Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

“MATERI PENDIDIKAN POLITIK”

Dosen Pengampu :

Drs. M Salam, M.Si.

Dibuat Oleh Kelompok 2 :

Alfa Rehan (A1A319057)

Halimatu Sa'diah (A1A319005)

Febriza Laila Husna (A1A319017)

Olga Rinanda Mairani (A1A319049)

Heldiani Widia Astuti (A1A319029)

Annisa Febridianti (A1A319065)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN


KEWARGANEGARAAN

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah


memberikan kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Materi Pendidikan Korupsi” tepat waktu. Makalah
“Materi Pendidikan Korupsi” ini disusun untuk memenuhi tugas bapak
Drs. M. Salam, M.Si. Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini
dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang “Materi Pendidikan
Korupsi”.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima
demi kesempurnaan makalah ini..

24 Oktober 2021

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

COVER........................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................4
C. Hak Asasi Manusia..............................................................4
D. Gender dan Politik.............................................................12
1. Peran Gender............................................................15
2. Stereotipe Gender.....................................................17
a. Sifat Perilaku Gender............................................17
b. Nilai Gender..........................................................18
c. Status Gender........................................................18
3. Gender dan Peran Politik Perempuan di Indonesia........18
E. Globalisasi.........................................................................23
BAB III PENUTUP...............................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Materi pendidikan politik yang disampaikan kepada warga negara


sebagaimana yang telah dijelaskan tergantung pada tujuan yang dibuat
oleh rezim pemerintah. Materi pendidikan pada masa prakemerdekaan,
setelah kemerdekaan, masa Orde Baru, dan era Reformasi tentu saja
tidak sama. Visi misi dan tujuan pemerintah ikut menentukan materi
pendidikan politik apa yang diberikan kepada warga negara. Ideologi
politik yang dianut oleh negara juga memengaruhi substansi materi
pendidikan politik. Pada umumnya materi tentang negara, pemerintah,
partai politik, dan lembaga perwakilan wajib diberikan kepada warga
negara agar mereka memiliki pemahaman yang memadai tentang sistem
politik yang dikembangkan oleh negara. Dalam bab ini, materi
pendidikan politik yang dibahas adalah tentang negara, pemerintah,
wakil rakyat, demokrasi, partai politik, hak asasi manusia, gender dan
politik, serta globalisasi.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana mendeskripsikan Hak Asasi Manusia dalam materi
Pendidikan politik ?
2. Bagaimana mendeskripsikan Gender dan Politik dalam materi
Pendidikan politik?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Bagaimana mendeskripsikan Hak Asasi Manusia
dalam materi Pendidikan politik
2. Mengetahui Bagaimana mendeskripsikan Gender dan Politik dalam
materi Pendidikan politik

2
BAB II
PEMBAHASAN

C. Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dari sebuah
negara demokrasi. HAM ada bukan karena diberikan oleh masyarakat
atau atas kebaikan negara, melainkan hadir berdasarkan harkat dan
martabat manusia (El-Muhtaj 2007). Pengakuan akan HAM sama halnya
dengan pengakuan atas eksistensi manusia, yang menandakan bahwa
manusia merupakan makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa
yang memperoleh apresiasi karena ia adalah manusia sang insan kamil.
HAM merupakan objek studi yang menarik, sehingga menjadi
perbincangan di berbagai kesempatan oleh berbagai pihak dengan latar
belakang keilmuan yang beragam. HAM masuk ke dalam ruang-ruang
hukum, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. HAM tidak hanya
menjangkau jenis kelamin, laki-laki dan perempuan; tetapi juga umur,
muda maupun tua; etnis; kesukuan; ras; dan agama. Pendek kata, tidak
ada ruang, waktu, dan materi yang tidak bersinggungan dengan HAM.
Pemikiran dan perdebatan tentang HAM berkembang dengan sangat
pesat. Dalam kaitan ini, Todung Mulya Lubis (dalam ElMuhtaj 2008)
mengemukakan empat teori HAM. Pertama, hakhak alami (natural
rights), yang menyatakan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh
seluruh manusia dalam segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya
sebagai manusia. Kedua, teori positivistik (positivist theory), yang
memandang bahwa hak harus tertuang dalam hukum yang riil, sebab hak
dipandang sebagai hak jika ada jaminan konstitusi. Pandangan tersebut
berasal dari Bentham yang menyatakan, “rights is child of law, from real
laws come real rights, but from imaginary law, laws of nature come
imaginary rights. natural rights is simple nonsens, natural and
impresicible rights rethorical nonsens, nonsens upon still”. Ketiga, teori
relativis kultural (cultural relativist theory), yang merupakan bentuk
antitesis dari teori hak-hak alami. Teori ini berpandangan bahwa
menganggap hak bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi
kultural terhadap dimensi kultural yang lain. Kondisi ini dinamakan
imperialisme kultural. Teori ini memandang bahwa manusia berada
dalam interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya dan
4
peradaban, berisikan cara pandang kemanusiaan yang berbeda.
Karenanya, teori menyatakan bahwa that rights belonging to all human
beings at all times in all places would be the rights of desocialized and
deculturized beings. Keempat, doktrin marxis, menolak teori hak-hak
alami, karena negara atau kolektivitas merupakan sumber galian dari
seluruh hak. Hak-hak mendapat pengakuan sebagai hak individual,
apabila telah memperoleh pengakuan dari negara atau kolektivitas. All
rights derive from the state, and are not naturally possessed by human
beings by virtue of having been born.
Secara historis, perkembangan HAM merupakan suatu upaya
memecahkan persoalan kemanusiaan yang berlangsung berabad-abad.
Seluruh pemikiran yang berkembang menguatkan pendirian akan
pentingnya citra diri manusia, yakni kemerdekaan dan kebebasan (El-
Muhtaj 2008). Upaya tersebut dilakukan karena HAM sejatinya
merupakan bagian dari kemanusiaan yang paling intrinsik. Ini berarti
bahwa sejarah pertumbuhan dan perjuangan konsep HAM, menyatu
dengan sejarah peradaban manusia. Dalam kaitan ini, Esay menegaskan:

“human rights are thus seen here as the result of a


cumulative historical process that takes on a life of its own,
sui generis beyond the spechees and writings of progressive
thinkers, beyond the documents and main events that
compose a particular epoch” (El-Muhtaj 2008:7-8).

HAM memiliki sejarah yang cukup panjang. Kelahiran HAM dapat


dirunut dari lahirnya piagam Magna Charta pada 1215 di Inggris. Magna
Charta lahir sebagai bagian dari pemberontakan para baron terhadap raja
John (saudara raja Richard berhati singa). Magna Charta berisi suatu
pengakuan akan adanya pembatasan kekuasaan abolut raja dan segala
kekuasaannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum (El-
Muhtaj 2007). Pembatasan kekuasaan raja ini didorong oleh adanya
tradisi perlawanan baron atau bangsawan kepada raja. Secara lengkap
Magna Charta mengatur tentang (1) kekuasaan raja harus dibatasi, (2)
hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja, dan (3) tidak
seorang pun warga negara yang merdeka dapat ditahan atau dirampas
kekayaannya, diperkosa, diasingkan, atau dengan cara apa pun haknya
diperkosa kecuali berdasarkan kepentingan umum (Djaali 2003).

