Anda di halaman 1dari 10

EFEK AKUPUNKTUR PADA TITIK AKUPUNKTUR ST36 TERHADAP

PERCEPATAN EPITELISASI LUKA PADA KULIT TIKUS YANG


DIINFEKSI BAKTERI MRSA
William Sayogo*
*
Dosen Program Studi Kedokteran Universitas Ciputra; Jl. UC Town, Citraland, Surabaya
Indonesia 60219, Telp. (031) 7451699 / Email: pmb@ciputra.ac.id
Program Studi Kedokteran, Universitas Ciputra, Surabaya
e-mail: *sayogowilliam@gmail.com

Abstrak
Epitelisasi merupakan bagian regenerasi jaringan kulit untuk memperbaiki kerusakan.
Proses ini akan terhambat dengan adanya infeksi bakteri, terutama bakteri MRSA (Methicillin
resistant Staphylococcus aureus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek penusukan
jarum akupunktur di titik akupunktur ST36 terhadap epitelisasi pada proses penyembuhan luka
terinfeksi MRSA di kulit tikus wistar. Tiga puluh enam ekor tikus Wistar, berumur 3 bulan, dibagi
dalam 6 kelompok, kontrol negatif (didekapitasi hari keempat dan hari keenam), kontrol positif
(didekapitasi hari keempat dan keenam), perlakuan (didekapitasi hari keempat dan hari keenam).
Perlukaan pada kulit punggung dengan cara diinsisi menggunakan pisau sepanjang 2 cm dan
kedalaman sampai subkutan. Luka pada kontrol positif diinfeksikan MRSA, kelompok perlakuan
diinfeksikan MRSA dan dilakukan penusukan di titik akupunktur ST36.. Setelah didekapitasi
masing-masing kelompok pada hari ke-4 dan ke-6, jaringan kulit difiksasi dan dibuat preparat
dan diberi pewarnaan Hemaktosilin Eosin. Panjang epitel diukur menggunakan Optilab yang
dipasang pada mikroskop cahaya. Data panjang epitel dianalisis dengan membandingkan jumlah
rerata dan SD. Panjang epitel pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan kontrol positif
{(0,46±0,19)vs(0,21±0,16);(0,63±0,76)vs(0,42±0,301), dibandingkan dengan kontrol negatif
tidak jauh berbeda pada hari ke-4 dan ke-6 setelah perlukaan. Kesimpulan: Penusukan jarum
akupunktur di titik akupunktur ST36 mempercepat epitelisasi pada proses penyembuhan luka
kulit tikus yang terinfeksi MRSA.
Kata kunci: Epitelisasi, infeksi MRSA, titik akupunktur ST36

