Anda di halaman 1dari 20

RIBA MENURUT PERSPEKTIF ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER

(Dalam menganalisa illat hukum larangan riba dalam al-qur’an)

Afghan mushoffa almakki1), Ahmad dairobi habibur rohman2),


Muhammad nur haqiqoh nurir asror3)
1,2,3
Ma’had Aly Nurul Qarnain Li Ilmay Fiqh Wa Ushulihi Takhassus Fiqh Siyasah

Abstak

Kontroversi seputar pembahasan riba dan bunga bunga bank telah menjadi
perdebatan yang sangatlah lama. Perdebatan ini merumuskan permasalahan hukum riba
dan bunga bank dalam perspektif ulama klasik dan kontemporer, dan lebih terarah pada
perbedaan didalam memahami illat dalam ayat riba. Ulama klasik berpandangan
menggunakan metode pendekatan fiqhiyyah (tekstualis formalis), sehingga segala bentuk
kelebihan dari pokok hutang disebut riba. Sedangkan ulama kontemporer menggunakan
metode pendekatan makna substansi, sehingga kelebihan tidak disebut riba.
Dalam pembahasannya, ulama fiqh tidak menjumpai bunga bank dengan riba, karena
sistem perekonomian zaman dahulu belum menggunakan model sistem bank dengan
seekarang. Imam wahbah az-zuhaili membahas hukum tentang bunga bank melalui
kacamata riba dalam istilah ulama klasik dalam berbagai madzhab fiqh. Menurutnya,
apabila standarisasi riba mengunakan konsep ulama klasik, maka bunga bank tersebut
termasuk kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima dengan menggunakan
tenggang waktu.
Dalam penilitian ini kami akan membahas riba menurut pemikiran ulama
kontemporer dengan memandang sudut pandang dalam segi tafsirnya dengan menganalisa
latar belakang sosiologis yang menjadi penyebab turunnya ayat tentang riba, dan
membahas illat hukum larangan riba dalam al quran. Berangkat dari latar belakang diatas,
maka kami akan membahas masalah dalam penelitian: 1. Apa yang menjadi ciri dari
perbedaan pemikiran ulama kontemporer dengan ulama klasik dalam merumuskan illat
hukum riba?..

Kata kunci: riba, bunga bank, illat hukum

1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kontroversi seputar pembahasan riba dan bunga bunga bank telah menjadi perdebatan
yang sangatlah lama. Perdebatan ini merumuskan permasalahan hukum riba dan bunga bank
dalam perspektif ulama klasik dan kontemporer, dan lebih terarah pada perbedaan didalam
memahami illat dalam ayat riba. Ulama klasik berpandangan menggunakan metode
pendekatan fiqhiyyah (tekstualis formalis), sehingga segala bentuk kelebihan dari pokok
hutang disebut riba. Sedangkan ulama kontemporer menggunakan metode pendekatan makna
substansi, sehingga kelebihan tidak disebut riba.
Dalam pembahasannya, ulama fiqh tidak menjumpai bunga bank dengan riba, karena
sistem perekonomian zaman dahulu belum menggunakan model sistem bank dengan
seekarang. Imam wahbah az-zuhaili membahas hukum tentang bunga bank melalui
kacamata riba dalam istilah ulama klasik dalam berbagai madzhab fiqh. Menurutnya, apabila
standarisasi riba mengunakan konsep ulama klasik, maka bunga bank tersebut termasuk
kelebihan uang tanpa imbalan darik pihak penerima dengan menggunakan tenggang waktu.
Dalam penilitian ini kami akan membahas riba menurut pemikiran ulama
kontemporer dengan memandang sudut pandang dalam segi tafsirnya dengan menganalisa
latar belakang sosiologis yang menjadi penyebab turunnya ayat tentang riba, dan membahas
illat hukum larangan riba dalam al quran. Berangkat dari latar belakang diatas, maka kami
akan membahas masalah dalam penelitian: 1. Apa yang menjadi ciri dari perbedaan
pemikiran ulama kontemporer dengan ulama klasik dalam merumuskan illat hukum riba?..

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang menjadi ciri dari perbedaan pemikiran ulama kontemporer dengan ulama
klasik dalam merumuskan illat hukum riba?

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan, artinya referensi dan bahan kajian yang
digunakan berasal dari sumber-sumber kepustakaan, seperti buku, kitab, tafsir dan buku-buku
fiqh yanag membahas masalah riba. Sumber referensi dalam penelitian ini adalah karya
ilmiyah yang berkaitan dengan masalah riba, yaitu karya M. Quraish Shihab Tafsir al
misbah, Membumikan alquran, Wawasan Alquran. Diantara dari sumber referensi kitab fiqh

2
diantaranya adalah Fath Al Mu’in, I’anah At Tholibin, Mughni Al Muhtaj, dsb.Sebagai
sumber referensi sekunder adalah sumber-sumber kepustakaan yang berkaitan dengan
pembahasan masalah riba seperti tafsir al munir, tafsir at tobari, dan buku-buku fiqih
muamalah atau ekonomi islam. Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
pendekatan sosiologis hukum.

Pendekatan sosiologis hukum digunakan untuk melihat latar belakang sosiologis yang
menjadi sebab turunnya ayat larangan riba itu turun atau dalam bahasa tafsir adalah sababun
nuzul ayat riba. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu berusaha
menjelaskan fenomena hukum yang terjadi apa adanya, kemudian menarik pemahaman atau
kesimpulan berdasarkan penilaian terhadap fenomena tersebut. Metode analisa referensi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pola pikir deduktif dan
induktif.

D. PEMBAHASAN
1. ISTILAH ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER
a. Definisi Ulama’
Istilah ulama’ adalah bentuk jamak dari kata benda atau bahasa arabnya
‘alim, yang berasal dari kata kerja ‘alima yang mempunyai arti mengetahui
tentang sesuatu atau orang yang memiliki pengetahuan. Sedangkan ‘alim
adalah seseorang yang memiliki atribut atau alat berupa ilmu sebagai suatu
kekuatan yang mempunyai akar kuat dalam berbagai ilmu pengetahuan
dan literatur. 1
Meninjau dari konteks ulama di Indonesia, ulama juga mempunyai sebutan
yang berbeda dalam setiap daerah seperti; Kyai (Jawa), Tengku (Aceh),
dll.
Ilmu adalah masdar dari kata kerja ‘alima yang berarti pengetahuan
(knowledge). Ilmu berbeda dengan makrifat yang juga mempunyai sudut
pandang sebagai pengetahuan. Dalam pandangan klasik ‘ilm tidak
mempunyai bentuk jamak sesuai dengan individu konsep (ketunggalan)
‘ilm itu sendiri pada masa islam paling awal. Dalam bahasa arab pasca-
klasik, bentuk pluralnya diperkenalkan, yakni ‘ulum, yang terarah pada

1
Akramunisa, “Ulama dan Institusi Pendidikan Islam”, Ar-Riwayah: Jurnal Kependidikan, Vol.9 No. 2,
September 2017, hal. 428.

