Anda di halaman 1dari 23

PENGAYAAN DOKTER MUDA

PENYAKIT ALZHEIMER

Oleh:

Nur Laila Putri Widiani

19007200011161

PERIODE 6 Juli-9 Juli 2020


Pembimbing:

dr. Neila Raisa, Sp.S

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

2020

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................... 2

DAFTAR GAMBAR......................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang..........................................................................................


4
1.2 Tujuan........................................................................................................
5

BAB II ISI.......................................................................................................... 6
1.
2.
2.1 Definisi.......................................................................................................
5
2.2 Epidemiologi..............................................................................................
5
2.3 Klasifikasi...................................................................................................
5
2.4 Patofisiologi...............................................................................................
6
2.5 Gejala Klinis...............................................................................................
7
2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................
8
2.7 Diagnosis Banding.....................................................................................
9
2.8 Penatalaksanaan.......................................................................................
10
2.9 Prognosis................................................................................................... 11

BAB III PENUTUP........................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 14

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran otak pada penderita alzheimer ................................... 7

Gambar 2. Hasil MRI normal dan Alzheimer .................................................. 8


Gambar 3. Hasil PET Scan normal dan Alzheimer ........................................ 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gangguan kesehatan pada golongan lansia terkait erat dengan proses

degenerasi yang tidak dapat dihindari. Seluruh sistem, cepat atau lambat akan

mengalami degenerasi. Dari aspek medik, demensia merupakan masalah yang

tak kalah rumitnya dengan masalah yang terdapat pada penyakit kronis

lainnya. Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi untuk

meningkatkan kualitas hidup manusia. Seseorang yang mengalami demensia

pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup. Keberadaannya dalam

lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya,

tidak mandiri lagi. Demensia adalah hilangnya fungsi kognisi secara

multidimensional dan terus-menerus, disebabkan oleh kerusakan organik

system saraf pusat, tidak disertai oleh penurunan kesadaran akut seperti

halnya yang terjadi pada delirium, Jenis-jenis demensia yaitu demensia

Alzheimer, demensia vascular, demensia karena kondisi medik umum

lainnya.
(1)

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh

negara-negara maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai

muncul di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan

oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degenerative serta

meningkatnya usia hatapan hidup hamper di seluruh dunia. Studi prevalensi

menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65 tahun

presentase orang dengan penyakit Alzheimer meningkat dua kali lipat setiap

pertambahan umur 5 tahun.Sebagian besar 10% dari semua orang yang

berusia di atas 70 tahun mempunyai kehilangan memori yang signifikan dan

lebih dari setengahnya disebabkan oleh Penyakit Alzheimer. Diestimasikan

total pengeluaran untuk perawatan pasien Alzheimer adalah >$50.000.

Penyakit Alzheimer dapat terjadi pada setiap dekade dewasa, tetapi penyakit

ini merupakan penyebab utama demensia pada lanjut usia. Penyakit

Alzheimer lebih sering dengan gambaran hilang ingatan yang lambat diikuti

oleh demensia dengan progresifitas yang lambat dalam beberapa tahun(2,3)

Penyakit Alzheimer merupakan sebuah kelainan otak yang bersifat

irreversible dan progresif yang terkait dengan perubahan sel-sel saraf

sehingga menyebabkan kematian sel otak. Penyakit Alzheimer terjadi secara

bertahap, dan bukan merupakan bagian dari proses penuaan normal dan

merupakan penyebab paling umum dari demensia. Demensia merupakan


kehilangan fungsi intelektual, seperti berpikir, mengingat, dan berlogika, yang

cukup parah untuk mengganggu aktifitas sehari-hari.Demensia bukan

merupakan sebuah penyakit, melainkan sebuah kumpulan gejala yang

menyertai penyakit atau kondisi tertentu. Gejala dari demensia juga dapat

termasuk perubahan kepribadian, mood, dan perilaku.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah Penyakit Alzheimer ini adalah sebagai


berikut:
1. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan
pembaca, terutama mengenai gejala klinis, bagaimana cara melakukan
diagnosis, dan tatalaksana dari Penyakit Alzheimer.
2. Memenuhi tugas pengayaan dokter muda periode 6 Juli sampai 19 Juli
2020 pada SMF Ilmu Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

