Orang percaya yang hidup di tengah-tengah kehendak Allah, tidak perlu takut
kematian. Orang percaya mengetahui bahwa Allah mempunyai maksud untuk
kehidupan mereka, dan bahwa kematian bila itu datang, hanya merupakan akhir
tugas mereka di dunia dan awal kehidupan yang lebih indah bersama Kristus.
Ay. 27-30: Paulus juga tidak tahu secara persis bagaimana akhir dari perkaranya,
entah ia akan dihukum mati atau dibebaskan. Di tengah situasi yang serba tidak
menentu seperti ini, ia menasihati jemaat Filipi untuk hidup berpadanan dengan injil.
Ia memberikan nasihat kepada jemaat untuk tetap berjuang dalam kehidupannya
berpadanan dengan Injil Kristus. Orang yang sudah dihidupkan melalui injil sudah
sepatutnya menghidupi injil. Perbuatan mereka seharusnya mencerminkan injil. Injil
yang mulia terwujud dalam kehidupan yang mulia pula, bukan “hidup sebagai seteru
salib Kristus” (3:18). Sayangnya, inilah yang seringkali terjadi dengan sebagian
orang yang mengaku diri Kristen. Mereka hanya mementingkan diri sendiri, bukan
perluasan pekerjaan injil. Mereka terfokus pada hal-hal yang jasmaniah (3:19).
Sebagaimana gaya hidup seorang warga negara Romawi terlihat begitu beda dengan
gaya hidup seorang budak, demikian pula gaya hidup penerima injil harus berlainan
dengan gaya hidup orang lain yang menolak injil.
Orang Kristen harus hidup layak dengan injil yang ia percayai.
Kedua, tidak digentarkan oleh lawan (ayat 28a). Perjuangan demi injil tidak selalu
mulus. Begitu pula yang terjadi dengan Paulus dan jemaat Filipi. Ayat 30
menyiratkan bahwa penganiayaan sudah terjadi dan terus-menerus menimpa jemaat
Filipi sejak Paulus pertama kali merintis pelayanan di sana (bdk. Kis 16:11-40).
Sampai surat ini ditulis pun keduanya tetap menghadapi masalah yang sama. Paulus
sedang dipenjarakan karena injil. Jemaat Filipi mendapat tekanan dari lawan-lawan
mereka. Dibutuhkan keberanian yang besar untuk tetap berjuang demi injil.