Anda di halaman 1dari 66

Page 3 of 66

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT)


Tafsir Era Modern
Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA
66 hlm

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip


atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

Judul Buku
Tafsir Era Modern
Penulis
Ahmad Sarwat, Lc. MA
Editor
Fatih
Setting & Lay out
Fayyad & Fawwaz
Desain Cover
Faqih
Penerbit
Rumah Fiqih Publishing
Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan
Setiabudi Jakarta Selatan 12940
4

Daftar Isi

Daftar Isi ................................................................. 4

Muqaddimah : Tafsir Modern .................................... 7

A. Tafsir Ibnu Asyur................................................. 10


1. Tentang Penulis................................................ 10
2. Profil Tafsir ....................................................... 11
3. Metode Penafsiran........................................... 13
4. Langkah Teknis ................................................. 14
5. Contoh Penafsiran Ibnu ‘Asyur ......................... 15
6. Kelebihan dan KekuranganTafsir Karya Ibnu
‘Asyur ............................................................... 21
7. Kontribusi Tafsir Ibnu ‘Asyur dalam
Pengembangan Tafsir ...................................... 22
8. Kesimpulan ...................................................... 22

B. Tafsir Al-Maraghi ............................................... 24


1. Tentang Penulis................................................ 24
2. Profil Tafsir ....................................................... 25
3. Latar Belakang Penulisan Tafsir ........................ 26
4. Metode Penafsiran........................................... 28
a. Segi Sumber Tafsirnya .................................... 28
b. Segi Cara Penjelasannya................................. 30
c. Segi Keluasannya Penjelasannya .................... 30
d. Segi Sasaran dan Tertib Ayat yang Ditafsirkan30
e. Corak Penafsiran ............................................ 31
f. Sistematika Penafsiran .................................... 31
5

C. Tafsir Al-Munir Wahbah Az-Zuhailli ..................... 32


1. Tentang Penulis................................................ 32
2. Profil Tafsir ....................................................... 33
2. Metode (Manhaj) ............................................. 35
3. Corak Penafsiran .............................................. 37
4. Karakterestik Tafsir al-Munir ............................ 37
5. Keistimewaan Tafsir al-Munir........................... 38
6. Sumber-sumber Penulisan Tafsir al-Munir ....... 39

D. Tafsir Rawaiul Bayan.......................................... 41


1. Tentang Penulis................................................ 41
2. Tentang Kitab Tafsirnya.................................... 42

E. Shafwatut Tafasir ............................................... 47


1. Sumber Penafsiran ........................................... 48
2. Kaya Sambutan ................................................ 48
3. Metode Penyajian ............................................ 48

F. Tafsir Asy-Sya'rawi ............................................. 50


1. Tentang Penulis................................................ 50
2. Profil Tafsir ....................................................... 51
a. Sumber Tafsir Sya’rawi ................................... 52
b. Metode Tafsir ................................................. 52
c. Dari Segi Keluasan Penjelasan Tafsir .............. 53
3. Kelebihan dan Kekurngan ................................ 53
a. Keistimewaan tafsir al-Sya’rāwi...................... 53
b. Kekurangan tafsir al-Sya’rāwi ......................... 54

G. Tafsir Muhammad Abu Zahrah ............................ 56


1. Tentang Penulis................................................ 56
2. Profil Tafsir ....................................................... 57
3. Kelebihan dan kekurangannya ......................... 62
6

H. Asy-Syinqithi : Adhwaul Bayan ........................... 64


1. Tentang Penulis................................................ 64
2. Profil Tafsir ....................................................... 64
7

Muqaddimah : Tafsir Modern

Istilah tafsir modern sekedar penyebutan yang


mudah dan sederhana, untuk membedakannya
dengan kitab-kitab tafsir klasik yang ditulis para
ulama di masa lalu.
Keberadaan tafsir modern ini ini sebenarnya tidak
terlalu ketat dalam pembagian waktunya. Bisa saja
tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha bisa dimasukkan
ke dalam jajaran tafsir modern, meski pun penulis
cenderung tidak memasukkannya dengan beberapa
pertimbangan, yaitu biar tidak tercampur dengan
tulisan sebelumnya terkait dengan genre tafsir adabi
ijtima’i.
Setidaknya yang juga jadi pertimbangan penulis
bahwa tafsir Al-Manar sudah pernah membahas
kitab tersebut sebelumnya. Sehingga tidak perlu lagi
rasanya untuk diulang lagi di tulisan ini.
Sedangkan tafsir Ibnu Asyur justru dimasukkan
dalam tulisan ini, selain karena belum pernah
dibahas sebelumnya, juga masa hidup Ibnu Asyur
yang lebih mendekat ke zaman kita. Ibnu Asyur
memang dilahirkan pada tahun 1879 (1296 H),
namun usia beliau cukup panjang. Dalam catatan
sejarah beliau wafat pada di tahun 1973 (1393 H).
Salah satu ciri yang utama dari tafsir modern
adalah sistematikanya yang umumnya sudah jauh
8

lebih lengkap. Umumnya untuk setiap unsur


penafsiran, juga disematkan sub judul tersendiri,
sehingga memudahkan para pembaca untuk
menelaahnya.
Selain itu di dalam tafsir modern juga bisa
disebutkan banyak sekali rujukan kepada kitab-kitab
tafsir klasik yang pernah ditulis sebelumnya. Ini
adalah keuntungan kita membaca tafsir modern,
yaitu kita juga bisa sekaigus berkenalan dengan
kitab-kitab tafsir klasik.
Keuntungan yang lain dalam membaca tafsir
modern adalah bahasa yang cenderung lebih akrab
di telinga kita yang menguasai bahasa Arab modern.
Bahkan juga apabila penyusun tafsirnya memberi
contoh, maka contoh itu akan sangat dekat dengan
kehidupan kita. Sebab para penyusunnya banyak
yang masih hidup bersama kita beberap tahun yang
lalu.
Tentu saja yang tidak akan pernah kita temukan
di kitab-kitab tafsir klasik adalah foto wajah para
penulisnya. Kitab tafsir modern tentu saja bisa
mencantumkan foto penyusunnya. Meski pun tidak
terlalu penting, namun biar bagaimana pun foto diri
bisa membantu membangun hubungan lebih erat
antara penulis dan pembacanya.
Dalam tulisan ini, Penulis sengaja membatasi
hanya pada 8 kitab tafsir modern saja, di luar yang
berbahasa Indonesia, karena untuk tafsir modern
berbahasa Indonesia ada tulisan tersendiri.
Ketujuh kitab tafsir modern itu adalah :
1. Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir : Ibnu Asyur
9

2. Tafsir Al-Maraghi : Ahmad Mustafa Al-


Maraghi
3. Tafsir Tafsir Al-Munir : Wahbah Az-Zuhaili
4. Tafsir Rawai’ul Bayan : Muhammad Ali Ash-
Shabuni
5. Shafwatu At-Tafasir : Muhammad Ali Ash-
Shabuni
6. Tafsir Asy-Sya’rawi : Syeikh Mutawalli Asy-
Sya’rawi
7. Zahratu At-Tafasir : Syeikh Abu Zahrah
8. Adhwaul Bayan : Syeikh Amin Asy-Syinqithi
10

A. Tafsir Ibnu Asyur

1. Tentang Penulis

Nama lengkap beliau adalah Muḥammad al-


Thahir ibn Muḥammad ibn Muḥammad al-Thahir ibn
Asyur al-Tanisiy. Beliau lahir pada tahun 1879 masehi
bertepatan dengan 1296 hijriyah, dan wafat pada
tanggal 13 Rajab tahun 1973 masehi bertepatan
dengan tahun 1393 hijriyah di Tunisia.
Ibnu ‘Asyur termasuk ulama yang sangat
produktif. Terbukti dengan karya-karya yang beliau
11

tulis dari berbagai macam disiplin ilmu seperti tafsir,


maqasid al-Syarī’ah, fiqh, ushul fiqh, dan lain
sebagainya.
Beliau hidup sezaman dengan ulama ternama di
Mesir, Muḥammad al-Khadr Ḥusain al-Tunisiy yang
menempati kedudukan Masyayikhat al-Azhar (Imam
Besar al-Azhar). Pada akhirnya Muḥammad al-Khadr
ditakdirkan oleh Allah menjadi mufti Mesir,
sedangkan Ibnu ‘Asyur sendiri menjadi Syeikh Besar
Islam di Tunisia. Sebelum menjadi Syekh Besar,
beliau pernah mendapat kepercayaan menjadi
Qadhiy (hakim) di Tunisia yang kemudian diangkat
menjadi seorang penentu fatwa keagamaan (mufti)
di negara tersebut.1
2. Profil Tafsir

Kitab tafsir milik Ibn ‘Asyur bernama al-Taḥrīr wa


al-Tanwīr (Taḥrīr al-Ma’na al-Syadīd wa Tanwīr al-
‘Aql al-Jadīd fi Tafsīr al-Qur’an al-Majīd).
Secara tegas, Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa

1 Munī’ ibn ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmud, Manāhij al-Mufassirīn,


(Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣriy, 2000), hal. 333-334.
12

penulisan karyanya itu merupakan puncak


keinginannya untuk menulis sebuah karya tafsir yang
mengandung kemaslahatan dalam hal duniawi
maupun agama, serta mengandung sisi kebenaran
yang kuat, yang mencakup ilmu-ilmu secara
komperehensif, serta mengungkap sisi kebalaghahan
al-Qur’an untuk menjelaskan percikan ilmu dan
istinbat hukum darinya. Dan juga menjelaskan
akhlak-akhlak yang mulia darinya.
Ibnu ‘Asyur dalam menulis karyanya banyak
merujuk kitab-kitab tafsir klasik seperti al-Kasysyaf
karya al-Zamakhsyari, al-Muḥarrar al-Wajīz karya
Ibnu ‘Atiyyah, Mafatiḥ al-Ghaib karya Fakhruddin al-
Razi, Tafsīr al-Baidhawi, Tafsīr al-Alusiy, serta
komentar at-Thībiy’, al-Qazwiniy, al-Qutbh, dan at-
Taftazaniy terhadap al-Kasysyaf beserta kitab-kitab
tafsir lainnya.
Namun yang paling banyak ia kutip adalah kitab
al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, meskipun ia tidak
sepenuhnya sependapat dengan apa yang
dikemukakan Zamakhsyari dalam kitabnya. Oleh
karena itu, dalam kitab tafsir ini banyak dijumpai
penjelasan-penjelasan tafsir dari sisi linguistiknya
yang merujuk Tafsīr al-Kasysyaf.
Dalam pengantarnya, Ibnu ‘Asyur menyatakan,
“Dalam tafsir yang saya tulis ini, saya fokuskan pada
penjelasan tentang berbagai macam kemukjizatan
al-Qur’an serta mengungkap kelembutan sisi
balagahah bahasa Arab dan uslub-uslub
penggunaaannya. Dan juga saya menjelaskan
hubungan ketersambungan antara satu ayat dengan
yang lain.”
13

Selanjutnya, Ibnu ‘Asyur membagi


muqaddimahnya hingga panjang lebar ke dalam
sepuluh bagian. Secara keseluruhan pengantarnya
berisi tentang landasan pemikiran Ibnu ‘Asyur
tentang ilmu al-Qur’an. Kesepuluh muqaddimah
tersebut antara lain,
1. Muqaddimah pertama membahas Tafsīr dan
Ta’wīl,
2. muqaddimah kedua pembahasan tentang
ilmu bantu tafsir,
3. muqaddimah ketiga mengenai keabsahan
tafsir selain bi al-ma’tsur, sekaligus makna
tafsīr bi al-ra’yi,
4. muqaddimah keempat mengenai tujuan
tafsir,
5. muqaddimah kelima tentang asbab al-nuzul,
6. muqaddimah keenam tentang qira’at,
7. muqaddimah ketujuh mengenai kisah-kisah
dalam al-Qur’an,
8. muqaddimah kedelapan tentang sesuatu yang
berhubungan dengan nama-nama al-Qur’an
beserta ayat-ayat dan surat-suratnya serta
tartib surat,
9. muqaddimah kesembilan tentang makna
global al-Qur’an,
10. muqaddimah kesepuluh tentang i’jaz al-
Qur’an.
3. Metode Penafsiran
Tafsir Ibnu ‘Asyur ini, menggunakan metode
14

taḥliliy dengan kecenderungan tafsir bi al-ra’yi.