BAB 2

ISI

2 . 1. Definisi

Demensia adalah sindrom yang ditandai dengan banyak gangguan pada fungsi
otak, termasuk memori, pemikiran, orientasi, pemahaman, perhitungan,
kapasitas belajar, bahasa, dan pertimbangan. Kesadaran tidak mendung.
Gangguan fungsi kognitif adalah biasanya disertai, dan kadang-kadang didahului,
oleh kemunduran dalam kontrol emosional, perilaku sosial, atau motivasi.
2 . 2. Epidemiologi

Hal yang terpenting yang merupakan faktor resiko dari penyakit Alzheimer adalah
umur yang tua dan positive pada riwayat penyakit keluarga. Frekuensi dari
penyakit Alzheimer akan meningkat seiring bertambahnya dekade dewasa.
Mencapai sekitar 20-40% dari populasi lebih dari 85 tahun. Wanita merupakan
faktor resiko gender yang lebih beresiko terutama wanita usia lanjut. Lebih dari
35 juta orang di dunia, 5,5 juta di Amerika Serikat yang mengalami penyakit
Alzheimer, penurunan ingatan dan gangguan kognitif lainnya dapat mengarahkan
pada kematian sekitar 3 – 9 tahun ke setelah didiagnosis. Penyakit Alzheimer
merupakan jenis yang terbanyak dari demensia, dihitung berdasarkan 50 – 56 %
kasus dari autopsy dan kasus klinis. Insiden dari penyakit ini dua kali lipat setiap
5 tahun setelah usia 65 tahun, dengan diagnosis baru 1275 kasus per tahun per
100.000 orang lebih tua dari 65 tahun. Kebanyakan orang-orang dengan penyakit
Alzheimer merupakan wanita dan berkulit putih. Karena sangat dihubungkan
dengan usia, dan wanita mempunyai ekspektasi kehidupan yang lebih panjang
dari pria, maka wanita menyumbangkan sebesar 2/3 dari total orang tua dengan
penyakit ini.

2.3 Etiologi

Meskipun Penyebab Alzheimer disease belum diketahui, sejumlah faktor yang


saat ini berhasil diidentiifikasi yang tampaknya berperan besar dalam timbulnya
penyakit ini. (6) · Faktor genetik berperan dalam timbulnya Alzheimer Disease
pada beberapa kasus, seperti dibuktikan adanya kasus familial. Penelitian
terhadap kasus familial telah memberikan pemahaman signifikan tentang
patogenesis alzheimer disease familial, dan , mungkin sporadik. Mutasi di paling
sedikit empat lokus genetik dilaporkan berkaitan secara eksklusif dengan AD
familial. Berdasarkan keterkaitan antara trisomi 21 dan kelainan mirip AP di otak
yang sudah lama diketahui, mungkin tidaklah mengherankan bahwa mutasi
pertama yang berhasil diidentifikasi adalah suatu lokus di kromosom 21 yang
sekarang diketahui mengkode sebuah protein yang dikenal sebagai protein
prekursor amiloid (APP). APP merupakan sumber endapan amiloid yang
ditemukan di berbagai tempat di dalam otak pasien yang menderita Alzheimer
disease. Mutasi dari dua gen lain, yang disebut presenilin 1 dan presenilin 2,
yang masing- masing terletak di kromosom 14 dan 1 tampaknya lebih berperan
pada AD familial terutama kasus dengan onset dini · Pengendapan suatu bentuk
amiloid, yang berasal dari penguraian APP merupakan gambaran yang konsisten
pada Alzheimer disease. Produk penguraian tersebut yang dikenal sebagai β-
amiloid (Aβ) adalah komponen utama plak senilis yang ditemukan pada otak
pasien Alzheimer disease, dan biasanya juga terdapat di dalam pembuluh darah
otak. · Hiperfosforilisasi protein tau merupakan keping lain teka-teki Alzheimer
disease. Tau adalah suatu protein intra sel yang terlibat dalam pembentukan
mikrotubulus intra akson. Selain pengendapan amiloid, kelainan sitoskeleton
merupakan gambaran yang selalu ditemukan pada AD. Kelainan ini berkaitan
dengan penimbunan bentuk hiperfosforilasi tau, yang keberadaanya mungkin
menggaggu pemeliharaan mikrotubulus normal. · Ekspresi alel spesifik
apoprotein E (ApoE) dapat dibuktikan pada AD sporadik dan familial.
Diperkirakan ApoE mungkin berperan dalam penyaluran dan pengolahan molekul
APP. ApoE yang mengandung alel ε4 dilaporkan mengikat Aβ lebih baik daripada
bentuk lain ApoE, dan oleh karena itu, bentuk ini mungkin ikut meningkatkan
pembentukan fibril amiloid.

