Anda di halaman 1dari 16

Makalah

LANDASAN PSIKOLOGIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM


(Studi Pada Kurikulum 2013)
Disusun untuk memenuhi mata kuliah Dasar Dasar
Pengembangan Kurikulum Pada Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Dosen Pembina:
Suriana,M.A.

Disusun Oleh:
PUTRA BARLIAN(220201150)
CHOLIL FIKRI SELIAN (22020157)
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS UIN AR-RANIRY BANDA ACEH
TAHUN 2023

1
2
3
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang maha esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “LANDASAN PSIKOLOGIS DALAM
PENGEMBANGAN KURIKULUM (studi pada kurikulum 2013” dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran dasar-dasar pengembangan kurikulum.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang “LANDASAN PSIKOLOGIS
DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM (studi pada kurikulum 2013”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Suriana, M.A. selaku guru mata pelajaran dasar-
dasar pengembangan kurikulum. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh, 06 oktober 2023

Penulis

4
DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................... 1


Daftar Isi ..................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 5
A. Latar Belakang ............................................................................ 5
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan Pembahasan.......................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................... 6
A. Konsep Dasar Landasan Psikologis ........................................... 6
B. Landasan Psikologi belajar ...................................................... 7
C. Psikologi Perkembangan Anak ................................................ 7
D. Implikasi Landasan psikologis terhadap kurikulum. ................ 9
E. Analisis prinsip-Prinsip psikologis dalam kurtilas mapel PAI.... 13
BAB III PENUTUP ................................................................................. 14
A. Kesimpulan ................................................................................ 14
B. Saran................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 15

5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan zaman sekarang merupakan pendidikan yang senantiasa mengalami perkembangan di
berbagai sisinya. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi pada zaman milenial
ini memaksa para pakar pendidikan untuk kembali menyesuaikan model pendidikan yang sedang
diterapkan. Setiap tahunnya, berbagai penemuan yang dihasilkan dari proses berpikir yang kritis
memberikan dampak bagi arus pendidikan secara global. Arus globalisasi yang dipandang sebagai
bercampurnya budaya orang barat dan timur, dan juga cepatnya laju informasi dari seluruh penjuru
dunia ; menjadikan pendidikan lebih bersifat terbuka. Di beberapa negara berkembang, ada yang
menerapkan berbagai model dan sistem pendidikan yang juga mengafiliasi model – model
pendidikan dari luar negeri. Oleh sebab itu, perkembangan pendidikan sudah menjadi keniscayaan
apabila tidak menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Di dunia pendidikan, kita sering mendengar
istilah kurikulum. Menurut Harold B. Alberty, kurikulum adalah all the activities that are provided for
the students by the school.1 Semua kegiatan dan pengalaman pembelajaran yang dipersiapkan untuk
ditempuh oleh peserta didik selama di bangku sekolah. Tentunya dengan adanya kurikulum, peserta
didik mampu belajar sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Kurikulum lebih bersifat sebagai
kemasan, dan pedoman dalam proses pembelajaran di sekolah. Sebagai contoh kurikulum di
Indonesia, corak pendidikan yang dinginkan saat ini adalah pendidikan yang berbasis karakter. Hal ini
ditandai dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 sebagai manifestasi dan role model dari tujuan
pendidikan yang akan dicapai. Di dalam Kurikulum 2013, terdapat berbagai aspek yang
menitikberatkan pada cara – cara yang harus dilakukan untuk menyelenggarakan sebuah pendidikan
yang berkarakter. Seperti halnya penambahan aspek sosial dan spiritual dalam proses pembelajaran di
kelas. Sejak diberlakukan pertama kali hingga sekarang, Kurikulum 2013 telah mengalami
perkembangan dan penyesuaian di beberapa aspek. Dengan adanya perkembangan dan revisi tersebut,
menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia ataupun di seluruh dunia, setiap waktu mengalami
perkembangan dan perubahan. Adanya revisi dan perkembangan di Kurikulum 2013 sudah pasti
disesuaikan dengan keadaan masyarakat di Indonesia, dan juga perkembagan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tidak sebatas merubah kurikulum, tetapi perlu diperhatikan landasan – landasan
pengembangan kurikulum. Hal ini berguna untuk mengawal proses dari pengembangan kurikulum
agar sesuai dengan cita – cita bangsa. Oleh karena itu, pada makalah ini penulis akan membahas tentang
landasan pengembangan kurikulum, khususnya pada aspek psikologisnya.
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang penulisan di atas, maka memunculkan sebuah problematika akademik
sebagai berikut :
1. Bagaimana kah konsep dasar landasan psikologis dalam pengembangan kurikulum ?
2. Bagaimnakah landasan psikologis dan unsur – unsur yang berpengaruh dalam pengembangan
kurikulum ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1 Zainal Arifi, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011), 4

6
1. Memahami landasan psikologis dalam pengembangan kurikulum.
2. Memahami konsep landasan psikologis dan unsur – unsur yang berpengaruh dalam
pengembangan kurikulum.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Landasan Psikologis