3
berbagai macam ilmu dari beberapa jenis pengetahuan. Dalam pengertian
terakhir inilah tidak semua orang yang memiliki ‘ilm dikatakan sebagai
ulama melainkan hanya mereka yang ahli dalam ilmu agama (‘ulum ad-
diniyah) yang mempunyai hak-hak istimewa untuk disebut sebagai ulama.

b. Peran dan Fungsi Ulama’


Peran dan fungsi ulama dapat kita simpulkan sebagai berikut
diantaranya adalah peran ulama merupakan pewaris para nabi atau disebut
sunber peta bagi manusia, barangsiapa yang mengikuti petunjuk mereka
maka engkau termasuk orang yang selamat, dan barang siapa yang dengan
kebodohan dan kesombongan menentang mereka maka engkau termasuk
orang yang sesat. Karena para ulama adalah habibullah (kekasih allah),
dialah manusia yang memiliki pengeahuan tentang Allah Swt, mengetahui
keagungan Allah, dan kekuasaan Allah, maka dalam dirinya akan timbul
rasa takut dan ta’dzim kepada-Nya.
Dengan kata lain, peran utama ulama yaitu sebagai pewaris para nabi
adalah menjaga agama Allah Swt, dari kebengkokan dan penyimpangan.
Hanya saja, peran ulama bukan hanya sekedar mengusai khazanah
pemikiran islam, baik yang menyangkut masalah akidah maupun syariah,
tetapi juga bersama umat berupaya menerapkan, memperjuangkan, serta
menyebarkan risalah Allah Swt.
Arti ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan
agama islam. Jadi ulama klasik atausering disebut dengan ulama salaf
adalah para ahli ilmu agama mulai dari para sahabat Nabi Muhammad
SAW sampai pengikut terdekat sesudahnya. 2
c. Perbedaan Cara Pandang Ulama Klasik Dan Kontemporer Dalam
Menafsirkan Ayat-Ayat Tentang Riba.
Bahwa riba dalam Al-Qur’an disebutkan delapan kali dalam empat
surat dalam Al-Qur’an. Didalam tafsir al-misbah, quraish shihab
memaparkan salah satu yang menarik diantaranya adalah cara
penulisannya (dalam mushaf). Hanya dalam surah Ar-Rum yang ditulis
tanpa menggunakan huruf wawu (‫ )رﺑﺎ‬sedangkan yang lain ditulis dengan

2
Lihat di laman https://kbbi.web.id/ulama. Diakses pada 12 Agustus 2023.

4
huruf wawu (‫)اﻟﺮﺑﻮ‬. Pakar-pakar al-qur’an seperti Az-zarkasyi menjadikan
perbedaan penulisan itu sebagai salh satu dari indikator tentang perbedaan
maknanya. Penafsiran ini (dalam surah Ar-Rum) adalah riba yang halal
dan yang lainnya adalah riba haram. Dalam hal ini pemahaman ulama
terpecah menjadi dua perbedaan yaitu, ulama yang memahami bahwa riba
ada yang mubah dan ada yang memahami dari segi hukumnya yaitu
haram. 3 Dalam hal ini ulama juga berdampak pada perspektif ulama,
2F

sebagian dari ulama klasik memiliki pandangan bahwa setiap dari


kelebuhan daklam sebuah pinjaman adalah riba, akan tetapi sebagian
ulama lain mengatakan bahwa indikasi riba halal dalam surat ar-rum
tersebut yang dalam perspektif ulama sekarang disebut husnul qadha.
Dalam konteks perkembangan tafsir, istilah masa kontemporer terkait
dengan situasi dan kondii tafsir pada saat ini. Dengan ini, tafsir masa
kontemporer sangat tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan
perkembangannnya dimasa modern seperti saat ini. Gagasan yang
berkembang pasda masa ini (kotemporer) sudah bermula sejak zaman
modern, yakni pada masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Hanya
saja secara inti, terdapat banyak ikhtilaf antara masa kedua mufassir ini
dengan berbagai perkembangan tafsir pada masa ini. Metode yang
diunakan oleh para mufassir kontemporer pun berbeda dengan yang
digunakan oleh mufassir tradisional (klasik). Para mufassir klasik
kebanyakan melakukan penafsiran dengan metode tahlily(analitis), maka
dalam masa kontemporer penafsiran dilakukan dengan meggunakan
metode ijmaly (global), maudlu’iy (tematik) atau penafsiran ayat-ayat
yang sudah dita’yin dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
modern.
Dalam perkembangan ilmu tafsir, ada dua kelompok yang asas pijakan
dan kaidah penafsirannya saling kontra (berlawanan). Kelompok yang
satu berpegang pada kaidah (al ibrah bi umumi al-lafdzi la bi khusus as-
sabab) yang mempunyai arti patokan dalam memeahami ayat adalah
redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap pelaku kasus yang

3
Ahmad Syirbasi, Studi tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’anul Karim, Jakarta: Kalam Mulia, 1999,
hal. 312

5
menjadi sebab turunnya, 4 sedangkan kelompok yang lain berpegang pada
kaidah (al-ibrah bi khusus as-sabab la bi umumi al-lafdzi) yang memiliki
arti patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab
turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum. Kini, mufassir
kontemporer memunculkan kaidah baru yakni (al-ibrah bi maqashid as-
syari’ah) yang artinya sesuatu yang seharusnya menjadi pegangan adalah
apa yang dikehendaki oleh syariah. 5