2 . 4. Patofisiologi

Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan


kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan
amiloid dalam pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat
perubahan structural dan biokimia pada neuron – neuron. (proce & Willson,
2010).

Pada saat otopsi, gambaran patologis yang paing sering terlihat adalah
adanya protein β amiloid ekstraseluler pada diffuse plaques dan pada plak
yang mengandung elemnt dari neuron yang berdegenerasi. Perubahan
intraseluler yang diamati adalah adanya deposit dari tangle neurofibril. Lesi
patologis ini awalnya terletak pada region entorhinal dari hipokampus dan
kemudian akan menyebar ke daerah lainnya. Semakin lama dari onset awal
penyakit, akan terjadi kehilangan dari neuron dan sinaps yang luas (Mayeux,
2010).

Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya
berkembang menjadi degenarasi soma dan atau akson dan atau dendrit.Satu
tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris yaitu struktur intraselular
yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein “tau”. Dalam
SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat pembentuk structural
yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen
penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal
dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga
tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama – sama. Tau yang
abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya
masing-masing terluka. Dengan kolapsnya system transport internal,
hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya
diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya
neuron yang rusak menyebabkan Alzheimer (Price & Willson, 2010).

Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-
beta) yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam
sel neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang
pada keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan
dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron.APP terbagi menjadi fragmen –
fragmen oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang
berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut.Gumpalan tersebut akhirnya
bercampur dengan sel – sel glia yang akhirnya membentuk fibril – fibril plak
yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi
neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal
bebas sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon
pembuluh darah sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap
stressor. Selain karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga
berpengaruh pada AD.Secara neurokimia kelainan pada otak (Price &
Willson, 2010).

Gambar 2.1 Patofisiologi Alzheimer’s Disease

2 . 5. Gejala Klinis Alzheimer

Gambar 2.2 Tahapan Penyakit Alzheimer (Sterling RA, et al, 2011)


Gejala penyakit Alzheimer bervariasi di antara individu. Gejala awal yang
paling umum adalah menurunnya kemampuan mengingat informasi baru. Ini
terjadi karena neuron pertama yang rusak dan hancur biasanya di daerah
otak yang terlibat dalam membentuk ingatan baru. Ketika neuron di bagian
otak lainnya rusak dan hancur, individu mengalami kesulitan lain. (NIH, 2017)
Penelitian saat ini mengidentifikasi tiga tahap Alzheimer: penyakit Alzheimer
praklinis, gangguan kognitif ringan (MCI) karena penyakit Alzheimer, dan
demensia akibat penyakit Alzheimer. Dalam dua yang tahap terakhir,
gejalanya ada, tetapi pada derajat yang bervariasi. (Alzheimer’s Association,
2019)
Gambar 2.2 Gejala Klinis Penyakit Alzheimer. (Alzheimer’s
Association, 2019)

2 . 6. Diagnosis Terbaru (Current Diagnosis)

Fokus kriteria NIA-AA 2011 adalah kebutuhan untuk membuat diagnosis


penyakit praklinis yang lebih akurat sehingga pengobatan dapat dimulai
sebelum neuron rusak secara signifikan, sementara mereka lebih cenderung
merespons. Oleh karena itu, laporan tersebut mencakup kriteria untuk
diagnosis sebagai berikut:
- Asimptomatik, AD praklinis (untuk tujuan penelitian, bukan diagnosis
klinis)
- Gangguan kognitif ringan (MCI), fase awal gejala tetapi predementia AD
- Demensia AD

Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-V) Edisi Kelima,


dirilis pada 2013, menggantikan istilah demensia dengan gangguan
neurokognitif utama dan gangguan neurokognitif ringan. Istilah-istilah baru
fokus pada penurunan, bukan pada defisit, dalam fungsi.