Abstract
Epithelialization is part of skin tissue regeneration to repair the damage . This process will
be inhibited by the presence of bacterial infections, especially Methicillin resistant
Staphylococcus aureus (MRSA ) . This study aims to determine the effect of stabbing acupuncture
needles on ST36 acupoint on epithelization on the healing process of MRSA infected wounds in
the skin of wisting rats . Thirty six Wistar rats , 3 months old , are divided into 6 groups , 2
groups of negative control , 2 groups of positive control , 2 groups of treatment group (All are
sacrificed on the fourth day and sixth day ) . Injury to the back skin of rats with a knife along the
incised 2 cm and depth to subcutaneous . Wound of positive control groups infected by MRSA ,
wound in the treatment groups also infected MRSA and stabbing at ST36 acupoints . Each group
are sacrificed to / for day 4 and 6 , the skin tissue is fixed , made histological preparations ,
stained with HE . The measurement of the epithelial length using Optilab mounted on a light
microscope . The data are analyzed by comparing the mean and SD . The epithelial length of the
treatment group is higher than the positive control {(0,46±0,19 ) vs (0,21±0,16 );(0,63±0,76 ) vs
(0,42±0,301 )} , being compared with the negative control is not much different . Conclusion :
Stabbing acupuncture needles on ST36 acupoint accelerates epithelialization in wound healing of
the skin MRSA-infected rat.
Keywords: Epithelialization, MRSA infection, ST36 acupoint
1. PENDAHULUAN dapat menghindari sistem imun serta
menghambat proses epitelisasi. Bakteri ini
Ilmu akupunktur telah menjadi ilmu juga mampu melindungi diri dari
pengobatan di negara Tiongkok sejak 4000 perusakan oleh antibiotik dengan transfer
– 5000 tahun yang lalu. Banyak penelitian staphylococcal cassette chromosome mec
menunjukkan titik akupunktur ST36 (SSCmec) yang menghasilkan pelindung
mampu memicu sistem pertahanan tubuh. terhadap antibiotik yang mempunyai
Perkembangan akupunktur di Indonesia struktur methicillin. Staphylococcus
dimulai sejak tahun 1963, saat itu atas aureus tipe ini bila menginfeksi pada kulit
instruksi menteri kesehatan saat itu (Prof. yang tidak utuh (seperti mengalami luka)
Dr. Satrio) dibentuklah tim riset ilmu akan memperberat tingkat kesakitan
pengobatan tradisional timur dan sejak (Murray et al, 2016)
saat itu praktik akupunktur diadakan Penusukan jarum akupunktur pada
secara resmi di RS Cipto Mangunkusumo. titik akupuktur ST36, memicu sel neuron
Mekanisme dasar rangsangan akupunktur di sekitar penusukan terjadi pelepasan
yaitu reaksi lokal pada titik akupungtur senyawa P yang menghambat kortisol dan
oleh stimulasi akupunktur (bersifat merangsang faktor pertumbuhan
piezoelectric), timbul reaksi inflamasi dan (epidermal growth factor). Faktor
selanjutnya rangsangan hipotalamus pertumbuhan ini memicu pembentukan
(reaksi endokrin, reaksi neurokimia, dan dan proliferasi sel fagosit (makrofag,
reaksi saraf otonom) (Saputra, 2000). neutrofil) yang meeradikasi bakteri. Faktor
Luka pada kulit dapat terjadi oleh pertumbuhan juga memicu proliferasi
berbagai sebab antara lain luka karena fibroblas dan matrix metalloprotein
trauma (mekanis, kimia, termal, elektrik) (MMP) yang penting dalam proses
atau juga bisa dikarenakan penyumbatan epitelisasi (Han, 2016).
pembuluh darah (seperti pada Buerger Pada penelitian ini, diteliti percepatan
disease). Luka menyebabkan hilangnya proses epitelisasi pada luka yang diinfeksi
struktur kulit bisa hanya terbatas pada MRSA dengan akupunktur pada titik
epidermis atau bisa sampai dermis bahkan akupunktur ST36.
juga bisa sampai mengenai otot. Bila luka
sampai mengenai struktur dermis atau otot 2. TINJAUAN PUSTAKA
akan disertai perdarahan karena pembuluh
darah juga terkena. Luka menjadi port Struktur dan Fungsi Kulit
d’entry bagi mikroorganisme untuk masuk Kulit merupakan organ tubuh terluas,
ke dalam tubuh, menjadikan luka menjadi berat total berkisar 2,7 – 3,6 kg dan
tidak steril. Infeksi tersebut memicu menerima sepertiga dari volume darah
respon imunitas tubuh untuk tubuh, ketebalan kulit bervariasi antara 0,5
mengeradikasi kuman tersebut. Proses – 6,0 mm, terdiri dari sel – sel dan matriks
imun tersebut bisa bersifat non spesifik ekstraselular. Struktur kulit terdiri dari 3
(innate) dan bisa juga sampai bersifat lapisan, epidermis merupakan lapisan
spesifik (acquired) (Abbas, 2015). terluar kulit dan tipis, dermis merupakan
Infeksi oleh Methicillin resistant lapisan tebal dan terletak di dalam, lapisan
Staphylococcus aureus (MRSA) akan di bawah dermis terdapat jaringan lemak
menghambat proses penyembuhan luka. subkutan (hipodermis). Jaringan
Bakteri yang mampu menghasilkan hipodermis merupakan jaringan ikat
biofilm, toksin dan superantigen sehingga