Definisi Psikologi Menurut Bahasa
Kata psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘psyche’ dan ‘logos’. Psyche berarti jiwa, sedangkan
logos berarti pengetahuan. Sehingga dapat disimpulkan pengertian psikologi secara singkat menurut
bahasa adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan.
Pengertian Psikologi Secara Umum
Pengertian psikologi secara umum adalah salah satu bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan tentang
perilaku, fungsi mental dan proses mental manusia secara ilmiah. Orang yang ahli di bidang psikologi
disebut sebagai psikolog.
Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli
Menurut Plato dan Aristoteles psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat
jiwa dan mempelajari proses dari awal hingga akhir.Pada hakikatnya, konsep pengembangan
kurikulum harus mengacu pada berbagai aspek. Pengembangan tidak semata hanya mengembangkan
sesuatu hal tanpa ada pokok – pokok dasar dan acuan yang jelas. Seller berpendapat bahwa,
orientasi pengembangan kurikulum mencangkup pada enam aspek, yaitu (1) tujuan pendidikan yang
menyangkup arah kegiatan pendidikan, (2) Pandangan tentang anak, (3) Pandangan tentang proses
pembelajaran, (4) Pandangan tentang lingkungan, (5) Konsepsi peranan guru, dan (6) Evaluasi
belajar.2 Dapat kita pahami bahwa pengembangan kurikulum dilaksanakan atas keadaan dan realitas di
lapangan. Kegiatan pengembangan harus difokuskan kepada kebutuhan peserta didik, dan disesuaikan
dengan kemampuan peserta didik dalam menempuh kurikulum yang telah dibentuk. Karena, potensi
dan kemampuan setiap peserta didik berbeda. Apabila proses pengembangan kurikulum tidak
didasarkan pada peserta didik, maka tujuan pembelajaran akan sulit untuk dicapai. Oleh sebab itu,
diperlukan adanya landasan – landasan dan acuan – acuan yang perlu diperhatikan sebagai pemberi
arah dan tujuan dalam proses pengembangan kurikulum. Secara teoritis, terdapat empat asas yang
mendasari proses pengembangan kurikulum, yaitu (1) landasan fisiologis, (2) landasan psikologis, (3)
landasan sosiologis dan (4) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.3 Pada makalah ini,
pembahasan materi akan difokuskan kepada landasan psikologis.
Psikologi sebagai sebuah ilmu yang menjelaskan kepribadian manusia memberikan kontribusi
terhadap pengembangan kurikulum. Menurut Meggi Ing (1978) terdapat dua kontribusi psikologi
dalam pengembangan kurikulum Pertama, model konseptual dan informasi yang akan membangun
perencanaan pendidikan. Kedua, berisikan berbagai metodologi yang dapat diaplikasikan dalam
penelitian pendidikan.3 Beberapa hal terkait pengembangan model pembelajaran, metode

2 Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta : Kencana, 2013), hlm. 33.
3 Ibid, hlm. 36.

7
pembelajaran dan mata pelajaran yang ditempuh seringkali muncul karena kurangnya informasi –
informasi yang berkaitan dengan sisi psikologis peserta didik. Maka, peran psikologis sebagai sebuah
disiplin ilmu yakni memberikan informasi – informasi tambahan kepada guru dan pihak – pihak
terkait dalam pengembangan kurikulum berdasarkan teori –teori yang terdapat di dalamnya, dan
berorientasi pada sisi kepribadian peserta didik.
Dalam perspektif psikologis, peserta didik memiliki karakter – karakter
yang unik. Karakter ini berbeda dari satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut terdapat pada
minat, bakat dan masa perkembangan yang dialami oleh seorang peserta didik. Pemahaman tentang
peserta didik harus menjadi fokus utama bagi seorang pengembang kurikulum. Apabila pengembang
tidak memahaminya dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai macam masalah kependidikan,
dan tentunya tujuan pendidikan yang ingin dicapai akan terhambat.
1. Di dalam mengambil keputusan tentang pengembangan kurikulum, pengetahuan tentang
psikologi peserta didik sangat dibutuhkan. Hal ini terkait dengan perkembangan psikologis
dan model belajar peserta didik. Berikut hal– hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan kurikulum : Seleksi dan organisasi bahan – bahan pelajaran,
2. Menentukan kegiatan belajar mengajar yang paling serasi dan efisien,
3. Merencanakan kondisi belajar yang optimal sehingga tujuan pembelajaran akan cepat
tercapai.

B. Landasan Psikologi belajar


Pendidikan senantiasa berkaitan dengan perilaku manusia. Dalam setiap proses pendidikan terjadi
interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, baik lingkungan yang bersifat fisik maupun
lingkungan sosial. Melalui pendidikan diharapkan adanya perubahan perilaku peserta didik menuju
kedewasaan, baik dewasa dari segi fisik, mental, emosional, moral, intelektual, maupun sosial. 4
Perubahan perilaku peserta didik dipengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor dari luar program
pendidikan atau lingkungan. Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan/ program pendidikan,
sudah pasti berhubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Kurikulum diharapkan
dapat menjadi alat untuk mengembangkan kemampuan potensial menjadi kemampuan aktual peserta
didik serta kemampuan-kemampuan baru yang dimiliki dalam waktu yang relatif lama.
Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang
meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan peserta didik, serta bagaimana peserta didik
belajar. Atas dasar itu terdapat dua cabang psikologi yang sangat penting diperhatikan dalam
pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar5

