Anda di halaman 1dari 9

Bolehkah Kita Berdoa Minta Kaya ?

1 Vote
Pendahuluan

Kita sering mendengar dalam khutbah-khutbah di masjid, dalam pengajian dan ceramah-
ceramah, para da’i mengajak hadirin untuk berdoa serta berusaha untuk menjadi kaya.
Menurut pembicara, dengan kekayaan yang kita miliki, kita bisa bersekolah atau
menyekolahkan anak-anak kita yang tinggi, membangun masjid, gedung sekolah dan sarana
umum lainnya, bisa bersedekah, berzakat serta bisa naik hajji dan umroh.

Seringkali yang dipakai sebagai contoh adalah Nabi Sulaiman yang selain menjadi seorang
Nabi juga adalah seorang raja yang kaya raya.

Dalam doa-doa yang kita ucapkan selalu ada permohonan untuk mendapatkan rizqi yang
halal, toyibah dan banyak. Selain itu banyak orang yang membaca surat Al-Waqiah secara
rutin, agar bisa mendapatkan banyak rizqi. Tujuan kita mendirikan solat Dhuha dengan
doanya yang khusus adalah memohon kepada Alloh s.w.t. agar diberi rizqi yang banyak.

————————————————————–

Dalam doa-doa itu rizqi diartikan sebagai kekayaan.

—————————————————————

Akibatnya pada akhir-akhir ini banyak ulama yang mendekatkan diri kepada para penguasa
dengan harapan untuk mendapatkan rizki kekayaan. Kegiatan ini sangat meningkat pada saat
pemilihan kepada daerah (Pilkada). Bahkan banyak kiyahi yang mencalonkan diri serta telah
menjadi kepala daerah karena dorongan untuk memperolah rizki kekayaan. Seharusnya
ulama tidak menyatu dengan umaro’ melainkan menjaga jarak agar bisa mengingatkan bila
umaro’ berbuat salah, sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar.

Suasana ini mirip dengan yang digambarkan oleh Imam Ghozali dalam Kitab Ihya Ulumiddin
tentang para ulama pada zaman beliau, yang banyak mendekatkan diri kepada para amir.
Menurut beliau ilmu jalan akhirot dan apa yang ditempuh oleh ulama salaf yang sholih, yang
disebut oleh Alloh s.w.t. dalam Al Qur-an dengan fiqh, hikmah, ilmu, cahaya, nur, hidayah,
dan rusyd (petunjuk) telah terlipat dan menjadi sesuatu yang dilupakan. Keadaan inilah yang
mendorong Imam Al-Ghozali untuk mengarang kitabnya yang termashur yaitu Ihya’
Ulumiddin (Menghidup-hidupkan Ilmu Agama).

Imam Ghozali membagi ulama menjadi dua yaitu ulama-ul-khoir (ulama baik) dan ulama-
ussu’ (ulama buruk).

Di dalam kitab Ihya’ beliau mengutip satu hadits:

Hadits 01: “Seburuk-buruk ulama adalah orang-orang yang datang kepada amir-amir,
sedangkan sebaik-baik amir adalah orang-orang yang datang kepada para ulama”. (H.R.

a
Ibnu Majah dengan paroh yang pertama seperti itu dari hadits Abu Huroiroh dengan
sanad yang lemah).

II. Buku-buku Islam tentang rizqi dan kekayaan.

Sampai dimana pemahaman masyarakat Islam tentang makna rizqi dan kekayaan dapat kita
baca pada buku-buku tentang hal itu yang beredar di masyarakat :

a. Umat Islam Wajib Kaya.

