Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PERBEDAAN ULAMA DALAM MEMAHAMI AYAT TENTANG


PENCATATAN PERJANJIAN DAN HUTANG
“Fikih”

Dosen Pengampu :
Muhammad Rifqi Hidayat, S.HI., M.Sy.

Disusun oleh:

Agus Alfa Sarif (230105010037)

Rasidah (230105010107)

Sa’da Namira (230105010112)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
2023
1

PERBEDAAN ULAMA DALAM MEMAHAMI AYAT TENTANG


PENCATATAN PERJANJIAN DAN HUTANG

A. Pendahuluan

Hutang adalah transaksi antara dua belah pihak yang salah satunya
menyerahkan kewajibannya secara langsung, sedangkan pihak yang lain menyerahkan
kewajibannya pada kesempatan lain. Secara bahasa adalah al-qoth'u (keputusan). Al-
qordh (pinjaman) adalah suatu harta yang diberikan oleh seorang yang memberi
pinjaman kepada seorang yang meminjam dan dikembalikan kepadanya, sebagaimana
harta itu akan diberikan kepada yang meminjam jika ia mampu mengembalikannya.
(Al Azhar Press, 2014)

Secara Bahasa akad disebut juga dengan ikatan dan mengikat. Dikatakan
ikatan (al-rabth) adalah mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatnya dari ujung ke
ujung tali. perjanjian dalam Al-Qur'an disebut juga al-'aqdu (akad) dan al-'ahdu
(janji). Perjanjian tertulis memuat ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).

Dalam ungkapan lain para ulama fikih menyebutkan bahwa akad adalah setiap
ucapan yang keluar sebagai penjelasan dari kedua keinginan yang ada kecocokan.
Sedangkan Mustafa Ahmad Az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum
(action) yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk, yaitu: Tindakan (action)
berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan. Sementara Abu Bakar al-Jashshash
memaknai akad sebagai; setiap sesuatu yang diikatkan oleh seseorang terhadap satu
urusan yang akan dilaksanakannya atau diikatkan kepada orang lain untuk
dilaksanakan secara wajib (seperti; akad nikah, akad sewa menyewa, akad jual beli
dan lainnya). Menurut beliau, sesuatu dinamakan akad, karena setiap pihak telah
memberikan komitmen untuk memenuhi janjinya di masa mendatang.
(Muhammadiyah, 2020)

Dalam surah Al-Maidah ayat 1:

َّ‫ص ْي ِد َواَ ْنت ُ ْم ح ُُر ِۗم اِن‬ َ ‫ٰيٰٓاَيُّهَا الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اَ ْوفُ ْوا بِا ْلعُقُ ْو ِۗ ِد اُحِ لَّتْ لَكُ ْم بَ ِه ْي َمةُ ْاْلَ ْنعَ ِام ا َِّْل َما يُتْ ٰلى‬
َ ‫علَ ْيكُ ْم‬
َّ ‫غي َْر ُمحِ لِى ال‬
‫ّٰللا يَحْ كُ ُم َما يُ ِر ْي ُد‬.
َ‫ه‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan


ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak
2

menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya
Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.”

Surat Al Maidah juga dikenal dengan sebutan Al-‘Uqud (Perjanjian-


Perjanjian) lantaran ayat pertamanya memerintahkan umat muslim untuk memenuhi
janji-janjinya kepada Allah dan sesama manusia. Selain itu, ayat petama di atas juga
berisi perintah dan larangan, diantaranya yaitu perintah untuk menepati janji kepada
Allah SWT dan manusia, serta larangan untuk berburu ketika sedang haji dan umrah,
Penggalan pertama ayat di atas memerintahkan kita untuk menepati janji-janji yang
telah dibuat. Janji tersebut bisa berupa janji seorang hamba kepada Allah SWT
maupun sesama manusia. Berdasarkan tafsir Muyassar, janji kepada Allah SWT
berupa iman kepada syariat Islam dan tunduk kepada perintah Allah SWT. Kalau janji
kepada manusia misalnya pernikahan, berdagang, dan lain sebagainya asalkan tidak
melanggar ketentuan Allah SWT dan melenceng dari ajaran Islam. (“Surat Al Maidah
Ayat 1: Bacaan, Arti dan Penjelasan Tafsir tentang Hewan Ternak yang Halal |
Orami,” n.d.)

