosom 14 ditemukan pada 30-70% kasus dan presenilin 2 (PS) pada kromosom
1 ditemukan kurang dari 5% kasus. Sampai saat ini tidak ada mutasi genetik
tunggal yang teridentifikasi untuk PA Awitan Lambat. Diduga faktor genetik dan
lingkungan saling berpengaruh. Di antara semua faktor genetik, gen
(Apolipoprotein E) APOE yang paling banyak diteliti. Telaah sistematik studi
populasi menerangkan bahwa APOE e4 signifikan meningkatkan risiko demensia
PA terutama pada wanita dan populasi antara 55-65 tahun, pengaruh ini berkurang
pada usia yang lebih tua. Sampai saat ini tidak ada studi yang menyebutkan
perlunya tes genetik untuk klien demensia atau keluarganya. Apabila dicurigai
autosomal dominan, maka tes dapat dilakukan hanya setelah dengan informed
consent yang jelas atau untuk keperluan penelitian (Ong, 2015) dalam (Damara,
D., 2018).
i) Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi
klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubuhan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Adanya perubahan
hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk berkomunikasI akibat
gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak
berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Perubahan yang
terpenting pada klien dengan penyakit Alzheimer adalah penurunan kognitif dan
penurunan memori (ingatan) (Muttaqin, 2011) dalam (Damara, D., 2018).

2. Diagnose keperawatan
1) Gangguan Memori (D.0062)
2) Gangguan Persepsi-Sensori (D.0085)
3) Konfusi Akut (D.0064)
4) Risiko Jatuh (D.0143)
5) Defisit Perawatan Diri (D.0109)

32
3. Luaran dan intervensi

NO DIAGNOSA LUARAN INTERVENSI


KEPERAWATAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN
1. Gangguan Memori (L.09079) Latihan Memori (L.06188)
Memori (D.0062) Observasi
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan 1) Identifikasi masalah yang
kemampuan mengingat dialami
pada klien meningkat 2) Identifikasi kesalahan
dengan kriteria hasil : terhadap orientasi
3) Monitor perilaku dan
1) Kemampuan
perubahan memori
mempelajari hal baru
Terapeutik
meningkat
2) Kemampuan mengingat 1) Rencanakan metode
informasi faktual mengajar sesuai
meningkat kemampuan pasien
3) Kemampuan mengingat 2) Koreksi kesalahan
perilaku tertentu yang orientasi
pernah dilakukan 3) Fasilitasi mengingat
meningkat kembali pengalaman masa
4) Kemampuan mengingat lalu
peristiwa meningkat 4) Fasilitasi kemampuan
5) Melakukan kemampuan konsentrasi (senam otak)
yang dipelajari. 5) Stimulasi menggunakan
memori pada peristiwa
yang baru terjadi (seperti
menanyakan kembali
nama petugas)
6) Libatkan keluarga dalam
perawatan

Edukasi

33
1) Jelaskan tujuan dan
prosedur latihan
2) Ajarkan teknik memori
yang tepat.

2 Gangguan Persepsi Sensori (L.09083) Manajemen Demensia


Persepsi-Sensori Setelah dilakukan tindakan (L.09286)
(D.0085) keperawatan diharapkan Observasi
persepsi terhadap stimulus 1) Identifikasi riwayat fisik,
pada klien membaik dengan sosial, psikologis, dan
kriteria hasil : kebiasaan
1) Respon sesuai stimulus 2) Identifikasi pola aktivitas
membaik Terapeutik
2) Konsentrasi membaik.
1) Orientasikan waktu,
tempat, dan orang
2) Gunakan distraksi untuk
mengatasi masalah
perilaku

Edukasi

1) Anjurkan memperbanyak
istirahat
2) Ajarkan keluarga cara
perawatan demensia.

3. Konfusi Akut Tingkat Konfusi (L.06054) Stimulasi Kognitif (L.06208)


(D.0064) Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan diharapkan
1) Identifikasi keterbatasan
tingkat konfusi pada klien
kemampuan kognitif
menurun dengan kriteria
hasil : Terapeutik
1) Fungsi kognitif 1) Dukung lingkungan
meningkat dalam menstimulasi

34
2) Tingkat kesadaran melalui kontak yang
meningkat bervariasi
3) Aktivitas psikomotorik 2) Orientasikan waktu,
meningkat tempat, dan orang
4) Motivasi 3) Libatkan dalam program
memulai/menyelesaikan menstimulasi untuk
perilaku terarah meningkatkan
meningkat kemampuan kognitif
5) Respon terhadap (mis. Bernyanyi,
stimulus membaik mendengarkan musik, dll)
6) Persepsi membaik. 4) Rencanakan kegiatan
stimulasi sensori
5) Berikan waktu istirahat

Edukasi

1) Anjurkan sering
berinteraksi dengan orang
lain
2) Anjurkan melakukan
kegiatan untuk
meningkatkan
kemampuan dan
pembelajaran
3) Anjurkan mengulan
informasi yang
didapatkan.