5
Perlawanan rakyat Inggris dalam memperjuangkan hakhak mereka
membawa dampak di negara-negara jajahan Inggris, yaitu di Perancis
dan Amerika. HAM pun bergerak meluas pada tataran revolusi industri,
dimana kaum buruh menuntut tingkat upah yang layak kepada majikan
atau pengusaha. Tradisi ini melahirkan doktrin, raja tidak kebal hukum
dan mulai bertanggung jawab kepada hukum (Yazid, dkk. 2007). Sejak
itulah dipraktikkan, jika raja melanggar hukum harus diadili dan dengan
hadirnya parlemen, raja harus mempertanggungjawabkan
kebijaksanaannya kepada parlemen. Sistem monarkhi konstitusional
yang diperkenalkan di Inggris, dalam praktiknya telah membatasi
kekuasaan raja.
Lahirnya Magna Charta diikuti oleh terbitnya Bill of Rights di
Inggris pada tahun 1689. Pada masa berlakunya Bill of Rights muncul
adagium “manusia sama di muka hukum (equality before the law)”. Bill
of Rights ini telah melahirkan asas persamaan bagi warga negara.
Dalam perkembangannya, asas persamaan tersebut terwujud dan diakui
hukum setelah Rousseau memperkenalkan teori perjanjian masyarakat
(contract social), Montesquieu mengintroduksi pemisahan kekuasaan
dalam negara (terkenal dengan Trias Politika), serta John Locke dan
Thomas Jefferson mencanangkan hak-hak dasar kebebasan dan
persamaan. HAM berkembang dan makin kuat pengaruhnya pasca
ditetapkan Declaration of Independence Amerika Serikat pada tahun
1776 dan Declaration des Droits de L’Homme et du Citoyen Perancis
pada tahun 1789. Pengalaman revolusi Amerika Serikat, revolusi
Perancis, dan revolusi Rusia memberikan dampak luar biasa bagi
lahirnya pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia (Universal
Declaration of Human Rights) yang dicetuskan oleh PBB di Lake
Success pada tahun 1948.
Pasca bergulirnya pengaruh Magna Charta hingga
dideklarasikannya piagam HAM PBB atau DUHAM, berkembang
generasi kedua HAM, yaitu sejak sidang umum PBB tanggal 16
Desember 1966 merumuskan dua buah persetujuan (covenant), yaitu
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan
International Covenant on Civil and Political Rights. Kedua kovenan
sengaja ditetapkan bersama, sebagai bentuk kompromi dari pertentangan
pada saat perumusannya ketika itu (Kasim 2008). Hak-hak ekonomi
menurut HAM generasi kedua, mencakupi kebebasan atas hak milik, hak
6
mendapatkan pekerjaan, hak mendapatkan kesempatan yang sama dalam
bekerja, hak terhadap produksi, hak menyangkut konsumsi, hak atas
pangan, hak memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak memperoleh
pendidikan. Hak-hak sipil dan politik, menurut HAM generasi kedua,
meliputi hak hidup, hak persamaan dan kebebasan, kebebasan berpikir
dan menyatakan pendapat. Perkembangan pemikiran HAM mengalami
akselerasi ke arah integrasi hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan
hukum dalam satu tempat yang disebut dengan hak-hak pembangunan
(the rights of development). Ini merupakan generasi HAM ketiga.
Generasi ketiga ini meliputi hak-hak kolektif, yaitu hak rakyat untuk
menentukan kehidupan politik dan ekonomi, hak individu dan komunitas
untuk berkembang, hak atas lingkungan yang layak, hak
mempertahankan kebudayaan asli, hak menikmati secara bersama
warisan alam, hak keamanan dan hidup damai, hak berkomunikasi dan
mendapatkan informasi. Pada puncaknya, pemikiran HAM mengalami
penyempurnaan dengan munculnya generasi HAM keempat, yang
mengkritik peranan negara yang dominan dalam pembangunan ekonomi
yang menyebabkan dampat negatif terhadap kesejahteraan rakyat.
Generasi HAM keempat ini dipelopori oleh negara-negara kawasan Asia
pada tahun 1983 dengan melahirkan deklarasi HAM yang dikenal
dengan nama Declaration of the Basic Duties of Asia People and
Government.
Setelah adanya Deklarasi Universal HAM, terbentuk konvensi
internasional tentang hak asasi manusia, di antaranya :
1. Konvensi nomor 98 tentang pemberlakuan prinsip-prinsip hak
berorganisasi dan berunding, yang diterima oleh ILO atau
Organisasi Buruh Internasional pada tanggal 1 Juli 1949
2. Konvensi nomor 100 tentang pengupahan yang sama bagi buruh
pria dan wanita untuk pekerjaan yang sama, yang diterima ILO
tanggal 29 Juni 1951
3. Konvensi tentang hak-hak politik wanita yang diterima oleh sidang
umum PBB berdasarkan resolusi nomor 640 (VII) tanggal 20
Desember 1952
4. Konvensi nomor 1040 tentang kewarganegaraan wanita bersuami,
berdasarkan resolusi nomor 1040 (XI) yang diterima sidang umum
PBB tanggal 29 Januari 1957

7
5. Konvensi tentang pernyataan hak-hak anak berdasarkan resolusi
PBB nomor 1386 (XIV) yang diproklamasikan dalam sidang umum
PBB pada tanggal 20 November 1959
6. Konvensi tentang menentang diskriminasi dalam bidang
pendidikan, diterima oleh konferensi umum UNESCO pada tanggal
14 Desember 1960
7. Konvensi tentang izin untuk kawin, usia minimum untuk kawin dan
pencatatan perkawinan berdasarkan resolusi nomor 1783 A (XVII)
pada tanggal 7 November 1962
8. Konvensi internasional tentang hilangnya segala bentuk
diskriminasi rasial, berdasarkan resolusi majelis umum PBB tanggal
21 Desember 1965
9. Konvensi internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya berdasarkan resolusi majelis umum PBB nomor 2200 A
(XXI) tanggal 16 Desember 1966
10. Konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik,
berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB nomor 2200 A (XXI)
tanggal 16 Desember 1966
Sejarah HAM mengalami pasang surut dan perkembangan luar
biasa secara kualitatif, mulai dari hak-hak sederhana hingga hak-hak
yang lebih kompleks. Keberadaan dan pengakuan HAM oleh negara
melalui proses panjang dan masa-masa sulit penuh penderitaan, hingga
diterimanya hak-hak sosial ekonomi, sipil, dan politik.
Seiring dengan perkembangan HAM, muncul perdebatan tentang
apakah HAM bersifat umum (universal) ataukah khusus (partikular).
Sifat umum HAM didukung oleh kelompok negaranegara barat yang
berpaham individualisme dan liberalisme; sedangkan pendukung HAM
bersifat khusus (partikularistik) adalah kelompok negara-negara dunia
ketiga (Latif 2011).
Menurut kaum universalis, HAM merupakan hak semua orang,
yang berasal dari konsep hukum alam bahwa manusia memiliki hak
alamiah untuk hidup, bebas, punya kepemilikan dan HAM juga milik
seseorang sebagai manusia (Latif 2011). HAM memilikin karakter
internasional, bukan hanya karena sifatnya yang universal dan berakar
pada kemanusiaan umat manusia, melainkan juga karena berlandaskan