Dikatakan menggunakan metode taḥliliy karena Ibnu
‘Asyur dalam menulis tafsirnya menguraikan ayat
demi ayat sesuai dengan urutan yang tertera dalam
mushaf. kemudian ia menjelaskan kata per kata
dengan sangat detail mengenai makna kata,
kedudukan, uslub bahasa Arabnya serta aspek-aspek
lainnya yang sangat luas, misalnya ketika
menjelaskan lafaz (‫ )الحمد هلل‬dalam surat al-Fatihah, ia
menghabiskan empat belas halaman dengan
penjelasannya yang sangat rinci dan meluas.
Selanjutnya, dikatakan memiliki kecenderungan
tafsir bi al-ra’yi, karena Ibnu ‘Asyur dalam
menjelaskan uraian tafsirnya banyak menggunakan
logika, yakni logika kebahasaan. Selain itu, secara
eksplisit, ia mengatakan bahwa dalam menulis
tafsirnya, Ibnu ‘Asyur ingin mengungkap sisi
kebalagahan al- Qur’an. Sedangkan corak penafsiran
tafsir ini merupakan tafsir Adab al-Ijtima’i, yakni
karya tafsir yang mengungkap ketinggian bahasa al-
Qur’an serta mendialogkannya dengan realitas sosial
kemasyarakatan.
4. Langkah Teknis
Adapun metode teknis atau langkah-langkah
penulisan tafsir yang ditempuh oleh Ibnu ‘Asyur ini
dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Menjelaskan nama, jumlah, serta spesifikasi
makkiy-madaniy sebuah surat. Dalam menjelaskan
nama surat, Ibnu ‘Asyur biasanya merujuk pada
sebuah hadis, perkataan sahabat, tabiin, atau
beberapa mufassir klasik seperti al-Qurtubi, al-
15

Suyuthi, dan lain sebagainya. Misalnya ketika


menjelaskan surat nama surat al-Zumar, Ibnu
‘Asyur,mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Tirmizi dari ‘Aisyah.

ِّ‫ِّفَ َق ْد‬،‫ِّعلَْي مه َِّو َسلَّ َم‬ ‫ِّالزم مر مِّمن م م‬ ِّ‫م‬


َ ‫ِّصلَّىِّهللا‬ َ ‫ِّع ْهدِّالنمَِّبء‬ َ ْ َُّ ‫تِّس َورَة‬ ْ َ‫سُي‬
ِّ‫ِّعلَْي مه‬ ‫يِّعن م‬ ‫رو م م م‬
َ ‫ِّصلَّىِّهللا‬ َ ‫ِّ َكا َنِّالنمَِّب‬:‫ت‬ ْ َ‫ِّعائ َش َةِّ قَال‬
َ ْ َ ُّ ‫ىِّالّتمذ‬ ُْ َ َ
َِّ ‫ِّالزَمَر َِّوبَمِنِّإم ْسَرائم‬
. ‫يل‬
َ ‫َو َسلَّ َم ََِّلِّيَنَام‬
ُّ َ‫ِّح ََّّتِّيَ ْقَرأ‬
2. Menguraikan tujuan-tujuan al-Qur’an yang
terdapat dalam sebuah surat. Ibnu ‘Asyur, di setiap
awal penjelasan surat dalam tafsirnya menguraikan
tujuan-tujuan yang terkandung dalam sebuah surat
tersebut.
3. Mengemukakan asbab al-nuzul ayat. Setelah
menjelasakan nama surat dan hal-hal yang berkaitan
dengannya, Ibnu ‘Asyur, mengungkap asbab al-nuzul
untuk ayat-ayat yang memang memiliki asbab al-
nuzul. Dalam menjelaskan asbab al-nuzul ini, Ibnu
‘Asyur, adakalanya mengutip sebuah hadis dari Nabi
atau kisah yang disampaikan oleh para sahabat.
4. Menganalisis makna serta kedudukan kata
dalam bahasa Arab. Analisis kata per kata dan
menjelaskan ketinggian nilai bahasa al-Qur’an adalah
metode yang paling sering digunakan oleh Ibnu
‘Asyur, dalam tafsirnya. Bahkan di setiap
menjelaskan suatu ayat, Ibnu ‘Asyur, tidak lepas dari
analisis kata yang merupakan ciri khas dari tafsirnya.
5. Contoh Penafsiran Ibnu ‘Asyur
‫‪16‬‬

‫‪.‬‬ ‫ََيِّأَيُّ َهاِّالْم َّدثمُر‪ِّ،‬ق ْمِّفَأَنْ مذ ْرِّ‬

‫اص ٍةِّ‬ ‫ِِّف ٍ‬ ‫وديِّالنمَِّبءِّصلَّىِّهللاِّعلَي مهِّوسلَّمِّ بمو ِّ م م‬ ‫م‬


‫ِّخ َّ‬‫ِّحالَة َ‬ ‫صفه م َ‬ ‫َْ ََ َ َ ْ‬ ‫َ‬ ‫ن َ‬
‫نيِّ‬ ‫َّ‬‫َ‬ ‫ِّالسورمة‪ِّ.‬وم‬ ‫نيِّن ز م‬ ‫ِِّب م‬ ‫تَلَبَّس م‬
‫كِّبَْ َ‬‫اِّرأَىِّالْ َملَ َ‬ ‫َ‬ ‫م‬‫َّ‬ ‫ل‬
‫َ‬ ‫ِّ‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ِّ‬ ‫ي‬‫ه‬
‫َ َ َ‬ ‫ُّ‬ ‫ول‬ ‫َ‬ ‫اِّح‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ال‪ِّ:‬‬ ‫ضِّ فَ مر َقِّ مم ْنِّ رْؤيَتم مهِّ فَ َر َج َعِّ إم ََلِّ َخ مدجيَ َةِّ فَ َق َ‬ ‫الس َم ماءِّ َو ْاْل َْر م‬
‫َّ‬
‫‪ِّ:‬زمُمل موِنِّ فَ َدثمُر موِن ِّ‬
‫‪ِّ،‬‬ ‫ال َِّ‬ ‫‪ِّ:‬زمُمل موِن‪ ِّ،‬أ َْوِّ قَ َ‬ ‫ال َ‬ ‫ِّدثمُر موِن‪ ِّ،‬أ َْوِّ قَ َ‬
‫َدثُر موِن َ‬
‫م‬
‫م‬ ‫ف م م‬ ‫علَ م م‬
‫ت‪ِّ:‬‬ ‫اْلَ ْمعِّبَْي نَ َهاِّظَاهرِّفَ َدثََّرتْهِّفَنَ َزلَ ْ‬ ‫‪ِّ،‬و ْ‬
‫ِّالرَو َاَيت َ‬ ‫ىِّاخت ََل ُ‬ ‫َ ْ‬
‫‪َِّ:‬يِّ أَيُّ َهاِّالْمَّزمُملِّ‬
‫اَل َ‬ ‫ىِّعْن َدِّقَ ْولممهِّتَ َع َ‬
‫َيِّ أَيُّهاِّالْم َّدثمُر‪.‬وقَ ْدِّمض م‬
‫َ ََ‬ ‫َ َ‬
‫ِّه َذاِّالنمُ َد ماء مِّم َنِّالتَّ ْك مرَم مة َِّوالتَّلَطُّ مِّ‬
‫ف‪.‬‬
‫اِِّف َ‬ ‫[الْمَّزمُمل‪َ ِّ]۱ِّ:‬م م‬

‫َصلهِّ‬ ‫م‬ ‫اع ٍلِّ مم ْنِّ تَ َدثَّر‪ ِّ،‬إمذَاِّ لَبم‬


‫والْم َّدثمُر‪ ِّ:‬اسمِّ فَ م‬
‫سِّ ال ُد ََث َر‪ ِّ،‬فَأ ْ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫اِّوقَ َعِّ‬ ‫م‬ ‫َّالِّلمتَ َقارمِبم َم م‬
‫اِِّفِّالنُّطْقِّ َك َم َ‬
‫تِّالتَّاء مِِّفِّالد م‬ ‫الْمتَ َدثمُرِّأ ْد مغم م‬
‫َ‬
‫عى]‪. [13‬‬ ‫مِفِّفم ْع مل َّ‬
‫ِّاد َ‬
‫‪Penafsiran Ibnu ‘Asyur tentang surat al-‬‬
‫‪Muddatstsir ayat 1-2, Penafsiran beliau yaitu “Allah‬‬
‫‪memanggil Nabi Muḥammad dengan suatu sifat‬‬
‫‪yang khusus baginya yang berada di langit dan bumi,‬‬
‫‪kemudian malaikat merukyah Nabi, dan kemudian‬‬
‫‪Nabi pulang menemui Khajidah dengan gemetar dan‬‬
‫‪Nabi berkata: datsiruni-datsiruni, atau zammiluni.‬‬
‫‪Ada yang mengatakan zammiluni fadatstsiruni, pada‬‬
‫‪perbedaan riwayat yaitu panggilan yang mulia untuk‬‬
‫‪Nabi Muhammad SAW.‬‬
‫‪Al-mudatsir‬‬ ‫‪menjadi‬‬ ‫‪isim‬‬ ‫‪fa’il‬‬ ‫‪dari‬‬ ‫‪kata‬‬
17

tadatstsara yang berarti apabila memakai selimut.


Asal kata al-mudatsir adalah al-mutadatstsiru dengan
mengidzghamkan atau menghilangkan huruf ta’,
yang menunujukkan kedekatak antara huruf ta’ dan
huruf dzal, serta mempermudah dalam pengucapan
lafal.
Dalam penafsiran beliau pada surat Al-
Muddatstsir 1-2 yaitu beliau menyebutkan asbabun
nuzulnya sebelu menafsirkan ayat, kemudian
dilanjutkan dengan menjelaskan kata perkata yaitu
lafal ayat-ayat dalam surat tersebut secara panjang
lebar. Di dalam panafsirannya tersebut juga terdapat
munasabah surat, yakni surat al-Muddatstsir dengan
surat al-Muzzammil dimana awal kedua surat
tersebut terdapat nida’ yang ditujukan kepada Nabi
Muhammad saw.