2. ILLAT HUKUM
‘Illat menurut bahasa merupakan nama bagi sesuatu yang menjadi penyebab
berubahnya suatu keadaan yang keberadaannya lain. Semisal penyakit, penyakit
dikatakan ‘illat, karena penyakit akan merubah tubuh atau keadaan makhluk bagi
yang terkena dari keadaan sehat menjadi sakit(tidak nyaman).
Sedangkan illat menurut ulama fiqh adalah suatu sifat yang menjadi motifasi
atau latar belakang terbentuknya sebuah hukum. Sekelompok ulama ushul fiqh
sepakat terhadap sesuatu yang dijadikan patokan itu adalah sifat dzohir yang bisa kita
ukur dalam suatu hukum, baik sifat itu berkaitan dengan permasalahan batin, tetapi
bisa dinalar, contohnya seperti sukarela dalam bertashorruf, yang bisa ditangkap
langsung atau dipaham oleh panca indra kita. Illat seperti inilah menurut sekelompok
ulama yang dapat dijadikan referensi/patokan dalam merumuskan suatu
hukum(istinbath al ahkam).
Oleh sebab itu, sekelompok ulama membedakan antara illat dengan hikmah.
Hikmah adalah suatu hal yang sulit diukur dan ditangkap oleh panca indra kita. Dalam
suatu pandangan individu itu berbeda dengan individu yang lain dalam segi
pandangan orang dan antara satu keadaan dan keadaan yang lain. Contohnya semisal
bolehnya berbuka bagi orang yang melakukan perjalanan(musafir) merupakan suatu
hikmah untuk menghidari kesulitan(masyaqqah) dari mereka. Kesulitan itu sendiri
bisa berbeda untuk setiap orang dan keadaan. Orang yang bepergian menggunakan
pesawat udara, tidak akan merasa sulit dalam perjalanannya. Bedahalnya dengan
orang yang bepergian menggunakan angkutan umum, maka akan banyak menemui

4
Khalid Utsman as-Sabt, Qawa’id At-Tafsir Jam’an wa Dirasatan. Mesir: Dar Ibn ‘Affan, 1421 H. hal. 594
5
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi Dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.
Jakarta: Mizan, 2013 hal. 134.

6
kesulitan selama perjalanannnya. Dengan hal itu, menurut sekelompok ulama ushul
fiqh, hikmah itu akan sulit diukur dan tidak bisa berlaku umum, sedangkan yang
dijadikan illat hukum adalah sesuatu yang dapat diukur dan berlaku secra umum
untuk keseluruhan orang,keadaan dan tempat. Dalam permasalahan musafir, yang
menjadi penyebab diperbolehkannya mengqoshor sholat atau bolehnya
berbuka(ifthor) bagi orang yang berpuasa adalah perjalanan(safar) itu sendiri, bukan
musyaqqahnya. Hal inilah yang dimaksud oleh sekelompok ulama fiqh didalam
ungkapannya “hukum itu beredar sesuai dengan illatnya bukan beredar dengan
hikmahnya”. Maksudnya adalah hukum itu berdasar pada illatnya itu sendiri,
sekalipun hikmahnya itu tidak ada, dan juga hukum itu tidak akan pernah ada
dikarenakan illatnya hillang, sekalipun hikmahnya masih ada. Misalnya melakukan
perjalanan dibulan ramadhan, merupakan illat diperbolehkannya berbuka puasa
ataupun mengqashar sholat, sekalipun masyaqqah tidak ditemui dalam perjalanan
tersebut. Seseorang yang melakukan perjalanan dibulan ramadhan menggunakan
pesawat udara, tidak akan enemui kesulitan, baik dalam keadaan berbuka puasa
ataupun dalam menunaikan shalat. Berbuka dan mengqashar shalat tetap
diperbolehkan bagi mereka , karena illat hukumnya ada, yaitu melakukan perjalanan.
Jumhur ulama fiqh juga membedakan antara illat dengan sebab. Menurut
mereka, sebab lebih umum kandungannya dari pada illlat. Bila ada suatu sifat sejalan
dengan hukum tertentu dan dapat diprediksi atau ditangkap oleh akal manusia atau
dinalar manusia, maka sifat tersebut disebut sebagai illat sekaligus sebab. Semisal,
transaksi jual beli yang menunjukkan kerelaan terhadap kedua pihak untuk
memindahkan kekuasaan hak milik, maka hal tersebut disebut illat sekaligus sebab.
Bila penyesuaian illat dengan suatu hukum tidak bisa ditangkap atau dinalar oleh
manusia, maka sifat tersebut disebut sebagai sebab. Misalnya, tergelincirnya mata hari
dari titik tertinggi atas merupakan penyebab diwajibkannya melakukan shalat
dzuhur. Tergelincirnya matahari tersebut dikaitkan dengan kewajiban shalat dzuhur,
keterkaitan tersebut adalah keterkaitan yang tidak bisa ditangkap atau dicerna oleh
akal manusia. Hal seperti permasalahan diatas, jumhur ulama ushul fiqh menyebutnya
dengan sebab, bukan illat.
3. ILLAT KEHARAMAN RIBA
Menurut ulama’ hanafiyah, illat hukum keharaman riba nasi’ah adalah
kelebihan pembayaran dari pokok hutang yang pembayarannya ditunda pada waktu
tertentu. Misalnya Amir berhutang kepada Naufal uang sebesar dua ratus ribu rupiah,
7
yang pembayarannya akan dilunasi pada bulan depan dengan syarat pengembalian
hutang itu dilebihkan menjadi dua ratus lima puluh ribu rupiah. Kelebihan uang
dengan waktu tenggang ini disebut dengan riba nasi’ah. Unsur lebih dari
pembayarannya tersebut dapat berlipat ganda, bila hutang tidak dibayar pada saat
waktu telah jatuh tempo, menurut ulama’ hanafiyah, hal tersebut merupakan suatu
perbuatan dzalim dalam bermuamalah. Kezaliman bagaimanapun bentuknya menurut
mereka adalah haram. 6 Ulama’ malikiyyah, syafi’iyah dan hanabilah memandang
illat hukum lrangan riba nasi’ah dikarenakan terdapat kelebihan (bunga) yang
dikaitkan dengan pembayaran yang ditunda (tenggang waktu), baik kelebihannya
dari pokok hutang atau pada barang yang sejenis maupun tidak. Mereka sepakat,
bahwa jika kelebihan itu tdak ditetapkan dimuka (awal), maka kelebihan tersebut
tidak termasuk riba. Hal ini sesuai dengan apa yang nabi telah amalkan, saat
membayar hutang pada Jabir Ibn ‘Abdillah, Nabi melebihkannya. Berdasar pada
pendapat ulama ahli fiqh mengenai riba diatas, maka dapat kita pahami bahwa illat
hukum keharaman riba adalah karena adanya tambahan (bunga) dari harta pokok
yang tidak diimbangi dengan transaksi pengganti yang dibenarkan oleh syari’at.
Oleh karenanya agar kita terbebas dari keharaman riba kita harus menghelah
(siasat) keharaman tersebut agar menjadi halal, sementara para ulama berbeda
pendapat tentang hukum menghelah kasus riba diatas tersebut.
Didalam sebagian referensi menurut imam malik dan ahmad berpendapat
bahwa hukum menghelah kasus riba adalah haram, sedangkan menurut imam syafi’I
dan hanifah hukum menghelah kasus riba agar menjadi halal adalah
diperboolehkan, akan tetapi Ibnu Hajar dalam kitab Az-Zawajir menyebutkan
termasuk dosa besar menurut ulama’ yang mengharamkannya. 7