1
longgar yang melekat di bawah dermis platelet, faktor pembekuan darah
(Chu, 2008) dilepaskan menyebabkan fibrin
Kulit manusia mempunyai banyak mengendap di daerah luka (Kumar, 2015)
fungsi yang penting terutama sebagai Fase Inflamasi
pertahanan garis depan, melindungi tubuh Fase ini terjadi 24 jam setelah terjadi
dari berbagai elemen yang berasal dari trauma pada kulit dan bisa berlangsung
lingkungan luar tubuh. Jika terjadi luka sampai 2 minggu tergantung apakah ada
pada kulit, integritas pertahanan kulit infeksi yang memperpanjang fase ini. Sel
menjadi terganggu dan menjadi tempat mast melepaskan granul yang berisi enzim,
masuk berbagai mikroorganisme seperti histamin dan amin aktif lainnya yang
bakteri dan virus. Kulit juga dapat menjadi menimbulkan tanda inflamasi (Koh, 2013)
faktor penting dalam kesehatan mental dan Fase Proliferasi
kondisi sosial manusia (Han, 2016) Fibroblas bermigrasi ke luka sebagai
respon terhadap mediator-mediator larut
yang dilepaskan platelet dan makrofag.
Fibroblas mensekresikan enzim proteolitik
untuk memfasilitasi pergerakan fibroblas
menuju matriks. Enzim yang disekresikan
meliputi tiga jenis MMP antara lain
kolagenase (MMP-1), gelatinase (MMP-2
dan MMP-9) yang menghancurkan
senyawa gelatin, stromelisin (MMP-3)
yang mempunyai beberapa senyawa
protein pada ECM (extracellular matrix)
Gambar 1. Struktur kulit
(Han, 2016)
Fase Remodelling
Proses penyembuhan luka ada 4 fase
Remodeling merupakan fase terakhir
yaitu: fase hemostasis, fase inflamasi, fase
dari proses penyembuhan luka yang terjadi
proliferasi, fase remodeling.
setelah jaringan granulasi menjadi jaringan
Fase Hemostasis
parut dan kekuatan elastisitas kulit
Hemostasis terjadi segera setelah
meningkat. (Han, 2016)
terjadi trauma, untuk menghentikan
pendarahan dengan cara pembuluh darah
Epitelisasi
yang terbuka mengalami vasokonstriksi
Proses epitelisasi merupakan proses
dan platelet teraktifasi lalu saling
yang meliputi perlekatan sel epitel dan
menempel dan beragregasi di daerah luka.
terjadi perubahan struktur epitel
Platelet diaktifasi oleh kolagen
selanjutnya bermigrasi, berproliferasi dan
ekstraselular (tipe I). Begitu platelet
berdiferensiasi. Sel epitel stratum basalis
berinteraksi dengan kolagen, platelet akan
berproliferasi, selanjutnya melekat baik
melepaskan mediator (faktor pertumbuhan
dengan membran basalis melalui bantuan
dan cyclic AMP) dan glikoprotein, yang
penghubung interselular yaitu desmosome
memberi sinyal kepada platelet untuk
(untuk perlekatan antar sel) dan
menjadi lebih lengket dan berakumulasi.
hemidesmosomes (untuk perlekatan epitel
Granul alfa platelet melepaskan
dengan membran basalis). Faktor-faktor
glikoprotein berupa fibrinogen,
pertumbuhan (EGF, keratinocyte growth
fibronektin, thrombospondin dan faktor
factor / KGF, TGF-α) yang disekresikan
von Willebrand. Saat terjadi agregasi
berikatan dengan reseptor pada sel epitel baik yang komensal maupun yang
dan memicu terjadinya migrasi dan menimbulkan infeksi. Peranan PNAG /
proliferasi. Ikatan faktor pertumbuhan PIA, PGA, dan protease ScpA melindungi
dengan reseptor memicu desmosome dan bakteri terhadap protein anti mikroba yang
hemidesmosome larut sehingga sel epitel dihasilkan pertahanan tubuh non spesifik
dapat bermigrasi. (Li, 2005) (innate) (Sunhyo, 2014).