ِّ‫ني‬ ‫ذلمكِّالْ مكتاب ََِّلِّريبِّفم ميهِّه م م‬


. َ ‫دىِّل ْلمتَّق‬
ً َ َْ َ
ِّ‫ىِّاْلَظْ َه مرِّتَكون‬ ْ َ‫ِّو َِّعل‬.‫ا‬ ‫اسم ْم‬
َ ‫كتاب)ِّخ ًََب‬
َ ْ‫ِّاْل َش َارةِّمْب تَدأِّوِّ(ال‬ ْ ‫َو‬
ٍ‫م‬ ‫م‬ ‫م‬
ِّ‫دأ‬
ِّ َ‫اْل َش َارةِّمْب ت‬ ‫اسمِّ ْم‬ ْ ‫اْل َش َارةِّإم ََلِّالْق ْرآنِّالْ َم ْعروفِّلَ َديْ مه ْمِّيَ ْوَمئذ َِّو‬‫ْم‬
ِّ)
ِّ ‫اب‬ ‫اْل َشارةِّ إم ََلِّ(الْ مكتَ م‬ ‫م‬
َ ْ َ‫ِّ ف‬،‫ِّماِّبَ ْع َده‬ َ ‫لِّو َخ ََبه‬
َ ‫وِّ(الْكتاب)ِّبَ َد‬
ِّ‫َنِّك َّل‬ َّ ‫ِّعِّلَىِّس َورمةِّالْبَ َقَرمة مِّْل‬ ‫م‬
َ ‫ِّالس َورِّالْمتَ َق ُد َمة‬ُّ ‫النَّا مزمل مِِّبلْ مف ْع مل َِّومه َي‬
‫ِِّبَنَّهِّالْقرآنِّوي ْن م م‬ ‫م‬ ‫م‬
ِّ‫ِّم ِّا‬
َ ‫ض ُّمِّإلَْيه‬ َ َ َ ْ ‫ِّعْنه م‬ َ ‫َماِّنََزْلِّم َنِّالْق ْرآنِّفَه َوِّالْم َع ََّب‬
ًِّ‫ِّح مقي َقة‬ ‫م م‬
َ ‫ىِّه َذاِّالْ َو ْجهِّأطْل َق‬ َ َ‫)ِّعل‬
‫م‬
َ ‫ِّفَيَكونِّ(الْكتَاب‬،‫يَ ْل َحقِّ بمه‬
‫م‬
ِّ‫ىِّه َذاِّالْ َو ْج مه‬
َ َ‫)ِّعل‬ َ ‫اب‬ ‫ِّويكونِّقَِّولهِّ(الْ مكتَ م‬،‫َعلَىِّماِّكتمب مِِّبلْ مف ْع مل‬
ْ ََ َ َ
‫‪18‬‬

‫ِّاْل َشارةِّ إم ََل َم‬ ‫م‬ ‫ِّاس م ْم م‬


‫َِّجي معِّ‬ ‫‪ِّ،‬وَجيوزِّ أَ ْنِّ تَكو َن ْ َ‬ ‫ِّاْل َش َارة َ‬ ‫اِّع من ْ‬
‫َخ ًََب َ‬
‫اضرِّ‬‫َنِّن زولَهِّمّتقَّبِّفَهوِّح م‬
‫َ َ‬ ‫ََ‬ ‫اِّسيَ ْن مزل مِّْل َّ‬
‫ِّوَم َ‬
‫م‬
‫ِّماِّنََزَلِّمْنه َ‬
‫م‬
‫الْق ْرآن َ‬
‫ِِّفِّالْعميَا َن‪ ِّ،‬فَالت َّْع مريفِّفم ميهِّلمْل َع ْه مدِّ‬
‫اض مر م ِّ‬ ‫ِِّب ْْل م‬ ‫مِف ْ م‬
‫ِّاْلَ ْذ َهانِّ فَ َشبَّهَ م َ‬
‫م‬ ‫مم م‬ ‫يِّ و ْم‬ ‫م‬
‫يِّ فَيَكونِّ قَ ْولهِّ‬ ‫اْل َش َارةِّ إلَْيهِّ ل ْلحضومرِّ التَّ ْقدي مر مُ‬ ‫التَّ ْقدي مر مُ َ‬
‫بِّ‬ ‫ي‬‫ِّر‬ ‫َِّل‬
‫َ‬ ‫و‬ ‫ِّه‬ ‫َب‬ ‫اْل‬
‫ْ‬ ‫ِّو‬ ‫ك‬ ‫ِّمنِّذلم‬ ‫اًن م‬
‫ً‬ ‫ي‬ ‫ِّب‬ ‫َو‬ ‫أ‬ ‫ِّ‬ ‫َل‬
‫ً‬ ‫د‬
‫َ‬ ‫ِّب‬ ‫)ِّحينئم ٍ‬
‫ذ‬ ‫(الْ مكتَاب م‬
‫ْ‬
‫َ َ َ‬ ‫َ‬‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫فم مِّ‬
‫يه ‪.‬‬

‫‪Penafsiran Ibnu ‘Asyur dalam awal surat al-‬‬


‫‪Baqarah dijelaskan secara panjang lebar tentang lafal‬‬
‫‪al-kitab. Pada penafsiran tersebut dijelaskan isim‬‬
‫‪) menjadi mubtada’ sedangkan khabarnya‬ذلِك( ‪isyarah‬‬
‫‪adalah lafal al-kitab dan setrusnya lafal al-kitab‬‬
‫‪dijelaskan secara panjang lebar baik dari segi bahasa‬‬
‫‪maupun sastra yang menjadi ciri khas tafsirnya.‬‬

‫ِّاْلمْن مزي مرِّوماِّأ مه َّلِّبممهِّلمغَ مْي َّم‬ ‫م‬


‫ِّاَّللِّ‬ ‫ْ‬ ‫َّم َِّو َْلْ َم ْ َ َ‬ ‫ِّعلَْيكمِّالْ َمْي تَ َة َِّوالد َ‬ ‫إََّّنَ َ‬
‫اِّحَّرَم َ‬
‫ِّاَّللِّ َغفِّورِّرم‬ ‫ِّع ٍادِّفَ ََلِّإم ْْثَ َ م م‬ ‫فَ َم من ْ‬
‫حيم ‪.‬‬
‫َ‬ ‫ِّعلَْيهِّإ َّن ََّ‬ ‫ِّاضطَّرِّ َغ ْ َْي َِِّب ٍغ َِّوََل َ‬
‫م م م ٍ م مم‬ ‫م‬ ‫م‬
‫َوأ ََّماِّ ج ْلدِّ الْ َمْي تَةِّ فَلَهِّ شْبهِّ م ْنِّ ج َهةِّ ظَاه مرمهِّ َكشْبهِّ الش ْ‬
‫َّع مرِّ‬
‫ِّه َذيْ منِّ‬ ‫ض َ‬‫‪ِّ،‬ولمتَ َعار م‬ ‫ِّجه مة م م م م م‬
‫ِِّبطنهِّ َكشْبهِّاللَّ ْحم َ‬
‫وف م م‬
‫‪ِّ،‬وم ْن َ َ‬ ‫َ‬
‫الص م‬ ‫َو ُّ‬
‫ِِّب ْل مدِّالْ َمْي تَ مةِّ(‪ِِّّ )۱‬إم َذاِِّّ‬ ‫ِِّف م‬
‫ِّاَلنْتم َف ماع مم‬ ‫فِّالْف َق َهاء م‬‫ِّاختَ لَ َ‬
‫ني ْ‬ ‫مُ‬
‫الشْب َه ْ م‬
‫ِّج ْلدِّالْمْي تَ مة م‬ ‫‪َِّ:‬لِّيطْهر م‬ ‫دبم َغِّفَ َق َ‬
‫‪ِّ،‬‬
‫ِِّبلدَّبْ مغ ِّ‬ ‫َ‬ ‫نِّحْن بَ ٍل َ َ‬ ‫َْحَدِّابْ َ‬ ‫الِّ أ ْ‬
‫ِّاْلمْن مزي مرِّ‬ ‫ِِّبلدَّب مغِّماِّع َد م‬ ‫مم‬ ‫الِّأَب م‬
‫اِّج ْل َد ْ‬ ‫وِّحني َف َة َِّوالشَّافع ُّي‪ِّ:‬يَطْهر م ْ َ َ‬ ‫َ‬ ‫َوقَ َ‬
‫َْلَ َِّقِِّّالشَّافمعم ُّيِّ‬
‫ي‪َ ِّ،‬وأ ْ‬ ‫بِّ َه َذاِّ إم ََلِّ ُّ‬
‫الزْه مر مُ‬
‫م م‬ ‫م‬
‫ْلَنَّهِّ ُمََّرمِّ الْ َع ْني‪َ ِّ،‬ونس َ‬
19

ِّ‫اْلمْل مد‬ ‫الِّمالمكِّ يطْهرِّ ظَ م‬


ْ ِّ‫اهر‬ َ َ َ َ‫ِّ َوق‬،‫ِّاْلْن مزي مر‬
‫بِّ ممِب ْل مد ْم‬ ‫مج ْل َدِّ الْ َكْل م‬
ِّ‫اِِّب مطنهِّفَ ََل‬ ‫صْيِّص ْلب َ م‬ ‫مِبلدَّب مغ مِّْلَنَّهِّي م‬
َ ‫ِّوأ ََّم‬، َ ‫ِّماِّجيَا موره‬ َ ‫اَِّلِّي َداخله‬ ً َ ْ
‫ِّجِّْل مدِّالْ َمْي تَ مةِّالْ َم ْدب م‬
ِّ‫وغ‬ ‫ِّجيوزِّاستمعمال م‬: َ ‫ال‬
َ ‫ق‬
َِّ ‫ك‬ ‫يطْهر مِِّبلدَّب مغِّولم َذلم‬
َ ْ ْ َ َ ْ َ
‫ِّومنَعِّ أَ ْنِّيصلَّىِّ بممهِّ أَو م‬،‫ض معِّالْم ماءِّفم ميه‬ ‫م‬
ِّ‫ِّوقَ ْول‬،
َ ‫ِّعلَْيه‬ َ ْ َ َ ََ َ ْ ‫ِّو‬ َ ‫مِفِّ َغ ْْي‬
ِّ‫ِّعلَْي مه‬ ‫ِّالص مح م‬ ‫أمَِبِّحنمي َف َةِّأَرجحِّلمْلح مد م‬
َ ‫ِّصلَّىِّهللا‬ َ َ‫َنِّالنمَِّبء‬ َّ ‫يحِّأ‬ َّ ‫يث‬ َ َْ َ
‫مم‬ ‫وسلَّمِّرأَىِّشا ًةِّمي ت ًةِّ َكانَ م‬
ِّ‫ِّ«ه ََّل‬
َ ‫ال‬ َ ‫نيِّفَ َق‬ َ ‫تِّل َمْيمونََةِّأِّمُمِّالْم ْؤمن‬ ْ ََْ َ َ َ َ َ
»‫ه‬ ِّ‫َخ ْذ ُْتِّإم َه َاِبَاِّفَ َدبَ ْغتموهِّفَانْتَ َف ْعت ْمِّبمم‬
َ‫أ‬
Ibnu ‘Asyur dinilai sebagai ulama yang objektif.
Meskipun ia menganut mazhab Maliki, ia tetap
menekankan budaya objektivitas dalam karyanya.
Sebagaimana diungkap di awal bahwa salah satu
ciri penafsiran kontemporer adalah penafsiran non-
sektarian atau dengan kata lain seorang penafsir
tidak boleh terjebak dalam kungkungan mazhab atau
kelompok tertentu. Ibnu ‘Asyur meskipun
bermazhab Maliki, ia tetap berusaha objektif dalam
karya tafsirnya.
Barangkali inilah salah satu kontribusi Ibnu ‘Asyur
dalam pengembangan tafsir, bahwa seseorang
penafsir sah-sah saja menganut suatu mazhab
asalkan mengetahui dalil-dalil dari suatu hukum atau
suatu pandangan dari mazhab yang dianutnya serta
selalu melakukan penelitian ulang dan memilih
pendapat yang paling benar berdasarkan dalil-dalil
yang ada.
Salah satu sikap objektif yang ditunjukkan oleh
20