Di dalam buku “Umat Islam Wajib Kaya” karangan H. Muhammad Agus Hamid dan
Mustawa Hamid, menurut mereka :

1. Kekayaan menghindarkan seseorang dari kekufuran.

2. Islam mengajarkan umatnya menjadi kaya.

3. Kekayaan digunakan untuk mencari ridho Alloh s.w.t.

4. Di dalam buku itu diajarkan doa-doa memohon kekayaan, di antaranya adalah:

Hadits 02: Ya Alloh, yang Mahakaya dan Maha Terpuji, kayakanlah aku dengan yang
Engkau halalkan dan bukan dengan yang Engkau haromkan, kayakanlah aku dengan
ketaatan dan bukan dengan kemaksiatan, dan kayakanlah aku dengan karunia-Mu dan bukan
dengan karunia selain-Mu dan Engkau sebaik-baik Pemberi Rejeki. (H.R. At-Tirmizi).

b. Doa minta rizqi = kekayaan.

Dalam buku “Doa-doa Membuat Kaya & Terhindar Hutang” karangan Muhammad Arlyban
terdapat 55 macam doa di antaranya :

1. Doa agar banyak rezeki 31 macam.

2. Doa agar kaya dengan jalan mengulang-ulang bacaan asma’ul husna, terutama sifat-sifat
Alloh s.w.t. yang berhubungan dengan kekayaan, ada 8 macam.

3. Doa-doa lainnya antara lain agar tidak sedih, lepas dari kesulitan duniawi, lepas dari
hutang, lancar bisnis, mudah naik pangkat dan mudah urusan dunia lainnya.

Di dalam buku itu rizqi juga diartikan sebagai kekayaan.

b
c. Rizqi di dalam Al Qur’an = Kekayaan

Dalam buku “Sumber Rizqi & Kekayaan” karangan M. Ali Chasan Umar, isinya lebih luas
daripada buku di atas. Pada halaman pertamanya terdapat motto berisi kutipan-kutipan 8 ayat
Al Qur-an :

1. Q.S. Ath-Tholaq [65] :2-3 (tentang rizqi);

Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Q.S. Ath-Tholaq [65] :2-3)

2. Q.S. Al-Ankabut [29] :17 (tentang rizqi);

Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat
dusta[1146]. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan
rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah dia dan bersyukurlah
kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan. (Q.S. Al-Ankabut [29] :17).

[1146] Maksudnya: mereka menyatakan bahwa berhala-berhala itu dapat memberi syafaat
kepada mereka disisi Allah dan ini adalah dusta.

3. Q.S. An-Nur [24] :38 (tentang karunia dan rizqi);

supaya Allah memberikan balasan kepada mereka )Mereka mengerjakan yang demikian itu(
(dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan, dan supaya Allah
menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya tanpa batas. (Q.S. An-Nur [24] :38)

4. Q.S. Asy-Syuro [42] :19 (tentang rizqi);

Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya; dia memberi rezki kepada yang di
kehendaki-Nya dan dialah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Q.S. Asy-Syuro [42] :19)

5. Q.S. Ar-Ro’d [13] : 26 (tentang rizqi);

Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendaki. mereka
bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan)
kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). (Q.S. Ar-Ro’d [13] :26)

6. Q.S. Al-Jumu’ah [62] :10 (tentang karunia);

c
Apabila Telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu’ah
[62] :10)

7. Q.S. Adz-Dzariat [51] :58 (tentang rizqi);

Sesungguhnya Allah dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat
kokoh. (Q.S. Adz-Dzariat [51] :58)

8. Q.S. Al-Maidah [5] :114 (tentang rizqi),

Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu
hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-
orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan
Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama”. (Q.S. Al-
Maidah [5] :114)

9. Komentar penulis

Dalam ayat-ayat tersebut rizqi dipisahkan dengan karunia. Karena para penulis buku-buku
tersebut menganggap rizqi = karunia / kekayaan, maka keduanya menjadi campur aduk dan
kacau.

B. PERMASALAHAN

Permasalahan yang dapat kita petik dari pendahuluan tadi adalah :

I. Samakah artinya rizqi dan kekayaan itu ?

II. Apa yang dimaksud dengan kaya di dalam Al Qur-an ?

III. Bagaimanakah kekayaan Nabi Sulaiman a.s. itu ?

IV. Bolehkah kita berdoa minta kaya (harta) ?

V. Apakah akibat (buruk) dari doa minta kaya harta ?

d
VI. Mengapa Nabi Muhammad s.a.w. berdoa minta miskin ?