C. Psikologi Perkembangan Anak


Psikologi perkembangan dapat diartikan sebagai berikut. “...That branch of psychology which studies
processes of pra and post natal growth and the maturation of behavior"6. Psikologi perkembangan
merupakan cabang dari psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum
maupun setelah kelahiran beserta kematangan perilaku.7 Pemahaman tentang peserta didik sangat
penting dalam pengembangan kurikulum. Melalui kajian tentang perkembangan peserta didik,
diharapkan upaya pendidikan yang dilakukan sesuai dengan karakteristik peserta didik, baik

4 Ruhimat, 2011: 26
5 (Sukmadinata, 2000: 46
6 J.P. Chaplin, 1979: 5).
7 (Yusuf, 2004: 3)

8
penyesuaian dari segi kemampuan yang harus dicapai, materi atau bahan yang harus disampaikan,
proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari segi evaluasi pembelajaran.Setiap
individu dalam hidupnya melalui fase-fase perkembangan. Mengenai penentuan fase-fase
perkembangan tersebut para ahli mempunyai pendapat yang berlainan. Elizabeth B. Hurlock (1985:
17) mengemukakan tahapan perkembangan individu yang meliputi; pertama, fase prenatal, yaitu
sebelum lahir (masa konsepsi sampai 9 bulan); kedua, infancy (orok, yaitu lahir sampai 10-14 hari);
ketiga, childhood (kanak-kanak, yaitu 2 tahun sampai remaja), dan keempat, adolescence (puberty
yaitu 11-13 tahun sampai usia 21 tahun).Rousseau mengemukakan tahapan perkembangan sebagai
berikut: pertama, usia 0,0-2,0 tahun adalah usia pengasuhan; kedua, usia 2,0-12,0 tahun adalah masa
pendidikan jasmani dan latihan panca indera; ketiga, usia 12,0-15,0 tahun adalah periode pendidikan
akal; keempat, usia 15,0-20,0 tahun adalah periode pendidikan watak dan pendidikan agama.8 Dalam
hubungannya dengan proses belajar mengajar (pendidikan), Syamsu Yusuf (2004: 23) menegaskan
bahwa penahapan perkembangan yang digunakan sebaiknya bersifat elektif,artinya tidak terpaku pada
suatu pendapat saja tetapi bersifat luas untuk meramu dari berbagai pendapat yang mempunyai
hubungan yang erat.Atas dasar itu perkembangan individu sejak lahirsampai masa kematangan dapat
digambarkanmelewati fase-fase berikut: 1) Masa usia prasekolah (0-6 tahun), 2) Masa usia sekolah
dasar (6-12 tahun), 3) Masa usia sekolah menengah (12-18 tahun). Setiap tahap perkembangan
memiliki karakteristik tersendiri, karena ada dimensi-dimensi perkembangan tertentu yang lebih
dominan dibandingkan dengan tahap perkembangan lainnya. Atas dasar itu kita dapat memahami
karakteristik profil pada setiap tahapan perkembangannya. Adapun karakteristik tahap-tahap
perkembangan individu yang digambarkan di atas sebagai berikut9

a. Masa Usia Prasekolah


Masa usia prasekolah dapat dirinci menjadi dua masa, yaitu masa vital dan masa estetik. Pada masa
vital, individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk merespon berbagai hal yang terdapat di
lingkungannya. Freud menamakan tahun pertama dalam kehidupan individu sebagai masa oral
(mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber kenikmatan dan ketidak nikmatan (Suryabrata,
2001: 187). Anak memasukkan apa saja yang dijumpai ke dalam mulutnya, tidaklah karena mulut
merupakan sumber kenikmatan utama, tetapi karena waktu itu mulut merupakan alat untuk melakukan
eksplorasi dan belajar. Pada masa ini perkembangan fisik berlangsung sangat pesat dibandingkan
dengan aspek-aspek perkembangan lainnya. Pada tahun kedua anak telah belajar berjalan, dengan
mulai berjalan anak akan mulai belajar menguasai ruang dari ruang yang paling dikenalnya menunju
ruang yang lebih jauh. Pada tahun kedua juga, umumnya terjadi pembiasaan terhadap kebersihan
(kesehatan). Melalui latihan kebersihan, anak belajar mengendalikan dorongan-dorongan yang datang
dari dalam dirinya misalnya buang air kecil atau buang air besar.
Masa estetik adalah masa berkembangnya rasa keindahan dan masa peka bagi anak untuk
memperoleh rangsangan (stimulasi) melalui seluruh inderanya (penglihatan, penciuman, pendengaran,
pengecap, dan peraba). Para ahli pendidikan anak usia dini menyebut masa ini adalah “the golden
age”10 atau masa emas, karena masa ini adalah saat yang tepat bagi anak untuk mengembangkan
aspek-aspek perkembangannya secara menyeluruh.
b. Masa Usia Sekolah Dasar
Fase ini disebut juga periode intelektual, karena pada usia ini anak mulai menunjukkan perhatian yang
besar terhadap dunia ilmu pengetahuan tentang alam dan sekitarnya.11 Pada usia 6-7 tahun biasanya