Ibnu ‘Asyur dalam karya tafsirnya adalah ketika


beliau mentarjiḥ (mengunggulkan) mazhab yang
berseberangann dengan mazhabnya sendiri.
Contohnya adalah ketika beliau menjelaskan kata
(‫ ) ْالميْتة‬dalam surat al-Baqarah ayat 173 di atas, setelah
menjelaskan keharaman memakai bangkai binatang,
Ibnu ‘Asyur masuk kepada penjelasan penggunaan
kulit binatang. Ibnu ‘Asyur menguraikan pendapat
keempat Imam mazhab yakni Hanbali, Syafi’iy, Hanafi
dan Maliki.
Imam Aḥmad ibn Hanbal mengatakan bahwa
kulit bangkai binatang tidak bisa suci meskipun
disamak (dibersihkan dengan bahan pekat seperti
daun pohon ara).
Imam Syafi’iy mengatakan bahwa kulit binatang
bisa suci apabila dibersihkan (disamak) kecuali kulit
babi dan anjing. Sedangkan Imam Abu Hanīfah
mengatakan bahwa kulit bangkai itu bisa suci asal
dibersihkan (disamak) kecuali daging babi. Pendapat
Imam Abu Ḥanīfah ini disandarkan kepada sebuah
hadis dari al-Zuhriy sedangkan yang lain tidak ada
sandaran hadisnya.
Di akhir penjelasannya, Ibnu ‘Asyur mengatakan
bahwa pendapat yang paling kuat dari keempat
mazhab tersebut adalah pendapat Imam Abu
Ḥanīfah karena disandarkan kepada sebuah riwayat
hadis. Sedangkan pendapat yang lain tidak ada dalil
hadisnya, termasuk Imam Maliki yang notabene
dianut oleh Ibnu ‘Asyur.
Dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa Ibnu
‘Asyur dengan karya tafsirnya memberikan andil
21

yang cukup signifikan dalam hal objektifitas


menafsirkan al-Qur’an. Jadi untuk bersikap objektif,
seorang mufassir tidak perlu meninggalkan mazhab
yang dianutnya akan tetapi sikap objektif itu bisa
dicapai dengan ilmu yang memadai serta tekad yang
kuat untuk mengungkap kebenaran al-Qur’an
sebagaimana tercermin dari sikap Ibnu ‘Asyur dalam
tafsirnya.
6. Kelebihan dan KekuranganTafsir Karya Ibnu
‘Asyur
Di antara kelebihan Kitab Tafsīr al-Taḥrīr wa al-
Tanwīr adalah bahasan dari kata-kata al-Qur’an yang
sangat luas dan terperinci. Pembahasan di dalamnya
disesuaikan dengan pokok bahasan yang ada dalam
al-Qur’an. Apabila ayat tersebut berhubungan
dengan ilmu fiqih, maka Ibnu ‘Asyur menjelaskan
permasalahan fiqih beserta perbincangan ulama
mengenainya.
Ibnu ‘Asyur dalam membahas masalah fiqih
biasanya menguraikan semua pendapat ulama’ dan
kemudian memilih yang paling kuat berdasarkan dalil
yang ia ajukan. Selain itu, tafsir ini memiliki kelebihan
dalam hal pembahasan tentang keindahan susunan
bahasa al-Qur’an.
Ibnu ‘Asyur juga seringkali mengaitkan
bahasannya dengan masalah akhlak. Hal ini
menjadikan tafsir ini sebagai pedoman bagi manusia
dalam berakhlak baik dengan Tuhan, manusia, serta
makhluk hidup di sekitar kita.
Sedangkan kekurangan dari karya tafsir ini sama
dengan karya tafsir dengan metode taḥliliy lainnya,
22

yakni terkesan bertele-tele. Penjelasannya terlalu


melebar sehingga poin yang ingin disampaikan
kadang sulit ditangkap.
Kitab ini sangat cocok untuk kalangan yang sudah
memiliki ilmu pengetahuan yang cukup memadai
untuk keperluan akademis. Untuk masyarakat awam,
kitab ini akan terasa sulit dipahami dan tidak praktis
karena penjelasannya terlalu luas.
Kekurangan lain dari tafsir karya Ibnu ‘Asyur
adalah banyak kutipan-kutipan hadis yang tidak
disertai dengan penyebutan kualitas hadis sehingga
hadis-hadis yang dijadikan rujukan masih perlu
dilihat kembali apakah hadis tersebut berkedudukan
shaḥīḥ atau dla’īf dan lain sebagainya.
7. Kontribusi Tafsir Ibnu ‘Asyur dalam
Pengembangan Tafsir
Jika ditilik dari perkembangan tafsir di era
kontemporer, karya tafsir Ibnu ‘Asyur ini tidak bisa
dipandang sebelah mata. Dengan gayanya yang khas,
tafsir ini telah menyumbangkan beberapa pemikiran
yang cukup inovatif.
Sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Mustaqim
dalam karyanya Epistemologi Tafsir Kontemporer,
bahwa paradigma tafsir kontemporer meniscayakan
kritisisme, objektivitas, dan keterbukaan bahwa
produk penafsiran itu tidaklah kebal dari kritik.
8. Kesimpulan
Kitab tafsir Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr
merupakan tafsir kontemporer yang dikarang oleh
Muḥammad al-Thahir ibn Muḥammad ibn
23

Muḥammad al-Thahir ibn ‘Asyur al-Tunisiy. Beliau


merupakan seorang ulama di Tunisia.
Metode penafsiran yang digunakan Ibnu ‘Asyur
dalam kitab tafsir Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr adalah
metode taḥliliy karena ibnu ‘Asyur dalam
menafsirkan ayat al-Qur’an secara terperinci dimulai
dari ayat pertama (al-Fatiḥah) sampai akhir sesuai
urutan musḥafi.
Corak penafsiran dalam kitab tafsir ini adalah
dengan tafsir bi al-ra’yi yaitu dengan menggunakan
aspek kebahasaan. Walaupun demikian beliau juga,
menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dengan
Hadits, perkataan sahabat pandangan ulama, dan ke
semua itu adalah untuk menjadi pendukung
pendapat mufassir.
Sedangkan pendekatan yang beliau gunakan
adalah adabi atau sastra, karena beliau lebih banyak
menjelaskan kajian kebahasaan yaitu gramatikal dan
sastra, beliau juga lebih menjelaskan kata perkata
dalam lafazh Al-Qur’an dan mengungkapkan makna-
makna suatu mufradat dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
24

B. Tafsir Al-Maraghi

1. Tentang Penulis

Nama lengkap al-Maraghi adalah Ahmad Mustafā


bin Mustafā bin Muḥammad bin ‘Abd al-Mun’im al-
Maraghi. 1 Kadang-kadang nama tersebut
diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi
Aḥmad Mustafā al-Maraghi Beik. Al-Maraghi lahir di
kota Marāghah, propinsi Suhaj – sebuah kota
kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 KM di
sebelah selatan kota Kairo— pada tahun 1300
H/1883 M.
Nama Kota kelahirannya inilah yang kemudian
melekat dan menjadi nama belakang (nisbah) bagi
dirinya, ini berarti nama al-Maraghi bukan monopoli
bagi dirinya dan keluarganya saja.
25

Ahmad Mustafā al-Maraghi merupakan murid


dari dua Ulama besar yang terkenal dengan
pandangan pembaharuan yaitu Muhammad Abduh
dan Muhammad Rasyid Riḍa.
Pada tahun 1897 M, al-Maraghi menempuh
kuliah di dua Universitas sekaligus, Universitas al-
Azhar dan Universitas Darul Ulum, keduanya terletak
di Kairo. Berkat kecerdasan yang luar biasa itulah ia
mampu menyelesaikan pendidikan di dua universitas
itu pada tahun yang sama, yaitu 1909 M.
Dari dua universitas itu Al-Maraghi menyerap
ilmu dari beberapa ulama kenamaan seperti
Muhammad Abduh, Muhammad Bukhait al-Muţi’i,
Ahmad Rifa’I al-Fayumi dan Husain al-Adawi.Mereka
memiliki andil besar dalam membentuk bangunan
intelektualitas al-Maraghi lulus dari dua Universitas
itu, al-Maraghi mengabdikan diri sebagai guru di
beberapa Madrasah.
Tak lama setelah itu, ia diangkat sebagai Direktur
Madrasah Muallimin di Fayum. Kemudian pada
tahun 1916-1920 M, ia didaulat menjadi dosen tamu
di Fakultas Filial Universitas al- Azhar, di Khartoum,
Sudan. Al-Maraghi menetap di Hilwan, sebuah kota
satelit yang terletak sekitar 25 km sebelah selatan
kota Kairo, hingga meninggal dunia pada usia 69
tahun (1371H - 1952 M). Atas jasa-jasanya, namanya
diabadikan sebagai nama salah satu jalan di kota
tersebut.
2. Profil Tafsir
Tafsir al-Maraghi adalah salah satu dari karya-
karya al-Maraghi yang fenomenal. Karyanya itu
26

menjadi salah satu kitab tafsir modern yang


berorientasi sosial, budaya, dan kemasyarakatan.

Sebuah penafsiran yang menitik-beratkan


penjelasan al-Qur’an pada segi-segi ketelitian
redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan
ayatnya untuk memberikan kepada suatu petunjuk
dalam kehidupan, kemudian merangkaikan
pengertian ayat dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat dan perkembangan dunia.
Banyak ahli tafsir yang melihat percikan-percikan
Tafsir al-Manar yang disusun oleh dua ulama besar
awal abad dua puluh tersebut dalam Tafsir al-
Maraghi, terutama dari sisi modernitas
pemikirannya, yakni yang menghubungkan ajaran-
ajaran agama dengan kehidupan modern, dan
membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak
bertentangan dengan peradaban, kehidupan
modern serta apa yang bernama kemajuan.
3. Latar Belakang Penulisan Tafsir
Tafsir al-Maraghi merupakan karya besar dari
hasil jerih payah dan keuletan sang penulis dalam
27

menyusunnya selama kurang lebih 10 tahun, yakni


dari tahun 1940-1950 M. Tafsir al-Maraghi pertama
kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo, Mesir.
Latar belakang penulisan Tafsiral-Maraghi adalah
karena terdapat beberapa pertanyaan yang
dilontarkan kepada al-Maraghi mengenai kitab tafsir
apa yang mudah dipahami, bermanfaat bagi
pembaca dan dapat dipelajari dalam waktu singkat.
Hal tersebut disebabkan masyarakat masih sulit
dalam mempelajari al-Qur’an, sementara kitab-kitab
tafsir yang sudah ada masih sulit dipahami oleh
masyarakat umum. Selain itu, kitab-kitab tafsir juga
dibumbuhi dengan cerita-cerita yang bertentangan
dengan fakta dan kebenaran.
Namun al- Maraghi menjelaskan bahwa ada juga
kitab tafsir yang dilengkapi dengan analisa ilmiah,
selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan
saat ini. Berdasarkan persoalan tersebut al-Maraghi
merasa terpanggil untuk menulis sebuah kitab tafsir
yang sistematis, mudah dipahami dan menggunakan
bahasa yang sederhana dan efektif.
Menurut sebuah sumber, ketika al-Maraghi
menulis tafsirnya, dia hanya beristirahat selama
empat jam sehari. Dalam 20 jam yang tersisa, dia
menggunakannya untuk mengajar dan menulis.
Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir
kira-kira pukul 03.00, al-Maraghi memulai
aktivitasnya dengan shalat tahajud dan hajat.Dia
memanjatkan do’a untuk memohon petunjuk Allah.
Setelah menjalankan Qiyam al-Lail, dia kemudian
menulis tafsir, ayat demi ayat.Pekerjaan itu
diistirahatkan ketika berangkat kerja.
28