Untuk memenuhi kriteria DSM5 untuk AD, individu harus memenuhi kriteria
untuk gangguan neurokognitif besar atau ringan dan harus ada onset
berbahaya dan perkembangan bertahap dari penurunan dalam satu atau
lebih domain kognitif (untuk gangguan neurokognitif utama, setidaknya dua
domain harus terganggu). Individu juga harus memenuhi kriteria untuk
kemungkinan atau kemungkinan AD sebagaimana diuraikan dalam DSM5.

Penyakit Alzheimer mempunyai gejala dementia yang progresif yang berupa


gangguan memori secara episodik dan gangguan kognisi pada aktivitas
harian. Pada pemeriksaan otak melalui CT Scan terlihat SP dan NFTs.
Menurut pendapat dari National Institute of Neurological and Communicative
Diseases and Stroke (NINCDS) dan Alzheimer’s Disease and Related
Disorders Association (ADRDA) diagnosis Alzheimer hanya dapat dipastikan
dengan otopsi, penyakit Alzheimer berkembang terus selama manusia hidup,
sehingga diagnosa hanya berupa dugaan Alzheimer. Karena itu masih
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan memakai beberapa biomarker,
antara lain: terdapat abnormal cairan serebrospinal untuk profile Aβ dan
protein Tau (Galimberti & Scarpiniet, 2012). Biomarker Aβ1-42 ; total protein
Tau (T-tau) dan Tau phosphorylated at threonine 181 (p-tau181p) pada
cairan serebrospinal sebagai pemeriksaan rutin untuk konfirmasi
penyakit Alzheimer tahap MCI, kombinasi ketiga biomarker di atas
akan membuat akurasi menjadi 80% (De Rino, et al., 2012;
Engelborghs & Bastard, 2012; Genius, et al., 2012). Melalui prosedur
multidimensional protein separation, dapat mendiagnosis penyakit
Alzheimer melalui darah, dengan cara memisahkan 12 protein (yang
tidak diperlukan) lalu dilabel dengan pewarnaan fluoresen yang
berbeda, lalu dicampur dan dipisahkan oleh anion exchange dan
RPchromatography, hasilnya akan dianalisa dengan 2D gels, lalu
diidentifikasi dengan mass spectrometry analysis (Henkel, et al., 2012).
Mass spectrometry techniques (MS) untuk biomarker gangguan
neurodegeneratif, yaitu identifikasi cairan serebrospinal untuk
mendeteksi perubahan konsentrasi protein (proteomeanalysis),
merupakan diagnosis cepat (Grela, et al., 2012) Pada pemeriksaan
menggunakan MRI terdapat atrofi formasi hipokampalis (Galimberti &
Scarpiniet, 2012). Positron Emissing Tomography (PET) terdapat
hipometabolisme glukosa (Galimberti & Scarpiniet, 2012). Diagnosis
penyakit Alzheimer ditegakkan dengan memakai pedoman: adanya
gangguan memori secara episodik dan pemeriksaan dengan biomarker
positif, disebut juga Mild Cognitive Impairment (MCI) sehingga tidak
perlu menunggu sampai pasien menderita dementia (Galimberti &
Scarpiniet, 2012). Kriteria National Institute on Aging (NIA) dan The
Alzheimer’s Association ada tiga bentuk yaitu tahap preklinikal
asimptomatik (penelitian), tahap simptomatik predementia (MCI), ada
dua kriteria, pertama; berdasarkan klinis dan analisis neuropsikologis
tanpa analisis cairan serebrospinal, kedua; dengan menggunakan
analisis cairan serebrospinal (biomarker), dan tahap dementia
(Galimberti & Scarpiniet, 2012; Miller, et al., 2011).