8 (Ruhimat, 2011: 27
9 (Yusuf, 2004: 23-27
10 (Marzuki, 2000: 17)
11 Zulkifli, 2005: 55-59

9
anak telah memiliki kesiapan untuk mengikuti kegiatan belajar di sekolah dasar. Pada masa ini anak-
anak lebih mudah diarahkan, diberi tugas yang harus diselesaikan, dan cenderung mudah untuk
belajar berbagai kebiasaan seperti makan, tidur, bangun, dan belajar pada waktu dan tempatnya
dibandingkan dengan masa prasekolah.
c. Masa Usia Sekolah Menengah
Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja. Masa remaja merupakan masa yang
banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khasnya dan peranannya yang menentukan dalam
kehidupan individu dalam masyarakat orang dewasa.12Pemahaman tentang perkembangan peserta
didik sebagaimana diuraikan di atas berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum, antara lain:
Pertama, setiap peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat,
minat, dan kebutuhannya. Kedua, di samping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti)
yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, juga perlu disediakan pelajaran pilihan yang sesuai
dengan minat anak. Ketiga,lembaga pendidikan hendaknya menyediakan bahan ajar baik yang bersifat
kejuruan maupun akademik. Bagi anak yang berbakat di bidang akademik diberi kesempatan untuk
melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya. Keempat,kurikulum memuat tujuan-tujuan yang
mengandung aspek pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan pribadi yang
utuh lahir dan batin.Implikasi lain dari pemahaman tentang peserta didik terhadap proses
pembelajaran (actual curriculum), adalah: Pertama, tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara
opera-sional selalu berpusat kepada perubahan tingkah laku peserta didik. Kedua, bahan/ materi yang
diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kebutuhan peserta didik sehingga hasilnya
bermakna bagi mereka. Ketiga, strategi belajar mengajar yang digunakan harus sesuai dengan tingkat
perkembangan anak. Keempat, media yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat
anak. Kelima, sistem evaluasi harus dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.

D. Implikasi Landasan psikologis terhadap kurikulum

Psikologi belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu belajar. Pembahasan tentang
psikologi belajar erat kaitannya dengan teori belajar. Pemahaman tentang teori-teori belajar
berdasarkan pendekatan psikologis adalah upaya mengenali kondisi objektif terhadap individu anak
yang sedang mengalami proses belajar dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan menuju
kedewasaannya. Pemahaman yang luas dan komprehensif tentang berbagai teori belajar akan
memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi para pengembang kurikulum baik di tingkat makro
maupun tingkat mikro untuk merumuskan model kurikulum yang diharapkan. Pendekatan terhadap
belajar berdasarkan satu teori tertentu merupakan asumsi yang perlu dipertimbangkan dalam
pelaksanaannya berkaitan dengan aspek-aspek dan akibat yang kungkin ditimbulkannya. Sedikitnya
ada tiga jenis teori belajar yang berkembang dewasa ini dan memiliki pengaruh terhadap
pengembangan kurikulum di Indonesia pada khususnya. Teori belajar tersebut adalah:
1) Teori psikologi kognitif (kognitivisme),
2) Teori psikologi humanistic, dan
3) Teori psikologi behavioristik.
a. Teori Psikologi Kognitif
Teori psikologi kognitif dikenal dengan cognitif gestalt field (Hariyanto, 2010). Teori belajar ini
adalah teori insight. Aliran ini bersumber dari Psikologi Gestalt Field. Menurut mereka belajar adalah