4. PENGERTIAN RIBA
Lafadz ar-riba adalah isim maqsur yang diambil dari kata rabaa-yarbuu,
ّ ). Ar-riba asal maknanya adalah az-
sehingga ditulis dengan alif ar-riba (‫اﻟﺮﺑﺎ‬
ziyadah(tambahan) baik pada dzat sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman allah
ta’ala:
ْ ‫ا ْھﺘ ﱠَﺰ‬
ْ َ‫ت َو َرﺑ‬
‫ﺖ‬
6
Nasrun Haroen, 2000 : 185
7
Habib Abdulloh bin Husain bin Thohir bin Muhammad bin Hasyim Ba'alawiy, Is’ad ar-Rafiq, I/34

8
“hidupkanlah bumi itu dan suburkanlah”
Dan bisa juga pertambahan itu terjadi pada pertukaran satu dirham dengan dua
dirham.
Secara etimologi atau bahasa, dalam bahasa arab riba merupakan suatu
kelebihan atau tambahan 8. Untuk kelebihan tersebut, secara umm mencakup terhadap
semua tambahan baik nominal pokok hutang dan juga kekayaan.

‫ ﻫﻮ أن ﻳﺸﱰط اﻟﺪاﺋﻦ ﻋﻠﻰ اﳌﺪﻳﻦ اﻟﺰ�دة‬:‫اﻟﺮﺎﺑ‬

Secara terminologi atau istilah, riba merupakan nilai tambahan atau


pembayaran hutang yang melebihi jumlah piutang dan memang sudah ditentukan
sebelumnya oleh salah satu pihak yang bersangkutan 9.

Dalam kamus lisanul arab, kata riba diambil dari kata ‫رَﺎﺑ‬.
َ Jika seseorang

berkata:

‫َرَﺎﺑ اﻟﺸْﱠﻴ ُﺊ ﻳَـ ْﺮﺑـُ ْﻮ َرﺑْـ ًﻮا َوَرًﺎﺑ‬


Artinya sesuatu itu bertambah dan tumbuh.

Jika orang menyatakan ‫أ َْرﺑَﻴـْﺘُﻪ‬ artinya aku telah menambahnya dan menumbuhkannya.

Dalam alquran disebutkan:

‫َوﻳـُْﺮِﰊ اﻟ ﱠ‬
‫ﺼ َﺪﻗَﺎت‬

“ dan menyuburkan sedekah”.

Dari kata itu diambil istilah riba yang hukumnya haram, allah ta’ala berfirman:

ِ‫ﱠﺎس ﻓَ َﻼ ﻳـﺮﺑﻮ ِﻋْﻨ َﺪ ﱠ‬ ِ ِ ِ


‫اﻪﻠﻟ‬ ُ ْ َ ِ ‫َوَﻣﺎ آﺗَـْﻴـﺘُ ْﻢ ﻣ ْﻦ ِرًﺎﺑ ﻟﻴَـ ْﺮﺑـُ َﻮ ِﰲ أ َْﻣ َﻮال اﻟﻨ‬

8
Syaikh Badruddin Abil FadlolMuhammad Bin Abi Bakar Al-Asadi As-Syafi’I,Bidayah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj
9 Jami’ al-turats al alamah al bani fil fiqh

9
“dan sesuatu riba(tambahan) yang kau berikan agar dia menambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi allah”.

Maka dikatakan,‫( َرﺑَﺎ ْاﻟ َﻤﺎ ُل‬Harta itu telah bertambah).

Sedangkan definisi riba menurut istilah fuqaha’ ialah memberi tambahan pada
hal-hal yang khusus. Dalam kitab mugnil muhtaj disebutkan bahwa riba adalah akad
pertukaran barang tertentu dengan metode tidak diketahui bahwa kedua barang yang
ditukar itu sama dalam pandangan syariat, baik dilakukannya pada saat akad ataupun
dengan menangguhkan(mengakhirkan) dua barang yang ditukarkan atau salah
satunya. Riba hukumnya haram baik dalam alqur’an, as-sunnah maupun ijma’. Allah
ta’ala berfirman:

ِِ ِ ‫اﻪﻠﻟَ َو َذ ُروا َﻣﺎ ﺑَِﻘﻲ ِﻣ َﻦ‬


َ ‫اﻟﺮَﺎﺑ إِ ْن ُﻛْﻨـﺘُ ْﻢ ُﻣ ْﺆﻣﻨ‬
‫ﲔ‬ ‫ﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا اﺗﱠـ ُﻘﻮا ﱠ‬ ِ‫ﱠ‬
َ ‫َ◌ا أَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ‬
ّ َ

“hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada allah dan tinggalkan sisa riba(
yang belum dipungut) jika kau orang-orang yang beriman”. Allah ta’ala juga
berfirman:

ِ ‫اﻪﻠﻟُ اﻟْﺒَـْﻴ َﻊ َو َﺣﱠﺮَم‬


‫اﻟﺮَﺎﺑ‬ ‫َﺣ ﱠﻞ ﱠ‬
َ ‫َوأ‬
ّ

“Padahal allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud riba pada ayat diatas. Sebagian
ulama seperti Ibnu abbas, Ibnu umar, Muawiyah berpendangan bahwa maksud dari
riba pada potongan ayat diatas adalah riba menurut arti lughot yaitu riba jahiliyah
(riba qardh). Berbeda halnya dengan mayoritas ulama berpandangan bahwa, yang
dimaksud dari ayat diatas adalah riba didalam jual beli. Pandangan ini adalah
pendapat dari Aisyah, abu Sa’id al khudri dan yang lainnnya. Ibnu asyur juga
berpendapat bahwa yang unggul adalah pendapat yang mengatakan bahw riba dalam

10
ayat diatas adalah riba jahiliah. Dengan dalil bahwa riba dalam ayat diatas adalah riba
jahiliah, sedangkan riba jual beli dijelaskan dalam beberapa hadits lain. 10

Hukum halal dan haram yang terpapar pada ayat diatas,tidak ditetapkan tanpa
adanya unsur yang membedakan, dan unsur itulah yang menjadi penyebab timbulnya
pengharaman riba. 11

ِ ‫ﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا َﻻ َﺄﺗْ ُﻛﻠُﻮا‬ ِ‫ﱠ‬


‫اﻟﺮَﺎﺑ‬
ّ َ ‫َ� أَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau memakan riba”.