Dalam surah Al-Baqarah ayat 282 juga disebutkan perintah untuk penulisan

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak
ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-
saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah
dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan
3

tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, ayat ini secara khusus
ditujukan kepada orang-orang beriman yang melakukan transaksi utang piutang.
Selain itu, dijelaskan juga mengenai perlunya seseorang atau para pihak untuk
menuliskan transaksi utang piutang tersebut. Sedangkan dalam al-Tafsir al-Munir fi
al-‘Qidah wa as-Syari’ah wa al- Manhaj menurut Wahbah Zuhaily, Al Baqarah ayat
282 ini membicarakan orang-orang Mukmin yang melakukan transaksi jual beli
barang dengan pembayaran kredit atau jual beli saham yang penyerahan kepada
pembeli ditangguhkan terhadap batas waktu tertentu. Maka, Allah pun memerintahkan
agar menulis transaksi tersebut dengan menyebutkan hari, bulan, dan tahun
pembayaran yang dijanjikan dengan sejelas-jelasnya. (“Tafsir dan Kandungan Surat
Al Baqarah Ayat 282 tentang Utang Piutang,” n.d.)

Hukum Hutang Piutang Dalam Transaksi Tawarruq Ditinjau Dari Tafsir Al


Quran Surat Al-Baqarah Ayat 282 Menurut Quraish Shihab: Adapun menjual
barang dengan mencicil tidak terlarang, selama waktu dan jumlah cicilan jelas
bagipenjual dan pembeli, walupun harganya lebih tinggi daripada harga jual
kontan . Seorang pembeli adakalanya membeli barang dagangan untuk dimanfaatkan
sendiri dan adakalanya untuk dijual kembali. Kedua jenis jual beli seperti ini
boleh menurut kesepakatan para ulama. Tetapi adakalanya juga seseorang melakukan
jual beli hanya untuk mendapatkan keuntungan berupa dirham, maka perlu dilihat
apakah harganya sama secara tunai. Seseorang yang membeli barang secara
berjangka kemudian menjual kembali barang itu di pasar secara kontan dengan
tujuan untuk mendapatkan tambahan pembayaran, jual beli seperti ini makruh
menurut pendapat para ulama . Maka penulis menyimpulkan bahwa hutang
piutang dalam transaksi tawarruq dari pihak pertama kepada pihak kedua, halal
selama akad dan syarat-syarat jual beli secara kredit tersebut jelas dan dilakukan
secara kerelaan, demi mencari keridhaan Allah.Waallahu A’lam Bisshawab. (Taufik
and Muhlisin, 2015)
4

Mutawallī Sya’rāwī juga mengurai bagaimana tata cara mencatat,


termasuk pihak mencatat berikut dengan kepentingan mencatat. Menurutnya,
menulis utang harus dilakukan dengan cara yang adil. Bagi orang yang lemah,
orang masih kecil, orang sakit, yang tidak menerangkan jumlah utang, boleh
jadi karena sebab tidak memahami bahasa, lemah, masih kecil sehingga tidak
mengerti, maka wajib diwakilkan dengan perantaraan wali, hakim, atau orang-orang
yang dipilih yang dianggap mengetahuinya dan bersifat adil. Di sini jelas bahwa
hukum wajib menulis utang di sini tidak berhenti ketika masing-masing pihak
tidak mampu karena lemah, sakit, atau masih kecil, hanya saja harus diwakilkan
pula kepada pihak-pihak tertentu, sehingga pencatat utang dapat mencatat
jumlah utang, waktu Menariknya, pendapat Mutawallī Sya’rāwī terkait pihak yang
mencatat di sini lebih diarahkan kepada orang tertentu yang dipilih oleh kedua
belah pihak. Pendapat tersebut berpijak pada ketentuan QS. al-Baqarah ayat
282 seperti telah dikutip terdahulu. Ia memahami wajib menulis utang
tersebut memang bagi kedua pihak yang berutang, hanya saja lebih ditekankan
kepada siapapun yang lebih mengetahui dan cakap dalam urusan catat mencatat,
atau dalam istilah lain notaris. Pihak notaris di sini dipandang pihak lain yang
netral di antara mereka berdua untuk mendokumentasikan transaksi tersebut.
Pandangan Mutawallī al-Sya’rāwī tersebut di atas tidak berhenti pada nilai hukum
mencatat utang, lebih luas lagi menetapkan pihak pencatat, serta proses dan
keterangan jumlah, maupun waktu pencatatan harus dikembalikan kepada
pungutan, bukan pemberi utang. Selain itu, Mutawallī al-Sya’rāwī menjelaskan
kembali alasan-alasan kenapa wajib mencatat utang dalam beberapa pertimbangan
umum, di antaranya agar saling percaya, adanya perlindungan hukum sebab
bukti catatan yang kuat, dan pengutang akan lebih bertanggung jawab dalam
pelunasan utangnya. (Sholihin, 2020)