Methicillin Resistant Staphylococcus


aureus (MRSA)
Bakteri S. aureus merupakan
organisme bersel tunggal yang disebut
prokaryotes. Bakteri ini berbentuk kokus
(bulat) yang berkelompok. Dinding sel
bakteri merupakan suatu komplek,
strukturnya kurang elastis, dan
mempengaruhi bentuk sel. Fungsi utama
dinding sel untuk melindungi sel bakteri
dari perbedaan tekanan intraselular yang
lebih besar dari ekstraselular yang berisiko
sel tersebut akan ruptur (pecah). Secara
klinis dinding sel penting karena
berkontribusi pada kemampuan bakteri
untuk menyebabkan penyakit, bagian Gambar 2. Struktur dinding sel S.aureus
perlekatan dengan reseptor APC (antigen
precenting cell), juga menjadi tempat kerja S. aureus menghasilkan beberapa
dari antibiotik. Dinding sel bakteri S. toksin yaitu eksotoksin (5 toksin sitolitik,
aureus terdiri dari makromolekul 2 toksin eksfoliatif, enterotoksin dan toxin
peptidoglycan, teichoic acid dan shock syndrome toxin-1/TSST-1) dan
lipoteichoic acid (Tortora, 2016). endotoksin. Toksin eksfoliatif A,
enterotoksin dan TSST-1 termasuk kelas
Patogenesis Staphylococcus aureus polipeptida yang disebut superantigen
Dua faktor penentu yang diduga (Murray, 2016).
sebagai faktor virulensi bakteri S. aureus Infeksi dimulai ketika patogen
yaitu gen ica yang menyandi pembentukan berhasil menembus pembatas anatomis
poly-N-acetylglucosamine/polysaccharide dari inang. Beberapa mekanisme sistem
intercellular adhesion (PNAG / PIA) serta imun non spesifik mulai diaktifkan
penyisipan gen IS256. IS256 berperan meliputi beberapa kelompok molekul
dalam adaptasi genetik pada saat infeksi, terlarut baik yang ada di cairan
dengan cara menyisip pada lokus ica atau ekstraselular, darah, dan yang disekresikan
pada agr. Penyisipan pada ica akan sel epitel. Fagositosis dalam sistem imun
meningkatkan pembentukan PNAG / PIA, non spesifik oleh sel seperti neutrofil dan
sedang penyisipan pada agr akan makrofag (Murphy, 2017).
menghambat fungsi regulasi pembentukan
biofilm sehingga biofilm terbentuk
semakin tebal. Kedua faktor virulensi ini
membantu S. aureus untuk berkolonisasi
Gambar 4. Posisi anatomis titik ST36
(Zusanli)