8
pada pengakuan masyarakat internasional sebagaimana tertuang dalam
traktat dan hukum yang berlaku secara internasional. Itulah sebabnya,
tidak ada alasan bagi negara atau penguasa untuk mengasingkan HAM
dari warga negara.
Pada sisi lain, kaum partikularis memandang bahwa norma HAM
tidak muncul dari ruang hampa, melainkan dibentuk oleh seperangkat
pengalaman masyarakat tertentu (Latif 2011). Oleh karena masyarakat
memiliki kondisi sejarahnya sendiri, maka hanya aspek-aspek HAM
tertentu yang dapat diterapkan pada masyarakat tertentu dan akan
berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya (Hernandes 1995).
Penerapan HAM yang berbeda antara negara yang satu dengan negara
yang lain dipengaruhi oleh sejarah yang berbeda serta keanekaragaman
kultural, struktur politik, dan tingkat perkembangan masyarakatnya.
Negara-negara dunia ketiga yang lebih mengutamakan kedaulatan dan
kepentingan nasional, menempatkan HAM di bawah kepentingan
nasional lain yang lebih penting, seperti integritas wilayah negara dan
sistem politik mereka (Latif 2011).
Jika dipandang dari aspek hak dan kewajiban, pendukung
universalitas HAM cenderung menekankan hak individu dibandingkan
dengan kewajiban individu dalam suatu kelompok yang lebih besar.
Sementara itu, penganut sifat partikular HAM percaya bahwa individu
merupakan bagian dari suatu kelompok sosial, seperti keluarga, suku,
kelas, dan bangsa, sehingga mereka lebih menekankan kewajiban dan
tanggung jawab timbal balik daripada hak.
Dalam mantikan eksistensi alam semesta (MEAS), disebutkan
bahwa suatu fenomen (ada), termasuk manusia eksis hanya untuk
memberi kepada suatu objek atau fenomen lain, dengan harapan
fenomen lain dapat berubah menjadi subjek yang mampu memberi.
Inilah sifat ketergantungan satu sama lain dalam suatu hukum
keseimbangan alam semesta yang bersifat saling memampukan satu
dengan lainnya. Oleh karena itu, jika diterapkan dalam konteks HAM,
maka penerapan HAM tidak mengutamakan yang satu (misal hak) atas
yang lain (misal kewajiban), tetapi yang benar dan selaras dengan
hukum Sang Pencipta adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Dalam penerapannya, waktu, tempat, dan kondisi akan memberikan
pengaruh mana yang harus didahulukan dan mana yang harus

9
diakhirkan, tentu dengan tetap terjaga keseimbangan alamiah, seperti
halnya timbangan.
Perkembangan HAM di Indonesia juga diwarnai oleh perdebatan
antara kubu universalis (individualis) dan kubu partikularis (kolektif).
Perkembangan HAM di Indonesia berlangsung lama sejak PPKI
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu terjadi perdebatan
sengit antara kubu Soekarno dan kubu Hatta mengenai perlu tidaknya
HAM dicantumkan dalam UUD 1945. Menurut Soekarno dan Supomo,
HAM berasal dari ideologi liberalisme dan individualisme, sehingga
tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945, sedangkan Hatta
dan Yamin memandang perlu mencantumkan HAM dalam UUD 1945,
terutama yang berkaitan dengan kemerdekaan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan dan menjamin agar
negara tidak terjerumus ke dalam konsep negara kesatuan. Hatta
bersikeras memasukkan HAM ke dalam UUD 1945, dikarenakan semua
sila dalam Pancasila sejatinya telah memuat HAM (Djaali 2003). Sila 1
Pancasila misalnya, mengajarkan nilai-nilai HAM, yaitu persamaan,
keadilan, dan kasih sayang. Sila 2 Pancasila mengandung pengertian
bahwa setiap manusia diperlakukan pantas, tidak boleh disiksa dan
dihukum secara ganas, dihina atau diperlakukan secara yang melampaui
batas. Sila 3, 4, dan 5 Pancasila juga memiliki muatan hak asasi manusia.
Pendek kata, Pancasila merupakan partikularitas dari universalitas hak
asasi manusia, karena ia menjadi penciri dari HAM Indonesia.
Kompromi yang terjadi antara kubu Soekarno dan kubu Hatta telah
melahirkan pasal-pasal hak-hak warga negara dalam UUD 1945
Proklamasi. Hingga akhir jabatan Soeharto, HAM belum diatur dalam
UUD 1945. Baru pada masa reformasi awal, HAM diatur secara lengkap
dalam TAP MPR Nomor XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Naskah HAM dalam ketetapan tersebut memuat pandangan dan sikap
bangsa Indonesia terhadap HAM dan piagam HAM. Pandangan hidup
dan kepribadian bangsa Indonesia menempatkan manusia pada
keluhuran harkat dan martabat makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan
kesadaran mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan makhluk
sosial. Karena itu bangsa Indonesia menghormati setiap upaya suatu
bangsa untuk menjabarkan dan mengatur HAM sesuai dengan sistem
nilai dan pandangan hidup masing-masing. Bangsa Indonesia
menjunjung tinggi dan menerapkan HAM sesuai dengan Pancasila
10
sebagai pandangan hidup. Selaras dengan hal tersebut, bangsa Indonesia
mempunyai pandangan dan sikap mengenai HAM yang bersumber dari
ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam TAP MPR tersebut, HAM diartikan sebagai hak dasar yang
melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin
kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan
masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau digugat oleh
siapapun. Dalam bagian lain dari naskah ketetapan MPR tersebut,
dinyatakan bahwa HAM adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan
abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. HAM
sebagaimana dimaksud dalam TAP tersebut bukan semua hak yang
dimiliki manusia, tetapi hanya hak dasar saja yang disebut HAM. Dalam
ketetapan tersebut, substansi HAM meliputi : hak untuk hidup, hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak
keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak
kesejahteraan.
HAM sebagaimana diatur dalam ketetapan tersebut, tidak
disamaartikan dengan kebebasan, sebab HAM Indonesia secara
partikular dikerangkai oleh falsafah bangsa Indonesia, Pancasila. Sesuai
falsafah Pancasila, selain diatur tentang hak, juga ditentukan tentang
kewajiban. Dalam pasal 34 TAP MPR disebutkan bahwa setiap orang
wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tahun 1999, DPR bersama
Presiden telah menetapkan Undang-Undang HAM, yaitu UU Nomor 39
Tahun 1999. Undang-Undang tersebut mengatur HAM secara lengkap
dalam 106 pasal, lebih lengkap daripada ketentuan TAP MPR nomor
XVII tahun 1998 yang hanya mengatur 44 pasal. Selain itu, UU Nomor
39 tahun 1999 mengatur tersendiri HAM wanita dan HAM anak, yang di
TAP MPR tidak diatur secara khusus. Adanya Komisi Nasional HAM
yang secara khusus diatur dalam UU tersebut, merupakan bukti
keseriusan pemerintah dalam menjamin dan menegakkan HAM.