- Tahap I: preklinikal
yang merupakan tahap awal dari penyakit Alzheimer dimana gejala
kehilangan ingatan tidak terdeteksi tetapi kelainan patologi mungkin
sudah terjadi di otak. Untuk tahap ini tidak ada saran diagnosis (Miller,
et al., 2011). Pada tahap ini terjadi kelainan patologi pada otak di
daerah transentorhinal, lokasi antara korteks perirhinal dan entorhinal
(Carlesimo, et al., 2011).
- Tahap II: mild cognitive impairment adalah
tahap intermediet antara normal (pelupa karena usia) dan penyakit
Alzheimer (penurunan memori dan proses berpikir). Dalam 5 tahun,
separuh MCI akan berkembang menjadi dementia (paling banyak
dementia karena Alzheimer), seperempat MCI adalah fungsi kognisi
normal dan sisanya stabil. Penyebab gangguan berpikir bisa karena
penyakit jantung, stroke, depresi, dan trauma kepala. Tidak ada tes
neuropsikologis standar untuk tahap ini. Panduan yang dipakai adalah:
perubahan kognisi (kemampuan berpikir terganggu, gangguan satu
atau lebih dalam memori, atensi, berbahasa, merencanakan sesuatu.
Kemampuan fungsi untuk mandiri kurang efisien atau lebih lambat,
namun tidak terdapat dementia (Miller, et al., 2011). Pada tahap ini
kelainan patologinya menyebar pada korteks entorhinal di daerah
parahipokampus dan ke hipokampus, lobus temporal daerah mesial
yang berefek pada proyeksi neural di formasi hipokampalis dan daerah
entorhinal. Sehingga tidak ada hubungan fungsi di hipokampus dari
asosiasi neokorteks baik aferens maupun eferens, daerah ini
Untuk fungsi memori (Carlesimo, et al., 2011).
- Tahap III: Dementia
Pada penyakit Alzheimer yaitu adanya gangguan dalam memori,
proses berpikir dan tingkah laku sehingga pasien akan tergantung
secara fungsional. Problem utama adalah gangguan memori yang
berupa episodic memory (kesulitan belajar/ mengingat informasi baru),
salah menaruh barang, mengulang pertanyaan/percakapan, tersesat di
jalan. Gangguan fungsi eksekutif berupa berpikir termasuk juga
merencanakan sesuatu, menilai, menyelesaikan masalah sehingga
bermanifestasi pada kesulitan finansial, gagal menjaga kesehatan
pribadi (tidak mampu mengatur makan). Kemampuan visuospatial
adalah kemampuan menjelaskan informasi visual dan melihat obyek
yang tetap ada di sekitarnya sehingga bermanifestasi lupa akan wajah
keluarganya, tidak dapat menemukan obyek pada area yang
dilihatnya. Kemampuan berbahasa berupa berbicara tergesa-gesa
sehingga kata yang keluar tidak tepat atau salah mengeja. Tingkah
laku/ kepribadian berupa agitasi, apatis, suasana hati berubah-ubah,
obsesif-kompulsif (Allan, et al., 2013; Miller, et al., 2011). Gangguan
tersebut di atas minimal sudah berlangsung selama 6 bulan (Allan, et
al., 2013). Pada tahap III ini terkena isokorteks area asosiasi lobus
temporal, parietal, frontal (Carlesimo, et al., 2011). Diperlukan
penilaian
kognisi secara obyektif dengan menggunakan The Montreal Cognitive
Assessment (MoCA), Mini Mental State Examination (MMSE) yang
akurasinya akan meningkat bila digabung dengan pemeriksaan
functional deterioration seperti Bristol Activities of Daily Living Scale
(BADLS) (Allan, et al., 2013).