Dalam as-sunnah banyak sekali didapatkan hadits-hadits yang mengharamkan riba.


Imam muslim r.a meriwayatkan dari ibnu jarir r.a, ia berkata:

ِ ‫ﷲ ﺻﻠﱠﻰ ﷲ ﻋﻠَﻴ ِﻪ وﺳﻠﱠﻢ آﻛِﻞ اﻟ ِﺮﺎﺑ وﻣﻮﻛِﻠَﻪ وَﻛﺎﺗِﺒﻪ وﺷ‬


‫ ُﻫ ْﻢ َﺳ َﻮاء‬:‫ َوﻗَ َﺎل‬.‫ﺎﻫ َﺪﻳِْﻪ‬ ِ
َ َ ُ َ َ ُ ْ ُ َ َ ّ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ‫ﻟَ َﻌ َﻦ َر ُﺳ ْﻮ ُل‬

“Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba, yang memberi riba, penulisnya dan
dua saksinya,” dan beliau bersabda, “mereka semua sama”.

Dan juga terdalam hadits yang mana hadits tersebut sudah disepakati keshahihannya
dari Abu Hurairah R.A, ia berkata bahwa rasullullah bersabda:

ِ ِ ِ ِ
َ ‫ آﻛ َﻞ اﻟِّﺮ‬:‫إِ ْﺟﺘَﻨﺒُﻮا اﻟ ﱠﺴْﺒ َﻊ اﻟْ ُﻤ ْﻮﺑَِﻘﺎت! َوذَ َﻛَﺮ ﻣْﻨـ ُﻬ ﱠﻦ‬
‫ب‬

“Jauhilah tujuh perkara yang membawa kehancuran,” dan beliau menyebutkan


diantaranya , “memakan riba. “dan telah datang ijma’ atas keharaman riba.

10
Oni Syahroni, Ushul Fiqh Muamalah: Kaidah-kaidah ijtihad dan Fatwa dalam Ekonomi Islam. Depok: PT.
RajaGrafindo Persada, 2019, hal. 58-59.
11
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta: Mizan, 2013, hal. 259

11
Dalam istilah linguistik, riba berarti tumbuh dan berkembang. Akan tetapi
tidak semua pertambahan atau kelebihan itu disebutdengan riba. Seperti halnya dalam
pengertian zakat dalam aspek bahasa juga diartikan sebagai ann-namuw wa az-
ziyadah (bertambah dan berkembang), jika diucapkan zaka al- al-zar berti tumbuh
dan bertambah. Akan tetapi, riba (pertambahan) disini, brerbeda dengan pengertian
zakat tersebut.

Dalam istilah fiqh, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok
dengan cara bathil baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam.menurut
terminologi, ulama fiqh menyamakan riba sebagaimana mazhab hanabilah, yang
mengatakan bahwa, “riba adalah pertabahan sesuatu yang diikhususkan.”
Sedangkan madzhab hanafiyah menjelaskan, bahwa “ tambahan harta pengganti
dalam tukar menuukar harta .” benda-benda yang telah ditetapkan bedasar landaskan
pada sunnah maupun ijma’ ulama atas keharaman riba ada ena macam, yaitu:

 1. Emas
 2. Perak
 3. Gandum
 4. Sya’ir (gandum merah)
 5. Kurma
 6. Garam

Menurut imam syafii, riba itu diharamkan hanya tertentu pada emas dan perak
karna kedua benda tersebut mempunyai satu illat yang tetap, yaitu dalam jenis
harganya. Menuruut madzhab hanafi, illat diharamkannya emas dan perak karna
keduanya sama dalam jenisnya yang mana jenis tersebut dapat ditimbang. Oleh
karenanya,diharamkan menjual danmembeli sgala bentuk benda yang dapat
ditimbang. Sedangkan empat illat lain, menurut imam syafii dalam qoul jadidnya
adalah karana benda-benda itu adalah termasuk jenis makanan. Oleh sebab itu,
diharamkan riba pada makanan, minyak, dan air menurut pendapat yang shahih.
Adapun pendapat menurut qoul jadidnya imam syafii adalah karena benda-benda
tersebut termasuk jenis makanan atau jenis yang dapat ditimbang. Para imam
madzhab sepakat tentang bolehnya menjual emas dengan perak, perak dengan emas

12
yang tidak sama nilainya. Tidak diperbolehkan menjual gandum dengan gandum,
sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali jika
ukurannya sama dan juga kontan, maka hal itu diperbolehkan. Hal itupun jika
dilakukan penakaran atau penimbangan. Dalam konteks zaman sekarang, tampak
orang akan cenderung sepakat bahwasanya yang termasuk riba tidak hanya terbatas
pada komoditas(barang dagangan utama) yang telah termaktub didala hadits, akan
tetapi mempunyai karakter yang sama dengan komoditas dalam hadits, yaitu
kebutuhanyang mendasar pada masyarakat, termasuk”bunga” didalam masalah
penbankan maupun BBM.