12 (Hurlock, 1985: 202-203

10
proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman
terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada di
lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat belajar merupakan perbuatan
yang bertujuan, ekplorasi, imajinatif, dan kreatif. Pemahaman atau insight merupakan citra dari atau
perasaan tentang pola-pola atau hubungan. To state it differently, insight is the sensed way through or
solution of problematic situation....we might say that an insight is a kind of intelligent feel we get
about a stiutatuin that permits us to continue to strive actively to serve our purpose (Bigge and Hunt,
1980: 293).Teori belajar Goal Insight berkembang dari psikologi configurationlism. Menurut mereka,
individu selalu bertujuan, diarahkan kepada pembentukan hubungan dengan lingkungan. Belajar
merupakan usaha untuk mengembangkan pemahaman tingkat tinggi. Pemahaman yang bermutu tinggi
(tingkat tinggi) adalah pemahaman yang telah teruji, yang berisi kecakapan menggunakan suatu
objek, fakta, proses, ataupun ide dalam berbagai situasi. Pemahaman tingkat tinggi memungkinkan
seseorang bertindak cerdas, berwawasan luas, dan mampu memecah-kan berbagai masalah. Para ahli
psikologi kognitif yang memusatkan perhatian pada perubahan dalam aspek kognisi, percaya bahwa
belajar adalah suatu kegiatan mental internal yang tidak dapat diamati secara langsung (Tohirin, 2011:
71-72). Menurut teori ini cara belajar orang dewasa berbeda dengan cara belajar anak, dimana cara
belajar orang dewasa lebih banyak melibatkan kemampuan kognitif yang lebih tinggi. Menurut Piaget
cara-cara tertentu berpikir yang dipandang sederhana oleh orang dewasa tidak demikian sederhana
dipandang oleh anak-anak. Untuk menjelaskan proses belajar harus mem-pertimbangkan proses
kognisi (pengetahuan) yang turut ambil bagian selama proses belajar berlangsung. Teori ini juga
menyatakan bahwa satu unsur yang paling penting dalam proses belajar adalah apa yang dibawa
individu ke dalam situasi belajar, artinya segala sesuatu yang telah kita ketahui sangat menentukan
keluasan pengetahuan dan informasi yang akan kita pelajari. Teori belajar kognitif memandang
manusia sebagai pelajar yang aktif yang memprakarsai pengalaman, mencari dan mengolah informasi
untuk memecahkan masalah, mengorganisasi apa-apa yang telah mereka ketahui untuk mencapai
suatu pemahaman baru. Karena itu teori ini juga disebut teori pengolahan informasi (information
processing theory). Piaget (1970) memperkenalkan empat faktor yang mendasari seseorang membuat
pemahaman, yaitu:
a) Kematangan, yaitu saatnya seseorang siap melaksanakan suatu tugas perkembangan tertentu;
b) Aktivitas, adalah kemampuan untuk bertindak terhadap lingkungan dan belajar darinya;
c) Pengalaman sosial, proses belajar dari orang lain atau interaksi dengan orang-orang yang ada
di sekitar kita;
d) Ekuilibrasi adalah proses terjadinya perubahan-perubahan aktual dalam berpikir.
Para ahli psikologi kognitif memandang bahwa kemampuan kognisi seseorang mengalami tahapan
perkembangan sesuai dengan usianya. Piaget membagi tahapan perkembangan kognitif dari usia anak
sampai dewasa menjadi empat tahap sebagai berikut (Woolfolk, 1995: 33):
1) Tahap sensorimotor (0-2 tahun), tingkah laku anak pada tahap ini dikendalikan oleh perasaan dan
aktivitas motorik. Anak belajar melalui inderanya dan dengan cara memanipulasi benda-benda.
2) Tahap praoperasional (2-7 tahun). Tahap ini dibagi ke dalam dua fase yaitu: pertama, subtahap
fungsi simbolik (2-4 tahun), adalah priode egosentris yang sesungguhnya, anak mampu
mengelompokkan dengan cara yang sangat sederhana. Kedua, subtahap fungsi intuitif (4-7 tahun),
anak secara perlahan mulai berpikir dalam bentuk kelas, menggunakan konsep angka, dan melihat
hubungan yang sederhana.
3) Tahap operasi kongkrit (7-11 tahun), mampu memecahkan masalah kongkrit, mengembangkan
kemampuan untuk menggunakan dan memahami secara sadar operasi logis dalam matematika,
klasifikasi dan rangkaian.

11
4) Tahap operasi formal (11 tahun-dewasa), mampu memahami konsep abstrak (kemampuan untuk
berpikir tentang ide, memahami hubungan sebab akibat, berpikir tentang masa depan, dan
mengembangkan serta menguji hipotesis).
Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa cara berpikir anak prasekolah berbeda dengan anak usia SD, demikian pula
cara berpikir anak SD berbeda dengan cara berpikir anak SMP, SMA. Karena itu teori perkembangan
kognitif Piaget mengimplikasikan bahwa proses belajar mengajar harus memperhatikan tahap
perkembangan kognisi anak. Ini berarti bahwa guru mempunyai peranan penting untuk menyesuaikan
keluasan dan kedalaman program belajar, menggunakan strategi pembelajaran, memilih media dan
sumber belajar dengan tingkat perkembangan kognisi anak. Berdasarkan teori perkembangan kognitif
dari Piaget, guru mempunyai peranan dalam proses belajar mengajar sebagai berikut:
1) Merancang program, menata lingkungan yang kondusif, memilih materi pelajaran, dan
mengendalikan aktivitas murid untuk melaku-kan inkuiri dan interaksi dengan lingkungan.
2) Mendiagnosa tahap perkembangan murid, menyajikan permasalahan kepada murid yang sejajar
dengan tingkat perkembangannya.
3) Mendorong perkembangan murid kearah perkembangan berikutnya dengan cara memberikan
latihan, bertanya dan mendorong murid untuk melakukan eksplorasi (Suyitno, 2007: 101-102).
b. Teori Psikologi Behavioristik
Teori belajar behavioristik disebut juga Stimulus-Respon Theory (S-R). Kelompok ini mencakup tiga
teori yaitu S-R Bond, Conditioning, dan Reinforcement. Kelompok teori ini berangkat dari asumsi
bahwa anak atau individu tidak memiliki/membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan
anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Lingkunganlah yang membentuknya,
apakah lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat; lingkungan manusia, alam, budaya, maupun
religi. Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat mental. Hasil belajar adalah
perubahan tingkah laku yang dapat diamati dan menekankan pada pengaruh faktor eksternal pada diri
individu.
1) Teori S-R Bond
Teori S-R Bond (stimulus-respon) bersumber dari psikologi keneksionisme atau teori asosiasi dan
merupakan teori pertama dari rumpun Behaviorisme. Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk
kepada hukum stimulus–respon atau aksi-reaksi. Belajar adalah upaya membentuk hubungan stimulus
respon sebanyak-banyaknya. Tokoh utama dari teori ini adalah Edward L. Thorndike. Ada tiga hukum
belajar yang terkenal dari Thorndike, yaitu law of readiness, law of excercise or repetition dan law of
effect (Bigge, 1982: 273). Menurut hubungan kesiapan (law of readiness), hubungan antara stimulus
dan respons akan terbentuk atau mudah terbentuk apabila ada kesiapan pada sistem syaraf individu.
Selanjutnya, hukum latihan (law of exercise) atau pengulangan, hubungan antara stimulus dan respon
akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang-ulang. Menurut hukum akibat (law of effect),
hubungan stimulus-respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan. Ketiga hukum
tersebut, dikenal adanya transfer training. Konsep transfer training bertolak dari teori unsur identik
yang menyatakan bahwa hasil latihan pada sesuatu kecakapan dapat di transfer pada kecakapan lain
bila banyak mengandung unsur identik. Adapun hukum-hukum yang dikemukakan oleh Thorndike
itu, dilengkapi dengan prinsip-prinsip, sebagai berikut:
1) Siswa harus mampu membuat berbagai jawaban terhadap stimulus.
2) Belajar dibimbing/ diarahkan ke suatu tingkat yang penting melalui sikap siswa itu sendiri.