11
D. Gender dan Politik
Gender menjadi isu penting dan merupakan konsep yang tidak
jemu-jemunya diperbincangkan dalam berbagai kesempatan.
Realitasnya, masih banyak terjadi kesalahpahaman tentang apa yang
dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan perjuangan
perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan. Banyak orang
yang mempunyai persepsi bahwa gender selalu berkaitan dengan
perempuan, sehingga setiap kegiatan yang bersifat perjuangan menuju
kesetaraan dan keadilan gender hanya dilakukan dan diikuti oleh
perempuan tanpa harus melibatkan laki-laki.
Kesalahpahaman tentang konsep gender ini sebagai akibat dari
belum dipahaminya secara utuh atau kurangnya penjelasan tentang
konsep gender dalam memahami sistem ketidakadilan sosial dan
hubungannya dengan ketidakadilan lainnya. Untuk memahami konsep
gender perlu dimengerti terlebih dahulu perbedaan kata seks dan gender.
Mufidah Ch (2003) membedakan seks dan gender sebagai berikut. Seks
atau jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis
kelamin manusia, yanag ditentukan secara biologis, yang melekat pada
jenis kelamin tertentu, dengan (alat) tanda-tanda tertentu pula. Alat-alat
tersebut selalu melekat pada diri manusia selamanya, tidak dapat
dipertukarkan, bersifat permanen, dan dapat dikenali semenjak manusia
lahir. Itu semua merupakan ketentuan Tuhan atau bersifat kodrat.
Sebaliknya, gender berlaku pada kaum laki-laki dan perempuan,
merupakan sifat dan perilaku yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan, yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.
Misalnya, perempuan lemah lembut, emosional, dan keibuan. Laki-laki
rasional, kuat, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat tersebut tidak selalu pas
persis, sebab bisa saja laki-laki lemah lembut dan perempuan kuat
perkasa. Perubahan sifat dan ciri tersebut dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat yang satu ke tempat lainnya.
Konstruksi sosial yang telah melembaga terhadap gender
menyebabkan perempuan dinomorduakan dalam setiap peran sosialnya.
Perempuan lebih pantas berdiam di rumah, mengelola urusan rumah
tangga (domestik); sedangkan laki-laki lebih cocok berperan di luar
(publik), berinteraksi dengan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
keluarga di rumah. Akar dari segala pandangan gender yang
mengecilkan peran perempuan adalah konstruksi sosial dan budaya
12
masyarakat, yang akhirnya memengaruhi pandangan masyarakat tentang
peran perempuan dalam dunia politik.
Filsafat dan ideologi feminisme muncul sebagai reaksi terhadap
peran gender yang salah kaprah di masyarakat. Ideologi feminisme
didefinisikan berdasarkan dua keyakinan mendasar yakni perempuan
tidak diuntungkan karena jenis kelaminnya serta ketidakberuntungan ini
dapat dan harus dihilangkan (Heywood 2016). Melalui cara ini kaum
feminis menyoroti apa yang mereka lihat sebagai hubungan politik di
antara dua gender, di mana terjadi supremasi kaum laki-laki dan
penundukan kaum perempuan di hampir semua masyarakat (Heywood
2016). Ketika melihat pembagian gender sebagai sesuatu yang “politis”,
kaum feminis menantang “mobilisasi bias” yang secara tradisional
beroperasi dalam pemikiran politik yang melaluinya berbagai generasi
pemikir laki-laki tanpa bersedia menimbang privilese-privilese yang
sudah mereka nikmati lantaran jenis kelamin, telah berhasil menjauhkan
peran perempuan dari agenda-agenda politik.
Ideologi feminisme berkembang melalui dua gelombang.
Gelombang pertama, bentuk awal feminisme yang berkembang di
pertengahan abad ke-19 yang didasarkan pada pengupayaan kesetaraan
jenis kelamin dalam hak-hak politik dan hukum, khususnya hak bersuara
dan memilih (Heywood 2016). Feminisme gelombang pertama tersebut
berakhir dengan tercapainya hak pilih perempuan yang diperkenalkan
pertama kali pada tahun 1893 di Selandia Baru. Di Amerika Serikat,
Deklarasi Kemerdekaan salah satu isinya adalah mengenai hak bersuara
perempuan baru diperoleh melalui Konvensi pada tahun 1848 yang
terkenal dengan Seneca Falls. Di Amerika Serikat, hak pilih perempuan
baru disetujui dalam konstitusi pada tahun 1920. Di Inggris disetujui
pada tahun 1918, hanya saja kesetaraan hak sepenuhnya antara laki-laki
dan perempuan baru terjadi satu dekade setelahnya.
Feminisme gelombang kedua yang muncul pada tahun 1960an
sampai dengan 1970-an memandang bahwa pencapaian hak-hak politik
dan hukum tidak menjawab masalah-masalah perempuan secara
substansial. Oleh karenanya, Kate Millet dalam karyanya berjudul
Sexual Politics (1970) dan Germaine Greer dalam buku tentang The
Female Eunuch (1970) mendorong kembali batas-batas yang
sebelumnya dianggap politis dengan memfokuskan perhatian pada
aspek-aspek pribadi, psikologis, dan seksual yang memengaruhi
13
ketertindasan perempuan (Heywood 2016). Tujuan feminisme
gelombang kedua ini bukan hanya emansipasi politik, tetapi yang lebih
mendasar adalah kebebasan perempuan, khususnya di ruang pribadi.
Kaum feminisme radikal percaya bahwa pembagian gender merupakan
celah sosial yang sangat signifikan secara politis dan semua itu berakar
dalam struktur kehidupan keluarga. Karenanya, kelompok feminisme
sosialis meyakini bahwa kebebasan perempuan baru akan diperoleh
manakala telah dilakukan perubahan sosial secara radikal.
Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa perbedaan gender
antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang yang
berakar dari kehidupan keluarga. Oleh karena dibentuk secara sosial
budaya, maka gender bukan kodrat. Hal itu membuktikan bahwa peran
gender tidak bersifat tetap, sehingga dapat diubah dari masa ke masa,
berbeda untuk setiap kelas dan ras. Peran gender pun dapat
dipertukarkan, tidak seperti halnya identitas jenis kelamin, yang secara
alamiah tidak mungkin dapat diubah.

1. Peran Gender
Peran gender adalah peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki
sesuai dengan status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya.
Peran gender tidak perlu diubah jika tidak menimbulkan ketidakadilan.
Secara seksual, perempuan mengalami haid, hamil, melahirkan, dan
menyusui dan sekaligus dalam perpektif gender ia diberi tanggung jawab
untuk memelihara anak. Jika relasi antara suami dan istri berjalan baik,
maka peran gender tersebut tidak perlu diubah. Akan timbul
ketidakadilan bagi perempuan apabila karena siklus haid, hamil dan
melahirkan menjadi alasan bagi kelompok tertentu untuk melarang
perempuan bekerja karena ia harus memelihara anak.
Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan-perbedaan gender
termasuk perbedaan peran, sehingga muncul istilah peran kodrat, yaitu
peran yang diberikan oleh Tuhan, seperti haid, hamil, melahirkan dan
peran gender lainnya. Peran gender seringkali diyakini sebagai peran
kodrati, yang diberikan oleh Tuhan, padahal sebenarnya peran gender
merupakan konstruksi atau ketentuan sosial yang senantiasa dapat
diubah. Pemahaman yang tidak tepat terhadap peran gender akan
memunculkan pembagian peran yang kaku untuk laki-laki dan
perempuan, bahkan bisa saja terjadi pembagian peran yang bias gender.
14
Berkaitan dengan hal itu, terdapat dua istilah yang menunjuk peran
gender, yakni peran produktif-reproduktif dan peran publik-domestik.
Pembagian peran pada umumnya didasarkan pada perbedaan biologis
antara perempuan dan laki-laki. Budaya masyarakat menggunakan
perbedaan biologis ini sebagai dasar terhadap pembagian tugas yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pada sebagian besar
masyarakat, peran gender utama perempuan adalah sebagai ibu rumah
tangga, pengelola rumah tangga, ibu serta istri. Sebaliknya, peran gender
lakilaki adalah sebagai pencari nafkah utama keluarga, sebagai kepala
keluarga, serta sebagai bapak. Dalam peran-peran inilah, feminitas
didefinisikan dan dinilai.
Peran laki-laki dan perempuan dibedakan atas peran produktif,
reproduktif, dan sosial, yaitu (1) peran produktif merujuk kepada
kegiatan yang menghasilkan barang dan pelayanan untuk konsumsi, dan
perdagangan. Semua pekerjaan yang dilakukan di pabrik, kantor, dan
pertanian termasuk dalam kategori ini. Hanya aktivitas ini yang dihitung
sebagai ekonomi dan dimasukkan ke dalam produksi nasional bruto
suatu negara. Walaupun perempuan dan laki-laki terlibat di dalam ranah
publik lewat aktivitas produktif, pembagian kerja secara gender tetap
terjadi, (2) peran reproduktif dapat dibagi menjadi dua, yaitu biologis
dan sosial. Reproduktif biologis merujuk kepada bagaimana manusia
melahirkan seorang manusia baru, sebuah aktivitas yang hanya dapat
dilakukan oleh perempuan. Reproduksi sosial merujuk kepada semua
aktivitas merawat dan mengasuh yang diperlukan untuk menjamin
pemeliharaan dan bertahannya hidup manusia. Dengan demikian
aktivitas reproduksi adalah aktivitas yang mereproduksi tenaga kerja
manusia. Merawat anak, memasak, memberi makan, mencuci, dan
aktivitas rumah tangga lainnya masuk dalam kategori ini, (3) Peran
sosial, dimana kegiatan kemasyarakatan merujuk kepada semua aktivitas
yang diperlukan untuk menjalankan dan mengorganisasikan kehidupan
masyarakat. Pemerintah, organisasi dan partisipasi dalam kegiatan sosial
dan kebudayaan (kerja bakti, gotong royong pembuatan jalan kampung,
perawatan kesehatan, sekolah, dan lain-lain) semuanya adalah kegiatan
kemasyarakatan. Peran sosial ini umumnya dilakukan oleh laki-laki.