Dalam tafsir at-thabari dinyatakan bahwa riba dijelaskan dalam berbagai


riwayat diantaranya: Dari Ibn Zaid bahwa ayah beliau pernah berkata: “riba pada
masa jahiliyah adalah dalam pelipat gandaan dan umur(hewan). Seseorang yang
berhutang bila sudah tiba pada masa pembayarannya ditemui oleh debitor dan
berkata: “bayarlah hutangmu atau hutangmu akan bertambah (berbunga) untukku”.
Maka jika debitor memiliki sesuatu untuk membayar hutangnya, maka ia
membayarnya. Namun jika tidak mempunyai sesuatu untuk dijadikan sebagai
bayaran, maka ia harus menjadikan hutangnya bila seekor hewan maka dibayar
dengan seekor hewan yang lebih tua usianya. Bila usia hewan tersebut berusia satu
tahun dan memasuki tahun yang kedua (bintu makhad) maka kemudian dibayar
dengan hewan yang berusia dua tahun dan memasuki tahun ketiga(bintu labun).
Apabila dibayar kemudian, maka hewan itu harus berusia tiga tahun yang memasuki
tahun keempat(hiqqah). Jika dibayar kemudian maka bertambah lagi usia hewan
tersebut menjadi hewan berusia lima tahun (jadza’ah). Demikian seterusnya. 12

Dalam tafsir mu’allim at-tanzil atau tafsir al-baghawi dikatakan bahwa, riba
adalah qardin manfa’atan (pinjaman yang memberi manfaat/tambahan). 13 Dalam
tafsir al qurthubi dijelaskan bahwa, “bersumber dari keterangan nabi muhammad
SAW bahwa mempersyaratkan adanya tambahan dalam hutang adalah riba, meskipun
hanya dalam segenggam pakan ternak”. 14 Maksudnya bahwa semua hutang yang

12
Abu ja’far muhammad bin jarir at-thabari, jami’ al-bayan fi ta’wil al-qur’an.
13
Abu muhammad husain bin mas’ud bin muhammad bin al-farra’ al-baghawi, Tafsir al -Baghawi
14
Al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam Al-Qur’an.

13
mempersyaratkan harus dilebihkan dalam pelunasannya hukumnya haram tanpa ada
perbedaan. 15

Keterangan dari sumber lain juga dijelaskan oleh Ibnu al-Mundzir bahwasanya
ulama sepakat apabila orang memberi hutang dan memberi syarat pada pihak yang
dihutangi dengan syarat harus memberi tambahan (melebihi) atau hadiah, lalu
transaksi utang-piutang dengan kesepakatan itu, maka mengambil tambahan dari hal
diatas disebut dengan riba. Dalam pemahaman bahwa, seakan-akan kaidah itu
meliputi semua transaksi pinjaman yang memberikan keuntungan pada kreditor, baik
keuntungannnya itu banyak atau sedikit, berlipat ganda atau tidak maka hal tersebut
tetap dikatakan sebagai riba. Masalah idi disebabkan adanya suatu perbedaan
pandangan sebagian ulama tentang riba. Menurut al-Baji, hadits ini maknanya
diperkuat oleh hadits shahih yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat. 16 Salah satu
dari dalil mereka yang dijadikan hujjah adalah H.R. Bukhari:

ِ‫ أَﺗَـﻴﺖ اﳌ ِﺪﻳﻨﺔَ ﻓَـﻠَ ِﻘﻴﺖ ﻋﺒ َﺪ ﱠ‬،‫ ﻋﻦ أَﺑِ ِﻴﻪ‬،َ‫ﻴﺪ ﺑ ِﻦ أَِﰊ ﺑـﺮدة‬


‫اﻪﻠﻟ ﺑْ َﻦ‬ ِ ِ‫ ﻋﻦ ﺳﻌ‬،ُ‫ ﺣ ﱠﺪﺛَـﻨﺎ ﺷﻌﺒﺔ‬،‫}ﺣ ﱠﺪﺛَـﻨﺎ ﺳﻠَﻴﻤﺎ ُن ﺑﻦ ﺣﺮ ٍب‬
َْ ُ َ ُْ
َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ َْ ُ َ َ ْ َ ُ ْ َ ْ ُ َ َ
ٍ َ‫اﻟﺮَﺎﺑ ِﻬﺑَﺎ ﻓ‬
،‫ﺎش‬ ِّ ‫ض‬ ٍ ‫ وﺗَ ْﺪﺧﻞ ِﰲ ﺑـﻴ‬،‫ﻚ ﺳ ِﻮﻳ ًﻘﺎ وﲤَْﺮا‬
َ ‫ »إِﻧ‬:‫ ﰒُﱠ ﻗَ َﺎل‬،«‫ﺖ‬
ٍ ‫ﱠﻚ ِﺄﺑ َْر‬ ِ ِ ‫َﺳ َﻼٍم َر ِﺿ َﻲ ﱠ‬
َْ َ ُ َ ً َ َ َ ‫ »أََﻻ َﲡﻲءُ ﻓَﺄُﻃْﻌ َﻤ‬:‫ ﻓَـ َﻘ َﺎل‬،ُ‫اﻪﻠﻟُ َﻋْﻨﻪ‬
ٍ
‫ َوَﱂْ ﻳَ ْﺬ ُﻛ ِﺮ‬،«‫ ﻓَ َﻼ َﺄﺗْ ُﺧ ْﺬﻩُ ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ِرًﺎﺑ‬،‫ﺖ‬ ِ ِ ِ ٍ ِ‫ ﻓَﺄَﻫﺪى إِﻟَﻴﻚ ِﲪﻞ ﺗ‬،‫إِ َذا َﻛﺎ َن ﻟَﻚ ﻋﻠَﻰ رﺟ ٍﻞ ﺣ ﱞﻖ‬
ّ َ‫ أ َْو ﲪْ َﻞ ﻗ‬،‫ أ َْو ﲪْ َﻞ َﺷﻌ ٍﲑ‬،‫ﱭ‬ْ َْ َ ْ َْ َ َُ َ َ
{‫ﺖ‬
َ ‫ َﻋ ْﻦ ُﺷ ْﻌﺒَﺔَ اﻟﺒَـْﻴ‬،‫ﺐ‬
ٌ ‫ َوَوْﻫ‬،‫ َوأَﺑُﻮ َد ُاوَد‬،‫ﱠﻀُﺮ‬
ْ ‫اﻟﻨ‬
17

Abdullah bin salam r.a berkata, “sesungguhnya engkau tinggal di suatu negri yang
padanya praktik riba merajalela. Dan sesungguhnya di antar pinu-pintu riba adalah
seseorang dari kalian memberikan piutang hingga tempo tertentu dan bila telah jatuh
tempo, penghutang datang dengan uang yang ia hutang sambil membawa serta
keranjang yang berisikan hadiahberupa gandum atau makanan pokok lainnya, maka
hendaknya engkau jangan mengambilnya, karena itu adalah riba”.