12
3) Suatu jawaban yang telah dipelajari dengan baik dapat digunakan juga terhadap stimulus yang
lain (bukan stimulus yang semula), yang oleh Thorndike disebut dengan “perubahan
asosiatif”.
4) Jawaban-jawaban terhadap situasi-situasi baru dapat dibuat apabila siswa melihat adanya
analog dengan situasi-situasi terdahulu.
5) Siswa dapat mereaksi secara selektif terhadap faktor-faktor yang esensial di dalam situasi itu.
Teori koneksionisme cocok bila diterapkan dalam Pendidikan Agama Islam (PAI). Sebab dalam
koneksionisme, belajar merupakan pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.
Artinya, dalam belajar PAI hal utama yang paling menentukan adalah adanya stimulus yang bisa
membangkitkan dan membentuk minat siswa untuk mau belajar PAI, dimana rasa puas yang
ditimbulkan akan mendorong pembelajaran.Selain stimulus-respon, teori ini juga sering disebut
dengan “trial and error” yang berarti berani mencoba tanpa takut salah. Jadi, dalam belajar PAI siswa
diharapkan untuk berani mencoba mempelajari PAI. Sehingga siswa menemukan keberhasilan untuk
mencapai tujuan. Umpamanya, dalam mata pelajaran PAI siswa diberi beberapa pertanyaan dan siswa
juga dituntut untuk dapat menjawabnya tapi dengan teori koneksionisme trial and error siswa diberi
kesempatan untuk berani menjawab pertanyaan yang diajukan tanpa rasa takut salah dalam menjawab
dan akan tetap terus berusaha sehingga ia dapat menjawab pertanyan tersebut dengan sempurna.
2) Teori Conditioning
Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah conditioning atau stimulus-responce with conditioning.
Tokoh utama dari teori ini adalah John B. Watson, terkenal dengan percobaan conditioning pada
anjing. Belajar atau pembentukan hubungan antara stimulus dan respons perlu dibantu dengan kondisi
tertentu. Sebelum anak-anak masuk kelas misalnya dibunyikan bel, demikian setiap hari dan setiap
pertukaran jam pelajaran. Teori conditioning juga baik diterapkan dalam pembelajaran PAI, sebab
belajar erat hubungannya dengan prinsip penguatan kembali. Atau dengan perkataan lain, ulangan-
ulangan dalam hal belajar adalah penting. Sebagai contoh; siswa-siswa sedang membaca do’a diawal
pelajaran (UR) apabila melihat seorang guru hendak masuk kelas (US) mulanya berupa latihan
pembiasaan mendengarkan bel masuk kelas (CS) bersama-sama dengan datangnya guru ke kelas
(UCS). Setelah kegiatan berulang-ulang ini selesai, suatu hari suara bel masuk kelas tadi berbunyi
tanpa disertai dengan kedatangan guru ke kelas ternyata siswa-siswa tersebut tetap membaca do’a
juga (CR) meskipun hanya mendengarkan suara bel. Jadi (CS) akan menghasilkan (CR) apabila CS
dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama.
3) Teori Reinforcement
Teori ketiga adalah reinforcement dengan tokoh utamanya C.L.Hull. Teori ini berkembang dari teori
psikologi, reinforcement merupakan perkembangan lanjutan dari teori S-R Bond dan conditioning.
Kalau pada teori conditioning, kondisi diberikan pada stimulus, maka pada teori reinforcement
kondisi diberikan pada respon. Karena anak belajar sungguh-sungguh (stimulus)selain ia menguasai
apa yang diberikan (respon)maka guru memberi angka tinggi, pujian, mungkin juga hadiah. Angka
tinggi, pujian dan hadiah merupakan reinforcement, supaya pada kegiatan belajarnya akan lebih giat
dan sungguh-sungguh (Sukmadinata, 2000: 55). Peranan guru dalam proses belajar mengajar
berdasarkan teori psikologi behavioristik adalah: pertama, mengidentifikasi perilaku yang dipelajari
dan merumuskannya dalam rumusan yang spesifik. Kedua, mengidentifikasi perilaku yang diharapkan
dari proses belajar. Bentuk-bentuk kompetensi yang diharapkan dalam bidang studi dijabarkan secara
spesifik dalam tahap-tahap kecil. Penguasaan keterampilan melalui tahap-tahap ini sebagai tujuan
yang akan dicapai dalam proses belajar. Ketiga,mengidentifikasi reinforce yang memadai. Reinforce
dapat berbentuk mata pelajaran, kegiatan belajar, perhatian dan pengharagaan, dan kegiatan-kegiatan
yang dipilih siswa. Dan keempat, menghindarkan perilaku yang tidak diharapkan dengan jalan
memperlemah pola perilaku yang dikehendaki (Suyitno, 2007: 106).Dalam penerapanya teori
reinforcement juga cocok bagi PAI, sebab dalam teori ini “reward” dianggap sebagai faktor terpenting