B. Metode

Makalah ini adalah makalah kualitatif dengan pendekatan library research.


Adapun bahan primer yang menjadi data utama makalah ini adalah hutang piutang
dalam transaksi tawarruq ditinjau dari perspektif al-qur’an surat al-baqarah ayat 282
dan kedudukan pencatatan hutang perspektif fiqh muamalah (studi pandangan m.
mutawalli al-sya’rawi yang di dalamnya membahas tentang pencatatan akad/hutang.
Dari kedua sumber tersebut kemudian dikemukakan bagaimana pendapat kedua
5

ulama tersebut, dan mengapa terjadi perbedaan antara keduanya, untuk menjawab
tujuan makalah ini.

C. Teori

Dalam fiqih, seringkali terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, yang
mana perbedaan pemahaman itu kemudian berimplikasi pada perbedaan kesimpulan
yang mereka fatwakan. (“Sebab Perbedaan Fatwa Terjadi meski dalam Satu Mazhab |
NU Online,” n.d.) Perbedaan fatwa bisa bersumber dari perbedaan hukum fiqih
sebagai konsep (kulliyyat) sebagai hasil istinbath dari dalil-dalil syar'iat. Ada juga
perbedaan fatwa yang bersumber dari perbedaan pendapat di kalangan kelompoknya
sendiri yang bahkan menjurus kepada perpecahan. Namun, perbedaan pendapat ini
tidak perlu membuat bingung, karena seseorang dapat mengikuti pendapat yang
dipandangnya lebih mendekati kebenaran, yaitu berdasarkan keluasan ilmunya dan
kekuatan imannya. (“Menghadapi Perbedaan Pendapat Di Kalangan Para Ulama |
Almanhaj,” n.d.) Dalam hal ini, ia harus meneliti dan membaca untuk mengetahui
pendapat yang lebih benar di antara pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh para
ulama.

Kita ambil contoh dalam dalam Q.S al-Abaqarah ayat 275-276 :

‫ِى َيتَ َخبَّطُهُ ال َّش ۡي ٰطنُ مِنَ ۡال َم ِسؕ ٰذ لِكَ ِباَنَّ ُهمۡ قَالُ ۡۤۡوا اِنَّ َما ۡال َب ۡي ُع‬ ۡ ‫الربٰوا ََل َيقُ ۡو ُم ۡونَ ا ََِّل َك َما َيقُ ۡو ُم الَّذ‬ِ َ‫اَلَّذ ِۡينَ َي ۡاكُلُ ۡون‬
ِ ‫ف َواَمۡ ُر ٗۤۡه اِلَى ه‬
َ ‫ّٰللاؕ َو َم ۡن‬
‫عا َد‬ َ َ‫ظةٌ م ِۡن َّر ِب ٖه ف َۡانتَهٰ ى فَلَهٗ َما َسل‬
َ ‫الربٰوا فَ َم ۡن َجا ٓ َء ٗه َم ۡو ِع‬ ِ ‫ّٰللا ۡال َب ۡي َع َو َح َّر َم‬ ِ ‫مِ ۡث ُل‬
ُ ‫الربٰوا ۘ َواَ َح َّل ه‬
٢٧٥ َ‫ارؕ هُمۡ ف ِۡي َها ٰخ ِلد ُۡون‬ ٓ ٰ ُ ‫فَا‬
ِ َّ‫ولٮِٕكَ اَصۡ حٰ بُ الن‬

ٍ َّ‫ّٰللا ََل يُحِ بُّ كُ َّل َكف‬


٢٧٦ ‫ار اَث ِۡي ٍم‬ ِ ‫صد َٰق‬
ُ ‫تؕ َو ه‬ َّ ‫الربٰوا َوي ُۡر ِبى ال‬ ُ ‫َيمۡ َحقُ ه‬
ِ ‫ّٰللا‬

Artinya : Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kesurupan setan karena gila.Yang demikian itu karena mereka
berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu
dia berhenti, maka apa yang telah di perolehnya dahulu menjadi miliknya2 dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran
dan bergelimang dosa. (Q.S al-Abaqarah ayat 275-276).