Hadits diatas ini menjelaskan bahwa peminjam tidak diperkenankan memberi


sebuah imbalan ataupun hadiah kepada pihak pemberi pinjaman. Tambahan itu tidak

15
Ibnu Qudamah, Al-Mugni ma’a Syarh al-Kabir,jilid IV.
16
An-Nawawi, Tuhfat al-Muhtaj, juz V, hal 47,
17
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah al-Syamilah, hadits ke 3814.

14
diperkenankan sebelum melunasi atau jatuh temponya hutang. Dikarenakan ada
syubhat bahwa peminjam berharap dengan tambahan ituakan diberikan tambahan
waktu untuk melunasinya. Maksudnya hadiah/imbalan tersebut berkaitan dengan
pinjaman yang diterima olehnya. Sedangkan tambahan yang tidak ada kaitannya
dengann pinjaman itu dibolehkan seperti halnya biaya administrasi. Hadiah yang
diberikan pada pihak peminjam itu diperbolehkan jika pemberian hadiahnya ketika
melunasi hutang tanpa ada keterkaitan syarat dan kebiasaan.
Dan juga dalam bahasa indonesia, devinisi riba adalah pelepasan uang, lintah
darat, bunga uang. 18 Syaikh muhammad abduh berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang
memiliki harta kepada orang yang meminjam dari waktu yang telah ditentukan. 19
Menurut ulama kontemporer memberi pemahaman bahwa riba yang
diharamkan al-qur’an hanya riba yang berlipat ganda. Lipat ganda yaang di maksud
adalah lipat ganda yang berkali-kali. kegiatan transaksi yang didalamnya mengandung
unsur riba secara tegas diharamkan bahkan pengharamannya telah menjadi
perlombaan dalam ajaran islam. Riba merupakan transaksi yang mengandung
eksploitasi terhadap para peminjam(debitur) bahkan merusak akhlak dan moralitas
manusia. Pengharaman ini tidak hanya berlaku pada ajaran islam saja, akan tetapi
dalam agama-agama samawi juga melarang akan adanya riba bahkan mengutuk
pelaku riba.
Riba dalah bentuk lain dari praktik-praktik yang yang kontradiktif dengan
sedekah. Aturan mainnya telah dipaparkan pada topik terdahulu yang merupakan
jalan suram dan keji. Terkadang riba memiliki arti yang sangat kikir, dll. Riba juga
terdevinisikan sebagai pengembalian hutang dengan tambahan yang haram. 20
Menurut istilah teknisnya, riba dalah pengambilan tambahan dari pokok harta
atau modal secara bathil, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam
atau yang bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam. 21
5. HUKUM DAN MACAM-MACAM RIBA
Jumhur ulama fiqh berpandangan bahwa muamalah dengan metode riba itu
hukumnya haram . keharaman riba tersebut dapat kita jumpai pada ayat-ayat al-

18
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, Jakarta: Zikrul Halim, 2003, cet. 2, hal. 1.
19
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007, cet. 1, hal. 57-58
20
Sayyid Quthb, Tafsir Ayat-ayat Riba
21
Muhammad syafi’i antonio, islamic banking bank syariah dari teori ke praktek, jakarta: gema insani press,
2001, hal. 37.

15
qur’an dan hadits: “rasulullah SAW, melaknat para pemakan riba, yang memberi
makan dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba dan para penulis
riba(sekretarisnya)”.
Ulama madzhab masih kontradiksi pendapat tentang pembagian riba. Imam
hanafi, malik, dan hanbali, berpandangan bahwa pembagian riba itu terbagi menjadi
dua bagian. Sedangkan menurut pendapat imam syafi’i dan Ibnu Hajar, riba terbagi
menjadi tiga bagian yaitu riba fadl, riba nasi’ah, dan riba yad. 22
Mayoritas ulama fiqh membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadl (riba
jual beli) dan riba nasi’ah ( riba hutang/ pinjam meminjam. Riba fadl adalah riba
yang yang terdapat tambahan pada salah satu dari dua alat tukar(barang) dalam satu
jenis. Misalnya satu kilogram beras bulog dijual dengan satu setengah beras yang
sama, karena sama jenisnya. Jika yang diperjualbelikan berbeda maka tidak disebut
dengan riba fadl. Riba nasi’ah disebut juga dengan riba jahiliyah, yaitu riba yang
disebabkan oleh adanya penundaan (hutang) dan kelebihan yang terjadi pada harta
riba.
Jadi perbedaannya adalah jika pada riba nasia’ah, benda yang diakadkan
sudah ada dan bisa diserah terimakan, sedangkan pada riba yad benda yang
diakadkan belum ada ketika terjadi akad. 23

Dari berbagai pendapat diatas, pada dasarnya riba menjadi dua macam yaitu
riba akibat hutang piutang sebagaimana yang dijelaskan tentang keharamannya
didalam al-qur’an, dan riba jual beli juga telah dijelaskan boleh atau tidaknya dalam
bertransaksi dalam hadits:
a. Riba yang timbul dari hutang piutang disebut dengan riba qardh, yaitu suatu
manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang
berhutang(muqtarid), dan riba jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar lebih dari
jumlah pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan. 24

22
Dikalangan jumhur ulama fiqh, riba yad termasuk riba nasi’ah. Perbedaan riba yad dengan riba nasi’ah
menurut madzhab syafi’i adalah riba nasiah terjadi pada akad, benda yang diakadkan sudah ada dan dapat di
serah terimakan, sedangkan pada riba yad, benda yang diakadkan belum ada ketika telah terjadi akad. Lihat
Wahbah al-Zuhaili, al-fiqh al-islam wa adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2007, jilid IV. .674
23
Wahbah Az-Zuhaili, al-fiqh al-islami Wa Adillatuhu
24
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah bagi bankir dan praktisi keuangan, jakarta: Tazkia Institute, 1999,
hlm. 77-78

16
b. Riba akibat jual beli disebut dengan riba fadl, yaitu pertukaran antar barang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang
dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi.