13
dalam proses belajar, artinya bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (faktor
lingkungan, rangsangan, stimulus). Dengan memberikan ganjaran positif, suatu perilaku akan
ditumbuh-kan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika diberi-kan ganjaran negatif suatu perilaku akan
dihambat.Dalam situasi belajar PAI, hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tidak diinginkan
dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement langsung. Hukuman menunjukkan
apa yang tidak boleh dilakukan oleh murid. Sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti
dilakukan oleh murid. Sebagai contoh; murid yang tidak menghafalkan pelajaran al-Qur’an-Hadits
selalu disuruh berdiri didepan kelas oleh gurunya. Sebaliknya jika ia sudah hafal maka ia disuruh
duduk kembali dan dipuji oleh gurunya. Lama-kelamaan anak itu belajar menghafal setiap pelajaran
al-Qur’an-Hadits.
c. Teori Psikologi Humanistik
Tokoh teori ini adalah Abraham H. Maslow dan Carl R. Roger. Teori ini berpandangan bahwa
perilaku manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh faktor internal, dan bukan oleh faktor
lingkungan. Karena itu teori ini disebut juga dengan “self theory”. Manusia yang mencapai puncak
perkembangannya adalah yang mampu mengaktualisasikan dirinya, mampu mengembangkan
potensinya dan merasa dirinya itu utuh, bermakna, dan berfungsi atau full functioning person
(Suyitno, 2007: 103).Berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori humanistik menolak proses
mekanis dalam belajar, karena belajar adalah suatu proses mengembangkan pribadi secara utuh.
Keberhasilan siswa dalam belajar tidak ditentukan oleh guru atau faktor-faktor eksternal lainnya, akan
tetapi oleh siswa itu sendiri. Belajar melibatkan faktor intelektual dan emosional. Aliran ini percaya
bahwa dorongan untuk belajar timbul dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik). Carl R. Roger
mengemukakan prinsip-prinsip belajar berdasarkan teori psikologi humanistik sebagai berikut
(Suyitno, 2007: 103):
pertama, manusia mempunyai dorongan untuk belajar, dorongan ingin tahu, melakukan eksplorasi dan
mengasimilasi pengalaman baru. Kedua, belajar akan bermakna, apabila yang dipelajari itu relevan
dengan kebutuhan anak. Ketiga, belajar diperkuat dengan jalan mengurangi ancaman eksternal seperti
hukuman, sikap merendahkan murid, mencemoohkan, dan sebagainya. Keempat, belajar dengan
inisiatif sendiri akan melibatkan keseluruhan pribadi, baik intelektual maupun perasaan. Dan kelima,
sikap berdiri sendiri, kreativitas dan percaya diri diperkuat dengan penilaian diri sendiri. Penilaian
dari luar merupakan hal yang sekunder. Bertentangan dengan teori behavioristik yang lebih
menekankan partisipasi aktif guru dalam belajar, peranan guru menurut teori belajar behavioristik
adalah sebagai pembimbing, sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan kepada siswa dalam
belajar. Menurut Carl R. Rogers, peran guru sebagai fasilitator: pertama, membantu menciptakan
iklim kelas yang kondusif dan sikap positif terhadap belajar. Kedua, membantu siswa
mengklasifikasikan tujuan belajar, dan guru memberikan kesempatan secara bebas kepada siswa
untuk menyatakan apa yang hendak dan ingin mereka pelajari. Ketiga, membantu siswa
mengembangkan dorongan dan tujuannya sebagai kekuatan untuk belajar. Dan keempat,menyediakan
usmber-sumber belajar, termasuk juga menyediakan dirinya sebagai sumber belajar bagi siswa
(Suyitno, 2007: 104).Guru berdasarkan psikologi humanistik harus mampu menerima siswa sebagai
seorang yang memiliki potensi, minat, kebutuhan, harapan, dan mampu mengembangkan dirinya
secara utuh dan bermakna. Teori ini juga memandang bahwa siswa adalah sumber belajar yang
potensial bagi dirinya sendiri. Dengan demikian teori belajar ini lebih menekankan pada partisipasi
aktif siswa dalam belajar.