Substance P berikatan dengan reseptor


yaitu NK1R dan CCR2 ( reseptor kemokin
Gambar 3. Respon imun terhadap infeksi
β) akan mengaktifkan second messenger
MRSA pada luka di kulit (Ca2+, Diacyl Glycerol, Inositol
Triphosphate, cAMP). Second messenger
Titik Akupunktur ST36 meneruskan sinyal ke mitogen-activated
Titik akupunktur Zusanli ( 足 三 里 ) protein kinase (MAPKK), selanjutnya
merupakan meridian lambung dikenal mengaktifkan extrasellular signal-related
dengan istilah Leg Three Li, golongan titik kinases 1/2 (ERK 1/2 ), masuk ke inti sel
He atau titik pribadi (tonifikasi) atau titik dan memediasi ekspresi sitokin IFN-ϒ, IL-
vitamin atau titik jauh kaki dan diberi kode 2, mTOR, AP1 dan NF-κB. Sitokin ini
ST36. Titik ST36 berperan dalam memicu pembentukan dan proliferasi
menekan hormon glukokortikoid yang monosit di sumsum tulang. Substance P
dihasilkan oleh korteks adrenal pada aksis juga mampu langsung mengaktifkan
hipotalamus – hipofisis - kelenjar adrenal. makrofag di darah menuju jaringan
Hormon glukokortikoid menghambat melalui N terminalnya. Penusukan pada
pembentukan sitokin pro inflamasi dan kulit di titik akupunktur ST36 memberikan
memicu pelepasan faktor pertumbuhan. rangsangan nyeri sehingga neuron
(Chen & Cheng, 2013). melepaskan substance P yang selanjutnya
Substance P adalah protein yang mengaktifkan jalur sinyal inflamasi yang
disandi oleh gen TAC1 (lokasi pada mengubah polarisasi makrofag menjadi
kromosom 7 di manusia) dan merupakan M1 dan memicu pembentukan makrofag
bagian dari hormon tachykinin yang terdiri di sumsum tulang (Mashaghi, 2016)
dari tiga neuropeptida yaitu neurokinin A,
neuropeptida K dan neuropeptida ϒ. 3. METODE PENELITIAN
Substance P diekspresikan beberapa sel
antara lain sel neuron, astrocytes, Jenis penelitian merupakan penelitian
microglia, sel epitel, sel endotel, sel imun eksperimental murni pada laboratorium
(makrofag, sel T, sel dendritik, eosinofil). (True Experimental) karena penelitian ini
diberikan intervensi dengan semua Pada kelompok kontrol positif dan
variabel luar yang mempengaruhi kelompok perlakuan, luka pada kulit tikus
dikendalikan, penelitian ini menggunakan diinfeksi bakteri MRSA dengan kadar 50
rancangan penelitian Post Test Only mikro liter dari suspensi kuman 0,5
Control Group Design. Obyek Penelitian mcFarland dengan cara dioles
adalah tikus Rattus norvegicus strain menggunakan micropipet pada luka.
Wistar berumur sekitar 3 bulan dengan Pemberian bakteri dilakukan setelah luka
berat badan 200-250 gram. Kelompok berhenti pendarahan. Penusukan jarum
obyek penelitian ada 6 kelompok yaitu O1 akupunktur dilakukan 2 hari setelah terjadi
(kontrol negatif diamati sampai hari ke-4), infeksi. Pada hari ke-4 dan ke-6 setelah
O2 (kontrol negatif diamati sampai hari perlakuan, setiap kelompok termasuk
ke-6), OK1 (kontrol positif diamati sampai kelompok kontrol negatif dikorbankan
hari ke-4), OK2 (kontrol positif diamati dengan menggunakan ketamin sebagai
sampai hari ke-6), OP1 (kelompok anestesinya. Kemudian kulit dipotong
perlakuan diamati sampai hari ke-4), OP2 dengan cakupan kulit normal 0,5-1 cm dari
(kelompok perlakuan diamati sampai hari tepi luka selanjutnya dimasukkan kedalam
ke-6). Kontrol negatif adalah luka tikus larutan fiksasi buffer formalin 10% selama
tanpa diinfeksi MRSA, kontrol positif 15-24 jam dan selanjutnya tikus yang telah
adalah luka tikus diinfeksi MRSA, mati dikubur.
kelompok perlakuan adalah luka tikus Potongan jaringan kulit selanjutnya
diinfeksi MRSA dan dilakukan penusukan dibuat preparat dan dilakukan pengecatan
di titik akupunktur ST36. Tiap kelompok HE. Setelah itu diamati dan diukur
berisi 6 ekor tikus (total 36 ekor tikus), panjang epitel dengan Optilab yang
tiap 6 ekor tikus diberi penomoran 1 dipasang pada lensa okuler mikroskop
sampai 6 dengan kertas yang lekatkan dengan pembesaran 40x.
pada ekor, selanjutnya tiap tikus dirandom
dimasukkan ke 6 kelompok sampai tiap 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
kelompok terdapat 6 ekor tikus. 4.1 Hasil Penelitian
Setiap tikus ditimbang dan
dimasukkan ke dalam kandang berukuran Rerata dan simpangan baku (SD)
20 x 15 x 15 cm untuk adaptasi. Tikus di panjang epitel pada kelompok kontrol
anestesi menggunakan larutan ketamin. negatif, kontrol positif dan perlakuan
Pembuatan larutan ketamin yaitu 3 ml ditunjukkan pada tabel 1, menunjukkan
ketamin ditambah 1 ml xylazine peningkatan panjang epitel pada kelompok
diencerkan menggunakan aquabidest perlakuan baik pada hari ke-4 dan hari ke-
untuk injeksi 6 ml, lalu diinjeksi pada 6 dibandingkan kelompok kontrol positif.
tikus (0,1 ml per tikus) hingga tikus sudah Kelompok perlakuan dibandingkan
dalam keadaan tenang dan hanya terlihat kelompok kontrol negatif memperlihatkan
pernafasan perut. Setelah tikus dalam tidak jauh perbedaan panjang epitelnya
keadaan teranestesi dicukur dengan luas baik pada hari ke-4 maupun hari ke-6.
bidang 3 cm x 3 cm, didesinfeksi dengan
betadin selanjutnya dilakukan sayatan
pada kulit punggung tikus dengan pisau Tabel 1 Rerata dan standar deviasi panjang
epitel (konversi dari μm ke mm) pada kulit
skapel dengan panjang luka ±2 cm dengan tikus Wistar yang luka pada kelompok kontrol
kedalaman sampai lapisan subkutan. negatif, kontrol positif dan perlakuan
Kelompok Hari ke-4 Hari ke-6
Kontrol Mean 0,59 0,73
negatiF SD 0,711505 0,0083666