Berdasarkan hadits nabi dari Ubadah bin shomid diatas, menurut ulama’
hanafiyah menetapkan bahwa illat hukum larangan riba fadl adalah kelebihan barang
atau harga dari benda yang sejenis yang diperjual belikan memakai timbangan dan
takaran. Oleh sebab itu, berdasar pada illat hukum ini, mereka tidak mengaramkan
kelebihan pada jual beli rumah, tanah, hewan dan benda lain yang dijual dengan
metode satuan, sekalipun barangnya sejenis. Dikarenakan benda-benda seperti ini
dijual berdasar pada nilainya, bukan berdasar pada timbangan atau takarannya.
Ulama malikiyyah dan Syafi’iyah memendang illat keharaman riba fadl pada
emas dan perak yang terletak pada kedua barang itu merupakan harga dari sesuatu,
baik emas dan peraknya telah dibentuk, seperti cincin, kalung, maupun belum
dibentuk atau dicetak seperti tibrun (emas batangan). Oleh sebab itu, apabiila emas
dan perak sejenis, tidak boleh diperjual belikan dengan cara melebihkan harga dari
salah satu yang lain. Contohnya dua gram anting emas dijual dengan satu gram emas
batangan, maka kelebihan tersebut (satu gram) satu gram anting emas itu termasuk
riba fadl. Sementara illat keharaman riba fadl pada empat jenis makanan sebagaimana
yang telah disebutkan dalam hadits diatas, menurut ulama’ malikiyyah adalah
makanan pokok dan bertahan lama sekalipun madzhab malikiyyah tidak membatasi
berapa tahun lama waktunya.
Ulama’ syafi’iyah berpendapat bahwa illat keharaman riba pada jenis makanan
adalah karrena benda itu bersifat makanan, baik makanan pokok, makanan ringan,
yang mana semuanya bertujauan untuk menjada kesehatan tubuh. Andai berbeda
jenis, maka boleh diperjual belikan dengan melebihkan harga dari jenis lain, asalkan
dengan metode tunai. 25
Riba Nasi’ah adalah kelebihan atas piutangyang diberikan orang yang berhutang
kepada pemilik modal (pemberi hutang) ketika waktu yang disepakati telah jatuh
tempo. 26 Tambahan (bunga) itu sebagai imbalan waktu jatuh tempo, ini yang
dinamakan dengan nasi’ah. Apabila pada waktunya sudah jatuh tempo, ternyata yang

25
Nasrun Haroen, 2000 : 187
26
Ibnu Al-Qayyim al-Jauziyah, A’lam al-Muwaqqi’in, Beirut; Dar al Jail

17
mempunyai hutang tidak sanggup membayar hutang dan kelebihannya, maka
waktunya dapat diperpanjang dan jumlah hutang akan bertambah pula. Memikirkan
pada pengertian sebagaimana yang yang telah kita bahas, riba nasi’ah tidak hanya
terjadi pada kasus hutang piutang saja, melainkan juga terjadi pada jual beli barter
brang yang sejenis ataupun tidak sejenis. Misalnya dalam transaksi barter barang yang
sejenis, memebeli satu kilogram beras dengan dua kilogram beras yang akan
dibayarkan pada bulan yang akan datang. Contoh barter barang yang tidak sejenis,
seperti membeli satu kilogram tepung terigu dengan dua kilogram beras yang akan
dibayarkan dua bulan yang akan datang. Ulama’ syafi’iyah berpandangan bahwa
illat keharaman riba pada jenis makanan adalah semata-mata karena benda tersebut
bersifat makanan, baik makanan pokok maupun makanan ringan, yang mana
semuanya mempunyai tujuan untuk menjaga stabilitas tubuh. Oleh karenanya
kelebihan pembayaran pada jenis makanan ini menjadi riba. Jenis riba yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah riba nasi’ah yang terjadi pada hutang piutang tidak
dalam jual beli barter. Kelebihan salah satu barang, baik sejenis atau tidak, yang di
kombinasikan dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu, termasuk riba
Nasi’ah.

E. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dari berbagai riwayat dan uraian ahli tafsir tentang sebab
turun ayat larangan riba, maka pada akhir tulisan ini dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Illat hukum larangan riba dalam alquran adalah bukan sekedar kelebihan atau
penambahan jumlah hutang tetapi kelebihan yang dipungut bersama jumlah
hutang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan.
2. Perbedaan pendekatan ulama klasik dan ulama kontemporer dalam merumuskan
illat hukum larangan riba terletak pada perbedaan didalam memahami teks
(nash). Ulama klasik condong ke tekstualnya sedangkan ulama kontemporer
menekankan dengan makna substansinya (kontekstual), sehingga tidak setiap
kelebihan di sebut riba tapi kelebihan yang ada unsur penganiayaan dan
penindasan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Akramunisa, “Ulama dan Institusi Pendidikan Islam”, Ar-Riwayah: Jurnal


Kependidikan, Vol.9 No. 2, September 2017, hal. 428.
Adnan Hasan Shalih Bajharits, Mendidk Anak Laki-Laki, cet. 2, Jakarta:
Gema Insani, 2008, hal.159.
Lihat di laman https://kbbi.web.id/ulama. Diakses pada 12 Agustus 2023.
Al Jauziyyah, Ibnul Qoyyim, 1973, A’lam al-Muwaqqi’in, Beirut; Dar al Jail
Al Maraghi, Ahmad Mushtafa, 1946, Tafsir al-Maraghi, Mesir; Mushtafa
al-Halabiy
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek,
Jakarta; Gema Insani.
Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun) 59
Ath-Thobari, Imam, tt., Tafsir al-Thobari, Beirut; Dar al-Fikri.
Haroen, Nasrun, 1996, Ushul Fiqh I, Jakarta; Logos.
, 2000, Fiqh Muamalah, Jakarta, gaya Media
Pratama.
Muslimin, 2005, Bank Syari’ah Di Indonesia Analisis Kebijakan Pemerintah
Indonesia Terhadap Perbankan Syari’ah, Yogyakarta; UII Press, Cet.I
Ridho, Muhammad Rasyid, 1376 H, Tafsir al-Manar, Mesir; Dar al-Manar,
Jilid III,
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Beirut; Dar al-Fikri.
Shihab, Muhammad Quraish, 1992, Membumikan al_Qur’an, Bandung;
Mizan, 1999, Wawasan Al-Qur’an, Bandung; Mizan.
, 2002, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati.
Zuhaili, Wahbah,, 1997, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Beirut; Dar al-Fikri
Megawati, Tesis, 2020 M, Perspektif ulama klasik dan kontemporer, Institut
PTIQ jakarta.

19
20

Anda mungkin juga menyukai