2 . 7. Diagnosis Banding
Gambar 2.3 Diagnosis Banding Penyakit Alzheimer (Alzheimer’s Association,
2019)

2.8. Penatalaksanaan

2.8.1 Farmakologis

Tak satu pun dari perawatan farmakologis (obat) tersedia hari ini untuk demensia
Alzheimer yang bisa memperlambat atau menghentikan kerusakan dan
kehancuran neuron yang menyebabkan gejala Alzheimer dan membuat
penyakitnya fatal. Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui enam
obat untuk pengobatan Alzheimer: rivastigmine, galantamine, donepezil,
memantine, memantine dikombinasikan dengan donepezil, dan tacrine (tacrine
sekarang dihentikan di Amerika Serikat). Dengan terkecuali memantine, obat ini
sementara memperbaiki gejala dengan meningkatkan jumlah bahan kimia yang
disebut neurotransmitter di otak. Memantine memblokir reseptor tertentu di otak
stimulasi berlebih yang dapat merusak sel-sel saraf. Efektivitas obat-obatan ini
bervariasi dari orang ke orang dan durasinya terbatas. (Alzheimer’s Association,
2019)

2.8.1.1 Kolinesterase Inhibitor

Kolineseterase inhibitor digunakan untuk penyakit alzheimer


ringan hingga sedang. Obat ini bekerja dengan cara menghambat kolinesterase
dan meningkatkan kadar asetilkolin di otak. Terapi menggunakan obat ini dapat
memperbaiki memori dan apraksia, tetapi hanya selama digunakan. Contoh obat
kolinesterase inhibitor antara lain : Galantamine , Donepezil, Rivastigmine
( digunakan untuk tahap ringan sampai sedang), dan Tacrine (sudah jarang
digunakan karena menyebabkan kerusakan hati)

Pemberian dosis yang digunakan biasanya adalah sebagai berikut :


- Donepezil dimulai dengan 5mg perhari dan dinaikkan menjadi 10mg
setelah 1 bulan pemakaian
- Rivastigmine ditingkatkan dari 1,5mg dua kali sehari menjadi 3mg dua kali
sehari, kemudian 4,5mg dua kali sehari dan dapat dinaikkan hinga
maksimum dosis yaitu 6mg dua kali sehari.
- Galantamine diawali dengan dosis 4mg dua kali sehari, dapat
ditingkatkan menjadi 8mg dua kali sehari dan 12mg dua kali sehari.

2.8.1.2 Memantin

Obat ini dapat digunakan untuk alzheimer derajat sedang hingga berat.
Memantin bekerja dengan cara memblok saluran N-methyl-D-Aspartate (NMDA)
yang berlebihan, sehingga dapat menghambat kerusakan kognitif. Dosis yang
digunakan biasanya adalah 5mg per hari dan dapat ditingkatkan hingga 10mg
dua kali sehari

2.8.1.3 Thiamin

Pemberian dengan dosis 3gr perhari secara peroral selama 3 bulan dapat
memperbaiki fungsi kognitif, hal ini dikarenakan pada penderita alzheimer
didapatkan penurunan thiamin pyrophospatase

2.8.1.4 Haloperidol

Pada penderita alzheimer yang mengalami delusi, halusinasi dan tingkah


laku, dapat diberikan haloperiodol peroral dengan dosis 1-5mg/hari selama 4
minggu

2.8.2 Terapi Non Farmakologis

2.9 Prognosis
Dilihat dari beberapa faktor yaitu derajat beratnya penyakit, variabilitas
gambaran klinis dan perbedaan individual seperti usia, riwayat keluarga terkena
alzheimer, dan jenis kelamin. Pasien dengan alzheimer biasanya memiliki angka
harapan hidup rata-rata 4-10 tahun setelah didiagnosis dan meninggal dunia
akibat infeksi sekunder.
BAB 3

PENUTUP
Penyakit Alzheimer merupakan penyebab tersering penyebab gangguan kognitif
pada populasi usia lanjut. Dementia pada penyakit Alzheimer memiliki onset
gradual dengan penurunan kognitif yang berkelanjutan. Kelainan yang
ditimbulkan meliputi gangguan memori, berbahasa, fungsi motorik, fungsi
sensoris, dan gangguan fungsi eksekutif.

Penyakit Alzheimer dikarakteristikan dengan adanya neuropathologikal


seperti hilangnya neuronal selektif dan disfungsi sinap, adanya plak neuritis yang
mengandung Aβ peptida dan neurofibrillary tangles (NFTs). Peningkatan Aβ
peptide erupakan pathogenesis penyakit Alzheimer, yang diawali dengan
kegagalan clearance mechanisms dari Aβ sehhingga menimbulkan akumulasi
dan dari Aβ peptide di limbik. Akumulasi ini berlangsung terus-menerus secara
bertahap sebagai plak. Plak yang terjadi mengaktivasi mikroglial dan atrosit
sebagi respon inflamasi. Kemudian terjadi perubahan homeostatis neuron, dan
terjadi oxidative injury yang mengakibatkan perubahan aktivitas kinase ataupun
fosfat.