VII. Apa hubungan kekayaan dengan pemanasan global ?

C. PEMECAHAN MASALAH

I. Samakah artinya rizqi dan kekayaan itu ?

Menurut mayoritas ahli tafsir suatu kata di dalam Al Qur-an (termasuk kata rizqi) bisa
mempunyai beberapa arti.

Selanjutnya di dalam uraian berikut faham ini disebut “Faham pertama”.

Seorang mufassir tentunya juga adalah seorang yang sangat ahli dalam bahasa Arab yang
harus mengetahui asal usul setiap kata di dalam Al Qur-an.

Karena pendapat seorang mufassir satu dengan lainnya saling berbeda maka akhirnya suatu
kata di dalam Al Qur-an bisa mempunyai banyak arti sebanding dengan jumlah penafsir.
Bahkan satu kata di dalam suatu ayat bisa berbeda artinya dengan kata yang sama di ayat Al
Qur-an yang lain.

—————————————————————————————————Akibat
adanya pendapat bahwa setiap kata di dalam Al Qur-an mempunyai beberapa arti
(“Faham pertama”) ini, menimbulkan perbedaan, keruwetan dan ketidak-pastian
dalam Tafsir Al Qur-an

—————————————————————————————————

Padahal di dalam Al Qur-an terdapat ayat, bila terjadi perbedaan pendapat kita harus
kembali kepada Alloh, yang dapat diartikan sebagai: “kita harus bertanya kepada
Alloh”.

——————————————————————————————–

Yaitu pada Surat An-Nisa [4] :59 :

Hai orang-orang yang beriman, toatilah Allah dan toatilah Rosul (nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Alloh (Al Quran) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
.Alloh dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

e
Bila yang dimaksud bertanya kepada Alloh adalah dengan cara menggunakan Tafsir Al Qur-
an yang dikarang oleh para ahli tafsir maka sebenarnya kita tidak bertanya kepada Alloh,
tetapi bertanya kepada manusia yaitu para ahli tafsir Al Qur-an tersebut. Akibat adanya
pendapat bahwa setiap kata di dalam Al Qur-an mempunyai beberapa arti (”Faham pertama”)
inilah yang menimbulkan adanya perbedaan, keruwetan dan ketidak-pastian dalam Tafsir Al
Qur-an.

a. Bagaimana cara mengatasi keruwetan akibat “Faham pertama” ini ?

Agar tidak terjadi perbedaan tafsir Al Qur-an yang bisa menimbulkan ketidak pastian hukum
tadi sebaiknya kita menggunakan pemikiran seorang ahli bahasa Arob kuno berkebangsaan
Jepang yaitu Prof. Toshihiku Izutsu, pengajar di Universitas Keio, Tokyo dan Mc Gill
University, Canada. Beliau mempelajari bahasa Arob kuno dari kumpulan syair-syair
yang dikarang pada zaman diturunkannya Al Qur-an.

b. Kesimpulan beliau adalah :

1. Bahasa Al Qur-an adalah bahasa Arob kuno, yang dipakai oleh bangsa Arob
waktu itu, yang maknanya dapat dicari dari syair-syair kuno.
2. Suatu kata dalam bahasa Arob kuno, setelah dijadikan bahasa Al Qur-an
kadang-kadang berobah artinya dari yang semula.
3. Kata-kata dengan akar kata yang sama (misalnya r-z-q) di seluruh Al Qur-an
seharusnya hanya mempunyai satu arti.
4. Suatu kata yang tidak jelas artinya di satu ayat akan diterangkan / didefinisikan pada
ayat-ayat lain yang mengandung kata tersebut.
5. Untuk mengetahui arti suatu kata di dalam Al Qur-an (bertanya kepada Alloh),
mula-mula kita kumpulkan semua ayat yang mengandung akar kata yang sama,
kemudian dianalisa: apa yang dimaksud Sang Pencipta Kitab ini (Alloh swt.) terhadap
akar kata itu.