Pulang kerja, dia tidak langsung melepas lelah


sebagaimana orang lain. aktivitas tulis-menulisnya
yang terhenti, dilanjutkan. Kadang-kadang sampai
jauh malam.
4. Metode Penafsiran
a. Segi Sumber Tafsirnya
Dari segi sumber penafasirannya, metode yang
digunakan oleh al- Maraghi untuk menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an dalam tafsirnya ialah dengan
menggabungkan antara metodebil Ma’thur dan
metodebi Ra’yi atau disebut juga dengan metode bil
Iqtirani.
Menurut al-Maraghi di zaman yang maju seperti
sekarang ini sudah tidak mungkin lagi menafsirkan al-
Qur’an dengan menggunakan bil Ma’thur saja.
Sebab, sungguh tidak mungkin menyusun tafsir
dengan hanya mengandalkan riwayat semata. Selain
karena jumlah riwayat yang sangat terbatas juga
karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan
penjelasan yang semakin komprehensif seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan modern yang
cukup cepat.
Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan
mengandalkan akal semata juga tidak mungkin,
karena dikhawatirkan rentan akan penyimpangan-
penyimpangan, sehingga tafsir itu justru tidak dapat
diterima. Karena al-Qur’an tidak dapat dipahami
dengan akal semata, tentu harus ada sunnah dan
riwayat shahih yang dapat menjembatani dan
mengarahkannya.
Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Maraghi tidak
29

menjelaskan secara jelas mengenai sumber


penafsiran yang dijadikan rujukannya. Namun
Muhammad Husain al-Dhahabi menyatakan dalam
kitabnya, al-Tafsir wa al-Mufassirun, bahwa al-
Maraghi menafsirkan ayat al-Qur’an berdasarkan
ayat al-Qur’an yang memiliki tema yang sama,
bersandar pada hadis Rasulullah Saw., pemikiran
Salaf al-Salih dari para sahabat dan tabi’in kemudian
berdasarkan para mufassir pendahulunya. Ia juga
menggunakan akal dan meletakkan semua di atas
dengan pertimbangan akal pemikirannya.
Sebagaimana contoh dalam QS. al-Hujurat: 9.
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan
antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil”.

Al-Maraghi menjelaskan keadilan dari ayat di atas


dengan memperkuatnya dengan hadis di bawah ini:
Dari Muhammad bin ‘Abd al-Raḥīm dari Sa’īd bin
Sulaiman dari Husyaim, mengabarkan Ubaidillah bin
Abi Bakr dari Anas ra berkata. Rasulullah Saw.
bersabda: “tolonglah saudaramu ketika berbuat
aniaya dan dianiaya.” Seseorang berkata “Ya
Rasulullah, orang ini saya tolong ketika
teraniaya.Maka bagaimanakah aku harus menolong
dia ketika berbuat aniaya.” Rasulullah bersabda:
30

“kamu mencegah dia berbuat aniaya, maka itulah


caramu menolong dia”.

b. Segi Cara Penjelasannya


Dari segi cara penjelasannya metode yang
digunakan oleh al-Maraghi dalam tafsirnya adalah
Muqarin. Dalam menafsirkan ayat beliau seringkali
mengemukakan penafsiran yang dikemukakan oleh
ulama mengenai lafadz atau ayat, yang terkadang
menguatkan salah satu dari pendapat tersebut.
Adapun tafsir-tafsir yang dijadikan sumber
rujukan penafsiran Tafsir al-Maraghi, sebagaimana
telah disebutkan sendiri oleh beliau di dalam
muqaddimah-nya, di antaranya ialah; Tafsir al-
Tabari, Tafsir al-Kashaf al- Zamakhshari, Anwar al-
Tanzil wa Asrar al-Ta’wil al-Baidowi, Mafatih al- Ghaib
al-Razi, a-Bahr al-Muhit, Tafsir Abi Muslim al-
Asfahani, Tafsir al- Manar, Tafsir al-Jawahir, dan lain-
lain.
c. Segi Keluasannya Penjelasannya
Dari segi keluasan penjelasannya Al-Maraghi
menggunakan metode Itnabi Tafsili. Yakni, dengan
caramenafsirkan ayat al-Qur’an secara mendetail
rinci, dengan uraian-uraian yang panjang lebar,
sehingga cukup jelas dan terang
d. Segi Sasaran dan Tertib Ayat yang Ditafsirkan
Sedangkan dari segi sasaran dan tertib ayatnya,
al-Maraghi menggunakan metodebi al-Tahlili. Yakni
dengan mendeskripsikan dan menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an yang mengikuti tata tertib dan urutan ayat-
ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat
31

al-Fatihah hingga akhir surat an-Nass.


e. Corak Penafsiran
Dari aspek kecenderungan atau corak yang paling
dominan al- Maraghi memeberikan warna tafsirnya
dengan al-Adabi al-Ijtima’i. M. Quraish Shihab
menyatakan bahwa al-Maraghi dalam penafsiran al-
Qur’an mengikuti corak yang digagas oleh
Muhammad Abduh yaitu al-Adabī alIjtimā’ī.
f. Sistematika Penafsiran
Berbeda dengan tafsir salaf yang sistematika
penulisannya relatif sederhana, meski
pembahasannya sangat mendalam, al-Maraghi
menyusun tafsirnya dengan sistematika yang lebih
bercorak.
Sistematika dan langkah-langkah penulisan yang
digunakan di dalam Tafsir al-Maraghi dijelaskan
beliau sendiri dalam muqaddimah tafsirnya. Di
antaranya ialah sebagai berikut ini:
▪ Menghadirkan satu, dua, atau sekelompok
ayat yang akan ditafsirkan. - Penjelasan kosa
kata yang sulit (Sharh al-Mufradat).
▪ Penjelasan ayat sacara umum (Ma’na al-
Ijmali).
▪ Penjabaran ayat secara rinci (Tafsili)
32

C. Tafsir Al-Munir Wahbah Az-Zuhailli

1. Tentang Penulis

Wahbah al-Zuhaili dilahirkan pada tahun 1932 M,


bertempat di Dair ‘Atiyah kecamatan Faiha, propinsi
Damaskus Suriah.
Wahbah Zuhaili adalah seorang tokoh di dunia
pengetahuan, selain terkenal di bidang tafsir beliau
juga seorang ahli fiqih dan juga ilmu ushul fiqih
sekaligus. Hampir dari seluruh waktunya semata-
mata hanya difokuskan untuk mengembangkan
bidang keilmuan.
Beliau adalah ulama yang hidup di abad ke -20
yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainya, seperti
Thahir Ibnu Asyur, Muhammad Abu Zahrah, Saiful
33

Amin Ghofur, Mahmud Syaltut, dan lainnya.


Menyelesaikan studi doktornya di Universitas al-
Azhar Kairo hingga tahun 1963 beliau menjadi doktor
dengan disertasinya yang berjudul Atsar al-Harb fī al-
Fiqh al-Islāmi. (‫)آثار الحرب في الفقه اإلسالمي‬
2. Profil Tafsir

Kitab ini merupakan karya terbesar dari Wahbah


al-Zuhaili dalam bidang ilmu tafsir. Sebagaimana kita
ketahui, bahwa selain dari kitab Tafsir al-Munir karya
beliau yang lain adalah Tafsir al-Wajiz dan Tafsir al-
Wasit. 2
Tafsīr al-Munīr ditulis setelah pengarangnya
menyelesaikan penulisan dua kitab fiqh, yaitu Ushūl
Fiqh al-Islāmi (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islāmī wa
Adillatuhu (8 Jilid), dengan rentang waktu selama 16
tahun. Setelah menyelesaikan kedua judul itu,
barulah kemudian beliau menulis kitab Tafsīr al-
Munīr. Pertama kali diterbitkan oleh Dār al-Fikri
Beirut Libanon dan Dār al-Fikr Damaskus Syiria
dengan berjumlah 16 jilid bertepatan pada tahun

2 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Wasīṯ; Muqaddimah Tafsīr al-


Wasīṯ (Damsik: Dār al-Fikr, 2006),hlm. 67 Ibid, hlm. 6-7
34

1991 M/1411 H.
Karya ini sedemikian populernya sehingga
diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Turki,
Malaysia dan Indonesia. Yang di negeri kita
diterbitkan oleh Gema Insani Jakarta 2013 yang
terdiri dari 15 jilid.
Dibandingkan dengan kedua Tafsīr al-Wajīz dan
Tafsir al –Wasīṯ, maka Tafsīr al-Munīr ini lebih
lengkap pembahasannya, yakni mengkaji ayat-
ayatnya secara komprehensif, lengkap dan
mencakup berbagai aspek yang dibutuhkan oleh
masyarakat atau pembaca.
Karena, dalam pembahasannya Beliau
mencantumkan banyak unsur dalam penafsiran,
seperti asbāb al-Nuzūl, Balāghah, I’rāb serta fiqhul
hayah dan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya.
Dan dalam penggunaan riwayatnya beliau
mengelompokkan antara yang tafsir bil-ma’tsur
dengan tafsir bir-ra’yi. Sehingga penjelasan
mengenai ayat-ayatnya selaras dan sesuai dengan
penjelasan riwayat-riwayat yang sahih, serta tidak
mengabaikan penguasaan ilmu-ilmu keislaaman
seperti pengungkapan kemukjizatan ilmiah dan gaya
bahasa.
Di samping terdapat perbedaan mengenai ketiga
tafsir di atas, maka terdapat persamaannya, di
antaranya adalah sama-sama bermaksud
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara komperensif
dengan menggunakan uslub yang sederhana dan
penyampaian yang berdasarkan pokok-pokok tema
35

bahasan.
2. Metode (Manhaj)
Dalam muqaddimahnya, Wahbah al-Zuhaili
terlebih dahulu menjelaskan beberapa pengetahuan
penting yang sangat dibutuhkandalam penafsiran al-
Qur’an, seperti:
1. Definisi al-Qur’an, cara turunnya, dan
pengumpulannya.
2. Cara penulisan al-Qur’an dan Rasm Usmanī.
3. Menyebutkan dan menjelaskan Ahruf Sab’ah
dan Qirā’ah Sab’ah.
4. Penegasan terhadap al-Qur’an yang murni
sebagai kalam Allah dan disertai dengan dalil-
dalil yang membuktikan kemukjizatannya.
5. Keontetikan al-Qur’an dalam menggunakan
bahasa Arab dan penjelasan mengenai
menggunakan penerjemahan ke bahasa lain.
6. Menyebutkan dan menjelaskan tentang
huruf-huruf yang terdapat diawal surah (hurūf
Muqaṯṯa’ah)3
7. Menjelaskan kebalāghahan al-Qur’an seperti
tasybīh, isti’ārah, majāz, dan kināyah dalam al-
Qur’an.4
Adapun tentang metodologi penulisan Tafsir al-

3 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘ Aqidah wa al-


Syari’ah wa al- Manhaj,Kata Pengantar terj. Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2013), I, xiii-xiv
4 Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘ Aqidah wa al-
Syari’ah wa al- Manhaj (Damsyik:Suriah, 2007), I-II7.
36