E. Analisis prinsip-Prinsip psikologis dalam kurtilas mapel PAI


Landasan psikologis dapat diimplementasi dalam pembelajaran PAI dalam tiga ranah, yaitu; materi
PAI, proses pembelajaran PAI, dan evaluasi pembelajaran PAI.Ditinjau dari aspek muatan atau materi

14
PAI, landasan psikologis berdampak pada penyusunan materi yang disesuaikan dengan fase
perkembangan anak. Materi PAI disusun berjenjang, walaupun secara garis besar sama yaitu seputar
al-Qur’an, Aqidah, Akhlak, Fiqh, dan Tarikh, namun tekanan capaian materinya berbeda di masing-
masing tingkatan. Misal, materi terkait iman kepada qada dan qadar, ditingkat SD, siswa diharapkan
bisa menunjukan keyakinan terhadap qada dan qadar, sementara di SMP, siswa diharapkan bisa
Menyebutkan ciri-ciri beriman kepada qada dan qadar.Dari aspek proses pembelajaran PAI, landasan
psikologis berpengaruh terhadap metode yang digunakan dalam menginternalisasi materi PAI
terhadap peserta didik, yang mencakup; manajemen ruang kelas, metodologi pengajaran, motivasi
peserta didik, penanganan terhadap peserta didik yang luar biasa dan menyimpang, pengukuran kerja
akdemik dan umpan balik (Tohirin, 2011: 19).
Landasan psikologis dapat diimplementasikan dalam evaluasi pembelajaran. Pencapaian prestasi
dapat dibagi dalam tiga ranah, yaitu; kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal tersebut sangat terkait
dengan teknik evaluasi yang digunakan. Misal; materi tentang Shalat Wajib bisa dievaluasi dalam tiga
ranah, tes tertulis, skala sikap, dan tes tindakan. Konsekuensinya guru harus kreatif mengembangkan
bahan ajar sekaligus alat evaluasinya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan materi yang telah dituliskan, dapat disimpulkan bahwa landasan psikologis ialah
sebuah landasan pengembangan kurikulum yang mengacu pada aspek – aspek kepriadian peserta
didik.Pada umumnya, landasan psikologis memiliki peran untuk memetakan kondisi – kondisi dari
peserta didik. Sehingga saat pengembang kurikulum melakukan pengembangan, butir – butir dan arah
tujuan dari pengembangan kurikulum dapat tercapai dengan maksimal sesuai dengan kondisi peserta
didik di lapangan.
Landasan psikologis sebagai bagian dari landasan pokok dalam pengembangan kurikulum
mempunyai tempat yang strategis dalam pembelajaran. Bagaimanapun, pengembangan kurikulum
harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan
bagaimana perkembangan peserta didik, serta bagaimana peserta didik belajar.Di dalam landasan
psikologis sendiri, terdiri dari beberapa macam unsur ilmu pengetahuan. Diantaranya adalah psikologi
perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan memetakan kondisi peserta didik dari
aspek perkembangan fisik sesuai dengan fase – fase usia yang dialaminya. Sedangkan psikologi
belajar digunakan untuk memetakan metode – metode dan gaya belajar dari peserta didik, serta untuk
menginterpretasikan progress belajar dari peserta didik.Tentunya dengan adanya landasan psikologis
dalam perkembangan kurikulum, pengembang mampu merumuskan dengan baik kurikulum yang
sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran.
Yang harus dipahami bersama adalah, perubahan perilaku peserta didik dipengaruhi oleh faktor
kematangan dan faktor dari luar program pendidikan atau lingkungan. Dalam hal ini, kurikulum
sebagai alat untuk mencapai tujuan/program pendidikan, sudah pasti berhubungan dengan proses
perubahan perilaku peserta didik. Dengan demikian, kurikulum diharapkan dapat menjadi alat untuk

15
mengembangkan kemampuan potensial menjadi kemampuan aktual peserta didik serta kemampuan
kemampuan baru yang dimiliki dalam waktu yang relatif lama.
B. Saran
Sebagai seorang akademisi, ketika kita dihadapkan pada permasalahan pembelajaran, hendaknya kita
mampu menerapkan konsep –konsep yang ada di dalam landasan psikologis pengembangan
kurikulum. Menggunakan ilmu psikologi untuk memetakan kondisi yang dialami oleh peserta didik,
serta menjadikannya sebagai landasan untuk merumuskan kurikulum dan program – program
pembelajaran yang representatif dan efisien dengan peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA
Ansyar, Mohammad. 2015. Kurikulum ; Hakikat, Fondasi, Desain dan Pengembangan. Jakarta :
Kencana..
Arifin, Zainal. 2011. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Idi, Abdullah. 2010. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Yogyakarta : Ar Ruzz Media.
Nasution, S. 2010. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Reksoatmodjo, Tedjo Natsoyo. 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan. Bandung : Refika
Aditama.
Sanjaya, Wina. 2013. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Kencana.
Zaini, Muhammad. 2009. Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta : Teras.
Hurlock, Elizabeth B. Developmental Psycology; A Life-Span Approach, New Delhi: McGraw-
Hil,Inc, 1985.
Chaplin, J.P. Systems and Theories in Psychology,New York: Harcourt College Pub, 1979.

16

Anda mungkin juga menyukai