4. Risiko Jatuh Tingkat Jatuh (L.14138) Pencegahan Jatuh (L.14540)


(D.01430) Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan diharapkan
1) Identifikasi faktor risiko
tingkat jatuh pada klien
jatuh (mis. Usia >65 thn
menurun dengan kriteria
dsb.)
hasil :
2) Identifikasi risiko jatuh

35
1) Tidak ada kejadian jatuh 3) Identifikasi faktor
dari tempat tidur lingkungan yang
2) Tidak ada kejadian jatuh meningkatkan risiko jatuh
saat berdiri 4) Hitung risiko jatuh
3) Tidak ada kejadian jatuh dengan menggunakan
saat duduk skala
4) Tidak ada kejadian jatuh 5) Monitor kemampuan
saat berjalan. berpindah tempat

Terapeutik

1) Orientasikan ruangan
pada pasien dan keluarga
2) Pastikan roda tempat
tidur dan kursi roda
dalam kondisi terkunci
3) Gunakan alat bantu
berjalan

Edukasi

1) Anjurkan menggunakan
alas kaki yang tidak licin
2) Anjurkan berkonsentrasi
untuk menjaga
keseimbangan tubuh
3) Anjurkan melebarkan
jarak kedua kaki untuk
meningkatkan
keseimbangan saat
berdiri.

5. Defisit Perawatan Perawatan Diri (L.11103) Dukungan Perawatan Diri


Diri (D.0109) Setelah dilakukan tindakan (L.11348)
keperawatan diharapkan Observasi
perawatan diri pada klien

36
meningkat dengan kriteria 1) Identifikasi kebiasaan
hasil : aktivitas perawatan diri
1) Kemampuan sesuai usia
mempertahankan 2) Monitor tingkat
kebersihan diri kemandirian
meningkat Terapeutik
2) Minat melakukan
1) Sediakan lingkungan
perawatan diri
yang terapeutik
meningkat
2) Dampingi dalam
3) Keinginan melakukan
melakukan perawatan diri
perawatan diri
sampai mandiri
meningkat.
3) Fasilitasi kemandirian,
bantu jika tidak mampu
melakukan perawatan diri
4) Jadwalkan rutinitas
perawatan diri

Edukasi

1) Anjurkan melakukan
perawatan diri secara
konsisten sesuai
kemampuan.

37
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Brunner & Suddart, Alzheimer merupakan penyakit kronik, progresif, dan
merupakan gangguan degeneratif otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif
dan kemampuan untuk merawat diri. Alzheimer merupakan penyakit degeneratif yang
ditandai dengan penurunan daya ingat, intelektual, dan kepribadian. Tidak dapat
disembuhkan, dan pengobatannya ditujukan untuk menghentikan progresivitas
penyakit serta meningkatkan kemandirian penderita.
Demensia adalah sindrom klinis yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan
memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.
Penurunan fungsi kognitif yang berujung pada demensia menyebabkan lansia menjadi
tidak produktif sehingga memunculkan problem dalam kesehatan masyarakat dan
tentunya berdampak pada bertambahnya pembiayaan keluarga, masyarakat dan
pemerintah (Moeloek, 2016) dalam (Paulus, F. I., 2022).
Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan kesadaran
yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif. Delirium
merupakan sindrom klinis akut dan sejenak dengan ciri penurunan taraf kesadaran,
gangguan kognitif, gangguan persepsi, termasuk halusinasi dan ilusi, khas adalah visual
juga di pancaindera lain, dan gangguan perilaku, seperti agitasi. Gangguan ini
berlangsung pendek dan berjam-jam hingga berhari-hari, taraf hebatnya berfluktuasi,
hebat dimalam hari, kegelapan membuat halusinasi visual dan gangguan perilaku
meningkat dan biasanya bersifat reversible.

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,

saran serta kritik konstruktif dari pembaca sangat kami perlukan agar dapat

meningkatkan kualitas makalah ini.

38
DAFTAR PUSTAKA

Damara, D. (2018). Asuhan Keperawatan Demensia Pada Lansia Ny. J Dan Ny. P Dengan
Masalah Keperawatan Gangguan Proses Pikir Di UPT PSTW Jember. Universitas
Jember.

Paulus, F. I. (2022). Laporan Asuhan Keperawatan Gerontik Pada Bp. H Dengan Demensia
Di Wilayah Kerja Puskesmas Depok 3 DI Yogyakarta. Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta.

Widyastuti, K., & Mahasena. (2017). Dipetik October 17, 2022, dari Universitas Udayana
Website:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/84f792be708bd93a0e18dde1c
592ca79.pdf

Yuniarti, T. (2018). Dipetik October 17, 2022, dari Repository Universitas Muhammadiyah
Purwokerto Website:
http://repository.ump.ac.id/8333/3/TRIAS%20YUNIARTI%20BAB%20II.pdf

Mahendri Pattni, K. A. (2013). Beta Amyloid Sebagai Patogenesis Pada Penyakit Alzheimer.
Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana.

Mahendri Pattni, K. A. (2013). Beta Amyloid Sebagai Patogenesis Pada Penyakit Alzheimer.
Jurnal Medika Udayana.

Shabrina, N. F., & Suhartono, G. (2021). Pemeriksaan SD-OCT Pada Bidang Neuro-
Oftalmologi. Jurnal Ophthalmol Ina, 115-125.

Tiauw, A. (2019). Asuhan Keperawatan Ny. M.N Dengan Kerusakan Memori Akibat
Demensia Pre Senilis Di Kelurahan Fatululi, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang.
Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang.

39

Anda mungkin juga menyukai