Munir ini, secara umum adalah mengopromikan


sumber-sumber atau riwayat bil-ma’tsur dengan bil-
ra’yi. Lebih detailnya mengenai metode yang
digunakan maka dapat dilihat sebagaimana berikut
ini:
1. Menjelaskan kandungan surah secara global,
menyebutkan sebab-sebab penamaan surah
dan menjelaskan keutamaan-keutamaannya.
2. Menyajikan makna secara jelas dan lugas
dengan disesuaikan pada pokok bahasan.
3. Menyajikan penjelasaan dari sisi qirā’ātnya,
i’rāb, balāghah, kosakata, dan hubungan antar
ayat maupun surah, serta sebab-sebab
turunnya ayat maupun surah.
4. Menafsirkan dan memberikan penjelasan
secara detail.
5. Memberikan keterangan tambahan berupa
riwayat-riwayat yang dapat dipertanggung
jawabkan dan menyajikan qisah-qisah
maupun peristiwa-peristiwa besar.
6. Menggali hukum-hukum yang terkandung
pada setiap pokok bahasan.
7. Memperhatikan pendapat-pendapat atau
hasil ijtihad baik itu ijtihaddari para ahli tafsir
amupun ahli hadits serta ijtihad dari
ulamalainnya yang ketsiqahannya tidak
diragukan lagi.
8. Mengiringi penafsirannya dengan corak
penafsiran maudhu’i.
9. Bersumber dan berpedoman pada kitab-kitab
37

atau pendapat sesuai dengan tuntunan


syari’ah.
3. Corak Penafsiran
Dengan melihat pada corak-corak penafsiran,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Abd. al-Hayy
al-Farmawi dalam kitabnya muqaddimah al-Tafsir al-
Maudhu’i, bahwa terdapat tujuh corak dalam
penafsiran.
Di antaranya adalah Tafsīr bi al-Ma’tsūr, Tafsīr bi
al-Ra’yi,Tafsīr al-Shufi, Tafsīr al-Fiqh, Tafsīr al-Falsafi,
Tafsīr al-‘Ilm, dan Tafsir adab a-Ijtimā’ī. Demikian
halnya dengan Tafsir al-Munir yang juga memiliki
corak penafsiran tersendiri.
Dengan melihat dari manhajdan metode yang
digunakan serta analisa dari penilaian penulis
lainnyabahwa corak penafsiran Tafsir al-Munir ini
adalah bercorak kesastraan (‘adabi) dan sosial
kemasyarakatan (ijtimā’i) serta adanya
nuansakefiqhian (fiqh) yakni karena adanya
penjelaskan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya.
Bahkan sebagaimana telah disinggung
sebelumnya meskipun juga bercorak fiqh dalam
pembahasannya akan tetapi penjelasannya
menyesuaikan dengan perkembangan dan
kebutuhan yang terjadi pada masyarakat. Sehingga,
bisa dikatakan corakpenafsiran Tafsir al-Munir
sebagai corak yang ideal karena selaras antara
‘adabī, ijtima’ī, dan fiqhinya.
4. Karakterestik Tafsir al-Munir
38

Ciri khas dari Tafsir al-Munir jika dibandingkan


dengan kitab-kitab tafsir lainnya adalah dalam
penyampaian dan kajiannya yang menggunakan
langsung pokok tema bahasan. Misalnya tentang
orang-orang munafik dan sifatnya, maka tema
tersebut dapat ditemukan di beberapa ayat disurah
al-Baqarah.
Selain itu, yang menciri khaskan dari Tafsir al-
Munir ini adalahditulis secara sistematis mulai dari
qirā’ātnya kemudian i’rāb, balāghah, mufradāt
lughawiyyahnya, yang selanjutnya adalah asbāb al-
Nuzūl dan Munāsabah ayat, kemudian mengenai
tafsir danpenjelasannya dan yang terakhir adalah
mengenai fiqh kehidupan atau hukum-hukum yang
terkandung pada tiap –tiap tema pembahasan.
Serta memberikan jalan tengah terhadap
perdebatan antar ulama madzhab yang berkaitan
dengan ayat-ayat ahkam, dan mencantumkan
footnote ketika pengambilan sumber dan kutipan.
5. Keistimewaan Tafsir al-Munir
Setiap kitab tafsir sudah pasti memiliki ciri dan
keistimewaantersendiri yang membedakan dengan
kitab-kitab tafsir lainnya.Demikian halnya dengan
Tafsir al-Munir yang juga memiliki ciri khasdan
beberapa keistimewaan. Seperti:a. bidang
penafsiran atau ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-
Qur’anseperti, Ilmu Nuzūl al-Qur’ān, ilmu
Munāsabah al-Qur’ān, ilmuBalāghah, Nahwu, I’rāb,
Qirā’āt, dan Qisah dalam al-Qur’an sertapenjelasan
hukum-hukum fiqh yang terkandung di dalamnya.
Yangsemuanya tercakup dan terhimpun dalam satu
39

kitab tafsir yaknidalam Tafsir al-Munir. Hal ini


tentunya berbeda dengan penafsirankitab-kitab
tafsir yang lain yang hanya mengkaji dan
menonjolkandisatu ilmu saja atau di bidang tertertu
tanpa menyertakan ilmu-ilmulainnya. Seperti Tafsīr
al-Kasysyāf oleh al-Zamakhsari, tafsir yangspesifik
pada ilmu kebahasaan yakni ilmu Balāgahah.
Demikianhalnya pada Tafsīr Aẖkām al-Qur’ān oleh al-
Jassās, penafsiran yangkajiannya menonjolkan pada
ilmu fiqh atau hukum.b. Termasuk dalam kategori
karya ilmiah yang memiliki ratusanreferensi yang
sudah masyhur dan merujuk pada sumber-
sumberyang asli. Selain itu juga, dalam pejelasannya
dengan bahasa yangsederhana namun diuraikan
secara ilmiyah yakni megompromikandengan
pengetahuan ketika menjawab terhadap
problematikakekinian. Sehingga keberadaan al-
Qur’an benar-benar dirasakankemukjizatannya
dengan tidak terkalahkan pada dunia modren
danteknologi saint.
6. Sumber-sumber Penulisan Tafsir al-Munir
Sebagaimana kita ketahui Tafsir al-Munir adalah
bagian darikarya Wahbah al-Zuhaili yang terbesar.
Meskipun demikian layaknyasebuah karya di abad
kekinin maka dalam penulisannya sudah
tentubanyak kitab-kitab yang menjadi sumber-
sumber atau referensinya.Pengambilan sumber-
sumber terhadap suatu penulisan
sangatmenentukan nilai dari sebuah karya. Semakin
banyak sumber yangdiambil akan menjadikan
semakin menambah bobot penulisan suatukarya,
tentunya bersumber pada kitab-kitab yang sudah
40

tidak diragukanlagi kredibel karya dan


pengarangnya. Hal ini ditemukan dalam kitabTafsir
al-Munir, mulai dari bidang Tafsir, Ulum al-Qur’an,
Hadits, UsulFiqh, Fiqh, Teologi, Tarikh, Lughah, dan
beberapa bidang umum lainnya.
41

D. Tafsir Rawaiul Bayan

1. Tentang Penulis
Penyusunnya adalah Syeikh Dr. Muhammad Ali
Ash-Shabuni, guru besar pada Fakultas Syariah dan
Dirasat Islamiyah Universitas Ummul Qura di Mekkah
Al-Mukarramah Kerajaan Saudi Arabia.

Nama lengkapnya adalah Muhammad Ali bin


Jamil Ash-Shabuni. Beliau lahir di kota Aleppo, Suriah,
pada tahun 1930 M. Namun beberapa sumber
menyebutkan Ash-Shabuni dilahirkan tahun 1928.
Ash-Shabuni menamatkan pendidikannya di
Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, hingga mendapat
gelar Lc dari fakultas Syari’ah pada tahun 1952, Pasca
sarjana tahun 1954 dengan mendapat gelar Megister
pada konsentrasi peradilan Syariah (Qudha As-
Sar’iyyah).
42

Saat menjadi dosen di Ummul Qura, Ash-Shabuni


pernah menyandang jabatan Ketua Fakultas Syari’ah.
Ia pun dipercaya mengetuai Pusat Kajian Akademik
dan Pelestarian Warisan Islam (Turats). Bahkan juga
tercatat sebagai Guru Besar Ilmu Tafsir pada Fakultas
Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz.
Selain mengajar di kedua universitas itu, Ash-
Shabuni juga memberikan kuliah umum bagi
masyarakat di Masjidil Haram dan juga di salah satu
masjid di kota Jeddah.
Di sela kesibukannya mengajar, Ash-Shabuni pun
menyempatkan diri untuk aktif dalam organisasi Liga
Muslim Dunia. Di lembaga ini ia menjabat sebagai
penasihat pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai
A-Quran dan Sunah.
Di tahun 2007, panitia penyelengggara Dubai
International Qur’an Award menetapkan Ash-
Shabuni sebagai Personaliti of The Muslim World.
Pilihan tersebut jatuh padanya seteah beberapara
orang kandidit diseleksi oleh Pangeran Muhammad
ibn Rashid Al-Maktum, Wakil Kepala Pemerintahan
Dubai.
2. Tentang Kitab Tafsirnya
Rawāi’ul Bayān fi tafsiri ayati’l Ahkam mina’l
Quran atau terjemahan harfiahnya adalah
‘Keterangan yang indah dalam tafsir ayat-ayat
hukum dari Al-Quran’ adalah nama salah satu tafsir
karya Ali Shabuni yang sangat menarik.
43

Kitab ini merupaakn tafsir Ahkam, yang hanya


mengkhususkan pembahasan pada ayat-ayat yang
sekiranya kental kandungan hukumnya. Oleh karena
jumlah ayat ahkam memang terbatas, maka wujud
fisik kitabnya hanya terdiri dari dua jilid besar yang
disusun berdasarkan tema-tema hukum di setiap
pertemuan (muhadharah).
Dituliskan pertemuan di sini tampaknya memang
kitab itu dipersiapkan untuk materi-materi
44

perkuliahan di fakultas Syariah dan Dirasat Islamiyah


di Mekah.
Beliau sebutkan bahwa dalam penulisan tafsir ini
menguraikan dalam 10 wajah atau unsur, yaitu :
1. At-Tahlil Al-Lafzhi (‫ )التحليل اللفظي‬atau uraian
secara tekstual dengan merujuk kepada
pendapat para mufassirin dan juga ahli
bahasa.
2. Al-Ma’na Al-Ijmali (‫اإلجمالي‬ ‫)المعنى‬ atau uraian
secara global.
3. Sababu Nuzul (‫ )سبب النزول‬atau sebab latar
belakang turunnya ayat tersebut apabila
memang terdapat.
4. Wajhu Al-Irtibat (‫)وجه االرتباط بين اآليات السابقة والالحقة‬
atau keterkaitan suatu ayat dengan ayat
sebelumnya atau ayat sesudahnya.
5. Wujuh Al-Qiraat Al-Mutawatirah ( ‫وجوه القراءات‬
‫ )المتواترة‬atau menunjukkan perbedaan qiraat
yang masih mutawatir.
6. Wujuh al-I’rab (‫ )وجوه اإلعراب‬atau menampilkan
berbagai kemungkinan i’rab atau penjelasan
struktur kata dan kalimat secara ringkas.
7. Lathaif At-Tafsir (‫التفسير‬ ‫)لطائف‬ atau
mengungkapkan kekuatan sisi sastra balaghah
serta ketelitian ilmiyah.
8. Al-Ahkam Asy-Syari’iyah (‫ )األحكان الشرعية‬atau
hukum-hukum syariah yang dilengkapi
dengan dalil dari para pakar fiqih dengan
menyertakan pentarjihannya.
45