Untuk selanjutnya di dalam uraian ini faham ini disebut “Faham kedua”.

c. Arti rizqi menurut “Faham pertama”.

Dalam uraian berikut akan terlihat bahwa penafsiran “Faham pertama” ini akan menimbulkan
perbedaan, keruwetan dan ketidak-pastian Tafsir Al Qur-an

Uraian dalam “Ensiklopedia Al-Qur’an, Kajian Kosakata” dibawah binaan Prof. Dr. M.
Quraish Shihab.

Kata rizq berasal dari razaqa – yarzuqu – rizqan. Dalam berbagai bentuknya. Kata ini
disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 123 kali.

f
Dari segi kebahasaan, asal makna kata rizq adalah ‘pemberian’, baik yang ditentukan maupun
tidak; baik yang menyangkut makanan perut maupun yang berhubungan dengan dengan
kekuasaan dan ilmu pengetahuan. Makna ini digunakan di dalam Q.S. Al-Baqarah [2]:254.

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang
Telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual
.beli dan tidak ada lagi syafa’at[160]. dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim

[160] Syafa’at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau
mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa’at yang tidak diterima di sisi Allah
adalah syafa’at bagi orang-orang kafir.

1. Komentar:

Bandingkan rizqi menurut “Faham pertama” disini yang diartikan sebagai pemberian, dengan
pengertian rizqi menurut “Faham kedua” yang diartikan makanan. Menafkahkan rizqi berarti
infak dalam bentuk makanan misalnya gandum, padi/beras, (daging) ternak dan lain-lain.

Di samping rezeki duniawi, juga ada rezeki ukhrawi yang terdapat di dalam Q.S. Ali ‘Imran
[3]:169.

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
.mereka itu hidup[248] disisi Tuhannya dengan mendapat rezki

[248] yaitu hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat
kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan Hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana
keadaan hidup itu.

2. Komentar:

Bandingkan rizqi menurut “Faham pertama” disini yang diartikan sebagai rizqi ukhrowi,
dengan pengertian rizqi menurut “Faham kedua” yang diartikan makanan (buah-buahan dan
daging burung di sorga).

Ar-Raziq mengacu pada pemberi atau pencipta rezeki. Allah disebut Ar-Raziq karena Allah
pemberi atau pencipta rezeki.

Kata razaqa di dalam bentuk kata kerja di dalam Al-Qur’an disebut 61 kali. Ayat-ayat yang
memuat kata itu memberi penjelasan tentang macam-macam rezeki yang dianugerahkan
Allah kepada manusia, seperti:

1. Makanan, seperti buah-buahan antara lain di dalam Q.S. Al-Maidah [5]:88, Q.S. Al-An’am
[6]:142.

2. Air yang menghidupkan hewan dan tumbuh-tumbuhan antara lain di dalam Q.S. Yunus
[10]:31, Q.S. An-Naml [27]:64.

g
3. Binatang ternak antara lain di dalam Q.S. Al-Haj [22]:28 dan 34.

4. Istri dan anak-anak, di dalam Q.S. An-Nahl [16]:72.

5. Hamba sahaya, di dalam Q.S. Ar-Rum [30]:28.

3. Komentar:

Dari 5 contoh arti rizqi di atas, uraian nomor 1 sampai 3 yaitu berarti makanan dan minuman
berupa buah-buahan, air dan binatang ternak sudah sesuai. Tetapi uraian nomor 3 dan 4 yaitu
rizqi diartikan sebagai isteri, anak dan hamba sahaya tidak sesuai dengan konteks ayat.

Coba kita uraikan ayat-ayatnya:

a. Q.S. An-Nahl [16] :72, yang di artikan rezeki adalah isteri dan anak-anak.