Pendapat para ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi
pinjaman (utang-piutang, al-qardh; al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria
6

riba yang diharamkan Allah SWT, seperti dikemukakan, antara lain, oleh Imam
Nawawi dalam Al-Majmu‟ Al-Nawawi berkata Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab
Syafi‟i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur‟an,
atas dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang
dijelaskan oleh sunnah. (“Dialog Pemikiran Tentang Norma Riba, Bunga Bank, Dan
Bagi Hasil di Kalangan Ulama | Ahyani | Kordinat: Jurnal Komunikasi antar
Perguruan Tinggi Agama Islam,” n.d.)

Adapun Ibn al-„Araby dalam Ahkam al-Qur‟an Riba dalam arti bahasa adalah
kelebihan (tambahan). Sedangkan yang dimaksud dengan riba dalam al-Qur‟an
adalah setiap kelebihan (tambahan) yang tidak ada imbalannya (al-Arabi 1957).
Sedang Al-„Aini dalam „Umdah al- Qari‟ Arti dasar riba adalah kelebihan
(tambahan). Sedangkan arti riba dalam hukum Islam (syara‟) adalah setiap kelebihan
(tambahan) pada harta pokok tanpa melalui akad jual beli. Muhammad Abu Zahrah
dalam Buhuts fi al-Riba Riba (yang dimaksud dalam) al-Qur‟an adalah riba
(tambahan, bunga) yang dipraktikkan oleh bank dan masyarakat; dan itu hukumnya
haram, tanpa keraguan. (“Dialog Pemikiran Tentang Norma Riba, Bunga Bank, Dan
Bagi Hasil di Kalangan Ulama | Ahyani | Kordinat: Jurnal Komunikasi antar
Perguruan Tinggi Agama Islam,” n.d.)

Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh alIslamy wa Adillatuh menjelaskan terkait


Bunga bank adalah haram, haram, haram. Riba atau bunga bank adalah riba nasi‟ah,
baik bunga tersebut rendah maupun berganda. (Hal itu) karena kegiatan utama bank
adalah memberikan utang (pinjaman) dan menerima utang (pinjaman). Bahaya
(madharat) riba terwujud sempurna (terdapat secara penuh) dalam bunga bank. Bunga
bank hukumnya haram, haram, haram, sebagaimana riba. Dosa (karena bertransaksi)
bunga sama dengan dosa riba; alasan lain bahwa bunga bank berstatus riba adalah
firman Allah SWT.(“Dialog Pemikiran Tentang Norma Riba, Bunga Bank, Dan Bagi
Hasil di Kalangan Ulama | Ahyani | Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan
Tinggi Agama Islam,” n.d.)
7