9. Nasehat (‫ )ما ترشد إليه‬yang terkandung dalam


ayat tersebut, meskipun hanya secara ringkas
10. Hikmah pensyariatan (‫تشريعية‬ ‫)حكمة‬ yang
terkandung di dalamnya.
Jilid pertama dimulai dari surat Al-Fatihah hingga
pertemuan (halaqah) ke-40 tentang pendekatan diri
kepada Allah dengan berkurban.
Sedangkan jilid ke dua terdiri dari 30 pertemuan
(halaqah). Diawali dengan Surat An Nur dan diakhiri
dengan pembahasan mengenai pembacaan Al-
Quran, yakni tafsir Q.S. Al-Muzammil.
Salah satu yang patut dicermati dalam tafsir ini
adalah amanah ilmiyah dari penyusun yang amat
dijaga, khususnya ketika menampilkan perbedaan
pendapat fiqih di kalangan para ulama.
Setiap pendapat yang berbeda ditampilkan
dengan menyebutkan siapa atau mazhab manakah
yang berpendapat demikian, lalu disebutkan juga
dalil-dalil yang melandasinya.
Sehingga para pembaca tafsir ini diajak untuk
lebiih dewasa dan punya perspektif keilmuan yang
lebih luas, ketimbang yang hanya sedekar
mengedepankan fanatisme mazhabnya sendiri.
Namun lepas dari amanah ilmiyah yang dijaga,
nampaknya Ali Ash-Shabuni juga tergoda untuk ikut
memberikan opini pribadinya dalam pilihan-pilihan
pendapat yang sudah dijabarkan sebelumnya.
Tentunya para ulama ahli fiqih sudah selesai
membahas masalah fiqih dan disepakati adanya
perbedaan pandangan di tiap mazhab fiqih.
46

Bahwa perbedaan fiqih di dalam tiap mazhab itu


sudah baku, sebagaimana juga perbedaan qiraat
dalam bacaan Al-Quran. Tiap mazhab sudah
mentarjih apa yang menurut mereka lebih
mendekati kebenaran.
Oleh karena itulah sepatutnya kajian fiqih
perbandingan mazhab sudah tidak lagi bicara
tentang tarjih lagi, apalagi dikaitkan dengan dirinya
sendiri.
Namun begitulah yang sering terjadi, banyak
tokoh yang tergoda untuk melakukan tarjih sesuai
dengan selera masing-masing, sehingga bukannya
menjaga amanah ilmiyah sebagaimana warisan yang
bersifat genuine, tapi justru direcoki dengan
pentarjihan secara subjektif oleh pemyusun.
Tidak terkecuali tafsir Ali Ash-Shobuni sendiri,
penyusunnya tergoda untuk mengeluarkan
pendapat pribadinya dan tidak menyerahkan tarjih
kepada masing-masing mazhab.
Maka yang terkesan dari sosoknya tidak lain
menjadi tokoh yang mencampur-adukkan mazhab
fiqih para ulama. Sebagai contoh, pembahasan wajib
tidaknya qadha puasa sunah yang rusak, ia lebih
memilih pendapat Hanafiyah ketimbang Syafi’iyah.
Sementara mengenai kesucian debu ia menguatkan
pendapat Syafi’iyah ketimbang Hanafiyah.5

5
Ali Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan, jilid 1 hal. 214
47

E. Shafwatut Tafasir

Selain Rawa’iul Bayan, Syeikh Dr. Muhammad Ali


Ash-Shabui juga menyusun kitab tafsir lainnya yang
berjudul Shafwatut Tafasir. Beliau menyusunnya
selama kurang lebih lima tahun memberikan kesan
bagi para sebagian kalangan ulama dan para
pemerhati tafsir.
48

1. Sumber Penafsiran
Yang menarik dari kitab tafsir yang satu ini
sebagaimana tertulis di halaman depan, disebutkan
bahwa sumber penulisannya didasarkan pada
beberapa kitab tafsir yang muktamad, yaitu
1. Ath-Thabari karya Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. Al-Kassyaf karya Az-Zamakhsyari
3. Al-Jami’ li Ahkamil Quran :Al-Qurthubi
4. Ruhul Ma’ani : Al-Alusi
5. Tafisr Al-Quran Al-Azhim : Ibnu Katsir
6. Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan Al-Andalusi
Dan kitab tafsir lainnya dengan uslub yang mudah
dan penyusunan hadits-hadits serta dilengkapi
dengan penjelasan secara bahasa.
2. Kaya Sambutan
Salah satu yang unik dari kitab tafsir ini diberi
sambutan oleh banyak tokoh, diantaranya
▪ Syaikhul Azhar di masanya, yaitu Syeikh Abudl
Halim Mahmud.
▪ Abul Hasan Ali An-Nadawi dari India.
▪ Dr. Abdullah Umar Nashif, Rektor Universitas
Malik Abdul Aziz.
▪ Dr. Abdullah Al-Khayyath, khatib Masjid Al-
Haram.
▪ Dr. Muhammad Al-Ghazali, ketua qisim
dakwah dan ushuluddin di Mekkah.
3. Metode Penyajian
49

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, Al


Shabuni tidak lepas dari metode-metode yang
digunakan sebagai kerangka berpikir dan landasan
dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Termasuk saat
menafsirkan ayat Al-Qur‟an melalui kitab Tafsir
Shafwatut Tafasir, Ali Ash-Shabuni juga memiliki
metode, yaitu:
1. Baina Yadai Surah (‫ )بين يدي السورة‬yaitu semacam
muqaddimah atau gambaran umum tentang
profil tiap surat di dalam Al-Quran, sembari
menyebutkan maqashidnya yang utama.
2. Al-Munasabah (‫)المناسبة بين اآليات السابقة والالحقة‬, yaitu
membahas munasabah antara ayat satu
dengan ayat yang lain sebelum dan
sesudahnya.
3. Al-Lughah (‫ )اللغة‬yaitu menjelaskan aspek
kebahasaan secara etimologi serta
menjelaskan perbandingan aspek kebahasaan
dengan pendapat ahli bahasa Arab.
4. Sababu Nuzulil Ayah (‫ )سبب نزول اآلية‬sebab-sebab
turunnya Al-Qur‟an yang dikenal dengan
Asbabun Nuzul.
5. Tafsir (‫)التفسير‬
6. Al-Balaghah (‫ )البالغة‬yaitu menguraikan
keindahan ayat-ayat Al-Quran dari segi gaya
bahasa Al-Quran.
7. Al-Fawaid wa Al-Lathaif (‫ )الفوائد واللطائف‬yaitu
menjelaskan manfaat, faedah, pesan serta
hikmah-hikmah dalam surat dan ayat Al-
Quran dan memberikan istinbath hukum.
50

F. Tafsir Asy-Sya'rawi

1. Tentang Penulis

Nama lengkap dari al-Sya’rāwi adalah Syeikh


Muhammad Mutawalli al-Sya’rāwi al-Husaini, Beliau
adalah seorang Syeikh Imam ad-Dā’iyat al-Islām
(penyeru agama Islam). Al-Sya’rāwi dilahirkan pada
saat kondisi Mesir dalam kekuasaan Inggris, pada 15
April 1911 M bertepatan dengan 17 Rabi’ul ats-Tsāni
1329 H. Beliau wafat pada hari rabu tanggal 22 safar
1419 H/17 Juni 1998 dalam usia 87 tahun.
Al-Sya’rāwi juga masih keturunan dari ahlul bait
Nabi Saw., lewat jalur Hasan bin Ali.
Karirnya diawali sebagai tenaga pengajar di
Ma’had al-Azhar Thanta, ma’had Alexandria, ma’had
Zaqaziq, dan ia meneruskan kegiatan-kegiatan
51

ceramahnya ke masjid-masjid di samping


kegiatannya menjadi guru. Beliau menjadi ketua misi
alAzhar di al-Jazair pada tahun 1966, dan beliau juga
menjadi dosen jurusan tafsir hadis di fakultas
Syari’ah Universitas Malik Abdul Aziz di Makkah pada
tahun 1950, ia mengajar selama sembilan tahun.
Ia juga diangkat menjadi wakil kepala sekolah di
al-Azhar, pernah memangku jabatan sebagai direktur
dalam pengembangan dakwah Islam pada
departemen wakaf tahun 1961 M. beliau mulai
terkenal ketika menjadi seorang da’i pada tahun
1973.
Sya’rawi ditawari mengisi acara Nûr ‘ala Nûr di
Stasiun televisi Mesir, mulailah namanya mencuat
dan terkenal sebagai da’i yang kondang.
2. Profil Tafsir

Tafsir ini dinamakan tafsir al-Sya’rāwi, diambil


dari nama pemilik ide yaitu Muhammad Mutawali al-
Sya’rāwi. Tafsir ini disebut juga tafsir Khawātir Haula
al-Qur’ān al-Karīm karena dalam mukadimmah
52

tafsinya beliau menyatakan bahwa:


Hasil renungan saya terhadap al-Qur’an bukan
berarti tafsiran al-Qur’an, melainkan hanya percikan
pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin
saat membaca al-Qur’an.

Kalau memang al-Qur’an dapat ditafsirkan,


sebenarnya yang lebih berhak menafsirkan hanya
Rasulullah saw, karena kepada beliaulah alQur’an
diturunkan.

Beliau menjelaskan kepada manusia ajaran alQur’an


dari dimensi ibadah, karena hal itulah yang
diperlukan umatnya saat ini. Adapun rahasia al-
Qur’an tentang alam semesta, tidak beliau
sampaikan, karena kondisi sosiointelektual saat itu
tidak memungkinkan untuk dapat menerimannya.

Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik


yang dapat merusak puing-puing agama, bahkan
akan memalingkan umat dari jalan Allah swt.

a. Sumber Tafsir Sya’rawi


Metode tafsir Khawātir Haula al-Qur’ān al-Karīm
bila ditinjau dari segi sumber penafsirannya
mengunakan metode bī al-Iqtirān, yaitu perpaduan
antara bil-ma’tsur dan bir-ra’yi.
Rasyid Ridla menamakan metode ini dalam tafsir
al-Manar dengan sebutan ‘Shahīhu al-Manqūl wā
Sharīhu al-Ma’qūl’. Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA,
menamakannya dengan “Bil Izdiwāji”.
b. Metode Tafsir
53

Sedangkan metodenya menggunakan metode


Bayāni, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an hanya dengan memberikan
keterangan secara deskripsi tanpa membandingkan
riwayat atau pendapat dan tanpa menilai (tarjīh).
c. Dari Segi Keluasan Penjelasan Tafsir
Metode tafsir bila ditinjau dari segi keluasan
penjelasan tafsirannya, menggunakan metode Tafsir
Ithnābi, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an secara mendetail dan rinci,
dengan uraian-uraian yang panjang lebar, sehingga
cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh
para cerdik pandai.
3. Kelebihan dan Kekurngan
a. Keistimewaan tafsir al-Sya’rāwi
Sebatas uraian penulis di atas, bisa disimpulkan
beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir ini antara
lain adalah :
1. Penggunaan bahasa yang sederhana sehingga
sangat mudah difahami, perumpamaan-
perumpamaan yang dipakaipun sangat
sederhana dan selalu berhubungan dengan
realita kehidupan di masyarakat.
2. Pendalaman terhadap satu tema pembahasan
dengan mengunakan analisa bahasa yang
begitu detail dan mendalam.
3. Selalu dapat menyelesaikan masalah rumit
dengan cara sederhana hingga menghasilkan
kesimpulan yang memuaskan dan selalu
didasari argumentasi yang kuat dan logis.
54