15
2. Stereotipe Gender
Stereotipe gender adalah suatu pelabelan atau bentuk generalisasi
perilaku individu-individu dari anggota kelompok tertentu baik itu
menurut suku bangsa, bangsa dan jenis kelamin. Pelabelan tersebut
secara faktual belum tentu benar. Dalam konteks stereotipe gender,
perbedaan jenis kelamin antara lakilaki dan perempuan telah
memengaruhi anggota masyarakat untuk memberi persepsi identitas
perbedaan peranan gender yang dalam sepanjang sejarah manusia
menimbulkan adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.
Stereotipe gender dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, yaitu ke
dalam sifat atau karakteristik perilaku atau kondisi fisik, peran gender,
nilai gender dan status gender.

a. Sifat Perilaku Gender


Istilah feminis dilabelkan untuk perempuan, sebaliknya istilah
maskulin dilabelkan untuk laki-laki. Padahal dalam kenyataannya, bisa
saja baik perempuan maupun laki-laki memiliki salah satu atau lebih
karakter feminin dan maskulin tersebut. Di desa misalnya, dapat
dijumpai perempuan yang kuat bekerja sebagai pemecah batu dan
penggali pasir serta mengangkutnya ke halaman rumah, sementara laki-
laki yang lemah bekerja sebagai penempel kertas dalam pembuatan
layang-layang. Di kota dapat ditemukan atlet nasional angkat besi
perempuan sebagaimana halnya laki-laki, sebaliknya lakilaki juga bisa
segemulai penari perempuan.
Dalam hal peran, perempuan diberi label berperan di dalam rumah
dalam kegiatan domestik, sebaliknya laki-laki dianggap selalu berperan
ke luar rumah dalam kegiatan publik. Peran gender tersebut acapkali
dapat dilihat dari tulisan dan atau ilustrasi di buku pelajaran sekolah
yang menggambarkan peran ibu yang sedang memasak di dapur. Dalam
kenyatannya baik di desa maupun di kota, perempuan dan laki-laki
sama-sama bisa melakukan kedua peran tersebut.
b. Nilai Gender
Nilai gender, warna-warna baju atau barang-barang lainnya
dilabelkan menurut jenis kelamin, baik dalam teks mupun ilustrasi bahan
ajar, misalnya warna merah muda dilabelkan untuk meja belajar dan

16
alat-alat tulis bagi anak perempuan. Sementara itu, warna biru dilabelkan
pada baju, meja belajar dan alat-alat tulis anak laki-laki.
c. Status Gender
Dalam hal status gender dalam keluarga, masyarakat, dan negara,
laki-laki diberi label sebagai pekerja, pemimpin atau kepala keluarga,
dan pemimpin masyarakat seperti kepala desa atau kelurahan, pengurus
organisasi dan sebagainya.
Pembagian peran, nilai dan status gender itu merupakan sesuatu
yang wajar asal tidak diartikan bahwa perbedaan itu menempatkan yang
satu boleh mengeksploitasi yang lain. Dalam kaitan inilah, isu gender
menjadi hangat dan kontroversial. Kecenderungan yang ada
menunjukkan perbedaan-perbedaan itu tidak menguntungkan
perempuan, tetapi sebaliknya justru memojokkan perempuan. Itulah
sebabnya, dalam pengembangan bahan ajar berwawasan gender penting
sekali untuk menghilangkan stereotype gender yang tidak kodrati, tetapi
mempromosikan keadilan dan kesetaraan gender (Redjeki 2010)
3. Gender dan Peran Politik Perempuan di Indonesia
Hingga sejauh ini, hak-hak berpolitik perempuan secara normatif
tidak terdapat masalah yang berarti, sebab dari undang-undang pemilu,
partai politik, serta susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD tidak
ditemukan ketentuan yang diskriminatif dan memarginalisasi
perempuan. Dengan kata lain, hak berpolitik secara normatif antara laki-
laki dan perempuan diakui memiliki kesederajatan dalam hukum politik.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Namun demikian, kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki yang
secara normatif sejajar, tetapi dalam berbagai kehidupan termasuk hak
berpolitik perempuan tidak saja diperdebatkan, bahkan ditempatkan di
kelas kedua atau second role. Barangkali tidak terlalu lama untuk
mengingatkan bahwa ketika terjadi proses pergantian pimpinan di
Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru, munculnya tokoh perempuan
dalam hal ini Megawati Soekarnoputri mendapat penolakan yang kuat.
Dasar penolakan bukan karena asal usul Megawati, tetapi jenis kelamin
Megawati yang perempuanlah yang menyebabkan penolakan itu.