D. Hasil dan Pembahasan

-Tafsir Al-Muyassar

Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti RasulNya,


Muhammad sholallohu alaihi wasalam, bila kalian mengadakan transaksi hutang
piutang sampai waktu tempo tertentu, maka lakukanlah pencatatan demi menjaga
harta orang lain dan menghindari pertikaian. Dan hendaknya yang melakukan
pencatatan itu adalah seorang yang terpercaya lagi memiliki ingatan kuat, dan
hendaknya orang yang telah mendapatkan pelajaran tulis menulis dari Allah tidak
menolaknya, dan orang yang berhutang mendiktekan nominal hutang yang menjadi
tanggungannya, dan hendaklah dia menyadari bahwa dia diawasi oleh Allah serta
tidak mengurangi jumlah hutangnya sedikit pun. Apabila penghutang termasuk orang
yang diputuskan tidak boleh bertransaksi dikarenakan suka berbuat mubadzir dan
pemborosan, atau dia masih anak-anak atau hilang akal, atau dia tidak bisa berbicara
lantaran bisu atau tidak mempunyai kemampuan normal untuk berkomunikasi, maka
hendaklah orang yang bertanggung jawab atas dirinya mengambil alih untuk
mendiktekannya. Dan carilah persaksian dari dua orang lelaki beragama islam, baligh
lagi berakal dari orang-orang yang shalih. Apabila tidak ditemukan dua orang lelaki,
maka cari persaksian satu orang lelaki ditambah dengan dua perempuan yang kalian
terima persaksian mereka. Tujuannya, supaya bila salah seorang dari wanita itu lupa,
yang lain dapat mengingatkannya. Dan para saksi harus datang ketika diminta untuk
bersaksi, dan mereka wajib melaksanakannya kapan saja dia diminta untuk itu. Dan
janganlah kalian merasa jemu untuk mencatat hutang piutang, walaupun berjumlah
sedikit atau banyak hingga temponya yang telah ditentukan. Tindakan itu lebih sejalan
dengan syariat Allat dan petunjukNya, dan menjadi faktor pendukung paling besar
untuk menegakkan persaksian dan menjalankannya, serta cara paling efektif untuk
menepis keraguan-keraguan terkait jenis hutang, kadar dan temponya. Akan tetapi,
apabila transaksinya berbentuk akad jual beli, dengan menerima barang dan
menyodorkan harga secara langsung, maka tidak dibutuhkan pencatatan, dan
disunahkan mengadakan persaksian terhadap akad tersebut guna mengeliminasi
adanya pertikaian dan pertentangan antara dua belah pihak. Kewajiban saksi dan
pencatat untuk melaksanakan persaksian dan pencatatan ssebagaimana yang
diperintahkan oleh Allah. Dan tidak boleh bagi pemilik piutang dan penghutang
melancarkan hal-hal buruk terhadap para pencatat dan para saksi. Begitu juga tidak
8

diperbolehkan bagi para pencatat dan para saksi berbuat keburukan kepada orang
yang membutuhkan catatan dan persaksian mereka. Apabila kalian melakukan perkara
yang kalian dilarang melakukannya, maka sesungguhnya tindakan itu merupakan
bentuk penyimpangan dari ketaatan kepada Allah, dan efek buruknya akan menipa
kalian sendiri. Dan takutlah kepada Allah dalam seluruh perkara yang
diperintahkanNya kepada kalian dan perkara yang kalian dilarangNya untu
melakukannya. Dan Allah mengajarkan kepada kalian semua apa-apa yang menjadi
urusan dunia dan akhirat kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, maka
tidak ada satupun dari urusan-urusan kalian yang tersembunyi bagiNya, dan Dia akan
memberikan balasan kepada kalian sesuai dengan perbuatan-perbuatan itu. (“Surat Al-
Baqarah Ayat 282 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir | Baca di TafsirWeb,” n.d.)

Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah


pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Univ
Islam Madinah

- Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah

282. Hai orang-orang yang beriman, jika kalian saling memberi hutang piutang
sampai pada waktu tertentu maka wajib bagi kalian untuk menulisnya. Dan hendaklah
orang yang menulisnya adalah orang yang adil dan amanah. Dan janganlah penulis itu
enggan menulisnya sesuai syariat Allah, dan orang yang berhutang hendaklah
mendikte hutangnya kepadanya dan hendaklah ia takut kepada Allah dengan tidak
mengurangi hutang yang harus ia bayar. Syeikh as-Syinqithi berkata: zahir ayat ini
menunjukkan bahwa hutang wajib ditulis, karena perintah Allah menunjukkan hal itu
wajib dilakukan, namun Dia mengisyaratkan bahwa hal ini merupakan anjuran dan
bukan kewajiban (“Surat Al-Baqarah Ayat 282 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir | Baca
di TafsirWeb,” n.d.)

Dapat disimpulkan Tafsir Al-Muyassar dan Tafsir Al-Madinah Al-


Munawwarah membahas tentang pentingnya pencatatan hutang piutang dalam Islam.
Dalam Surah Al-Baqarah ayat 282, Allah memerintahkan agar orang yang
bertransaksi hutang piutang sampai waktu tertentu untuk melakukan pencatatan demi
menjaga harta orang lain dan menghindari pertikaian. Dalam Tafsir Al-Muyassar,
disebutkan bahwa saksi dan pencatat harus memenuhi syarat adil dan amanah, serta
tidak boleh menolak untuk menulisnya sesuai syariat Allah. Sedangkan dalam Tafsir
9

Al-Madinah Al-Munawwarah, disebutkan bahwa zahir ayat ini menunjukkan bahwa


hutang wajib ditulis, karena perintah Allah menunjukkan hal itu wajib dilakukan,
namun Dia mengisyaratkan bahwa hal ini merupakan anjuran dan bukan kewajiban.
Keduanya sepakat bahwa pencatatan hutang piutang merupakan anjuran yang penting
dalam Islam untuk menjaga hak dan menghindari pertikaian.