4. Tafsir dengan tipe sosial kemasyarakatan yang


sangat kental. Dan selalu membawa
perubahan dan pembaharuan.
5. Selalu menitik beratkan pada sisi keimanan
dan hati manusia.
b. Kekurangan tafsir al-Sya’rāwi
Sedangkan beberapa kelemahan dalam tafsir ini
antara lain :
1. Tidak mengunakan metode penafsiran yang
benar dan sesuai dengan ketentuan dan
persyaratan yang telah ditetapkan oleh
jumhūr ulama.
2. Penafsiran beliau atas beberapa perkara,
dianggap oleh sebagian ulama menyimpang
dan bertentangan dengan mufassir pada
umumnya, seperti penafsiran beliau tentang
masa’ ‘iddah seorang wanita yang ditinggal
mati suaminya. Sebagaimana disepakati oleh
jumhūr ulama apabila wanita tersebut hamil,
maka masa ‘iddahnya sampai ia melahirkan.
Namun persoalan apabila pada saat suaminya
meninggal ia sedang hami sembilan bulan,
bahkan mungkin melahirkan sebelum
pemakaman, maka apakah masa ‘iddahnya
telah habis? Beliau menjawab tidak. Dalam
keadaan ini masa iddahnya menunggu selama
empat bulan sepuluh hari. Karena pada
hakikatnya hikmah ditetapkannya ‘iddah bagi
wanita yang ditinggal mati suaminya adalah
selain untuk tabāyun akan kandungannya,
juga sebagai penghormatan bagi kehidupan
55

rumah tangga mereka berdua dan


pemenuhan hak suami.
3. Terkadang menjelaskan suatu ayat dengan
pembahasan yang terlalu luas dan sering
terjadi pengulangan.
4. Masih banyaknya penggunakan hadis-hadis
dā’if atau setidaknya tidak menyebutkan
sanad hadis secara lengkap.
56

G. Tafsir Muhammad Abu Zahrah

1. Tentang Penulis

Imam Muhammad Abu Zahrah, yang nama


lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin
Mustafa bin Ahmad Abu Zahrah, dan kemudian lebih
dikenal dengan Imam Abu Zahrah, adalah seorang
ulama yang sangat berpengaruh pada zamannya.
Dilahirkan di desa al Mahallah al Kubra di Mesir
bagian barat pada tanggal 6 Dzulqa’dah 1315 yang
bertepatan dengan tanggal 29 Maret 1898.
Abu Zahrah menempuh pendidikan awalnya di
Sekolah Kehakimah Shari’ah (Madrasatu al Qadha al
Shar’iy) than 1925 dan juga program Diploma
Bahasa Arab di Universitas Darul Ulum 1927.
Setelah itu beliau berkecimpung di lingkungan
57

perguruan tinggi, tepatnya menjadi dosen di Fakultas


Ushuluddin Universitas Al Azhar mulai tahun 1933.
Disinilah Abu Zahrah engembangkan potensi
keilmuan dan intelektualitasnya yang ditandai
denganterbitnya beberapa karyanya, seperti Al
Khitabah, Tarikhu al Jadal, Muhadharat fi al
Nasraniyah dan Tarikhu al Diyanat al Qadimah .
Pada tahun 1958 Abu Zahrah mencapai usia
pensiun, namun diatetap mengajar sampai tahun
1964. Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun
1962 dia terpilih menjadi anggota di Lembaga
Penelitian Islam (Majma’ul Buhuth al Islamiyah) di Al
Azhar. Abu Zahrah meninggal pada tahun 1974.
Abu Bakar Abdul Razzaq, dalam bukunya Abu
Zahrah Imamu Asrihi : Hayatuhu wa Atharuhu al-Ilmy
menyebutkan lebih dari 80 buah karya ilmiah telah
beliau tuliskan. Buku-buku tersebut dapat
dikelompokkan, setidaknya mencakup beberapa
bidang, yaitu :
a. Bidang Fiqih dan Usul Fiqh : 21 judul
b. Bidang Ulumul Qur’an dan Tafsir : 2 judul
c. Bidang Aqidah dan Pemikiran Islam : 4 judul
d. Bidang Studi Agama-agama : 2 judul
e. Bidang Ilmu Dakwah : 3 judul
f. Bidang Ekonomi dan Sosial : 8 judul
g. Bidang Sirah Nabawiyah : 1 judul
2. Profil Tafsir
58

Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa


Imam Abu Zahrah memiliki karya besar dalam studi
Al Qur’an, disamping “al-Mu’jizat al Kubra; Al Qur’an
al Karim”, yaitu sebuah kitab Tafsir Al-Qur’an yang
bernama Zahratu al Tafasir.
Hal itu disebabkan oleh karena, pertama kitab
tersebut adalah hasil kumpulan artikel berkala Imam
Abu Zahrah dalam rubrik Tafsir majalah Liwa’u al
Islam. Kedua, karena kitab tersebut belum
sempurna. Ketiga karena dampak dari kezaliman
penguasa Mesir yang melakukan pembunuhan
karakter atas diri Abu Zahrah pada saat itu.
Dalam menafsirkan AlQur’an adalah
penggabungan antara dua metode besar, yaitu Naqli
dan Aqli. Tidak bertumpu kepada Naqli saja atau
kepada Aqli saja.
Perbedaan lain Tafsir Abu Zahrah (Zahratu al
Tafasir) dari kitab-kitab Tafsir yang sebelumnya
59

adalah dalam sistimatika (tariqah) penafsirannya. Dia


mengawali Tafsirnya dengan pengantar singkat yang
kemudian dilanjutkan dengan sebuah editorial
(iftitahiyyah) yang menggarisbawahi tentang
sejumlah penafsiran yang jauh menyimpang dari
makna AlQur’an yang agung, yang diusung oleh para
tokoh aliran pemikiran dan madzhab Fiqh serta para
ahli bahasa Arab.
Lain dari pada itu, sebelum menafsirkan AlQur’an
surat per surat dia menulis sebuah pendahuluan
(tamhid) yang membahas tentang manhaj yang dia
gunakan, penjelasan singkat tentang al Tafsir bi al
Riwayah dan al Tafsr bi al Ra’yi serta pembahasan
tentang sikap dan posisinya terhadap Ilmu Kalam dan
pendapat para fuqaha yang sering mewarnai
penafsiran AlQur’an.
Sistimatika penafsiran Abu Zahrah yang paling
tampak adalah penjelasan singkat tentang sebuah
surat pada setiap mengawali penafsiran surat
tersebut, yang kemudian dilanjutkan dengan
penetapan tema-tema yang terkandung di
dalamnya.
Selanjutnya penafsiran dilakukan dengan cara
membahas ayat per ayat atau dengan
mengelompokkan beberapa ayat. Diantara ciri
utama penafsiran Abu Zahrah adalah pendekatan
bahasa (etimological approach) yang sangat kuat,
baik dari sudut pandang Nahwu, Shorof maupun
Balaghahnya.
Dengan begitu maka kontekstualisasi
penafsirannya tidak keluar dari makna dasar teksnya.
60

Kitab tafsir ini tidak berhasil menafsirkan


keseluruhan AlQur’an, yakni hanya sampai surat an
Naml (27) ayat 74, karena beberapa permasalahan.
Pertama, Imam Abu Zahrah pernah mendapat
larangan untuk melakukan aktifitas da’wah, seperti
ceramah, memberi kuliah, menulis makalah dan
tampil di depan publik. Bahkan pergi ke kantor pun
dilarang, yaitu pada tahun 1958.
Pada saat itu kegiatan penafsiran yang sudah
sampai surat al An’am ayat 54 berhenti beberapa
bulan. Kedua, Imam Abu Zahrah lebih dahulu
meninggal dunia sebelum penulisan kitab tasfir itu
dapat disempurnakan.
Kitab ini diterbitkan oleh penerbit Dar al Fikri al
’Araby Kairo untuk pertama kali pada awal tahun
1980. Kemudian, sesuai dengan permintaan dari
pihak keluarga dan persetujuan dari Lembaga
Penelitian Islam UniversitasAl Azhar dicetak ulang
pada tahun 1987.
Terbit dalam 10 jilid dengan jumlah halaman
untuk masing-masing jilid antara 441 s.d. 560
halaman.
61

Adapun susunan pembahasan adalah sebagai


berikut :
1. Abu Zahrah mengawali pembahasanya
dengan membuat pengantar (muqaddimah)
sederhana seputar latar belakang penulisan
kitab tafsirnya ini dan beberapa hal terkait
faktor yang mendorong dirinya untuk
menuliskan kitab tafsir ini.
2. Pembahasan berikutnya adalah iftitahiyyah
atau editorial. Di dalamnya Abu Zahrah
membahas tentang tafsir Al Qur’an yang ideal
dan memberi catatan mengenai tafsir-tafsir
yang lebih mengedepankan aliran pemikiran,
yang menurutnya, pada tataran tertentu
justru menjauhkan Al Qur’an dari subtansinya.
ebelum memasuki pembahasan penafsiran Al
Qur’an Abu Zahrah memberikan sebuah
pendahuluan (tamhid) yang di dalamnya dia
menjelaskan mengenai metode yang
digunakan dalam tafsirnya ini, yaitu : metode
penafsiran Al Qur’an bi Al Qur’an, Sunnah,
Aqwali al Sahabah dan Tabi’in. Namun beliau
juga menggabungan antara tafsir bil-ma’tsur
dan bir-ra’yi.
3. Memberi pengantar atau ulasan umum pada
awal penafsiran setiap surat. Termasuk
penjelasan jumlah ayat dan kelompok
Makkiyah ataupun Madaniyahnya setiap
surat.
4. Mengelompokkan ayat-ayat yang akan
ditafsirkan berdasarkan pokok permasalahan
62

dan kandungan ayat sehingga jumlah ayat


dalam setiap kelompok sangat berfariasi.
5. Menyebutkan penafsiran secara lebih rinci
dengan merujuk kepada pendapat para
mufassir sebelumnya, seperti Zamakhsyari, At
Tabari dan sebagainya.
6. Menggunakan pendekatan etimologis dalam
sejumlah kata yang dirasakan penting. Bahkan
untuk menjelaskan maksud sebuah kata tidak
jarang Abu Zahrah menyebutkan syair-syair,
atau hadith Rasulullah saw, atau ayat Al
Qur’an yang lain.
7. Memberi kesimpulan di setiap penghujung
pembahasan setiap kelompok ayat.
3. Kelebihan dan kekurangannya
Diantara kelebihan kitab ini adalah sebagai
berikut :
1. Bahasa dan susunan kalimat yang digunakan
dalam kitab ini termasuk dalam katagori yang
mudah dimengerti dan difahami. Tidak ada
uslub atau susunan kalimat yang terlalu sulit
sehingga dapat mengganggu setiap orang
yang membacanya.
2. Adanya pengantar (muqaddimah), editorial
(iftithiyyah) dan pendahuluah (tamhid) pada
pembukaan pembahasan dalam kitab ini
merupakan gagasan cemerlang dari
penulisnya untuk menghantarkan mereka
yang mempelajarinya kepada sebuah
pemahaman yang komprehensif mengenai
63

tafsir dan studi AlQur’an.


3. Sebagai realisasi dari gagasan penggabungan
metode Aqli dan Naqli maka dalam
menafsirkan sejumlah ayat kitab ini juga
menyinggung masalah-masalah kontemporer,
semacam KB, bunga bank, poligami dan
sebagainya dengan pendekatan yang sangat
rasional.
Adapun diantara kekurangannya adalah :
1. Kitab ini tidak menafsirkan AlQur’an secara
lengkap, hanya sampai pada surat An Naml
(27) ayat 74, atau awal juz 20 saja.
2. Sekalipun pada saat memberikan catatan
editorial penulis kitab ini telah menetapkan
diri untuk hati-hati dalam masalah
penyebutan hasith dan riwayat agar tidak
terjebak dalam Israiliyat, ternyata pada
akhirnya hal itu tidak dapat dihindari.
64

H. Asy-Syinqithi : Adhwaul Bayan

1. Tentang Penulis

2. Profil Tafsir
65
66

Anda mungkin juga menyukai