17
Dengan usaha keras dan lobi politik yang melelahkan yang
dilakukan partai PDIP, Megawati dapat menjadi Presiden setelah KH.
Abdurahman Wahid diberhentikan oleh MPR melalui Sidang Istimewa
MPR tanggal 23 Mei 2001. Persoalan tersebut membuktikan bahwa
kemampuan perempuan masih sangat diragukan. Kini persoalan tersebut
masih mengganjal dalam hati perempuan yang peduli atas nasib
perempuan dalam hal berpolitik. Salah satu hal yang diperjuangkan
adalah adanya jaminan kuota perempuan di berbagai elemen
pemerintahan. Jaminan itu adalah dimasukkannya kuota bagi perempuan
dalam undang-undang politik. Akhirnya, perjuangan tersebut berhasil
dengan dimasukkan syarat kuota perempuan dalam undangundang
politik.
Jauh sebelum itu, pada bulan Juli tahun 2002, Khofifah Indar
Parawansa (dalam Kompas 11 Juli 2002) menyatakan bahwa terdapat 42
organisasi yang tergabung dalam koalisi perempuan politik yang melobi
pimpinan partai politik sebelum adanya Rancangan UU Partai Politik,
UU Susunan dan Kedudukan DPR-MPR, serta UU Pemilu masuk ke
DPR. Hasil lobi tersebut, menurut Khofifah, mendapat perhatian yang
cukup besar dari pimpinan partai politik, misalnya Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) yang secara internal telah menjalankan
komitmen 20 persen, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 30 Persen, dan
Golongan Karya 25 persen.
Keinginan adanya jaminan kuota ini mengingat perempuan yang
ada di parlemen saat ini jumlahnya amat rendah, yakni hanya 8,9 persen.
Padahal pada tahun 1997 sudah mencapai 12 persen sedikit lebih kecil
bila dibandingkan tahun 1992 yang berjumalah 12,8 persen. Tetapi
perjuangan untuk adanya jaminan kuota perempuan di lembaga negara
tidak mendapat dukungan yang signifikan dari Presiden Megawati.
Dalam salah satu pidatonya, Megawati menyatakan bahwa esensi
partisipasi gender itu tidak terletak pada kuota, melainkan pada
pemberian kesempatan yang sama kepada semua warganegara”
(Kompas, 19 November 2002). Tentu saja pernyataan Megawati ini
mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan LSM. Memang secara
ideal pernyataan itu benar, tetapi menjadi kurang bijak bila hal tersebut
diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan sejak awal, perempuan
Indonesia selalu ditinggal, sehingga ketika secara normatif diberlakukan
sama dengan laki-laki, perempuan tetap tertinggal. Ibarat laki-laki telah
18
berlari 100 km di depan, perempuan baru siap di start. Hal inilah yang
menjadikan perempuan Indonesia tertinggal terus. Padahal pemberian
kuota terhadap perempuan di badan parlemen maupun badan negara lain
bukanlah merupakan sesuatu yang haram, sebab dalam International
Parliament Union (IPU) tahun 1994 terdapat rekomendasi perekrutan
perempuan minimal 30 persen dalam badan eksekutif dan legislatif.
Inilah yang barangkali tidak dipahami oleh pengambil kebijakan di
negeri ini, sehingga pengambilan keputusan, tidak menghiraukan pada
tataran riil, dimana semangat patriarki masih kental di tengah
masyarakat. Dari diskusi tersebut menandakan adanya pandangan yang
berbeda antara perempuan yang bergerak pada penyetaraan perempuan
terhadap lakilaki. Pandangan inilah yang justru menghambat upaya
untuk menyetarakan peran politik perempuan dan laki-laki. Sepanjang
ketentuan itu masih secara umum dan normatif memberikan kesempatan
yang sama terhadap laki-laki dan perempuan, maka sepanjang sejarah
bangsa ini perempuan akan terus tertinggal, sebab perempuan telah
terlanjur tertinggal di belakang. Keterbatasan ruang publik bagi
perempuan, menyebabkan akses perempuan terhadap ruang publik juga
terbatas. Upaya penyetaraan perempuan, secara normatif, terganjal oleh
ketidakpekaan pimpinan bangsa ini (baik yang laki-laki maupun
perempuan atas jender), yang kemudian justru memunculkan kesan
bahwa perempuan memang akan terus di belakang dan tertinggal.
Apabila perempuan harus melakukan perjuangan secara ideal, maka hal
itu tidak dapat dilakukan setahun dua tahun, bahkan puluhan tahun.
Sepanjang perempuan masih merupakan golongan minoritas di badan
eksekutif maupun legislatif, apalagi keberadaannya di lembaga tersebut
bukan atas dasar kualifikasi bidang politik yang dipersyaratkan, maka
ketertinggalan perempuan terhadap kaum laki-laki akan lebih jauh lagi.
Posisi perempuan dalam memperoleh hak-hak politik sesungguhnya
sudah diatur dan dijamin dalam sistem hukum, termasuk hukum Islam.
Namun ranah budaya tampaknya masih menjadi kendala bagi
peningkatan peran politik perempuan. Dari aspek budaya inilah,
ketertinggalan perempuan dalam berpolitik dipengaruhi oleh pola pikir
masyarakat yang berpaham patriarkhi. Paham ini bahkan secara implisit
terdapat dalam UUD 1945, yang pada awalnya memiliki semangat
integralistik, yang memberikan kekuasaan besar kepada penguasa (laki-
laki). Dalam kaitan ini, Pudji Astuti (2008) menyatakan bahwa di

19
Indonesia, gambaran peran perempuan di dunia publik yang terkait
dengan politik secara statistik masih belum menggembirakan. Hal ini
dapat dilihat dari hasil pemilu dari tahun ke tahun. Peran perempuan di
bidang politik, termasuk pucuk pimpinan penentu kebijakan di
pemerintahan baik, tingkat pusat maupun daerah, desa sekalipun, masih
didominasi kaum pria. Bukan berarti tokoh politik perempuan dan
pemimpin perempuan di bidang pemerintahan tidak ada, namun
jumlahnya masih sangat jauh dari imbang dengan jumlah pemimpin dan
tokoh politik laki-laki, sementara secara statistik jumlah penduduk
perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Minimnya jumlah perempuan sebagai penentu kebijakan politik,
menyebabkan keputusan mengenai kebijakan umum yang memengaruhi
kesejajaran perempuan masih dipegang oleh laki-laki, yang sebagian
besar masih mencitrakan bahwa politik tidak cocok untuk perempuan.
Perempuan harus menurut saja apa keputusan politik yang akan diambil
oleh laki-laki, karena laki-lakilah yang dianggap paling tahu dan layak
berpolitik. Bias gender dalam bidang politik juga masih terasa hingga
hari ini.
Selain itu, juga terdapat indikasi bahwa, jika jumlah perempuan
lebih banyak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, maka
fokus kehidupan politik akan berubah. Dampak yang paling jelas adalah
akan terjadinya perluasan wilayah politik ke arah masalah-masalah dan
isu-isu yang semula dianggap bukan isu politik, seperti kesejahteraan
anak, perlindungan terhadap reproduksi perempuan, dan lain-lain.
Kehidupan politik barangkali akan lebih bermoral karena perempuan
lebih mementingkan isu politik konvensional, seperti ekonomi,
pendidikan, perumahan, lingkungan, kesejahteraan sosial daripada
politik keras (hard politic), seperti penambahan jumlah personil tentara,
perang, pembelian senjata, dan pembuatan senjata muklir.
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan berkampanye dan
mensosialisasikan bahwa berpolitik bukan hanya urusan laki-laki,
melainkan juga merupakan hak kaum perempuan. Di sisi lain, kaum
perempuan sendiri harus meningkatkan kemampuan dan kualitasnya, dan
harus bisa melepaskan diri dari belenggu stereotipe gender, agar menjadi
percaya diri jika diberi kesempatan untuk memegang suatu jabatan
politis. Masyarakat juga harus mulai dibiasakan untuk menerima tokoh
politik perempuan tanpa mencari-cari alasan dengan menjustifikasi lewat
20
ayat-ayat agama yang terkadang salah penafsirannya. Peran dunia
pendidikan juga sangat penting dalam membentuk wawasan politik
peserta didik tanpa membedakan peserta didik laki-laki dan perempuan.
Potret perempuan Indonesia seringkali masih diwarnai dengan
gambaran kekerasan, baik fisik, sosial maupun kekerasan dalam bentuk
gagasan. Ini menegaskan kuatnya dominasi dan ketimpangan dalam
hubungan laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal tersebut, peran
ganda wanita menjadi peran yang dilematis, bukan hanya karena wanita
mendapatkan beban tambahan selain beban peran reproduktif, tetapi juga
karena tidak terjaminnya keamanan pada saat wanita menjalankan
perannya, terutama makin banyaknya keterlibatan kaum wanita di luar
rumah. Pemberlakuan Peraturan Daerah Tangerang tentang Larangan
Pelacuran telah memakan korban seorang perempuan baik-baik yang
bukan pelacur. Adanya kasus seorang istri guru yang tertangkap Satuan
Polisi Pamong Praja karena pulang larut malam dicurigai sedang
menunggu pelanggan, tentunya tidak perlu terjadi jika pemberlakuan
perda tersebut dilakukan secara cermat dan hati-hati.
Selain itu, kentalnya masyarakat patriarkhis menempatkan
perempuan pada posisi nomor dua atau sebagai “konco wingking”
(Jawa), juga menambah deretan panjang marginalisasi perempuan karena
bias gender. Domestifikasi negara terhadap perempuan telah dimulai
dengan pereduksian makna peringatan Kongres Perempuan 1928 dengan
menetapkannya sebagai hari ibu. Negara, lebih lanjut membangun mitos
perempuan sebatas pada peran domestik pendamping suami, pendidik
anak-anak, pencari nafkah tambahan hingga sebagai pekerja negara tak
dibayar, misalnya dalam Darma Wanita dan Program Kesejahteraan
Keluarga (PKK). Citra perempuan Indonesia yang penuh inferioritas dan
ketidakberdayaan tersebut dicoba diakhiri oleh Kongres Perempuan
Indonesia pada tanggal 16-17 Desember 1998 (Eva 2004:54).
Melibatkan perempuan dalam pembangunan bukan karena keterlibatan
atau mendompleng nama suaminya, tetapi perempuan dilibatkan dalam
statusnya sebagai pribadi dan dirinya sendiri dalam kegiatan
pembangunan. Dalam berpolitik, perempuan selalu berada di posisi
belakang laki-laki atau makhluk “bukan perempuan”. Karena kondisi
demikian, pemerintah menetapkan ketentuan 30 % kuota untuk
perempuan, terutama dalam mengisi jabatan politik. Hal ini tentu tidak
terjadi jika masyarakat memahami adanya kesetaraan gender antara