Terapi non-farmakologis bagi penderita demensia alzheimer dapat


diberikan bantuan-bantuan terutama untuk membantu kualitas hidup penderita,
untuk membantu penderita melakukan hal-hal mandiri, menjaga agar penderita
aman, menghindari angka kemungkinan jatuh. Sedangkan terapi farmakologis
untuk demensia alzheimer ringan sampai sedang adalah dengan menggunakan
kolinesterase inhibitor, contohnya adalah rivastigmine, doneprezil, dan
galantamine. Kemudian untuk demensia alzheimer sedang sampai berat, dapat
diberikan N-methyl-D-aspartate (NMDA) antagonis, seperti memantine.

Prognosis penyakit ini dilihat dari derajat beratnya penyakit, variabilitas


gambaran klinis dan perbedaan individual seperti usia, riwayat keluarga terkena
alzheimer, dan jenis kelamin. Pasien dengan alzheimer biasanya memiliki angka
harapan hidup rata-rata 4-10 tahun setelah didiagnosis dan meninggal dunia
akibat infeksi sekunder
DAFTAR PUSTAKA

1. NCBI. 2011. Epidemiology of Alzheimer Disease.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ Diakses pada 4 Mei 2018.
2. Hebert LE, Weuve J, Scherr PA, Evans DL. Alzheimer disease in the
United States (2010–2050) estimated using the 2010 census.
Neurology. 2013;80:1778-83.
3. CDC. Alzheimer’s Disease. https://www.cdc.gov Diakses pada 4 Mei
2018 (
4. Society NAOAA. Alzheimer’s Disease and Dementia : A Growing
Challenge2000:[1-6 pp.]
5. WHO dementia report. World Health Organization. (forthcoming)
(FASE)
6. Klafki HW, Staufenbiel M, Kornhuber J, Wiltfang J. Therapeutic
approaches to alzheimer’s disease. Brain. 2006; 129: 2840-2855.
7.Richardsz SS, Sweet RA. Dementia. In: Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P.
Comprehensive text book of psychiatry volume 1. 9 th . ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2009; 1176-1185.
8. Marshall GA, Monserratt L, Harwood D, Mandelkern M, Cummings JL,
Sultzer DL. Positron emission tomography metabolic correlates of
apathy in Alzheimer disease. Arch Neurol. 2007 Jul. 64(7):1015-20.
9.Choi SR, Schneider JA, Bennett DA, Beach TG, Bedell BJ, Zehntner
SP, et al. Correlation of amyloid PET ligand florbetapir F 18 binding
with Aß aggregation and neuritic plaque deposition in postmortem
brain tissue. Alzheimer Dis Assoc Disord. 2012 Jan. 26(1):8-16.
10. Schouten TM, Koini M, de Vos F, Seiler S, van der Grond J, Lechner
A, et al. Combining anatomical, diffusion, and resting state functional
magnetic resonance imaging for individual classification of mild and
moderate Alzheimer's disease. Neuroimage Clin. 2016. 11:46-51.

11. Aguila JL, Koboldt DC, Black K, Chasse R, Norton J, Wilson RK, et al.
2015. Alzheimer's disease: rare variants with large effect sizes. Curr Opin
Genet Dev. 33:49–55
12. Banerjee S. 2010. Living well with dementia – development of the national
dementia strategy for England. Int J Geriatr Psychiatry. 25:917–922
13. Alzheimer Association. Tests for Alzheimer's Disease and Dementia. 2018.
www.alz.org Diakses pada 6 Mei 2018
14. Robbins, Stanley. L et all. Buku Ajar Patologi edis 7.Buku Kedokteran
ECG:2007
15. Reinhard Rohkamm MD. Color Atlas of Neurology Germany:
Thieme; 2004
16. Japardi I. Penyakit Alzheimer. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatra Utara. 2002. pp.1-11.

1. Sperling RA, et al. "Toward Defining the Preclinical Stages of


Alzheimer's Disease: Recommendations from the National Institute
on Aging and the Alzheimer's Association Work Group,"
Alzheimer's & Dementia (2011): Electronic publication ahead of
print.
2. Alzheimer’s Association. 2019 Alzheimer’s Disease Facts and
Figures. Alzheimers Dement 2019;15(3):321-87.

Anda mungkin juga menyukai