Allah menjadikan bagi kamu (i) isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu
dari isteri-isteri kamu itu, (ii). anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu (iii). rezki dari
yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
”? nikmat Allah

Di situ Allah (subyek) telah menjadikan dan memberikan (predikat) (i). isteri, (ii). anak-anak
dan (iii). rezeki (ketiganya adalah obyek penderita) kepada kita (obyek berkepentingan).

Jelas bahwa rezeki adalah obyek yang terpisah dan setara dengan isteri dan anak.

Tidak berarti isteri dan anak termasuk rezeki.

b. Q.S. Ar-Rum [30] :28 yang mengartikan rizqi adalah hamba sahaya.

Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. apakah ada diantara hamba-
sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang
Telah kami berikan kepadamu; Maka kamu sama dengan mereka dalam (hak
mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada
dirimu sendiri? Demikianlah kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal.

Kita dan hamba-sahaya kita (subyek) bersekutu memiliki (predikat) rezeki (obyek).

Jelas bahwa hamba sahaya (subyek) bukan rezeki (obyek) .

————————————————

Jelas adanya kekacauan dalam tafsirnya.

————————————————

Pendapat para ulama berbeda tentang apa yang dimaksud dengan rezeki. Fakhruddin Ar-Razi
berpendapat, bahwa rezeki adalah bagian. Seorang punya bagiannya sendiri yang bukan

h
menjadi bagiannya orang lain. Ia membantah pendapat bahwa rezeki adalah segala sesuatu
yang dapat dimakan atau digunakan. Karena Allah menyuruh kita untuk menafkahkan rezeki
(Q.S. Al-Baqarah [2]:3), kalau rezeki adalah sesuatu yang bisa dimakan, itu tentu tidak
mungkin dinafkahkan. Dia juga membantah pendapat yang mengatakan bahwa rezeki adalah
sesuatu yang dimiliki. “Ya Allah berilah aku anak yang saleh, isteri yang saleh”. Anak dan
isteri bukan milik. Demikian juga binatang, bagi binatang ada rezeki tetapi mereka tidak
mempunyai milik.

Para ulama dari aliran Ahlu-Sunnah wal jama’ah berpendapat, bahwa rezeki adalah segala
sesuatu yang bermanfaat, baik halal maupun haram, karena kalau ditilik dari segi kebahasaan
kata ar-rizq berarti ‘bagian’. Siapa yang menggunakannya dengan haram maka jadilah
bagiannya haram. Alasan berikutnya adalah firman Allah pada QS. Hud [11]: 6, ‘Wa ma min
dabbatin fil- ardhi illa ‘alallahi rizquha = (dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi
melainkan Allahlah yang memberi rezeqinya).

Sebaliknya aliran Mu’tazilah mengatakan, bahwa yang haram tidak disebut rezeqi, karena
kepemilikannya tidak sah. Allah tidak memberi rezeqi yang haram. Yang diberikan Allah
hanya rezeqi yang halal. Mereka mengemukakan argumentasi berdasarkan firman Allah di
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 3, Wa mimma razaqnahum yunfiqun (dan menafkahkan sebagian
rezeqi yang telah Kami anugerahkan kepada mereka). Secara implisit ayat ini memberikan
pujian bagi yang menafkahkan rezeqi yang diberikan Allah. Kalau sekiranya yang haram
disebut juga rezeki, konsekwensinya menafkahkan yang haram juga berhak mendapat pujian.
Yang demikian itu tidak benar sama sekali. Alasan kedua, kalau yang haram disebut juga
rezeqi, boleh-boleh saja seseorang merampas dan kemudian menafkahkan rampasan itu.
Akan tetapi, hal itu tentulah ditolak. Ini menunjukkan bahwa yang haram bukanlah rezeki.
Alasan ketiga berupa firman Allah swt., (Qul ara’aitum ma anzalallahu lakum min rizqin
faja’altum minhu haraman wa halalan qul allahu adzina lakum am ‘alallahu taftarun).
Katakanla, ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezekiyang diturunkan kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah, “Apakah Allah telah
memberikan izin kepadamu (tentang ini)atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”).

Anda mungkin juga menyukai