E. Penutup

Mutawallī Sya’rāwī Menurutnya, menulis utang harus dilakukan dengan


cara yang adil. jadi karena sebab tidak memahami bahasa, lemah, masih kecil
sehingga tidak mengerti, maka wajib diwakilkan dengan perantaraan wali, hakim,
atau orang-orang yang dipilih yang dianggap mengetahuinya dan bersifat adil.
jelas bahwa hukum wajib menulis utang di sini tidak berhenti ketika masing-
masing pihak tidak mampu karena lemah, sakit, atau masih kecil, hanya saja
harus diwakilkan pula kepada pihak-pihak tertentu, sehingga pencatat utang
dapat mencatat jumlah utang, waktu Menariknya, pendapat Mutawallī Sya’rāwī
terkait pihak yang mencatat di sini lebih diarahkan kepada orang tertentu yang
dipilih oleh kedua belah pihak.

Makalah ini hanya mengkaji pendapat Quraish Shihab dan Mutawallī


Sya’rāwī terkait subjek hutang piutang saja, sedangkan pendapat ulama lainnya tidak
dibahas. Karena itu penulis selanjutnya dapat mengembangkan kajian ilmu ini dengan
mengisi kekosongan tersebut.
10

DAFTAR PUSTAKA

Dialog Pemikiran Tentang Norma Riba, Bunga Bank, Dan Bagi Hasil di Kalangan
Ulama | Ahyani | Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama
Islam [WWW Document], n.d. URL
https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordinat/article/view/18899 (accessed
10.11.23).
Menghadapi Perbedaan Pendapat Di Kalangan Para Ulama | Almanhaj [WWW
Document], n.d. URL https://almanhaj.or.id/1330-menghadapi-perbedaan-
pendapat-di-kalangan-para-ulama.html (accessed 10.11.23).
Muhammadiyah, R., 2020. Akad (Transaksi) dalam Islam. Muhammadiyah. URL
https://muhammadiyah.or.id/akad-transaksi-dalam-islam/ (accessed 10.10.23).
Sebab Perbedaan Fatwa Terjadi meski dalam Satu Mazhab | NU Online [WWW
Document], n.d. URL https://islam.nu.or.id/syariah/sebab-perbedaan-fatwa-
terjadi-meski-dalam-satu-mazhab-QrJtB (accessed 10.11.23).
Sholihin, R., 2020. KEDUDUKAN PENCATATAN HUTANG PERSPEKTIF FIQH
MUAMALAH: Al-Mudharabah: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah 1,
142–159. https://doi.org/10.22373/al-mudharabah.v2i1.823
Surat Al Maidah Ayat 1: Bacaan, Arti dan Penjelasan Tafsir tentang Hewan Ternak
yang Halal | Orami [WWW Document], n.d. URL
https://www.orami.co.id/magazine/al-maidah-ayat-1 (accessed 10.10.23).
Surat Al-Baqarah Ayat 282 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir | Baca di TafsirWeb
[WWW Document], n.d. URL https://tafsirweb.com/1048-surat-al-baqarah-
ayat-282.html (accessed 10.11.23).
Tafsir dan Kandungan Surat Al Baqarah Ayat 282 tentang Utang Piutang [WWW
Document], n.d. . kumparan. URL https://kumparan.com/berita-hari-ini/tafsir-
dan-kandungan-surat-al-baqarah-ayat-282-tentang-utang-piutang-
1wWniCTN9Yx (accessed 10.10.23).
Taufik, T., Muhlisin, S., 2015. HUTANG PIUTANG DALAM TRANSAKSI
TAWARRUQ DITINJAU DARI PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAT AL-
BAQARAH AYAT 282. Jurnal Syarikah : Jurnal Ekonomi Islam 1.
https://doi.org/10.30997/jsei.v1i1.260

Anda mungkin juga menyukai