Kontrol Mean 0,21333 0,42


positif SD 0,162682 0,301993

Perlakuan Mean 0,46 0,638333


SD 0,194422 0,761326

0.8

0.7

0.6 Gambar 4. Gambaran mikroskopis jaringan


epitel pada hari ke-4 setelah perlukaan pada
0.5 kelompok kontrol negatif (pembesaran 40x)
0.4

0.3 Hari ke-4

0.2 Hari ke-6

0.1

Gambar 4 Distribusi dan rerata panjang


epitel masing-masing kelompok

Gambar 5. Gambaran mikroskopis


menunjukkan tidak adanya proses
pembentukan epitel pada hari ke-6 setelah
perlukaan pada kelompok kontrol positif
(pembesaran 40x)

4.2 Pembahasan
Pada penelitian ini, hasil rerata
panjang epitel kulit tikus Wistar baik pada
kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan
menunjukkan peningkatan dari hari
keempat dan keenam. Hal ini menandakan
adanya proses epitelisasi telah terjadi pada luka menyamai waktu penyembuhan luka
ketiga kelompok. Keadaan ini sesuai secara fisiologis.
dengan teori proses penyembuhan luka,
yaitu proses epitelisasi dimulai pada hari 5. KESIMPULAN DAN SARAN
ke-3, lapisan epitel menutupi dasar luka. 5.1 Kesimpulan
Pada kelompok kontrol negatif dan
perlakuan sudah terdapat keratin, sedang Berdasarkan hasil dari penelitian ini,
pada kelompok kontrol positif belum diperoleh kesimpulan penusukan jarum di
titik akupunktur ST36 berpengaruh dalam
tampak. Pada 24 jam setelah perlukaan,
mempercepat epitelisasi pada proses
keratinosit bermigrasi ke lateral dan
penyembuhan luka pada kulit tikus Wistar
meregenerasi membrane basalis. Setelah yang diinfeksi bakteri MRSA.
membrane basalis baru terbentuk,
keratinosit berhenti bermigrasi selanjutnya 5.2 Saran
berproliferasi sampai puncaknya pada heri
ke-4. Penelitian ini diharapkan menjadi dasar
Lapisan epitel terus memanjang dan untuk penelitian berikutnya. Penelitian lebih
menebal, selanjutnya jaringan epitel baru lanjut dengan penusukan titik akupunktur
yang terbentuk mengalami pematangan ST36 diperlukan untuk melihat kadar
dan tampak lapisan korneum baru. Dengan substance P dan jumlah sel fagosit.
adanya regenerasi dari membran basalis,
keratinosit kembali ke bentuk awalnya dan DAFTAR PUSTAKA
terjadi perlekatan kembali hemidesmosom Abbas, AK. Andrew, H. and Pillai, S.
terhadap lamina basalis. Adanya retepeg 2015. Cellular and Molecular
menunjukkan proses epitelisasi sedang Immunology 8th Edition.
berjalan untuk membentuk jaringan epitel Philadelphia; WB Elsiver
yang normal kembali. Sel-sel epitel yang Company: Pp 35-168, 339-350,
telah bermigrasi akan saling berhubungan 493-500
dan menutup permukaan luka. Setelah Brittany, Busse. 2016. Wound
mencapai ketebalan epitel yang normal, Management in Urgent Care.
migrasi sel-sel epitel berhenti.. Springer International Publishing
Pada kelompok kontrol positif Switzerland: 1-55
menunjukkan rerata panjang epitel paling Badiu, Diana. Vasile, Monica. Teren,
rendah. Hal ini disebabkan memanjangnya Ovidiu. 2011. Regulation of
proses iuflamasi akibat infeksi MRSA. Wound Healing by Growth Factor
Fibroblas masih aktif membentuk komplek and Cytokines in Wound Healing:
inflammasome menghasilkan sitokin pro Process, Phases, and Promoting,
inflamasi IL-1β. Fibroblas juga Jane E. Middleton (ed.). New
berproliferasi dan berdiferensiasi York: Nova Science Publishers
mensintesis komponen jaringan granulasi Inc. Pp. 73-93
(kolagen, elastin, dan proteoglikan). Cassat, James E. Smeltzer, Mark S. and
Pada kelompok perlakuan, rerata Lee, Chia Y. 2014. Investigation of
panjang epitel hampir menyamai Biofilm Formation in Clinical
kelompok kontrol negatif. Hal ini Isolates of Staphylococcus aureus
menunjukkan penusukan di titik in Yinduo Ji (ed.), Methicillin-
akupunktur ST36 mampu memicu Resistant Staphylococcus aureus
epitelisasi sehingga waktu penyembuhan (MRSA) Protocol, Methods in
Molecular Biology second edition.
Springer Science+Business Media, Article, Vol. 5, article 514. Pp. 47-
LLC. Vol. 1085. Pp. 195-200 63.
Cordeiro, J.V. Jacinto, A. 2013. The Role Ito, Teruyo. Kuwahara - Arai, Kyoko.
of Transcription-Independent Katayama, Yuki. Uebara, Yuki.
Damage Signals in the Initiation of Han, Xiao. Kondo, Yoko. and
Epithelial Wound Healing. Nature Hiramatsu, Keiichi. 2014.
Reviews: Molecular Cell Biology, Staphylococcal Cassette
Volume 14: Pp. 249-262 Chromosome mec (SCCmec)
Chen, L.L. & Cheng, T.O., 2013. Analysis of MRSA in Yinduo Ji
Acupuncture in Modern Medicine. (ed.), Methicillin Resistant
Rijeka, Croatia: InTech. Staphylococcus aureus (MRSA)
Protocol, Methods in Molecular
Chin, G.A. Diegelmann, R.F. and Schultz, Biology second edition. Springer
G.S. 2005. Cellular and Molecular Science + Business Media, LLC.
regulation of Wound Healing. In Vol. 1085. Pp. 131-146
(Falabella AF, Krisner RS, eds). Kumar, Vinay. Abbas, Abul K. Aster, Jon
Wound Healing. New York: C. 2015. Robbins and Cotran
Taylor&Francis Group, pp.17-29 Pathologic Basis of Disease Ninth
Delves, Peter J. Martin, Seamus J. Burton, Edition. Canada: Saunders,
Dennis R. and Roitt, Ivan M. 2011. Elsevier.inc. Pp. 31-112
Roitt’s Essential Immunology. Koh, Timothy J. Dipietro, Luisa Ann.
United Kingdom: John Wiley & 2013. Inflammation and Wound
Sons Ltd. : 3-273 Healing: The Role of The
Flanagan, Madeleine. 2013. Wound Macrophage. NIH Public Access
Healing and Skin Integrity. USA: Author Manuscript; 13: 1-14. doi:
John Wiley & Sons Ltd. Pp. 33-48 10.1017/S1462399411001943
Han, Seung-Kyu. 2016. Innovations and Kusumawati, D. 2004. Bersahabat
Advances in Wound Healing Dengan Hewan Coba. Jogjakarta:
second edition. USA: Springer- Gajah Mada University Press.
Verlag Berlin Heidelberg New Pp.5-8, 25-45, 71-77, 82-112
York. Pp. 1-28 Li Jie, Kirsner Robert S, 2005.
Haihua, Zhang. Weixiao, Nan. Shiyong, Extracellular Matrix and Wound
Wang. Tietao, Zhang. Huazhe, Si. Healing In Falabella AF, Krisner
Datao, Wang. Fuhe, Yang. and RS (eds), Wound Healing. New
Guangyu, Li. 2016. Epidemal York: Taylor & Francis Group,
Growth Factor Promotes pp.39-48
Proliferation of Dermal Papilla Murphy, Kenneth. 2017. Janeway’s