21
perempuan dan laki-laki di segala sektor kehidupan baik politik,
ekonomi, sosial, dan budaya.

E. Globalisasi
Istilah globalisasi telah digunakan dalam banyak sekali pengertian.
Namun demikian, diakui bahwa tidak ada kata sepakat di kalangan
ilmuwan mengenai definisi globalisasi (Winarno 2008). Masing-masing
kelompok ilmuwan memiliki definisi sesuai dengan ideologi dan
perspektif yang mereka gunakan.
Konsep-konsep yang serumpun dengan globalisasi, di antaranya
interdependensi global bangsa-bangsa, tumbuhnya sebuah sistem dunia,
akumulasi dalam skala dunia, kampung global, dan konsep serupa
lainnya sesungguhnya berakar pada konsep yang lebih umum, yaitu
akumulasi modal, perdagangan, dan investasi tidak lagi dibatasi pada
negara bangsa (Petras dan Henry Veltmeyer 2014). Pendek kata,
globalisasi mengacu pada aliran barang, investasi, produksi, dan
teknologi lintas bangsa.
Kurniawan (2009) memaknai globalisasi sebagai konstruksi
struktural dan kultural yang menjamin bekerjanya integrasi pasar kapital,
barang, dan jasa di seluruh dunia. Mengutip pandangan Glatzer dan
Rueschemeyer, Kurniawan (2009) mengemukakan lima aspek penting
dalam batasan globalisasi. Pertama, meluasnya perdagangan
internasional baik dalam hal barang maupun jasa. Kedua, meningkatnya
aliran modal internasional. Ketiga, meningkatnya internasionalisasi
produksi melalui perusahaan-perusahaan transnasional dan rantai
komoditi global. Keempat, meningkatnya peran organisasi internasional,
seperti World Trade Organisation (WTO), World Bank (WB), dan
International Monetary Fund (IMF). Kelima, makin meningkatnya aliran
ide-ide ekonomi yang berkarakter transnasional.
Pemahaman Glatzer dan Rueschemeyer tentang globalisasi
menunjukkan bahwa integrasi ekonomi global berlangsung melalui
proses ekonomi (mekanisme pasar) dan politik. Seperti dikatakan
Beyeler (dalam Kurniawan 2009), bahwa aliran ekonomi material terjadi
karena dua model keputusan, yaitu keputusan pasar dan keputusan
politik. Integrasi ekonomi global melalui mekanisme pasar, menurut
pandangan banyak pengamat, lebih dominan daripada integrasi politik.

22
Itulah sebabnya, Ruggie, Strange, Cerny, Greider, dan Friedman sepakat
bahwa globalisasi membawa kemenangan ekonomi atas politik dan itu
juga diperlihatkan oleh penurunan atas pembuatan kebijakan negara
(Kurniawan 2009).
Dominannya globalisasi ekonomi dalam hubungan antarbangsa dan
relasi antarnegara dapat dirunut pada abad ke-16, di mana perusahaan-
perusahaan di negara-negara yang perekonomiannya maju telah
meluaskan jangkauan aktivitas produksi dan perdagangan yang makin
intensif pada masa kolonialisme ke berbagai belahan dunia.
Globalisasi ekonomi ini membawa dampak pada runtuhnya
hambatan ekonomi nasional, meluasnya aktivitas produksi, keuangan,
dan perdagangan secara internasional serta semakin berkembangnya
kekuasaan perusahaan transnasional dan institusi moneter internasional
(Khor 2002).
Globalisasi ekonomi ditandai oleh peningkatan konsentrasi dan
monopoli berbagai sumberdaya dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-
perusahaan transnasional serta oleh perusahaanperusahaan keuangan dan
dana global. Proses tersebut dinamai transnasionalisasi, di mana semakin
sedikit perusahaan transnasional yang mampu meraih pangsa besar atau
peningkatan proporsi secara cepat dari pembagian sumberdaya ekonomi,
produksi, dan pangsa pasar (Khor 2002).
Pada zaman dahulu, perusahaan multinasional dapat mendominasi
pasar dari sebuah produk tunggal, namun pada era global sekarang ini
perusahaan transnasional yang besar memproduksi dan menjual berbagai
produk, pelayanan, dan bidang-bidang yang kian beragam. Sebagai
contoh, Samsung Korea tidak hanya menjual handphone, tetapi juga
barangbarang elektronik lainnya, seperti air conditioner (AC), pendingin
ruangan (cooler), mesin cuci, televisi, dan lain-lain. Fakta lain
menunjukkan bahwa makin sedikit perusahaan transnasional yang
mampu menguasai pasar global, baik dalam komoditas barang-barang
maupun jasa. Inilah yang menyebabkan terjadinya merger perusahaan
transnasional dan akuisisi, seperti pembelian blackberry oleh perusahaan
Samsung untuk produksi smartphone.
Para pembela globalisasi ekonomi meyakini bahwa tingkat
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan yang menimpa
sebagian besar masyarakat dari negara-negara dunia ketiga yang
sebagian besar tinggal di wilayah selatan disebabkan oleh kurangnya
23
mereka membuka pasar-pasar nasional terhadap pasar-pasar global
(Winarno 2008). Pendek kata, mereka miskin dan terbelakang karena
tidak tersentuh oleh globalisasi. Solusinya adalah negara-negara dunia
ketiga harus terintegrasi dalam sistem global.
Dalam realitasnya, globalisasi tidak hanya terjadi pada aspek
ekonomi melalui mekanisme pasar, tetapi juga melalui ranah politik. Jika
globalisasi ekonomi hadir melalui logika alokasi pasar yang diatur
dengan prinsip “insivible hands”, maka integrasi politik berlangsung
melalui hierarki politik yang dibentuk oleh aturan-aturan agregasi
kepentingan atau dalam bahasa Beyeler, “keputusan-keputusan politis
telah mengubah bentuk aliran barang lintas batas” (Kurniawan 2009).
Domain politik dari globalisasi ini menurut Khor (2002) adalah
globalisasi dalam kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan
nasional. Kebijakan nasional baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya,
maupun teknologi yang sebelumnya berada di bawah yurisdiksi
pemerintah dan masyarakat dalam suatu negara bergeser menjadi di
bawah kendali badan-badan internasional atau perusahaan swasta besar
serta pelaku ekonomi atau keuangan internasional. Negara bangsa
bukanlah
aktor yang efektif dalam pendistribusian kekayaan dan sumbersumber
ekonomi yang langka, demikian pembelaan kaum globalis (Winarno
2008). Sedikit banyak hal ini menyebabkan terjadinya erosi kedaulatan
nasional dan mempersempit kemampuan pemerintah nasional untuk
memilih berbagai piihan dalam kebijakan ekonomi, sosial, dan budaya.
Negara-negara sedang berkembang merasakan bagaimana
kemampuan mereka dalam membuat kebijakan nasional tergerus oleh
pengaruh globalisasi. Mereka harus mengadopsi kebijakan-kebijakan
yang dibuat oleh entitas lain, yang dalam hal tertentu dapat mengganggu
fokus perhatian negara tersebut. Akibat dari liberalisasi pasar dan
perkembangan teknologi, didukung oleh kekuasaan para pelaku ekonomi
dan spekulator besar yang tidak terdeteksi, semakin menyulitkan negara
sedang berkembang untuk mengontrol tingkat kurs dan aliran keluar
masuk uang dari negaranya (Khor 2002). Institusi-institusi internasional,
seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO makin dominan dan mengontrol
kebijakan negara, misalnya bantuan dan hibah akan diberikan kepada
pemerintah negara sedang berkembang dengan persyaratan tertentu,