Cells Via Notch Signalling Immunobiology 9th Edition. USA:
Pathway. Biochimie, Elsevier Garland Science, Taylor & Francis
Ltd;127: 10-18 Group, LLC. Pp. 37-256, 345-398
Italiani, Paola. Boraschi, Diana. 2014. Murray, Patrick R. Rosenthal, Ken S. and
From Monocytes to M1 / M2 Pfaller, Michael A. 2016. Medical
macrophages: Phenotypical versus Microbiology 8th Edition.
Functional Differentiation. Philadelphia: Elsevier Inc. Pp. 34-
Frontiers Media SA 96, 170-182
(www.frontiersin.org): Perspective
Mashaghi, A., Marmalidou, A. & Mohsen, Soepribadi, I. 2013. Regenerasi dan
T., 2016. Neuropeptide Substance P Penyembuhan. Jakarta: Penerbit
and The Immune Response. Cell. CV. Sagung Seto. Hal. 62-67
Mol. Life Sci, 73, pp.4249-64. Sudiana, I.K. 2006. Teknologi ilmu
jaringan dan Imunohistokimia.
Marra, Andrea. 2014. Animal Models in Jakarta: Penerbit CV. Sagung Seto.
Drug Development for MRSA in Hal: 1-49
Yinduo Ji (ed.), Methicillin- Saputra, K., 2000. Akupunktur Dalam
Resistant Staphylococcus aureus Pendekatan Ilmu Kedokteran.
(MRSA) Protocol, Methods in Surabaya: Airlangga University
Molecular Biology second edition. Press
Springer Science+Business Media,
LLC. Vol. 1085. Pp. 333-344 Tortora, G. J. Funke, B. R. and Case, C. L.
Mogensen, Trine H. 2009. Pathogen 2016. Microbiology An
th
Recognition and Inflamatory Introduction 12 Edition. USA:
Signalling in Innate Immune Pearson Education Inc. Pp. 1-5, 73-
Defenses. Clinical Microbiology 91, 442-463, 579-583
Reviews, Vol. 22, No.2: 240-273 Tisserand, Robert. Young, Rodney. 2014.
Orstead, H.L. Keast, David. Lalande, L.F. Essential Oil Safety: a Guide for
and Francoise, Marie. 2011. Basic Health Care Professionals second
Principles of wound healing. edition. UK: Churchill Livingstone
Wound care Canada, 9 (2): 4-12 Elsevier. Pp. 5-90
Portou, M.J. Baker, D. Abraham, D. and Tang, Ling. Kirsner, Robert S. and Li, Jie.
Tsui, J. 2015. The Innate Immune 2011. Extracellular Matrix
System, Toll-Like Receptors and Molecules in Skin Wound Repair
Dermal Wound Healing: A in in Wound Healing: Process,
Review. Vascular Pharmacology Phases, and Promoting, Jane E.
71 (www.elsevier.com/locate/vph): Middleton (ed.). New York: Nova
31-36 Science Publishers Inc. Pp. 49-
Ranzato, Elia. Burlando, Bruno. 2011. 71.2010.01.022
Signalling Pathways in Wound Takeuchi, Osamu. Akira, Shizuo. 2010.
Repair in Wound Healing: Pattern Recognition Receptors and
Process, Phases, and Promoting, Inflamation. Elsevier inc: Cell 140:
Jane E. Middleton (ed.). New 805-820. DOI 10.1016/j.cell
York: Nova Science Publishers Traversa, B. Sussman, G. 2001. The Role
Inc. Pp. 123-135 of Growth Factors, Cytokines and
Chang Ho, Seo. Hyeonsook, Cheong. and Proteases in Wound Management.
Yoonkyung, Park. 2014. Review Primary Intention, Vol. 9, No. 4:
Colonization and Infection of the 161-167
Skin by Staphylococcus aureus:
Immune System Evasion and the
Response to Cationic
Antimicrobial Peptides. Int. J. Mol.
Sci, 15: 8753-8772. doi:
10.3390/ijms15058753

Anda mungkin juga menyukai