24
seperti adanya kebijakan anti korupsi dan adanya jaminan terlaksananya
good governance di negara yang akan menerima bantuan.
Dalam hal perdagangan internasional, negara anggota WTO harus
mematuhi ketentuan yang telah disepakati. Jika negara anggota
melanggarnya, maka dapat mengakibatkan pengenaan sanksi
perdagangan atas barang-barang ekspor suatu negara melalui sistem
penyelesaian yang mekanisme penegakan hukumnya dikendalikan oleh
rezim WTO.
Negara-negara maju dalam percaturan global mengontrol proses dan
kebijakan badan-badan ekonomi internasional. Namun berkembang pula
bahwa perusahaan-perusahaan transnasional besar telah mengambil alih
sebagian besar pembuatan keputusan dalam produksi, alokasi, dan
pemasaran barang-barang dan jasa di dunia. Bahkan perusahaan-
perusahaan transnasional dan investasi modal global dapat mencari
wilayahwilayah yang menguntungkan dan menawarkan insentif yang
lebih baik daripada yang ditawarkan entitas negara.
Hal itu menandakan bahwa ada negara-negara yang diuntungkan
oleh proses globalisasi dan terdapat pula negaranegara yang dirugikan
oleh proses globalisasi. Globalisasi mengakibatkan terjadinya
pengkutuban antara sekelompok negara yang meraih keuntungan dan
sebagian besar negara yang mengalami kekalahan dalam persaingan dan
terpinggirkan karenanya. Hal ini diketahui karena sumber-sumber
investasi, pertumbuhan, dan teknologi modern terpusat di sebagian kecil
negara, yaitu di Amerika Utara, Eropa, Jepang, dan negara-negara
industri baru di Asia Timur.
Fenomena global yang ditandai oleh kekalahan sebagian besar
negara, yakni negara sedang berkembang, baik di Asia, Afrika, maupun
Amerika Latin menunjukkan bahwa hubungan eksploitatif antara negara
maju dan negara sedang berkembang makin diperkukuh oleh rezim
global. Dalam amatan Petras dan Henry Veltmeyer (2014), ekspansi
aliran modal dan perdagangan komoditas via hubungan yang tidak adil
pada saat ini merupakan kelanjutan dari hubungan imperialis pada masa
lalu. Dengan kata lain, apa yang dideskripsikan sebagai globalisasi pada
dasarnya merupakan pelanggengan masa lalu berdasarkan penguatan dan
perluasan hubungan kelas yang eksploitatif ke wilayahwilayah yang
sebelumnya di luar produksi kapitalis. Dalam lensa imperialisme,
perusahaan-perusahaan dan bank-bank multinasional serta negara-negara
25
penjajah menjadi kekuatan pendorong dari aliran modal dan
perdagangan komoditas internasional. Pendek kata, para pengambil
kebijakan di negaranegara penjajahlah yang menentukan kerangka
pertukaran global (Petras dan Henry Veltmeyer (2014).

26
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Materi pendidikan politik yang dapat digunakan oleh pendidik
politik adalah materi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kecakapan
warga negara, khususnya menumbuhkan kecakapan berpikir kritis dan
kesadaran kritis terhadap kehidupan bangsa dan negara. Materi yang
diperlukan untuk tujuan tersebut, yaitu negara, pemerintah, wakil rakyat,
partai politik dan demokrasi, hak asasi manusia, gender dan politik, serta
globalisasi.
Materi tentang negara, pemerintah, dan wakil rakyat harus diketahui
dan dipahami masyarakat agar mereka memiliki pengetahuan yang benar
tentang posisi dan peran yang dimainkan oleh negara, pemerintah, dan
wakil rakyat. Dengan pengetahuan yang benar tersebut, masyarakat
dapat berperanserta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, sekaligus juga memiliki kecintaan yang mendalam terhadap
bangsa dan negara.
Materi partai politik dan demokrasi penting karena pengetahuan tentang
hal ini akan meningkatkan wawasan masyarakat tentang pentingnya
partai politik sebagai sarana pengembangan kedaulatan rakyat dan
demokrasi yang berkualitas. Pengetahuan tersebut juga akan membawa
sikap positif terhadap partai politik yang peranannya benar-benar
memperjuangkan rakyat. Sikap positif tersebut berguna sebagai modal
bagi masyarakat untuk berpartisipasi politik dalam pembangunan bangsa
dan negara.
Materi hak asasi manusia (HAM) bagi warga negara sangat
dibutuhkan karena relasi antara negara dan rakyat acapkali menimbulkan
persoalan pelanggaran hak asasi manusia, seperti perampasan hak hidup,
perampasan hak miliki, dan lainnya. Dengan memahami materi HAM,
warga negara akan mengetahui hak asasi yang dimiliki dan jika ada
pelanggaran HAM, warga negara memiliki kecakapan untuk meminta
perlindungan akan hak asasinya.
Gender dan politik merupakan materi penting lainnya yang harus
dimiliki masyarakat dan warga negara Indonesia. Dominasi laki-laki
dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya di bidang politik,
29
memerlukan perjuangan panjang bagi kaum perempuan untuk
memperoleh hak politik. Materi ini diperlukan tidak hanya bagi WNI
laki-laki, tetapi juga perempuan, agar mereka memiliki pemahaman yang
komprehensif tentang peran yang dimainkan oleh laki-laki dan
perempuan dalam dunia sosial dan politik.
Perkembangan global memengaruhi kehidupan nasional baik dalam
aspek sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Kehidupan bangsa dan
negara tidak bisa steril dari pengaruh globalisasi, oleh karena itu warga
negara harus diberi materi tentang globalisasi agar mereka dapat
memainkan peran efektif dalam percaturan nasional dan global.

3.2 SARAN

Dalam membuat Materi Pendidikan Korupsi ini mungkin masih


terdapat kesalahan – kesalahan, sehingga kami mengaharapkan kritik
dari pembaca agar makalah yang kami buat ini menjadi lebih baik dan
lebih sempurna.

30
DAFTAR PUSTAKA

Handoyo, Eko dan Puji Lestari. 2017. Pendidikan Politik. Yogyakarta:


Pohon Cahaya.

31

Anda mungkin juga menyukai